-
45
BAB III
SENTRA KERAJINAN BATIK DI WIJIREJO
A. Masa Jaya Pembatikan di Desa Wijirejo
Istilah batik dapat diartikan sebagai berikut yakni gambaran
atau
hiasan pada kain menggunakan alat canting atau sejenisnya yang
di hasilkan
melalaui proses tutup-celup dengan lilin kemudian dilanjutkan
dengan proses
berikutnya sehingga terciptalah sebuah mahakarya kain batik.1
Kraton Yogyakarta
sebagai pelindung budaya leluhur dan sekaligus pelestari budaya
membatik
mengajarkan keahlian membatik hingga keluar dari benteng
kraton.
Pada awalnya kegiatan pembatikan ini populer di kalangan
keluarga
dari abdi dalem tersebut, kemudian penduduk sekitar mulai diajak
dan tertarik
untuk melakukan pembatikan.2 Keberadaan kain batik yang
eksklusif dikalangan
keraton ini kemudian mengalami penyebaran ke wilayah luar
lingkungan keraton.
Adapun salah satu pengrajin kain batik yakni berada di wilayah
Desa Wijirejo,
Pandak, Kabupaten Bantul.
Perjanjian Giyanti pada tanggal 13 Februari 1775 menandai
kelahiran
Keraton Yogyakarta sebagai pengembang dan pemelihara budaya. VOC
mengakui
Mangkubumi sebagai Sultan Hamengkubuwono pertama sebagai
penguasa kota
1A.N. Suyanto, Sejarah Batik Yogyakarta, (Yogyakarta: Merapi,
2002),
hlm. 2.
2Topo HP, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul,
16
November 2013.
-
46
Yogyakarta yang kaya budaya.3 Lahirnya Keraton Yogyakarta
ternyata juga
membawa dampak sosial, politik, budaya, dan ekonomi. Salah satu
hal yang
paling mencolok adalah dalam hal budaya, yakni dengan kemunculan
dan
keberadaan sebuah karya seni yakni batik, yang digunakan sebagai
pelengkap dari
busana adat hingga menuju ke arah komersialitas.
Secara etimologis istilah batik berasal dari kata tik, yakni
berasal dari
kata menitik yang memiliki arti menetes.4 Dalam bahasa Jawa
Krama batik
disebut seratan, dalam bahasa Jawa Ngoko disebut tulis, yang
dimaksud di sini
yakni menulis dengan lilin. Selain itu batik merupakan gambar
yang dihasilkan
dengan menggunakan alat canting atau cap bermotif dengan bahan
lilin sebagai
penahan masuknya warna.
Batik dapat diartikan yakni gambaran atau hiasan pada kain
atau
sejenisnya yang dihasilkan melalui proses tutup-celup dengan
lilin yang kemudian
dilanjutkan dengan proses berikutnya sehingga terciptalah sebuah
kain batik,
selain itu kain batik merupakan bahan tekstil hasil pewarnaan
menurut corak khas
motif batik secara pencelupan rintang dengan menggunakan lilin
batik sebagai
bahan perintang. Campuran untuk pembuatan bahan lilin terdiri
dari gondo-
rukem, damar mata kucing. Lilin tawon/kote, lilin lanceng,
parafin, mikrowax,
minyak hewan, minyak kelapa dan lilin bekas.
3Ricklefs. M.C, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta: Gadjah
Mada
University Press, 2005), hlm. 149.
4Fraser, Sylivia, Indonesian Batik: Processes, Patterens and
Places,
(Singapore: Oxford University Press,1986), hlm. 1.
-
47
Kain batik telah menjadi simbol kebesaran dan keanekaragaman,
yang
termasuk dalam seni kerajinan tangan pada abad XX. Berdirinya
keraton
Yogyakarta tak terlepas dari simbol-simbol budaya yang dimiliki
oleh keraton.
Sejak Sri Sultan Hamengkubuwono I menjadi raja di kasultanan
Yogyakarta,
keberadan kain batik sudah sangat populer bagi kalangan
kerajaan, dan kain batik
telah menjadi budaya keraton Yogyakarta sebagai warisan budaya
dari kerajaan
Mataram serta dianggap sebagai simbol kebesaran, kebanggaan,
dan
kebangsawanan.5
Sejumlah atribut kerajaan mulai muncul sebagai ciri khas atau
sebagai
suatu identitas, dan memiliki keunikan tersendiri. Busana adat
yang dipergunakan
dalam upacara-upacara keraton Yogyakarta dapat kita lihat
sebagai suatu identitas
dan simbol yang melekat dalam diri pemakaianya, hal tersebut
mempunyai
keterkaitan dengan hak dan kewajiban pemakaiannya. Para priyayi
biasanya
sangat dekat dengan konsep di atas yakni sebagai pengguna kain
batik yang
memiliki makna prestise.
Priyayi menurut istilah aslinya menunjuk kepada orang yang
bisa
menelusuri asal-usul keturunannya sampai kepada raja-raja besar
di Jawa zaman
sebelum penjajahan, yang sangat erat dengan mitos-mitos.
Semenjak
pemerintahan kolonial Belanda menguasai Jawa kurang lebih tiga
abad dan mulai
menggunakan tenaga pribumi untuk mengurus kegiatan administrasi
kekuasaan
priyayi meluas termasuk orang kebanyakan yang ditarik ke dalam
birokrasi akibat
5Ricklefs, M.C, Yogyakarta Under Sultan Mangkubumi, (London:
Oxford
University Press, 1974 ), hlm. 76.
-
48
persediaan aristokrasi Belanda yang terbatas jumlahnya.6 Dalam
kelompok priyayi
ada semacam pembeda yang bisa dibandingkan, yakni apa yang
disebut sebagai
golongan terdidik dan terpelajar.
Priyayi pada tingkatan menengah dan atas cenderung untuk
berbahasa
Belanda dan bukan berbahasa Jawa. Mereka yang lebih tinggi
tingkatannya
melakukan hal tersebut sampai pada satu titik mereka hanya
menggunakan bahasa
Jawa Ngoko untuk menyuruh para pembantu dan mereka priyayi
hampir tak bisa
mengucapkan bahasa ibu. Kaum priyayilah yang pada masa
sebelum
kemerdekan memperoleh keuntungan dari pendidikan yang disediakan
kolonial
Belanda untuk orang Jawa baik dikirim ke negri Belanda maupun di
Jawa, bekerja
sebagai administrator kecil di pabrik Belanda, perusahaan
perkebunan, dan
perusahaan angkutan.7
Akhir abad XIX, proses pembuatan kain batik masih dilakukan
sebatas
untuk mengisi waktu luang para wanita atau perempuan keraton di
Yogyakarta.
Perlu diketahui bahwa sebagai seorang putri dari keluaraga
keraton yang hidup
pada masa kolonial, masa remajanya hanya di habiskan untuk
berkutat
dilingkungan keraton. Dari sinilah para putri keraton ataupun
perempuan keraton
menyalurkan apresiasi dengan berkarya, salah satunya membuat
kain batik. Dalam
serat Centini bagian 34. Maskumambang, disebutkan bahwa wanita
yang ideal di
6Geertz, Clifford, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat
Jawa,
(Jakarta: Pustaka Jaya, 1989), hlm. 308.
7Ibid., hlm. 317.
-
49
mata seorang raden harus mempunyai beberapa kemampuan yang wajib
dimiliki.
Adapun kemampuan yang wajib dimiliki bagi para wanita yakni
antara lain:
(a) . Raden mesem pangandikan aris, klebet wajibing dyah, saget
lah-olah sakalir, tagen rigen minta-minta.
(b) . Wasis salir pakaryanipun pewestri, reratus myang medhak
parem tapel pupus wilis, kanyoh, jejampi racikan.
(c). Nyumerepi samuwaning anggi-anggi, pon-empon babakan
eron
ingkang maedahi, ngektosi kanggening karya.
(d). Ngantih nenun nyulam nyongket andondomi, angraronce sekar
batik
nyogo babar adi manantes isining wisma.8
Terjemahanya:
a. Raden tersenyum sambil berkata, termasuk kewajiban wanita,
pandai
memasak dan pandai segala sesuatu.
b. Pandai segala pekerjaan wanita. Mengerjakan perusapan
dengan
membakar ratus, juga membuat bedak, parem, langit dan jamu
racikan.
c. Mengetahui penggunaan segala daun-daun yang bermanfaat untuk
obat-
obatan.
d. Bertenun, menyulam, merenda, menjahit, merangkai bunga,
membuat
batik sampai menyelesaikannya menjadi kain yang bagus, dan
pandai
mengatur rumah.
Pengrajin batik pada mulanya dikembangkan secara sengaja
ketika
kehidupan rakyat mulai merosot dan juga lambat laun di
kembangkan secara
terencana, sebagai alternatif terhadap kegiatan pertanian.
Kerajinan merupakan
usaha produktif di sektor non pertanian, baik berupa mata
pencaharian utama
maupun sampingan.9 Kerajinan yang terorganisir, baik secara
sederhana maupun
8Serat Centini, Suluk Tembang Raras, yasan Dalem Kanjeng
Gusti
Adipati Anom Mangkunegaran (Ingkang Sinuwun PB V ing Surakarta)
Jilid 1,
Transkripsi oleh Kamajaya, (Yogyakarta: Yayasan Centini, 1991),
hlm. 107.
9Soeri Soeroto, Sejarah kerajinan di Indonesia, dalam Jurnal
Prisma
(No. 8, Agustus, 1983), hlm. 20.
-
50
modern kemudian akan mengarah pada suatu taraf sebuah pemusatan
pengrajin
ataupun sentra pengrajin. Arti penting pengrajin dalam
perekonomian di negara-
negara sedang berkembang telah lama disadari dan diakui.
Indsutri kecil selalu
ditunjuk sebagai sektor kunci dalam penciptaan kesempatan kerja,
mengingat
untuk menghasilkan sejumlah output tertentu.
Efek kesempatan kerja yang diciptakan oleh pengrajin kecil akan
lebih
besar dari pada efek serupa yang dihasilkan oleh industri besar.
Selain itu dari
sifat sebarannya dan keterkaitannya yang erat dengan sektor
pertanian, pengrajin
kecil juga sangat potensial untuk mendorong kemajuan ekonomi
pedesaan.10
Bagi
penduduk pedesaan di Yogyakarta membatik merupakan pekerjaan
yang sudah
dikenal sejak lama. Ada yang melakukannya sebagai pekerjaan
pokok ada pula
yang hanya merupakan perkerjaan sampingan. Membatik dilakukan
setelah
mereka mengerjakan pekerjaan di sawah. Hal ini dilaksanakan baik
untuk
keperluan sendiri maupun untuk orang lain sebagai tukang
batik.
Batik dari Bantul, sering disebut sebagai batik barteran karena
pembatik
dari Bantul tidak memproses secara keseluruhan tetapi hanya
membuat
ngengrengan dan nerusi. Batik ini kemudian ditawarkan kepada
perusahaan batik
di Yogyakarta, yang akan menukarnya dengan mori yang sesuai
kualitasnya di
tambah uang sebagai ganti biaya malam dan upah membatik. Secara
sepintas
mereka pada dasarnya hanya menjual jasa membatik, tetapi
kelompok ini lebih
bebas menentukan motif batik dan lebih efisien, karena mori dan
malam tidak
10
Hendarawan Supratikno, Pengembangan Industri Kecil di
Indonesia,
dalam Jurnal Prisma (No. 9, September, 1994), hlm. 26.
-
51
perlu mengambil dari para pengusaha di Yogyakarta. Sebagai
konskuensinya
batik barteran ini harus berhati-hati dalam mengerjakan, sebab
para juragan batik
dapat saja menolak hasil batikan yang dianggap kurang baik.
Salah seorang pelopor dan penggerak dari kegiatan pembatikan di
Desa
Wijirejo adalah Bapak Dirjo Sugito. Beliau mulai menekuni
pembatikan di
Wijirejo sejak tahun 1960-an. Pada tahun-tahun ini kegiatan
pembatikan di
Wijirejo masih bersifat sebagai pekerjaan pembatikan sambilan.
Adapun Latar
belakang penduduk Desa Wijirejo sebagian bekerja sebagai petani
merupakan
alasan mengapa pada tahun-tahun tersebut pembatikan masih
bersifat sebagai
sampingan. Pada pagi hari mereka harus mengurus tanaman
pertanian, setelah
matahari mulai meninggi mereka kembali ke rumah masing-masing,
dari sinilah
waktu senggang mereka diisi dengan kegiatan membatik dengan
teknik tulis.11
Batik tulis merupakan salah satu bentuk dari seni lukis. Pola
atau motif
dasarnya dirancang satu orang saja, tetapi proses selanjutnya
bisa dikerjakan
secara bersama oleh orang-orang yang memiliki kecakapan dalam
bidang tertentu.
Penggambaran pola atau motif pada kain menggunakan canting
sebagai alat untuk
menerapakan lilin atau malam, dilakukan oleh pembatik yang telah
ahli dan
menguasai berbagai motif, yang telah dikenal secara umum
dilakukan oleh
pembatik ahli dengan bantuan beberapa garis bantu saja.
Pembatik ahli ini biasanya hanya mengerjakan pada satu sisi
(ngerengreng), sedangkan pada sisi lainnya (nerusi) dilakukan
oleh pembatik lain.
Hasil dari kegiatan pembatikan ini kemudian ditukarkan dengan
bahan baku dan
11
Dirjo Sugito, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten
Bantul,
16 November 2013.
-
52
upah yang di peroleh hanya sebatas upah tenaga yang tidak begitu
tinggi. Hampir
setiap Pabrik pembatikan aktif di Wijirejo pada tahun 1980
memproduksi
pembatikan. Sekitar 34 unit usaha atau pengrajin menekuni
pembatikan maka tak
heran apabila di tahun-tahun tersebut merupakan era emas dari
pemroduksian kain
batik di Wijirejo. Adapun metode atau cara pembatikan
menggunakan teknik batik
cap. Penggunaan teknik cap ini mulai populer digunakan di
Wijirejo pada tahun
1980-an.
Tabel 5
Jumlah Produksi Batik
di Wijirejo Pada Tahun 1980
No Tahun Jumlah Pengrajin Tenaga Kerja Hasil Batikan
1 1960 20 Unit Pengrajin 180 Pekerja 600 Lembar
2 1970 28 Unit Pengrajin 530 Pekerja 940 Lembar
3 1980 34 Unit Pengrajin 620 Pekerja 1.250 Lembar
4 1997 10 Unit Pengrajin 90 Pekerja 300 Lembar
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Tahun
1980, 1990.
Berdasarkan data tersebut diatas dapat diketahui bahwa jumlah
pengrajin
kain batik pada 1960 jumlah unit produksi kain batik di Desa
Wijirejo berjumlah
600 lembar. Jumlah hasil batikan pada tahun 1970 mengalami
peningkatan
menjadi 940 lembar kain batik. Pada tahun 1980 jumlah hasil
batikan kain batik
mengalami peningkatan menjadi 1.250 Lembar kain batik. Namun
pada tahun
1997 terjadi penurunan dari jumlah hasil batikan hanya menjadi
300 lembar.12
12
Laporan Dinas Perpengrajinan, Perdagangan dan Koperasi
Kabupaten
Bantul Tahun 1980, 1990
-
53
Dalam perkembangan masyarakat dan rentan waktu, batik
mengalami
perkembangan dalam materi dasar, ragam hias, teknik atau proses
kegunaannya.
Sebagai contoh, ragam hias pada masa awal terlihat sederhana
bentuk geometris
sederhana yang berupa lingkaran dan garis-garis yang kemudian
berkembang
semakin kaya dengan detail serta semakin rumit. perkembangan
ragam hias tidak
bisa di lepaskan dari perkembangan teknologi baik dalam
peralatan, bahan baku
maupun zat perintang pewarana. Sebelum dikenalkan dengan teknik
cap kegiatan
pembatikan dilakukan dengan cara ditulis lebih lama prosesnya,
satu potong Kain
batik memakan waktu sekitar kurang lebih satu bulan lamanya.
Penggunaan
metode atau teknik cap dalam pembatikan telah menyebabkan
pemroduksian
dapat berlangsung secara efektif dan efisien. Penggunaan cap
dalam pembatikan
mampu menghasilkan kain batik dalam jumlah yang banyak, satu
hari bisa
memproduksi kurang lebih 20 sampai 30 lembar kain batik.
Metode pewarnaan secara sintetis pada permulaan abad ke-20, (cat
atau
pewarna sintetis) dari Eropa mulai masuk kedalam pengrajin
batik. Apabila
dibandingkan dengan pewarnaan secara tradisional yang berbahan
dasar dari
tumbuhtumbuhan. Adapun zat warna dari tumbuhan yakni, daun nila
untuk
warna biru tua, kayu tegeran untuk warna kuning, dan kulit kayu
tingi dan jambal
untuk warna kuning dan merah coklat. Warna merah dari akar pohon
mengkudu.
zat warna ergan dan soga garam keduanya merupakan zat warna
sintetis khusus
-
54
untuk warna soga. Pewarnaan dengan menggunakan sintetis lebih
hemat dan
efektif dalam penggunaanya.13
Adanya inovasi tersebut menyebabkan jumlah produksi kain batik
di
tahun 1980-an mengalami masa jaya. Keuntungankeuntungan
produktifitas yang
dihasilkan menggunakan metode cap ini, dengan cepat
mengakibatkan adanya
pemusatan dalam kegiatan peroduksi kain batik. Penggunaan metode
atau teknik
cap ini mudah sekali diterapkan pada reproduksi polapola yang
mempunyai
penyaluran motif yang teratur, baik ke arah horizontal ataupun
verikal maupun
diagonal. Proses pembatikan secara cap memang diperuntukkan guna
produksi
pola-pola dengan unsurunsur pola yang lebih rapat.
Apabila ditilik secara lingkungan fisik, kegiatan pengrajin
batik di
Wijirejo dilakukan di rumah-rumah. Namun bukan berarti bahwa
pengrajin batik
di Wijirejo termasuk dalam pengrajin berskala kecil rumahan.
Penjabaran dari
kerja rumahan (home work atau home-based work) lebih berhubungan
dengan
produksi pengrajin di rumah dibandingkan di pabrik. Untuk
penggambaran yang
lebih mendalam berikut beberapa elemen struktural dari jenis
kerja tersebut :
1. Kerja rumahan bukanlah produksi komoditi kecil-kecilan
(pety
commodity production). Walapun bahan produksi dapat dimiliki
atau
disewa pekerja, tetapi para pekerja tidak menjalankan
usahanya
secara bebas, baik dalam hal membeli sarana maupun menjual
hasil
produksi di pasar. Selain itu kerja rumahan merupakan suatu
metode
13
Slamet, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul,
16
November 2013.
-
55
produksi (method of production). Perkerja rumahan bukanlah
sub-
kontraktor yang mengusahakan perusahaannya sendiri melainkan
pekerjaan yang diupah (buruh). Pendapatannya tergantung pada
keluaran (output) kerjanya (misalnya sistem target, kontrak,
atau
borongan) dan tidak tergantung jam kerjanya.
2. Kerja rumahan merupakan kerja kontrak dalam arti luas, baik
melalui
kontrak dengan seseorang atau beberapa pedagang maupun
pengusaha. Umumnya kontrak mengandalkan suatu perjanjian
lisan
yang disetujui seorang pedagang perantara (bakul),
pemborong,
ataupun wakil pabrik dan pekerja rumahan.
3. Kerja rumahan merupakan kerja upahan yang umumnya
berbentuk
upah berdasarkan hasil satuan produksi (per-potong atau
per-buah)
dan bukan berdasarkan jumlah jam kerja. Upah borongan tidak
diukur dalam per-unit waktu kerja, dan umumnya lebih rendah
jika
dihitung per-satuan jam kerjanya.
4. Kerja rumahan terutama merupakan pekerjaan sampingan
(causalized). Artinya prospek penyediaan pekerjaan tak
terjamin
terus menerus, tergantung pasang-surut permintaan musiman.
5. Panjang serta tenggang waktu kerja rumahan sangat longgar,
tidak
terikat dengan ketatnya disiplin waktu yang ditentukan oleh
institusi
pemberi kerja. Pada prinsipnya, pekerjaan dapat menentukan
sendiri
kapan mulai bekerja dan bebas untuk berhenti bekerja
sejenak.
-
56
6. Berkaitan dengan barang yang dihasilkan, aneka macam
barang
dibuat di rumah: kerajinan tangan, mainan, dos/kotak, bunga
plastik,
serta pakaian, kancing, alat-alat dapur.
7. Unsur struktur lokasi dan ruang kerja rumahan patut diberi
perhatian
khusus. Rumah sebagai tempat tinggal pekerja pada dasarnya
juga
merupakan lokasi pekerjaan rumah tangga.14
Sentra pengrajin kerajinan kain batik di Wijirejo dapat
dicirikan dalam
jenis golongan pengrajin kecil, bukan termasuk dalam jenis
pengrajin rumahan.
Hal ini berdasarkan pengertian dan penjabaran dari pengrajin
berskala kecil (small
scale industry) yakni suatu perusahaan yang agak lebih besar
dari pada pengrajin
rumah tangga dengan 5-19 pekerja dan satu atau dua orang yang
menjabat
majikan.
B. Juragan Pengrajin Batik di Desa Wijirejo
Latar belakang para pengusaha batik di Wijirejo dapat dirunut
dari
silsilah keluarga. Sebagian besar pengrajin batik masih bersifat
perseorangan yang
menetapkan menejemen keluarga. Latar belakang dari para juragan
atau
pengusaha pengrajin kain batik di Desa Wijirejo sebagian besar
merupakan
warisan dari orang tua mereka. Kegiatan usaha pembatikan akan
diserahkan
kepada anggota keluarga mereka (anak, cucu, dan seterusnya),
untuk mengurusi
proses pembatikan, yang meliputi produksi, dan pengaturan kerja,
baik mengenai
upah maupun tenga kerja.
14
Holzner, Brigitte, Gender dan Kerja Rumahan, dalam Jurnal
Prisma
(No. 3, Maret, 1992), hlm. 36.
-
57
Adapun rumah Pengrajin batik tertua terdapat di Desa Wijirejo,
dimiliki
Bapak Topo. Rumah indutri tersebut merupakan hasil warisan turun
temurun dari
orang tuanya. Sebelum menjadi seorang juragan kain batik, Pak
Topo ikut bekerja
menjadi seorang buruh pembatik. Menurut Pak Topo, dahulu ketika
beliau belajar
membatik tidak dilakukan dengan cara kursus, melainkan hanya
melihat secara
langsung dari proses terdahulunya dan mempraktekan.15
Tidak mengherankan
apabila dirunut para pemilik atau pengusaha kain batik di Desa
Wijirejo memiliki
hubungan kekeluargaan antara sesama pengusaha Pengrajin kain
batik.
C. Struktur Organisasi Pembatikan di Desa Wijirejo
Organisasi usaha pembatikan di Desa Wijirejo umumnya
termasuk
pengrajin keluarga. Pada pengrajin keluarga, yang bekerja dan
yang bertanggung
jawab terhadap jalannya pengrajin batik adalah suami dan isteri.
Anggota keluarga
yang lain baru diminta untuk membantu kalau diperlukan
tergantung dari besar-
kecil jumlah hasil produksi. Dalam pengrajin batik di Desa
Wijirejo keterlibatan
suami dan isteri cukup banyak. Suami umumnya mengurusi pekerjaan
yang
berhubungan dengan pengecapan, pencelupan dan pelorodan sampai
penjualan
batik dan pembelian bahan-bahan pembatikan. Isteri mengurusi
pembuatan pola
batik, ngerengreng, isen-isen, dan klowongan. Semua pekerjaan
ini yang lebih
sesuai dengan wanita, yang membutuhkan ketelitian dalam proses
tersebut.16
15
Topo HP, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul,
16
November 2013.
16Wakirah, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul,
16
November 2013.
-
58
Pengrajin batik tulis telah mengalami perkembangan yang panjang
ini
tidak dapat dilepaskan dari upaya para pengusaha yang selalu
mencari jalan dan
cara untuk menekan ongkos produksi, yaitu meningkatkan efisiensi
pembatikan.
Upaya untuk itu dilakukan dengan cara pembuatan pola yang sama,
kemudian
disunggingkan pada beberapa kain. Sunggingan ini mengarahkan
pembatikan agar
menapakkan canting pada pola tersebut, sehingga komposisi tetap
utuh sesuai
dengan sunggingan.
Akibatnya, pembatik kebanyakan harus lembur, yaitu segera
menyelesikan pekerjaan. Atau pekerjaan dibawa pulang untuk
dikerjakan secara
bersama-sama oleh beberapa orang. Pekerjaan bersama-sama pada
satu lembar
batik dapat mengakibatkan pola yang tidak sama, karena gaya
batikan seseorang
umumnya berbeda. Oleh sebab itu muncul beberapa jenis pembatik
sesuai dengan
keterampilan dan daya imajinasi masing-masing:
1. Pembatik klowongan adalah pembatik yang pintar
mereka-reka
klowongan yang hidup, yang akan diisi dengan isen-isen dan
klowongan yang mati, yang ditutup dengan malam, tidak dengan
isen-
isen. Pembuat batik klowongan adalah orang yang memiliki
daya
khayal tinggi dan mempunyai keahlian dalam menyusun
komposisi
ragam hiasnya.
2. Pembatik isen-isen adalah pembatik yang pintar dalam memberi
isen-
isen pada pola yang besar dan kecil. Karakter isen-isen harus
dekat
dengan karakter ragam hias.
-
59
3. Pembatik rengrengan adalah pembatik yang menggarap baik
klowongan ataupun isen-isen dari sisi yang pertama, karena
belah
pertama memerlukan imajinasi yang luwes.
4. Pembatik terusen adalah pembatik yang menggarap baik
klowongan
atau isen-isen dari belahan yang kedua. Untuk menjadi pembatik
ini
tidak diperlukan keterampilan tinggi, karena pekerjaanya
hanya
mengikuti tapak yang telah ada.
5. Pembatik popokan adalah pembatik yang mengerjakan menutup
ragam
hias yang dikehendaki sesuai dengan warna celupannya.
Tingkat
ketrampilan pembatikan popokan berada dibawah pembatik
isen-isen,
karena pembatik popokan tidak menapakkan garis atau titik
tetapi
blok-blok yang menutup ragam hias.
6. Pembatik tonyokan adalah pembatik yang menutup bidang latar
tonyok
sehingga bidang tersebut menjadi putih sesuai dengan warna
dasarnya.
Untuk mengontrol mutu dan mengurusi pekerjaan ini dilakukan
oleh
seorang juragan atau pengusaha. Adapun pencelupan dan
pelorodan
dikerjakan oleh tangan laki-laki.17
Upaya efisiensi dalam pengecapan dikenal penggolongan tukang
cap
sesuai dengan keterampilan masing-masing, adapun penggolongan
antara lain:
17
Ngadilah, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul,
14
Februari 20014.
-
60
1. Tukang cap rakitan adalah tukang cap yang menggarap
pengecapan
dengan cara merakitkan satu cap dengan cap lainya, misalnya
untuk
memperoleh ragam hias.
2. Tukang cap ceplok adalah tukang cap yang menggarap
pengecapan
ceplok atau ragam hias yang tidak perlu sambungan.
3. Tukang cap pinggiran adalah tukang cap yang menggarap
pengecapan
bagian pinggiran, misalnya buk dan papan.
4. Tukang cap byur adalah tukang cap yang menggarap
pengecapan
secara penuh, yaitu luas ukuran kain tanpa menggantikan
dengan
ragam hias tambahan. Jadi pada pengrajin batik cap, yang
berperan
banyak adalah tukang cap. Mereka melaksanakan pengecapan
rakitan,
ceplokan, pinggiran, dan byur.18
Modal awal usaha dikumpulkan dari kedua belah pihak, dari jumlah
kecil
dahulu. Para pengusaha batik di Desa Wijirejo sering mencari
masukan dari pasar
dengan cara mengobservasi pasar, sehingga para pengusaha
pengrajin batik di
Desa Wijirejo dapat menetapkan batik mana yang mudah digarap,
cepat selesai,
sederhana, dan menguntungkan. Hal ini perlu dilakukan oleh para
pengusaha batik
di Desa Wijirejo, sehingga batik yang nanti dikerjakan tidak
mendatangkan
kerugian bagi pengrajin batik.
18
Adiatmojo, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul,
11
Februari 20014.
-
61
D. Jenis Produksi Batik Di Desa Wijirejo
Batik dikatakan memiliki nilai seni tinggi karena batik sebagai
karya seni
tradisional dan telah mempunyai identitasnya, bagi daerah-daerah
yang pembatik
tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan atau kehidupan
kebudayaannya.19
Motif dan corak batik yang berkembang sangat dipengaruhi oleh
selera konsumen
sesuai dengan perkembangan model dan perkembangan zaman. Adapun
jenis
gambar motif dari kain batik yang dikerjakan di Desa Wijirejo
merupakan
manifestasi dari lingkungan sekitar atau alam sekitar yang
sering disebut sebagai
motif alas-alasan, seperti pepohonan, burung, bukan motif-motif
yang
disakralkan atau dipakemkan.
Dalam kain batik dikenal adanya pola sakral dan stratifikasi
motif, hal ini
didasarkan dari filosofi dari jenis dari kain batik
masing-masing. Sebagai contoh
motif atau jenis parang rusak barong, yang hanya boleh dikenakan
oleh seorang
raja. Motif kawung memiki filosofi ingat dan waspada. Wung dalam
Kawung
mengandung arti kembali kepada Tuhan. Hal ini tidak lepas dari
filosofi hidup
orang Jawa, (purwomadyowasono). Motif-motif tersebut mengadung
pengertian
hubungan manusia dengan alam, manusia dengan manusia, dan
manusia dengan
Tuhan.
Memakai motif Kawaung berarti harus menjaga sopan santun
serta
menghindari sikap arogan. Selain filosofi, pola dari kain batik
juga tak
sembarangan dikenakan. kain batik berpola Pethuk Manten
misalnya, digunakan
oleh mempelai pria untuk menjemput mempelai wanita. Lain lagi
dengan pola
19
Soedarso Sp, Seni Lukis Batik Indonesia Batik Klasik Sampai
Kontemporer, (Yogyakarta: Taman Budaya DIY, 1998), hlm. 80.
-
62
kain batik Semen yang biasa biasa dipakai untuk menggendong
bayi. Pola Semen
merupakan pengejawanthan dari orang tua agar kelak anaknya dapat
tumbuh dan
sejahtera. Motif Gerompol berarti berkumpul atau bersatu dengan
memakai kain
ini diharapkan berkumpul segala sesuatu yang baik seperti
rezeki, keturunan dan
kebahagiaan hidup. Motif Bledak Sidoluhur Latar Putih yang
bermakana
pemakainya akan selalu dalam keadan gembira.20
Hampir setiap Pabrik pembatikan aktif di Wijirejo pada tahun
1980
memproduksi pembatikan. Sekitar 34 unit usaha atau pengrajin
menekuni
pembatikan maka tak heran apabila di tahun-tahun tersebut
merupakan era emas
dari peroduksi kain batik di Wijirejo. batik Wijirejo memiliki
motif ciri khas
yakni batik latar putih , alas-alasan, dan batik sogan .21
Proses pembuatan
kain batik di Desa Wijirejo menggunakan warna biru tua dan soga
dengan
tahapan:
1. Membuat pola pada mori dengan menempelkan lilin batik
menggunakan canthing tulis/cap.
2. Menutup bagian-bagian pola yang dibiarkan tetap berwarna
putih
dengan lilin batik.
3. Mencelup mori yang sudah diberi lilin batik ke dalam warna
biru tua
sebagai dasar warna kain.
20
Okky. N, Mengungkap Makna Sehelai Batik, dalam Balkon (No.
9,
Oktober, 2006), hlm. 11.
21
Sri Sulastri, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak Kabupaten
Bantul, 24
Maret 2014.
-
63
4. Menghilangkan lilin klowong dari bagian-bagian yang akan
diberi
warna soga (cokelat) dengan menggunakan cawuk.
5. Penutup dengan malam bagian-bagian kain yang akan tetap
berwarna
biru, sedangkan bagian yang akan disoga tetap terbuka.
6. Mencelup mori ke dalam larutan soga menghasilkan warna
coklat.
7. Menghilangkan lilin batik dengan air mendidih.22
Tabel 6
Jumlah Produksi Batik
di Wijirejo pada Tahun 1980
No Tahun Jumlah Pengrajin Tenaga Kerja Hasil Produksi
1 1960 20 Unit Pengrajin 180 Pekerja 600 Lembar
2 1970 28 Unit Pengrajin 530 Pekerja 940 Lembar
3 1980 34 Unit Pengrajin 620 Pekerja 1.250 Lembar
4 1997 10 Unit Pengrajin 90 Pekerja 300 Lembar
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi Tahun
1990.
Berdasarkan data tersebut diatas dapat diketahui bahwa jumlah
pengrajin
kain batik pada tahun pada tahun 1960 jumlah unit produksi kain
batik di Desa
Wijirejo berjumlah 600 lembar dengan jumlah tenaga kerja 180.
Jumlah hasil
batikan pada tahun 1970 mengalami peningkatan menjadi 940 lembar
kain batik
jumlah tenaga kerja 530. Pada tahun 1980 jumlah hasil batikan
kain batik
mengalami peningkatan menjadi 1.250 lembar kain batik dengan
jumlah pekerja
22
Sri Muryati, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten
Bantul,
24 Maret 2014.
-
64
mencapai 620. Namun pada tahun 1997 terjadi penurunan dari
jumlah hasil
batikan hanya menjadi 300 lembar, sedangkan jumlah pekerja
menjadi 90.
E. Upah Tenaga Kerja Pembatik
Upah dalam sebuah industri dapat ditinjau dari dua segi. Dari
sudut
Sosial tingkat upah merupakan salah satu ukuran untuk menilai
kesejahteraan
buruh dan pemerataan pendapatan. Dalam hal inilah upah dapat
mempengaruhi
adanya investasi dan pemilihan jenis teknologi yang beragam.
Praktek atau kenyataannya dua segi upah ini tidaklah selalu
serasi, malah
sering bertentangan. Banyaknya jumlah tenaga kerja menyebabkan
rendahnya
upah dan tingkat hidup buruh.23
Meskipun berdasarkan ikatan keluarga, namun
upah juga penting untuk diperhatikan. Pemerintah sendiri telah
mengatur tentang
perlakuan terhadap buruh dan pengupahan. Hal ini tercermin dalam
dasar-dasar
penetapan upah buruh telah ditegaskan dalam pasal 3 UU
No.14/1969: tiap
tenaga kerja berhak atas pekerjaan dan penghasilan yang layak
bagi
kemanusiaan.24
Para pekerja tetap atau tenaga ini bekerja sehari selama tujuh
jam bekerja
di pengrajin kain batik di Wijirejo, yang dimulai dari pukul
delapan pagi sampai
pukul empat sore. Sementara untuk istirahat diberi waktu selama
satu jam dari
pukul dua belas sampai pukul satu siang. Waktu istirahat ini
biasanya
23Chris Manning, Ketimpangan Upah Buruh: penelitian pada
Industri Tenun dan Rokok Kretek , dalam Jurnal Prisma (No. 2, Mei,
1977), hlm. 39.
24
Danu Rudiono, Kebijakan Perburuhan Pasca Boom Minyak, dalam
Jurnal Prisma (No. 1, Januari, 1992), hlm. 70.
-
65
dipergunakan untuk beribadah sholat Dzuhur bagi yang beragama
Islam. Jumlah
hari kerja efektif mereka biasnya selama lima sampai enam hari
perminggu.
Apabila ada pesanan sedang ramai maka jam kerja mereka akan
bertambah
bahkan sampai malam hari.
Kewajiban dalam hal pemberian upah atau ongkos kerja kepada
para
tenaga kerjanya, pemilik pengrajin pembatikan kebanyakan
menggunakan sistem
borongan. Pemilik pembatikan melakukan pembayaran upah
pekerjannya
menggunakan sistem upah borongan yang bias hanya di berikan
sekali dalam
satu bulan. Upah borongan tersebut akan dihitung berdasarkan
jumlah produski
yang mampu diselesaikan oleh setiap pekerja.
Upah yang diberikan juragan untuk satu potong kain batik
besarnya
berbeda-beda, dalam satu hari mereka mampu menyelesaikan 15
hingga 24.
Besarnya upah tetap sangat lah bervariasi. Jumlah upah dihitung
sesuai dengan
keahlian dan lamanya masa mereka bekerja. Jadi pekerja yang
sudah terampil dan
memiliki masa kerja yang lama akan mendapatkan upah yang lebih
besar dari
pada mereka yang belum terampil.25
Menurut Dinas Perpengrajinan jumlah upah Pengecap ini lebih
tinggi
dibandingkan pekerja yang lain sedangkan menurut Bapak Topo
pemilik
pembatikan di Wijirejo, tingginya upah pekerjaan pengecap,
karena pekerjaan ini
menuntut ketelitian, kejelian, serta kretifiats yang tinggi.
Satu lembar kain batik
yang berukuran dua meter, harus di cap sampai empat kali. Baik
buruknya suatu
25
Tugiran, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul,
12
Februari 2014.
-
66
pengerjaan kain batik akan mempengaruhi nilai jual hasil
produksi tergantung dari
hasil batikan cap dari pekerja tersebut.26
Tabel 7
Besarnya Upah Pekerja Berdasar Jenis Aktivitas Kerja
Pengrajin kain Batik di Desa Wijirejo
(upah perlembar kain batik yang selesai dikerjakan)
No Tahun Pengecap Pewarnaan Penglorod
1 1960 Rp 300 Rp 250 Rp 250
2 1970 Rp 600 Rp 350 Rp 350
3 1980 Rp 3000 Rp 2500 Rp 2500
4 1990 Rp 6000 Rp 5000 Rp 5000
Sumber: Dinas Perindustrian, Perdagangan, dan Koperasi Tahun
1990, dan
Laporan Survey Ekonomi Desa Wijirejo Tahun 1960, 1990.
Makin berkembangnnya pembagian kerja pada proses pembuatan
batik
menyebabkan jumlah orang yang terlibat dalam proses pembuatan
batik juga
semakin bertambah banyak. Proses ini dilakukan secara berantai
menurut sifat dan
jenis kerja yang berbeda. Untuk proses pembuatan kain batik,
juragan batik
banyak mempekerjkan tetangga-tetangga dan sedikit para buruh
borongan dari
daerah pedesaan yang membatik sebagai pekerjaan tambahan atau
sambilan.
Dengan demikian orang yang berkaitan dengan kegiatan membatik
bertambah
banyak seiring dengan berkembangnya pembagian kerja dalam proses
pembuatan
kain batik. Buruh batik umumnya menerima upah atas dasar
perjanjian, upah
borongan didasarkan atas jumlah pekerjaan yang diselesaikan.
26
Topo HP, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul,
16
November 2013.
-
67
Sebelum diperkenalkannya teknik cap di Wijirejo, tenaga kerja
atau
pembatik wanita sangatlah dominan dalam pembuatan batik tulis.
Berbicara
tentang tingkat partisipasi angkatan kerja wanita di daerah
pedesaan, memang
lebih tinggi daripada di daerah perkotaan. Umumnya angkatan
kerja wanita di
pedesaan bekerja di sektor pertanian dan non pertanian seperti
di pengrajin.
Pembangunan dipedesaan dengan mengintrodusir mekanisme
pertanian
menunjukan adanya hasil yang melimpah. Namun dibalik itu
ternyata terjadi
penurunan partisipasi tenaga kerja. Penurunan jumlah tenaga
kerja yang paling
besar ada pada tenaga kerja wanita. Hal ini disebabkan karena
adanya sistem
tebasan dalam kegiatan pertanian, terutama ketika masa panen.
Mereka yang
terlempar dari sektor pertanian kemudian memasuki lapangan kerja
formal atau
indutri manufaktur, salah satunya bekerja di sektor pengrajin
kain batik.
Kegiatan ekonomi pedesaan tidak dapat dipisakan dengan kegiatan
di
sektor pertanian. Beberapa studi yang membahas peranan wanita di
sektor
pertanian cukup besar di samping kegiatan rumah tangga. Mereka
umumnya
bekrja dalam beberapa aspek produksi, panen, pasca panen,
distribusi pangan, dan
konsumsi. Peranan tersebut tidak saja pada kegiatan fisik tetapi
juga dalam
pengambilan keputusan. Dalam menambah penghasilan keluarga,
wanita selain
bekerja dari lahan sendiri dan sebagai buruh tani juga bekerja
di luar sektor
pertanian. Kegiatan diluar sektor pertanian tersebut antara lain
mengerjakan
kerajinan, usaha dagang kecil-kecilan, buruh musiman.27
Wanita dalam sektor
pengrajin batik mengambil peran dalam proses isenisen. Dalam
proses ini
27
Handewi P. Saliem, Potensi dan Partisipasi Wanita dalam
Kegiatan
Ekonomi Pedesaan dalam Jurnal Prisma (No. 6, Juni, 1995) hlm.
16.
-
68
diperlukan ketelitian dan kesabaran, kedua aspek tersebut
terdapat dalam diri
wanita, oleh karena itu wanita di fokuskan dalam hal-hal yang
membutuhkan
ketelitian dan kesabaran.
Masuknya wanita sebagai pekerja sering tidak menghilangkan
peran
mereka sebagai ibu rumah tangga. Hal ini berarti bahwa tanggung
jawab wanita
dalam rumah tangga menjadi ganda, disatu sisi bekerja sebagai
pencari nafkah
tetapi di sisi lain pula memiliki kewajiban sebagai pengurus
rumah tangga. Dalam
kebudayaan Jawa, wanita ditempatkan sebagi second sex, hal ini
tercermin dalam
ungkapan swarga nunut, neraka katut (surga ikut, neraka juga
ikut).
Meningkatnya tingkat partisipasi angkatan kerja wanita tersebut
berkaitan
dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk memberi hak yang
sama antara
pria dan wanita dalam bidang pendidikan dan kesadaran tentang
pentingnya
memberikan kesempatan kerja bagi penduduk baik pria maupun
wanita. Dalam
perekonomian pengrajin nasib buruh tergantung pada hukum pasar
yang
menentukan harga tenaga mereka. Keberadaan tenaga kerja pria
dalam pasar
tenaga kerja lebih baik daripada wanita yang umumnya lebih
rendah tingkatan
pendidikan dan keahliannya. Dalam perekonomian semacam itu
eksploitasi
terhadap tenaga kerja wanita dapat terjadi.
Semakin sempitnya lahan pertanian telah mendorong untuk
memperoleh
pendapatan terdapat suatu pola migrasi yang mereka lakukan dalam
aktivitasnya.
Untuk mempertahankan hidup mereka terjadi mobilitas fenomena
keluar dan
kedalam. Pola mobilitas kedalam yakni mobilitas yang dilakukan
dengan mencari
penghasilan dengan mempertahankan pertanian sebagai penghasilan
mereka, dan
-
69
tidak jarang mereka melakukan sampai diluar dari desa bahkan
juga sampai
kecamatan untuk memperoleh pekerjaan dibidang pertanian maupun
pengrajin.
Munculnya pembatik atau tenaga batik di Wijirejo, Pandak,
Kabupaten
Bantul melalui dua cara yaitu, kemunculan seorang pengrajin atau
pembatik
karena adanya dorongan dari dalam dirinya sendiri yang berupa
semangat untuk
memperoleh sumber pendapatan baru. Mereka melihat bahwa usaha
pembatikan
mampu mendatangkan hasil dan dapat memberikan jaminan pendapatan
yang
layak bagi keluarga.
Untuk menjadi seorang calon pembatik dilakukan melalui beberapa
cara
antara lain, lewat maggang ataupun belajar sendiri. Magang dapat
diartikan yakni,
mereka ingin menjadi pembatik biasanya akan ikut bekerja dahulu
kepada seorang
pengrajin yang sudah lama berdiri dengan menjadi seorang
pembatik. Melalui
cara ini mereka akan mendapat pengetahuan mengenai proses
produksi.
Apabila mereka sudah merasa mampu maka biasanya akan
memisahkan
diri untuk membuka usaha sendiri. Adapun cara lain untuk menjadi
seorang calon
pembatik adalah dengan belajar sendiri. Adapun yang dimaksud
dengan belajar
sendiri yakni mereka secara mandiri membuka usaha pembatikan
tanpa
mendapatkan pendidikan ketrampilan mengenai pembatikan dari
orang lain.
Tenaga kerja yang terlibat dalam usaha Pembatikan di Dusun
Wijirejo,
Pandak Kabupaten Bantul ini merupakan pekerjaan tetap atau
disebut sebagai
tenogo. Pekerja tetap ini mengerjakan pekerjaan di tempat
pemilik usaha.
Keuntungan mempekerjakan tenogo ini adalah pemilik usaha
pembatikan dapat
mengontrol secara langsung hasil pekerjaan yang mereka lakukan,
tetapi pengrajin
-
70
harus mengeluarkan ongkos tambahan untuk penyediaan makanan dan
minuman.
Sebagian pekerja yang direkrut adalah laki-laki, dan sedikit
pekerja wanita.
Mereka dapat dikatakan kekiutsertaannya dalam usaha pembatikan
ini sudah
turun-temurun.
Adanya usaha pembatikan ini mampu menyerap tenaga kerja,
sehingga
mengurangi pengangguran di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten
Bantul. Mereka
yang bekerja dalam usaha pembatikan kebanyakan diambil dari
kalangan
penduduk Wijirejo sendiri, tetapi adapula pekerja yang berasal
dari daerah sekitar
seperti Pajangan, Bantul, bahkan ada yang berasal dari luar
kabupaten tepatnya
dari daerah Rotowijayan, sekitar Pojok beteng kraton Yogyakrta,
namun
prosentasenya sedikit.
Jumlah pekerja yang mampu dipekerjakan oleh pembatik sangat
beragam. Perbedaan jumlah pekerja ini sangat tergantung dari
besar kecilnya
usaha mereka. Suatu pengrajin batik yang volume usahanya besar
tentu memiliki
jumlah pekerja yang banyak. Rata-rata setiap indsutri batik di
daerah Wijirejo
mampu melibatkan tenaga kerja sekitar lima sampai dua puluh
tenaga kerja pada
tahun 1980 jumlah tenaga kerja di daerah pembatikan di Desa
Wijirejo mampu
menyerap tenaga kerja sampai 620 orang pekerja. Pekerja
diperoleh dari
lingkungan sekitar, dan pada hakikatnya para pekerja tersebut
masih ada
hubungan saudara. 28
Pekerja yang rajin dan memiliki peran penting dalam proses
pembatikan di berikan perlakuan khusus dalam lingkungan
pengrajin. Hal tersebut
28
Sri Sulastri, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten
Bantul,
24 Maret 2014.
-
71
bertujuan agar pekerja yang pandai dan terampil tidak berpindah
ke juragan lain
atau membuka usaha kerajinan sendiri.
Tabel 8
Jumlah Tenaga Kerja Pengrajin Batik di Desa Wijirejo
No Tahun Jumlah Tenaga Kerja
1 1960 180 Pekerja
2 1970 530 Pekerja
3 1980 620 Pekerja
4 1997 90 Pekerja
Sumber: Laporan Pertanggung Jawaban Desa Wijirejo dan Dinas
Perindustrian,
Perdagangan tahun 1960, 1970, 1980, 1997.
Apalagi jika seorang pekerja tersebut menempati pada posisi yang
vital,
misalkan tukang pengecap yang sudah ahli dan memiliki kepandaian
yang lebih
jika di bandingkan dengan pekerja lain maka juragan tersebut
akan memberikan
perlakuan khusus terhadapa pekerja tersebut. Kekeluargaan antara
juragan dan
pekerja juga terlihat ketika pekerja sedang mengalami sakit,
maka dengan cepat
akan dibawa untuk berobat.29
Sebagai seorang juragan batik di Desa Wijirejo akan sangat malu
jika
salah seorang dari pekerjannya sampai mengalami sakit yang
berkepanjangan
tanpa dibawa untuk berobat. Hal ini dikarenakan pekerja yang
diperlukan adalah
29
Sri Sulastri, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten
Bantul,
24 Maret 2014.
-
72
tenaga dan pikirannya. Apabila kondisi badan pekerja kesehatanya
terganggu
maka kegiatan produksi dari suatu pengrajin akan terganggu
pula.30
Perlakuan khusus yang dimaksud disini adalah juragan sering
memberikan bonus ketika produknya buatannya laku keras atau
bingkisan ketika
menjelang hari raya Idhul Fitri atau Idhul Adha . Pekerja yang
seperti ini sangat
dijaga oleh seorang juragan, karena untuk mendapatkan seorang
pengecap yang
ahli dan pandai sangatlah sulit untuk ditemukan. Oleh karena itu
juragan kain
batik memberikan tempat khusus dari salah satu sudut rumahnya
untuk dijadikan
sebagai tempat istirahat bagi pekerja yang spesial.31
Tempat pekerjaan pembatikan yang menetap dengan rumah
juragan
merupakan salah satu faktor mengapa antara juragan dan pekerja
tersebut
memiliki ikatan batin yang kuat, pekerja dianggap sebagai
anggota keluarga
bukan diukur berdasarkan ikatan upah. Dalam sebuah pengrajin
kain batik dikenal
adanya istilah rolasan. Para pekerja di pengrajin kain batik di
Wijirejo pada waktu
rolasan biasanya di berikan makanan seadanya oleh pemilik atau
juragan, biasnya
nasi sayur dan telur, serta air putih untuk menghilangkan
dahaga. Setelah selesai
makan para pekrja yang beragama Islam menunaikan ibadah sholat
Dzuhur di
rumah pemilik pengrajin batik tersebut. Selain itu diselasela
waktu istirahat
30
Topo HP, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul,
16
Nopember 2013.
31
Paijo, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten Bantul,
14
Februari 2014.
-
73
pekerja juga menghibur diri dengan mendengarkan radio, adapun
saluran favorit
yakni lagulagu Jawa ataupun campur sari.32
32
Sri Sulastri, wawancara di Desa Wijirejo, Pandak, Kabupaten
Bantul,
24 Maret 2014.