47 BAB III PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA DAN INDIVIDU 3.1. Pengantar Bab ini akan mengupas lebih mendalam tentang pokok permasalahan dan tujuan yang hendak dijawab melalui penulisan, yakni bentuk pertanggungjawaban negara dan individu dalam hal perusakan lingkungan hidup selama perang berlangsung. Penulis berpendapat bahwa Draft Articles on Responsibility of States for Internationally Wrongful Acts yang diadopsi oleh International Law Commission merupakan sumber utama yang relevan untuk menjawab bentuk pertanggungjawaban negara. Meskipun Draft Articles tersebut hingga kini belum menjadi konvensi yang bersifat mengikat, dokumen tersebut mengakomodasikan hukum kebiasaan internasional dan pendapat-pendapat publicist yang otoritatif. Sementara, bentuk pertanggungjawaban individu atas kerusakan lingkungan hidup tetap mengacu pada Statuta Roma 1998, yakni tanggung jawab pidana secara individual. Adapun pelanggaran yang dilakukan oleh individu secara bersamaan dapat menarik pertanggungjawaban negara. Ada tiga hal pokok dalam struktur argumentasi tesis ini. Hal yang pertama adalah konsep umum pertanggungjawaban (responsibility) dalam hukum internasional. Hal yang kedua unsur-unsur pertanggungjawaban negara dan individu yang diatur dalam hukum internasional secara umum dan HHI secara khusus, di mana prinsip atributalitas atau imputabilitas menjadi salah satu isu
42
Embed
BAB III PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA DAN INDIVIDUrepository.uksw.edu/bitstream/123456789/11623/3/T1_312012075_BAB... · diistilahkan dalam hukum internasional dengan menggunakan frasa
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
47
BAB III
PERTANGGUNGJAWABAN NEGARA DAN INDIVIDU
3.1. Pengantar
Bab ini akan mengupas lebih mendalam tentang pokok permasalahan dan
tujuan yang hendak dijawab melalui penulisan, yakni bentuk pertanggungjawaban
negara dan individu dalam hal perusakan lingkungan hidup selama perang
berlangsung. Penulis berpendapat bahwa Draft Articles on Responsibility of States
for Internationally Wrongful Acts yang diadopsi oleh International Law
Commission merupakan sumber utama yang relevan untuk menjawab bentuk
pertanggungjawaban negara. Meskipun Draft Articles tersebut hingga kini belum
menjadi konvensi yang bersifat mengikat, dokumen tersebut mengakomodasikan
hukum kebiasaan internasional dan pendapat-pendapat publicist yang otoritatif.
Sementara, bentuk pertanggungjawaban individu atas kerusakan lingkungan hidup
tetap mengacu pada Statuta Roma 1998, yakni tanggung jawab pidana secara
individual. Adapun pelanggaran yang dilakukan oleh individu secara bersamaan
dapat menarik pertanggungjawaban negara.
Ada tiga hal pokok dalam struktur argumentasi tesis ini. Hal yang pertama
adalah konsep umum pertanggungjawaban (responsibility) dalam hukum
internasional. Hal yang kedua unsur-unsur pertanggungjawaban negara dan
individu yang diatur dalam hukum internasional secara umum dan HHI secara
khusus, di mana prinsip atributalitas atau imputabilitas menjadi salah satu isu
48
sentral yang mendukung tesis penulis. Dan hal yang terakhir, perusakan
lingkungan hidup sebagai salah satu bentuk kejahatan perang dapat dikategorikan
sebagai internationally wrongful act.
3.2. Konsep Pertanggungjawaban dalam Hukum Internasional
Konsep pertanggungjawaban karena perbuatan melanggar hukum, seringkali
diistilahkan dalam hukum internasional dengan menggunakan frasa responsibility
dan/atau liability, yang merujuk makna yang sama maupun berbeda. Sehingga
dapat dikatakan bahwa belum ada istilah baku untuk mengkonsepsikan
pertanggungjawaban dalam hukum internasional.1 Peter Malanczuk juga menilai
bahwa kedua terminologi tersebut kerapkali digunakan secara bergantian, ia
menyatakan bahwa “sometimes the term of ‘responsibility’ is used
interchangeably with the term ‘liability’, but the use of terminology in this respect
in the literature is by no means uniform...”2 Ketiadaan istilah baku terhadap
pertanggungjawaban dibuktikan pula dengan ambiguitas penggunaan istilah
dalam mendeskripsikan responsibility dan liability oleh Black’s Law Dictionary.
Frasa responsibility didefinisikan sebagai: “the obligation to answer for any act
done, and to repair any injury it may have caused; liable, legally accountable for
answerable.”3 Selain menunjukan bahwa responsibility mengakibatkan kewajiban
untuk reparasi terhadap kerusakan yang ditimbulkan, definisi ini seakan-akan
mendeskripsikan ‘liability’ sebagai padanan kata atau istilah sinonimnya.
1 Titon Slamet Kurnia, Reparasi (Reparation) Terhadap Korban Pelanggaran HAM di
Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005,h. 177. 2Peter Malanczuk, Akehurt’s Modern Introduction to International Law 7th Rev. Ed.,
Routledge, London & New York, 1997, h. 254. 3Henry Campbell Black, Op.Cit., h. 1476.
49
Sedangkan, frasa liability dideskripsikan sebagai: “the word is a broad legal term.
It has been referred to as of the most comprehensive significance, including
almost every character of hazard or responsibility, absolute, contingent or likely;
condition of being responsible for a possible or actual loss, penalty, evil, expense,
or burden.”4 Meskipun definisi tersebut menyimpulkan bahwa frasa “liability”
memiliki cakupan yang luas dan komprehensif, namun secara bersamaan, kedua
istilah tersebut mendeskripisikan satu sama lain. Sehingga, mengingat tidak ada
kesepakatan istilah yang baku dalam mendeskripsikan pertanggungjawaban, maka
secara konsep kesimpulan sementara dapat menyatakan bahwa dalam keadaan
tertentu, keduanya adalah padanan kata atau istilah sinonim yang dapat digunakan
secara bergantian.
L.F.Goldie rupanya memiliki pendapat yang berbeda, ia menegaskan
pemaknaan serta penggunaan terhadap dua frasa tersebut harus dibedakan secara
ketat, dimana responsibility menunjuk pada standar perilaku dan kegagalan
pemenuhan standar tersebut; sedangkan liability menyangkut pada kerusakan atau
kerugian yang timbul akibat kegagalan memenuhi standar itu termasuk cara untuk
memulihkan kerusakan atau kerugian tersebut.5 Pada pratiknya, kedua istilah
tersebut memang telah digunakan dengan konteks yang berbeda-beda, misalnya
Pasal 139 The United Nations Convention on the Law of the Sea secara bersamaan
menggunakan istilah responsibility dan liability melalui judul artikelnya
“responsibility to ensure compliance and liability for damage”, untuk merujuk
pada pengertian yang berbeda.6 Dalam sebuah tulisan yang berjudul “State
Responsibility and International Liability for Injurious Consequences of Acts Not
4Ibid., h.1059-1060.
5Titon Slamet Kurnia,Op.Cit., h. 178.
6Ibid., h. 175-176.
50
Prohibited by International Law: A Necessary Distinction?”, Alan E. Boyle
membedakan antara terminologi responsibility dan juga liability. Responsibility
merupakan kewajiban negara yang timbul karena pelanggaran atas hukum
internasional, sedang liability adalah kewajiban utama negara sebagai akibat dari
kerugian yang timbul karena tindakan sah di bawah hukum internasional.
Terlepas dari ketidakseragaman istilah pertanggungjawaban dalam hukum
internasional, dalam penulisan ini, penulis tetap mengacu pada perjanjian
internasional serta putusan-putusan hakim pengadilan internasional terdahulu
yang mengandung norma dan prinsip hukum internasional, dengan kecenderungan
penggunaan frasa responsibility untuk merujuk pada pemaknaan
pertanggungjawaban.7 Oleh karenanya, sekalipun belum ada istilah baku untuk
itu, dalam penulisan ini, penulis memilih untuk menggunakan frasa
pertanggungjawaban sebagai padanan kata responsibility.
Pertanggungjawaban sebagai sebuah konsep hukum terjadi ketika adanya
pelanggaran terhadap norma dan prinsip yang mengikat dalam hukum, baik
nasional maupun internasional. Dalam konsep hukum internasional secara umum,
pertanggungjawaban yang dipadankan dengan responsibility dianggap sebagai
salah satu prinsip dasar dalam hukum internasional, dimana norma
pertanggungjawaban difokuskan pada sebab-sebab terjadinya suatu perbuatan,
akibat dari perbuatan tidak sah secara hukum, dan khususnya pemberian
kompensasi untuk itu.8 Hal ini sejalan pula dengan pendapat Mahkamah
Internasional (International Court of Justice) dalam kasus Chorzów Factory, yang
7Ibid., h.177, dikutip dari Ian Browlie, Principles of Public International Law, Oxford
dan ELBS, London, h.433. 8Ibid., h.178, dikutip dari Ian Browlie, Principles of Public International Law, Oxford
dan ELBS, London, h.431-432.
51
menyatakan bahwa pertanggungjawaban merupakan suatu prinsip hukum
internasional, bahkan konsepsi hukum yang lebih luas, bahwa setiap pelanggaran
atas suatu perjanjian akan menimbulkan kewajiban untuk melakukan tindakan
perbaikan (duty of reparation).
Dua hal penting yang penulis garisbawahi adalah pertanggungjawaban
sebagai sebuah kewajiban yang timbul karena tindakan yang telah dilakukan, serta
pertanggungjawaban membutuhkan perbaikan (reparation) yang sah secara
hukum. Pada intinya, pertanggungjawaban adalah sebuah usaha yang dilakukan
oleh subyek hukum dengan tujuan untuk memperbaiki apa yang telah dirusak atau
mengembalikan sesuatu sesuai dengan keadaan sebelum terjadi pelanggaran
hukum atasnya.
Pertanggungjawaban sebagai sebuah tindakan hukum, tentunya hanya bisa
dilaksanakan oleh subyek hukum yang berkedudukan sebagai pelaksana hak dan
kewajiban. Dewasa ini sudah muncul beberapa entitas yang diakui sebagai subyek
hukum internasional, namun dalam penulisan ini, penulis berfokus ada 2 (dua)
subyek hukum internasional, yakni negara dan individu.
52
3.2.1. Konsep pertanggungjawaban negara
Dalam berbagai sistem hukum, setiap entitas memiliki hak dan kewajiban
yang bersumber dari hukum yang berlaku.9 Status dari sebuah entitas menjadi
penentu kewajiban mana yang harus dijalankan dan hak apa yang patut diterima.10
Dalam perkembangannya, sistem hukum internasional secara bertahap
mulai mengakui subyek-subyek hukum internasional yang baru, meskipun negara
tetap dianggap sebagai entitas yang menjadi prioritas dalam hukum
internasional.11
Hal tersebut menjadi alasan kuat mengapa hukum internasional
mengutamakan perhatiannya terhadap hak dan kewajiban negara.12
Adapun hak
dan kewajiban negara tersebut dapat ditemukan dalam sumber-sumber hukum
internasional yang dimuat dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah
Internasional, yang adalah sebagai berikut: (a) international conventions, whether
general or particular, esthablishing rules expressly recognized by the contesting
states; (b) international custom, as evidence of a general practice accepted as
law; (c) the general principles of law recognized by civilized nations; (d) subject
to the provision of Article 59, judicial decisions and teachings of the most highly
qualified publicists of the various nations, as subsidiary means for the
determination of rules of law.”
The 1970 Declaration on Principles of International Law sebagai salah satu
sumber hukum internasional yang memuat prinsip-prinsip yang diakui dan dianut
dalam hukum internasional menegaskan bahwa, “all states enjoy sovereign
equality. They have equal rights and duties and are equal members of the
9Malcolm N. Shaw, International Law Edisi Ke-6, Cambridge University Press, New
York, 2008, h. 195 (Selanjutnya disingkat Malcolm II). 10
Malcolm II., Ibid., h. 196. 11
Malcolm II, Ibid., h. 197. 12
Peter Malanczuk., Op.Cit., h.75.
53
international community, notwithstanding differences of an economic, social,
political, or other nature.” Meskipun konteksnya terkait dengan kedaulatan
sebuah negara, namun tidak menghilangkan esensi norma yang mau menjelaskan
bahwa di hadapan hukum internasional, setiap negara terikat akan hak maupun
kewajiban. Contoh lainnya tentang hak serta kewajiban negara termuat dalam the
Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relations
and Co-operation among States adopted in October 1970 by the United Nations
General Assembly, yang menyebutkan bahwa:
“[n]o state or group of states has right to intervene, directly or
indirectly, for any reason whatever, in the internal or external
affairs of any other state. Consequently, armed intervention and
all other forms of interference or attempted threats against the
personality of the state or against its political, economic and
cultural elements, are in violation of international law.”
Norma ini menunjukan bahwa sebuah negara memiliki hak untuk tidak
diintervensi oleh negara lain, sementara disisi lainnya setiap negara dibebankan
kewajiban untuk tidak melakukan intervensi dalam hal apapun sebagai bentuk
penghormatan terhadap hak yang dimiliki oleh negara lain, yang bersumber dari
hukum internasional.
HHI merupakan salah satu bidang ilmu yang juga mendistribusikan hak dan
kewajiban yang mengikat bagi negara baik berupa norma tertulis maupun
kebiasaan. Dalam bab sebelumnya (Supra 2.3.), penulis telah menguraikan
instrumen hukum yang melindungi lingkungan hidup selama perang, di mana
secara tidak langsung membebankan kewajiban kepada negara dan juga individu-
individu untuk menghormati dan menjamin penghormatan terhadap ketentuan-
ketentuan tersebut dalam segala keadaan. Hal ini tercermin dari Pasal 1 Konvensi
Jenewa I 1949 “the High Contracting Parties undertake to respect and to ensure
54
respect the natural environment as civilian object is arranged in Protocol I,”
juncto Pasal 1 ayat (1) Protokol Tambahan I menyebutkan bahwa “the High
Contracting Parties undertake to respect and to ensure respect for this Protocol
in all circumstances.” Demikian pula dengan Konvensi ENMOD, Pasal 1 ayat (1)
dan (2) secara ekspilisit menyebutkan kewajiban negara (Supra 2.3.1.a), yakni:
“[1] each party to this Convention undertakes not to engage in
military or any other hostile use of environmental modification
techniques having widespread, long-lasting, or severe effects as
the means of destruction, damage or injury to any other State
Party.
[2] Each State Party to this Convention undertakes not to assist,
encourage, or induce any State, group of States or international
organization to engage in activities contrary to the provisions of
paragraph 1 of this article.”
Adapun yang dimaksudkan oleh frasa
‘the High Contracting Parties’ disini merupakan negara-negara sebagai pihak yang
menandatangani perjanjian atau kontrak dalam hukum internasional. Melalui instrumen hukum
internasional, setiap negara pihak dibebankan kewajiban untuk menghormati dan
menjamin penghormatan terhadap setiap norma dan prinsip yang diberlakukan di
dalamnya. Hal tersebut termasuk juga memastikan agar setiap tindakan yang
dilakukan mewakili negara sesuai dengan kewajiban yang dibebankan terhadap
negara.
Pada praktiknya, tindakan yang diambil oleh suatu negara seringkali
mengakibatkan luka atau penghinaan terhadap martabat negara lain.13
Bentuk
tindakan tersebut secara umum dapat berupa pelanggaran terhadap hak-hak yang
dimiliki oleh negara lain, atau tidak dipenuhinya kewajiban internasional yang
bersumber dari perjanjian-perjanjian atau kebiasaan masyarakat internasional
yang telah dianggap sebagai hukum. Tindakan negara yang dinyatakan salah
menurut hukum internasional maupun cabang-cabangnya (salah satunya HHI),
13 J.G. Starke, Op.Cit., h. 275.
55
secara otoritatif membebankan pertanggungjawaban terhadap negara.14
Dalam
memahami konsep hukum secara umum, logislah apabila suatu pelanggaran
menimbulkan efek pertanggungjawaban dari pihak yang melakukan untuk
mengembalikan keadaan sebagaimana sebelum suatu tindakan pelanggaran
dilakukan.
Pertanggungjawaban negara merupakan salah satu prinsip hukum yang
mendasari hukum internasional. Konsep pertanggungjawaban negara yang diakui
dalam hukum internasional, terdiri atas 2 (dua), yakni prinsip
pertanggungjawaban obyektif dan prinsip pertanggungjawaban subyektif. Prinsip
pertanggungjawaban obyektif atau disebut juga teori “resiko”, menyatakan bahwa
pertanggungjawaban hukum negara bersifat mutlak.15
Artinya, ketika suatu
perbuatan melawan hukum terjadi, menimbulkan kerugian dan dilakukan oleh alat
negara, menurut hukum internasional, negara harus bertanggung jawab kepada
pihak (negara) lain yang dirugikan, dengan mengabaikan apakah tindakan tersebut
dilandasi oleh itikad baik atau itikad buruk.16
Sebaliknya, prinsip
pertanggungjawaban subyektif atau disebut juga teori “kesalahan” menegaskan
bahwa harus ada unsur kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa) di pihak
persona terkait sebelum negaranya dapat diputus bertanggung jawab secara
hukum atas kerugian yang ditimbulkan.17
Malcolm menambahkan pula bahwa
Mahkamah Internasional lebih condong terhadap teori kesalahan, dimana secara
14
Malcolm I, Op.Cit., h.773. 15
Malcolm I., Ibid., 775. 16
Malcolm I., Ibid. 17
Malcolm I., Ibid.
56
implisit dinyatakan oleh hakim Mahkamah Internasional melalui kasus Corfu
Channel:18
“dari fakta bahwa suatu negara menjalankan kontrol atas teritori
dan perairannya saja, tidak dapat disimpulkan bahwa negara itu
niscaya mengetahui, atau harus mengetahui setiap perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan di dalamnya, juga tidak dapat
disimpulkan bahwa negara niscaya mengethaui atau seharusnya
sudah mengetahui sumber-sumber pelanggaran. Fakta itu
sendiri, dan di luar keadaan-keadaan lain, tidak melibatkan
pertanggungjawaban prima facie tidak mengalihkan beban
pembuktian.”
Artinya bahwa negara tidak bisa dianggap secara serta merta bertanggung jawab
atas suatu tindakan, apabila tidak ditemukan bukti-bukti yang secara rasional dan
logis (tidak menduga-duga) mampu menyimpulkan bahwa negara tidak
menjalankan kewajibannya atas dasar unsur kesalahan atau kesengajaan. Untuk
itu pula, Malcolm mengemukakan ciri-ciri esensial pertanggungjawaban negara
berhubungan dengan beberapa faktor dasar, di antaranya adalah sebagai berikut:19
(i) adanya kewajiban hukum internasional yang masih berlaku di antara
kedua negara yang bersangkutan. Kewajiban internasional yang
dimaksud disini mengikat negara, baik melalui perjanjian-perjanjian
internasional, hukum kebiasaan yang diterima oleh masyarakat dunia
secara umum serta yurisprudensi yang berasal dari pengadilan
internasional;
(ii) bahwa telah terjadi suatu perbuatan atau kelalaian yang melanggar
kewajiban dan mewajibkan negara tersebut bertanggung jawab.
Artinya bahwa tindakan-tindakan yang dilakukan oleh negara
18
Malcolm I., Ibid.776. 19
Malcolm I., Ibid., h.774
57
memenuhi elemen-elemen pembentuk kesalahan atau kelalaian yang
diatur melalui sebuah instrumen hukum;
(iii) bahwa perbuatan melanggar hukum atau kelalaian tersebut
menimbulkan kehilangan atau kerugian. Bentuk-bentuk kehilangan
atau kerugian yang dialami negara akibat pelanggaran hukum yang
dilakukan oleh negara lain harus bersifat eksplisit atau dengan kata lain
harus secara nyata dapat dilihat.
Secara singkat dapat disimpulkan bahwa sekalipun setiap negara memiliki
kepentingan hukum dalam melindungi hak-hak dasarnya, namun negara juga tidak
bisa melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban yang mengikatnya. Pengingkaran
terhadap kewajiban yang harus dijalankan oleh negara mengakibatkan
pertanggungjawaban negara untuk melakukan tindakan perbaikan.
Peter Malanczuk berpendapat bahwa ketika negara melakukan suatu
tindakan yang mengabaikan kewajibannya dalam sumber-sumber hukum yang
diakui, maka hal tersebut berarti negara melakukan pelanggaran terhadap hukum
internasional dan disebut sebagai ‘internationally wrongful act’.20
Terminologi
internationally wrongful act mulai dikenal luas sejak Agustus 2001, ketika
International Law Commission (ILC)21
sebagai sebuah badan di bawah
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengadopsi sebuah draft Articles on
Responsibility of State for Internationally Wrongful Act (selanjutnya disebut
20
Peter Malanczuk, Ibid., h.254. 21
ILC merupakan sebuah badan yang didirikan oleh Majelis PBB sejak tahun 1948,
terdiri atas sekelompok ahli hukum yang bertanggung jawab terhadap perkembangan hukum
internasional dan bertugas untuk mengupayakan kodifikasi terhadap hukum internasional.
58
draft)22
, yang walaupun belum disahkan sebagai sebuah konvensi internasional,
namun konten dari draft telah diterima dengan sangat baik bahkan telah dikutip
beberapa kali dalam putusan Mahkamah Internasional. Hal ini dikarenakan
kedudukan ILC yang dapat dianggap sebagai badan yang paling berkompeten
dalam memberikan pemahaman terkait intepretasi terhadap hukum internasional.
Draft juga disusun oleh pakar-pakar hukum internasional yang dilandaskan pada
teori dan doktrin-doktrin yang berlaku di lingkup hukum internasional. Ditambah
lagi, kedudukan draft di dalam hukum internasional telah semakin diakui dengan
dimasukkannya norma-norma yang diatur oleh draft ke dalam HHI Kebiasaan.23
3.2.2. Konsep pertanggungjawaban pidana secara individual
Pada masa yang lalu, doktrin positivisme ortodoks secara jelas menegaskan
bahwa negara adalah satu-satunya subyek hukum internasional.24
Dalam
perkembangannya melalui perjanjian-perjanjian internasional beberapa entitas
diberikan kapasitas oleh hukum sebagai international legal person, maka doktrin
ini tidak bisa dipertahankan lagi.25
Individu adalah salah satu subyek hukum yang
terbilang baru dalam hukum internasional, dimana isu mengenai status dan
kedudukannya muncul seiring dengan berkembangnya perlindungan hak asasi
manusia (HAM) secara global. Hal tersebut secara bersamaan mengakui bahwa
individu dapat bertanggung jawab atas tindakan tertentu. Dengan demikian, fiksi
22
Lihat draft articles on Responsibility of State for Internationally Wrongful Act yang
diadopsi oleh ILC pada musim ke-53 (2001), Official Records on General Assembly Fifty-sixth