41 BAB III SEJARAH PERKEMBANGAN SYAIR GULONG 1970-1990 A. Definisi Syair dalam Budaya Melayu Sebelum membahas Syair Gulong dan masuk ke perkembangannya, mari sejenak melihat kepada asal muasal syair itu sendiri. Syair berasal dari kata syi’ar yang dalam bahasa Arab berarti penyampaian 46 . Syair berasal dari kata Arab syi’r, yang berarti ‘sajak’, ‘puisi’, menjadi bentuk genre pokok tertulis Melayu selama periode klasik. Sejarah syair sebagai sastra Melayu klasik merupakan perjalanan panjang pertumbuhan budaya Melayu di Nusantara, terbentang dari awal masuknya Islam di Nusantara, hidup di kerajaan-kerajaan Islam Aceh, hingga menjadi euforia di seluruh penjuru Nusantara. Sedangkan dari kacamata kesusasteraan Syair adalah berupa kuatren- kuatren berima tunggal yang berpola aaaa, bbbb, cccc dll, dan yang dari segi irama agak sederhana 47 . Matra atau irama kuatren-kuatren ini seperti halnya pada banyak genre folklor Melayu, berdasar kepada larik-larik yang relatif bersifat isosilabel yang biasanya satu larik terdiri dari sembilan sampai tigabelas silabel atau suku kata; dan lebih lazim lagi tersusun dari sepuluh atau sebelas silabel. Larik-larik itu dibagi oleh sebuah jeda larik dalam dua bagian yang hampir sama, dan yang pada umumnya masing-masing merupakan satuan-satuan sintaksis yang utuh 48 . Masalah asal-muasal syair menarik perhatian para sarjana sejak tahun 1952, 46 Wawancara dengan Mahmud Mursalin, 1 Agustus 2014. 47 V.I. Braginsky.,Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad 7-19. hlm. 63.
47
Embed
BAB III SEJARAH PERKEMBANGAN SYAIR GULONG 1970 … filesejenak melihat kepada asal muasal syair itu sendiri. Syair berasal dari kata syi’ar yang dalam bahasa Arab berarti penyampaian46.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
41
BAB III
SEJARAH PERKEMBANGAN SYAIR GULONG 1970-1990
A. Definisi Syair dalam Budaya Melayu
Sebelum membahas Syair Gulong dan masuk ke perkembangannya, mari
sejenak melihat kepada asal muasal syair itu sendiri. Syair berasal dari kata syi’ar
yang dalam bahasa Arab berarti penyampaian46. Syair berasal dari kata Arab syi’r,
yang berarti ‘sajak’, ‘puisi’, menjadi bentuk genre pokok tertulis Melayu selama
periode klasik.
Sejarah syair sebagai sastra Melayu klasik merupakan perjalanan panjang
pertumbuhan budaya Melayu di Nusantara, terbentang dari awal masuknya Islam
di Nusantara, hidup di kerajaan-kerajaan Islam Aceh, hingga menjadi euforia di
seluruh penjuru Nusantara.
Sedangkan dari kacamata kesusasteraan Syair adalah berupa kuatren-
kuatren berima tunggal yang berpola aaaa, bbbb, cccc dll, dan yang dari segi irama
agak sederhana47. Matra atau irama kuatren-kuatren ini seperti halnya pada banyak
genre folklor Melayu, berdasar kepada larik-larik yang relatif bersifat isosilabel
yang biasanya satu larik terdiri dari sembilan sampai tigabelas silabel atau suku
kata; dan lebih lazim lagi tersusun dari sepuluh atau sebelas silabel. Larik-larik itu
dibagi oleh sebuah jeda larik dalam dua bagian yang hampir sama, dan yang pada
umumnya masing-masing merupakan satuan-satuan sintaksis yang utuh48.
Masalah asal-muasal syair menarik perhatian para sarjana sejak tahun 1952,
46 Wawancara dengan Mahmud Mursalin, 1 Agustus 2014. 47 V.I. Braginsky.,Yang Indah, Berfaedah dan Kamal Sejarah Sastra Melayu Dalam Abad
7-19. hlm. 63.
42
ketika P. Voor Hoeve tahun 1968 mengemukakan sebuah hipotesis tentang
timbulnya bentuk puisi ini. Berikut adalah contoh syair Melayu dalam Braginsky :
Dengarkan Tuan mula rencana
Disuratkan oleh dagang yang hina
Karangan janggal, banyak tak kena
Daripada paham belum sempurna
Daripada hati sangatlah morong
Dikarangkan syair seekor burung
Sakitnya kasih sudah terdorong
Gila merawan segenap lorong
Pertama mula pungguk merindu
Berbunyilah guruh mendayu-dayu
Hatinya rawan bercampur pilu
Seperti dihiris dengan sembilu
Perjalanan definisi syair sastra Melayu klasik ampai kepada kalangan
ilmuwan terdahulu yang menganggap bahwa syair berasal dari Timur Tengah
cenderung memandang rubai (ruba’i), sebuah pola puisi yang menggunakan saj
dan terdiri dari dua baris yang keduanya saling berhubungan. Ruba’i Parsi yang
terkenal itu dianggap sebagai prototipe dari rangkap-rangkap syair. Alasan ini ialah
bahwa salah satu bentuk rubai yang jarang terdapat itu pun menggunakan ruma
yang bersinambung pada semua baris, yaitu berpola aaaa. Tetapi seperti yang
diketahui bahwa di dalam sastra Parsi tidak dikenal puisi-puisi panjang yang
tersusun dari beberapa rubai. Menurut kaidah puitika Arab-Parsi, setiap bait
merupakan satu kesatuan yang utuh dan selesai ; karena rubai lazim terdiri dari dua
kesatuan semantik yang selesai49. Adapula pendapat lainnya mengenai kaidah sajak
seperti yang ditulis oleh Braginsky sebagai berikut :
49 Ibid.
43
Menurut pendapat A. Teeuw ‘sejawang’ ialah bentuk rancu dari kata ‘sajak’
dalam arti ‘rima’ (A.Teeuw 1966a:437). Namun dugaan yang lebih
mungkin agaknya, bahwa istilah saj’ Arab Parsi itulah yang dimaksud di
dalam kutipan dari Hamzah tersebut. Apalagi justru istilah ini pulalah yang
menjadi asal kata Melayu ‘sajak’, yaitu rima. Jika dugaan saj’ itu kita terima
maka seluruh kalimat tersebut lalu bisa diartikan sebagai : “Tentang ini ...,
masing-masing empat (kali digunakan) saj’”.
Dalam tulisannya Braginsky menerangkan bahwa sajak dalam
kesusasteraan syair Melayu periode klasik mengalami pelepasan diri secara
substansi dari kesusasteraan syair Arab-Parsi. meskipun dalam prosesnya, karya-
karya sastra Hamzah al-Fansuri tetap menggunakan kaidah Parsi sebagaimana
mestinya, namun pertumbuhan karya-karyanya kemudian memperkenalkan sebuah
bentuk baru yang kemudian menjadi pondasi bagi karya sastra Melayu di
Nusantara.
Banyak hal dalam syair Hamzah yang tidak mempunyai analogi dengan
puisi Timur Tengah. Hal ini terutama mengenai irama syairnya yang murni Melayu,
yang sedikitpun tidak menunjukkan jejak-jejak pengaruh arud atau sistem irama-
irama Arab-Parsi. Hal demikian juga berlaku pada struktur rimanya yang khas, yang
bisa dilihat pada lebih dari tiga perempat dari rangkap-rangkapnya. Rima ini
barangkali bisa dikatakan sebagai rima yang berselang atau rima yang berasonansi.
Suluh-guruh-musuh-tubuh, atau pingai-bisai-bidai-tirai, yang tidak hanya
dirasakan oleh kesesuaian antara akhir-akhir kata, tetapi juga antara vokal dari
sukukata sukukata kedua dari belakang, sedangkan konsonan-konsonan antarvokal
dari kata-kata yang berima itu tidak bersesuaian satu sama lain50. Inilah tipe rima
50 Ibid.,hlm, 229.
44
yang sangat lazim dalam puisi lisan Melayu, khususnya pantun-pantun rakyat, yang
memperlihatkan angka 45-50 persen dari seluruh rima, dan lebih khusus lagi pada
puisi lisan masyarakat Batak yang tinggal di daerah dekat Barus, yaitu tempat
kelahiran Hamzah.
Jika melepaskan tentang definisi syair menurut Hamzah Al Fansuri, maka
kita akan mengenal bentuk puisi yang disebut dengan puisi tirade. Di dalam tirade
ini rima-rima atau asonansi-asonansi yang bersinambung menyatukan baris-baris
dalam kelompok-kelompok yang tak sama panjangnya51.
Tradisi tirade mungkin sudah lazim di Aceh dalam abad ke 16-17 terlihat
dalam sejumlah selingan puisi yang terdapat pada Taj As-Salatin, yang sangat mirip
dengan tirade, dan tidak sesuai dengan sebutan-sebutan genre Parsi yang
mendahuluinya. Ini juga diperlihatkan dalam sebuah fragmen dari syair karangan
Abd al-Jamal, seorang penyari dari mazhab Hamzah Fansuri. Fragmen kuatren
syair berturut-turut dalam satu rima, yang tampaknya seperti rangkap-rangkap
dalam delapan atau bahkan enam belas baris dengan rima bersinambung.
Di dalam sejarah Melayu kata nyanyi dimaksudkan sebagai pantun atau
kuatren dengan rima silang. Kadang-kadang sajak-sajaknya lebih pendek dari pada
yang biasa, dan dalam hal irama mirip dengan nyanyian anak-anak. Disamping
kuatren-kuatren yang berima silang dalam nyani terdapat rangkap-rangkap atau
‘tirade-tirade’ dengan rima bersinambung. Perihal adanya nyanyi dengan rima
bersinambung ini dibuktikan oleh sebuah puisi dari kronik lain yang berjudul
Hikayat Banjar. Kecuali tidak hanya berlaku untuk nyanyian-nyanyian pendek,
51 Ibid.
45
tetapi juga untuk karya-karya puisi yang panjang.
Perkembangan kesusasteraan Melayu yang berkembang di Nusantara pada
abad ke-19. Sebelumnya, perhelatan sastra-sastra Arab yang kemudian menjadi
awal bagi munculnya sastra Melayu ini berawal dari negeri Aceh, dimana Islam
berkembang pesat baik di kerajaan maupun wilayah secara keseluruhan. Dari
munculnya sastra-sastra Arab-Parsi hingga timbulnya perhelatan diantara kaum
ulama dan sastrawan Aceh terkait dengan kesusasteraan yang cenderung berkiblat
kepada Sufisme. Dari paruh kedua abad ke-16 sampai ke-19, sastra sufi Melayu
memperlihatkan evolusi ide-ide yang mendalam52.
Ide-ide wujudiyah tentang kemanunggalan hakiki Alam Raya, tentang sifat
simboliknya yang berlapis-lapis dan tentang Cinta Ilahi sebagai sekaligus sumber
dan alasan Penciptaan serta juga jalan untuk naik ke Pencipta, telah melahirkan baik
‘alegori-alegori statis’ tersebut di atas di dalam bentuk syair maupun ‘alegori-
alegori dinamis’ dalam bentuk hikayat yang beralur cerita.
Filosofi kesufian dalam kepenulisan sastra tersebut secara perlahan
mengundang kritik. Konsep-konsep wujudiyah yang dalam bentuknya yang
ekstrem menimpa batas-batas doktrin agama Islam, tidak mungkin tidak
membangkitkan reaksi defensif dari Islam Ortodoks.
Ini menjadi kentara karena sebelum pertengahan abad ke-17 di dalam karya-
karya Nuruddin Ar-Raniri, dan terutama dengan sangat terang menonjol dalam
karya-karya para pengarang yang tergolong mazhab Sufi Palembang dan Riau pada
akhir abad-abad ke-18 dan ke-19.
52 Ibid., hlm. 281.
46
Pada masa kesusasteraan Melayu klasik, evolusi karya-karya sastra adalah
bukan hanya menciprakan kesadaran diri berkarya tetapi juga menumbuhkan sistem
baru yang membentuk karakter dan genre-genre sastra itu masing-masing. Selain
itu, periode tersebut merupakan pergantian zaman kepengarangan tanpa nama
menjadi kepengarangan dengan nama. Bentuk perubahannya pun sangat luas,
seperti tidak adanya boundary bagi penulis yang harus benar-benar mengarang
sesuai karangan tertentu ataukah menulis dengan beberapa alasan lainnya hanya
agar dirinya dicantumkan dalam karya sastra tersebut. Adapula model kepenulisan
yang mencantumkan nama seseorang yang disandarkan kepadanya, dalam artian, si
penulis membubuhkan nama yang menginspirasinya dalam menulis, menisbatkan
tulisan sastranya kepada orang-orang tertentu.
Beberapa nama pengarang, baik itu penulis aslinya ataupun penyunting,
atau pencerita atau tokoh yang hanya dianggap sebagai sumber ceritanya pada masa
itu seperti Maulana Syekh Ibnu Abu Bakar yang menulis dan menceritakan Hikayat
Bena Syahdan Syekh Muhammad Asyik Abd al-Fakar, mungkin pengarang
Hikayat Isma Yatim, dan Sultan Mahmud Baddaruddin dari Palembang, pengarang
Hikayat Martalaya53. Dan Sultan Mahmud Baddaruddin dari Palembang daru
Palembang, pengarang Hikayat Martalaya. Meskipun begitu, hikayat-hikayat
petualangan ajaib sebenarnya menunjukkan masalah tentang mengapa karangan-
karangan dalam sebuah genre selalu anonim, yang dalam proses transmisinya tetap
memberikan tunjuk ketidaktentuannya teks-teks tersebut, mulai dari penisbatan
kepada tokoh-tokoh tertentu.
53 (Roorda van Eysinga 1821:1), (Drewes 1977:266), dalam Braginsky., hlm. 282.
47
Tulisan-tulisan sastra Melayu genre “lama” kedua yaitu kronik sejarah,
mencantumkan nama Tun Seri Lanang, penyunting atau pemrakarsa penciptaan
untuk Sejarah Melayu resensi Johor. Raja Culan yang menulis sebagian dari Misa
Melayu, para pengarang kronik Johor lainnya seperti Gusti Jamril, Raja Ahmad,
Raja Ali Haji dan beberapa lainnya, dan penulis kronik Palembang dari abad ke-19
seperti Kyai Rangga Setianandita Ahmad, Pangeran Tumenggung Karta Manggala
dan Demang Muhiddin54. Semua mereka itu adalah wakil-wakil bangsawan istana.
Tentu saja jumlah nama-nama pengarang tersebut tidak banyak mengingat luasnya
hikayat petualangan ajaib dan karangan-karangan sejarah lainnya di luar
lingkungan kerajaan. Tetapi hal tersebut tetap menjadi perhatiap pada
perkembangan prinsip kepengarangan pribadi dalam sastra Melayu.
Lain dengan kondisi genre-genre baru yang dikategorikan masuk dalam
kesusasteraan Melayu periode klasik. Lebih dari 30 nama pengarang syair telah
dikenal. Lain dengan keadaan genre-genre “baru” yang dimasukkan dalam sastra
Melayu baru semasa periode klasik. Lebih dari tiga puluh nama pengarang semua
ragam syair telah dikenal. Pengarang-pengarang ‘syair Sufi’ abad ke-17 Hamzah
Fansuri, Hasan Fansuri, Abd al-Jamal Syamsuddin dari Pasai Abd Rauf dari Singkel
dan muridnya Mansur semuanya melanggar anonimitas sastra syair Melayu55.
‘Syair sejarah’ pertama yang bertanda, dan untuk jangka lama juga satu-
satunya, ialah Syair Perang Mengkasar gubahan Enci’ Amin, sekretaris Sultan
Hasanuddin Makasar, juga ditulis di abad ke-17. Tradisinya diikuti dalam abad ke-
54 (Drewes 1977:228-229), dalam Braginsky. hlm, 282. 55 Loc.cit.
48
18 oleh Raja Culan, Abdurrahman, Abdulkadir, Enci’ Abdulla. Dalam abad ke-19,
‘syair-syair keagamaan dan sufi’ serta ‘syair sejarah’ oleh pengarang perseorangan
tetap ditulis.56”
B. Definisi Syair Gulong dan Syarat Persebarannya
Kesusasteraan Melayu memiliki banyak keluarga kecil, salah satunya
adalah kesenian Melayu Kalimantan Barat, Syair Gulong. Syair Gulong merupakan
salah satu kesenian bertutur syair Melayu yang hidup di masyarakat Melayu
Ketapang, Kalimantan Barat. Kesenian ini termasuk kekayaan sastra dan seni
masyarakat Melayu Ketapang yang lestari hingga saat ini. Disebut Gulong karena
dialek Melayu Kalimantan Barat yang mengucap huruf ‘u’ terdengar seperti ‘o’.
Dalam berbagai penelitian, bahasa Syair Gulong kerap dilatinkan atau
dibahasaindonesiakan penulisannya menjadi syair gulung.
Syair Gulong sebelumnya bernama waraqah atau kengkarangan. Hal ini
disebabkan syair tersebut hanya berisikan pendahuluan saja, atau pengantar sebuah
latar belakang surat. Nama tersebut kemudian berubah menjadi Syair Gulong.
Gulong adalah dialek Melayu dari gulung atau gulungan karena Syair Gulong
ditulis di kertas yang kemudian di gulung dan lama kelamaan karena syair itu selalu
digulung dan digantung pada paruh burung kertas dipuncak dahan kayu57 maka
akhirnya disebut Syair Gulong.
Persebaran kesenian Syair Gulong sarat dengan perjalanan sejarah kerajaan
Tanjungpura, kerajaan tradisional terbesar di Kalimantan Barat. Perpindahan pusat
56 Ibid., hlm 283. 57 Hermansyah Ismail “Syair Gulung Sastra Peninggalan Kerajaan Tanjungpura Kabupaten
Ketapang”. Makalah disampaikan pada 18 April 2013.
49
dan ibukota kerajaan, perang melawan Belanda, hingga masa-masa keruntuhannya
adalah garis besar perjalanan yang sedikit tidaknya memberikan pengaruh terhadap
nilai-nilai budaya yang ditinggalkannya, salah satunya adalah kesenian syair
gulong.
C. Perkembangan Syair Gulong dalam Kerajaan Tanjungpura
Dalam lingkungan keraton, sebuah kesenian Syair Gulong berawal dari
proses menciptakan dan melagukan bait-bait syair. Syair Gulong adalah tentang
menuturkan dan melagukan sebuah syair, baik itu hikayat ataupun cerita. Orang
yang dinilai pandai dalam belagu dan memiliki suara yang indah akan dengan
mudah didapuk menjadi penyair Gulong. Penuturan dan melagukan syair ini
memiliki proses pembelajaran yang cukup unik dalam menciptakan kesenian
tradisional khas Kerajaan Tanjungpura tersebut.
Di dalam lingkungan keraton, Syair Gulong atau kengkarangan yang
dituturkan berawal dari sebuah cerita dan hikayat. Hikayat dan cerita tersebut
tertulis dalam kitab-kitab kecil. Buku-buku yang dibacakan bermacam-macam
mulai dari tafsir syarah dari kitab-kitab besar fiqih dan tasawuf yang masuk ke
kerajaan selama proses Islamisasi berlangsung, hingga ke cerita masyhur seperti
Siti Zubaidah atau Dandan Setie58.
Pembacaan syair dilakukan setiap selesai shalat magrib di masjid keraton.
Setelah selesai shalat, Imam masjid mengumpulkan pemuda dan anak-anak yang
ikut shalat berjamaah di masjid, kemudian bersama-sama membaca Al-Quran.
Setelah belajar mengaji, kemudian Sang Imam mengajarkan kitab-kitab cerita dan
58 Wawancara dengan Bapak Mahmud Mursalin 1 Agustus 2014.
50
hikayat yang ditulis dalam bahasa Arab Melayu. Kemudian, Imam mengajarkan
menulis Arab Melayu berikut dengan cara membacakan cerita dan hikayat tersebut.
Imam masjid yang mengajarkan bertutur syair adalah seorang ahli agama
yang pandai dalam membaca Al-Quran dan memiliki suara yang indah dalam
membacakannya. Lantunan tersebut kemudian dipergunakan dalam membacakan
atau menuturkan syair.
Setelah Imam mengajarkan bagaimana menulis Arab Melayu dan
menceritakan syair-syair tersebut, Imam kemudian mengajarkan bagaimana
menuturkan syair-syair itu dengan lagu-lagu. Melagukan syair ini kemudian diikuti
oleh pemuda dan anak-anak dalam membacakan syair-syair tersebut.
Proses belajar berlanjut kepada pembuatan syair. Setiap Imam masjid akan
melihat dan memilih murid-muridnya yang mana yang memiliki suara dan lagu
yang bagus dalam melantunkan syair. Kemudian, Sang Imam memberikan syair
atau cerita yang dikarang olehnya sendiri kepada murid-murid tersebut untuk
dituturkan kepada mereka. Tak jarang, Sang Imam berpesan kepada mereka untuk
mencoba berlatih menciptakan syair mereka sendiri59.
Penuturan merupakan tahap selanjutnya setelah proses belajar memciptakan
dan membacakan Syair Gulong. Menuturkan Syair Gulong di lingkungan kerajaan
terbagi menjadi dua jenis ; formal dan informal. Dalam acara-acara resmi kerajaan
(royal escort), raja atau pangeran atau putera mahkota berhak mengundang penutur
syair terbaik dari rakyatnya dan memberinya kesempatan untuk menuturkan Syair
Gulong di hadapan keluarga atau tamu kerajaan.
59 Wawancara dengan Bapak Uti Saban, 3 Agustus 2014.
51
Dalam jenis informal, Syair Gulong dituturkan untuk acara yang bersifat
previlege atau kekeluargaan saja. Semisal menunggu atau menimang bayi dalam
kegiatan tanggal pusat, atau berguru ngaji, hingga bahkan menemani tidur sang
raja, atau pangeran, atau putera mahkota. Syair Gulong, dituturkan pada setiap jenis
tersebut. Keluarga kerajaan akan memanggil penutur Syair Gulong terbaik di
kampung, kemudian dipersilahkan menuturkan syair terbaiknya dalam setiap
kegiatan kekeluargaan tersebut. Beberapa syair yang tercatat dalam perjalanan
sejarah kerajaan Tanjungpura akan dijelaskan sebagai berikut :
1. Jenis-Jenis Kitab, Hikayat, Cerita, dan Syair yang dituturkan
Pada masa awal pemerintahan kerajaan Tanjungpura, teks-teks Syair
Gulong yang pada zaman dahulu disebut dengan Kengkarangan adalah nukilan dari
beberapa kitab-kitab syair maupun hikayat yang kemudian dibacakan di depan
majelis maupun pagelaran keraton. Berikut adalah beberapa jenis kitab, hikayat,
cerita yang kemudian dituturkan :
a. Syair Perang Mengkasar 1670
Syair sejarah pertama yang bertanda, dan untuk jangka lama juga satu-
satunya, ialah Syair Perang Mengkasar gubahan Enci’ Amin60. Ditulis antara bulan
Juni 1669 dan Juni 1670, syair ini menceritakan peperangan diantara orang
Makassar dan orang Belanda. Pada masa itu, Syair ini dikenal dengan nama Syair
Sipelman. C.Skinner yang telah mengkaji dengan mendalam syair ini berpendapat
bahwa Syair Sipelman adalah judul yang kurang tepat. Sipelman bukan tokoh
utama syair ini.
60 Loc.cit.
52
Syair ini juga bukanlah perjuangan seorang tokoh, melainkan apa yang
berlaku dalam peperangan Makassar dan Belanda. Pengarang syair ini adalah Encik
Amin. Ia adalah seorang peranakan Melayu-Makassar. Ia pernah menjadi juru tulis
Sultan Goa. Karena kedudukannya ini ia mengetahui benar tentang hal-hal yang
berlaku di istana serta dalam dunia perniagaan. Hampir semua orang penting dan
saudagar besar dikenalnya. Encik Amin juga mempunyai pengalaman hidup yang
luas sekali.Tahu akan ajaran tasawuf dan Sastra Melayu Lama. Itulah sebabnya
syair ini ditulis dalam Bahasa Melayu tanpa ada pengaruh Bahasa Makassar.
Berikut adalah cuplikan syair Perang Mengkasar :
Bismiallah itu suatu firman
Fardulah kita kepadanya iman
Muttasil pula dengan rahman
Hasil maksudnya pada yang budiman
Rahman itu sifat
Tiada bercerai dengan kunhi zat
Nyatanya itu tiada bertempat
Barang yang bekal sukar mendapat
Rahim itu siat yang sedia
Wajiblah kita kepadanya percaya
Barang siapa yang mendapat dia
Dunia akhirat tiada berbahaya
Alhamduliallah tahmid yang ajla
Nyatanya dalam kalam Allah ala
Mudah terkhusus bagi hak taa ala
Sebab itulah dikarang oleh wali Allah
Setelah sudah selesai pujinya
Salawat pula akan nabi-Nya
Di sanalah asal mula tajallinya
Kesudahan tempat turun wahyunya
Muhammad itu Nabi yang khatam
Mengajak ke hadrat rabbi al-alam
Sesungguhnya dahulu nyatanya (kelam)
53
Dari pada pancarnya sekalian alam
Salawat itu masyhur lafaznya
Telah termazhur pada makhluknya
Allahumma salliaalaihi akan agamanya
Di sanalah nyata sifat jamalnya
Tuanku sultan yang amat sakti
Akan Allah dan rasul sangatlah bakti
Suci dan ikhlas di dalam hati
Seperti air ma’al-hayati
Daulatnya bukan barang-barang
Seperti manikam yang sudah di karang
Jikalau dihadap sengala hulubalang
Cahaya durjanya gilang gemilang
Raja berani sangatlah bertuah
Hukumannya ‘adil kalbunya murah
Segenap tahun zakat dan fitrah
Fakir dan miskin sekalian limpah
Sultan di Goa raja yang sabar
Berbuat ‘ibadat terlalu gemar
Menjauhi nabi mendekatkan amar
Kepada pendeta baginda belajar
Baginda raja yang amat elok
Serasi dengan adinda di telo’
Seperti embun yang sangat sejuk
Cahayanya limpah pada segala makhluk
Tiadalah habis gharib kata
Sempurnalah baginda menjadi sultan
Dengan saudaranya yang sangat berpatutan
Seperti emas mengikat intan
Bijaksana sekali berkata-kata
Sebab berkapit dengan pendeta
Jikalau mendengar khabar berita
Sadarlah baginda benar dan dusta
Kekal ikrar apalah tuanku
Seperti air zamzam di dalam sangku
Barang kehendak sekalian berlaku
Tentaranya banyak bersuku-suku
54
Patik persembahkan suatu rencana
Mohon ampun dengan karunia
Arutnya janggal banyak ta’kena
Karena ‘akalnya belum sempurna
Mohonkan ampun gharib yang fakir
Mencatatkan asma di dalam sya’ir
Maka patik pun berbuat sindir
Kepada negeri asing supaya lahir
Tuanku ampun fakir yang hina
Sindirnya tidak betapa bena
Menyatakan asma raja yang ghana
Supaya tentu pada segala yang bijaksana
Maka patik berani berdatang sembah
Harapkan ampun karunia yang limpah
Tuanku ampuni hamba Allah
Karena aurnya banyak yang salah
Tamatlah sudah memuji sultan
Tersebutlah perkataan Welanda syaitan
Kornilis Sipalman penghulu kapitan
Raja Palakka menjadi panglima
Berkampunglah welanda sekalian jenis
Berkatalah Jenderal Kapitan yang bengis
Jikalau alah Mengkasar nin habis
Tunderu’ kelak raja di Bugis61
Syair ini diawali dengan pemanjatan syukur kepada Allah, disertai Nabi
Muhammad SAW sebagaimana bagian awal Syair Melayu pada umumnya.
Kemudian syair ini mulai menceritakan Sultan Makassar dan kondisi pemerintahan
pada masa itu, raja yang bijaksana, dan rakyat yang tentram menjadi gambaran
secara umum pemerintahan kerajaan Islam di Sulawesi.
Lalu konflik muncul dengan datangnya rumor penjajah Belanda yang ingin
61 Syair Perang Makassar 1670. Syair Perang Mengkasar (dahulu bernama Syair
Sipelman), berisi tentang perang antara orang-orang Makassar dengan Belanda,
menaklukkan Palakka, dan menguasai seluruh Makassar. Bait-bait selanjurnya
menceritakan ketegangan di kedua belah pihak, bagaimana pihak kerajaan menolak
tawaran Belanda, teror dan ancaman Belanda kepada suku Bugis yang akan
dibumihanguskan jika mereka kalah berperang, Sultan Makassar yang membakar
semangat rakyatnya untuk tidak takut melawan penjajah, dan bait-bait heroik
lainnya yang tersusun di setiap baris syair lanjutannya.
Meskipun sebenarnya, belum ada afiliasi yang kuat antara syair perang
Mengkasar terhadap kesenian Syair Gulong serta bukti-bukti otentik mengenai
apakah syair ini pernah dicitasi sebagian isinya dan dibacakan di depan khalayak
ataupun public space sejenisnya. Tetapi jika kembali kepada substansi kitab-kitab
syair yang berkembang pada masa kerajaan-kerajaan. Sastra syair tersebut
memiliki pengaruh yang cukup besar dan terhadap kepenulian sastra syair di
Kalimantan Barat.
b. Syair Siti Zubaidah (awal abad ke-19)
Syair Siti Zubaidah merupakan syair Melayu yang berasal dari Kesultanan
Brunei Darussalam. Syair ini populer pada awal abad ke-19. Syair ini berkisah
tentang seorang wanita bernama Siti Zubaidah. Syair ini masuk ke Kalimantan
Barat melalui persahabatan yang terbangun diantara kerajaan Brunei dengan pusat-
pusat kota Kerajaan Tanjungpura di Sukadana, dan Sambas. Berawal dari
datangnya “Raja Tengah” Sultan Brunei Darussalam ke Sukadana, hubungannya
dengan Panembahan Giri Kusuma berjalan sangat baik, bahkan Raja Brunei
tersebut diangkat menjadi wazir untuk Kerajaan Tnjungpura yang kemudian diutus
56
ke Keraton Sambas untuk menjadi wakil Tanjungpura disana62.
Datangnya Raja Tengah ke Kalimantan Barat secara substansi menjadi
tanda awal persebaran kitab-kitab syair Melayu klasik abad-abad 18 dan 19 di
berbagai wilayah. Syair Siti Zubaidah adalah salah satunya, yang kemudian
berkembang di lingkungan keraton. Kemudian menyusul Kerajaan Banjar, yang
dibawa oleh Sultan Dirilaga. Sultan Dirilaga adalah Raja yang bertahta di
Tanjungpura, putera dari Panembahan Giri Mustika, dan cucu dari Panembahan
Giri Kusuma. Namun beliau memerintah Tanjungpura dalam waktu yang singkat
lalu meninggalkan Tanjungpura dan menetap di Martapura63, Kerajaan Banjar. Hal
tersebut kemudian menjadi awal dari datangnya kesusasteraan syair ini di Banjar.
Berikut adalah cuplikan syair Siti Zubaidah dari beberapa citasi :
mulutnya manis bijak laksana
barang lakunya semuanya kena
putih kuning unsur sederhana
memberi hati gundah gulana
dapatlah nama puteri zubaidah
awal dan akhir tidak sudah
sebarang lakunya memberi faedah
menundukkan orang terlalu mudah
semuanya sudah dibawah perintahnya
tunduk dan kasih akan ianya
terkena di dalam lemah lembutnya
lemahlah hati segala seterunya
itulah akal orang sempurna
bijak bestari arif laksana
ditanggung dahulu bina dan dina
kemudian kebesaran juga tersedia
62 Departemen Pendidikan Nasional, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Direktorat Sejarah
dan Nilai Tradisional. Sukadana : Suatu Tinjauan Sejarah Kerajaan Tradisional Kerajaan
Kalimantan Barat. (Pontianak : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2000), hlm. 51. 63 Ibid., hlm. 60.
57
isi mana kita dapat mencari
seperti akal, zubaidah puteri
takut dan tunduk segala puteri
patutlah jadi mahkota negeri
c. Kitab-kitab Syair
Kitab-kitab syair merupakan fase awal dari perjalanan sejarah Syair Gulong
masyarakat Melayu di Kalimantan Barat. Kitab-kitab syair adalah euforia panjang
dari perjalanan sejarah kesusasteraan Melayu klasik.
Syair-syair Melayu periode baru dengan judul seperti Syair Siti Zubaidah,
Syair Dandan Setie, merupakan sebagian kitab syair yang kepengarangannya telah
ditulis diantara abad ke-18 dan 19, hanya saja ketidak-tentuannya penulis ataupun
pengarangnya menjadi persoalan lain atas merebaknya anonimitas dalam berkarya,
terutama karya sastra kitab syair Melayu. Salah satu contohnya ada pada bagian
akhir dari Syair Sultan Madhi berikut :
“Telah diselesaikan daripada mengecap Syair Madhi ini kepada 18 Rabi’ul
Akhir 1332, tercap ditempat cap Haji Muhammad Amin Kemakdang
Tembagi, rumah nomer 7 Jln. Baghdadi, Street Negeri Singapura.64”
Footage tersebut ditemukan di bagian akhir dari kitab Syair Sultan Madhi.
18 Rabi’ul Akhir 1332 merupakan tanggalan Hijriah menunjukkan waktu dimana
syair tersebut selesai ditulis. Pada bagian tersebut tidak terdapat pencantuman nama
pengarang atau penulis ataupun pencerita dari karyanya.
Tetapi tidak tercantumnya nama-nama pengarang dalam beberapa kitab
syair memiliki pertumbuhan yang tidak merata. Beberapa dari karya sastra kitab di
abad ke-19 justru ada yang mencantumkan nama pengarangnya pada bagian depan
64 Syair Sultan Madhi 1923., hlm. 153
58
ataupun akhir dari tulisannya, beberapa lainnya justru ada yang hidup di abad ke-
17 ataupun 18.
Perkembangan yang sporadis tersebut tidak selalu menjamin pertumbuhan
kepengarangan sastra syair kitab dan juga pertumbuhan kesusasteraan Melayu
khususnya di Kalimantan Barat. Kitab-kitab syair tumbuh baik di lingkungan
Kerajaan Tanjungpura maupun di eksternal lingkaran keraton atau masyarakat
secara umum. Beberapa buku kitab justru dimiliki oleh rakyat biasa yang tinggal
diluar kerajaan. Proses kepemilikan buku pun cukup unik dengan memberikan kitab
kepada orang yang dipercaya pantas memilikinya karena dianggap berilmu dan
beragama dengan baik65.
d. Kitab Fiqih dan Tasawuf (1900)
Kitab Fiqih dan Tasawuf adalah salah satu kitab dari ribuan kitab-kitab
Islam kuno yang hidup pada abad ke-19 hingga abad ke-20. Kitab ini merupakan
kitab yang menjadi media penyampaian Islam di Nusantara, termasuk di
Kalimantan Barat secara umum dan Kerajaan Tanjungpura secara khusus.
Meski secara umum tidak ada afiliasi yang begitu berhubungan dengan
kesenian Syair Gulong, kitab-kitab fiqih secara substansi memiliki ikatan yang
sama dengan kesenian syair tersebut dalam hal khasanah keagamaan, yaitu Islam.
Pada masa kitab-kitab syair, konsep penuturan syair selalu diselipkan nasihat-
nasihat atau pesan-pesan keagamaan sehingga munculnya kearifan bagi pendengar
akan khasanah agama Islam.
65 Wawancara dengan Mahmud Mursalin 1 Agustus 2014.
59
Gambar 1. Halaman depan Kitab Jin dan Manusia, salah satu jenis Kitab Fiqih
dan tasawuf
Salah satu kitab Fiqih dan Tasawuf pada medio 1900-an adalah kitab yang
ditulis oleh Daud bin Abdullah bin Idris (1321 Hijriah atau setara dengan tahun
1900 Masehi). Kitab tersebut adalah kitab fiqih Islam dan tasawuf yang ditulis
dalam bahasa Arab-Melayu, dan Arab. Penulis buku tersebut, Daud bin Abdullah,
adalah seorang penuntut ilmu dari Kalimantan Barat yang belajar ilmu fiqih dan
tasawuf di Madinah Al-Munawwarah.
e. Syair Dandan Setie 1900
Belum ada periodisasi yang pasti mengenai ditulisnya kitab syair ini.
Penelitian membuktikan bahwa Syair Dandan Setie merupakan salah satu karya
sastra yang ditulis setelah perhelatan panjang yang terjadi di komunitas sastrawan
dan sufi di Aceh. Syair ini dibacakan kepada Gusti Muhammad Saunan, Raja ke-
16 sekaligus raja terakhir untuk Kerajaan Mulia Kerta, kerajaan keturunan
Tanjungpura yang terakhir. Syair ini dituturkan ketika ia beranjak ke tempat
60
tidurnya dan istirahat66. Para penutur syair akan duduk di pelataran kamar Raja dan
menuturkan cerita dari syair tersebut hingga Raja tertidur.
Syair Dandan Setie merupakan cerita rakyat berbentuk syair yang eksis
pada masa Kerajaan Tanjungpura. Pada 1900-an, syair ini kemudian ditulis dalam
bentuk buku. Syair ini bercerita tentang seorang kekasih yang setia menemani
seorang laki-laki yang sakit akibat wabah penyakit yang melanda lingkungannya.
f. Syair Bulan Terbit 1922
Syair berjudul Bulan Terbit ini diterbitkan pada tahun 1922 Masehi atau
sekitar 1343 Hijriah. Syair ini merupakan nukilan yang menukil kitab-kitab fiqih
dan Tasawuf berkenaan dengan hukum-hukum dalam agama Islam67. Syair ini
digunakan untuk pembelajaran hukum fiqih dan tasawuf baik di internal keraton
maupun di masjid-masjid. Berikut adalah penggalan awal sebuah syair berjudul
Syair Bulan Terbit :
Bismillah ayat mula dikata
Alhamdulillah puji yang nyata
Bersholawat kepada Nabi yang Mulia
Ikatan Sekalian Ulama Auliya
Kemudian daripada itu wahai saudara
Buat nasehat laki-laki perempuan
Membuat syair belawan bias
Dengan tolongan Tuhan yang Esa
Ada tatkala suatu hari
Mengambil kertas hamba syair
Hamba namakan syair yang pasti
Dengan tolongan Robbul izzati
Jadi serupa ini karangan
Pegang nasehatnya dibuang jangan68
Salah satu pasal di dalam syair Bulan Terbit adalah Pasal Syukur Kepada
66 Wawancara dengan Bapak Mahmud Mursalin 1 Agustus 2014. 67 Wawancara dengan Bapak Hermansyah 3 Agustus 2014. 68 Syair Bulan Terbit. (Brunei Darussalam : 1922)., hlm. 4.
61
Tuhan, Allah Azza Wa Jalla. Dalam bait-bait bab syukur tersebut, menguraikan
betapa tak terhingganya karunia Tuhan kepada manusia, seperti kenikmatan
batiniah beriman kepada Allah, nikmat Islam, dan hal-hal religius lainnya yang
menjadi tiang pondasi dalam agama Islam.
g. Syair Abdul Muluk 1938
Syair Abdul Muluk adalah kitab syair yang bertanggal 1334 Hijriah atau
setara dengan tahun 1938 Masehi. Syair ini merupakan syair yang diterbitkan oleh
Kerajaan “Tengah” Brunei Darussalam. Syair Abdul Muluk adalah sebuah syair
yang cukup terkenal. Syair ini pertama kali dimuat di dalam majalah Tydschrift van
Nederlansch Indie tahun 1847 dan diberi terjemahan dalam Bahasa Belanda oleh
Roorda van Eysinga. Menurut Eysinga, karya ini dinazamkan dengan Bahasa
Melayu Johor yang terpakai pada masa itu oleh Sri Paduka Yang Tuan Muda Raja
Ali Haji ibn Raja Ahmad.
Tetapi menurut A.F. Von de Wall, Raja Ali hanya memperbaiki saja.
Pengarannya adalah saudara perempuannya yang bernama Salihah. Balai Pustaka
tahun 1934 pernah menerbitkan suatu edisi yang berdasarkan tiga naskah, yaitu
terbitan Eysinga, Von de Wall, dan satu lagi naskah cetakan baru di Singapura yang
diusahakan oleh Akbar Saidina dan Haji Muhammad Yahya. Berikut adalah
cuplikan syair Abdul Muluk dari beberapa citasi :
Berhentilah kisah raja Hindustan
Tersebutlah pula suatu perkataan
Abdul Hamid Syah paduka Sultan
Duduklah baginda bersuka-sukaan
Abdul Muluk putra baginda
Besarlah sudah bangsawan muuda
Cantik menjelis bijak laksana
62
Memberi hati bimbang gulana
Kasih kepadanya mulia dan hina
Akan rahmah puteri bangsawan
Parasnya elok sukar dilawan
Sedap manis barang kelakuan
Sepuluh tahun umurnya tuan
Sangatlah suka duli mahkota
Melihat puteranya besarlah nyata
Kepada isteri baginda berkata
“Adinda nin apalah bicara kita?
Kepada fikir kakanda sendiri
Abdul Muluk kemala negeri
Baiklah kita beri beristeri
Dengan anankanda Rahmah puteri”
Syair Abdul muluk mengisahkan putera dari Sultan Abdul Hamid Syah,
Abdul Muluk yang baru saja beranjak muda. Secara umum bait-bait syairnya
menceritakan akhlak, kebaikan, kecerdasan dari putera bangsawan tersebut dan hal-
hal kebaikan yang ia lakukan selama menjadi putera mahkota hingga didapuk
menggantikan ayahnya menjadi seorang Sultan.
h. Timbulnya Konsep Kepengarangan Pribadi
Perhelatan yang terjadi di kalangan sufi Aceh berujung kepada pendorongan
tumbuhnya kesusasteraan Melayu yang sporadis di beberapa wilayah dan
cenderung tidak merata serta mengalami proses evolusi yang terbentang dari masa
penyebaran Islam di Nusantara hingga masa kini.
Munculnya teks-teks syair tanpa nama dimulai dengan perjalanan
kesusasteraan Melayu klasik yang terjadi di Semenanjung Malaka, dan Aceh.
Dalam periode klasik dari evolusi sastra Melayu, tidak saja terbentuk ‘kesadaran
diri’ sastra dan berdasarkan itu lahirlah sistem ‘bentuk-bentuk genre’ serta genre-
63
genre tersendiri. Tetapi juga pada saat inilah ketika transisi dari kepengarangan
tanpa-nama ke bernama mulai terjadi69.
Pada Masyarakat Melayu Kalimantan Barat secara hakikat mereka memiliki
tradisi bersastra, yang relatif baik. Masing-masing wilayah kebudayaan memiliki
Aktivitas sastra tulis ; kengkarangan atau lebih dikenal dengan sebutan syair gulung
berkembang di wilayah kebudayaan Melayu Ketapang, Pantun terdapat di seluruh
wilayah kebudayaan Melayu Kalimantan Barat. Khusus di wilayah kebudayaan
Melayu Pontianak terdapat tundang, sebuah kesenian yang memadukan pantun dan
tundang, serta kesenian hadrah di beberapa titik di kota Pontianak ; sementara di
wilayah kebudayaan Melayu Sanggau terdapat joda dan jolai.
Mereka juga masih menyenandungkan syair-syair lama seperti Syair Siti
Zubaidah, Syair Nabi Bercukur, Syair Dandan Setie, Syair Tuan Madi, dan lain
sebagaimana terdapat di wilayah kebudayaan Melayu Sambas, Melayu Pontianak
Melayu dan Melayu Hulu Kapuas. Masyarakat Melayu Kalimantan Barat juga
memiliki stok tradisi lisan yang cukup banyak. Di wilayah kebudayaan sambas,
sebagian besar cerita hidup dalam tradisi Bercerite Bedande.
2. Teks-Teks Syair Melayu Lainnya yang Dituturkan
Tidak seluruh kitab-kitab syair yang muncul di abad ke-18 dan 19
merepresentasikan Syair Gulong karena ada juga teks-teks syair Melayu yang tidak
dibukukan, atau berbentuk kitab, dituturkan. Atau malah kitab-kitab tersebut justru
mewakili eksistensi Sastra Melayu Klasik yang telah hidup dari abad ke-7 jika
ditinjau secara judul karya-karya syair tersebut. Karena pada umumnya aktivitas
69 Loc.cit.
64
kesastraan Syair Gulong adalah berbentuk lisan dan wujud pelestarian tradisi ini
adalah dituturkan dari generasi ke generasi. Yang menjadi salah satu sebab
kebendaan Syair Gulong sangat rentan karena syair yang ditulis kontekstual, aktual
mewakili jiwa zamannya, tetapi lemah dalam penyimpanan tulisan-tulisan syair.
Berikut adalah judul-judul teks syair yang berhasil diselamatkan, di dalam
Chairil Effendy, Sastra sebagai Wadah Integrasi Budaya, adalah sebagai berikut :
“...Masyarakat Melayu Ketapang juga masih aktif menuturkan
pantun dan teks-teks lisan berbentuk cerita. Melalui proyek “Identity,
Ethnicity, and Unity in Western Borneo : The Oral Traditions of
Contemporary Kalimantan Barat and Sarawak” Tahap II (2001-2002), yang
menekankan pada pengumpulan data bahasa, berhasil dikumpulkan
sejumlah teks cerita di dua kampung yang berada di pinggir Sungai Laur.
Teks-teks dimaksud adalah Anjing Sakti, Biak Kumang, Bunga Lima
Warna Sekuntum Pancawarna, Dayak Melayu, Gunong Palong, Jodoh
dengan Malaikalmaut, Kuda Ragam, Mak Miskin Nanggok, Mak Sogeh,
Malin Kundang, Manjang dengan Rimo, Orang Ulu, Pak Aluy Mansang
Penjerat, Pelandok & Nek Gergasi, Pelandok dan Buaya, Pelandok dengan
Singe, Pelandok Menaci Laok, Putri Kepala ‘Asu’, Seragak dengan Si
Gantang, Si Miskin dengan Raja, dan Tuan Putri Empunai70.”
a. Bercerite dan Bedande
Syair Gulong bukanlah satu-satunya kesenian bertutur syair yang
berkembang di seluruh elemen Melayu di Kalimantan Barat. Ada beberapa
kesenian serupa lainnya yang memiliki karakternya masing-masing. Bercerite dan
Bedande adalah salah satunya. Bercerite atau bercerita merupakan aktivitas
penuturan teks lisan secara biasa oleh tukang cerita. Pada umumnya, Bercerite
dilakukan oleh orang-orang tua, baik pria maupun wanita. Jumlah teks Bercerite
dan Bedande adalah banyak. Pada tahun 1992 berhasil direkam kurang lebih 100
buah teks cerita di kampung-kampung yang berada di kecamatan Sejangkung dan
70 Chairil Effendy, Sastra sebagai Wadah Integrasi Budaya (Pontianak : STAIN Pontianak
Press, 2006), hlm. 92.
65
Kecamatan Sekura71. Uraian jumlah teks Bercerite dan Bedande adalah
sebagaimana yang ditulis dalam Chairil Effendy, Sastra sebagai Wadah Integrasi