42 BAB III TONEEL DI BATAVIA SEBAGAI SENI PERTUNJUKKAN TAHUN 1925-1943 A. Awal Munculnya Toneel di Batavia Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang keberadaannya sangat diperlukan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kesenian merupakan sesuatu yang hidup senapas dengan mekarnya rasa keindahan yang tumbuh dalam sanubari manusia dari masa ke masa, dan hanya dapat dinilai dengan ukuran saja. 1 Seni dalam kehidupan budaya dan masyarakatnya memiliki dimensi dan fungsi yang multi. Sebagai sosok seni, ia adalah ekspresi estetik manusia yang merefleksikan pandangan hidup, cita-cita, realitas ke dalam karya, yang penghayatnya. Menurut salah seorang informan, seni pertunjukan merupakan ekspresi dari perseorangan atau komunitas dalam mempertunjukkan dirinya secara visual dalam berbagai ruang, baik ruang ekonomi, sosial, maupun politik, yang kemudian dikemas dalam suatu bingkai yang digabung dalam suatu perilaku perseorangan maupun publik. Umar Kayam menyebutkan seni pertunjukan itu lahir dari masyarakat, dan ditonton oleh masyarakat. Artinya ia lahir dan dikembangkan ditengah, oleh, dan untuk masyarakat. Oleh karena itu seni pertunjukan yang tumbuh dan berkembang, tidak bisa, dipengaruhi oleh sistem-sistem yang ada, seperti 1 Timbul Haryono, “Sekilas Tentang Seni Pertunjukan Masa Jawa Kuna: Refleksi dari Sumber-sumber Arkeologis”, dalam JAWA: Majalah Ilmiah Kebudayaan volume 1 tahun 1999. Yogyakarta, Yayasan Study Jawa. Hal 92.
34
Embed
BAB III TONEEL DI BATAVIA SEBAGAI SENI PERTUNJUKKAN … · A. Awal Munculnya Toneel di Batavia Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang keberadaannya sangat diperlukan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
42
BAB III
TONEEL DI BATAVIA SEBAGAI SENI PERTUNJUKKAN
TAHUN 1925-1943
A. Awal Munculnya Toneel di Batavia
Kesenian merupakan salah satu unsur kebudayaan yang keberadaannya
sangat diperlukan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Kesenian
merupakan sesuatu yang hidup senapas dengan mekarnya rasa keindahan yang
tumbuh dalam sanubari manusia dari masa ke masa, dan hanya dapat dinilai
dengan ukuran saja.1 Seni dalam kehidupan budaya dan masyarakatnya memiliki
dimensi dan fungsi yang multi. Sebagai sosok seni, ia adalah ekspresi estetik
manusia yang merefleksikan pandangan hidup, cita-cita, realitas ke dalam karya,
yang penghayatnya. Menurut salah seorang informan, seni pertunjukan
merupakan ekspresi dari perseorangan atau komunitas dalam mempertunjukkan
dirinya secara visual dalam berbagai ruang, baik ruang ekonomi, sosial, maupun
politik, yang kemudian dikemas dalam suatu bingkai yang digabung dalam suatu
perilaku perseorangan maupun publik.
Umar Kayam menyebutkan seni pertunjukan itu lahir dari masyarakat, dan
ditonton oleh masyarakat. Artinya ia lahir dan dikembangkan ditengah, oleh, dan
untuk masyarakat. Oleh karena itu seni pertunjukan yang tumbuh dan
berkembang, tidak bisa, dipengaruhi oleh sistem-sistem yang ada, seperti
1 Timbul Haryono, “Sekilas Tentang Seni Pertunjukan Masa Jawa Kuna:
Refleksi dari Sumber-sumber Arkeologis”, dalam JAWA: Majalah Ilmiah
Kebudayaan volume 1 tahun 1999. Yogyakarta, Yayasan Study Jawa. Hal 92.
43
kekuasaan, sistem kepercayaan, sistem sosial, dan lain sebagainya.2 Munculnya
seni pertunjukan asal mulanya dari kegiatan ritual yang dibutuhkan oleh manusia
setelah ia mampu memikirkan tentang keberadaannya di dunia. Oleh karena tidak
mampu memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan
masalah keduniawian, ia beralih kepada kepercayaan akan perlindungan oleh
leluhur dan kekuatan-kekuatan yang ada di alam semesta, yang mengatur alam
dan kehidupan manusia. Kekuatan-kekuatan itu dibayangkan sebagai dewa atau
roh, dimana manusia dapat meminta pertolongan sewaktu diperlukan, misalnya
pada waktu terjadi wabah penyakit, bencana alam, kekeringan, dan sebagainya.
Untuk menjalin hubungan dengan kekuatan-kekuatan tersebut dilakukan
pemujaan atau persembahayangan dan tindakan-tindakan yang bersifat ritual,
yang dimaksudkan untuk lebih meyakinkan dirinya dan masyarakat sekitarnya
akan terjadinya hubungan spiritual itu. Untuk itu, ucapan-ucapan diperkuat dan
diperindah menjadi nyanyian yang kemudian dibantu dengan iringan suara benda-
benda seadanya seperti kayu dan bambu. Namun dalam perkembangan
selanjutnya benda-benda tersebut ada yang dibuat dari logam. Dengan nyanyian
lebih lama maka terciptalah ritma (irama), demikian pula dengan perubahan-
perubahan nada, maka terciptalah lagu. Lagu dan ritme mengundang gerak badan
pada waktu melakukan upacara, dengan demikian maka terciptalah seni tari dan
seni karawitan bersamaan dengan ritual yang dilaksanakan. Semua hal yang
dilakukan itu sempat ditonton oleh masyarakat, sehingga tanpa sengaja terciptalah
2Gelar, “Pengantar Redaksi Seni Pertunjukan Ritual dan politik”, Gelar
vol 2 no 1 Oktober 1999, Hlm. iv.
44
seni pertunjukan.3 Dengan berkembangnya jaman seni pertunjukan tidak hanya
sebagai sebuah ritual suatu masyarakat, seni pertunjukan juga menjadi sebuah
hiburan bagi masyarakat.
Perkembangan seni pertunjukan pada umumnya disebabkan oleh adanya
pengaruh dari budaya luar sebagai akibat pengaruh eksternal. Apabila
dibandingkan dengan sejarah seni pertunjukan di dunia, sebenarnya seni
pertunjukan Indonesia yang dimiliki oleh lebih dari 200 juta manusia ini belum
begitu tua usianya. Ada empat bangsa yang lebih tua perkembangan seni
pertunjukannya dari pada seni pertunjukan Indonesia, yang dalam proses
pembentukannya memiliki pengaruh yang cukup besar pada seni pertunjukan
Indonesia, yaitu bangsa India, bangsa Arab, bangsa Cina, dan bangsa Barat
(Eropa). Sebagai bangsa yang dalam proses perkembangannya belum begitu tua,
tak dapat dielakkan bahwa seni pertunjukan Indonesia mendapat pengaruh dari
keempat budaya bangsa tersebut. Oleh karena itu wajarlah apabila sebagai akibat
dari pengaruh budaya-budaya besar itu Indonesia menjadi sangat kaya akan seni
pertunjukan.4
Dengan banyaknya gempuran pengaruh dari bangsa-bangsa asing dalam
seni pertunjukan di Indonesia membuat bermacam seni pertunjukan yang digemari
masyarakat dari seni pertunjukan tradisional sampai modern. Seni pertunjukan
modern atau tontonan panggung yang terus digemari masyarakat kelas bawah
sejak akhir abad ke-19 adalah berupa tiruan opera yang dijejali banyak sisipan
3Sujarno dkk, Seni Pertunjukan Tradisional, Nilai, Fungsi, dan
Tantangan, (Yogyakarta: Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata DIY, 2003).
Hlm. 23-24. 4 Soedarsono, Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi, (Jakarta:
Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
1998). Hlm. 2.
45
adegan hiburan.5 Tiruan opera atau biasa disebut teater adalah segala aktvitas atau
kegiatan dalam seni pertunjukkan baik secara kelompok atau perorangan. Teater
sendiri cenderung menunjukkan pengertian tentang lakon. Jadi sebuah lakon baik
dengan naskah atau tanpa naskah.6 Karena teater sendiri adalah bagian dari sebuah
kebudayaan. Selain itu kebudayaan adalah proses dan struktur dalam kehidupan
manusia. Sejarah kebudayaan sangat menarik karena mampu menunjukkan aspek-
aspek estetis, etis, serta ideasional dalam kehidupan manusia.7
Kisah perjalanan teater modern Indonesia sesungguhnya dimulai sejak
tahun 1891. Karena pada tahun itu tontonan panggung Stamboel sangat dikenal
masyarakat. Orang saat itu lebih mengenal istilah stamboel ketimbang teater.
Istilah-istilah mengenai teater selalu berubah dari tahun ke tahun. Di tahun 1900
istilahnya adalah Komedie. Selanjutnya ada istilah opera pada tahun 1910. Istilah
tadi hanya berkembang dikalangan masyarakat perkotaan kelas menengah ke
bawah, terutama orang Indonesia, China, dan Arab. Kaum-kaum terpelajar lebih
mengenal istilah toneel. Sekitar tahun 1925, kata sandiwara merujuk kepada
istilah teater saat itu. Sedangkan pengenalan kata drama mencuat pada tahun
1950. Istilah teater sendiri beredar pada saat tahun 1970an. Biarpun secara
kronologis terdapat penyebutan yang berbeda-beda mengenai teater, tetapi pada
dasarnya semua merujuk pada suatu pementasan manusia diatas panggung
5 Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900–1950, (Jakarta: Komunitas
Bambu, 2009), hlm. 3. 6 Bakdi Soemanto, Jagat Teater (Yogyakarta: Media Pressindo, 2001),
hlm. 9. 7 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah
(Jakarta: PT Gramedia, 1993), hlm. 199.
46
berdasarkan cerita yang dimainkan.8 Pada mulanya tontonan panggung di
Indonesia, khususnya di Jawa mempunyai pengaruh yang kuat dari Belanda dan
Melayu. Sekitar tahun 1800, masyarakat Batavia sangat gemar dengan teater Ut
Desint yang dikelola langsung oleh orang Belanda. Teater Ut Desint mementaskan
sebuah lakon dari William Shakespere, yaitu Othelo. Ditambah satu lakon
gembira penabuh genderang. Ketenaran mereka mampu bertahan sampai tahun
1830an. Akan tetapi ketenaran Ut Desint tidak mampu menjangkau masyarakat
pribumi. Hal tersebut dapat dipahami karena selera publik pribumi tentunya begitu
berbeda dengan kalangan Belanda.9 Sehingga mengurangi minat masyarakat
pribumi untuk menikmati pertunjukan Teater Ut Desint. Kurangnya minat
masyarakat juga bisa karena faktor perbedaan selera setiap golongan
masyarakatnya. Pada tahun 1891 munculah perkumpulan Komedie Stamboel yang
pertama kali di Surabaya oleh August Mahieu, pemuda Indo (peranakan Belanda)
yang mempunyai bakat nyanyi dengan suara tenor. Kata “Komedie” disini bukan
sebagai terjemahan dari comedy, cerita lucu, melainkan komedi dalam artian
pertunjukan. Perkumpulannya ini dibiayai oleh Yap Goan Thay.10 Sedangkan
pimpinan artistik dipegang oleh Cassim yang dulu penah bergelut di teater
bangsawan. Kelompok Komedie Stamboel merupakan representasi teater rakyat
kota yang terdiri dari bermacam-macam ras.11 Penamaan Komedie Stamboel
8 Jakob Sumardjo, Kesusastraan Melayu-Rendah Masa Awal (Yogyakarta:
Galang Press, 2004), hlm. 138-139. 9 Jakob Sumardjo, Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama
Indonesia (Bandung: STSI Press, 1992), hlm. 91. 10Misbach Yusa Biran, Sejarah Film 1900–1950, (Jakarta: Komunitas
Bambu, 2009), hlm. 5. 11 Jakob Sumardjo, “Teater Indonesia Era 1900-1945”, dalam Tommy F.
Awuy (et.al), Teater Indonesia: Konsep, Sejarah, Problema, (Jakarta: Dewan
Kesenian Jakarta, 1999), hlm. 213.
47
karena anak buah Mahieu mengenakan topi merah orang Turki yang berkuncir
hitam. Di Indonesia orang menamakan topi itu Stamboel. Kata Stambul adalah
kesalahan ucap dari Istambul, ibukota Turki (Konstantinopel).12 Komedie
Stamboel dipentaskan dengan cerita dari The Arabian Night dan menggunakan
bahasa Melayu saat dipanggung. Mahieu menambahkan dengan nuansa, selera,
dan orientasi Barat.13 Repertoar terdiri dari cerita 1001 Malam yang ditambah
dengan cerita Barat, klasik maupun modern, seperti Hamlet karya Shakespeare,
De Koerier van Lyon dan semacamnya.14 Dengan ceritanya mengenai kehidupan
raja-raja dengan pakaian gemerlapan yang membuat penoton bisa mengkhayal
kehidupan yang indah, karena kebanyakan penontonnya rakyat kecil. Namun,
August Mahieu sadar bahwa pementasannya berada di tanah Jawa, karena itu
Komedie Stamboel menampilkan repertoar cerita lokal. Seperti Nyai Dasima, Si
Conat, Rencong Aceh, Anak Tiong, Bercerai Kasih.15 Namun pilihan reperoar ini
tidak memuaskan penonton, sebab penonton sudah terbiasa dengan menyaksikan
fantasi kostum di panggung, sehingga penyajian pakaian sehari-hari di panggung
tidak menarik perhatian. Jadi jelas bahwa penonton teater stamboel adalah
penonton yang membutuhkan hiburan, melihat dan mendengarkan hal-hal yang
tak biasa.16
12 Misbach Yusa Biran, Op. cit., hlm. 5. 13 Matthew Issac Cohen, The Komedie Stamboel : Popular Theatre in
Colonial Indonesia, 1891-1903, (Ohio: Ohio University Press, 2006), hlm. 133. 14Op. cit., hlm. 6. 15Sebuah buku atau tepatnya antologi sastra yang dieditori Pramoedya
Ananta Toer memuat cerita-cerita diatas, diantaranya Nyai Dasima dan Si Conat.
Lihat Pramoedya Ananta Toer, Tempo Doeloe : Antologi Sastra Pra Indonesia,