75 BAB III PERBEDAAN PANDANGAN ULAMA TAFSIR MENGENAI TERM AL-MUSHRIKA>T alam bab III ini, adalah penjelasan khusus mengenai pernikahan beda agama, yaitu, pernikahan antara pria muslim dengan wanita musyrik (al-mushrika>t), atau pernikahan antara wanita muslimah dengan pria musyrik (al- mushriki>n), terhadap penafsiran teks-teks pernikahan beda agama, yang menjadi pemicu perdebatan di kalangan ulama tafsir. Munculnya perdebatan tersebut, disebabkan karena perbedaan dalam menafsirkan istilah-istilah yang terkandung dalam teks-teks QS.al- Baqarah/2:221, QS. al-Ma>idah/5:5, QS. al-Mumtahanah/60:10. Di antara istilah-istilah itu, mengenai, al-mushrika>t, ahl al-kita>b (apakah masuk penganut agama Yahudi dan Nasrani di dalamnya atau tidak), bahkan meluas pemahaman kepada istilah, al-maju>si, al-s}a>bi’ah. Karena itu, untuk memahami lebih luas penafsiran ayat-ayat tersebut, kajian terhadap istilah-istilah tersebut, sangatlah penting, yaitu : A. Pengertian Al-Mushrika>t ( musyrik ). Kata ” musyrik ” merupakan bentuk ism al-fa> ’il ( اىفبعو اس) = ( kata benda yang menunjukkan pelaku ) yang berasal dari asal kata ashraka-yushriku-ishra>k-mushrik ( شاك إش– شكششك أش– شك يش- ), dan perbuatan tersebut adalah shirk. Pelaku perbuatan syirk itu disebut musyrik. Secara bahasa, Ibn Manz} ur mengartikan kata shirk sebagai shari>k [ شيل ش], atau [صيت] „persekutuan‟ atau „bagian‟. 1 Sementara Ra> ghib al-Asfaha> ni mengartikan mukha>lat}atu shari>kain [ بىطخخنيشياىش] yakni, pencampuran dua kepemilikan tentang harta atau sesuatu yang diperoleh untuk dua hal atau lebih, baik secara subtansi maupun secara makna. Seperti dalam bagian warisan, atau kongsi dagang atau bersama-sama melakukan tugas tertentu. Karena musyrik merupakan pelaku shirk, maka secara bahasa kata itu berarti orang yang melakukan persekutuan atau perserikatan atau membagi bagian tertentu. 2 Sedangkan secara terminologis (istilah), shirk berarti menjadikan sesuatu bersama Allah sebagai tuhan untuk disembah. Dan ” sesuatu ” yang dimaksudkan itu bisa berbentuk benda hidup D
96
Embed
BAB III PERBEDAAN PANDANGAN ULAMA TAFSIR … · mushriki>n), terhadap penafsiran teks-teks pernikahan beda agama, yang menjadi pemicu perdebatan di kalangan ulama tafsir. Munculnya
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
75
BAB III
PERBEDAAN PANDANGAN ULAMA TAFSIR MENGENAI
TERM AL-MUSHRIKA>T
alam bab III ini, adalah penjelasan khusus mengenai
pernikahan beda agama, yaitu, pernikahan antara pria
muslim dengan wanita musyrik (al-mushrika>t), atau
pernikahan antara wanita muslimah dengan pria musyrik (al-
mushriki>n), terhadap penafsiran teks-teks pernikahan beda agama,
yang menjadi pemicu perdebatan di kalangan ulama tafsir.
Munculnya perdebatan tersebut, disebabkan karena perbedaan dalam
menafsirkan istilah-istilah yang terkandung dalam teks-teks QS.al-
Baqarah/2:221, QS. al-Ma>idah/5:5, QS. al-Mumtahanah/60:10. Di
antara istilah-istilah itu, mengenai, al-mushrika>t, ahl al-kita>b (apakah
masuk penganut agama Yahudi dan Nasrani di dalamnya atau tidak),
bahkan meluas pemahaman kepada istilah, al-maju>si, al-s}a>bi’ah.
Karena itu, untuk memahami lebih luas penafsiran ayat-ayat tersebut,
kajian terhadap istilah-istilah tersebut, sangatlah penting, yaitu :
A. Pengertian Al-Mushrika>t ( musyrik ).
Kata ” musyrik ” merupakan bentuk ism al-fa>’il ( اس اىفبعو ) =
( kata benda yang menunjukkan pelaku ) yang berasal dari asal kata
ashraka-yushriku-ishra>k-mushrik ( ششك –إششاك -يششك –أششك ), dan
perbuatan tersebut adalah shirk. Pelaku perbuatan syirk itu disebut
musyrik. Secara bahasa, Ibn Manz}ur mengartikan kata shirk sebagai
shari>k [ ششيل ], atau [ صيت ] „persekutuan‟ atau „bagian‟.1 Sementara
yakni, pencampuran dua kepemilikan tentang harta atau [اىششيني
sesuatu yang diperoleh untuk dua hal atau lebih, baik secara subtansi
maupun secara makna. Seperti dalam bagian warisan, atau kongsi
dagang atau bersama-sama melakukan tugas tertentu. Karena musyrik
merupakan pelaku shirk, maka secara bahasa kata itu berarti orang
yang melakukan persekutuan atau perserikatan atau membagi bagian
tertentu.2
Sedangkan secara terminologis (istilah), shirk berarti
menjadikan sesuatu bersama Allah sebagai tuhan untuk disembah.
Dan ” sesuatu ” yang dimaksudkan itu bisa berbentuk benda hidup
D
76
seperti binatang, pohon atau benda mati, seperti patung, bisa dalam
bentuk materi, seperti matahari, bangunan, maupun immateri, yaitu
ruh, jin, dan sebagainya. Dengan demikian, orang musyrik pada
hakikatnya adalah orang yang mengingkari ke-Esaan Tuhan, apakah
dari segi zat, sifat, maupun perbuatan-Nya. Pengingkaran terhadap
tiga segi tersebut, konsekwensinya, membawa kepada pengingkaran
terhadap kemaha kuasaan Tuhan sebagai pencipta dan pengendali
alam semesta, namun orang musyrik itu tidak mengingkari Allah
sebagai Tuhan.3
Mempersekutukan Allah dengan arti, menjadikan tuhan-
tuhan kecil sebagai objek sesembahan bersama Allah, dibedakan
kepada tiga pengertian, yaitu shirk rubu>biyyah [ ششك سثثيخ ] dan shirk
ulu>hiyyah [ ششك أىيخ ], dan shirk ’ubudiyyah [ششك عجديخ ].4 Di dalam
tauhid rubu>biyyah, Tuhan adalah pencipta, pemelihara, dan
pengendali alam semesta, sedangkan tauhid ulu>hiyyah, melihat
Tuhan sebagai dhat yang wajib disembahan dan dipuja, diminta
pertolongan, serta sebagai objek kepasrahan diri. Oleh karena itu,
shirk rubu>biyyah, berarti pengakuan adanya, kekuatan lain, selain
Allah di dalam penciptaan, pemeliharaan, dan pengendalian alam
semesta, sedangkan shirk ulu>hiyyah, berarti pengakuan tentang
adanya kekuatan dan kekuasaan selain Allah yang wajib disembah,
dipuja, dimintai pertolongan, serta sebagai objek kepasrahan diri.
Penjelasan itu juga didapati pada penjelasan Yusuf al-Qardawi dalam
bukunya Haqi>qatu al-Tauhi>d, bahwa perbuatan syirk sebagai dosa
yang sangat besar dibandingkan semua dosa yang diperbuat oleh
manusia dan shirk merupakan dosa yang tak terampunai QS. Al-
Nisa/4:48.5
Dalam hal ini, para ulama membagi shirk menjadi dua bagian,
yakni shirk akbar (ششك أمجش)(syirk besar) dan shirk asghar ( ششك
termasuk syirk besar atau syirk terang-terangan ,(syirk kecil)(أصغش
bila perbuatan atau keyakinan tentang akan adanya kekuatan dan
sembahan selain Allah S.W.T, sedangkan syirk kecil atau syirk
tersembunyi umumnya terdapat di dalam ibadah yang dikerjakan
tidak karena mengharap ridha Allah SWT, seperti riya‟ dan munafik.
Di dalam al-Qur‟an tidak terungkap secara jelas bentuk syirk ini,
namun para mufassir, seperti al-Zamakhsyari, al-Baidawi dan al-
Taba‟taba‟i, mengartikan kata syirk dalam QS. Al-Kahfi/18:110, QS.
Yusuf/12:106, dan al-A‟raf/7:190 sebagai syirk kecil dalam bentuk
riya‟.6 Selain itu, beberapa ayat tersebut dalam kaitannya syirk kecil,
77
termasuk dalam QS. Al-Kahfi/18:110, menurut Hamka, bahwa iman
dan amal salih suatau hal yang tidak dapat dipisahkan, karena iman
adalah kepercayaan di dalam hati, sedangkan amal saleh adalah bekas
yang wajar dari keimanan. Maka tidak mungkin iman saja dengan
tanpa menghasilkan amal, dan tidak mungkin amal saja, padahal tidak
bersumber dari niat yang ikhlas. Dan ikhlas itu tidak akan ada, kalau
tidak bersumber dari adanya Iman.7
Di dalam Al-Qur‟an, kata shirk terdapat dalam berbagai
bentuk kata jadiannya, terulang sebanyak 168 kali, dengan berbagai
derivasinya. Kata shirk terulang sebanyak 4 kali, satu kali dalam
konteks shirk QS.Luqma>n/31:14, dan tiga kali dalam konteks
menentang terhadap perbuatan shirk QS. Saba >‟/34:22,QS.
Fa>thir/35:40, QS. al-Ahqa>f/46:4, sedangkan dalam bentuk jamak
terulang sebanyak 49 kali.8 Beberapa pengertian yang terkandung di
dalamnya, secara umum dapat dikembalikan kepada arti kebahasaan.
Meskipun demikian, tidak semua kata yang berasal dari kata dasar
sha>raka [شبسك] mengandung pengertian mensyarikatkan Allah.
Meskipun perlu segera dinyatakan, bahwa pengertian itulah, yang
lebih banyak digunakan Al-Qur‟an.9
Dalam kata kerja lampau (Ma>d}i), term shirk dijumpai
sebanyak 18 kali, semuanya mengarah kepada perbuatan
mensyarikatkan Allah. Perbuatan tersebut termasuk dosa besar,
karena yang demikian ini, merupakan pengingkaran terhadap keesaan
Allah, baik secara Dhat, Sifat, maupun perbuatan-Nya.
Mensyarikatkan Allah akan menyebabkan akan hapusnya amal
seseorang, karena meskipun mereka tidak mengingkari keberadaan
Allah, tetapi perbuatan tersebut, ternodai kesempurnaan Allah,
dengan menjadikan makhluk-Nya, sebagai sekutu bagi-Nya. Hal
tersebut diperjelas dengan Firman-Nya, QS. Al-Zumar/39:65.
Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang ( nabi-
nabi ) sebelum kamu. Jika kamu mempersekutukan Tuhan, niscaya akan hapuslah
amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi ( QS. Al-
Zumar/39:65 ). 10
78
Sedangkan dalam bentuk kata kerja (Mud}a>ri), kata shirk
muncul sebanyak 32 kali, semua menunjuk kepada perbuatan
mensyarikatkan Allah. Dan Al-Qur‟an menyatakan secara ekplisit
bahwa shirk adalah perbuatan dosa besar dan tidak diampuni oleh
Allah, sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya.
Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni
segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa
yang besar. ( QS. Al-Nisa’/4 : 48 ) 11
Ayat di atas, selain menyatakan betapa besarnya dosa shirk,
juga secara ekplisit menyatakan, bahwa dosa syirk adalah dosa yang
tidak diampuni Allah. Berdasarkan ayat itu, para ulama umumnya,
sepakat, bahwa semua dosa besar dapat diampuni kecuali dosa syirik.
Hal itu didasarkan pada riwayat mengenai sebab nuzul ayat tersebut.
Hal itu, didasari pada riwayat, disebutkan bahwa ketika QS. al-
Zumar/35:53 yang menyatakan, bahwa Allah mengapuni semua dosa,
lalu Nabi S.A.W membacakannya di hadapan para sahabat. Salah
seorang di antara mereka bertanya : Wahai Rasul, apakah dosa syirik
termasuk dosa yang diampuni ? Tetapi Nabi diam saja. Sahabat
tersebut, mengulangi pertanyaannya, namun Nabi diam. Hal itu
berulang, hingga turunnya Qs. al-Nisa/4:48, yang menegaskan bahwa
dosa syirk tidak diampuni Allah.12
Mereka yang berpendapat dosa
syirik tidak dapat diampuni Allah, menganggap firman Allah dalam
QS. al-Zumar/39:53 menyatakan semua dosa diampuni oleh Allah,
hanya ditujukan kepada orang-orang mukmin yang berdosa, dan
bukan kepada mereka yang musyrik.13
Ibn Kathir mengemukakan,
dosa yang diampuni Allah SWT itu adalah dosa orang Mukmin,
bukan orang musyrik.14
Pada sisi lain, al-Zamakhshari sebagaimana
al-T}aba>’taba>’i dan umumnya kelompok Mu‟tazilah, mengatakan
bahwa semua dosa tanpa terkecuali, termasuk shirk, dapat diampuni
oleh Allah SWT, asalkan bertaubat.15
Bahkan al-Zamakhshari, mengutip pendapat Imam Ahmad
bin Hambal, mengatakan bahwa, dosa syirk dapat diampuni Allah
SWT, jika pelakunya bertaubat, sedangkan dosa lainnya, dapat
diampuni Allah SWT kendati tanpa taubat.16
Sementara itu, term
79
syirk yang diungkap dengan bentuk ism mas}dar ( infinitif ), sebanyak
5 kali, dua kali di antaranya secara tegas, memberikan makna syirik
QS. Luqman/31:13 dan Fa>t}ir/35:14. Sedangkan tiga ayat lainnya, QS.
Saba‟/34:22, Fa>t}ir /35:40 dan QS. al-Ahq>af/46:4, hanya menunjukan
pengertian keterlibatan dalam suatu pekerjaan. Ketiga ayat yang
disebutkan terakhir ini, menegaskan bahwa orang-orang musyrik
sama sekali tidak terlibat dalam hal penciptaan langit dan bumi.
Pengungkapan term shirk dalam bentuk amr (perintah), ditemukan
dua kali, QS. al-Isra/17:64, dan QS. T}aha/20:32. Kedua ayat tersebut,
tidak terkait dengan syirk dalam arti mensyarikatkan Allah. Kata
sha>rik[شارك]QS.al-Isra‟/17:64, menunjukkan bahwa, Allah
memerintahkan kepada iblis dengan segala kemampunnya untuk
menyesatkan manusia, termasuk melakukan kerjasama untuk
mempengaruhi mereka. Sedangkan kata ashrik [أشرك] dalam QS.
T}aha/20:32 berisi informasi tentang permintaan Nabi Musa as.
kepada Allah SWT agar Harun a.s, saudaranya, dijadikan teman dan
sekutu dalam menjalankan misis kerasulannya.17
Sedangkan kata shari>k [ شريك ] dan shuraka> [شركاء] yang
terulang sebanyak 40 kali, terkadang menunjuk kepada sesuatu yang
dijadikan orang-orang musyrik sebagai sekutu Allah QS. al-
Isra‟/17:111,QS.al-Ra‟d/13:16. Tetapi terkadang pula menunjukan
kepada arti berserikat dalam melakukan pekerjaan, seperti QS. Al-
Zumar/39:29. Dalam hal ini, kata shuraka>, berarti orang-orang yang
berserikat dalam memiliki seorang budak. Dalam bentuk ism fa>’il, term syirk disebutkan sebanyak 51 kali. Dua kali di antaranya
diungkap dalam bentuk mushtarik (مشترك ) QS. al-S}affa>t/37:33 dan
QS. al-Zukhru>f/43: 39. Kedua ayat ini, tidak bermakna syirk, tetapi
menunjukkan bahwa orang-orang kafir termasuk orang-orang
musyrik, akan merasakan sisksaan api neraka secara bersama-sama.
Sedangkan 49 kali diantarnya, diungkap dengan bentuk musyrik, baik
dalam bentuk tunggal maupun jamak, semuanya menunjuk kepada
orang-orang musyrik. Pengungkpan term ism fa>il antara lain,
menunjuk kepada sikap dan prilaku orang-orang musyrik, khususnya
prilaku musyrik Makkah, yang tidak menginginkan umat Islam
memperoleh kebaikan QS. al-Baqarah/2:105. Al-Qur‟an
memerintahkan umat Islam untuk berpaling dari orang-orang musyrik
QS. al-An‟am/6:106, QS. al-Hijr/15:94 perintah untuk melakukan
perang terhadap orang-orang musyrik Makkah QS. al-Taubah/9:5 dan
36, larangan mendoakan orang-orang musyrik QS.Al-Ahzab/33:73,
80
Qs. Al-Fa>t}ir/48:6, dan al-Bayyinah/98:6, serta larangan terhadap
orang-orang mukmin melakukan hubungan perkawinan dengan
orang-orang musyrik QS.al-Baqarah/2:221. Dalam kaitannya dengan
Nabi Ibrahim a.s sebagai,“ Bapak monotheisme“ yang dikenal sangat
kokoh membersihkan„aqidah tauhid „ dari segala kemusyrikan, baik
berupa patung-patung, binatang, bulan, matahari, bahkan juga segala
sesuatu selain Allah, Al-Qur‟an memuat pernyataan secara tegas,
bahwa beliau bukanlah dari golongan orang-orang musyrik.18
Setelah memahami definisi tentang al-mushrika>t, yang secara
garis besar para ulama menyatakan, bahwa hal itu, suatu perbuatan
menyarikatkan Allah SWT, sehingga setiap perbuatan yang
berindikasi mensyarikatkan Allah adalah syirk dan dosa besar.
Pembahasan berikutnya, penjelasan mengenai pernikahan
dengan orang musyrik, yang akan dibahas dalam sub bab berikut ini.
B. Menikah Dengan Orang Musyrik ( al-Mushrika>t ). Pernikahan antara umat berbeda agama merupakan satu hal
yang pelik, kaitannya dengan hubungan sosial antarumat beragama.
Dalam sejarah-sosial pemahaman umat Islam, terutama dalam fiqh,
telah banyak perbedaan pendapat yang muncul soal ini, ada yang
membolehkan dengan catatan, dan ada yang tidak membolehkan,
baik yang laki-laki dari pihak muslim, atau perempuan dari kalangan
ahl al-kita>b atau mushrik dan sebaliknya.19
Al-Qur’an secara tegas
melarang umat Islam menikahi wanita musyrik (al-mushrikah) dan
juga pria musyrik (al-Mushrikin). Pria muslim tidak boleh menikahi
wanita musyrik, demikian wanita muslimah tidak boleh menikah
dengan pria musyrik, menurut QS.Al-Baqarah/2:221, disebutkan
sebagaimana bunyi teks ayatnya:
*
81
Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman. Sesungguhnya budak wanita yang beriman lebih baik dari wanita
musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamumenikahkan orang-
orang musyrik (dengan wanita-wanita mu'min) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mu'min lebih baik dari orang-orang musyrik walaupun
dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga
dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya( perintah-
perintahnya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.(QS.al-
Baqarah/2:221).20
Ibn Kathi>r dalam kitabnya, menyatakan haram pria muslim
menikahi wanita musyrik penyembah berhala, dan dalam ayat ini,
tidak mencamtumkan larangan menikahi wanita ahl al-Kita>b, karena
Allah telah menghalalkan pernikahan dengan mereka, sebagaimana
QS. Al-Ma>idah/5:5.21
Keterangan ayat al-Baqarah di atas, telah jelas
menyatakan ketidakbolehan seorang laki-laki muslim menikahi
wanita musyrik, sebagaimana juga ketidakbolehan wanita muslimah
menikah dengan laki-laki musyrik. Hal itu, dapat juga disebabkan
karena dua perbedaan yang mencolok antara dua pemeluk agama
tersebut, bahwa orang beriman akan mengajak ke surga, sedangkan
orang kafir mengajak ke neraka. Orang beriman percaya kepada
Allah SWT, kepada para Nabi dan hari akhir, sedangkan orang
musyrik menyekutukan Allah, mengingkari para nabi dan
membangkang akan hari akhir. Dan menjadi sebuah pertanyaan,
apakah mungkin akan terwujud suatu kedamaian, sebuah pernikahan
atas dua sisi yang berbeda keyakinan ? Namun yang menjadi titik
permasalahan menurut para ulama adalah wanita musyrik apakah
yang dimaksudkan ayat di atas ? Ibn Jari>r al-T}}abari, seorang ahli
tafsir terkemuka berpendapat, bahwa perempuan musyrik yang
haram dinikahi adalah perempuan musyrik dari bangsa Arab saja.
Sebab ketika diturunkan ayat Al-Qur’an, mereka adalah penyembah
berhala dan tidak memiliki kitab suci.22
Konsekwensi dari pendapat
ini, maka para laki-laki muslim dibolehkan menikahi wanita musyrik
yang bukan bangsa Arab, dengan demikian, boleh menikahi wanita
musyrik Cina, India, Jepang, yang diduga dahulu mempunyai kitab
suci atau serupa kitab sucinya, seperti pemeluk, agama Budha,
Hindu, Konghuchu, yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa,
percaya adanya hidup setelah mati. Hal senada dengan al-T}abari juga
dianut oleh Rashi>d Rid}a> dan Muhammad Abduh.23
82
Pendapat di atas, segera mendapat bantahan dari kalangan
ahli tafsir dan ahli fiqh yang merupakan pendapat Jumhur, yang
berpendapat, bahwa, wanita musyrik itu bukan sebatas pada wanita
bangsa Arab saja, melainkan juga mencakup semua wanita musyrik
non-Arab dimanapun mereka berada, bahkan, Imam Al-Ra>zi, seorang
ulama yang menolak bahwa makna, 'musyrik', ditujukkan kepada
orang-orang kalangan bangsa Arab, melainkan mereka yang suka
memerangi orang-orang muslim. Karenanya, kaum musyrik bukanlah
ahl al-dhimmah,24
dengan demikian, semua perempuan musyrik baik
dari kalangan bangsa Arab maupun non-Arab selain ahl al-kita>b
seperti,Yahudi (Yudaisme) dan Kristen tidak boleh dinikahi. Dan
menurut pendapat ini juga, bahwa wanita yang bukan muslimah dan
bukan Yahudi atau Kristen tidak boleh dinikahi oleh pria muslim
apapun agama dan kepercayaannya, seperti, Budha, Hindu,
Konguchu, Majusi/Zaroaster, karena mereka selain pemeluk agama
Islam, Kristen dan Yahudi itu, termasuk katagori musyrik
(al-mushrika>t). Bahkan lebih dari itu, para ulama memperluas
keharamannya bukan hanya tertuju kepada wanita musyrik, tetapi
juga kepada wanita atheis yang tidak percaya kepada Allah SWT,
tetapi percaya kepada alam semesta ini, sebagai suatu bentuk yang
kekal dan abadi.25
Terhadap pernikahan muslim dengan wanita musyrik
selanjutnya akan dibahas, menurut perspektif ulama-ulama tafsir
kalangan sahabat.
C. Perspektif Penafsiran Ulama Salaf (Periode Sahabat), Abad I-
II H. 26
Diketahui sepuluh besar kalangan sahabat yang telah diakui
kemampuannya dalam menafsirkan Al-Qur‟an di abad pertama ini.27
Di antaranya, Empat di kalangan sahabat, mereka adalah, Khulafa>’ Al-Ra>shidi>n (11-40 H/622-651M), sedangkan enam yang lain, adalah
Abdullah bin Abba>s ( w. 68 H/687 M), Abdullah bin Mas’u>d (32 H),
Ubay bin Ka‟ab (w. 19 H), Zaid bin Tha>bit, Abu Musa Al-Ash‟ari
serta Abdullah bin Zubayr (w. 95 H).28
Selain mereka juga, terdapat
beberapa tokoh di kalangan sahabat, yang memang kurang begitu
83
tersohor dalam bidang tafsir, tetapi di bidang lain, enam di antara
mereka adalah, Ana>s bin Malik, Abu> Hurairah, Abdullah bin Umar,
Ja>bir bin Abdullah, Abdullah bin Amr bin A>sh dan Siti Aisyah.29
Perkembangan penafsiran para sahabat dijadikan rujukan oleh
murid-murid mereka, yaitu para tabi‟in, sehingga lahirlah t }abaqa>t al-
mufassiri>n (tingkatan para penafsir Al-Qur‟an). Di Mesir muncul
t}abaqa>t yang tafsirnya merujuk pada tafsir Abdullah bin Abba>s, di
Madinah muncul tabaqat lain, seperti Zaid bin Tha>bit, Abdur
Rahman bin Aslam, dan Imam Ma>lik bin Ana>s.30
Di Kufah muncul
t}abaqa>t yang bersumber dari Ibn Mas’u>d. 31
Memahami persoalan ini, beberapa penafsiran ulama (periode
sahabat), menjadi rujukan utama, dengan melihat pemahaman,
metodologi, serta alasan-alasan mereka dalam menafsirkan term al-mushrika>t, terkait kasus pernikahan beda agama, mengenai
pernikahan pria muslim dengan wanita musyrik. Beberapa penelitian
secara komprehenshif, dapat ditelusuri dengan mengkaji, meneliti,
melalui penafsiran para sahabat, mereka adalah :
1. Abdullah Bin Abba>s ( w. 68 H/ 687 M ).
Abdullah bin Abbas adalah putra paman Rasulullah SAW,
yang merupakan saudara sepupu Nabi.32
Di usia yang relatif muda,
Ibn Abba>s telah memperoleh kedudukan yang istimewa di kalangan
pembesar para sahabat, mengingat luasnya ilmu dan ketajaman
pemahamannya. Hal itu, sebuah realisasi atas do‟a Rasulullah
terhadapnya yang berbunyi, ” Allahumma Faqqihu Fi > Al-Ddi>n Wa
’Alimhu al-Ta’wi>l ”, (Ya,Allah berilah pemahaman agama kepadanya
dan ajarilah dia ta‟wil).33
Estafet keilmuan Ibn Abbas dalam bidang
tafsir, dilanjutkan oleh murid-muridnya dari kalangan tabi‟in, di
antara mereka adalah, Sa‟id bin Jubayr (w. 95 H),34
dan Muja>hid bin
Jabr (w. 104 H),35
D}ahak (102 H ),36
Ikrimah Maula > Ibn Abba>s (w.
107 H),37
T}a>wus ibn K>aisa>n al-Yama>ny (w. 106 H), 38
Atha>‟ bin Abi >
Rabba>h (w. 114 H) 39
, mereka murid Ibn Abba>s di Makkah.40
Ibn Abba>s kurang terlihat cakap dalam kancah politik, namun
kemasyhurannya, dikarenakan pengetahuan agamanya yang luas,
terutama dalam tafsir al-Qur‟an, oleh karena itu dalam sejarah
dimasukkannya dalam jajaran tokoh-tokoh para ulama.41
Pandangan
Ibn Abba>s dalam konteks pernikahan beda agama, terkait penafsiran
QS.al-Baqarah/2:221 ini, menyatakan, bahwa Ia membolehkan
pernikahan muslim dengan al-mushrika>t, dengan alasan, mereka
84
sebagai ahl al-Kita>b,42 yang dikecualikan (istisna>’a >t) ayat al-Baqarah
di atas, dengan al-Ma>idah ayat 5.43
Pendapat Ibn Abbas tersebut,
dikutip oleh al-Suyut}i dalam tafsirnya, melalui Ibn Jarir, Ibn Munzir,
Ibn Abi Hatim, serta al-Nuhas (dalam kitab Na>sikh-nya), dan Al-
Baihaqi (dalam Sunan-nya), yang menyatakan bahwa, Ia melarang
pria muslim menikahi wanita musyrik, kemudian Allah SWT
kecualikan bagi wanita ahl al-Kita>b.
و ]ناسخه [و النحاس فى , وابن أبى حاتم , وابن المنذر , وأخرج ابن جرير
ى وال تنك [ : عن ابن عباس فى قوله ]سننه [البيهقى فى حوا المشركات حت
والمحصنات [: نى هللا من ذالك نساء أهل الكتاب , فقالتثقال : اس ] يؤمن
] 5المائدة : ][ من الذين أوتوا الكتاب من قبلكم
Disampaikan oleh Ibn Jarir, dan Ibn Munzir, dan Ibn Abi Hatim, dan al-Nuhas
(dalam Na>sikh-nya ), dan Baihaqi (dalam kitab sunnan-nya), dari Ibn Abba>s, dalam
Firman Allah (Janganlah kamu sekalian menikahi wanita musyrik hingga ia
beriman), berkata Ibn Abbas : Allah SWT mengecualikan darinya wanita ahl al-Kita>b, dengan firman-Nya (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu)
(QS. Al-Maidah/5:5) 44
Ibn Kathi>r membenarkan pendapat Ibn Abba>s r.a., terhadap
larangan pria muslim menikahi wanita musyrik, baik al-mushrika>t, wanita kita>biyah (ahl al-Kitab) maupun wathaniyah (penyembah
berhala), akan tetapi wanita ahl al-kita>b di-tah}s}i>s} (boleh dinikahi).
Sebagaimana dalam tafsirnya, Ia menyatakan :
مشركات من عبدة هذا تحريم من هللا عز وجل على المؤمنين أن يتزوجوا الاألوثان , ثم إن كان عمومها مرادا , وأنه يدخل فيها كل مشركة من كتابية
والمحصنات من الذين [ن ذالك نساء أهل الكتاب بقوله :م ووثنية , فقد خص ]غير مسافحين أوتوا الكتاب من قبلكم إذا ءاتيتموهن أجورهن محصنين
Hal ini merupakan pengharaman dari Allah S.W.T atas kaum mukminin untuk
menikahi wanita musyrik dari penyembah berhala, lalu jika hal itu, merupakan
keterangan secara umum, bahwa masuk di dalamnya pengertian setiap wanita
musyrik, baik ahl al-Kita>b maupun penyembah berhala, maka telah di-takh}s}is} ketentuan itu, wanita ahl al-Kita>b dengan firman-Nya, [Dan dihalalkan
mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang
diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka
dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina](al-Ma>idah/5:5).45
85
Berdasarkan ungkapan di atas menurut Ibn Kathi>r, bahwa
larangan menikahi al-mushrika>t dipahami, tidak lagi berlaku bagi
wanita ahl al-Kita>b, dengan alasan, telah di-takhs}i>s}.46
Keterangan
lain, Ali bin Abi T}alhah menyatakan, maksud Ibn Abbas r.a,
terhadap ayat (Wala> Tankihu> al-Mushrika>t Hatta> Yu’minna),
sebagai bentuk pengecualian untuk wanita ahl al-Kita>b, yang boleh
dinikahi. Pendapat tersebut, didukung oleh sejumlah ulama kalangan
sahabat, seperti, Muja>hid, Ikrimah, Said bin Jubai>r, Makhu>l, al-
Hasan, D}aha>q, Zaid bin Aslam serta al-Rabi’ bin Anas.47
2. Abdulla>h bin Mas’u>d (w. 32 H). Di antara sahabat-sahabat Nabi yang terkenal setelah Ibn
Abbas di bidang tafsir Al-Qur’an adalah Abdullah bin Mas’ud.48
Ia
adalah sahabat Rasulullah SAW yang termasuk dalam golongan
yang pertama masuk Islam (Al-Sa>biqu>na al-Awwalu>n ), kemudian ia
lebih dikenal dengan panggilan Ibn Mas’ud, meskipun ada yang
memanggilnya dengan sebutan Ibn Ummu Abd yang berarti ’ putra
dari budak wanita’. Kendati demikian, ia termasuk sahabat yang
paling memahami Kita>bullah (Al-Qur’an), maka darinya dapat
diketahui yang muhka>m, yang mutasha>bih, yang halal dan haram,
kisah-kisah dan amtha>l ( perumpamaan ). Setelah Ibn Mas’ud masuk
Islam, ia slalu setia mengikuti Nabi, bahkan dikabarkan ia menjadi
pembantu khusus beliau, termasuk dalam urusan rumah tangga. 49
Dalam konteks pernikahan beda agama, tidak terdapat
keterangan yang menyatakan, bahwa Ibn Mas’ud berbeda pandangan
sahabat pendahulunya atau sahabat yang lain, maka dalam kasus
pernikahan beda agama, telah jelas, mayoritas para ulama mulai dari
kalangan sahabat, tabi’in bahkan ulama pada masa awwal Islam
hingga kontemporer, membolehkan status pernikahan muslim
dengan wanita musyrik, dengan alasan ia adalah wanita ahl al-Kita>b,
berdasarkan firman Allah SWT QS. al-Ma>idah/5:5.50
3. Ali Bin Abi> T}a>lib r.a(w. 40 H/660 M).
Pandangan Ali51
tentang nikah beda agama, lebih kepada
pendekatan naskh, yaitu terkait kaidah na>sikh dan mansu>kh, menurutnya, sangat tepat, karena Ia sorang yang sangat
memperhatikan akan pentingnya, na>sikh dan mansu>kh bagi para
penafsir al-Qur‟an. Bahkan Ia menegaskan, bahwa bila seseorang
yang tidak memahami ilmu naskh, maka ia menyatakan, ia adalah
86
telah celaka dan sesat. Sebagaimana sebuah athar Ali bin Abi T}alib
mengungkapkan hal itu terhadap seorang Hakim. Sebagaimana ditulis
oleh Al-Zarkasyi (w.794 H) dalam kitabnya, al-Burha>n dan juga al-
Suyu>t}i (w. 911 H) dalam kitabnya Al-Itqa>n Fi > 'Ulu>m al-Qur'an.
ر كتاب هللا إال بعد أن يعرف منه الناسخ والمنسوخ , وال يجوز ألحد أن يفس قال : هللا وقد قال على بن أبى طالب لقاض : أتعرف الناسخ والمنسوخ ؟
أعلم , قال : هلكت وهلكت .
” Tidak diperkenankan seseorang untuk menafsirkan Al-Qur‟an, kecuali ia
mengetahui na>sikh dan mansu>kh. Lalu Ali bin Abi T>}alib berkata kepada seorang
Hakim, ” Apakah anda mengetahui yang na>sikh dari yang mansu>kh ? Hakim menjawab : Tidak, jawab seorang hakim itu. Lalu Ali berkata : Celakalah anda dan
mencelakai orang lain ”. 52
Memahami na>sikh dan mansu>kh yang merupakan sebagai
dasar memahami tafsir Al-Qur‟an, selain merupakan salah satu cara
mengetahui yang halal dan yang haram hingga tidak bercampur-aduk
antara keduanya, penafsiran teks-teks pernikahan beda agama QS. al-
Baqarah/2:221 dan al-Maidah/5:5, sebagaimana yang dikutip oleh al-
Suyuti, bahwa ayat Al-Baqarah di-nasakh dengan ayat Al-Maidah.
Atas pemahaman itu, Ali bin Abi T}a>lib jelas apa yang dimaksudkan
kedua ayat tersebut, bahkan dalam persoalan pernikahan dengan non
muslim, terhadap larangan pria muslim menikahi wanita musyrik (al-mushrika>t). Karena ia mengetahui status ayat al-Baqarah di atas,
telah di-nasakh dengan Al-Maidah, sehingga menyetujui para sahabat
yang lain, membolehkan pernikahan seorang muslim dengan wanita
ahl-Kita>b. 53
4. Abdullah Bin Umar r.a ( w. 72 H )
Abdullah bin Umar adalah putra Khalifah kedua, yaitu Umar
bin al-Khattab r.a.54
Ia adalah di antara sekian orang yang bernama
Abdullah yang terkenal sebagai kelompok pemberi fatwa, mereka
adalah ; Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Amr bin Ash, Abdullah
bin Zubair serta Abdullah bin Umar .55
Dalam penafsirannya, Abdullah bin Umar, terhadap teks-teks
pernikahan beda agama, QS. Al-Baqarah/2:221, sekilas tampak,
tidak menyetujui adanya pernikahan seorang muslim dengan wanita
87
musyrik (al-mushrika>t). Sebagaimana dikutip dalam beberapa
riwayat darinya. Ibn Abi> Shaibah dan Ibn Abi Ha>tim meriwayatkan
dari Abdullah bin Umar.
أخرج ابن أبى شيبة , وابن أبى هاتم , عن ابن عمر , أنه كره نكاح نساء أهل (. يؤمن حتى المشركات تنكحوا وال ) ل : تأو الكتاب , وي
Dikeluarkan dari Ibn Abi Syaibah dan Ibn Hatim, dari Ibn Umar, bahwasanya, Ia mencela pernikahan seorang muslim dengan wanita Ahl al-Kitab.
Kemudian ia menafsirkan ayat, (Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita
musyrik, sebelum mereka beriman). 56
Riwayat di atas, menyatakan bahwa, Abdullah bin Umar
tanpak tidak menyetujui adanya pernikahan beda agama, bahkan ia
mencela pernikahan semacam ini. Hal itu bisa pahami, karena Ibn
Umar r.a, memandang, bahwa ahl al-kitab adalah musyrik menurut
QS. Al-Baqarah/2:221, dan oleh karenanya, Ia mengharamkan
pernikahan seorang muslim dengan wanita ahl al-Kita>b dengan
alasan kemusyrikan, sebagaimana menurut ayat al-Baqarah di atas.
Tentu pendapat ini, beseberangan dengan pendapat para sahabat
umumnya, yang secara historis mereka telah sepakat membolehkan
pernikahan semacam ini, seperti yang telah dilakukan para sahabat,
Usman bin Affan menikahi Nailah binti Fara>fisah yang merupakan
seorang wanita dari agama Nasrani, kemudian ia masuk Islam dan
Hudhaifah menikahi perempuan bangsa Yahudi. Pernikahan
semacam ini juga, dilakukan di kalangan sahabat lain, seperti, Ibn
Abba>s, T}alhah, Ja>bir dan lainnya. Bahkan di kalangan para tabi‟in,
seperti, Sayyid bin Musayyab, Muja>hid, Said bin Jubair, al-Ra>bi’ bin
Ana>s, Ikri>mah, al-Sha‟bi, D}ahak, serta beberapa kalangan ulama
fiqh.57
Pendapat Ibn Umar bukan tanpa alasan. Dasar pelarangannya
itu, bersumber dari beberapa riwayat, yang disampaikan oleh Imam
al-Bukha>ri dan juga Al-Nuha>s, yang keduanya bersumber dari Na>fi’ :
وأخرج البخارى , والنحاس فى ) ناسخه ( عن نافع , ان عبد هللا بن عمر كان إذا سئل عن نكاح الرجل النصرانية أو اليهودية . قال : حرم هللا المشركات على المؤمنين , وال أعرف شيئا من اإلشراك أعظم من أن تقول
المرأة : ربها عيسى أو عبد من عباد هللا.
88
Dari Al-Bukhari dan Al-Nuhas dalam kitab (Na>sikh Wa al-Mansu>kh), dari
Na>fi’, bahwasanya Abdullah bin Umar, setiap kali ditanya tentang pernikahan
seorang pria muslim dengan wanita Nasrani atau wanita Yahudi. Ia berkata : Allah
mengharamkan wanita-wanita musyrik bagi pria-pria muslim, dan aku tidak
mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari perkataan seorang wanita yang
berkata, bahwa Tuhannya adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba
Allah.58
Ibn Umar r.a dikenal sahabat yang sangat cerdas dan teliti,
memahami apa yang dengarnya dari Rasulullah SAW, selain,
mengetahui kemana Rasullulah pergi, sehingga pengetahuannya
segala ucapan dan perbuatan Rasul. Sebagaimana dalam kasus
pernikahan yang disebutkan athar di atas, larangan pernikahan
seorang muslim dengan wanita musyrik (al-mushrika>t), yang secara
luas, menurut pandangannya, tentang ahl al-kita>b (Yahudi dan
Nasrani) adalah musyrik. Abdullah bin Umar r.a mengatakan, bahwa
tidak ada kemusyrikan yang lebih besar dari keyakinan seorang
wanita yang berkata, ‚Bahwa Tuhannya, adalah Isa atau salah seorang dari hamba-hamba Allah ‚. Dan atas, dasar inilah, Ibn Umar
berbeda pandangan dengan para sahabat umumnya. Pendapat di atas
diperkuat dengan riwayat lain, yang atas ketidaksetujuan Ibn Umar
terhadap pernikahan semacam ini, dengan memprioritaskan nilai
agama di atas segala hal, baik harta, tahta maupun kecantikan
wanita. Diriwayatkan dari Sa’id bin Mansur, bahwa Abdun bin
Humaid (dalam musnad-nya) dan Ibn Majah serta Imam al-Baihaqiy
(dalam Sunan-nya), dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah
bersabda :
فى ) مسنده ( وابن ماجة , حميد بن وأخرج سعيد بن منصور , وعبد وسلم عليه هللا صلى النبى عن ((,عمرو بن هللا عبد والبيهقى فى ) سننه ( عن
تنكحوهن وال, ترديهن أن حسنهن فعسى, لحسنهن النساء تنكحوا ال: قال فألمة, الدين على وانكحوهن , تطغيهن أن أموالهن ىفعس أموالهن على
)). أفضل دين ذات خرماء سوداء
Disampaikan dari Said Ibn Mansu>r dan Abdullah bin Humai>d (dalam
musnad-nya ) dan Ibn Ma>jah dan al-Baihaqi ( dalam Sunan-nya ) dari Abdullah bin
Umar r.a, bahwa Rasulullah S.A.W bersabda : ‛ Janganlah kamu menikahi wanita
karena kecantikannya, karena barangkali kecantikan itu akan menjerumuskan, dan
jangan kamu menikahi mereka karena hartanya, karena barangkali harta benda
membuat kamu melampaui batas, tetapi nikahilah karena agamannya,
89
sesungguhnya budak wanita yang hitam, walaupun tidak cantik tetapi beragama,
itu lebih utama ‛.59
Disebutkan dalam kitabnya S}ahi>hain, al-Bukhari dan Imam
Muslim meriwayatkan dari Abu> Hurairah r.a, bahwa Rasulullah
Bercerita kepadaku ’Amma>r, ia berkata: bercerita kepada kami
Abu Ja’far, dari bapaknya, dari al-Rabi’, tentang firman Allah S.W.T
(Janganlah kalian menikahi wanita musyrik) sampai akhir ayat (La 'alahum Yatadhakkaru>n)(supaya mereka mengambil pelajaran), berkata:Allah telah
mengharamkan al-musyrika>t dalam ayat ini, kemudian Allah menurunkan
surat al-Maidah/5:5, maka dikecualikan wanita ahl al-kita>b dengan firman-
Nya (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan
di antara orang-orang yang diberi Al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah
membayar mas kawin ).71
Selanjutnya al-T}abari, menyebutkan, kelompok kedua : Yang
berpendapat, bahwa ayat al-Baqarah/2:221, diturunkan ditujukan
kepada orang-orang musyrik bangsa Arab saja, dan tidak me-nasakh
suatu ayatpun, dan tidak pula sebagai pengecualian(istisna >‟),
melainkan diturunkan secara umum, kemudian dita‟wilkan secara
khusus. Pendapat ini dikemukakan oleh kalangan sahabat, di
antaranya, (1). Qata>dah, yang disampaikan dari Said bin Zubayr,
berasal dari Yazid > bin Zurai‟, yang diceritakan Basyar bin Mua>z.
حدثنا بشر بن معاذ , قال : ثنا يزيد بن زريع , قال : ثنا سعيد , عن قتادة
يعنى مشركات العرب الالتى ]يؤمن حتى المشركات تنكحوا وال [ قوله :
ليس لهن كتاب يقرأنه
94
” Bercerita kepada kami Basyar bin Muaz, berkata : bercerita kepada kami
Yazid bin Zura‟i, bercerita kepada kami, Said bin Jubayr dari Qata>dah, berkenaan Firman Allah S.W.T, [Janganlah kalian menikahi wanita musyrik hingga mereka
beriman ], yakni, orang-orang musyrik Arab yang mereka tidak memiliki kitab suci
yang dibaca. 72
Masih menurut pendapat Qata>dah dari jalur yang lain, yang
disampaikan oleh Ma‟mar, berasal dari Abdul Raza>q, bersumber dari
Hasan bin Yahya, mengungkapkan hal yang sama, akan tetapi lebih
umum, bahwa yang diharamkan adalah wanita musyrik yang bukan
ahl al-Kita>b yang boleh dinikahi.
حدثنا الحسن بن يحيى قال : أخبرنا عبد الرزاق , قال : أخبرنا معمر عن قال : المشركات من ليس ] يؤمن حتى المشركات تنكحوا وال [ قتادة قوله :
الكتاب , وقد تزوج حذيفة يهودية أو نصرانية . من أهل
Bercerita kepada kami Hasan bin Yahya, berkata : menyampaikan kepada
kami Abdul Raza>q, berkata, menyampaikan kepada kami, Ma‟mar dari Qata>dah
[dan janganlah kalian menikahi wanita musyrik, hingga mereka beriman], ia
mengatakan lagi : adalah orang-orang musyrik yang bukan ahl al-Kitab, dan telah
menikah Hudhaifah dengan wanita Yahudi atau Nasrani.73
Ke (2). Pendapat Sa'i>d bin Zubayr (w. 95 H),74
yang
disampaikan Hamma>d, yang berasal dari Sufyan, yang disampaikan
Wa>qi’, bersumber dari Abu > Kuraib, bahwa wanita musyrik (al-
mushrika>t) yang tidak boleh dinikahi adalah wanita musyrik
penyembah berhala.
قال : ثنا وكيع , عن سفيان , عن حماد , عن سعيد بن جبير حدثنا أبو كريب . قال : مشركات أهل األوثان ] يؤمن حتى المشركات تنكحوا وال [قوله :
Bercerita kepada kami Abu Kuraib, berkata: bercerita kepada kami Waqi‟,
dari Sufyan dari Hammad, yang bersumber dari Said bin Zubayr, terhadap firman
Allah [dan janganlah kalian mengawini wanita musyrik, hingga mereka beriman],
ia berkata : adalah wanita musyrik penyembah berhala. 75
Sedangkan kelompok ketiga : Menyatakan haram untuk semua
jenis kemusyrikan dengan berbagai bentuknya, dan tidak
dikhususkan, baik penyembah berhala, maju>si, ahl al-Kita>b dan tidak
95
pula me-nasakh suatu ayatpun. Hal itu, dikemukakan oleh (1). Shahar
bin Haushab yang disamapaikan oleh Abdu Humaid bin Bahram al-
Faza>ri, yang diceritakan bapaknya, dari Ubaid bin A>dam bin Abi Iya>s
al-Asqala>ni:
بن الحميد عبد حدثنا, أبى حدثنا, العسقالنى إياس بن أدم بن عبيد حدثنا عباس بن هللا عبد سمعت: قال حوشب بن شهر قال : حدثنا , الفزارى بهرام كان ما إال النساء أصناف عن ,وسلم عليه هللا صلى هللا رسول نهى: يقول [: تعالى قال. اإلسالم غير دين ذات كل وحرم, والمهاجرات المؤمنات من
, يهودية هللا عبيد بن طلحة نكح وقد, ] عمله حبط فقد باإليمان يكفر ومن حتى شديدا غضبا الخطاب بن عمر فغضب, نصرانية اليمان بن حذيفة ونكح: فقال, تغضب وال المؤمنين أمير يا نطلق نحن: فقاال, عليهما يسطو أن هم . قماء صغرة منكم أنتزعهن لكنى, نكاحهن حل لقد طالقهن حل لئن
Bercerita kepada kami Ubaid bin A>dam bin Abi > Iya>s al-Asqala>ni, berkata
ia, menceritakan kepada kami bapakku, berkata : menceritakan kepada kami Abdu Humaid bin Bahram al-Fazari, berkata ia : menyampaikan kepada kami Shahar bi
Haushab, berkata : aku telah mendengar Abdullah bin Abbas berkata : Rasulullah
melarang semua kriteria wanita, kecuali wanita-wanita beriman dari kalangan
Muhajirin dan mengharamkan pula mengawini wanita selain yang beragama Islam.
Allah SWT berfirman : ‚ Siapa yang kufur setelah beriman, maka telah hapuslah
amalnya ‚. Dan T}alhah bin Abdullah pernah menikah dengan seorang wanita
Yahudi, dan Hudhaifah bin Yaman pernah menikah dengan wanita Nasrani, maka
Umar Bin al-Khattab marah sekali mendengarnya, hingga hampir saja dia
menghajar keduanya, tetapi keduanya mengatakan; ‚Wahai Ami>rul Mukmini>n
Janganlah engkau marah, kami akan menceraikannya, " khalifah Umar menjawab :
‚ Sekiranya boleh ditalak, berarti boleh dinikahi, akan tetapi aku akan mencabut
حصنات [ ث اسز أو اىنزبة فقبه : كتاب أوتوم م ذ وم إذم قبلكم موه سافح غ ت حصن أجوته ءمت ت ت خذي وال ] أخدم
Bercerita kepada kami Ja‟far bin Muhammad al-Wasit}i, berkata : Bercerita kepada
kami Ja‟far binMuhammad bin al-Yaman, ia berkata : bercerita kepada kami Abu
Ubaid, berkata, bercerita kepada kami Abdullah bin S}aleh, dari Muawiyah bin
Saleh, dari Abi T}alhah, dari Ibn Abbas r.a. Allah S.W.T berfirman ( Wala> Tankihu> al-Mushrika>t ….), berkata : Ibn Abbas, lalu Allah S.W.T mengecualikan mereka
wanita Ahl al-Kitab, dengan firmanNya, (Wal Muh}s}ana>tu Min al-Zi>na Utu> al-
Kita>ba min Qablikum…).87
Keterangan ayat di atas, menurut al-Jas}a>s} setuju dengan Para
Mufassir, yang membolehkan pernikahan dengan wanita Ahl al-Kita>b
sebagai bentuk pengecualian QS. al-Maidah/5:5 terhadap QS. Al-
Baqarah/2:221, bahwa, mereka adalah wanita muh}s}ana>t, wanita
terpelihara kehormatan dari perbuatan zina.88 Penafsiran ayat [ ال
,telah jelas, menurut Al-Jasa>s, bahwa ,[ رنحا اىششمبد حز يؤ
makna al-mushrika>t itu adalah penyembah barhala. Pendapat itu,
dipahami, atas landasan QS.al-Baqarah/2:105 [ ايود الذين كفروا من أهل مكم الكتاب وال المشركين ب ن ر ن خير م ل عليكم م أن ينز ] dan QS.al-
Bayyinah/98:1[ ين حتى يأ تيهم لم يكن الذين كفروا من أهل الكتب والمشركين منفك
نة bahwa orang-orang musyrik, atau orang kafir serta ahl al-kita>b ,[ البي
berbeda statusnya. Pembatasan dengan wawu at}af dalam QS.al-
Bayinah/98:1 itu, membedakan status di antara mereka, karena itulah,
ahl al-Kita>b bukanlah musyrik, sedangkan orang musyrik adalah para
100
pelaku penyembah berhala.89
Tetapi alasan al-Jashas itu, berbeda
dengan para mufassir umumnya, yang menyatakan, bahwa
pengharaman pernikahan itu bukan atas dasar kemusyrikan,
melainkan berdasarkan Illah al-Shar’i>yah (alasan hukum), bahwa
ajakan orang-orang kafir itulah yang membawa kepada kekufuran,
atau sebagai jalan menuju neraka [ أىئل يذع إى اىبس ]. Maka dengan
alasan itu, sebagai contoh telah berlaku sebelum diutusnya Nabi
Muhammad SAW, bahwa pernikahan dengan orang musyrik
dihalalkan, hal itu terjadi di masa Para Nabi, seperti, Nabi Nuh a.s,
Nabi Lut } a.s, yang memiliki seorang istri yang ka>fir, [ ضرب هللا مثال للذين
نيا كفروا امرأت نوح وامرأت لوط كانتا تحت عبدين من عبادنا صالحين فخانتاهما فلم يغ اخلين عنهما من هللا شيئا وق ار مع الد يل ادخال الن ][ Allah membuat isteri Nuh
dan isteri Luth perumpamaan bagi orang-orang kafir. Keduanya
berada di bawah pengawasan dua orang hamba yang saleh di antara
hamba-hamba Kami; lalu kedua isteri itu berkhianat kepada kedua
suaminya, maka kedua suaminya itu tidak dapat membantu mereka
sedikitpun dari (siksa) Allah; dan dikatakan (kepada keduanya): "
Masuklah ke Neraka bersama orang-orang yang masuk
(Neraka)‟.QS.al-Tahri>m/66:10. Berdasarkan contoh itu pula,
pengharaman pernikahan dengan orang musyrik, bukan berdasarkan
kemusyrikan, melainkan atas dasar illah al-Shar’i>yah (alasan
syar‟i).90
Menurut al-Jas}a>s, bahwa landasan pengharaman penikahan itu
bukan sebagaimana umumnya para ulama tafsir, melainkan atas
alasan syar‟iyah, yaitu, ajakan kepada kekufuran.
3. Al-Baghawi ( w. 516 H/1122 M ), dalam Tafsir Ma’a>lim Tanzi>l
Al-Baghawi91
menafsirkan QS.al-Baqarah/2:221[ تنكحوا وال يؤمن حتى المشركات ] dengan menyebutkan asba>b nuzu>l ayat, yang
berkenaan Abu Marthad yang ingin menikahi seorang wanita
musyrik. Kemudian Rasulullah mendengar dan melarangnya, dengan
alasan kemusyrikan, dengan turun asba>b al-nuzu>l ayat.92
Jelas,
menurut pendapat Al-Baghawi tentang larangan pernikahan dengan
wanita musyrik, walaupun dengan asba>b al-nuzu>l ayat itu, bahwa
kemusyrikan sebagai alasan, pengharaman. Diberitakan dalam suatu
riwayat,93
bahwa ayat al-Baqarah di itu, telah di-nasakh dengan ayat
al-Ma>idah ayat 5, terhadap hak ahl al-kita>b [ والمحصنات من الذين ,Yang menjadi masalah, menjadi pertanyaan .[أوتوا الكتاب من قبلكم
101
apakah kemusyrikan yang dimaksudkan ayat, ditujukan kepada orang
yang mengingkari kenabian Muhammad SAW saja ? Pertanyaan itu
berawal dari penyebutan nasakh, terhadap ayat al-Baqarah tadi. Maka
sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut, menurut Abu Hasan Ibn
Faris yang menjawab, siapapun yang menyatakan Al-Qur‟an itu
bukan firman Allah, sungguh ia telah berbuat shirk. Menurut Qata>dah
dan juga Sa'i>d bin Jubayr, menyatakan maksud kata al-Mushrika>t adalah al-Watha>niyah (penyembah berhala).
94 Dengan demikian,
jelas, kemusyrikan itu sebagai alasan, pengharaman, kemudian, Al-
Baghawi sebagaimana pendapat mufassir sebelumnya, seperti, Ibn
Jari>r al-T}abari> dan juga al-Jas}a>s}, menjelaskan, ayat [ ؤمنة خير وألمة م شركة ولو أعجبتكم ن م maka lebih memilih budak wanita yang ,[ م
beriman, dengan alasan status beriman itu lebih baik dari
kemusyrikan. Karena alasan itu pulalah, Hudhaifah bin Yaman
memerdekakan seorang budak wanitanya yang beriman, yang
kemudian dinikahinya.
Al-Baghawi menafsirkan ayat ( تك حت وال تنكحوم منوم bahwa telah sepakat ulama, melarang menikahkan wanita ,( ؤ
muslimah dengan pria musyrik, karena alasan-alasan mereka yang
membawa kepada perbuatan-perbuatan menuju ke neraka, maka jika
dalam kondisi yang demikian, menikahi pria yang budak sekalipun
lebih utama, karena iman yang dimilikinya, alasan itulah Allah S.W.T
mengizinkan agar pernikahan dapat membawa segala kebaikan dan
jalan menuju surga.95
4. Al- Zamakshari > ( 467-538 H / 1075-1144 H ), Dalam Tafsi>r Al-
Kasha>f Al-Zamakhshari
96 menafsirkan, makna al-mushrika>t QS.al-
Baqarah/2:221[ ال رنحا اىششمبد حز يؤ ] adalah wanita harbiya>t (wanita musyrik yang dinikahi di medan perang).
97 Sebagian terdapat
pendapat yang menyatakan, terkait ahl al-Kita>b dan harbiya>t memiliki kriteria yang sama, karena itulah, al-Zamakshari
menganggap, ahl al-kita>b adalah musyrik, berdasarkan Firman Allah
SWT dalam QS. al-Taubah/9:30 (Waqa>lat al-Yahu>du ’Uzairubnullah Wa Qa>lat al-Nasha>ra al-Masi>hubnullah). Hal itu, sangat beralasan,
karena orang-orang Yahudi beranggapan Uzai>r sebagai anak Tuhan,
al-Masih menurut orang Nasrani anak Tuhan. Tetapi status ayat al-
Baqarah itu, telah di-nasakh dengan ayat al-Maidah/5:5, maka
102
kebolehan menikahi wanita ahl al-kita>b dibenarkan, dengan alasan,
ayat al-Maidah adalah tetap, tidaklah sebagai na>sikh atau mansu>kh,
mengutip pendapat Ibn Abba>s dan Auza>‟i.98
Diperkuat pernyataan
itu, dengan riwayat, bahwa Rasulullah SAW melarang menikahi
wanita musyrik.
Diriwayatkan, bahwa Rasulullah mengutus Marthad bin Marthad al-
Ghinawi ke Makkah, membebaskan seorang tawanan di sana. Terdapat di dalamnya
seorang wanita bernama Anaq, wanita itu mencintainya. Lalu datang wanita itu,
dan berkata : apakah anda akan menikahi saya? Marthad menjawab : ya, tetapi aku
harus, mendapat izin Rasulullah terlebih dahulu. Maka turun ayat [ ألخ ؤخ خيش ]
[ budak wanita beriman lebih baik ]. Demikian ayat [ ىعجذ ؤ ], karena, semua
manusia adalah sama sebagai hamba Allah, tidak memandang status, merdeka atau
sebagai budak. 99
Kemudian, Al-Zamakhshari> setelah QS.al-Baqarah/2:221 itu,
melalui kata ”amah ” [ ألخ ؤخ خيش ] dan ” ‟abd” [ ؤ ىعجذ ], tidak
lagi memahami sebagai budak, melainkan sebagai hamba Allah yang
beriman, yang tidak membedakan status merdeka atau sebagai budak
sahaya.100
Berdasarkan alasan ini, al-Zamakshari>, melarang
pernikahan dengan wanita-wanita musyrik, karena pernikahan dengan
mereka, membawa dampak negatif dalam pernikahan dan kehidupan
rumah tangga, bahkan membawa kepada kekufuran, yang mengajak
menuju jalan ke neraka. Demikian alasan-alasan yang dimaksudkan
kata ( أىئل), yang dimaksudkan sebagai isyarat sebagai larangan
menikahi pria musyrik dan musyrikah, karena alasan perbuatan
mereka yang slalu mengajak kepada kekufuran, selain ajakan kepada
permusuhan dan perang. Tetapi menikahi wanita muslimah dan
bagian ajaran yang disampaikan wali-wali Allah (orang-orang
beriman), mengajak slalu kepada ampunan dan menuju surga-Nya,
maka karena itulah perintah mentaati mereka, karena bagian dari cara
bahwa, dampak negatip hubungan pernikahan, membawa kepada
cinta dunia dan melupakan kehidupan akhirat.129
2. Jala>luddi>n Al-Mahalli ( w. 864 H / 1455 M ), Tafsi>r Jala>lain
Jala>luddin al-Mahalli130
dan juga Jala>luddin131
al-Suyu>t}i
sebagai muridnya,132
menafsirkan QS.al-Baqarah/2:221 ini,
sependapat para mufassir umumnya, melarang seorang muslim
110
menikahi wanita musyrik yang disamakan dengan wanita ka>fir, walaupun status wanita itu, kaya raya, cantik dan merdeka, kendati
demikian, menikahi budak wanita menjadi pilihan utama. Tetapi
larangan tersebut, tidak berlaku lagi bagi wanita ahl al-kita>b,
berdasarkan ayat al-Maidah/5:5.133
Demikian juga, kedua Jala>luddin
itu, menjelaskan larangan laki-laki kafir (al-Kufa>r), menikahi wanita
muslim [ال رنحا اىششمي], dengan alasan, untuk menghidari ajakan-
ajakan yang membawa kepada kekufuran yang menuju jalan ke
Neraka ( يذعا إى اىبس), dan landasan dakwah Islam mengajak
kebaikan dan menyerukan jalan ke Surga. Maka menikahi pria
musyrik juga dilarang.134
Sebenarnya, maksud kedua Jala>luddin itu, ingin mengatakan
larangan menikahi wanita musyrik dan juga pria musyrik.
3. Jala>luddin Al-Suyu>tti ( w. 911 H/1505 M ), Tafsi>r Al-Du>rr Manthu>r Fi> Tafsi>r Bi Al-Ma’thu>r.
Jala>luddin Al-Suyu>t}i135
dalam menafsirkan, makna al-mushrika>t QS.al-Baqarah/2:221, seperti yang dikutip Ibn Abi
Ha>tim yang bersumber dari Muqa>til Ibn Hayya>n.136
أخرج ابن أبى حاتم , وبن أبى حاتم , وابن المنذر عن مقاتل بن حيان قال : نزلت هذه األية فى أبى مرثد الغنوى , استأذن النبى صلى هللا عليه وسلم , فى عناق أن يتزوجها , وكانت ذات حظ من جمال , وهى مشركة , وأبو مرثد
وال تنكحوا [عجبنى , فأنزل هللا :يومئذ مسلم , فقال : يا رسول هللا , إنها تشركة ولو أعجبتكم ن م ؤمنة خير م ] المشركات حتى يؤمن وألمة م
Dikeluarkan Ibn Abi Hatim dan Ibn al-Munzir dari Muqatil bin Hayyan, berkata :
diturunkannya ayat ini, berkaitan dengan Abi Martsad al-Ghanawi, yang izin
kepada Rasulullah menikahi seorang wanita bernama, ‛ Anaq ‛. Wanita itu adalah
wanita cantik dan menarik tetapi Ia musyrik, sedangkan Abu Marsad sebagai
seorang muslim, menyatakan ungkapannya kepada Rasul : Wahai Rasulullah, Ia
wanita yang cantik dan menarik. Maka Allah menurunkan ayat, ‛ Wala> Tankihu>
al-Mushrika>ti Hatta Yu’minna, Wala’matun Mu’minatun Khairun min Mushrikatin Walau ’Ajabatkum ....”. [ Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mu'min lebih
baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu].
111
Penafsiran al-Suyut}i bersumber dari sekumpulan athar
(riwayat) yang dikutipnya dari beberapa sumber, baik dari Ibn Jari>r,
dari Abu > Daud, Al-Baihaqi, dan juga al-T}abra>ni yang asalnya
bersumber dari Ibn Abbas r.a, yang kemudian menurutnya, beberapa
larangan pernikahan itu masih bersifat umum. Tidak terdapat
pendapat secara pribadi atau bentuk analisa atas tafsirannya,
melainkan al-Suyuti, hanyalah membolehkan penikahan pria muslim
dengan wanita ahl al-kita>b, berdasarkan QS. Al-Maidah/5:5.
Sehingga berdasarkan ayat ini, dan didukung dengan beberapa
sumber, bahwa menikahi wanita ahl al-kita>b dihalalkan, dengan
alasan pengecualian.137
Tetapi maksud wanita musyrik yang
dimaksudkan QS.al-Baqarah/2:221 itu belum terungkap dengan jelas?
Akan tetapi beberapa keterangan Al-Suyu>t}i itu, sebagaimana yang
dikutipnya dari beberapa riwayat-riwayat, seperti dari Al-Baihaqi
dalam sunan-nya, menyebutkan, bahwa menurut Said bin Zubayr,
maksud wanita musyrik adalah penyembah berhala (ahl al-Awtha>n ),
selain itu Muja>hid menyatakan, bahwa wanita Musyrik adalah yang
berasal dari penduduk Makkah, dan berbeda lagi dengan pendapat
Qata>dah, yang menyatakan, bahwa mereka wanita musyrik Arab
yang tidak memiliki kitab suci.138
Tetapi pendapat-pendapat ulama di atas, menurut keterangan
al-Suyuti ditentangnya dengan pendapat Ibn Umar r.a, selain tidak
sependapat juga dengan ayahnya [Umar bin al-Khattab r.a], yang
menyatakan, bahwa menikahi wanita musyrik diharamkan, karena
hal itu suatu perbuatan syirik yang terbesar.139
4. Al-Alu>si> ( w. 1270 H ), dalam tafsirnya, Tafsi>r Ru>h al-Ma'a>ni F>i> Tafsi>r al-Qur'a>n al-Az}i>m Wa al-Sab'u al-Matha>ni.
Al-Alu>si>140
menafsirkan QS. Al-Baqarah/2:221, menyebutkan
seba>b al-nuzu>l ayat yang disampaikan Al-Suddi yang bersumber dari
Ibn Abba>s r.a, mengenai kasus Abdullah bin Rawa>hah salah seorang
majikan yang sangat marah dengan salah seorang budak wanitanya,
hingga terdengar Rasulullah SAW yang berujung pada keinginan
untuk menikahinya. Rasulullah setelah mendengan dan bertanya
prihal wanita itu, ‛ Bagaimana keadaan ia, wahai, Abdullah ?
Abdullah bin Rawahah menjawab : Ia berpuasa, shalat, dan
melakukan wudhu’ dengan baik, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain
Allah, bersaksi bahwa engkau adalah utusan-Nya, maka Nabi SAW
112
berkata : Wahai, Abdullah dia adalah wanita shalehah, Ia beriman.
Lalu Abdullah berkata : Demi Tuhan yang mengutusmu wahai
Rasul, saya pasti akan memerdekakan dia dan menikahinya.
Abdullah menempati janjinya itu lalu menikahinya, walaupun desas-
sesus masyarakat mengecamnya, dengan ejekan-ejekan, sungguh
Abdullah telah menikahi budak wanitanya, yang tujuannya ingin
mengambil keturunan dari mereka. Maka Allah S.W.T menurunkan
ayat QS.al-Baqarah/2:221 ini.141
Al-Alusi mengutip riwayat al-A’ma>shi, menyebutkan, bahwa
ayat di atas merupakan larangan menikahi wanita-wanita musyrik
selain ahl al-kita>b, karena itu bersadasarkan firman Allah SWT
QS.al-Bayyinah/98:1, bahwa menikahi wanita ahl al-kita>b
dibolehkan, dengan menjelaskan kedudukan ’at}af, dalam QS al-
Bayinah itu, yang memiliki batasan tertentu, dan menurut penjelasan
Ibn Humaid dari Qata>dah, bahwa al-Mushrika>t di sini adalah wanita
bangsa Arab yang tidak memiliki kitab suci. Dan menurut riwayat
Hamma>d, yang bertanya kepada Ibrahim bin Ishaq mengenai hal
menikahi wanita Yahudi dan Nasrani, Ibrahim hanya menjawab,
tidak mengapa, lalu Hamma>d kembali bertanya, bukankah Allah
telah melarang pernikahan dengan wanita musyrik dengan firman-
Nya,[وال تنكحوم متكات], Ibra>him menjawab : hal itu berlaku untuk
wanita maju>si dan penyembah berhala. Muja>hid dan al-Hasan
menyebutnya, telah di-nasakh di dalamnya wanita ahl al-kita>b,
sebagaimana mengikuti sebagian mazhab di antaranya, Abu> Hani>fah,
tetapi menurut kalangan al-Shaf>i’iyah menyatakan, itu bukan nasakh
dengan penafsiran al-Alu>si>, yang menyatakan bahwa keterangan al-
Suyu>t}i berbeda dengan al-Wahidi.151
Menurutnya, dalam riwayat al-
Wa>hidi, menyebutkan, ayat al-Baqarah/2:221 itu turun mengenai Abu
Marthad, sementara menurut al-Suyu>ti menyebutkan mengenai
Abdullah bin Rawahah terkait surat al-Nur/24:3[ ال ونك إال زمن وأ أو مزمنو
,Analisa Rashi>d Rid}a membenarkan keterangan al-Alu>si .[ووتكأ
bahwa sebaik-baik keterangan itu adalah menurut al-Suyuti yang
telah mengikuti al-Wa>hidi dengan jalur Ibn Abbas r.a, prihal Abu
Marthad yang ingin menikahi wanita al-mushrika>t, sedangkan
keterangan al-Suyu>t}i prihal Abdullah bin Rawa>hah tentang seorang
budak wanita yang ingin dinikahinya karena telah beriman.152
Rashi>d
Rid}a> memaknai, kata al-mushrika>t untuk wanita bangsa Arab yang
non ahl al-kita>b, yang menurut sebagian para ulama berpendapat
kriteria [al-mushrika>t ]masih bersifat umum, mencakup ahl al-Kita>b,
karena di antara sebagian mereka adalah musyrik[Subhanahu Ama> Yushriku>n], QS.al-Taubah/9:31, karena landasan kemusyrikan itu
ditunjukkan dalam QS.al-Nisa'/4:48 (Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar)(QS. Al-Nisa’/4:48).
Berbeda dengan pendapat mayoritas ulama yang menyatakan,
bahwa maksud kata [al-mushrika>t ] itu untuk wanita bangsa Arab
yang tidak memiliki kitab suci, karena atas dasar itulah gelar
’musyrik’ diberikan kepada mereka, sebagaimana menurut QS. al-
Baqarah/2:105 dan QS. al-Bayinah/98:1. Dan atas dasar gelar itu
pulalah, kedua ayat tersebut, kata [al-mushrika>t ] mencakup ahl al-
115
kita>b dan juga non ahl al-kita>b.153
Menurut ungkapan di atas, Rashi>d
Rid}a menyatakan, bahwa ayat-ayat yang disebutkan tadi, sepadan
dengan perintah kebolehan menikahi wanita ahl al-Kita>b,
sebagaimana diperintahkan menurut ayat ( والمحصنننات مننن المؤمنننات
QS.al-Maidah/5:5. Karena ayat (والمحصننات منن النذين أوتنوا الكتناب منن قنبلكم
al-Maidah itu turun setelah turunnya ayat al-Baqarah, maka benar,
bagi yang menyatakan, bahwa lafaz [al-mushrika>t ] masih umum,
mencakup wanita ahl al-kita>b, lalu statusnya di-nasakh atau di-tah}s}i>s} (pengkhususan) dengan turunnya ayat al-Maidah. Suatu hal yang
bertentangan dengan pendapat sejumlah ulama tafsir pada umumnya,
yaitu mengenai pernyataan bahwa, ayat al-Baqarah/2:221 itu telah
me-nasakh ayat al-Maidah/5:5. Juga menyalahi kesepakatan, bahwa
ayat al-Baqarah itu lebih dahulu turun dari ayat al-Maidah, dan suatu
yang tidak masuk akal, yang lebih dahulu turun me-nasakh yang
akhir atau yang datang kemudian. Juga anggapan ulama, yang
menta’wilkan, bahwa ayat al-Maidah dikhususkan untuk wanita ahl al-kita>b yang telah beriman. Semua pandangan yang dimaksudkan
itu keliru dan tidak berlasanan atas sesuatu yang dihilangkan
(mah}dhu>f), karena wanita musyrik jika telah masuk Islam halal
dinikahi atas kesepekatan ulama (ijma’ ulama), tetapi hal itu berlaku
ketika sebelum diturunkan ayat, jika demikian kemudian dibenarkan
pendapat-pendapat itu, maka apalah faedahnya disebutkannya
setelah diturunkannya ayat, dan karena itu tidaklah beralasan
pelarangan menikahi wanita ahl al-kita>b atas pandangan tersebut,
menurut Rashi>d Ridh}a.154
Kemudian Rashi>d Rid}a, dalam menafsirkan penggalan ayat
اا) حزا يؤ شاشمي ال رنحاا اى ), bahwa menikahkan wanita beriman
dengan pria musyrik juga dilarang, karena alasan mereka tidak
kafa>’ah (tidak cukup), hingga mereka beriman. Pada saat yang
bersamaan, suatu hal yang tak bisa dihindari, menikahi pria yang
statusnya mukmin lebih baik dari pada menikah dengan pria kaya
atau berkedudukan, tetapi musyrik. Sejumlah ulama menyebutkan
pelarangan itu, karena alasan antara orang musyrik dan orang Islam
memiliki perbedaan keyakinan, maka berlaku larangan dalam
menjalin hubungan pernikahan, baik kepada pria atau wanita
mereka. Sementara menikahi wanita ahl al-kita>b telah dibolehkan
dengan turunnya ayat al-Maidah 5, walau tidak bersepakat ulama
mengenai pernikahan pria ahl al-kita>b dengan wanita muslimah.
116
Menurut Rashi>d Rid}a, larangan itu, telah disepakati sejumlah ulama,
baik menurut al-Sunnah ataupun Ijma’.155
Pendapat Rashid Rida sebenarnya, dapat dinyatakan, bahwa
kriteria musyrik yang terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 221
itu berbeda menurut al-Maidah ayat 5, karena kriteria musyrik itu
bukanlah ahl al-Kita>b, melainkan wanita-wanita bangsa Arab yang
tidak memiliki kitab suci, dan menurutnya juga ayat itu berlaku
larangan bagi wanita muslimah menikahi pria musyrik.
2. Al-Mara>ghi>( 1300-1371 H )/( 1883-1952 M ), dalam kitabnya
Tafsir Al-Mara>ghi Penafsiran Al-Mara>ghi>
156 terhadap teks QS.al-Baqarah/2: 221,
[ شااشمبد حزاا يااؤ ال رنحااا اى ], sebagai suatu perintah pelarangan
menikahi wanita musyrik, dengan maksud [Janganlah kalian
menikahi wanita musyrik yang tidak memiliki kitab suci, hingga ia
benar-benar mereka beriman, membenarkan kenabian Muhammad
S.A.W.]. Kata, al-mushrikat dalam ayat ini, dipahami sama
maksudnya dengan teks QS. Al-Baqarah/2:105, dan QS. al-
Bayyinah/98:1, yang pada intinya, sebagai larangan menikah dengan
wanita musyrik selama masih dalam status kemusyrikan.157
Namun
pilihan al-Mara>ghi158
terhadap kebolehan menikahi wanita ahl al-kita>b jatuh pada kriteria wanita yang berstatus sebagai budak, bukan
pada wanita yang merdeka, menurut teks [ى أعججزن ألخ ؤخ خيش
,QS.al-Baqarah/2:221. Dalam hal ini diutamakannya status,[شاشمخ
karena status beriman memiliki nilai tertinggi dari segalanya, harta,
pangkat, yang merupakan pelengkap kehidupan semata. Oleh karena
itu, pemilihan agama (iman) menjadi alternatif dan sebagai pilihan
utama. Menurut Al-Mara>ghi nilai agama, merupakan hal yang urgen, selain menjaga harta, juga mempersiapkan generasi berakhlak mulia,
menjadi pilihan yang tepat. Lalu Ia mengutip sabda Nabi SAW
dalam riwayat Ibn Majah, menyatakan :
Jangan kamu menikahi wanita karena kecantikannya, karena barangkali
kecantikan itu akan menjerumuskan, dan jangan kamu menikahi mereka karena
hartanya, karena barangkali harta benda membuat kamu kelewat batas, tetapi
nikahilah karena agamannya, sesungguhnya budak wanita hitam meskipun tidak
cantik tetapi beragama itu lebih baik ‛. ( HR. Ibn Majah ). 159
117
Kemudian Al-Maraghi menafsirkan ayat ( حزا شاشمي ال رنحاا اى ااا yakni tidak menikahkan pria musyrik dengan wanita ,(يؤ
mukminah hingga mereka benar-benar beriman, dan benat-benar
meninggalkan kakafirannya. Pada saat yang sama mereka telah
dinyatakan sempurna (kafa>’ah). Lalu menikahi pria muslim walau
kedudukannya sebagai budak menjadi pilihan yang terbaik dari pada
pria musyrik yang statusnya kaya raya atau berkedudukan. Pada
(Jakarta : PT Pustaka Panjimas, 1992), Jus XV, 274. 8Muhamad Fua>d Abdul Ba>qi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li AlFa>z} Al-
Qur’a>n Al-Kari>m, ( Kairo : Da>r-Al-Hadi>th, 1991 M/1411 H ), Cet. ke-3, 481-484 9Lihat. Muhamad Fua>d Abdul Ba>qi, Al-Mu’jam Al-Mufahras Li AlFa>z}
Al-Qur’a>n Al-Kari>m, 481-484, Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya ( Jakarta : Penerbit Paramadina, 1998 ), Cet. I, 69.
10Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an Dan Terjemahnya
(Bandung : Gema Risalah Press), 755. 11
Departemen Agama RI Jakarta, Al-Qur’an Dan Terjemahnya , 126. 12 Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 70. 13 Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya, 70. 14 Ima>duddin Abi> Fida>’i Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimasqi ( w. 774 H ), Tafsi>r
Al-Qura>n Al-Az}i>m (Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H /2000 M), Jilid 4,
Cet. I, 99-100. 15 Muhammad Hasan al-T}aba>'t}aba>'i, al-Mi>za>n Fi> Tafsi>r Al-Qur'a>n
(Beirut:Da>r Al-Arabiyah Wa Nasr Wa Tawzi>', 1398 H ), jilid. 12, 178. 16 Muhammad Quraish Shihab, Ensiklopedi Al-Qur’an (kajian kosa kata),
664, Lihat. Al-Ala>mah Ja>rullah Abu> Al-Qa>shim Mahmu>d bin Umar Al-
Zamakhshari (467-538 H ),Al-Kassha>f ‘An Haqa>’iq Ghawa>mid Al-Tanzi>l Wa
al-As}r Al-H}ad>ith, ’Ard} Wa Dira>sah Mufas}alah Li Ahka>m Kutub al-Tafsi>r Al-
Mu’a>s}ir (Bairu>t : Dar Al-Mairifah, 1424 H / 2003 H ), cet. I, 91. 30 Munculnya corak-corak penafsiran yang di lakukan para ulama klasik,
mengilhami lahirnya, penafsiran dengan metode baru di abad modern ini, yaitu
lahirnya metode mawd}u>’i (tematik), kemudian lahir pula metode muqa>rin
(perbandingan), yang ditandai dengan munculnya kitab-kitab tafsir yang
menjelaskan redaksi yang mirip, seperti : Durratu al-Tanzi>l Wa Gurrah al-Ta’wi>l oleh Al-Kha>tib Al-Iska>fi (w. 240 H), dan juga Al-Burha>n Fi> Tauji>h Mutasha>bih Al-Qur’a>n oleh Al-Karma>ni (w. 505 H). Penafsiran dengan metode tematik ini,
telah lama dikenal, namun menurut Muhammad Quraish Shihab, istilah metode
maudhu>’i ini, pertama kali dimunculkan oleh Ustadh al-Ji>l (Maha Guru Generasi
Mufassir) Prof. Dr. Ahmad Al-Kummy. Tetapi dalam perkembangannya, tafsir
mudhu’i, mulai dikenal oleh masyarakat dengan bentuk penafsiran yang mencakup
berbagai topik, seperti Al-Insa>n Fi> Al-Qur’an dan Al-Mar’ah Fi> Al-Qur’a>n, karya
Abba>s Aqa>d, dan Al-Riba> Fi> Al-Qur’a>n oleh Al-Mawdu>di dan lain sebagainya.
Lahirnya metode-metode tafsir di atas, disebabkan, oleh tuntutan perkembangan
masyarakat yang slalu dinamis. Pada zaman Nabi SAW dan sahabat, mereka pada
umumnya para ahli bahasa Arab, sekaligus mengetahui secara langsung turunnya
ayat (asba>b al-nuzu>l), dan mengalami secara langsung situasi dan kondisi umat,
ketika ayat-ayat Al-Qur’an diturunkan, maka dengan demikian mereka relatif
dapat memahami maksud-maksud Al-Qur’an secara benar, tepat dan akurat.
dan Komprehensif ) (Jakarta : Riora Cipta, 2009 ), cet. I, 11, 79, Taufil Adnan
139
Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Qur’an (Jakarta : Pustaka Alvabet, 2005), cet. I,
211. 33
Ibn Abba>s mulai masyhur namanya, setelah Khalifah Usthman
mempercayakan dirinya sebagai pemimpin ibadah haji pada tahun 35 H. Suatu
tahun yang menentukan dalam perjalanan politik Ustman. Lantaran hal itulah ia
tidak ada di Madinah ketika Usthman terbunuh. Dan di masa kekhalifahan Ali bin
Abi Tha>lib, ia ditunjuk sebagai Gubernur Bashrah. Ketika itu pula Ali terpaksa
menerima arbitrase [tahkim] di Shiffin, dan Ali berkeinginan untuk menjadikan
Ibn Abba>s sebagai wakilnya, namun ditentang oleh para pengikutnya yang
cenderung mewakilkannya kepada Abu Musa al-Asy’ari. Walaupun demikian, Ibn
Abbas tidak menunjukkan sikap yang negatif, bahkan, ia tetap ikut menyertai Abu
Musa dalam proses arbitrase tersebut, di mana Ali bin Tha>lib dimakzulkan oleh
Muawiyah yang akhirnya, terbangun Dinasti Umayyah. Setelah wafatnya
Mu’awiyah, Ibn Abbas menyatakan kesetiannya kepada khalifah Yazid (w. 683 H)
putra dari Mua’wiyah, yang melanjutkan kepemimpinan politik Bani Umayyah
berdasarkan pertimbangan, bahwa mayoritas umat Islam berada di sisi Khalifah.
Beberapa kemudian, diberitakan, bahwa Ibn Abba>s wafat di T}a’if tepatnya pada
tahun 68 H. Al-Suyutti ( w. 911 H), Al-Itqa>n F>i> 'Ulu>mi Al-Qur’a>n ( Beirut : Dar
Fikr, 1416 H/ 1996), Jilid. II, Juz. 3, 494, Lihat. Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an, Sejarah Tafsir Al-Qur’an dan Metode Para Mufasir (Terj. Qadirun Nur
dan Ahmad Mushafiq)(Jakarta:Gaya Persada Pratama, 2007), Cet. I, 19,Taufil
Adnan Amal, Rekontruksi Sejarah Al-Qur’a>n ( Jakarta : Pustaka Alvabet, 2005 ),
cet. I, 212. 34 Said bin Jubair adalah Muhammad bin Said bi Jubair bin Hasyim al-
Asadi. Ia menerima semua riwayat dari semua sahabat terutama Ibn Abbas. Maka
ia termasuk kelompok sahabat besar (kiba>r al-saha>bah), dan ahli dalam tafsir,
hadits, fiqh, dan slalu mengambil pendapat yang bersumber dari Ibn Abbas dalam
ilmu Al-Qur'an dan Tafsir. Dan menjadi kepercayaan ulama ilmu Jarh Wa Ta'di>l.
Berkata Ibn Abi Hatim : Ia seorang ahli ibadah, bersahaja dan wara'. Ia wafat
karena di bunuh oleh al-Hajaj pada tahun 95 H dan umurnya belum mencapai 50
tahun. Al-Dhahaq (w. 105 H), Tafsi>r al-D}aha>q (ditahqiq:Syukri Ahmad al-
Zawaiti)(Kairo:Darusalam Lit}aba>'ah Wa Nasr Wa Tawzi>' Wa Tarjamah, t.th), Jilid
I, 19.
35
Muja>hid bin Jabr adalah Muja>hid bin Jabr al-Ma>liki (Abu> Hija>j Al-
Makhzu>mi), seorang Muqri’. Dia lahir pada tahun ke-21H, ketika masa
kepemimpinan khalifah Umar bin al-Khattab. Ia tergolong di antara kibar al-
tabi’in pada pemerintahan khalifah Muawiyah di awal abad ke-2 H. Tentangnya
dari sebagian para mufasir, bahwa ia mufasir kalangan tabi’in, yang mengambil
tafsir dari pendahulunya, yaitu, Ibn Abbas. Beberapa tabi’in yang mengambil
darinya, yaitu At}a’ bin Rabbah, Ikrimah Maula Ibn Abba>s, Amr bin Dinar,
Qata>dah, Sulaiman al-Ahwa>l, Sulaiman Al-A’masy dan Abdullah bin Kathir dan
sebagainya. Ibn Taymiya berkata, bahwa dikalangan ahl ilmi yang mengambil
140
tafsir darinya, di antaranya, Al-Syafi’ih dan al-Bukhari. Qata>dah berkata: Saya
mengetahui di antara para ahli tafsir adalah Mujahid. Ibn Sa’ad berkata : Dia
adalah orang yang terpercaya (thiqa>t), faqih, mengetahui banyak hadits. Ibn
Hibban berkata : dia adalah selain faqi>h, hamba yang wara’, dan tekun beribadah.
Dia wafat di tahun 102 H atau 103 H. Sedangkan al-Qattan menyebutkan, Ia wafat
pada tahun 104 H. Manna’ Al-Qattan, Ta>rikh al-Tashri’ Al-Isla>my al-Tashri>’ Wa
Al-Fiqh (Riyad} : Maktabah Al-Ma’rif Li al-Nasyr Wa Tawzi’, 1417 H/1996 M),
cet. Ke-2, 315. 36
Al-D}ahaq namanya adalah Abu al-Qashim bin Mazahim al-Khurasani,
salah seorang ulama dari kalangan tabi’in dalam bidang tafsir. Ia seorang pendidik,
yang memiliki murid-murid dalam sekolah asuhannya mencapai jumlah tiga ribuan
anak asuh. Mas’ud bin Abdullah Al-Finsani, Ikhtila>f Al-Mufasiri>n Asba>buhu Wa
Atha>ruhu ( Riyad} : Markaz al-Dirasat Wa Al- I’la>m, 1418 H/1997 M), cet. I, 32. 37
Nama lengkapnya Abu Abdullah (dikenal) dengan nama Ikrimah bin
Abdullah seorang budak dari Abdullah bin Abbas. Ia lahir pada tahun ke-25 H. Ia
berasal dari suku barbar dari Maroko. Ibn Abbas bersungguh-sungguh
mengajarkannya Al-Qur’an dan al-Sunnah. Meriwayatkan hadits dari Ibn Abbas,
Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr bin Ash, Abu Hurairah, abu Said al-Khudri,
Husain bin Ali, dan Siti Aisyah. Di Tanya Said bi Jubair, siapa orang yang paling
mengetahui selain engkau ? : ia menjawab : Ikrimah. Ia wafat di Madinah pada
tahun 107 H, dengan usia 80 tahun. Manna’ Al-Qattan, Ta>rikh al-Tashri>’ Al-
Isla>my al-Tashri>’ Wa Al-Fiqh (Riyad : Maktabah Al-Ma’a>rif Li al-Nasyr Wa
Tawzi’, 1417 H/1996 M ), cet. Ke-2, 316. 38Dia adalah Abu Abdurahman (T}a>wu>s bin Kaisa>n), al-Khaulani, al-
Hamzani, al-Yamani. Dia keturunan Persia tetapi kelahiran dan dibesarkan di
Yaman pada tahun 33 H, ia termasuk kalangan tabi'in senior, dikenal dalam bidang
tafsir al-Qur'an, dia mendengar dari Ibn Abbas, Abu Hurairah, sedangkan yang
menyampaikan darinya adalah Mujahid, Amr bin Dinar, dia seorang yang faqih
dan cerdas. Berkata Abu Uyainah : aku bertanya kepada Abdullah bin Yazid,
dengan siapa anda menjumpai Ibn Abbas ?, Abdullah menjawab : bersama Atha'
dan sahabatnya, aku berkata : T}a>wu>s, dia bersama orang yang paling cerdas dan
tanggap. Dan berkata Amr bin Dinar : aku tidak pernah melihat seorang yang
seperti dia (Ta>wu>s). Ia wafat tahun 106 H, ketika melaksanakan ibadah haji, di
Makkah satu hari sebelum tarwiyah, dan ikut menshalatkan di antaranya Hisyam
bin Abdul Malik. Manna’ Al-Qatta>n, Ta>rikh al-Tashri’ Al-Isla>my al-Tashri>’ Wa
Al-Fiqh (Riyad:Maktabah Al-Ma>’rif Li al-Nasyr Wa Tawzi, 1417 H/1996 M ), cet.
Ke-2, 322. 39Dia adalah Abu Muhammad (At}a' bin Abi> Rabbah Asla>m), lahir di
Makkah tahun 27 H, ada yang menyebutnya Sa>lim bin Sofwan budak dari Bani
141
Fahd al-Maliki, dia salah seorang tabi'i yang sangat faqih dan zuhud di Makkah.
Dia menyampaikan dari para sahabat, seperti, Jabir bin Abdullah al-Anshari,
Abdullah bin Abbas, dan Abdullah bin Zubair, sedangkan yang meriwayatkan
darinya, adalah Amr bin Dinar dan al-Zuhri, Qatadah, Malik bin Dinar, A'masy,
Auwza'i, berkata Ibrahim bin bin Kaisan : aku menyebutkan diantara mereka pada
masa Bani Umayah yang menyampaikan tentang haji dengan lantang, tak ada
seorang pemberi fatwah, kecuali hanyalah Atha bin Rabbah. Wafat pada tahun 115
H, dan ia berumur 100 tahun. Manna’ Al-Qatta>n, Ta>rikh al-Tasyri>’ Al-Isla>my al-
Tasyri>’ Wa Al-Fiqh ( Riyad : Maktabah Al-Ma’rif Li al-Nasyr Wa Tawzi’, 1417
M), cet. I, 63, Thameem Ushamah, Metodologi Tafsi>r Al-Qur’a>n, (Kajian Kritis,
143
Objektif dan Komprehensif) (Jakarta : Riora Cipta, 2000 ), cet. I, 13, Yunus Hasan
Abidu, Tafsir Al-Qur’an:Sejarah Tafsir dan Metodologi Para Mufassir (Jakarta :
Gaya Media Pratama, 2007), cet, I, 24, Muhammad Ibn Alawi Al-Ma>liki Al-
Hasani, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an : Ringkasan Kitab Al-Itqa>n Fi> Ulu>m Al-Qur’a>n Karya Al-Ima>m Jala>luddi>n Al-Suyu>t}i (Bandung : PT Mizan Pustaka,
2003), cet. I, 287, Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya
(Jakarta : Penerbit Paramadina, 1998 ), Cet. I, 171. 49Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo :
Maktabah Wahbah, 1396 H / 1976 M ), cet. I, 63.
50
Muhammad Ghalib, Ahl Al-Kitab Makna dan Cakupannya (Jakarta :
Penerbit Paramadina, 1998 ), Cet. I, 171. 51
Nama lengkapnya, adalah Ali bin Abu T}alib bin Abdul Muthalib bin
Hasyim bin Abdi Manaf bin Quraisy bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Luay bin
Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Kinanah Abu Hasan dan Husein, digelari
Abu Turab, anak paman Rasulullah SAW dan suami putri beliau, Fatimah al-
Zahra’ ra. Lahir dari seorang ibu bernama Fathimah binti Asad bin Hasyim bin
Abdi Manaf bin Qushay, ibunya digelari Wanita Bani Hasyim pertama yang
melahirkan putera Bani Hasyim. Ayah beliau bernama Abu T}alib. Dia adalah
paman Rasulullah SAW yang sangat menyayanginya.Nama sebenarnaya, adalah
Abdi Manaf. Ali bin Abi T}alib masuk Islam saat masih kanak-kanak. Lengkapnya,
Lihat. Indeks. Ibn Katsir, al-Bida>yah Wa An-Niha>yah Masa Khula>fa’ Al-Rashidi>n
(terj. Abu Ihsan Al-Atsari dari kitab Tarti>b Wa Tahzi>b Kita>b al-Bida>yah Wa Al-Niha>yah )( Jakarta : Da>r al-Ha>q, 1424 H / 2004 ), cet. I, 415 Muhammad H}usain
al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976
M ), cet. 66, Muhammad Ibn Alawi Al-Ma>liki Al-Hasani, Samudra Ilmu-ilmu Al-Qur’an:Ringkasan Kitab Al-Itqa>n Fi> 'Ulu>m Al-Qur’a>n Karya Al-Ima>m Jala>luddin Al-Suyu>t}i ( Bandung : PT Mizan Pustaka, 2003 ), cet. I, 287. 52 Al-Imam Badruddin Muhammad bin Abdullah Al-Zarkashi (w. 794 H),
Objektif dan Komprehensif ) (Jakarta : Riora Cipta, 2000 ), cet. I,67-68. 64 Ibn Jari>r al-T}abari seorang pakar tafsir di Abad ke-4 H. Namanya
adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Kathi>r bin Gha>lib Al-T}abari.
Dilahirkan di kota T}abaristan di Persia ( Iran ) sekitar akhir tahun 224 H atau awal
tahun 225 (839 M). Lengkapnya.Lihat. Indeks. Yunus Hasan Abidu, Tafsi>r Al-
Qur’a>n ; Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufasir ( Jakarta : Gaya Media Pratama,
1428 H / 1428 H ), Cet. I, 68-69, Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-
Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M ), Juz. I, cet. Ke-6, 147,
Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-Qur’an ( Yogyakarta : Pustaka Insan
Madani, 2008 ), 64-65. 65Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T{abari> (224-310 H ), Tafsi>r Al-
T}abari> Ja>mi al-Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (Tahqi>q : Abdullah bin Muhaisin
al-Turki)(Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M ), Cet. I, 713-720. 66Mereka-mereka yang dimaksudkan itu, adalah Ibn abbas, Ikrimah dan
Hasan basri, Muja>hid, al-Rabi’, Qata>dah, Said bin Jubai>r, dan sebagainya di
kalangan sahabat Nabi, yang mengatakan pengharaman terhadap pernikahan
muslim dengan wanita musyrik (al-mushrika>t ). Lihat. Abu Ja’far Muhammad bin
Jarir Al-T}abari ( 224-310 H ), Tafsi>r Al-T}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-
Qur’a>n (tahqi>q : Abdullah bin Muhaisin al-Turki )(Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa
Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah, 1422H / 2001 M ), Cet. I, 711-713. 67Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H),Tafsi>r Al-T}abari
Ja>mi’ al-Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (tahqiq : Abdullah bin Muhaisin al-
Turki)(Kairo :Markaz al-Buhu>ts Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M), Cet. I, 711,Departemen Agama RI Jakarta,Al-Qur’an Dan Terjemahnya ( Bandung:Gema Risalah Press Bandung, 1989 ), 158 .
68
Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (tahqiq :Abdullah bin Muhaisin
al-Turki )(Kairo:Markaz al-Buhu>ts Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M ), Cet. I, 711-713.
69Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari> Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqiq : Abdullah bin
Muhaisin al-Turki) Kairo : Markaz al-Buhu>ts Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-
Isla>miyah, 1422H/2001 M ), Cet. I, 712.
70 Demikian riwayat yang disampaikan al-Husein, Haja>j, dari Ibn Juraij,
yaitu, sama sumbernya dari Muja>hid. Abu Ja’far Muhammad bin Jari >r Al-T}abari
146
( 224-310 H ), Tafsi>r Al-T}abari Ja >mi’ al-Baya>n 'An Ta’wi >l Ay Al-Qur’a >n (ditahqiq
: Abdullah bin Muhaisin al-Turki ) (Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-
Arabiyah Wa Al-Isla>miyah, 1422H / 2001 M ), Cet. I, 712-713. 71
Abu Ja’far Muhammad bin Jari >r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari Ja >mi’ al-Baya>n 'An Ta’wi >l Ay Al-Qur’a >n (ditahqi>q : Abdullah bin Muhaisin
al-Turki)(Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M ), Cet. I, 712. 72
Abu Ja’far Muhammad bin Jari >r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari Ja>mi’ al-Baya>n 'An Ta’wi >l Ay Al-Qur’a >n (ditahqiq : Abdullah bin Muhaisin
al-Turki)(Kairo: Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah,
1422H / 2001 M ), Cet. I, 713. 73
Abu Ja’far Muhammad bin Jari >r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari Ja >mi’ al-Baya>n An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a >n (ditahqiq : Abdullah bin Muhaisin
al-Turki)(Kairo:Markaz al-Buhuts Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M ), Cet. I, 714. 74Ia adalah Said bin Jubair, Abu Abdillah, Maula> Walibah ibn al-Ha>ris
dari Bani Asad ibn Huzaiman. Berguru kepada Ibn Abba>s r.a, Ibn Umar ra. Dan
beberapa sahabat lainnya. Mujahid perna bercerita, bahwa pada suatu hari, Ibn
Abbas ra. Menyuruh Sa'id bin Jubai>r untuk menceritakan sebuah hadith, namun ia
menolaknya, dengan mengatakan : Bagaimana mungkin saya dapat menyampaikan
hadits, sedangkan tuan berada di sini ? Ibn Abbas ra, menjawab : ‛ Bukankan
termasuk karunia Allah, jika engkau sampaikan hadith, sedangkan aku berada
disini. Jika apa yang apa yang engkau sampaikan benar, maka demikian adanya.
Tetapi jika salah, aku akan membenarkannya. Ketika Ibn Abba>s telah lanjut usia,
penglihatannya sudah rabun (tidak jelas lagi), ia mengalihkan orang-orang
bertanya kepadanya, untuk bertanya kepada Sa'i>d bin Jubair. Demikian juga Ibn
Umar, ketika ada orang yang bertanya kepadanya masalah waris, ia menyuruh
orang tersebut, untuk bertanya kepada Said, dan beliau mengatakan, dia ( Sa'id bin
Jubayr ), lebih tahu dari pada aku. Said meninggal di usia muda, di umur 49 tahun,
karena dihukum penguasa saat itu ( al-Hajja>j ) pada tahun 94 H. Lihat. Muhammad
Ibn Sa'i>d ibn Ma’a>ni al-Ha>syimi al-Bashri, al-T}abaqa>t al-Qubra>, Juz VI, 267-277.
75Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari> Ja >mi’ al-Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqi>q : Abdullah bin Muhaisin
al-Turki)(Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M ), Cet. I, 714. 76
Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari Ja>mi’ al-Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqi>q : Abdullah bin Muhaisin
al-Turki)(Kairo:Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M ), Cet. I, 714.
147
77
Lihat. Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r
Al-T}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n ( ditahqi>q:Abdullah bin
Muhaisin al-Turki )(Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a
Al-Isla>miyah, 1422H / 2001 M ), Cet. I, 713.
78Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H),Tafsi>r Al-T}abari
Ja >mi’ al-Baya>n An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqi>q:Abdullah bin Muhaisin al-
Turki)(Kairo:Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M ), Cet. I, 715. 79 Sebuah Kisah, Hudhaifah menikah dengan perempuan non-muslim, lalu
Umar berkirim surat agar Huzaifah menceraikan istrinya itu. Hudhaifah bertanya
kepada Umar, ‛ Apakah anda menyangka bahwa pernikahan dengan ahl al-kitab
itu haram ? Umar menjawab : ‛ Tidak, Saya hanya khawatir. Dari kisah tersebut,
dapat disimpulakan, bahwa ketidak stujuan Umar tidak didasarkan satu teks Al-
Qur’an, melainkan karena kehati-hatian dan kewaspadaan ( Sadd al-Zari>'ah ). Abu
Ja’far Muhammad bin Jari >r Al-T}abari (224-310 H), Tafsi>r Al-T}abari Ja>mi’ al-
Baya>n 'An Ta’wi >l Ay Al-Qur’a >n (ditahqi>q:Abdullah bin Muhaisin al-Turki)
(Kairo:Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah Wa Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M), Cet. I, 716, Lihat. Umar Shiha>b, Kontekstualitas Al-Qur’an :
Kajian Tematik Atas Ayat-Ayat Hukum dalam Al-Qur’an, [Hasan M. Noer :
editor ], (Jakarta : Penamadani, 2004 ), 323. 80Abu Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari Jami’ al- Bayan 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n, 715. 81
Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari(224-310 H),Tafsir Al-T}abari
Jami’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n (ditahqi>q :Abdullah bin Muhaisin al-
Turki )( Kairo : Markaz al-Buhu>th Wa Al-Dira>sah Al-Arabiyah W a Al-Isla>miyah,
1422H/2001 M ), Cet. I, 715. 82
Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n,716. 83
Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r Al-
T}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n, 718. 84 Lihat. Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r
Al-T}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n, 719. 85 Lihat. Abu> Ja’far Muhammad bin Jari>r Al-T}abari> (224-310 H), Tafsi>r
Al-T}abari Ja>mi’ al- Baya>n 'An Ta’wi>l Ay Al-Qur’a>n, 720. 86Al-Jas}as} Mufasir yang muncul di abad 4 H. Namanya Abu Bakar bin Ali
Al-Ra>zi. Guru besar ulama pengikut mazhab Hanafi di Bagdad. Beliau hidup pada
masa pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan Islam dalam berbagai bidang. Dia
diberikan gelar dengan sebutan al-Ra>zi dan al-Jashsa>s (tukang kapur ). Ia
dilahirkan di Bagdad pada tahun 305 H dan wafat pada tanggal 7 Zulhijah 370 H.
148
Muhammad Ali Iya>zi, Al-Mufassirun Haya>tuhum Wa Minhajuhum (Teheran :
Mu’asasah Li al-T}aba>’ah Wa al-Narh Wa Wiza>rah al-Thaqa>fah Wa Al-Irsha>d al-
Islami, 1414 H ), cet. I, 110-111. Saiful Amin Ghafur, Profil Para Mufasir Al-
Qur’an (Yogyakarta : Pustaka Insan Madani, 2008), 72-73. 87Abu> Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}as}, Ahka>m al-Qur’a>n (Beiru>t : Da>r Fikr,
t.th ), Juz I, 454. 88Seperti yang diberitakan, beberapa sahabat yang telah jelas,
membolehkan pernikahan dengan wanita ahl al-kita>b, sebagaimana pernah
dilakukan, Ustman bin Affa>n dalam hal ini, menikahi wanita Nasrani, demikian
T}alhah menikahi wanita Yahudi dari Syam ( Syiria ), dan juga Hudhaifah, serta
kalangan sahabat lain. Abu> Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s}, Ahka>m al-Qur’a>n
( Beiru>t : Da>r Fikr, t.th ), Juz I, 455. 89Abu Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s},Ahka>m al-Qur’a>n (Beiru>t : Da>r Fikr,
t.th ), Juz I, 456. 90Abu> Bakar Ahmad al-Ra>zi al-Jas}a>s},Ahka>m al-Qur’a>n (Beiru>t : Da>r Fikr,
t.th ), Juz I, 458-459.. 91Namanya adalah al-Ima>m al-Ha>fiz al-Shahi>r al-Muhyi al-Sunnah Abu
Muhammad bin Husein Ibn Mas’u >d Muhammad bin Farra’ al-Baghawi al-Sha>fi’ih.
Dia diberi gelar Muhyi al-Sunnah dan Ruknu al-Di>n ( penegak agama ). Ia lahir di
Baghshu>r sebuah kota kecil yang terletak di antara Hazzah, Moro dan al-Rudz dari
kota Khurasan. Ia wafat di bulan Syawwal di Moro dan Rudz tahun 510 H pada
usia 80 tahun. Lihat. Indeks. Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M), Jilid I, 168-169, Al-
Imam Muhyi al-Sunnah Abu Muhammad al-Husain bin Mas’u >d al-Baghawi
Jilid I, 15, Ma>ni’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir:Kajian Komprehnshif Metode Para Ahl Tafsir ( Terj. Faisal Saleh dan Syahdianor) Jakarta:PT Raja
Grafindo Persada, 2006), 292, Al-Imam Muhyi al-Sunnah Abu Muhammad al-
( Riyad} : Dar Tibah, 1409 H ), Jilid I, 8, Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an: Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007),
cet. I, 72-73. 92Abu Marsad menjadi utusan Rasulullah ke Makkah, sebagai tugas
pembebas tawanan muslim secara rahasia di sana, lalu berita kedatangannya itu
didengar wanita bernama Anaq mantan kekasih dicintainya di masa lalu
(Jahiliyah). Seraya berkata wanita itu : Wahai Marsad bukankan kamu datang
untuk menikahi saya ? Ya, jawab Mursad, (dengan nada yang kurang yakin), tetapi
hal itu setelah mendapat restu Rasul Setelah selesai tugasnya, Ia kembali lagi ke
Madinah, dan diceritakan prihal dirinya dengan wanita itu kepada Rasullullah.
Lalu bertanya, Marthad kepada Rasul : bolehkah saya menikahinya, ya, Rasul ?
Maka turunlah ayat (Wa la> Tankihu> al-Musyrika>t Hatta Yu’minna). Al-Ima>m
Muhyi al-Sunnah Abi Muhammad al-Husain bin Mas’ud al-Baghawi (w. 516 H),
149
Tafsi>r Al-Baghawi : ‚Ma’a>lim al-Tanzi>l ‚, (Riyad : Dar T}i>bah,1409 H), Cet. I,
255. 93Berita itu, tentang pentanyaan, apakah ayat ini, dimaksudkan mengenai
orang-orang yang ingkar kepada ajaran yang dibawa Muhammad SAW ? Dijawab
oleh Abu Hasan Al-Farisi, bahwa seseorang yang berkata, bahwa Al-Qur’an bukan
firman Allah, maka sungguh ia telah berbuat musyrik, demikian Qata>dah dan Said
bin Zubayr, menegaskan, bahwa musyrik itu perbuatan menyembah berhala. Al-
Imam Muhyi al-Sunnah Abi Muhammad al-Husai>n bin Mas’u >d al-Baghawi
Al-Ra>zi adalah Abu> Abdullah, Muhammad bin Umar bin Al-Husain bin
Hasan bin Ali bin Al-Qurash al-Tami>mi al Bakri al-T}abrasta>ni al-Ra>zi. Gelarnya
adalah al-Fakhruddin dan dikenal juga dengan Ibn al-Kha>tib. Di lahirkan di desa
Raz pada tanggal 15 Ramadhan tahun 544 H. Ayahnya adalah D}iyauddi>n Umar
seorang ulama besar di Ra>z, yang merupakan murid dari Muh}yi al-Sunna, al-
Baghawi selain dari bidang kalam yang ia dapatnya dari al-Jaili. Tafsir ini, ditulis
151
sekitar abad 7 dan 8 H, dan beberapa karya tafsir, yang muncul semasa
dengannya, seperti, Anwa>r al-Tanzi>l karya al-Baid}a>wi ( w. 685 H ), serta kitab
Ja>mi' al-Ah}ka>m Al-Qur'a>n karya Abu Abdullah al-Qurt}ubi (w, 671 H). Lihat.
Indeks. Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n
(Kairo:Maktabah Wahbah, 1396 H/1976 M, cet. I, 206, Ma’ani Abdul Halim
Mahmud, Metodologi Tafsir : Kajian Komprehenshif Metode para Ahli Tafsir
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2006), 320, Teungku Muhammad Hasbi Ash-
Shiddieqy, Sejarah & Pengantar Ilmu Al-Qur'an & Tafsir ( Semarang : Pustaka
Rizki Putra, 2009), 198, Al-Imam Muhammad al-Ra>zi Fakhruddi>n Ibn al-Ala>mah
D}iya>uddin Umar al-Muashtahi>r bi al-Khatib al-Rayy (544-604 H), Tafsi>r al-Fakhri
al-Ra>zi (Beirut : Dar al-Fikr, 1401 H / 1981 M ), cet. I, Jilid ke-6, 58-65.
105
Al-Imam Muhammad al-Ra>zi> Fakhruddi>n Ibn al-Ala>mah D}iya>uddin
Umar al-Muashtahi>r bi al-Kha>tib al-Rayy ( 544-604 H ), Tafsir al-Fakhri al-Ra>zi>
(Beiru>t : Da>r al-Fikr, 1401 H / 1981 M ), cet. I, Jilid ke-6, 58. 106 Maksudnya, Abdullah bin Umar yang tidak sependapat dengan para
sahabat yang mengharamkan secara umum pernikahaaan dengan wanita musyrik,
di antaranya, diikuti ulama Zaidiyah. Lihat. Al-Imam Muhammad al-Razi>
Fakhruddin Ibn al-Alamah D}iya>uddin Umar al-Muashtahi>r bi al-Khatib al-Rayy
(544-604 H), Tafsir al-Fakhri al-Ra>zi > (Beirut : Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M), cet.I,
Jilid ke-6, 61. 107
Konsep Trinitas adalah terjemahan dari trinity ( trinitas, tiga tunggal,
trimurti ). Konsep ini kemudian menjelma menjadi Yesus sang tuhan berdimensi
manusia dan manusia berdimensi tuhan. Bagi Kristiani Yesus adalah Allah, Allah
adalah Yesus. Karena itu sebutan Trinitas menunjuk langsung Yesus, padahal
Yesus sendiri akan mengusir umat Kristen pada hari Kiamat lantaran mereka
berseru Tuhan kepadanya. Artinya Yesus tidak mau atau tidak pernah
mengajarkan bahwa dirinya Tuhan dan klaim Yesus sebagai tuhan merupakan
suatu kejahatan. Allah berfirman : .......’’ Janganlah kalian mengatakan : Tuhan itu
tiga ......QS. Al-Nisa’/4:171. Lihat. Didin Hafiduddin, Al-Qur’an dalam Arus
Globalisasi dan Modernitas Mencari Alternatif Pemikiran di Tengah Absurditas
Modernisme ( Jakarta : LPSI ), 162-163, Lihat. John M. Echos dan Hasan Shadily,
Kamus Inggris Indonesia (Jakarta : Gramedia, 1996), cet. XXIII, 604, Lihat. Hasan
Shadilly dkk, Ensiklopedi Indonesia ( Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 1990 ),
Jilid 6, 3627. Al-Imam Muhammad al-Ra>zi Fakhruddi>n Ibn al-Ala>mah D}iya>uddin
Umar al-Muashtahi>r bi al-Khati>b al-Rayy ( 544-604 H ), Tafsir al-Fakhri al-Ra>zi
(Beiru>t : Da>r al-Fikr, 1401 H / 1981 M ), cet. I, Jilid ke-6, 60. 108 Terjemahan QS. al-Ma>idah/5:73, Sesungguhnya kafirlah orang-orang
yang mengatakan:"Bahwanya Allah salah satu dari yang tiga", padahal sekali-kali
tidak ada Tuhan (yang kelak berhak disembah) selain Tuhan Yang Esa. Jika
mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti orang-orang yang
152
kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (QS. al-Maidah/5:73),
Lihat : Muhammad Ar Ra>zi Fakhuddin Ar Ra>zi ( 544-604 H ), Tafsi>r al-Fakhri al-Ra>zi al-Mushtahi>r bi al-Kita>b Al-Kabi>r Wa Mafa>tih al-Ghaib (Kairo : Da>r al-Fikr,
t.th ), Juz ke-5, 59-61. 109
Al-Imam Muhammad al-Ra>zi Fakhruddi>n Ibn al-Ala>mah D}iya>uddin
Umar al-Muashtahi>r bi al-Khati>b al-Rayy ( 544-604 H ), Tafsi>r al-Fakhri al-Ra>zi
(Beiru>t : Dar al-Fikr, 1401 H / 1981 M ), cet. I, Jilid ke-6, 61. 110
Namanya adalah Abu Abdullah, kemudian dikenal dengan panggilan
Al-Qurtuby. Ia seorang mufasir yang datang setelah al-Ra>zi, begitu terkenal
karyanya dengan nama, Tafsir Al-Ja>mi’ Li Ahka>m al-Qur’a>n. Lengkapnya, adalah
Al-Imam Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar bin Farkh, Abu
Abdullah Al-Ansha>ry, al-Khazra>ji, al-Qurt}ubi, Al-Makhzumi, al-Ma>liky, yang
biasa dipanggil Abu Abdullah, kemudian ia terkenal dengan panggilan Al-
Qurthubi, dinisbahkan kepada negara kelahirannya Cordova Andalusia. Ia pergi ke
Mesir dan menetap di Maniyah Bani Khusa’ib sebelah Utara Asuyuth sampai
akhir hayatnya. Lihat. Indeks. Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu
Bakar Al-Qurt}ubi (w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ahka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tadhamanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n ( Tahqi>q : : Mua’sasah Al-Risa>lah,
1427 H/2006 M ), Cet. I, Juz : I, 37-38, Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad
bin Abu> Bakar Al-Qut}ubi (w. 671H ), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tadhamanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n (Tahqi>q : Mua’sasah
Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M ), Cet. I, Juz : I, 37-38, Lihat. Muhammad H}usain al-
Dhahabi, al-Tafsi>r Wa al-Mufassiru>n (Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H / 1976
M, cet. II, 336-339, Syiekh Muhammad Said Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah (‘Iz}amu al-Islam 'Abara Arba’ata ‘Ashar Qarnan Min al-
(Riya>d}:Da>r T}i>bah,1409 H), Cet. I, 255. Dalam beberapa keterangan lain,
disebutkan, bahwa kasus ini, terjadi bukan terhadap kasus Abu Marsad melainkan
anaknya, Marsad bin Abu Marthad ( aslinya, Kanaz bin Husain al-Ghanawi ). Dan
153
ayat yang turun, bukanlah ayat al-Baqarah /2:221, melainakn al-Nu>r [24]: 3, yakni
tentang menikahi wanita pezina, karena pada saat itu, ia ( Anaq ) adalah seorang
wanita pelacur di Makkah. Lihat. Jala>luddin al-Suyu>t}i, Asba>b al-Nuzul,
(Damaskus : Da>r Al-Qutaibah, 1407 H/1987 M), cet. I, 192. Lihat, pada kasus
Marthad bin Abu Marthad yang meninta izin Rasul untuk menikahi wanita
bernama Ana>q, maka turun QS. Al-Nu>r/24: 3, Abu Abdullah bin Muhammad bin
Ahmad bin Abu Bakar Al-Qurt}uby (w. 671 ), al-Ja>mi’ li Al-Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa
Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min al-Sunnah Wa Ay Al-Furqa>n (Tahqiq:
Mua’sasah Al-Risalah, 1427 H / 2006 M ), Cet. I, Juz : 15, 117. 112Al-Nuha>s berkata : Terdapat alasan terhadap perkataan di atas, dan
membenarkan sanad ini, sebagaimana diceritakan kepada kami Muhammad bin
Zabban, berkata : bercerita kepada kami Muhammad bin Rumh, berkata :
menyampaikan kepada kami al-Laith, dari Na>fi, bahwasanya Abdullah bin Umar
ketika ditanya tentang pernikahan pria muslim wanita Yahudi atau Nasrani. Ibn
Umar Menjawab : Allah mengharamkan wanita musyrik bagi pria muslim. Dan
aku tidak mengetahui dosa syirik yang terbesar, selain perkataan seorang wanita
itu, bahwa Tuhannya adalah Isa atau hamba diantara hamba Allah. Abu Abdullah
bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qurt}ubi ( w. 671), al-Ja>mi’ li Al-
Ah}ka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min al-Sunnah Way Al-
Furqa>n (Tahqiq: Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M), Cet. I, Juz : I, 455. 113Berkata Al-Nuha>s : tentang dasar perkataan Ibn Umar, yang
besebrangan dengan para sahabat dan tabi’in, karena mereka telah sepakat
kebolehan menikahi wanita ahl al-kitab, seperti shahabat, Usman bin Affan,
T}alhah, Ibn Abba>s, Ja>bir, Hudhaifah, serta kalangan tabi’in, seperti, Said bin
Musayyab, Said bin Jubair, Hasan, Mujahid, Tawus, Ikrimah, al-Sya’bi, dan juga
al-Dhahaq, serta para ahli fiqh masa itu. Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad
bin Abu Bakar Al-Quthubiy (w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ahka>m Al-Qur’a>n Wa Al-
Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n ( Tahqiq : Mua’sasah
Al-Risa>lah, 1427 H / 2006 M ), Cet. I, Juz : I, 455. 114
Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar Al-Qut}ubi
(w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ahka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min
al-Sunnah Way Al-Furqa>n (Tahqiq: Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M), Cet.
I, Juz : I, 456. 115 Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu> Bakar Al-Qurt}ubi
(w. 671), al-Ja>mi’ li Al-Ahka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tad}ammanahu Min
al-Sunnah Way Al-Furqa>n (Tahqiq : Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H/2006 M ), Cet.
I, Juz : I, 461. 116
Abu Abdullah bin Muhammad bin Ahmad bin Abu> Bakar Al-Qurt}ubi
(w. 671H), al-Ja>mi’ li Al-Ahka>m Al-Qur’a>n Wa Al-Mubi>n Lima> Tadhamanahu
154
Min al-Sunnah Way Al-Furqa>n ( Tahqi>q : : Mua’sasah Al-Risa>lah, 1427 H / 2006
M ), Cet. I, Juz : I, 462. 117
Al-Ima>m Al-Qa>d}i Nas}i>ruddin Abu> Said Abdullah Abu> 'Umar
Muhammad al-Shaira>zi Al-Baid}a>wi ( w. 791 H ), Tafsi>r al-Baid}a>wi al-Musamma al-Tafsi>r al-Baid}a>wi (Beirut : Dar Al-Fikr, 1416 H/1996 M), Juz ke-1, 3.
118 Dilahirkan disebuah desa bernama al-Baidha', Persia (Iran). Ungkapan
Ibn Suhbah tentangnya, seorang yang produktif, karya-karyanya terlihat, misalnya,
menyusun rangkuman ( mukhtas}a>r ) tafsir al-Kassha>f karya al-Zamakhshari,
mensyarahi al-Mukhtas}ar karya Ibn Hajib di bidang ilmu Us}u>l Fiqh, mensyarahi
juga kitab al-Mukhtakha>b fi al-Ushu>l karya al-Imam Fakhruddin al-Ra>zi, al-Tawalli Fi> al-Kala>m, al-Gha>yah al-Quswah fi> Dira>yah al-Fatwa li> Fiqh al-Sya>fi’ih
dan menulis sebuah kitab tafsir yang merupakan karya terbaiknya, al- Anwa>r al-Tanzi>l Wa al-Asra>r al-Ta’wi>l, yang kemudian tafsir ini terkenal dengan sebutan
nama Tafsi>r al-Baid}a>wi. Al-Baid}awi wafat pada tahun 791H /1286 M. Al-Ima>m
Al-Qa>d}i Nas}i>ruddin Abu> Said Abdullah Abu> Umar Muhammad al-Syaira>zi Al-
Baid}a>wi (w. 791 H), Tafsi>r al-Baid}a>wi al-Musamma al-Tafsi>r al-Baid}a>wi ( Beirut : Dar Al-Fikr, 1416 H / 1996 M ), Juz ke-1, 3.
119 Dalam kenyataannya, Al-Baid}a>wi juga setuju dengan pengkhususan,
yaitu untuk wanita muhs}ana>t yang berasal dari ahl al-kita>b berdasarkan Qs.[5]:5,
maka pernikahan dengan ahl al-kita>b menurutnya, dibolehkan. Al-Ima>m Al-Qa>dhi
Nas}i>ruddin Abu> Said Abdullah Abu> 'Umar Muhammad al-Syaira>zi Al-Baid}a>wi
( w. 791 H ), Tafsi>r al-Baid}awi al-Musamma al-Tafsi>r al-Baid}a>w>i ( Beirut : Dar
Al-Fikr, 1416 H / 1996 M ), Juz ke-1, 3, 506. 120 Namanya Ala>’u al-Di>n Abu> al-Hasa>n Ali bin Muhammad bin Ibra>him
al-Baghda>dy. Ia dilahirkan di Baghdad pada tahun 678 H bertepatan dengan tahun
1279 M, tetapi beliau lebih dikenal dengan nama al-Kha>zin. Selain sebagai
mufassir, beliau juga seorang yang sufi dan fakih. Ia pengikut mazhab al-
Syafi’iyah. Wafat di Halaba ( Aleppo ) tanun 741 H/1342 M. Pada malam Jum’at
di akhir bulan Rajab, dan dimakamkan di tempat perkuburan al-Sufiyyah pada hari
yang sama. Pada malam Jum’at di akhir bulan Rajab, dan dimakamkan di tempat
perkuburan al-Sufiyyah pada hari yang sama. Dalam sudut sejarah, beliau juga
sebagai seorang mufassir yang muncul pada abad ke-7 H, dan tafsir ini, juga
merupakan ikhtishar ( ringkasan ) dari tafsir sebelumnya, yaitu Ma’a>lim Tanzi>l
karya al-Baghawi. Ali Iya>zi, Al-Mufassirun Haya>tuhum Wa Minhajuhum (t.t :
Wiza>rah Al-Tsaqa>fah Wa Irsya>d Al-Isla>my, 1373 H ), 598, Lihat juga, Muhammad
: Da>r Fikr, t.th ), 148. 124 Perdamaian Hudaibiyah ( Sulh Hudaibiyah), di bulan Zulqa’dah, tahun
ke 6 H. Merupakan awal diberlakukannya perintah larangan menikahi wanita kafir
(musyrik), berdasarkan QS. al-Mumtahan/60:10. Kesepakatan10tahun kedepan
tanpa peperangan, ungkapan setia, dan sebagainya, merupakan kesepakatan, yang
disetujui Nabi SAW dan Suhail bin Amr. Turun ayat ‚ In Ja>’atkum al-Mu’mina>tun Muha>jira>tun Famtahinu>hunna…..‛. Menguji keislaman mereka, para wanita hijrah,
status keimanan mereka. Dan pada saat itu, putus hubungan dan tidak sah
pernikahan antara mukmin dan kafir, dan ketika ayat ujian itu turun, di antara
mereka adalah, Subaiah binti Ha>rits al-Asla>miyah, masuk Islam, sedangkan
suaminya yang masih mushrik (Musa>fir al-Makhzu>mi), dikenal Saifi Bin Rahi>b,
lalu Nabi mengembalikan maskawin suaminya di Makkah. Kemudian Umar bin
Khattab menikahinya. Mengingat bunyi ayat yang melarang orang-orang Islam
menahan (tidak menceraikan), para istrinya yang masih dalam keadaan kafir di
Makkah, maka Umar menceraikan dua istrinya, yaitu Quraibah binti Abi Umayyah
dan Ummi Kuthu>m binti Jarwal. Sesudah diceraikan Umar, lalu Quraibah dinikahi
Mua>wiyah bin Abi Sofyan, dan Ummi Kultusm dinikahi oleh Abu Ami>n bin
Huzaifah (dikenal Abu Jaham bin Huzafah), keduanya masih dalam status mushrik
di Makkah. Sedangkan, Arwah binti Rabiah bin Harith bin Abdul Mut}alib, hijrah,
namun masih beagama lama, maka Islam menceraikannya, kemudian ia Arwah
masuk Islam, dan dinikahi Khalid bin Said bin Ash bin Umayyah. Diceritkan, oleh
Al-Sya’bi, bahwa diantaranya yang hijrah Zainab binti Rasulullah SAW, wanita
istri Abu al-Ash bin al-Ra>bi’ bin Umayyah, lalu beriman, masuk Islam sedangkan
suaminya di Makkah masih mushrik, maka Rasulullah mengembalikan mahar apa
yang telah diberikan suaminya sebagai ganti. Demikaian berlaku isi perjanjian
Hudaibiyah. Moenawwar Chalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad (Jakarta :
Gema Insani Press, 2001),386-387,Lihat.Alauddi>n Ali bin Muhammad bin Ibra>him
al-Bagda>di (Kha>zin, w. 725 H), Tafsir al-Kha>zin yang dikenal (Luba>bu al-Ta’wi>l Fi Ma’a>ni al-Tanzi>l )(Beirut : Dar Fikr, t.th), 258-259.
125 Ia adalah al-Ima>m al-Ha>fi>dz Imaduddin Abu al-Fida Ibn Amr bin Ibn
Kathir al-Qurashi al-Basri, al-Dimasqi al-Faqi>h al-Sha>fi’ih. Ia dilahirkan Mujadal
156
negeri Syam pada tahun 700 H / 1300 M atau di sebelah Timur Bashrah yang
merupakan wilayah bagian Damasqus. Muhammad H}usain al-Dhahabi, al-Tafsi>r
Wa al-Mufassiru>n ( Kairo : Maktabah Wahbah, 1396 H / 1976 M ), Juz. I, cet. Ke-
6, 173, Lihat. Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’an, Sejarah Tafsir dan Metode
Para Mufasir ( Tangerang : Gaya Media Pratama, 1428/ 2007), 76. 126Tafsir Ibn Katsir dengan nama yang disebutkan, merupakan tafsir
pertama kali dalam bentuk tafsir bi al-Ma’thu>r. Dan dianggap kitab yang kedua
setelah tafsir Ibn Jarir Al-T}abari, yang didalamnya meriwayatkan dari Nabi SAW,
sahabat-sahabat besar, tabi’in. Ia memilih riwayat-riwayat yang shahih dan atsar-
atsar yang disandarkan kepada pemiliknya. Ia adalah seorang mufasir yang
antusias menafsirkan al-Qur’a>n dengan al-Qur’a>n, kemudian dengan al-Sunnah,
pendapat para sahabat dan tabi’in. Ia banyak menyebut ayat-ayat yang sejalan
dengan maknanya, dan saling menguatkan, kemudian, membandingkan,
menguatkan pendapat yang rajih, dan melemahkan pendapat yang lemah dengan
dalil. Ia juga berbicara tentang al-Jarah wa al-Ta’di>l. Keistimewaannya adalah ia
mengingatkan akan adanya israiliyat, mengkritiknya dan mensarankan agar slalu
berhati-hati. Dalam tatanan sejarah, Ia hidup di abad pertengahan ( abad ke-8 H ),
dan beliau wafat di Damascus pada tahun 774 H. Lihat. Muhammad H}usain al-
M), Juz. I, cet. Ke-6, 175, Syiekh Muhammad Said Mursi, Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah ( A'zamu al-Islam Abara Arba’ata ‘Ashar Qarnan min al-
cet. 1, 349. 127 Pengecualian itu, sebagaimana dikutip yang sumber dari Ibn Abba>s :
استسنى هللا من ذالك ] وال تنكحوا المشركات حتى يؤمن [قال على بن أبى طلحة عن إبن عباس فى قوله :د ابن جبير , ومكحول والحسن , والضحاك , وزيد نساء أهل الكتاب , وهكذا قال مجاهد , وعكرمة , وسعي
بن أسلم , والربيع بن أنس , وغيرهمBerkata Ali bin Abi T}alhah dari Ibn Abba>s r.a tentang Firman Allah SWT,
[Janganlah kamu menikahi wanita mushrik hingga mereka beriman], dikecualikan
hal itu, wanita ahl al-kita>b. Demikian dikatakan Muja>hid, Ikri>mah, dan Sa'id bin Jubair, Makhu>l, al-Hasan, Zaid bin Asla>m, al-Rabi>’ bin Ana>s dan lainnya. Ima>duddi>n Abi> Fida>’i Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimasqi (w. 774 H), Tafsi>r Al-Qura>n Al-Az}i>m (Gi>zah : Mua’sasah Al-Qurt}ubah, 1421 H / 2000 M ), Jilid 2, Cet. I, 296
128 Ima>duddi>n Abi> Fida>’i Isma>il Ibn Kathi>r al-Dimasqi ( w. 774 H ), Tafsi>r
2007), cet. 1, 389, Ali Iyazi, Al-Mufassirun Haya>tuhum Wa Minhajuhum (Teheran
: Mu'asasah al-T}aba>'ah Wa Nasyr, 1415 H), 357-358, Saiful Amin Ghaofur, Profil Para Penafsir Al-Qur’an (Yogjakarta : Pustaka Insan Madani, 2008), 146-149, 151-
152, 156. 157
Ahmad Mus}t}afa Al-Mara>ghi, Tafsi>r Al-Mara>ghi, (Kairo:Shirkah
Maktabah Wa Mat}ba’ah Mus}t}afa Al-Babi al-Halabi Wa Awladuhu, 1365 H /1945
M ), cet. I, 152. 158 Corak penafsiran Al-Mara>ghi lebih dikenal dengan al-tafsir al-ilmi, hal itu
tentu karena besarnya pengaruh ulama-ulama pendahulunya, seperti Muhammad
Abduh dan Rasyid Ridha itu. Sedangkan bentuk pernafsirannya, lebih mengarah
kepada al-Adab al-Ijtima>’i (sosial-kemasyarkatan). Lihat. Ahmad Mus}t}afa Al-
Mara>ghi, Tafsir Al-Mara>ghi, (Kairo : Shirkah Maktabah Wa Mathba’ah Musthafa
Al-Babi al-Halabi Wa Awladuhu, 1365 H / 1945 M ), cet. I, 151. 159Ahmad Mus}t}}}afa Al-Mara>ghi,Tafsi>r Al-Mara>ghi, (Kairo:Shirkah
Maktabah Wa Mat}ba’ah Mus}t}afa Al-Ba>bi al-Halabi Wa Awla>duhu, 1365 H/1945
M ), cet. I, 152. 160 Ahmad Mus}t}}}afa Al-Mara>ghi, Tafsi>r Al-Mara>ghi, 153. 161 Namanya Sayyid Qutb bin Ibra>him bin Husein al-Sha>zili. Ia dilahirkan
di kampung Muwa>shah, kota Asyu>t, Mesir pada tahun 1906 M. Ia
menyelesaikakan pendidikan sarjanya di Da>r Ulu>m pada tahun 1933 M, sebuah
Universitas terkemuka di Kairo, dengan bidang Pengkajian Ilmu Islam dan Sastra
Arab dan di tempat tersebut dimana Imam Hasan al-Banna menuntut ilmu
sebelumnya. Ia seorang adalah anak tertua dari lima bersaudara, dua laki-laki dan
tiga perempuan. Nama ayahnya adalah Al-Hajja Qutub Ibra>him anggota Hizbul
Watha>n, dan seorang penulis di majalah The Banner ( al-Liwa’ ), dan pada saat
Qutub lahir kondisi ekonomi keluarganya yang krisis. Shahrough Akhavi, Sayyid
Qutub, dalam John L. Espo Sito ( Ed ), el.al. The Expord Encyclopedia Of The
Modern Word, Vol III, ( New York : Expord Univercity Press, 1995 ), 400-404,
Abdul Qadir Muhammad Shaleh, Al-Tafsi>r Wa Al-Mufasiru>n Fi> Tafsir al-Ashr Al-
Had>ith, Ard Wa Dira>sah Mufas}s}alah Li Ah}ka>m Kutub al-Tafsi>r Al-Mu’a>shir
(Bairu>t : Da>r Al-Ma'rifah, 1424 H / 2003 H ), cet. I, 347. 162Sayyid Qutub merupakan sosok mufasir di abad ke-19 M, yang
menghiasi beberapa lembaran pemikiran Islam abad modern ini, karena itu, ia
masuk ke dalam barisan tokoh-tokoh pembaharu Islam, seperti, Muhammad
Abduh, Syeikh Hasan Al-Banna, Syeikh Muhammad Sayyid Ridha, dan lain
sebagainya. Selain kifrahnya di akademis, dan di antara karyanya yang terkenal di
bidang tafsir, yaitu, tafsir Fi Z}ilal al-Qur’an (Dibawah Naungan Al-Qur’an). Abdul
Qa>dir Muhammad S}aleh, Al-Tafsi>r Wa Al-Mufasiru>n Fi> Tafsi>r al-As}r Al-H}ad>ith,
165
Ard Wa Dira>sah Mufas}s}alah Li Ah}ka>m Kutub al-Tafsi>r Al-Mua>s}ir ( Bairu>t : Da>r
Al-Ma'rifah, 1424 H / 2003 H ), cet. I, 347. 163Beberapa pemikiran tafsir Sayyid Qutb lebih dikenal dengan
pembaharu pergerakan Islam, hal itu karena pemikirannya, terinspirasi oleh ulama-
ulama sebelumnya, seperti Al-Maududi, sehingga kehidupan sosialnya, mewarnai
pemikiran tafsirnya. Selain banyak mengangkat masalah-masalah sosial
kemasyaralatan (al-Adab al-Ijtima>’i ), yang banyak menginpirasi generasi muslim,
oleh karenanya, keunggulan inilah, menjadi nilai positip bagi Sayyid Qutb, yang
dikenal sebagai sosok mufasir modern yang telah mewarnai corak tafsir al-Qur’an.
http:// ranah damaiku.blogspot.com.pemikiran Sayyid Qutb, disadur tanggal 10
Sayyid Qutb, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n (Beiru>t : Da>r Al-Arabiyah Li T}aba>’ah
Wanashr Wa Tawzi>’, t.th ), cet. Ke-4, 176. 165 Sayyid Qutb, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>n, Ke-4, 177. 166
Sayyid Qutb, Fi> Z}ila>l al-Qur’a>, 177.
167
Dia adalah Muhammad Ali Al-S}a>bu>ni seorang guru besar di Kuliah
Shari’ah dan Dira>sat Isla>miyah, di Makkah. Lahir tahun 1347 H/1928 M di Halab,
Syiria. Setelah selesai dari Tha>nawiyah, menyelesaikan kuliyahnya di Al-Azhar,
dengan gelar licience, pada tahun 1371 H/1952 M. Dan atas utusan kementerian
badan waqaf, Syariah, lalu melanjutkan studi masternya, dengan gelar master
peradilan hukum tahun 1945 M. Ia memiliki beberapa karya tulis yang
dipublikasikan, di bidang ilmu al-Qur’an dan tafsir, di antaranya, S}ofwah al-Tafa>sir, Mukhtas}ar Tafsi>r Ibn Kathi>r, Rawa>’i al-Baya>n Fi> Tafsi>r Aya>t al-Ah}ka>m,
al-Nubuwwah Wa al-Anbiya>’, al-Mawa>ris Fi> Shari’ah al-Isla>miyah ala Dau’i al-Qur’a>n Wa al-Sunnah, Qobs} Min Nu>r al-Qur’a>n. Ali Iya>zi, Al-Mufassirun Hayatuhum Wa Minhajuhum (Teheran : Mu'asasah al-Thaba>'ah Wa Nasyr, 1415
H), 470-471. 168Muhammad Ali al-S}abu>ni, Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n
(Bairu>t : Da>r Al-Qur’an Al-Kari>m, 1420 H /1999), cet. I, 200. 169
Muhammad Ali al-S}a>bu>ni, Tafsi>r Aya>t Al-Ah}ka>m Min al-Qur’a>n