-
14
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Selama pemerintahan Orde Baru, studi terhadap Lekra sangat
minim.
Pemerintahan Orde Baru tidak mengizinkan penelitian terhadap
organisasi
kebudayaan berhaluan kiri ini (Putra, 2006:940). Walaupun sulit
mengakses
dokumen pustaka Lekra, semasa Orde Baru beberapa peneliti asing
telah mengkaji
Lekra, yaitu: Ismail (1972), Maier (1974), Teeuw (1979),
Foulcher (1986),
Heinschke (1996), dan Bexley (2000).
Di Indonesia Lekra mulai dibicarakan sejak Reformasi 1998
ketika
Presiden Soeharto diturunkan secara paksa dari tampuk
kekuasaannya. Pada masa
ini dunia intelektual Indonesia tiba-tiba menghadapi situasi
yang baru, persoalan
yang sebelumnya tabu kini dapat dibicarakan secara bebas
(Bandel, 2009:131).
Sejak tahun 1998, pengkajian Lekra dilakukan antara lain oleh
Waluyo (1998),
Malna (2000), Supartono (2000), Yuliantri dan Dahlan (2008a,
eds.), Estrelita
(2009), Suyatno (2011), Sambodja (2010), Yuliantri (2011), Taum
(2012),
Yuliantri (2012), dan Violeta (2012). Ada pula kajian mengenai
kiprah Lekra di
daerah, seperti Surabaya (Yudanto, 2009), Bali (Putra, 2011),
Malang (Budianta,
2011), dan Solo (Wijaya, 2011).
Pokok persoalan yang dibahas dalam penelitian terdahulu berkisar
pada:
(1) kiprah Lekra sebagai lembaga kebudayaan yang berafiliasi
kepada PKI; (2)
perjuangan Lekra dalam bidang kebudayaan, ilmu, dan seni; (3)
paham seni
-
15
realisme sosialis yang dianut Lekra; (4) perseteruan Lekra dan
Manifesto
Kebudayaan; (5) tekanan politik Pemerintah Orde Baru terhadap
mantan aktivis
Lekra yang selamat dari Tragedi 1965; dan (6) Lekra sebagai
wujud pengaruh
politik dalam kehidupan sastra.
Ismail (1972) dapat dipandang sebagai pelopor studi Lekra.
Ismail
mengungkapkan persoalan di seputar pertumbuhan, perkembangan,
dan kejatuhan
Lekra. Persoalan yang dikaji oleh Ismail antara lain hubungan
Lekra dengan
strategi PKI dalam meraih kekuasaan, pengaruh pemikiran para
pemimpin
Komunis Soviet dan Cina, dampak pergerakan Lekra dalam
pertumbuhan
kebudayaan di Indonesia, realisme sosialis sebagai sikap sastra
Lekra, dan
munculnya Manifesto Kebudayaan sebagai tandingan Lekra. Menurut
Ismail,
kehidupan budaya pada periode 1950-1965 merupakan bagian dari
hiruk-pikuk
pertarungan ideologi dan politik. Ismail tidak mengkaji karya
sastra yang
dihasilkan oleh sastrawan secara khusus. Kajian ini menyoroti
peran Lekra bagi
perjuangan PKI. Menurut Ismail, Lekra mengelola budaya, seni,
sastra secara
politis dalam rangka mencapai cita-cita politik PKI, yaitu
negara sosialis.
Penelitian Ismail menegaskan bahwa Lekra sejalan dengan ideologi
PKI
(Komunis-Marxis-Sosialis).
Teeuw (1996 [1979]) membicarakan Lekra dalam periode 1955-1965,
di
bawah subjudul Ideologi dan Sastra. Menurut Teeuw, Lekra adalah
organisasi
rahasia PKI. Anggota Lekra (politikus, sarjana sebagai pelayan
sipil) harus
berpartisipasi membebaskan massa tertindas dari kekuasaan kelas
penindas.
Melalui pandangan ideologi Marxis, anggota Lekra hanya mengenal
dua kelas
-
16
masyarakat, yaitu tertindas dan penindas yang direpresentasikan
di dalam karya.
Teeuw mengemukakan bahwa prosa Lekra berupa cerita yang
sederhana dan
puisinya ditulis dalam bahasa yang mudah dimengerti.
Foulcher dalam Social Commitment in Literature and The Arts,
The
Indonesian Institute of Peoples Culture (1986) mengkhususkan
kajian pada
karya sastra Lekra. Untuk memberi gambaran bahwa lembaga ini
tidak hanya
bergerak dalam bidang sastra, Foulcher juga membicarakan bidang
seni lainnya
yang digarap oleh Lekra (film, musik, wayang orang, ketoprak,
lukis, poster).
Foulcher menempatkan sastra Lekra dalam bangunan sejarah sastra
Indonesia
periode 1950-1965. Pada konteks ini, Foulcher berpendapat bahwa
Lekra menolak
bangunan sejarah sastra Indonesia yang didominasi oleh pandangan
Teeuw dan
H.B. Jassin karena pada akhirnya terbukti bahwa sejarah sastra
Indonesia sangat
sedikit membicarakan sastra kiri.
Menurut Foulcher, pendirian Lekra dilandasi oleh ideologi
kebudayaan
yang diuraikan di Mukadimah Lekra. Dokumen kebudayaan ini
sejajar dengan
konsep Polemik Kebudayaan pada era Pujangga Baru. Kajian
Foulcher terhadap
pokok pikiran dalam Mukadimah menunjukkan pertentangan Lekra
(yang
menganut aliran realisme sosialis) dengan Kelompok Gelanggang
(organisasi
sastra yang menganut aliran humanisme universal). Untuk
membuktikan
bagaimana cara seniman Lekra menerapkan pokok pikiran Mukadimah
Lekra,
Foulcher mengkaji gerakan kebudayaan dan produk seni yang
dihasilkan oleh
Lekra. Foulcher menunjukkan bahwa gerakan Lekra sebagai wujud
nyata
perjuangan seniman yang sejalan dengan perjuangan bangsa.
-
17
Di samping mengkaji Mukadimah, Foulcher juga mengkaji prinsip
kerja
seniman Lekra, yang terkenal dengan sebutan 1-5-1 ([I]. politik
sebagai panglima,
[1] meluas dan meninggi, [2] tinggi mutu ideologi dan artistik,
[3] tradisi baik dan
kekinian revolusioner, [4] kreativitas individual dan kearifan
massa, [5] realisme
sosial dan romantik revolusioner, [I] turun ke bawah). Kajian
terhadap prinsip
kerja 1-5-1 dijadikan pijakan oleh Foulcher dalam mengkaji
hubungan Lekra dan
PKI. Menurut Foulcher, hubungan ini menjadikan karya sastra
Lekra tarik-ulur
antara artistik dan ideologi. Melalui kajian prinsip 1-5-1
Foulcher membicarakan
sejumlah puisi dan cerpen Lekra, untuk menunjukkan bahwa prinsip
tersebut
adalah metode kerja yang mengikat sastrawan Lekra. Walaupun
demikian, dari
segi bentuknya, tradisi puisi Lekra diwarisi dari Chairil Anwar
(penyair pelopor
Angkatan 45). Menurut Foulcher, warisan bentuk puisi tersebut
digunakan oleh
penyair Lekra untuk menyampaikan visi dan misinya. Ketika
menyoroti sejumlah
cerpen Lekra, Foulcher berpendapat bahwa dalam bidang karya
cerpen, Lekra
mengembangkan tradisi yang berbeda dengan cerpen-cerpen yang
telah ada dan
yang sezaman. Menurut Foulcher, cerpen Lekra adalah literary
reportage
(reportase sastra), cerpen yang ditulis berdasarkan kejadian
sejarah (hal. 141).
Artikel yang berjudul Between Gelanggang and Lekra:
Pramoedyas
Developing Literary Concept (Heinschke, 1996) mendiskusikan
dinamika
pemikiran sastra, sejak zaman penjajahan Jepang hingga
kemerdekaan. Persoalan
ini dikaji melalui sosok Pramoedya Ananta Toer, sebagai
sastrawanan yang
sedang membangun konsep sastranya. Artikel Heinschke ini
menunjukkan bahwa
pilihan Pramoedya menjadi aktivis Lekra (tahun 1956) karena
lembaga ini sejalan
-
18
dengan konsep sastra yang dianutnya. Sudut pandang artikel ini
berbeda dengan
kecenderungan umum, yang mengkaji Lekra dari aspek
kelembagaannya.
Menurut Heinschke, konsep sastra yang dianut oleh Pramoedya
Ananta Toer telah
dibangun sejak ia menjadi anggota pinggiran kelompok sastrawan
Gelanggang
(kelompok sastrawan yang menandatangani Surat Kepercayaan
Gelanggang, pada
tanggal 18 Februari 1950).
Konsep otonomi estetika yang dianut oleh kelompok Gelanggang
tidak
memuaskan Pramoedya Ananta Toer. Baginya, sastra tidak cukup
hanya indah
tetapi juga harus berfaedah. Sastra adalah forum komunikasi
nilai dan ruang untuk
mendiskusikan gagasan. Sastra harus dipimpin oleh pengalaman
sosial sehingga
pembaca mengerti situasi yang dihadapi. Pada tahun 1956 melalui
perjumpaannya
dengan sastrawan Angkatan Terbaru (kelompok sastrawan yang
terdiri atas
sastrawan muda, seperti Ajip Rosidi, S.M. Ardan, dan Rijono
Pratikno),
Pramoedya Ananta Toer menemukan konsep tendensi kerakyatan dalam
sastra.
Bagi Pramoedya Ananta Toer tendensi kerakyatan adalah sesuatu
yang baru
dalam sastra Indonesia yang sejalan dengan konsep sastranya.
Sementara itu,
konsep yang sama telah dikembangkan oleh Lekra, melalui tema
kehidupan kelas
bawah atau kelas pekerja. Heinschke menegaskan bahwa komitmen
politik
sebagai pertimbangan ketika Pramoedya Ananta Toer memutuskan
untuk
bergabung dengan Lekra.
Bexley (2000) membicarakan Lekra dalam sejarah seni kerakyatan
di
Indonesia, khususnya pada konteks seni rupa. Menurut Bexley,
lembaga ini
mendapat pengaruh pemikiran Marxis dalam rangka menyampaikan ide
nasional
-
19
dan antiimperialisme. Pemikiran Mao Tse Tung (Pemimpin Revolusi
Kebudayaan
Cina) yang diwuujudkan melalui Revolusi Kebudayaan di Cina,
dijadikan
semboyan dan metode kerja Lekra. Pembicaraan Bexley terhadap
Lekra
difokuskan pada metode kerja dan asas 1-5-1, yang dipengaruhi
oleh pemikiran
Mao Tse Tung. Penelitian ini memposisikan Lekra dalam tangga
waktu sejarah
seni kerakyatan di Indonesia (1930 s.d. era Reformasi). Di dalam
rentang waktu
tersebut, Lekra merupakan salah satu tahap perkembangan seni
kerakyatan (dapat
dibandingkan dengan Yuliantri, 2012). Perpektif Bexley juga
diterapkan oleh
Violeta (2012) ketika mengkaji pengaruh politik terhadap
kehidupan sastra selama
Demokrasi Terpimpin.
Di tengah-tengah kecenderungan mengabaikan keberadaan sastra
Lekra,
buku Lintasan Sastra Indonesia 1 (Sumardjo, 1992) dapat
dipandang sebagai
sebuah perkecualian. Dalam buku ini sastra Lekra dibicarakan
secara memadai.
Fokus pembicaraannya adalah eratnya hubungan Lekra dan PKI.
Hubungan erat
Lekra dan PKI tampak pada: semakin kuatnya kedudukan PKI dalam
percaturan
politik menyebabkan semakin menguatnya kedudukan Lekra dalam
percaturan
budaya Indonesia (sejak tahun 1959). Buku ini juga mengemukakan
segi ofensif
dan teror yang dilakukan oleh Lekra terhadap seniman-seniman di
luarnya,
misalnya kelompok Manifesto Kebudayaan, tuduhan plagiat terhadap
HAMKA.
Buku Prahara Budaya, Kilas Balik Ofensif Lekra/PKI Dkk.
(Moeljanto
dan Ismail, 1995) memuat kumpulan data dan penjelasaan yang
memberi kesan
bahwa kubu Manifesto Kebudayaan masih perlu membela diri, dengan
cara
mendaftar kejahatan-kejahatan Lekra, PKI, Marxisme selengkap
mungkin. Materi
-
20
dalam buku ini berupa guntingan koran/majalah yang masih harus
dianalisis
secara kritis. Sebagian besar isi buku ini adalah guntingan
koran/majalah yang
menyiarkan polemik di antara Lekra dan Manifesto Kebudayaan.
Materi
pembicaraan dalam siaran-siaran pers membuktikan bahwa
kebudayaan
terintegrasi dengan ideologi dan politik karena tidak ada
pembicaraan pada masa
itu yang bebas dari ideologi, politik, dan revolusi. Bahan-bahan
yang dimuat
dalam buku ini bisa dimanfaatkan sebagai salah satu sumber data
dalam mengkaji
perseteruan Lekra dan Manifesto Kebudayaan. Buku ini bermaksud
mengajak
generasi muda Indonesia setelah tahun 1966 melihat kembali
pertarungan dua
kubu ideologi kebudayaan yakni antara Lekra dan Manifesto
Kebudayaan. Buku
ini diharapkan dapat memberi penjelasaan pertentangan Lekra dan
Manikebu
kepada generasi setelah tahun 1966. Buku yang juga menggunakan
sumber data
pemberitaan mengenai Lekra di surat kabar adalah Lekra Tak
Membakar Buku
(Yuliantri dan Dahlan ed., 2008a). Buku ini ditulis berdasarkan
pemberitaan
Lekra di Harian Rakjat (April 1951-Oktober 1965). Bahan-bahan
yang telah
dikumpulkan disusun menjadi beberapa kelompok berdasarkan bidang
garapan
Lekra (sastra, film, seni rupa, seni pertunjukan, seni tari, dan
buku). Di dalam
buku ini, dijelaskan bahwa Lekra adalah nisan kebudayaan yang
disenyapkan oleh
Orde Baru. Karena itu, buku ini diharapkan mampu berfungsi
sebagai panggung
bagi Lekra dalam menyuarakan apa yang telah dilakukan selama 15
tahun.
Waluyo (1998) mengkaji alam pikiran budayawan Lekra dan
Manifestan
(pengikut Manifesto Kebudayaan) dalam usaha mencari sosok budaya
bangsa
Indonesia yang tidak kunjung selesai sampai sekarang. Waluyo
mencoba
-
21
mengembangkan cara pandang yang berbeda dengan bangunan
pemandangan
baku terhadap Lekra, yang senantiasa mengaitkan Lekra dengan
PKI. Ia
melepaskan Lekra dari persoalan ideologi dan politik dan
memandang Lekra dari
segi alam pikiran yang dianut oleh para aktivisnya. Cara pandang
yang sama juga
diterapkan pada para pengikut Manifesto Kebudayaan.
Malna (2000) dalam buku Sesuatu Indonesia, di bawah bab
berjudul
Beban-beban Politik Antargenerasi membicarakan dampak
perseteruan Lekra
dengan Manifesto Kebudayaan yang hingga saat ini masih
menyisakan trauma
politik di kalangan eks-sastrawan Lekra. Nilai yang dapat
dipetik dari kajian
Malna adalah agar sastrawan Lekra dipahami sebagai kelompok
yang
dikendalikan oleh kekuatan politik sehingga di tangan mereka
sastra adalah alat
mobilisasi dan agitasi. Sejalan dengan itu, ia menegaskan bahwa
sastra Lekra
harus bersih dari penilaian politik. Pandangan ini didasari oleh
adanya usaha
rekonsiliasi dalam kehidupan berbangsa.
Supartono (2000) mengkaji perseteruan kubu Lekra dan
Manifesto
Kebudayaan dengan menggunakan teori filsafat. Ia menggunakan
empat dokumen
kebudayaan pada masa awal kemerdekaan, yaitu: (1) Surat
Kepercayaan
Gelanggang (18 Februari 1950); (2) Mukadimah Lekra 1950; (3)
Mukadimah
Lekra 1959; dan (4) Manifes Kebudayaan (17 Agustus 1963).
Menurut
Supartono, Lekra dan Manifesto Kebudayaan adalah pertarungan
ideologi yakni
realisme sosialis dan humanisme universal (lihat pula Violeta,
2012).
Berdasarkan kajiannya terhadap hubungan ideologi, politik, dan
kebudayaan (lihat
kembali Ismail dan Foulcher), Supartono menyimpulkan bahwa
perdebatan
-
22
kebudayaan tidak ada, yang terjadi adalah pertarungan politik di
wilayah
kebudayaan.
Dalam buku Lekra Tak Membakar Buku (Yuliantri dan Dahlan
eds.,
2008a) terungkap fakta-fakta mengenai kiprah Lekra yang
bersumber pada
pemberitaan Harian Rakjat. Buku ini dipenuhi kutipan panjang dan
komentar
singkat penyusun terhadap materi yang dikukutip. Karena itu,
buku ini bukan
sebagai kajian akademis tetapi usaha untuk menghadirkan Lekra
kembali ke atas
panggung politik dan kebudayaan Indonesia, setelah dibisukan
selama
pemerintahan Orde Baru. Karya Yuliantri dan Dahlan lebih tepat
diposisikan
sebagai tandingan terhadap Prahara Budaya, Kilas Balik Ofensif
Lekra/PKI dkk.
(Ismail dan Moeljanto, 1995). Buku Lekra Tak Membakar Buku masih
harus
dilengkapi dengan hasil seni dalam bidang seni rupa, film, seni
pertunjukan, seni
tari, musik, perbukuan, sesuai dengan lembaga yang dikembangkan
oleh Lekra.
Di tengah kekosongan yang telah berlangsung selama tiga dekade
lebih, kehadiran
buku ini penting, mengingat sulitnya mencari arsip yang lengkap
dari periode
1950-1965 karena pemerintah Orde Baru banyak menghapus publikasi
dari
periode tersebut (Putra, 2006:940).
Sambodja (2010) membicarakan dua kubu sastra Indonesia dekade
1960-
an (Lekra dan Manifesto Kebudayaan) dalam buku Historiografi
Sastra Indonesia
1960-an. Selama 32 tahun sastra Lekra tidak memperoleh hak hidup
dan sejak
Reformasi tahun 1998 baru mendapat hak bersuara. Sambodja
menjelaskan bahwa
sastra Lekra adalah aset kebudayaan bangsa dan kerena itu tidak
boleh lenyap.
Penelitian Sambodja adalah salah satu usaha untuk menghargai dan
memberi
-
23
tempat kepada karya sastra Lekra karena sejarah sastra Indonesia
dan antologi
sastra yang ada selama ini, sedikit memuat dan membicarakan
karya-karya
mereka.
Suyatno (2011) dalam artikel yang berjudul Sajak-sajak
Realisme
Sosialis Lekra: Kajian Tematik mengemukakan bahwa pada
hakikatnya puisi
Lekra merefleksikan estetika realisme sosialis. Estetika ini
muncul karena adanya
pertentangan antara kapitalis/imprealis dengan sosialis, borjuis
dengan proletar.
Menurut Suyatno, puisi Lekra berpihak kepada sosialisme dan
membela kaum
proletar melalui ungkapan hiperbolis dalam rangka merealisasikan
ideologi
Marxis dan Sosialisme. Penelitian terhadap prosa Lekra
(1950-1965) dilakukan
oleh Taum (2012) yang memposisikan sastra Lekra sebagai sastra
terlibat dalam
gejolak sosial-politik, sosial ekonomi, sosial-budaya, dan
kemelut menjelang
meletusnya Tragedi 1965. Taum mengkaji keberadaan pertentangan
dua paham,
yaitu sastra terlibat atau steril dari politik. Untuk mengkaji
keterlibatan sastra
dalam gejolak dan kemelut politik Indonesia (1950-1965) ia
membicarakan lima
karya pengarang Lekra (Abdul Kohar Ibrahim, Amarzan Ismail
Hamid, Putu Oka
Sukanta, Sugiarti Siswadi, dan Pramoedya Ananta Toer). Melalui
kajian terhadap
karya kelima pengarang tersebut, Taum menemukan bahwa karya
mereka
memainkan peranan penting dalam kehidupan politik pada zamannya
yang
tampak melalui persoalan sosial politik yang direpresentasikan
di dalam karya.
Keterlibatan sastra Lekra dalam gejolak politik pada masa lalu
harus disikapi
sebagai persoalan tersendiri dan tidak semestinya dijadikan
alasan menghapus
sastra Lekra dari sejarah sastra.
-
24
Yuliantri (2012) menggunakan perspektif sastra kiri dalam
mengkaji
keberadaan sastra Lekra. Hal ini terungkap dalam artikel yang
diberi judul
Logika Hati dalam sastra Kiri Indonesia (1950-1965). Yuliantri
menegaskan
bahwa perkembangan sastra kiri di Indonesia tidak dapat
dipisahkan dari
kehidupan politik, kebudayaan, dan pembentukan identitas. Fokus
kajian artikel
ini adalah perkembangan sastra kiri di Indonesia selama jangka
waktu 1950-1965.
Sastra kiri tidak hanya identik dengan sastra Lekra dan sejarah
sastra kiri tidak
berawal dan berakhir pada kelahiran dan kehancuran Lekra. Di
Indonesia sastra
kiri telah ada jauh sebelum Lekra dan tetap hidup sampai
sekarang. Karena fokus
artikel ini pada sastra kiri yang berkembang selama periode
1950-1965, maka
istilah sastra kiri yang digunakannya mengacu kepada sastra
Lekra. Melalui
perspektif sastra kiri, keberadaan sastra Lekra dipandang
melewati batas periode
sejarah (1950-1965). Periode ini yang didominasi oleh sastra
Lekra hanyalah satu
fase perkembangan sastra kiri di Indonesia. Menurut Yuliantri,
fase ini adalah
produk proses politik, yang melibatkan ideologi Marxis dan tokoh
PKI. Dalam
artikel ini, sosok Njoto dibicarakan karena Yuliantri
berpendapat, Njoto
memainkan peran penting dalam menjembatani sastra dan politik di
Indonesia,
khusunya pada periode 1950-1965.
Yudanto (2009) yang mengkaji kiprah Lekra di Surabaya dan
Wijaya
(2011) yang mengkaji kiprah Lekra di Solo, melakukan kajian yang
serupa
dengan Ismail (1972). Temuan menarik yang terungkap melalui
penelitian
Wijaya adalah sikap netral Lekra, baik terhadap usaha PKI untuk
menarik
lembaga ini ke tubuh organisasi dan pergerakan partai maupun
dari organisasi-
-
25
organisasi lainnya. Namun demikian, Lekra Solo memberi sumbangan
yang besar
dalam memajukan kegiatan kebudayaan di kota tersebut. Setelah
meletusnya
Tragedi 1965, Lekra Solo mengalami kemunduran dan akhirnya
hancur tanpa
adanya regenarasi, karena lembaga ini tetap saja dianggap bagian
dari PKI. Arti
penting penelitian Yudanto dan Wijaya adalah melengkapi
penelitian Lekra di
tingkat pusat. Putra (2006) mengkaji konflik Lekra dengan LKN
(Lembaga
Kebudayaan Nasional) di Bali dengan Lekra sebagai fokusnya.
Menurut Putra
(2011) hubungan Lekra dan LKN di Bali unik, karena jika di
Jakarta konflik
terjadi antara Lekra dan Manifesto Kebudayaan tetapi di Bali
justru terjadi antara
Lekra dan LKN. Anwar (2013) mengkaji peran penting Lesbumi
ketika melawan
aksi-aksi kesenian Lekra dalam usaha menyebarkan Komunisme.
Kehidupan
orang Tionghoa di Malang, yang dilihat dari aspek berkeseniannya
dikaji oleh
Budianta (2011). Budianta mengungkapkan bahwa polarisasi politik
(kiri-kanan)
berpengaruh kuat kepada kehidupan orang Tionghoa di Malang (Jawa
Timur).
Kajian Estrelita (2009) yang berjudul Penyebaran Hate Crime
oleh
Negara terhadap Lembaga Kebudayaan Rakyat, berbeda dengan
penelitian-
penelitian terdahulu karena penelitian ini tidak lagi
menganalisis isu-isu utama
seputar Lekra (hubungan ideologi, politik, dan kebudayaan,
aliran realisme
sosialis yang bertentangan dengan humanisme universal, dan
hubungan Lekra
dengan PKI). Estralita menggunakan teori kriminologi Louis
Althusser dalam
mengkaji kekerasan negara (Orde Baru) terhadap mantan aktivis
Lekra. Menurut
Estralita, kekerasan tersebut dilakukan dengan cara membangun
stigmasi negatif.
Titik tolak studi ini adalah adanya usaha negara secara
sistematis dalam rangka
-
26
penumbuhan dan penyebaran rasa benci (hate crime) terhadap
mantan aktivis
Lekra. Hal ini dilakukan dengan cara membangun stigma negatif
(lewat buku dan
media lainnya) bahwa Lekra adalah PKI dan anti-Pancasila.
Sejalan dengan itu,
Estralita telah memberi sudut pandang yang lain yang turut
memperkaya wawasan
mengenai keberadaan Lekra. Budiawan (tt) melakukan kajian
sejenis dengan
kajian Estralita. Budiawan membicarakan kekerasan (siksaan badan
dan
penghancuran perasan) yang dilakukan oleh Orde Baru terhadap
mantan aktivis
Lekra. Persoalan ini ditelusuri dalam novel Merajut Harkat,
karya Putu Oka
Sukanta (mantan anggota Lekra). Penelitian ini membuka jalan
kepada pelacakan
perubahan arah pergerakan sastra yang dijalankan oleh sastrawan
eks-Lekra,
setelah tahun 1965. Penelitian ini menjawab salah satu dari dua
pertanyaan yang
diajukan oleh Bandel (2009:135), bahwa karya-karya sastrawan
Lekra pasca-
Tragedi 1965 adalah pengungkapan derita yang tidak
terperikan.
Artikel Modern Drama, Politics, and The Postcolonial Aesthetic
of Lef-
Nationalism in North Sumatra: The Forgotten Theater of
Indonesias Lekra 1955-
65, Bodden (2010) berisi uraian mengenai keberadaan drama Lekra
di Sumatra
Utara (Medan dan Tanjung Balai) dan pengaruh politik. Pandangan
semacam ini
juga telah dikemukakan oleh peneliti terdahulu (Ismail, 1972,
Foulcher, 1986,
Suyatno, 2011). Menurut Bodden, dari segi estetika drama Lekra
di Medan dan
Tanjung Balai dinamis dan hibrida. Tema drama Lekra berkaitan
dengan
perjuangan masyarakat Indonesia mempertahankan bangsa,
memupuk
nasionalisme dalam bidang budaya, dan menolak demokrasi
liberal.
-
27
Bodden (2011) dalam artikel lain, Teater Nasional Modern
LEKRA
1959-1965; Dinamika dan Ketegangan mengkaji drama-drama Lekra di
Jakarta.
Menurut Bodden, drama-drama Lekra tidak menganut paham realisme
sosialis
tetapi perpaduan realisme revolusioner dan romantisme
revolusioner karena
[...] bagaimanapun Indonesia belum menjadi negara sosialis, dan
belum
terlibat dalam pembentukan sosialisme, istilah realisme sosialis
karena itu sangat tidak cocok untuk kondisi-kondisi Indonesia (hal.
497).
Bodden mengkaji naskah drama Hari-hari terachir karya P.H.
Muid
(1964), Api di Pematang karya Kusni Sulang (1964), dan
pertunjukan sendratari
Djajalah partai dan negeri (dipentaskan 26-28 Mei 1965 di
Stadion Istora
Senayan, Jakarta). Bodden berpendapat bahwa teater-teater Lekra
dipengaruhi
oleh gagasan-gagasan teater Uni Soviet dan Cina tetapi telah
diberi tekanan-
tekanan Indonesia oleh seniman Lekra dalam rangka menciptakan
kebudayaan
yang berkepribadian nasional. Menurut Bodden, drama-drama
Lekra
membuktikan bahwa aktivis kubu Lekra tidak selalu sejalan dengan
kebijakan
PKI. Hal ini tampak melalui dua drama Lekra, yakni Api di
pematang dan
Djajalah partai dan negeri.
Kajian Yuliantri (2011:463-492) terhadap aliran musik yang
populer
antara 1950-1960-an dan peran kubu Lekra dalam bidang seni
musik,
dikemukakan dalam artikel berjudul Bersama LEKRA dan ansembel;
Melacak
panggung musik Indonesia. Menurut Yuliantri kegiatan Lekra di
bidang seni
musik bertujuan mencari identitas nasional di bidang musik yang
harus terlibat
dalam kehidupan bangsa. Musik tidak semata-mata sebagai hiburan
tetapi
kekuatan pendorong masyarakat agar ikut serta dalam perjuangan
melawan
-
28
musuh-musuh Revolusi Indonesia. Yuliantri menguraikan, bagi
Lekra musik
memiliki beberapa peranan yaitu sebagai: pagar ayu kebudayaan
dalam diplomasi
antarnegara; bahasa persahabatan dan kesetiakawanan; cara
merespons dan
mengenang sebuah peristiwa; dan alat untuk memetakan siapa kawan
dan siapa
lawan.
Penelitian-penelitian tersebut telah menjangkau sejumlah aspek,
seperti:
kelembagaan, karya-karya seni Lekra (poster, puisi, cerpen,
drama, musik), dan
konflik ideologi antara Lekra dan Manifesto Kebudayaan.
Penelitian-penelitian
terdahulu menunjukkan bahwa pengkajian karya sastra Lekra secara
khusus belum
memadai karena adanya dendam politik (Malna, 2000:464), sengaja
diabaikan
karena situasi politik (Bodden, 2010) atau karena terbatasnya
bahan penelitian
(Teeuw, 1996:30, Putra, 2006:940). Penelitian ini merupakan
salah satu usaha
dalam rangka memperluas dan memperdalam kajian sastra Lekra.
Dari segi
jumlah karya, fokus, dan teori yang digunakan, penelitian ini
berbeda dengan
penelitian-penelitian terdahulu. Penerapan teori new historicsm
dalam penelitian
ini akan memperkaya khazanah teoretis kajian-kajian sastra
Indonesia, khususnya
terhadap sastra Lekra.
2.2 Konsep
2.2.1 Representasi
Menurut Barker (2005:10) representasi adalah konstruksi dan
penyajian
dunia secara sosial dalam rangka memproduksi pengetahuan
(Foucault, dalam
Williams, tt:119). Dunia sosial yang direpresentasikan di dalam
teks ditentukan
oleh kekuatan-kekuatan sosial (ideologi, politik, ekonomi,
kebudayaan, agama,
-
29
nilai-nilai masyarakat). Kekuatan-kekuatan sosial ini juga
menentukan cara
masyarakat memaknai representasi dunia teks. Karena itu,
representasi bersifat
pragmatis, strategis, politis (Ratna, 2008:86). Artinya, setiap
tindakan
merepresentasikan dunia sosial ke dalam bentuk teks bukanlah
tindakan netral
tetapi tindakan yang dikendalikan/dikontrol oleh berbagai
kepentingan.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, konsep representasi yang
digunakan
dalam penelitian ini adalah penyajian realitas sosial politik ke
dalam karya sastra
(puisi dan cerpen Lekra) dalam rangka mencapai tujuan
politik.
2.2.2 Ideologi
Ideologi dalam penelitian ini adalah seperangkat ide sistemik,
jaringan
konsep, dan persepsi dengan sejumlah tindakan yang mengikutinya
untuk
mencapai tujuan penciptaan dan penggunaan organisasi (Mortimer,
2011:7).
Ideologi berkaitan dengan gagasan-gagasan kelas dan upaya
penyebarannya
dalam kaitannya dengan perjuangan kelas atau pelanggengan
kekuasaan kelas
tertentu (Mulyanto, 2011:136). Menurut Manner dan Kaplan
(2002:154), ideologi
adalah sistem kristalisasi gagasan yang absolut dan bersifat
universal untuk
merasionalkan, menyerang, menjelaskan keyakinan, kepercayaan,
tindakan,
pengaturan kultural tertentu. Ideologi berfungsi melegitimasi
kekuatan kelas
penguasa di masyarakat. Karena itu, ide-ide dominan di dalam
masyarakat adalah
ide-ide kelas penguasa (Eagleton, 2002:6). Jadi, ideologi
berkaitan dengan sistem
ide, jaringan konsep, persepsi, tindakan-tindakan, yang
digunakan sebagai alat
legitimasi kekuasaan kelas penguasa. Sejalan dengan itu, konsep
ideologi yang
digunakan dalam penelitian ini adalah konsep yang dikemukakan
oleh Manner
-
30
dan Kaplan. Kristalisasi gagasan-gagasan/ide/konsep mengenai
sesuatu (sosial,
politik) yang dipandang sebagai sesuatu yang absolut dan
bersifat universal yang
diikuti oleh tindakan-tindakan untuk menyerang dan menjelaskan
(keyakinan,
kepercayaan, tindakan, pengaturan kultural, sosial, politik)
yang
dikonstruksi/disajikan di dalam puisi dan cerpen karya sastrawan
Lekra.
2.2.3 Sastra Lekra
Sastra Lekra adalah karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan
aktivis
Lekra selama periode 1950-1965. Lekra meyakini bahwa seni
sebagai alat
pembimbing kesadaran politik massa dan mengabdi kepada revolusi
(Prasetyo,
2002:6). Karya sastra yang dihasilkan oleh sastrawan Lekra
berpihak kepada
massa rakyat tertindas/terisap, revolusioner, dan pro-Soekarno
(Putra, 2006:966),
dengan paham seni realisme sosialis (Aidit, 1964c; Ratna,
2007:171; Setiyono,
2010:xxiii). Berdasarkan pandangan-pandangan tersebut, maka
dirumuskan
konsep sastra Lekra, yakni: (1) karya yang ditulis oleh
sastrawan aktivis Lekra
selama dan sesudah periode 1950-1965, (2) karya yang bermuatan
ideologi
Marxis, (3) karya yang berfungsi sebagai alat propaganda dan
agitasi PKI, (4)
karya yang diciptakan berdasarkan paham seni realisme sosialis,
(5) karya yang
menunjukkan keberpihakan kepada massa rakyat yang
tertindas/terisap, (6) karya
yang menggelorakan semangat perlawanan (revolusioner) terhadap
imperialisme,
kolonialisme, dan feodalisme, dan (7) karya yang bermuatan
persoalan pokok
Marxisme, seperti: (a) penderitaan massa rakyat pekerja; (b)
kesadaran dan
perjuangan kelas; dan (c) sosialisme.
-
31
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Teori New Historicism
Menurut Lai (2006:1) kelahiran teori new historicism tidak
terpisahkan
dari munculnya pemikiran baru dalam memahami hubungan sejarah
dan sastra.
Lai menggambarkan bahwa sampai pada dekade 1970-an, hubungan
sastra dan
sejarah seperti pergerakan pendulum (sejarah dan sastra berada
pada dua titik
yang bersebrangan atau bertentangan). Munculnya pandangan baru
yang
menyatakan bahwa hubungan sejarah dan sastra menyerupai jaring
laba-laba,
mengakhiri pandangan bahwa hubungan itu seperti pendulum. Sastra
dan sejarah
adalah jejaring kerja (teks) yang saling bersilangan. Dalam
hubungan seperti ini,
batas teks dan konteks, batas sejarah dan fiksi semakin
kabur.
Teori new historicism memandang bahwa sejarah sastra sebagai
bagian
dari sejarah kebudayaan yang lebih besar. Karena itu, sastra
dikaji dalam konteks
sosial, politik, dan sejarah kebudayaan (Selden dan Widdowson,
1993:161).
Sastra memiliki basis sejarah dan karya sastra bukan produk
kesadaran tunggal
tetapi produk berbagai proses sejarah dan budaya (Greenblatt,
1980:3-6). Teori
new historicism menempatkan karya sastra di tengah-tengah
hubungan berbagai
lembaga sosial di dalam suatu periode (Culler, 1997:130).
Istilah new historicism diperkenalkan oleh kritikus Amerika,
Stephen
Greenblatt ketika ia diminta oleh jurnal Genre untuk
mengumpulkan/memilih dan
menyunting sejumlah esai mengenai zaman Renaisans (Greenblatt,
2005:18).
Kecenderungan kajian new historicism telah muncul pada tahun
1971 lewat karya
J.W. Lever, The Tragedy of State: A Study of Jacobean Drama,
yang
-
32
menghubungkan drama-drama Jacob secara lebih dekat dengan
peristiwa-
peristiwa politik zamannya (Barry, 2010:201). Di Inggris teori
ini dikenal dengan
cultural materialism (istilah Raymond Williams yang dipinjam
oleh Jonathan
Dollimore); Catherine Belsey mengajukan istilah cultural
history; dan sering pula
disebut cultural poetics (Payne, 2005:1). Selain dikenal dengan
new historicism,
di Amerika, teori ini juga disebut the new history, critical
history, dan historical
materialist criticism. Menurut Selden dan Widdowson (1993:163),
baik new
historicism maupun cultural materialist dipengaruhi oleh Michel
Foucault dan
Louis Althusser yang berpendapat bahwa pengalaman manusia
dibentuk oleh
lembaga sosial, khususnya wacana ideologi. Stephen Greenblatt
juga dipengaruhi
oleh pandangan Clifford Geertz bahwa tulisan antropologi adalah
fiksi dalam
pengertian sesuatu yang dibentuk atau sesuatu yang diciptakan
dan fiksi
bukan sebagai hal yang tidak faktual (Geertz, 1996:19).
Di Indonesia gagasan yang sejalan dengan new historicism
sebenarnya
pernah muncul tahun 1985 ketika terjadi perdebatan sastra
kontekstual. Dalam
perdebatan itu, Heryanto (1985:333) berpendapat bahwa pemahaman
kesusastraan
adalah dalam kaitan dengan konteks sosial historis karya
bersangkutan. Di
Malaysia juga muncul gagasan serupa melalui pernyataan perlunya
menyelusuri
pengalaman pengarang dan konteks kepengarangannya untuk memaknai
karya
sastra (Pawi, 2005:158). Menurut Greenblatt (2005:13), untuk
mengungkap
makna sebuah teks harus melalui konstruksi situasi yang
memproduksi teks
bersangkutan. Pendapat ini dapat dihubungkan dengan pendapat
Foucault yang
-
33
dikutip oleh Williams (tt:117) yang menyatakan bahwa tidak ada
sesuatu yang
bermakna di luar wacana.
Teori new historicism menawarkan sudut pandang baru dalam kajian
sastra
yaitu menganalisis hubungan karya sastra dan berbagai kekuatan
sosial, ekonomi,
dan politik yang melingkupinya (Brannigan, 1999:421; Bressler,
1999:236;
Barry, 2010:201; Budianta, 2006:2-3). Hubungan tersebut terjadi
karena karya
sastra dan antropolagi (juga sejarah) adalah fiksi dalam
pengertian teks-teks
tersebut diciptakan dan dibentuk oleh imajinasi, dengan
memanfaatkan sumber-
sumber yang tersedia (Grennblat, 2005:37). Sejarah menurut
pandangan
postmodern dikonstruksi oleh imajinasi sastra dan relasi
kekuasaan sehingga
sejarah sangat ideologis dan subjektif (Liu, 2006:2). Sementara
itu, sastra adalah
visi lain tentang sejarah dan sejarah tidak dapat dimengerti
sepenuhnya secara
objektif (Greenblatt, 1980:3-6).
Menurut Tillyard, terdapat interkoneksi antara sastra dan
kebudayaan
dalam suatu periode (dalam Selden dan Widdowson, 1993:162).
Dengan mengacu
kepada pemikiran new historicist (Gallagher, Greenblatt, dan
Montrose), Williams
(tt:125) dalam esai yang berjudul New Historicism and Literary
Studies
mengemukakan bahwa new historicism memvisualkan karya sastra
sebagai
produk budaya dan agen ideologi. Dalam hal ini, sastra bukan
sebagai imitasi
tindakan manusia tetapi lebih sebagai pihak yang turut serta
membentuk
ketimbang merefleksikan tindakan manusia. Williams menggambarkan
hubungan
sastra dan sejarah adalah hubungan dialektika. Dalam pandangan
ini, eksistensi
sastra dan sejarah ada dalam dialektika produser dan produk.
Pendapat Williams
-
34
sejalan dengan Montrose yang dikutip oleh Liu (2006:2) bahwa
antara sastra dan
sejarah terdapat dialog yang dinamis atau hubungan timbal-balik
antara
historisitas teks dan tekstualitas sejarah. Montrose menegaskan
bahwa new
historicism telah meninggalkan dekonstruksi dan menolak
tekstualisme yang
antisejarah (Liu, 2006:2).
Penerapan pendekatan interteks dan metode membaca paralel
terhadap
teks sezaman bersumber pada pandangan baru terhadap sejarah
yang
dikemukakan oleh Greenlatt (1980:3-6). Menurut Greenblatt,
sejarah tidak
berlaku secara mutlak, abadi, dan berkesinambungan bagi seluruh
generasi.
Sejarah hanya bermakna bagi generasi yang dilahirkannya,
generasi yang
mengalaminya. Demikian pula dengan karya sastra yang lahir pada
setiap zaman,
hanya bermakna bagi pembaca yang sezaman. Karya sastra yang
dikaji memiliki
hubungan interteks dengan teks nonsastra yang sezaman dibaca
secara dan
dianalisis dengan metode paralel (parallel reading). Menurut
Junus (1985:88),
metode parallel reading lahir dari peristiwa interteks karena
karya sastra sebagai
teks di antara teks lainnya (Selden dan Widdoson, 1993:163)
sehingga, seperti
diungkapkan oleh Foucault dan Harari bahwa tidak mungkin menolak
isolasi
tekstual (dikutip oleh Junus, 1996:1). Teori new historicism
memaknai karya
sastra melalui pengkajian hubungan karya sastra dan teks
nonsastra (sejarah)
karena makna teks sastra sering lebih mudah diuraikan dengan
melihat sejarah,
pisau analisis yang tajam karena acapkali memberikan dasar kokoh
untuk
memancangkan pernyataan yang berkenaan dengan makna (Greenblatt,
2005:13;
Ryan, 2011:217).
-
35
Menurut Barry (2010:202), dokumen sejarah tidak
disubordinasikan
sebagai konteks karya, sebagaimana tindakan old historicism
(Payne, 2005:6)
melainkan dianalisis sebagai teks tersendiri (ko-teks) atau teks
dampingan (Ryan,
2007). Istilah teks dampingan (ko-teks) digunakan oleh Junus
(1985:88) untuk
menjelaskan konsep membaca teks dalam kerangka interteks, yaitu
membaca
secara berdampingan. Metode kerja tersebut melebur batas
disiplin ilmu dan
disiplin pengetahuan, batas fiksi dan realitas (Liu, 2006:3).
Berdasarkan keadaan
ini, Liu menegaskan bahwa fokus teori new historicism ada pada
hubungan antara
tekstualisme dan kontekstualisme.
Berdasarkan uraian di atas, secara ontologis, teori new
historicism
memandang karya sastra dan teks nonsastra memiliki hubungan
timbal-balik atau
terjalin dalam dialog yang dinamis. Pandangan ini melahirkan
sikap bahwa teori
new historicism menolak ekslusivitas karya sastra. Karya sastra
bersama teks
nonsastra bersama mengartikulasikan realitas sejarah yang
melahirkannya
sehingga sastra adalah visi lain dari sejarah. Sesuai dengan
teori new historicism,
sastra Lekra yang dijadikan objek dalam penelitian ini, pidato
Presiden Soekarno
dana tulisan D.N. Aidit memiliki hubungan timbal-balik, ada
dalam jalinan dialog
yang dinamis.
Secara epistimologis teori new historicism bekerja dengan
menggunakan
metode membaca paralel. Teks nonsastra (sejarah) bukan sebagai
latar belakang
karya tetapi teks yang paralel dengan karya sastra. Metode ini
diterapkan untuk
mengkaji hubungan timbal-balik karya sastra dan teks nonsastra
yang sezaman.
Melalui pengkajian hubungan/paralelitas karya sastra dan teks
nonsastra
-
36
terungkap makna karya sastra Lekra. Teori new historicism
menggunakan
pendekatan interteks. Berdasarkan pandangan epistimologisnya,
sastra Lekra
dibaca secara paralel dengan pidato Presiden Soekarno dan
tulisan D.N. Aidit.
Metode membaca paralel digunakan mengkaji hubungan timbal-balik
puisi,
cerpen Lekra dan pidato Presiden Soekarno serta tulisan D.N.
Aidit.
Dari segi aksiologinya, teori new historicism merupakan model
memahami
hubungan sastra dan kekuatan sosial, politik, ekonomi, ideologi.
Sastra bukan
sebagai unit yang independen dan harus dibaca dari dalam/melalui
sejarah yang
melahirkannya. Untuk mencapai tujuan ini, pembacaan karya sastra
dilakukan
secara berdampingan dengan teks sejarah yang sezaman. Di samping
itu, teori new
historicism, adalah sebuah cara atau model dalam membaca dan
mengungkap
makna karya sastra. Pada konteks karya sastrawan Lekra, teori
new historicism
dipilih sebagai salah satu cara membaca dan mengungkapkan makna
puisi dan
cerpen karya sastrawan Lekra. Pembacaan dan pemaknaan ini
dilandasi oleh
terjalinnya hubungan antara sastra Lekra dan kekuatan di luar
sastra (ideologi,
politik, ekonomi, sosial).
2.3.2 Teori Sosiologi Sastra
Di samping teori new historicism, penelitian ini juga
menggunakan teori
sosiologi sastra karena sastra tidak dapat dipisahkan dari
kegiatan sosial dan
kebudayaan. Teori Plato tentang hubungan seni dan masyarakat
yang dikenal
dengan teori mimesis, kemudian dikembangkan dalam bidang sastra
menjadi
konsep sastra sebagai cermin masyarakat (Abrams, 1976:8).
Menurut Plato,
-
37
lukisan, puisi, musik, tari, dan patung adalah imitasi dunia ide
kedua (alam)
(dalam Budiman, 1998:36).
Salah satu teori sastra yang dikembangkan berdasarkan hubungan
sastra
dan masyarakat adalah teori sastra Marxis yang bertujuan
menjelaskan hubungan
sastra dan masyarakat (Forgacs,1982:134). Menurut Karl Marx,
kebudayaan
bukan suatu kenyataan independen tetapi tidak terpisahkan dari
kondisi sejarah
tempat manusia menciptakan materi kehidupannya (dalam Selden
dan
Widdowson, 1993:71) sehingga sastra hanya bisa dipahami dengan
baik dalam
bingkai realitas sosial yang lebih besar (Forgacs, 1982:135).
Menurut Culler
(1997:129), teori sastra Marxis menekankan agar dalam
menginterpretasi produk
kebudayaan selalu memperhatikan hubungannya dengan base
structure
(ekonomi). Sastra dikembangkan secara genetik dengan melibatkan
relasi-relasi
kontradiktif pengarang, ideologi, dan struktur sosial (Marx dan
Engels seperti
dikutip oleh Swingewood, 1977:133). Menurut George Lucaks,
kritik sastra
Marxis adalah kritik yang mempertimbangkan tinjauan historis
(dalam Eagleton,
2002:vi). Barry (2010:185-6) mengemukakan bahwa para pengikut
teori Marxis
memandang sastrawan terus-menerus dibentuk oleh konteks sosial,
yang tampak
melalui isi dan bentuk karyanya. Karya sastra adalah produk
masyarakat yang
senantiasa mengalami perubahan karena itu karya sastra tidak
dapat dipahami di
luar totalitas kehidupan masyarakatnya (Damono, 1984:40). Teori
Marxis
memandang bahwa sastra harus bersumber pada perjuangan kelas
karena
perjuangan kelas sebagai sumber utama dinamika kehidupan
(Birchall, 1977:92;
Fokkema dan Kunne-Ibsch, 1998:105). Rickwood seperti dikutip
oleh
-
38
Swingewood (1977:141) menyatakan bahwa karya sastra adalah
panggung yang
merefleksikan perjuangan kelas. Konsep ini diterapkan dalam
sastra karya
sastrawan Lekra, sebagaimana terungkap melalui pandangan Dharta
(2010c:15).
Menurut Dharta, perkembangan kesusastraan adalah sejarah
pertarungan dua
kekuatan yang bertentangan, antara kekuatan yang memperjuangkan
kemajuan
dengan kekuatan yang mempertahankan kekolotan. Pandangan
Dharta
mencerminkan sikap yang dianutnya terhadap idealisasi sastra,
dalam hal ini
sastra Lekra. Dharta secara implisit mengemukakan bahwa sastra
harus bersikap
revolusioner terhadap segala sesuatu yang menghambat
kemajuan.
Teori Marxis revolusioner (Leninisme) menekankan bahwa sastra
mutlak
menjadi alat partai (Barry, 2010:187-8) atau dengan ungkapan
lain, senjata
perjuangan kelas (Swingewood, 1977:141; Grass dalam Asad,
2006:19). Sastra
partai harus terorganisasi secara metodis, realisme sosialis
(mendukung politik
kiri) dan mengemukakan argumen politik (Barry, 2010:188). Dengan
demikian,
seni dan kesusastraan adalah pedoman/panduan untuk bertindak
(Swingewood,
1977:142). Menurut Zhadanov, sastra adalah alat untuk mendidik
manusia dalam
rangka mengidealkan kehidupan sehingga sastra tidak hanya
menungkapkan
kehidupan yang nyata tetapi juga yang seharusnya (dalam Atmaja,
2009:4).
Pandangan yang sama dikemukakan oleh Marquez, cara terbaik bagi
seorang
penulis untuk dapat melayani revolusi adalah menulis sebaik
mungkin (dalam
Asad, 2006:17).
Barry (2010:196) mendata pandangan metodis Teori Marxis, yaitu
(1)
karya sastra mengandung isi yang overt (tampak, permukaan) dan
covert (laten,
-
39
tersembunyi: berkaitan dengan tema-tema Marxis yang mendasar
seperti
perjuangan kelas, transisi masyarakat feodalisme ke
kapitalisme); (2)
menghubungkan karya sastra dengan kelas sosial sastrawan; (3)
sifat sejarah
sastra hanya dapat dijelaskan dalam kerangka periode sosial
yang
memproduksinya; dan (4) politisasi bentuk karya sastra (bentuk
karya sastra
ditentukan oleh kondisi politik).
Berdasarkan uraian di atas, secara ontologis, teori sosiologi
sastra
memandang karya sastra memiliki hubungan yang erat dengan
masyarakat yang
melahirkannya. Sejalan dengan pandangan ini, karya sastra
merefleksikan
keadaan masyarakatnya. Teori sastra Marxis memandang bahwa karya
sastra
harus mendukung perjuangan kelas massa rakyat pekerja yang
tertindas dan
terisap melalui revolusi untuk mencapai masyarakat sosialis.
Dalam hal ini, sastra
adalah alat partai. Sastra tidak dapat dipisahkan dari sistem
ideologi dan politik.
Sesuai dengan teori sosiologi sastra, sastra Lekra (objek dalam
penelitian ini)
dipandang memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat
Indonesia yang
sedang menjalankan revolusi. Hubungan tersebut bersifat
ideologis dan politis.
Berdasarkan teori sastra Marxis, karya sastrawan Lekra tidak
hanya merefleksikan
keadaan masyarakatnya tetapi dijadikan alat ideologi dan alat
politik PKI. Dalam
hal ini puisi dan cerpen karya sastrawan Lekra dilibatkan secara
sadar dalam
Revolusi Indonesia. Peran sastra Lekra dalam kehidupan ideologi
dan politik
inilah maka secara sosiologis, sastra memiliki hubungan yang
erat dengan
masyarakat yang melahirkannya. Hubungan karya sastrawan Lekra
dengan
-
40
masyarakatnya juga dapat dilihat bahwa sastra adalah bagian dari
ideologi dan
partai.
Secara epistimologis teori sosiologi sastra menggunakan
metode
interpretasi. Penerapan metode ini dilakukan dengan cara
menjadikan aspek
sosial, politik, ekonomi, kebudayaan, ideologi masyarakat
sebagai latar belakang
karya sastra. Latar belakang sosial, politik, ekonomi, ideologi,
kebudayaan ini
juga dimanfaatkan dalam melakukan interpretasi. Metode ini
diterapkan untuk
mengkaji hubungan karya sastra dengan masyarakat yang melahirkan
karya
bersangkutan. Berdasarkan pandangan epistimologis teori
sosiologi sastra, karya
sastrawan Lekra dibaca dalam kerangka hubungan dengan situasi
masyarakat
Indonesia (1950-1965), yang direpresentasikan melalui pidato
Presiden Soekarno
dan tulisan D.N. Aidit. Pembacaan ini bertujuan untuk
mengungkapkan hubungan
sosiologis, politis, dan ideologis, puisi dan cerpen karya
sastrawan Lekra dengan
keadaan masyarakat yang melahirkannya.
Dari segi aksiologinya, teori sosiologi sastra memberi manfaat
praktis
dalam rangka memahami hubungan sastra dan kekuatan sosial,
politik, ekonomi,
ideologi di luar karya sastra. Sejalan dengan ini, sastra
bukanlah sebagai unit yang
independen tetapi terikat dengan kondisi masyarakat yang
melahirkannya. Pada
konteks sastra Lekra, teori sosiologi sastra dapat menjelaskan
hubungan antara
sastra Lekra dan kekuatan di luar sastra (ideologi, politik,
ekonomi, sosial).
2.3.3 Teori Interteks
Teori interteks muncul pada akhir dekade 1960-an melalui
pemikiran
Kristeva (Allen, 2000:95). Menurut Allen (2000:1), asal mula
teori interteks dapat
-
41
ditelusuri pada teori linguistik struktural yang dikembangkan
oleh Ferdinand de
Saussure. Allen mengutip pandangan Ferdinand de Saussure
mengenai hubungan
makna dan tanda. Tidak ada tanda bermakna pada dirinya sendiri
atau tidak ada
tanda bermakna secara independen. Tanda ada dalam suatu sistem
dan berelasi
dengan tanda yang lain dalam mereproduksi makna (Saussure dalam
Allen,
2000:10).
Allen juga menunjukkan bahwa teori interteks yang dikembangkan
oleh
Kristeva dipengaruhi oleh pemikiran M.M. Bakhtin (seorang ahli
sastra Rusia).
Menurut Bakhtin, pengarang tidak hanya memilih kata, tetapi juga
memilih plot,
karakter, gambaran, cara-cara bercerita, dan bahkan frase-frase
atau kalimat-
kalimat dari karya sebelumnya (dalam Allen, 2000:11) sehingga
karya sastra tidak
dapat dipandang sebagai kontainer makna tetapi ruang yang
potensial bagi
sejumlah relasi yang menghasilkan makna (Allen, 2000:12).
Pandangan Barthes juga sering dikaitkan dengan teori interteks
Kristeva.
Allen (2000:13) mengutip pandangan Barthes mengenai teks sebagai
berikut.
Teks bukanlah sebuah garis kata-kata yang mampu melahirkan
makna
teologi tunggal, seperti suara Tuhan yang absolut tetapi
ruang
multidimensi yang ditempati oleh tulisan-tulisan yang bervariasi
dan tidak
ada satu pun dari tulisan-tulisan tersebut yang asli.
Dalam hal ini pengarang melakukan percampuran berbagai tulisan
atau
mempertemukan tulisan satu dengan tulisan lain. Menurut Culler
(1997:34),
sebuah karya dibuat dari karya lain. Teks yang dihasilkan oleh
pengarang berupa
lapisan atau susunan kutipan yang diambil dari pusat-pusat
kebudayaan yang
jumlahnya tidak terhitung (lihat juga Becker-Leckrone,
2013:129). Smith (2011:9)
mengemukakan bahwa tidak satu pun gagasan dalam suatu buku, baru
karena
-
42
banyak di antaranya telah diambil, dipinjam, diubah, dan dicuri
dari pemikir-
pemikir besar serta seniman-seniman besar dalam peradaban.
Menurut Allen (2000:36), terdapat kesejajaran pandangan antara
Barthes
dan Kristeva, sebagaimana tampak pada The Bounded Text, salah
satu tulisan
yang dimuat dalam Desire in Language (Kristeva, 1980). Dalam
tulisan tersebut,
Kristeva mengemukakan bahwa pengarang tidak menciptakan teksnya
dari pikiran
asli tetapi mengkompilasi pikiran-pikiran dari teks-teks
sebelumnya yang telah
ada. Tidak ada teks yang bersifat individual atau sebagai objek
yang terisolasi
mengingat teks diciptakan atau dibuat berdasarkan mode
budaya/sosial ketika teks
diciptakan. Walaupun harus diadakan pemilahan antara teks
individual dan teks
budaya namun keduanya tidak dapat dipisahkan karena sama-sama
diciptakan dari
materi yang sama (Kristeva dalam Allen, 2000:36). Sejalan dengan
pandangan ini,
Kristeva menyatakan bahwa teks tidak dapat dipisahkan dari
tekstualitas sosial
budaya yang lebih besar, yang mengkonstruksinya. Setiap teks
selalu bergantung
dan berhubungan dengan teks-teks lain, juga dengan wacana dalam
masyarakat.
Kondisi ini menunjukkan bahwa semua wacana (yang mengandung
materi yang
sama) berada di dalam dialog dengan wacana yang mendahuluinya
(Todorov,
1983:xiv).
Berdasarkan pandangan Kristeva, Allen (2000:37) menyimpulkan
bahwa
makna dan struktur teks tidak khusus bagi teks bersangkutan.
Makna teks adalah
kombinasi dan kompilasi dari bagian-bagian teks sosial. Karena
itu, teks tidak
memiliki satu makna atas dirinya sendiri. Makna teks didapat
melalui proses
sosial dan budaya yang sedang terjadi.
-
43
Karya sastra dibangun dalam sistem, kode, dan tradisi sebelumnya
(Allen,
2000:1). Karena itu, semua wacana berada di dalam dialog dengan
wacana yang
mendahuluinya, demikian pula dengan wacana yang akan datang
(Todorov,
2012:xiv). Pada hakikatnya semua teks adalah interteks,
teks-teks lain hadir dalam
suatu teks dalam berbagai tingkatan, seperti: (1) secara
fisik/sangat nyata dan (2)
cukup melalui petunjuk adanya hubungan suatu teks dengan teks
lain (Junus,
1985:87). Hal ini dapat dikaitkan dengan pernyataan Schoeck
(1991:181) bahwa
interteks memiliki sejarah yang tidak tertulis.
Berdasarkan uraian di atas, secara ontologis, teori interteks
memandang
karya sastra sebagai teks di antara semesta teks atau teks di
antara teks lainnya
(Plett, 1991:5). Teks-teks tersebut ada dalam kerangka
jaringan/hubungan/relasi.
Keberadaan teks ditentukan oleh hubungannya dengan teks lain
(Culler, 1997:34).
Sesuai dengan teori interteks, sastra Lekra yang dijadikan objek
dalam penelitian
ini dipandang sebagai artefak-artefak teks yang memiliki
hubungan dengan
artefak-artefak teks nonsastra yang berada dalam jangka waktu
1950-1965.
Dalam hal ini puisi, cerpen karya sastrawan Lekra, pidato
Presiden Soekarno, dan
tulisan D.N. Aidit berada dalam lalulalang perlintasan teks atau
menyerupai
artefak-artefak teks yang berserakan.
Secara epistemologis teori interteks bekerja dengan menggunakan
metode
jaringan/relasional untuk mengetahui kualitas hubungan interteks
teks-teks yang
dikaji. Dalam hal ini, karya sastrawan Lekra ditempatkan dalam
kerangka
jaringan/hubungan/relasi dengan teks nonsastra. Metode ini
diterapkan untuk
mengkaji bagaimana artefak-artefak teks tersebut berhubungan
satu sama lain.
-
44
Berdasarkan pandangan epistemologis teori interteks, puisi-puisi
dalam Gugur
Merah dan cerpen-cerpen dalam Laporan dari Bawah dibaca dalam
suatu
kerangka jaringan/hubungan/relasi dengan pidato Presiden
Soekarno dan tulisan
D.N. Aidit.
Dari segi aksiologinya, teori interteks memberi manfaat praktis
dalam
rangka memahami keberadaan suatu teks pada suatu zaman, yang
senantiasa harus
dipahami dalam kerangka hubungannya dengan teks lainnya. Sejalan
dengan ini,
puisi-puisi dalam Gugur Merah dan cerpen-cerpen dalam Laporan
dari Bawah
bukanlah sebagai unit yang independen, terisolasi, dan tunggal
dan sehubungan
dengan itu, harus dibaca dalam kerangka jaringan/hubungan/relasi
dengan teks
lainnya, dalam hal ini adalah pidato Presiden Soekarno dan
tulisan D.N. Aidit.
Berdasarkan uraian mengenai ketiga teori yang digunakan
dalam
penelitian ini, selanjutnya disajikan hubungan ketiganya melalui
model di bawah
ini.
Aspek Teori
new historicism sosiologi sastra
(Marxis)
interteks
Ontologi Teks sastra dan teks
nonsastra yang
sezaman memiliki
hubungan paralel
karena sama-sama
mengartikulasikan
persoalan sosial
politik dan ideologi
zaman yang
melahirkannya.
*Sastra adalah
cerminan keadaan
masyarakat.
*Sastra adalah alat
perjuangan ideologi
dan politik.
Sastra dipahami
dalam hubungan
dengan teks lain
pada persilangan
lalu lintas
semesta teks atau
dalam jaringan
teks.
Epistemologi membaca
paralel/membaca
berdampingan
Interpretasi,
refleksi, fungsional
relasional
Aksiologi memahami karya
sastra dengan cara
memahami karya
sastra dengan
memahami teks
melalui hubungan
-
45
memposisikan karya
sastra pada kerangka
sejarah melalui teks
yang sezaman
mempertimbangkan
kekuatan sosial,
politik, ideologi
yang melahirkan
karya dan mengkaji
fungsi karya bagi
ideologi dan
gerakan politik
teks bersangkutan
dengan teks lain
2.4 Model Penelitian
Model penelitian digambarkan seperti skema di bawah ini.
Ideologi
PKI
Teori New
historicism,
sosiologi
Sastra
Marxis,
interteks
Masalah 1
Bagaimanakah
representasi
ideologi dalam
Gugur Merah dan
Laporan dari
Bawah?
Temuan
Masalah 2
Bagaimanakah
hubungan timbal-
balik antara Gugur
Merah, Laporan dari
Bawah? dan teks
nonsastra pada
zamannya?
Konsep:
Representasi
Ideologi
Sastra Lekra
Sastra Lekra:
Gugur Merah dan
Laporan dari Bawah
Lekra
Kondisi Sosial Politik
Indonesia 1950-1965
Masalah 2
Persoalan sosial politik
apakah yang
dikemukakan dalam
Gugur Merah dan
Laporan dari Bawah?
-
46
Dikenal beberapa sebutan terhadap jangka waktu 1950-1965 dalam
sejarah
Indonesia (Lindsay, 2011:3). Sebutan tersebut mengarah kepada
peristiwa-
peristiwa penting yang terjadi pada masa itu. Sehubungan dengan
kajian ini,
jangka waktu 1950-1965 dipandang sebagai periode Revolusi
Indonesia.
Pandangan ini mengemuka di dalam berbagai pidato Presiden
Soekarno yang
terhimpun di dalam buku Dibawah Bendera Revolusi (Djilid II)
(Soekarno, 1964)
juga dalam salah satu tulisan D.N. Aidit yang mengulas Revolusi
Indonesia
melalui sudut pandang Marxisme dan PKI (Aidit, 1964b).
Salah satu peristiwa yang menonjol selama periode tersebut
adalah
pertarungan ideologi. Pertarungan ini bisa dipelajari melalui
konsep Nasakom
yang populer pada masa itu. PKI memandang Nasakom sebagai
peluang
kembalinya partai ini ke kancah politik Indonesia setelah
dihancurkan oleh
angkatan bersenjata dalam Peristiwa Madiun (1948). Sejak tahun
1951, ketika
partai ini dipimpin oleh empat pemuda (D.N. Aidit, M.H. Lukman,
Njoto, dan
Sudisman), ideologi Marxis semakin populer (Mortimer, 2011:17).
Hal ini
menunjukkan bahwa PKI memainkan peran penting dalam pertarungan
ideologi.
PKI yang menganut ideologi Marxis menghadapi ideologi yang
berbasis pada
agama, nasionalisme, dan tentara.
Pertarungan ideologi juga terjadi dalam bidang kebudayaan
(Ismail, 1972;
Supartono, 2000) yang didasari oleh pemikiran bahwa tujuan
revolusi juga harus
dicapai melalui jalan kebudayaan. Jalan ini menjadikan sastra
sebagai gerakan
politik yang tampak melalui Lekra. Berdasarkan teori sosiologi
sastra Marxis,
hasil karya seni Lekra senantiasa merepresentasikan pertarungan
ideologi di
-
47
tengah kancah Revolusi Indonesia. Pertarungan tersebut
direpresentasikan dalam
dua antologi, yaitu Gugur Merah dan Laporan dari Bawah yang
menghimpun
puisi dan cerpen karya sastrawan Lekra yang diciptakan selama
jangka waktu
1950-1965 (dirumuskan menjadi permasalahan 1).
Gugur Merah dan Laporan dari Bawah sebagai perwujudan
keterlibatan
sastra dalam proses sejarah yang melahirkannya, sebagaimana
dijelaskan dalam
kajian Marxis. Sastra lahir karena mengemban fungsi ideologi dan
politik. Peran
sastra tersebut dikaji melalui representasi persoalan sosial
politik Revolusi
Indonesia dalam puisi dan cerpen (dirumuskan menjadi
permasalahan 2).
Di samping karya sastra, teks-teks nonsastra juga mengulas
persoalan
sosial politik dan ideologi. Melalui pendekatan interteks dan
historis, pidato
Presiden Soekarno (yang terhimpun di dalam buku Dibawah Bendera
Revolusi
[Djilid II], Soekarno, 1964) dan tulisan D.N. Aidit (dalam buku
Revolusi
Indonesia, Latarbelakang sedjarah dan Haridepannja [Aidit,
1964b])
berhubungan dengan puisi dan cerpen Lekra. Hubungan ini dikaji
dengan
menggunakan metode membaca paralel. Yang dimaksud dengan
hubungan atau
paralelitas karya sastra dan teks nonsastra bukan dalam
pengertian hubungan
kutipan di dalam teks lain (Karer, 1991:122) atau teks di antara
teks lain
(Plett, 1991:5). Paralelitas puisi, cerpen, dan pidato Presiden
Soekarno serta
tulisan D.N. Aidit terjadi karena puisi, cerpen dan teks-teks
tersebut bersama-
sama merepresentasikan/mengartikulasikan persoalan sosial
politik yang sama,
sebagai teks sezaman yang memikul tanggung jawab ideologi dan
politik
-
48
(dirumuskan menjadi permasalahan 3). Hubungan karya sastra
dengan teks
nonsastra digambarkan sebagai berikut.
Makna puisi-puisi dalam Gugur Merah dan cerpen-cerpen dalam
Laporan
dari Bawah diungkap dengan cara melacak hubungan timbal-balik
(paralelitas)
karya sastra dan teks nonsastra, melalui metode membaca paralel.
Metode
membaca paralel adalah proses membaca sejumlah teks yang
bergerak dari satu
teks ke teks yang lain. Proses ini menolak independensi teks
karena teks
berhubungan dalam jaringan teks (Allen, 2000:1).
REVOLUSI
INDONESIA
Gugur Merah,
Laporan dari Bawah
Dibawah Bendera
Revolusi
Revolusi Indonesia,
Latarbelakang sedjarah
dan Haridepannja