28 BAB III RITUAL KEMATIAN DO HAWU DAN MAKNA PENDAMPINGAN PASTORAL Pada bagian ini, penulis akan memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukan terhadap 9 (sembilan) informan seperti orang Sabu yang dituakan (tokoh-tokoh adat) yang tinggal di Kupang, orang Sabu yang pernah melakukan ritual tersebut, serta pendeta dan majelis yang berasal dari suku Sabu (data primer) serta data sekunder dari beberapa buku sebagai bahan acuan. Pembahasan pada bab ini dibagi dalam 3 (tiga) bagian yang diatur sebagai berikut : (1) Gambaran umum lokasi penelitian, (2) Ritual kematian suku Sabu, (3) Pendampingan Pastoral oleh Pejabat Gereja. 3. 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Sebelum membahas tentang kota kupang sebagai lokasi penelitian, penulis akan membahas sedikit mengenai orang Sabu sebagai subyek penelitian. Pulau Sabu atau Rai Hawu adalah bagian Kabupaten Kupang. Merupakan pulau terpencil dengan luas 460,78 kilometer persegi, berpenduduk sekitar 30.000 jiwa dengan sifat mobilitas tinggi, karena itu penyebarannya ke seluruh Nusa Tenggara Timur (NTT) cukup menyolok. 53 Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak WD, bapak YB dan bapak DTB, diketahui bahwa masyarakat Sabu menganut agama asli jingitiu sebelum menganut agama Kristen. Kini 80% mayarakat Sabu beragama Kristen Protestan. Meskipun begitu pola pikir dan prilaku mereka masih dipengaruhi oleh agama asli jingitiu. Hal ini menarik untuk dilihat karena nilai-nilai luhur agama asli masih tetap dipegang dan dipelihara dengan baik, walaupun ritual adatnya tidak lagi dilakukan secara penuh. 53 Diunduh dari http://joezindo.blogspot.com/ , Kamis, 31 Mei 2012, pada pukul 11.36 AM
49
Embed
BAB III RITUAL KEMATIAN DO HAWU DAN MAKNA …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/2891/4/T2_752010006_BAB III... · PASTORAL Pada bagian ini, penulis akan memaparkan hasil penelitian
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
28
BAB III
RITUAL KEMATIAN DO HAWU DAN MAKNA PENDAMPINGAN
PASTORAL
Pada bagian ini, penulis akan memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukan
terhadap 9 (sembilan) informan seperti orang Sabu yang dituakan (tokoh-tokoh adat) yang
tinggal di Kupang, orang Sabu yang pernah melakukan ritual tersebut, serta pendeta dan
majelis yang berasal dari suku Sabu (data primer) serta data sekunder dari beberapa buku
sebagai bahan acuan. Pembahasan pada bab ini dibagi dalam 3 (tiga) bagian yang diatur
sebagai berikut : (1) Gambaran umum lokasi penelitian, (2) Ritual kematian suku Sabu, (3)
Pendampingan Pastoral oleh Pejabat Gereja.
3. 1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Sebelum membahas tentang kota kupang sebagai lokasi penelitian, penulis akan
membahas sedikit mengenai orang Sabu sebagai subyek penelitian. Pulau Sabu atau Rai
Hawu adalah bagian Kabupaten Kupang. Merupakan pulau terpencil dengan luas 460,78
kilometer persegi, berpenduduk sekitar 30.000 jiwa dengan sifat mobilitas tinggi, karena itu
penyebarannya ke seluruh Nusa Tenggara Timur (NTT) cukup menyolok.53
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak WD, bapak YB dan bapak DTB,
diketahui bahwa masyarakat Sabu menganut agama asli jingitiu sebelum menganut agama
Kristen. Kini 80% mayarakat Sabu beragama Kristen Protestan. Meskipun begitu pola pikir
dan prilaku mereka masih dipengaruhi oleh agama asli jingitiu. Hal ini menarik untuk dilihat
karena nilai-nilai luhur agama asli masih tetap dipegang dan dipelihara dengan baik,
walaupun ritual adatnya tidak lagi dilakukan secara penuh.
53 Diunduh dari http://joezindo.blogspot.com/, Kamis, 31 Mei 2012, pada pukul 11.36 AM
Gambar 1.
Berdasarkan hasil pengamatan dan hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap
2 (dua) informan, yaitu bapak WD dan YB, maka diketahui ada kurang lebih 5 (lima) daerah
penyebaran terbesar masyarakat asal Sabu yang merantau di propinsi NTT, yaitu : kota
Kupang dan sekitarnya, Ende – Flores, Maumere
Diperkirakan selitar 30 - 40% dari total masyarakat Suku Sabu merantau
tersebut. Hal ini dilakukan karena daerah
perdagangan yang langsung berhadapan dengan Laut Sawu dan Pulau Sabu atau juga karena
ada faktor lain.55 Selain itu menurut pengamatan penulis, daerah
daerah yang cukup maju di wilayah NTT, sehingga mereka akan mudah mendap
pekerjaan sesuai dengan keahlian dan keinginan mereka.
54 Gambar diunduh dari http://orangsabu.blogspot.com/2009/01/lokasiSenin, 4 Juni 2012, pada pukul 06.55 AM55 Ibid.
29
Gambar 1. Peta penyebaran Orang Sabu di daerah NTT54
Berdasarkan hasil pengamatan dan hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap
2 (dua) informan, yaitu bapak WD dan YB, maka diketahui ada kurang lebih 5 (lima) daerah
penyebaran terbesar masyarakat asal Sabu yang merantau di propinsi NTT, yaitu : kota
Flores, Maumere – Flores, Waingapu – Sumba, Reo
40% dari total masyarakat Suku Sabu merantau ke daerah
Hal ini dilakukan karena daerah-daerah itu merupakan daerah-daerah pelabu
perdagangan yang langsung berhadapan dengan Laut Sawu dan Pulau Sabu atau juga karena
Selain itu menurut pengamatan penulis, daerah-daerah tersebut merupakan
daerah yang cukup maju di wilayah NTT, sehingga mereka akan mudah mendap
pekerjaan sesuai dengan keahlian dan keinginan mereka.
Gambar diunduh dari http://orangsabu.blogspot.com/2009/01/lokasi-penyebaran-orang-sabu-perantau.html, Senin, 4 Juni 2012, pada pukul 06.55 AM
Berdasarkan hasil pengamatan dan hasil wawancara yang penulis lakukan terhadap
2 (dua) informan, yaitu bapak WD dan YB, maka diketahui ada kurang lebih 5 (lima) daerah
penyebaran terbesar masyarakat asal Sabu yang merantau di propinsi NTT, yaitu : kota
Sumba, Reo – Flores.
ke daerah-daerah
daerah pelabuhan dan
perdagangan yang langsung berhadapan dengan Laut Sawu dan Pulau Sabu atau juga karena
daerah tersebut merupakan
daerah yang cukup maju di wilayah NTT, sehingga mereka akan mudah mendapatkan
perantau.html,
30
Dari kelima daerah tersebut, penulis memilih kota Kupang sebagai daerah yang
akan diteliti mengenai ritual kematiaan suku Sabu, karena di kota Kupang mayoritas
masyarakatnya beragama Kristen Protestan dan merupakan daerah yang paling maju (ibukota
propinsi NTT), serta menjadi daerah favorit untuk dijadikan tempat perantauan orang Sabu.
Selain itu juga bahasa pergaulan sehari-hari pun sama dengan orang Sabu yang tinggal di
daerah perkotaan. Masyarakat Sabu yang berada di kota Kupang juga masih melakukan ritual
kematian secara tradisional, walaupun ada yang tidak lagi melakukannya secara lengkap. Hal
ini bagi penulis menarik dilihat karena orang yang tinggal di daerah perkotaan telah
tercampur dengan berbagai pengaruh perkembangan zaman sehingga akan sangat menarik
ketika adat istiadat mereka tidak serta merta dibuang tetapi masih terus dipelihara dengan
baik, walaupun adat tersebut tidak dilakukan secara penuh.
Gambar 2. Peta Kota Kupang (tempat penelitian)56
56 Gambar diunduh dari Diunduh dari http://nttprov.go.id/provntt/index.php?option=com_content&task=view&id=68&Itemid=66, Senin, 4 Juni 2012, pukul 07.05 AM
31
Berdasarkan informasi dari website resmi pemerintah provinsi Nusa Tenggara Timur57 Kota
Kupang terletak di ujung barat daya Pulau Timor. Secara topografis terdiri dari dataran rendah dan
pegunungan kapur. Kota ini sebelah utara berbatasan dengan teluk Kupang, sebelah timur
dengan kecamatan Kupang Tengah dan Kupang Barat, sebelah selatan dengan kecamatan
Kupang Barat, dan sebelah barat dengan kecamatan Kupang Barat Kabupaten Kupang dan
selat Semau. Luas kota Kupang mencapai 180,27 km. Kota kupang terbagi dalam empat
kecamatan, yaitu: Alak, Maulafa, Oebobo, dan Kelapa. Luas kabupaten Kupang mencapai 7.178,26
km², terbagi dalam 19 kecamatan. Jumlah penduduk kabupaten Kupang mencapai 419.641
jiwa dengan tingkat kepadatan 59 jiwa/km². Hampir semua wilayah kabupaten Kupang dan
kota Kupang adalah daerah perbukitan kapur yang kering dan gersang.
3. 2. Ritual Kematian Suku Sabu
3. 2. 1. Jenis dan Proses Ritual Kematian Suku Sabu
Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis kepada bapak YB58 dan bapak WD59
diketahui bahwa Made atau meninggal menurut kepercayaan orang Sabu adalah keadaan
dimana seseorang akan kembali kepada sang pencipta (Deo Ama) untuk berkumpul bersama
dengan para leluhur. Arwah orang yang meninggal akan berangkat dari pelabuhan Iki Keli,
dengan menaiki perahu yang bernama Ama Piga Laga ke Yuli Haha (tanjung Sasar) dekat
pulau Sumba.
Selain memakai data primer yaitu berdasarkan hasil observasi dan wawancara
dengan para informan, yaitu bapak WD dan YB, penulis juga melihat adanya kesamaan
57 Diunduh dari http://nttprov.go.id/provntt/index.php?option=com_content&task=view&id=68&Itemid=66, Senin, 4 Juni 2012, pukul 07.05 AM 58 Hasil wawancara dengan bapak YB (60 tahun), pada 27 Maret 2012, di kediaman bapak YB, pada pukul 16.30 WITA 59 Hasil wawancara dengan WD (66 tahun), pada hari rabu, 19 Oktober 2011, pukul 09.000 wita, di kediaman bapak WD)
32
penjelasan tentang arti kematian bagi orang Sabu dalam buku Dunia Orang Sawu60 karangan
Nico L. Kana (data sekunder), beliau juga menyebutkan bahwa arwah orang yang meninggal
akan berangkat dari pelabuhan Iki Keli, dengan menaiki perahu yang bernama Ama Piga
Laga ke Yuli Haha, dekat pulau Sumba. Kana juga menyebutkan bahwa kematian bagi
orang Sabu dipandang sebagai perjalanan pulang ke hadapan Deo Nata rai Da’I, dewa di
alam bawah yang terdalam. Seperti pada awalnya manusia datang dari alam yang gelap, yaitu
dari rahim ibu, demikian pula sesudah mati manusia kembali ke tempat yang gelap di alam
bawah yang terdalam itu.
Lebih lanjut lagi, Kana mengatakan kematian adalah batas berpisah antara yang
hidup di atas bumi dan kehidupan di alam terbawah itu. Segala hubungan yang sebelumnya
pernah ada antara almarhum dan kehidupan di atas bumi, sekarang mulai diputuskan. Jasad
tubuh dan badaniah kembali ke tanah akan tetapi “diri”, ngi’u, yang mengandung napas Muri
(Hidup; maksudnya Dewa) tidak akan mati. Jadi kematian lahiriah itu bukanlah berarti
kematian diri atau ngi’u tadi itu. Kematian adalah peralihan dari keadaan sebagai manusia di
bumi menjadi seorang Deo. kepadanya dan para almarhum yang lain permohonan dan
keluhan manusia diutarakan melalui pelbagai upacara.
Bapak YB61 juga mengatakan bahwa kematian bagi masyarakat yang masih
memegang adat adalah merupakan proses yang sangat penting. Bagi mereka jika seseorang
meninggal dunia maka masih ada sejumlah proses ritual yang harus dilakukan oleh keluarga
yang masih hidup. Hal ini dilakukan agar orang yang meninggal dapat dengan tenang dan
selamat menuju dunia gaib.
60 Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu, (Jakarta Timur: Sinar Harapan, 1983) , hal. 68-69 61 Hasil wawancara dengan bapak YB (60 tahun), pada 27 Maret 2012, di kediaman bapak YB, pada pukul 16.30 WITA
33
Analisa :
Diatas telah dijelaskan tentang arti atau makna kematian bagi orang Sabu, berikut
adalah pemaparan para ahli tentang kematian. Umumnya orang akan mengartikan kematian
sebagai akhir dari hidup, berhenti bernafas dan tidak bernyawa. Menurut John Calvin
(seorang reformator Kristen Protestan) kematiaan dianggap sebagai sebuah kesempatan
untuk mendamaikan jiwa antara Tuhan dan manusia. Masih menurutnya, keadaan
menjelang ajal dianggap sebagai salah satu syarat menuju “rumah yang sejati” dan orang
yang berada dalam keadaan menjelang ajal terlihat oleh Calvin berada dalam proses
pembentukan rohani yang kuat.62
Pada umumnya, kematian dipahami sebagai akhir dari kehidupan seseorang, karena
merupakan proses peralihan dari kehidupan lama di dunia ke kehidupan baru. Setiap
masyarakat memiliki pemahaman dan respon tersendiri mengenai makna kematian. Karena
itu, dapat ditemui berbagai macam model upacara kematian yang ditemui dalam
keberagaman budaya Indonesia. Salah satu yang menarik yang dibahas oleh penulis adalah
upacara kematian suku Sabu, yang ada di Nusa Tenggara Timur.
Menurut Soekadijo dalam bukunya yang berjudul Antropologi, kematian merupakan
sebuah krisis terakhir dalam kehidupan manusia secara individu, kematian juga merupakan
krisis untuk kelompok secara keseluruhan, apalagi jika kelompoknya kecil. Seorang
anggotanya telah tiada, dan dengan demikian keseimbangannya terganggu. Oleh karena itu,
orang-orang yang masih hidup, harus mengembalikan keseimbangan itu. Pada waktu yang
sama mereka harus menyesuaikan diri dengan hilangnya seseorang yang mempunyai ikatan
emosional dengan mereka.63
62 William A. Clebsch and Charles R. Jaekle, Pastoral Care in Historical Perspective, (Prentice-Hall,1964), hal. 224-232 63 R. G. Soekadijo, Antropologi (Jakarta : Erlangga,1988), hal.208
34
Kematian merupakan peralihan terakhir, sehingga dalam peristiwa kematian,
dianggap layak untuk memperbanyak peralatan, penghormatan dan perlambang, karena saat
kematian taraf hidup serba baru.64 Pendapat Malinowski65 tentang kematian seperti yang
dikutip oleh Geertz adalah suatu krisis yang paling penting. Dilihat dari pengertian
kematian di atas, dapat kita lihat bahwa masing-masing orang ataupun kelompok
mempunyai definisi sendiri mengenai kematian. Namun dapat disimpulkan bahwa kematian
adalah berhentinya hidup seseorang di dunia sekarang ini, dengan ditandai berhentinya
nafas dan fungsi tubuh seseorang yang secara medis meyakininya.
Memahami arti kematian yang berbeda-beda, maka tentunya setiap arti kematian
bagi setiap orang itu sendiri dipengaruhi oleh berbagai hal hingga berdampak pada pola
hidup yang mereka terapkan di dalam kehidupan sehari-hari. Bagi penulis, perbedaan
pendapat tersebut pastilah dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti faktor keluarga, tradisi,
lingkungan, pendidikan dan agamanya. Karena faktor-faktor inilah yang memungkinkan
dapat memberikan dampak secara langsung pada pandangan seseorang mengenai kematian.
Faktor keluarga dan lingkungan sangat berkaiatan erat hubungannya dalam
penanaman suatu paham tentang kematian terhadap seseorang, karena setiap orang di dalam
satu keluarga pastinya pernah mengalami kematian. Begitu pula di dalam lingkungan
masyarakat sangat memengaruhi pandangan seseorang mengenai kematian. Lingkungan
yang menggangap kematian sebagai hal yang menakutkan dapat membuat suasana
kematian sebagai hal yang mencekam dan perlu ditakuti. Akan tetapi jika lingkungan
tempat kita tinggal berpandangan bahwa kematian adalah salah satu hal yang wajar, bisa
saja kebanyakan anggota masyarakat di dalamnya tidak akan berlarut-larut dalam
kesedihan.
64 Rahmat Subagya, Agama Asli di Indonesia, (Jakarta: Sinar Harapan dan Yayasan Cipta Lokacaraka, 1981), hal. 193 65 Clifford Geertz, Kebudayaan dan Agama,(Yogyakarta : Kanisius, 1952), hal. 95-96
35
Tradisi sebenarnya berpengaruh kuat terhadap kepercayaan keluarga dan
lingkungan tempat seseorang tinggal. Jika seorang memiliki tradisi bahwa kematian
merupakan kuasa ilahi maka mereka cenderung memaknai kematian sebagai sesuatu yang
baik atau pun jika ada tradisi bahwa tidak boleh membicarakan tentang kematian, apalagi
pada saat acara-acara yang membahagiakan seperti pernikahan. Mereka akan cenderung
percaya bahwa kematian adalah hal yang membawa “malapetaka” atau “sial”.
Sedangkan, faktor pendidikan juga mampu memengaruhi pandangan seseorang
terhadap kematian. Contohnya orang yang tidak pernah bersekolah, tidak bisa membaca
dan menulis, akan cenderung mempercayai begitu saja atas apa yang dikatakan orang lain
mengenai arti kematian kepada dirinya, dia bisa saja mempercayai kata keluarganya,
lingkungan tempat tinggalnya, ataukah tradisi yang dipercayainya. Orang yang sudah
mendapatkan pendidikan umumnya lebih berpeluang memperoleh informasi di sekitarnya.
Faktor terakhir yaitu agama atau keyakinan, adalah faktor yang sangat berperan
penting dalam memberikan suatu pandangan tentang berbagai hal bagi setiap pemeluknya,
Biasanya arti kematian yang masuk melalui keyakinan lebih berdampak besar terhadap pola
hidup dan pola pikir seseorang di kehidupannya. Sebagian besar agama atau keyakinan di
Indonesia memandang kematian sebagai kuasa ilahi, mereka yakin benar kalau hidup mati
mereka ditentukan oleh Tuhan yang menciptakan mereka.
Penulis sendiri mengartikan kematian sebagai sesuatu hal yang pasti didalam
kehidupan, artinya setiap orang pasti akan mengalaminya. Kematian merupakan saat
dimana jiwa atau roh keluar dari tubuh yang fana. Tubuh memiliki semacam “tanggal
kadaluarsa”nya sehingga tubuh akan menjadi tua dan akhirnya mati. Hal ini berbeda dengan
jiwa yang bersifat kekal. Pemahaman penulis tentang kematian juga dipengaruhi beberapa
faktor seperti agama, pendidikan dan keluarga.
36
Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis kepada beberapa informan yaitu
bapak YB dan bapak WD serta mendapat informasi dari buku Dunia Orang Sabu maka
diketahui bahwa ada dua jenis kematian yang dikenal dari suku Sabu yaitu Made Nata (mati
manis) adalah mati yang disebabkan oleh penyakit yang disebut hagu dan yang meninggal
dengan tenang yang adalah warisan dari nenek moyang yaitu Adam (Adda). Made Haro
(mati asin) yaitu meninggal karena kecelakaan, dan meninggal karena bunuh diri disebut juga
Made Reka. Oleh karena itu, terdapat perbedaan ritual ataupun upacara yang dilakukan dari
kedua jenis kematian tersebut.
Berikut ini akan dipaparkan tentang kedua jenis ritual upacara kematian dalam
masyarakat Sabu serta berbagai prosesnya, yaitu :
a) Made Nata (Mati manis)
Dari hasil wawancara yang dilakukan penulis terhadap bapak YB66 dapat
dipaparkan bahwa proses upacara Made Nata (mati manis) adalah pertama Habu Emu yaitu
membuat dinding sekat (Ru he di’di) sebelum jenasah dimandikan. Semua keluarga dilarang
menangis. Setelah dimandikan dan di beri pakaian yang rapi yaitu pakaian adat Sabu67 lalu
didudukkan diatas sebuah batu yang khusus disiapkan untuk orang mati dan disandarkan pada
sandaran yang dibuat dari pelepah daun lontar dan diikat supaya jangan jatuh. Posisi
duduknya pun berbeda antara laki-laki dan perempuan. Bagi kaum laki-laki posisi duduknya
66 Hasil wawancara dengan bapak YB (60 tahun), pada 27 Maret 2012, di kediaman bapak YB, pada pukul 16.30 WITA 67 Bagi Pria pakaian yang digunakan sehari-hari adalah : Selimut dan kemeja putih, dipakai dengan ikat
pinggang dan destar pengikat kepala, serta tanpa perhiasan. Sedangkan pakaian sehari-hari wanita adalah sarung
diikat/dililit pada pinggang dengan 2 kali lipatan bersama kebaya tanpa aksesoris.
Untuk perkawinan, selain sarung dan kemeja, pria Sabu mengenakan sabuk pinggang berkantong dua
yang berfungsi sebagai dompet, selendang yang menggantung pada bahu, destar yang dilengkapi dengan
mahkota tiga tiang terbuat dari emas untuk melambangkan kehormatan, sepasang gelang emas, habas atau
perhiasan yang menggantung pada leher, dan kalung multisalak berliontin gong sebagai mas kawin. Mempelai
wanita Sabu berdandan dengan sarung yang diikat bersusun dua pada pinggul dan dada, pending emas, gelang
emas dan gading, kalung multisalak dan liontin dari emas, anting emas bermata berlian, sanggul bulat yang
dipercantik dengan mahkota dan tusuk konde berbentuk koin atau uang emas kuno.
37
dibagian du’ru (haluan). Bagi kaum perempuan posisi duduknya di bagian Wui (buritan).
Rumah orang Sabu diibaratkan dengan perahu. Setelah itu di beri sirih pinang dan tembakau
di mulutnya.
Jikalau yang meninggal laki-laki maka akan di pakaikan selendang, sedangkan jika
yang meninggal adalah perempuan maka dipakaikan sarung, dan harus menggunakan pakaian
adat bukan pakaian dari toko. Selain itu kain atau sarung yang akan di berikan kepada orang
mati, jumlahnya tidak oleh genap harus ganjil.68 Setelah itu dilanjutkan dengan acara bakar
pusar (Tunu Ehu) yang caranya adalah kemenyan (Kerani) dibakar dan diteteskan ke pusar
melalui selembar daun sirih wangi. Pada jenis kematian ini akan ada banyak keluarga, handai
taulan, sahabat, dan kenalan yang datang melayat, Sedangkan Made Haro (Reka) hanya
keluaga dekat saja yang datang.
Upacara pemakaman dalam budaya Sabu ada lima bentuk. Dalam upacara Made
Haro, keluarga akan sepakat untuk memakai bentuk upacara apa yang akan digunakan dari
kelima bentuk upacara tersebut, yaitu,
1) Labu Emmu (Setelah acara penguburan selesai, akan dipasang kembali dinding
atau sekat rumah yang telah dibuka selama mayat masih berada di rumah).
2) Hae Awu (Dalam upacara ini dilakukan pemotongan hewan yang besar, untuk
di bagi kepada para pelayat yang membawa sumbangan).
3) Ke Wure (keluarga atau orang yang datang melayat akan membisikan sesuatu
di telinga orang mati yaitu agar otang mati membawa semua penyakit yang
ada pada keluarga mereka).
68 Hasil wawancara dengan bapak DTB (40 tahun), pada 15 Januari 2012, di kediaman bapak DTB, pada pukul
10.00 WITA
38
4) Para Kii (pada acara ini akan dilakukan pemotongan hewan seperti kambing,
babi, dan lain sebagainya). Keluarga dan kenalan yang datang melayat juga
biasanya membawa binatang bagi keluarga yang berduka sehingga keluarga
dari orang yang meninggal akan membagi daging sesuai dengan apa yang di
bawa oleh pelayat. Daging mentah akan di bawa pulang sedangkan daging
yang telah dimasak akan dibawa pulang.
5) Tao Leo
Dari lima bentuk acara tersebut, yang paling besar biayanya adalah bentuk
acara Tao Leo dan yang paling sederhana adalah bentuk acara Habu Emmu.
Bapak YB menjelaskan tentang ritual yang paling lama prosesnya dan memakan
biaya yang besar yaitu Tao Leo. Upacara ini berjalan selama 7 (tujuh) hari (siang dan malam)
dan selama 7 (tujuh) hari itu diadakan tarian Sabu yakni Ledo Hawu69, yang diiringi oleh
musik gong dan tambur (Namengu nga Dere) dan selama 7 (tujuh) hari juga orang yang
datang berkunjung di jamu dengan makanan.
69 Tarian Ledo pertama kali ditampilkan pada upacara kematian, tao leo, untuk orang yang masih
memegang ajaran Jingitiu. Tarian tersebut dilakukan untuk antar dan arahkan arwah kepada leluhur selama
sembilan hari dan sembilan malam. Gong dan drum ditabuh dan tarian ditampilkan dari pagi hari hingga larut
malam. Tarian ini juga ditarikan berpasang-pasangan secara berurutan. Inilah momen dimana orang bisa
memamerkan pusaka-pusaka: rantai emas, anting dan sabuk, gelang gading dan kain Ikat terbaik.
Para lelaki dengan pedangnya (hemala) memamerkan keahlian berpedang dan mencoba memberi
kesan mendalam kepada kaum wanitanya yang bergerak secara amat perlahan dengan gerakan tangan mereka
yang indah. Para wanita diperbolehkan berhenti menari kapanpun mereka mau. Selama masih ada wanita yang
menari, para lelaki ini diharuskan terus menari dan ini bisa bertahan selama 30 menit. Tarian Ledo sangat
populer di upacara pemakaman dan banyak orang berdatangan dari daerah yang jauh dan mengantri untuk
diperbolehkan masuk ke arena tarian (leo) yang tertutup di bagian atas (atap). Tarian Ledo juga ditampilkan di
beberapa upacara setelah pembangunan kembali rumah leluhur.
( Diunduh dari http://savuraijuatourism.com/id/kebudayaan/tarian-tradisional (27 juni 2012, pukul 11.47 PM)
Dilakukan untuk antar dan arahkan arwah kepada leluhur selama
Pada hari pertama, acara
perpisahan dengan yang meninggal sekaligus acara mengusir roh
bongkar Ru He Di di (sekat). Membunyikan meriam bambu sebagai berita kematian kepada
seluruh anggota keluarga dan kepada
buat Mone Ama di Nada Ae (tempat tinggal tetua adat). Membuat tenda yang atapnya dibuat
dari tikar (Leo Depi) dan untuk ini harus dibunuh 1 (satu) ekor babi dan 1 (satu) ekor kerba
milik para pekerja.
Pada hari kedua dan ketiga acara makan bersama bagi mereka yang membuat tenda
yang disebut Penga’a Leo De Rii
Kemudian dilanjutkan dengan acara
menceritakan tentang jasa-jasa kebaikan yang meninggal dan silsilahnya. Ini di sebut
made. Pada hari keempat acara
Nade Dere sebagai undangan kepada orang banyak. Acara ini baru terjadi
dan untuk acara ini disiapkan : 1 (satu)ekor kerbau untuk orang
anak suku), 1 (satu) ekor anjing dan 1 ekor domba untuk orang satu
70 Gambar diberikaan bapak JRG, pada pada 24 Mei 2012, pukul 08.30 PM
39
Gambar 3. Tarian Ledo70
ilakukan untuk antar dan arahkan arwah kepada leluhur selama sembilan hari dan sembilan malam.
Pada hari pertama, acara Penginu Ei Langu Jara yakni perjamuan makan
perpisahan dengan yang meninggal sekaligus acara mengusir roh-roh jahat. Setelah itu baru
(sekat). Membunyikan meriam bambu sebagai berita kematian kepada
ota keluarga dan kepada Mone Ama (tetua adat) dengan mengantarkan daging
(tempat tinggal tetua adat). Membuat tenda yang atapnya dibuat
) dan untuk ini harus dibunuh 1 (satu) ekor babi dan 1 (satu) ekor kerba
Pada hari kedua dan ketiga acara makan bersama bagi mereka yang membuat tenda
Penga’a Leo De Rii yang sekaligus musik gong dan tambur dibunyikan.
Kemudian dilanjutkan dengan acara Oro Rai yakni lagu dengan syair
jasa kebaikan yang meninggal dan silsilahnya. Ini di sebut
Pada hari keempat acara Hi, yang ditandai dengan Muri Mada De Re dan ditabuh di
sebagai undangan kepada orang banyak. Acara ini baru terjadi pada hari kelima
dan untuk acara ini disiapkan : 1 (satu)ekor kerbau untuk orang-orang satu Kerogo (kelompok
, 1 (satu) ekor anjing dan 1 ekor domba untuk orang satu Udu (suku ), 1 (satu)kuda
Gambar diberikaan bapak JRG, pada pada 24 Mei 2012, pukul 08.30 PM
sembilan malam.
yakni perjamuan makan
roh jahat. Setelah itu baru
(sekat). Membunyikan meriam bambu sebagai berita kematian kepada
(tetua adat) dengan mengantarkan daging
(tempat tinggal tetua adat). Membuat tenda yang atapnya dibuat
) dan untuk ini harus dibunuh 1 (satu) ekor babi dan 1 (satu) ekor kerbau
Pada hari kedua dan ketiga acara makan bersama bagi mereka yang membuat tenda
yang sekaligus musik gong dan tambur dibunyikan.
yakni lagu dengan syair-syair yang
jasa kebaikan yang meninggal dan silsilahnya. Ini di sebut Wale do
dan ditabuh di
pada hari kelima
Kerogo (kelompok
, 1 (satu)kuda
40
dan 1 ekor kerbau untuk orang banyak. Hewan-hewan tersebut dilepas untuk diperebutkan
oleh masing-masing kelompok tadi. Setelah acara ini selesai baru jenasah di kuburkan dan
untuk penguburan dibunuh 1 (satu) ekor kerbau dan 1 (satu) ekor ayam untuk Mone Ama.
Pada hari yang keenam, diadakan acara Pe Mou dan Pe Bale Pai dimana dalam
acara-acara ini dibagi-bagikan daging babi goreng yang sudah disimpan lama di dalam guci
kepada yang hadir dan diakhiri dengan pembongkaran tenda dan pemasangan kembali Ru he
di’di yang di sebut Lulu Depi. Hari yang ketujuh acara Raja Pebare yaitu membuang semua
barang-barang yang bekas di pakai oleh yang meninggal dilanjutkan dengan acara Pe netta
emu atau membersihkan rumah yang dipimpin oleh Rue, dalam acara ini dibunuh 1 (satu)
ekor kerbau yang disebut Kebao Rue.
Setelah 1 (satu) tahun dibuat acara penutup yakni Mane Wai dimana dilakukan
kegiatan menenun ikat pinggang di kuburan dalam acara ini dibunuh 1 ekor babi untuk Deo
Ama atau Deo woro Deo Pengi (Allah Bapa atau Allah pencipta) untuk memohon
keselamatan, kesehatan, kesuburan bagi manusia dan ternak serta sawah dan ladang.71
Dalam kematian orang yang belum memeluk agama Kristiani, biasanya orang
meninggal diberikan “bekal” berupa uang 50 (lima puluh) rupiah untuk “belanja disana”.
Selain itu posisi duduknya laki-laki yang sudah meninggal adalah menghadap ke barat,
sedangkan perempuan ke Timur. Orang yang meninggal diikat dengan menggunakan tali
yang diputar kearah kiri yang terbuat dari rotan yang panjangnya 9 (sembilan) depa (satu
depa = satu bentangan sepasang tangan) yang melambangkan tali pusar. Waktu akan
dikuburkan, tali dibuka hingga membentuk seperi bayi dalam kandungan. Lubang kuburnya
71 Hasil wawancara dengan bapak YB (60 tahun), pada 27 Maret 2012, di kediaman bapak YB, pada pukul
16.30 WITA
41
bulat, didalamnya beralaskan tikar. Penguburan harus dilakukan jam 1 (satu) siang. Malam
harinya langsung diadakan acara Keleku (ucapan syukur).72
Dalam buku Dunia Orang Sawu (karangan Nico L. Kana), ada beberapa istilah atau
nama dari proses ritual yang dilakukan dalam Made Nata (Mati Manis) yang berbeda dengan
informan yang diwawancarai penulis. Berikut adalah pemaparan yang dilakukan oleh Kana73
tentang ritual Made Nata. Penetapan jenis upacara tergantung kepada hasil musyawarah
diantara anggota kepala keluarga (ina ama amu) dalam kelompok dara amu di tempat orang
yang meninggal tersebut menjadi warga. Keputusan ini sangat bergantung pada potensi
ekonomi warga dara amu yang bersangkutan dan juga pada hubungan tolong-menolong
antara almarhum dengan orang-orang di sekitarnya, yakni apakah semasa ia hidup, ia banyak
memberi bantuan atau tidak kepada mereka. Selain itu tingkat usia juga dapat dijadikan faktor
bagi keputusan yang akan diambil. Akibatnya, untuk pemuda atau anak-anak upacaranya
sederhana saja, sedangkan bagi orang lanjut usia diusahakan upacara yang lebih lengkap dan
mewah menurut kemampuan ekonomi kelompok dara amu-nya.
Upacara yang sederhana dan dinilai terendah disebut Hogo wie Deo (masak untuk
Dewa). Yang lebih tinggi dari itu adalah Hae Awu (naik kapal) dan yang lebih tinggi lagi
ialah Peake (diikat). Yang lebih tinggi lagi di sebut Para Ki’i (memotong kambing) dan yang
paling tinggi ialah upacara Tao Leo (membuat teratak atau rumah).
i. Upacara Hogo Wie Deo
Ketika seseorang akan menghembuskan napas terakhirnya, padanya ditegukkan
minuman ai lango jara (air minyak perjalanan). Terdiri dari sebagian kecil hati binatang, 3
(tiga) butir beras yang kulitnya telah dikupas dengan tangan (bukan beras tumbuk), 3 (tiga)
72 Hasil wawancara dengan bapak DTB (40 tahun), pada 15 Januari 2012, di kediaman bapak DTB, pada pukul
10.00 WITA 73 Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu, (Jakarta Timur: Sinar Harapan, 1983) , hal.58-68
42
sayatan minyak babi yang selama itu disimpan di loteng bagian perempuan, semuanya
dimasak dalam periuk kecil atau yang disebut aru kuku, terbuat dari tanah dan biasa di
gunakan untuk memasak makanan untuk anak kecil.
Sebelum dikubur jenazah dibungkus dan diikat, umbai-umbai selimut Sabu
diikatkan pada jenazah, kaki dan tangannya diikat dan dikenakan sabuk yang disebut dari
dulu ai (tali timba air). Apabila jenazah sudah terletak di liang kubur sabuk pun dilepaskan.
Di sisi jenazah segera diletakkan sirih pinang dan tembakau, sedangkan ke mulutnya di
masukkan sekeping uang logam dan cincin. Sesudah penguburan, hati anak babi atau disebut
ana wawi lebo ade (anak babi yang di lubangi hatinya) diletakkan sebagai sesaji di atas
kubur. Sore hari barulah bekas-bekas upacara seperti ikatan tali ikatan, wadah bekas
minuman dan sebagainya itu dibuang ke tempat pembuangan di luar yang disebut kolo
malaha.
Sesudah jenazah dikuburkan, keesokan harinya diselenggarakan upacara “memasak
untuk dewa” dengan menyembelih seekor babi sebagai tanda penutup upacara dan memohon
agar kematian tidak berulang di rumah tersebut. Jika keluarga almarhum merupakan orang
berada maka hewan yang dikurbankan seringkali lebih besar lagi.
ii. Upacara Hae Awu
Upacara kematian ini diawali pada saat si sakit akan menghembuskan napas
terakhirnya. Ia akan diberi minum ai lango jara juga sampai 3 (tiga) kali, dari kaba rai
(wadah yang terbuat dari tanah), sambil diusapkan kepadanya. Jika ia ternyata sudah mati
maka perbuatan ini hanya dilakukan secara simbolik. Untuk upacara ini yang disembelih
adalah ayam, tetapi jika keadaan ekonominya lebih baik masih akan ditambah dengan
kambing dan babi.
43
Sesudah yang bersangkutan benar-benar mati dilakukanlah perihe ri nga’a ri nginu
(disisakan makanan dan minuman), yakni membunuh hewan yang sebagian dagingnya
dipersembahkan bersama makanan dalam wadah yang diletakan di sisi kiri dan kanan
almarhum. Sesudah itu baru almarhum dimandikan. Seluruh tubuh almarhum diolesi dengan
nyiu woumangi (kelapa harum), yakni kunyahan kopra dan irisan kayu cendana, sedangkan
rambutnya diolesi dengan parutan kelapa campur minyak babi. Ampas kelapa olesan itu lalu
ditaburkan ke sekeliling pusar sedangkan sepotong kayu kemeyan yang disebut kerani di
taruh di dalam lubang pusarnya itu. Sementara itu seuntai biji damar atau biji nitas dibakar
dekat kemenyan tersebut. Kegiatan ini disebut tunu ahu (membakar pusar).
Jenazah lalu disiapkan dengan dihiasi baik-baik agar diterima para leluhur
menumpang perahu yang akan membawanya ke dunia gaib. Jenazah lalu di bungkus dengan
selimut atau sarung yang berwarna merah yang di sebut ai mea higi taba. Sebelum dibungkus
di pinggang almarhum di selipkan sirih pinang, jagung rote, kacang hijau dan kelapa kering.
Bungkusan jenasah lalu diikat pada bagian tangan, pinggang dan kakinya pun diikat dengan
pelepah daun lontar yang dibuat khusus untuk itu. Tali ini di sebut dari wodue api keriu (tali
dua “urat” yang dipintal ke kiri), dan sebagai pengikat ia dinamai dari dulu ai nginu pa
rujara la hedapa Deo (tali timba air minum di jalan ke hadapan Dewa)
Dalam keadaan ini jenazah di baringkan dibalai-balai utama di dalam rumah sambil
dikitari warga perempuan sepanjang malam. Esok hari para pelayat berdatangan. Pelayat
perempuan berkerudung sarung atau disebut leo kolo (tudung kepala) dan sambil merangkul
warga perempuan almarhum merekapun bertangis-tangisan. Para pelayat laki-laki diterima
keluarga lelaki almarhum. Pada saat itulah para warga laki-laki itu memusyawarahkan bentuk
upacara kematian buat almarhum.
Penguburan berlangsung esoknya. Jenazah dibawa keluar melalui pintu anjungan
dengan kaki lebih dahulu, kemudian diletakkan dalam liang kubur yang sudah dialasi sehelai
44
tikar. Sesudah itu barulah tali ikat jenazah dibuka. Penguburan pejabat pemimpin upacara
umumnya dilangsungkan malam hari, dengan kepalanya ditudungi gong, sedangkan posisi
badannya duduk diatas kulit kerang. Sebelum upacara penguburan ini di lanjutkan dengan
penimbunan tanah maka diucapkanlah kata-kata perpisahan dan rasa terima kasih keluarga.
Malamnya sanak saudara almarhum datang berkunjung lagi. Pada malam itu
dituturkan sisilah, pedai huhu kebie (bicara susunan silsilah), baik menurut garis lelaki atau
pun perempuan si almarhum. Disinilah sering para pengunjung mengetahui lebih jelas lagi
hubungan kekerabatan mereka dengan almarhum ataupun dengan sesama pengunjung itu
sendiri.
Upacara pada hari ketiga adalah upacara pemo yang berarti upacara memberisihkan.
Sumbangan hewan besar seperti kuda atau kerbau atau pun hewan kecil seperti babi atau
kambing, makanan, selimut, ikat kepala dan sirih pinang dibawa oleh para penyumbang ke
rumah almarhum.Makanan juga disiapkan. Seusai ini akan dilakukan imbalan buat para
pengunjung yang memberikan sumbangan. Penyumbang seekor hewanakan menerima dua
kali seperempat bagian hewan tersebut sebagai imbalan. Penyumbang makanan dan lainnya
akan menerima imbalan berupa makanan dan potongan daging hewan. Pembagian wadah
makanan ini disebut pekepala pai (pembagian besek).
Malamnya diadakan lagi pembacaan silsilah, yang pada hakikatnya merupakan
tapeele ne hedui herui (untuk menghabiskan susah dan duka). Esoknya merupakan logo
pengahe (hari berhenti) yang tanpa upacara khusus. Makanan sisa kemarin disuguhkan dan
karenanya disebut woubai (makanan basi).
Hari ke lima diperuntukkan untuk upacara haga, yang menandai selesainya urusan
si mati dengan dunia orang hidup dan hemanga (roh) almarhum agar berangkat ke dunia gaib
tanpa di halangi wango (kekuatan yang negatif).
45
Gambar 4. Upacara Haga pada peristiwa kedukaan74
Pembawa ayam (orang yang tidak memakai baju) adalah pemimpin upacara, berdiri berhadapan
dengan keluarga terdekat almarhum. Upacara ini harus dilakukan didalam kampong dengan
membelakangi pintu toka dimu (gerbang timur dari kampung)
Menutup rangkaian upacara kematian Hae Awu dilakukan malam hari, dengan
upacara raja daru amu (memaku rumah), yang diperuntukkan hanya diantara anggota
keluarga almarhum. Bagian-bagian rumah yang penting ditancapi ruhelama (daun selamat,
yakni daun lontar yang disilang-silangkan dan dipaku dengan lidi). Dengan memaku ini
dimaksud seluruh rumah dan penghuninya dilindungi dari kematian, agar tidak melanda lagi.
iii. Upacara Para Ki’i
Dalam upacara memotong kambing ini, segera sesudah penderita penyakit
meninggal dilakukanlah upacara pemberian air minum minyak perjalanan juga, yang
dicampur dengan 3 butir beras dalam tempurung minuman baru dengan sendok tempurung
yang baru pula. Seekor ayam dibunuh pula, dengan cara dilubangi untuk diambil hatinya. Jika
pihak keluarga almarhum cukup kaya, maka juga akan disembelih anak babi dan anak
kambing.
Pembawa berita kematian tidak boleh masuk begitu saja ke rumah atau kampung
pemimpin upacara. Ia akan berdiri di luar pagar kampong sambil mengabarkan kabar
74 Gambar diambil dari dari buku Nico, L. Kana, Dunia Orang Sabu, (Jakarta Timur: Sinar Harapan, 1983), hal.28
46
dukacita tersebut. Rasa dukacita dinyatakan tuan rumah dengan berdiri dipagar kampung
sambil melemparkan telur dan abu dalam terpurung kearah gerbang. Tindakan ini disebut lole
awu tabe kolo (mambawa abu menerpa kepala). Ia lalu meletakkan sedikit irisan daging
kerbau dan kacang hijau dan gemuk babi campur air dingin di batu khusus.
Hari ke-2 (dua) dilangsungkan upacara peraba kebao (saling merampas kerbau).
Hewan yang dibunuh itu direbut dagingnya beramai-ramai oleh hadirin. Hal ini konon untuk
menandai kekayaan keluarga almarhum. Esoknya dilakukan upacara pemo (memberisihkan).
Esoknya lagi istirahat dan hari ke-5 (lima) diselenggarakanlah upacara haga yang juga diikuti
upacara pemanggilan roh yang hidup dan akhirnya menanyai tombak. Sesudah itu baru
dilakukan penutupan kembali dinding di bagian anjungan rumah atau labu laba pebare.
Untuk upacara penutupan dinding itu Deo Rai diundang ke rumah almarhum untuk
menyembelih kambing buat upacara. Ada kalanya ini diikuti dengan mencelupkan buah
lontar ke dalam cairan mengkudu lalu mengusir roh orang mati ke luar rumah itu dengan
mengibas-ibaskan daun waru ke pelbagai penjuru.
iv. Upacara Tao Leo
Yang disebut upacara kematian “membuat rumah atar teratak” ini paling kompleks
penyelenggaraannya karena paling tinggi kedudukannya. Untuk itu didirikan teratak tempat
orang-orang menari. Sambil menanti kedatangan orang-orang yang diundangi, jenazah
dimandikan, diolesi minyak dan “bakar pusar”, dibungkus sarung atau selimut atau
dibaringkan tepat di bagian batas anjungan dan buritan rumah. Anak babi dan anak kambing
kemudian dilubangi hatinya dan diikuti pemberian minuman “minyak perjalanan” bagi
almarhum. Hewan-hewan persembahan itu disajikan buat para leluhur, sedangkan pemberian
minuman dilakukan sampai 3 (tiga) kali sambil diiringi penendangan 3 (tiga) kali pula
47
dinding anjungan. Tindakan ini melambangkan pengusiran kekuatan wango dari dalam
rumah.
Sesudah itu semua perhiasan dan pakaian dikenakan pada jenazah. Hal ini
dikarenakan si mati sedang dalam perjalanan ke dunia gaib dan karena itu dianggap perlu
berdandan sebaik mungkin. Bahkan harus diolesi agar bau tubuhnya pun harum. Sesudah siap
pemimpin upacara lalu melakukan upacara “penembakan” dengan bedil tua yang pucuknya
diarahkan ke barat.
Maka menyusullah pembuatan leo dapi (= teratak tikar) yang bahannya terdiri dari 2
(dua) batang kayu dadap atau aju kare, sembilan tiang dan kayu-kayu palang, dinding
anjungan, sehelai tikar kecil serta sejumlah tikar lebar. Dinding dan tikar kecil itu
dilambangkan sebagai layar perahu. Pemasangan teratak ini didahului oleh makan bersama,
yakni berlauk kerbau atau ditambah dengan daging babi.
Hari ke-2 (dua), fajar menyising, teratak harus diberi “makan” dan disebut
pengaa’leo depi. Untuk dipotong seekor kerbau dan seekor babi. Sesudah itu sarapan
bersama pun dilakukan dan disambung dengan tari-tarian sampai malam hari. Pada malam
hari ke-3 (tiga) dilangsungkan oro rai (jelajahi tanah) menceritakan kebaikan almarhum atau
pun orang-orang dalam garis keturunan lelaki dari almarhum, yang sudah mati.
Hari ke-4 (empat) diundang orang yang melakukan upacara huri mada dere
(mencoret mata gendang; yang dimaksud ialah kulit tambur yang ditabuh). Mata gendang dan
sejumlah gong kemudian dicoret dengan tanda silang (+).
48
Gambar 5. Upacara Huri Made Dere pada waktu kedukaan.75
Pemberian tanda + pada gendang ialah bagian dari upacara yang berlangsung sampai
berhari-hari. Sekalipun demikian, upacara ini sering berlangsung dengan khidmat
Saat mencoreti gendang si pelaku mengucapkan mantra, li mangau, bagi almarhum
dan tokoh leluhur mitis bernama Ago Rai yang dianggap datang menjemput almarhum.
Sesudah itu dilanjutkan dengan banyo, lagu duka. Sesudah itu dilangsungkan kata-kata
hiburan dan pujian bagi para pelayat.
Hari ke-5 (lima) masih dilanjutkan dengan tarian di bawah teratak. Menjelang sore
hari berlangsung upacara perebutan daging kerbau sembelihan. Sebelum dipotong hewan-
hewan itu, lazimnya 2 (dua) ekor kerbau dan seekor kuda, oleh pemimpin upacara diberi
kelapa harum di telinganya sambil diriingi pengucapan mantra. Hari ke-6 (enam) ialah lodo
pemo, hari pembersihan dan penutupan dinding anjungan. Dilanjutkan dengan memakan
makanan sisa. Sedangkan haru ke-7 (tujuh), hari terakhir, diisi dengan memaku erat-erat, raje
pebare, dan memaniskan semua tempat yang telah digunakan untuk upacara dengan
menyirami dengan air gula lontar. Mantra yang diucapkan selain memohon berakhirnya
75 Gambar diambil dari dari buku Nico, L. Kana, Dunia Orang Sabu, (Jakarta Timur: Sinar Harapan, 1983), hal.29
49
kematian buat rumah itu juga sekaligus buat pemeberkahan bagi seisi rumah yang ditinggal si
mati.
Analisa :
Dari penjelasan diatas, jelas terlihat ada banyak sekali proses atau ritual yang
dilakukan jika ada anggota keluarga yang meninggal. Hal ini dilakukan tidak hanya untuk
orang yang telah meninggal tetapi juga bagi keluarga yang ditinggalkan. Dari pihak
keluarga yang masih hidup diperlukan tindakan ritual agar yang anggota keluaga yang
sudah meninggal terjamin keadaannya “di alam sana” dan pihak yang hidup tidak dilanda
“pengaruh buruk” (baik itu perasaan dan kehilangan identitas, atau mendapat gangguan roh
si mati) akibat suatu kematian melainkan memperoleh berkat.76
Dalam tahapan ritual untuk Made Nata (mati manis), terdapat lima bentuk upacara
yang dapat dipilih oleh keluarga. Penetapan jenis upacara yang dilakukan tergantung pada
potensi ekonomi keluarga dari yang meninggal tersebut dan hubungan antara orang yang
meninggal dengan sanak saudara, handai taulan dan kenalan baik atau tidak. Dari sini
terlihat bahwa hubungan atau relasi yang baik antara sesama manusia sangat
diperhitungkan. Hal ini dikarenakan pandangan masyarakat Sabu tentang hakikat manusia
sebagai makhluk sosial, yang tidak dapat hidup sendiri sehingga membutuhkan pihak lain
seperti, manusia lain, alam serta kekuatan gaib sehingga relasi yang baik antar sesama
manusia sangat diperhatikan.
Dari kelima bentuk upacara yang dilakukan terdapat persamaan tindakan pertama
dalam memulai proses ini, yaitu jenazah diberi minum ai lango jara (air minum
perjalanan). Penulis melihat hal ini dikarenakan arti atau makna kematian bagi orang Sabu
adalah sebuah perjalanan menuju alam gaib untuk berkumpul dengan para leluhur. Arwah
76 Ninik Dwiyantu S., Pengaruh Adat Tionghoa di Sekitar Kematian dalam Kehidupan Bergereja- Skripsi (Salatiga : Universitas Kristen Satya Wacana, 1990) hal. 30
50
orang yang meninggal tidak langsung akan berkumpul dengan para leluhur karena arwah
para leluhur tidak berada di pulau Sabu tetapi di Yuli Haha (tanjung Sasar) dekat pulau
Sumba. Oleh karena itu perlu di beri minum ai lango jara untuk bekal menuju alam gaib.
Sama halnya ketika keluarga memberi satu uang koin (logam) ke mulut jenazah, ataupun
memakaikan pakaian adat yang bagus serta didalam petinya ditaruh sarung ataupun selimut,
hal ini dilakukan dengan tujuan untuk memberi bekal bagi orang yang telah meninggal
untuk digunakan di alam gaib.
Dalam budaya Sabu, biasanya ada yang masih memberikan atau menyediakan
makanan bagi orang yang telah meninggal, hal ini dikarenakan adanya anggapan bahwa
orang yang sudah meninggal itu masih ada. Jika ada anggota keluarga yang bermimpi
bertemu dengan orang yang telah meninggal maka keluarga merasa ada yang ingin
disampaikan oleh orang yang telah meninggal itu atau merasa bahwa orang yang telah
meninggal tersebut sedang merasa lapar sehingga perlu diberi atau disediakan makanan.
Dalam budaya Sabu, yang membawa satu barang atau hantaran bagi orang yang
meninggal biasanya per satu desa bukan perorangan. Hal ini berbeda dengan kebudayaan
orang Sabu yang telah tinggal diluar Sabu. Mereka biasanya membawa hantaran secara
pribadi bukan kelompok. Pada waktu dilakukan pemotongan hewan yang merupakan
hantaran dari keluarga, maka bagian kepala, dada dan isi perut di bawa kembali oleh tuan
atau pemilik binatang, sedangkan sisanya diberikan kepada keluarga yang berduka.
Barang atau hewan antaran dari keluarga atau kenalan akan dicatat sehingga ketika
keluarga tersebut mengalami pesta atau acara lain termasuk kematian maka akan “dibalas”
kembali oleh keluarga yang telah diberikan hantaran tersebut. Barang yang dibawa tidak
harus sama baik jumlah atau pun jenisnya, tetapi hal ini dilakukan agar saling mengingat
satu sama lain atau biasa disebut sistem balas jasa, sehingga apa yang kita lakukan kepada
orang lain, maka hal itu yang akan di tambahkan pada kita.
51
Dalam buku Dunia Orang Sawu, Kana mengatakan bahwa kubur orang yang mati
secara wajar ialah dibawah kolong balai-balai tanah atau disebut Kelaga Rai. Bila lelaki,
maka kuburannya ditempatkan di bagian anjungan (depan), sedangkan perempuan dikubur
di bagian buritan (belakang). Liang kubur bagi kematian manis berbentuk lubang
melingkar. Jenazah dibaringkan pada sisi badan dengan lutut tertekuk ke dada, bagian
depan jenazah lelaki diarahkan ke barat sedangkan perempuan ke timur. Hal ini
melambangkan keadaan manusia di dalam rahim ibu, karena tanah merupakan lambang
sosok seorang ibi. Adapun kuburan untuk kematian asin berbentuk persegi empat, terletak
memotong arah panjang rumah di bagian sisi anjungan. Jenazah orang mati asin dikubur
terlentang dengan kepala terletak kearah bagian depan rumah yang dipilin sedemikian rupa
sehingga wajahnya menghadap ke bawah.77
Jika berbicara tentang kuburan orang Sabu yang sederhana dan berada di bawah
beranda rumah serta tidak banyak ornamen atau penanda yang menandakan adanya
kuburan, penulis menilainya sebagai sebuah sikap sederhana sehingga mereka tidak
menghias kuburnya dengan banyak ornamen. Selain itu adanya anggapan bahwa orang mati
tersebut masih ada bersama-sama dengan keluarga sehingga mereka menguburnya di
bawah beranda rumah agar sosoknya dirasa tetap tinggal bersama dengan mereka. Hal ini
berpengaruh pada tindakan mereka yang masih memberikan makan untuk orang yang
meninggal karena dianggap orang tersebut masih ada bersama-sama dengan mereka.
Pada penjelasan-penjelasan diatas jelas terlihat bahwa adanya pembagian kerja
antara laki-laki dan perempuan. Namun sebelumnya penulis ingin memaparkan sedikit
tentang kedudukan perempuan dalam kehidupan orang Sabu. Dalam pandangan Orang
Sabu, perempuan ternyata memiliki tempat yang tinggi.78 Mereka sering mengumpamakan
77 Nico L. Kana, Dunia Orang Sabu, (Jakarta Timur: Sinar Harapan, 1983) , hal.58 78 Ibid, hal. 23-24
52
matahari sebagai laki-laki sedangkan perempuan sebagai bulan, ataupun bumi sebagai laki-
laki dan laut sebagai perempuan.
Dalam pembagian kerja yang berdasarkan jenis kelamin di Sabu pada hakikatnya
bukan karena laki-laki lebih tinggi kedudukannya daripada pihak perempuan, akan tetapi
yang ingin ditonjolkan dengan adanya pembagian kerja adalah sifat keduanya saling
melengkapi satu dengan yang lain, sehingga bersifat sederajat dan selaku teman sekerja.
Hal ini sama dengan ajaran Kristen tentang kedudukan perempuan dan laki-laki dalah hal
rumah tangga bahwa suami dan istri memiliki hubungan yang setara atau sebagai mitra
kerja. Padahal pandangan orang Sabu tentang kedudukan perempuan telah ada jauh
sebelum mereka mengenal agama Kristen. Penulis melihat adanya kesamaan antara ajaran
orang Sabu dan ajaran agama Kristen.
Bagi orang Sabu yang sudah tidak menetap lagi di pulau Sabu, biasanya tidak lagi
melakukan ritual tersebut secara penuh. Mereka biasanya hanya melakukan ritual Huhu
Kebie, “memberi makan” orang yang telah meninggal, atau pun menutupi jenazah dengan
sarung (perempuan) dan selimut (lelaki) sesuai dengan strata sosial keluarga masing-
masing. Ada pun yang masih memberikan sarung, selimut atau pun pakaian ke dalam peti
jenazah sebagai bekal di dunia gaib.
Dari pemaparan diatas juga dapat diidentifikasi bahwa pendampingan pastoral tidak
hanya dilakukan oleh orang yang telah ahli atau profesional tetapi pendampingan pastoral
lebih luas maknanya yaitu dapat dilakukan oleh siapa saja (orang Kristen) yang mau
membantu orang lain baik yang ada didalam komunitas atau lingkungannya atau pun yang
tidak. Hal ini dikarenakan pendampingan pastoral terutama mengacu pada semangat,
tindakan, memedulikan dan mendampingi secara generik.
Selain itu juga, jika kita melihat ritual yang dilakukan pada suku Sabu maka terlihat
hampir sama dengan masyarakat tradisioanal lainnya, yaitu semua orang dalam lingkungan
53
atau komunitas terbesar atau dalam masyarakat dan komunitas terkecil atau keluarga inti
dapat melakukan pendampingan. Jadi mereka saling menguatkan satu dengan yang lain
sehingga keluarga yang berduka tidak merasa sendiri dalam kedukaannya, karena ada
banyak orang yang memperdulikan kesedihannya.
Oleh karena itu penulis ingin melihat bahwa sikap memedulikan sangat penting
manfaatnya bagi orang yang sedang mengalami krisis. Sikap ini merupakan jalan masuk
bagi seseorang yang ingin melakukan pendampingan pastoral. Hal ini di dapat penulis
ketika melakukan observasi atau wawancara terhadap beberapa informan. Mereka sangat
merasakan perhatian yang besar dari keluarga dan teman yang datang menunjukkan rasa
peduli mereka terhadap kedukaan orang yang berduka sehingga mereka tidak berlama-lama
dalam kedukaannya.
Dari kelima jenis upacara tersebut yang telah dipaparkan diatas, maka terlihat
bahwa ada makna pendampingan pastoral tidak langsung yang dilihat oleh penulis. Berikut
ini akan dipaparkan beberapa temuan penulis tentang adanya makna pendampingan pastoral
pastoral tidak langsung dalam ritual adat yang dilakukan, yaitu:
1) Menyembuhkan (Healing), yaitu suatu fungsi pastoral yang bertujuan untuk
mengatasi beberapa kerusakan dengan cara mengembalikan orang itu pada suatu
keutuhan dan menuntun dia kearah yang lebih baik dari sebelumnya. Penulis
melihat fungsi ini didalam proses yang ada dalam ritual kematian suku Sabu.
Seperti dalam ritual Huhu Kebie, dimana selain mengucapkan silsilah keturunan
dari orang meninggal juga ada syair yang menunjukan bahwa hidup harus terus
berlanjut sehingga tidak usah bersedih terlalu lama. Menurut penulis dalam
ritual ini, keluarga mendapatkan fungsi pastoral menyembuhkan dari orang yang
bisa melakukan ritual huhu kebie, karena secara tidak langsung dapat orang
yang melantunkan syair itu telah memberikan semacam motivasi untuk terus
54
melanjutkan hidup karena kita yang hidup telah hilang ketergantungan dengan
orang yang telah mati.
2) Menopang (Sustaining), yaitu suatu fungsi pastoral yang menolong orang yang
“terluka” untuk bertahan dan melewati suatu keadaan yang didalamnya terdapat
pemulihan terhadap kondisi semula. Penulis melihat hal ini lewat kedatangan
keluarga, kenalan dan handai taulan yang datang secara bersama-sama. Secara
tidak langsung memberikan fungsi pastoral menopang agar keluarga yang
berduka dapat bertahan di dalam masa berkabungnya.
3) Dalam ritual ini, penulis juga melihat fungsi memberdayakan (empowering)
yang oleh Totok S. Wiryasaputra dalam buku Ready to Care79 adalah untuk
membantu orang yang didampingi menjadi penolong bagi dirinya sendiri pada
masa depan ketika menghadapi kesulitan kembali. Bahkan, fungsi ini juga
dipakai untuk membantu seseorang menjadi pendamping bagi orang lain. Hal ini
tampak dalam keseluruhan ritual kematian yang dilakukan, yaitu bahwa orang
yang datang ke rumah duka dan melihat ritual tersebut dilakukan maka mereka
melihat dan menyaksikan sendiri bahwa keluarga yang berduka di bantu oleh
kelompoknya untuk bisa bertahan dalam masa berduka dan ada rasa
kekeluargaan yang tampak sehingga ketika kedukaan itu terjadi pada mereka,
mereka telah mengetahui cara untuk bertahan dikala duka dan bisa memakai
beberapa makna dari ritual ini untuk membantu orang lain yang sedang berduka.
b) Made Haro (Mati Asin)
Dalam jenis Made Haro (mati asin), maka akan diterima dengan menggunakan adat,
yaitu dengan menggunakan genua bawang putih dan gula Sabu. Orang yang melayat pun
79 Totok S. Wiryasaputra, Ready to Care., 92-93
55
tidak diperbolehkan makan makanan di tempat orang yang meninggal, karena jika dilanggar
maka akan ada dampak yang ditimbulkan seperti hewan ternak yang akan mati secara tiba-
tiba.80
Made Haro atau mati tidak layak, contohnya kematian yang disebabkan karena
kecelakaan, yang meninggal karena bersalin dan lain-lain sehingga harus segera dikubur.
Oleh karena hanya orang-orang tertentu yang boleh melayat. Orang yang melayat akan
menerima makanan dari luar dan 3 (tiga) hari 3 (tiga) malam baru boleh kembali dari rumah.
Yang mengatar makanan hanya boleh mengantar makanan sampai di depan Darra Roe atau
pintu gerbang saja.
Mayat orang yang mati karena kecelakaan, dikuburkan diluar rumah dan bentuk
kuburannya persegi panjang. Upacara ini disebut "Rue", sedangkan pada upacara kematian
orang yang meninggal secara lazim atau biasa, mayatnya dibungkus dengan selimut adat dan
dikuburkan dalam posisi jongkok dengan dibekali bahan makanan, sirih dan buah pinang.81
Dalam budaya orang Sabu, jika yang meninggal adalah orang tua, maka pestanya
akan sangat mewah apabila di bandingkan dengan anak muda. Hal ini dilakukan untuk
memberikan penghormatan kepada yang meninggal. Jika yang meninggal adalah trurunan
raja atau para bagsawan maka acara kematian bisa dilakukan sampai 3 (tiga) bulan atau 1
(satu) tahun.
Dalam budaya orang Sabu, ada proses dari ritual yang dilakukan adalah menangis
sambil melantunkan syair yang disebut Huhu kebie yang adalah cerita tentang silsilah
keluarga (keturunan). Orang yang melakukan Huhu kebie adalah orang yang secara kodrati
atau alamiah dapat melakukannya atau yang biasa disebut dengan istilah karunia. Biasanya
dilantunkan oleh dua atau lebih orang.
80 Hasil wawancara dengan bapak YB (60 tahun), pada 27 Maret 2012, di kediaman bapak YB, pada pukul