BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG Pada dasarnya UUD 1945 memang secara eksplisit menjelaskan wewenang Mahkamah Agung (MA) adalah menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, jadi yang menjadi dasar untuk pengujiannya adalah Undang-Undang, sedangkan yang memiliki peran untuk melakukan pengujian konstitusional yaitu Mahkamah Konstitusi, dengan memakai UUD 1945 sebagai dasar pengujiannya. Namun akan terjadi kesulitan apa bila nanti di kasus yang dipegang oleh MA ternyata Undang-Undang yang menjadi dasar ternyata bertentangan dengan UUD 1945 itu sendiri. Ketika hal tersebut terjadi, sudah kewajiban MA sebagai lembaga yudikatif, dalam rangka menegakkan UUD 1945 harus melakukan tindakan dengan tidak memakai Undang-Undang tersebut karena inkonstitusional seperti pendapat John Marshall Undang-Undang buatan Kongres, apabila bertentangan dengan konstitusi sebagai the supreme law of the land harus dinyatakan null and void. Untuk itu bab ini secara keseluruhan disusun untuk memberikan argumen penulis untuk mendukung pendapat diatas. Oleh karena itu untuk sampai pada hasil tersebut, bab ini akan membahas sebagai berikut, Pertama, perbandingan kewenangan MA dengan Supreme Court Amerika Serikat dalam melakukan pengujian peraturan
37
Embed
BAB III PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG · 2020. 3. 4. · berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”. Dalam semua perkara yang
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB III
PENGUJIAN KONSTITUSIONAL OLEH MAHKAMAH AGUNG
Pada dasarnya UUD 1945 memang secara eksplisit menjelaskan wewenang
Mahkamah Agung (MA) adalah menguji peraturan perundang-undangan dibawah
Undang-Undang terhadap Undang-Undang, jadi yang menjadi dasar untuk
pengujiannya adalah Undang-Undang, sedangkan yang memiliki peran untuk
melakukan pengujian konstitusional yaitu Mahkamah Konstitusi, dengan memakai
UUD 1945 sebagai dasar pengujiannya. Namun akan terjadi kesulitan apa bila nanti
di kasus yang dipegang oleh MA ternyata Undang-Undang yang menjadi dasar
ternyata bertentangan dengan UUD 1945 itu sendiri. Ketika hal tersebut terjadi, sudah
kewajiban MA sebagai lembaga yudikatif, dalam rangka menegakkan UUD 1945
harus melakukan tindakan dengan tidak memakai Undang-Undang tersebut karena
inkonstitusional seperti pendapat John Marshall Undang-Undang buatan Kongres,
apabila bertentangan dengan konstitusi sebagai the supreme law of the land
harus dinyatakan null and void.
Untuk itu bab ini secara keseluruhan disusun untuk memberikan argumen penulis
untuk mendukung pendapat diatas. Oleh karena itu untuk sampai pada hasil tersebut,
bab ini akan membahas sebagai berikut, Pertama, perbandingan kewenangan
MA dengan Supreme Court Amerika Serikat dalam melakukan pengujian peraturan
perundang-undangan; Kedua, kewenangan MA melakukan pengujian konstitusional;
Ketiga, kelemahan mekanisme pengujian oleh MA.
A. Perbandingan Kewenangan Mahkamah Agung Amerika Serikat Dengan
Indonesia Dalam Melakukan Pengujian Konstitusional
Dalam sub bab ini, pada intinya akan memaparkan mengenai perbandingan
kewenangan dalam melakukan praktik pengujian konstitusional yang dimiliki oleh
Supreme Court dengan MA, poin-poin yang menjadi perbandingan melihat dari
sistem hukum, posisi lembaga yudisial dalam sistem ketatanegaraan serta sistem
pengujian di kedua negara. Lalu dalam sub bab ini dipaparkan juga mengenai praktik
MA dan Supreme Court, dalam melakukan pengujian konstitusional.
1. Supreme Court Of The United States
Sebelum memasuki pembahasan mengenai kewenangan, akan dijelaskan terlebih
dahulu mengenai sistem atau tradisi hukum serta struktur ketatanegaraan di negara
Amerika Serikat (AS).
Supreme Court dengan Sistem hukum AS yang menganut tradisi “Common
Law”, dalam tradisi ini dikenal yang namanya “judge-made law”, atau hukum buatan
hakim1, dimana dianggap lazim jika seorang hakim Supreme Court dapat
mengesampingkan peraturan perundang-undangan apabila dianggap bertentangan
1 King Faisal Sulaiman, Teori Peraturan Perundang-Undangan Dan Aspek Pengujiannya, Thafa
Media, Yogyakarta, 2017, Hal. 127.
dengan konstitusi, dikarenakan peraturan perundang-undangan bukan lah acuan
utama2.
Judge-made law menunjukan peranan hakim penting dalam proses pembentukan
hukum menurut Asas “precedent”. Asas “precedent” menekankan putusan-putusan
hakim tersebut telah berkekuatan hukum tetap sehingga bersifat mengikat bagi
pengadilan-pengadilan dibawahnya ataupun pengadilan-pengadilan yang
terkemudian3. Dengan demikian putusan hakim menjadi acuan bagi hakim
selanjutnya jika menemukan kasus yang sejenis.
Sebagai negara maju yang besar, negara republik yang berbentuk Federasi
(federal) dan teridiri dari 50 negara bagian, penganut sistem pemerintahan
presidensial dengan teori Trias Politika dari Montesquieu mengenai pemisahan
kekuasaan yang tegas antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif sebagaimana
tergambar dalam gambar dibawah
2 Ade Suherman, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004, Hal.
121. 3 Jimly Asshiddiqie,Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, Hal.
152.
Gambar 3.1 (pembagian kekuasaan di AS menurut konstitusi)
Lembaga eksekutif sendiri dikepalai oleh Presiden seperti dalam konstitusi AS
Article II Section 1, ”kekuasaan eksekutif akan diberikan kepada seorang Presiden AS
bersama sama dengan Wakil Presiden”. Sedangkan kekuasaan legislatif, konstitusi
AS meletakkan kekuasaan untuk memberlakukan Undang-Undang pada kongres,
seperti yang dikatakan pada konstitusi AS Article I Section 1 “semua kekuasaan
legislatif diberikan kepada sebuah Kongres AS, yang terdiri dari Senat dan House Of
Representatives (Dewan Perwakilan Rakyat)4.
Kekuasaan Yudikatif di AS dalam konstitusinya menyebutkan bahwa kekuasaan
peradilan dibawah satu atap Supreme Court, dan pada pengadilan-pengadilan lebih
rendah (District Courts; Courts of Appeals; Courts of Appeals for the Federal
Circuit; Courts of Military Appeals and Other Legislative Courts; State Courts of
Last Resort).
4 “Garis Besar Sistem Hukum Amerika Serikat”, Biro Program Informasi Internasional Departemen
Luar Negeri A.S, Washington, 2001, Hal. 8-10
Konstitusi AS membagi secara jelas kewenangan dari Supreme Court seperti
dalam Article III Section 2 “kekuasaan peradilan akan menjangkau semua Perkara
dalam Hukum dan Keadilan; …. Semua Perkara yang menyangkut Duta Besar; Duta
lain dan konsul semua perkara yang menyangkut hukum laut dan maritim; sengketa
yang salah satu pihaknya adalah Amerika Serikat; sengketa antar dua Negara Bagian
atau lebih; antara warga Negara-Negara Bagian; antara sesama warga sebuah Negara
Bagian yang mengklaim tanah di bawah hibah Negara-Negara bagian yang
berlainan, dan antara sebuah Negara bagian, atau para warganya, dan Negara asing”.
Dalam semua perkara yang menyangkut Duta Besar, Duta lain dan Konsul, dan yang
menyangkut sebuah Negara Bagian sebagai salah satu pihaknya. Dalam semua
perkara yang lain yang disebut tadi, Supreme Court akan memiliki Yurisdiksi asli,
baik mengenai hukum maupun fakta, dengan perkecualian, serta dibawah peraturan
yang dibuat oleh kongres.
Dijabarkan kembali Menurut U.S Code : Title 28 - Judiciary and Judicial
Procedure, Part IV Chapter 81 (1251), “Supreme Court harus memiliki yurisdiksi
asli dan eksklusif dari semua kontroversi antara dua atau lebih Negara;
Supreme Court memiliki yurisdiksi asli tetapi tidak eksklusif mencakup:
(1) Semua tindakan atau proses di mana para duta besar, menteri publik
lainnya, konsul, atau wakil konsul negara asing adalah pihak-pihak;
(2) Semua kontroversi antara Amerika Serikat dan Negara;
(3) Semua tindakan atau proses oleh suatu Negara terhadap warga Negara
lain atau terhadap orang asing”.
2. Kewenangan Pengujian Konstitusional oleh Supreme Court of the United States
Memang secara eksplisit peraturan perundang-undangan dan konstitusi Amerika
Serikat tidak mengatur kewenangan Supreme Court untuk melakukan pengujian
konstitusional. Meski demikian, Article IV konstitusi 1787 menyatakan bahwa “the
constitutional, laws, and the treaties of United States merupakan Supreme Law of
Land….”. Hal demikian, menjadi landasan bagi hakim melakukan judicial review
untuk menjaga agar tidak ada pertentangan antara peraturan dengan the
constitutional, laws, and the treaties of United States. Article IV konstitusi 1787
menjadi landasan bagi kekuasaan yudikatif dalam melakukan judicial review untuk
menegakkan nilai-nilai Konstitusi 1787.
Dalam menjalankan praktik “judicial review” berdasarkan konstitusi 1787
Supreme Court menganut model ”unity of jurisdiction” dengan demikian antara
“judicial review” dan pemeriksaan perkara biasa dilaksanakan satu atap Supreme
Court, model “unity of Jurisdiction” dalam pelaksanaan kewenangan tersebut
Supreme Court membawahi pengadilan-pengadilan yang berada di negara bagian
AS5, maka dari itu pelaksanaan “judicial review” tidak hanya dilaksanakan oleh
Supreme Court tetapi memberikan kewenangan kepada pengadilan biasa dibawah
Supreme Court di setiap tingkat pengadilan atau biasa disebut dengan sistem
desentralisasi6.
5 King Faisal Sulaiman,Op.Cit, Hal. 87
6 Michael Bogdan, Pengantar Perbandingan Sistem Hukum, Nusa Media, Bandung, 2010, Hal. 191.
Sistem desentralisasi di AS membuat setiap hakim di pengadilan federal dan
negara bagian memungkinkan untuk melakukan Judicial Review, jadi memberikan
kompetensi absolut kepada setiap hakim dalam hal pemeriksaan suatu perkara secara
konkret untuk melakukan pengujian, tidak terbatas di satu lembaga saja7. Pemberian
kewenangan kepada semua organ yudisial untuk melakukan kontrol konstitusional
Undang-Undang dilakukan karena fungsi dasar dari lembaga peradilan memang
untuk menafsirkan hukum dan menerapkannya dalam kasus-kasus konkret, lalu
norma konstitusional berlaku atas norma legislatif biasa, setiap hakim dalam sistem
desentralisasi, memutuskan kasus dimana norma legislatif yang berlaku bertentangan
dengan konstitusi, harus mengabaikan Undang-Undangnya dan menerapkan yang
hukum yang seharusnya8.
Kemudian, pengujian yang dilakukan oleh hakim tingkat banding untuk menilai
vonis pengadilan tingkat pertama atau pengujian kasasi oleh Mahkamah Agung
terhadap putusan pengadilan di bawahnya juga disebut sebagai “judicial review”.
Begitu juga halnya dengan pengujian terhadap keputusan-keputusan administrasi
negara (beschikking) juga disebut “judicial review”9.
Seperti sudah disinggung di atas model pengujian peraturan perundang-undangan
yang diterapkan Amerika serikat merupakan sistem desentralisasi, semua paradigma
tersebut di prakasai dengan tulisan Alexander Hamilton yang pada intinya
7 Ibid, Hal. 191
8 Danielle Finck, 1997, Judicial Review: The United States Supreme Court Versus the German
Constitutional Court, Boston College International and Comparative Law Review, 20(5): 126. 9 King Faisal Sulaiman, Op.Cit, Hal. 125.
menyatakan “penafsiran Undang-Undang merupakan bagian khas dari lembaga
peradilan, lalu seorang hakim harus tahu bahwa konstitusi merupakan hukum dasar,
karena itu hakim harus menafsirkan Undang-Undang buatan legislatif untuk
memastikan makna dari konstitusi tetap ada dalam Undang-Undang tersebut” tulisan
tersebut memberikan inspirasi kepada Supreme Court pada kasus Madison v Marbury
(1803)10
.
“Dalam pemilihan umum tahun 1800 untuk masa jabatan keduanya, John Adams
dikalahkan oleh Thomas Jefferson dari Partai Democratic-Republic. Setelah kalah,
dalam masa peralihan untuk serah terima jabatan dengan Presiden terpilih Thomas
Jefferson, John Adams membuat keputusan-keputusan yang di antaranya, John
Marshall diangkat menjadi Ketua Supreme Court (Chief Justice). Bahkan sampai
menjelang detik-detik saat-saat menjelang jam 00:00 tengah malam tanggal 3 bulan
Maret 1801, masa peralihan pemerintahan ke presiden baru, Presiden John Adams,
dengan dibantu oleh John Marshall yang ketika itu sudah resmi menjadi Ketua
Supreme Court dengan tetap merangkap sebagai Secretary of State, masih terus
menyiapkan dan menandatangani surat-surat pengangkatan pejabat, termasuk
beberapa orang diangkat menjadi duta besar dan hakim. Sayangnya, copy surat
pengangkatan mereka tidak sempat lagi diserahterimakan sebagaimana mestinya.
Pada keesokan harinya, surat-surat tersebut masih berada di kantor kepresidenan.
Karena itu, ketika Thomas Jefferson sebagai Presiden baru mulai bekerja pada hari
10
Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, Edisi ke 2, Alumni, Bandung, 1997, Hal. 53.
pertama, surat-surat itu ditahan oleh James Madison yang diangkat oleh Presiden
Thomas Jefferson sebagai the Secretary of State menggantikan John Marshall.
Atas dasar penahanan surat itulah maka William Marbury dkk melalui kuasa
hukum mereka, mengajukan tuntutan langsung ke Supreme Court yang dipimpin oleh
John Marshall agar sesuai dengan kewenangannya memerintahkan Pemerintah
melaksanakan tugas yang dikenal sebagai “writ of mandamus‟ dalam rangka
penyerahan surat-surat pengangkatan tersebut. Karena pengangkatan mereka menjadi
hakim telah mendapat persetujuan kongres sebagaimana mestinya.
Supreme Court menyatakan bahwa apa yang diminta oleh penggugat, yaitu agar
Supreme Court mengeluarkan „writ of mandamus‟ sebagaimana ditentukan oleh
Section 13 dari Judiciary Act tahun 1789 tidak dapat dibenarkan, karena ketentuan
Judiciary Act itu sendiri justru bertentangan dengan Article III Section 2
Konstitusi AS. Oleh karena itu, dalil yang dipakai oleh Supreme Court di bawah
pimpinan Chief Justice John Marshall untuk memeriksa perkara Marbury versus
Madison itu, bukanlah melalui pintu Judiciary Act tahun 1789 tersebut, melainkan
melalui kewenangan yang ditafsirkannnya dari dari konstitusi. Dari sinilah
kemudian berkembang pengertian bahwa Supreme Court pada pokoknya
merupakan lembaga pengawal konstitusi (the Guardian of the Constitution of the
United States of America) yang bertanggung jawab menjamin agar norma dasar
yang terkandung di dalamnya sungguh-sungguh ditaati dan dilaksanakan dengan
sendirinya. Menurut John Marshall, segala undang-undang buatan Kongres, apabila
bertentangan dengan konstitusi sebagai the supreme law of the land harus
dinyatakan null and void”11
. Dengan putusan Supreme Court di atas praktek tersebut
menunjukan telah dilakukannya pengujian konstitusional dengan membatalkan
Undang-Undang buatan kongres karena bertentangan dengan konstitusi AS itu
sendiri.
3. Mahkamah Agung Republik Indonesia
Indonesia menganut sistem hukum Civil Law, dengan prinsip dasar Civil Law
bahwa hukum itu memperoleh kekuasaan mengikat karena berupa peraturan yang
berbentuk Undang-Undang yang tersusun secara sistematis12
, jadi adanya
pengodifikasian peraturan perundang-undangan yang akan menjadi acuan hakim
dalam membuat putusan. Maka kekuasaan kehakiman tidak terlalu bebas dalam
menciptakan hukum baru, karena hakim hanya menerapkan dan menafsirkan
peraturan yang ada berdasarkan wewenang yang ada padanya.
Dalam UUD 1945 telah menjelaskan secara jelas bentuk negara Indonesia,
seperti dalam Pasal 1 ayat 1 menyatakan “Negara Indonesia adalah negara kesatuan
yang berbentuk Republik”. Kemudian mengenai sistem pemerintahan, Indonesia
menerapkan sistem pemerintahan presidensial, dimana kepala negara menjadi kepala
pemerintahan, serta menteri-menteri diangkat dan bertanggung jawab kepada
presiden13
.
11
Jimly Asshiddiqie. 2012. Sejarah Constitutional Review Dan Gagasan Pembentukan Mahkamah
Konstitusi. Makalah. Dalam : The Three “E” Lecture Series, @america di Pasific Place level 3, 18
Juni, Hal. 2-3. 12
Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, Prenhalindo, Jakarta, 2001, Hal. 36. 13
Mahfud M D, Dasar &Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2001, Hal. 74.
Gambar 3.2 (Pembagian kekuasaan di Indonesia menurut UUD 1945)
Seperti yang dilakukan Amerika Serikat, Indonesia pun juga menganut konsep
Trias Politika dari Montesquieu mengenai pemisahan kekuasaan pemerintahannya. Di
kekuasaan Eksekutif dikepalai oleh Presiden, seperti dalam Pasal 4 ayat (1) UUD
1945 dapat diketahui bahwa, Presiden berkedudukan sebagai kepala pemerintahan
(Kepala Eksekutif), hal ini menyatakan bahwa “Presiden ialah kepala Eksekutif
dalam negara”14
itu semua menjelaskan kembali bahwa Presiden sebagai Kepala
Negara juga menjadi Kepala Pemerintahan dalam sistem Presidensial. Dalam
kekuasaan Legislatif sebagai pembentuk Undang-Undang, kekuasaan tersebut
dipegang oleh DPR, DPD serta MPR, seperti diterapkan dalam Pasal 2 ayat (1) UUD
1945, “Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan
Rayat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah”, lalu mengenai kewenangannya
sendiri dijelaskan dalam Pasal 3 ayat (1), “Majelis Permusyawaratan Rakyat
14
Ibid, Hal. 113.
berwenang mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar”, serta Pasal 20 ayat
(1) “ Dewan Perwailan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”.
Kekuasaan Yudikatif di Indonesia dijelaskan melalui Pasal 24 ayat (2) UUD
1945 “ kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah MA dan badan peradilan yang
berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi”, Jadi ada dua lembaga dalam kekuasan yudikatif di Indonesia,
yaitu Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK).
4. Kewenangan Pengujian Oleh MA dan MK
Terkait kewenangan MK dalam pengujian konstitusional, MK memiliki
wewenang yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 24C Ayat (1) bahwa MK menguji
Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, dalam Pasal 10 Ayat (1a) Undang-
Undang Nomor.24 Tahun 2003 tentang MK pun menyebutkan hal yang sama
terkhusus kewenangan MK dalam pengujian konstitusionalnya.
Dalam praktiknya MK sudah banyak melakukan pengujian konstitusional karena
memang kewenangan yang diberi oleh peraturan perundang-undangan memang
menguji konstitusionalitas suatu peraturan perundang-undangan, menjadikan
konstitusi sebagai dasar pengujiannya, seperti pada yang telah disinggung diatas pada
putusan MK Nomor 73/PUU-IX/2011, yang menyatakan Inkonstitusional beberapa
pasal dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Tentang Pemerintah Daerah,
dikarenakan bertentangan dengan UUD 1945. Mekanisme dalam pengujian
konstitusional oleh MK merupakan pengujian konstitusional melalui kasus abstrak
yang dimana pemohon yang merasa dirugikan karena suatu peraturan perundang-
undangan bertentangan dengan konstitusi, mengajukan permohonan dengan uraian
“pengujian Undang-Undang terhadap UUD 1945” seperti yang telah dituliskan dalam
Pasal 30 Ayat (1) Undang-Undang Nomor. 24 Tahun 2003 tentang MK.
MA kewenangannya diatur dalam Pasal 24A Ayat (1) UUD 1945, menguji
peraturan perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang,
dalam Pasal 20 Ayat (2a) Undang-Undang No.48 Tahun 2009 mengenai kekuasaan
kehakiman pun menyebutkan hal yang sama mengenai wewenang MA terkhususnya
dalam pengujian peraturan perundang-undangan.
Seperti yang telah dituliskan oleh konstitusi serta peraturan perundang-undangan,
MA memiliki wewenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah Undang-
Undang terhadap Undang-Undang, jadi dalam melakukan pengujian MA memakai
peraturan perundang-undangan sebagai dasar pengujiannya. Namun pada praktiknya
MA pernah juga melakukan pengujian konstitusional, Memang peraturan perundang-
undangan dan konstitusi telah mengatur wewenang MA untuk menguji peraturan
perundang-undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, namun
ternyata ada praktik MA yang melakukan pengujian konstitusional, seperti yang
Supreme Court A.S lakukan.
Dalam Putusan MA Nomor 39 PK/Pid.Sus/2011 MA membatalkan hukuman
mati dalam suatu perkara psikotropika dan mengubah hukumannya menjadi 15 tahun
penjara, dalam satu pertimbangan MA berbunyi
“Hukuman MATI bertentangan dengan Pasal 28 ayat 1 Undang-Undang
Dasar 1945 dan melanggar Pasal 4 Undang-Undang No. 39 Tahun 1989
tentang HAM yang berbunyi : "Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk
tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di
hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang
berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan dan oleh siapa pun15
”.
Yang pada intinya mengatakan hukuman mati untuk terpidana narkotika adalah
inkonstitusional, dimana sebelumnya dalam Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007 telah
dinyatakan bahwa, ancaman pidana mati dalam pasal-pasal Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1997, tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Praktik diatas menunjukkan MA telah melakukan pengujian
Undang-Undang terhadap UUD 1945 melalui kasus konkrit yang dimana
kewenangan pengjian konstitusional merupakan kewenangan dari MK, karena dalam
putusan tersebut MA memutuskan tidak memakai dan menyatakan tidak sah Undang-
Undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, jadi MA telah melakukan
praktik pengujian konsitusional.
Dengan adanya dua lembaga dalam kekuasaan yudikatif maka akan berbeda pula
jenis putusan yang dikeluarkan, jika kita melihat pembagian wewenang diatas bisa
disimpulkan bahwa Indonesia seperti pada beberapa negara yang menganut sistem
15
Putusan Peninjauan Kembali Nomor 39 K/Pid.Sus/2011, hal 53-54.
hukum Eropa Kontinental (civil law), dilakukan oleh suatu lembaga sendiri yang
dikenal sebagai lembaga Mahkamah Konstitusi atau Constitutional Court. Tata cara
pengujian yang hanya dilakukan oleh satu Mahkamah dikenal sebagai sistem
sentralisasi16
.
Sistem sentralisasi dikenal dengan ciri khasnya yaitu dalam pelaksanaan
pengujian Konstitusional memiliki lembaga tersendiri di luar dari peradilan umum
yang ada17
. Sistem sentralisasi memiliki lembaga-lembaga pelaksana pengujian
bersifat Independen, dan didirikan diluar peradilan biasa, kemudian mekanisme
dalam penyelesaian perkara-perkara yang menyangkut “Constitutional Complaint”
dilakukan dengan mengadakan pemisahan antara mekanisme “Constitutional
Review” dari mekanisme yang berlaku di pengadilan-pengadilan biasa18
.
Proses pengujian konstitusionalitas dalam model ini memiliki hakim-hakim
khusus yang mempunyai keahlian di bidang ini, dalam menjalankan wewenangnya
MK melakukan pengujian konstitusional tertutama atas norma-norma yang bersifat
abstrak, sistem sentralisasi mengkhususkan tersendiri hakim dan juga lembaganya
dalam melakukan kontrol konstitusional Undang-Undang dikarenakan pandangan
bahwa untuk menjamin nilai dari kepastian hukum konstitusi apabila semua lembaga
yudisial dapat melakukan kontrol konstitusional Undang-Undang maka akan
menimbulkan resiko pertentangan putusan pengadilan satu dengan yang lain lebih
16
Fatmawati, Hak Menguji (TOETSINGSRECHT), Cetakan 1, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005,
Hal. 37. 17
Imam Soebechi, Hak Uji Materiil, Sinar Grafika, Jakarta, 2016, Hal. 80 18
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, Konstitusi Press,
Jakarta, 2006, Hal. 55
banyak, jika hal tersebut terjadi dampaknya membuat hukum menjadi tidak pasti
untuk masyarakat dan juga untuk otoritas pemerintah, sebaliknya jika memiliki
lembaga khusus dalam pelaksanaan kontrol konstitusional Undang-Undang maka
tidak akan ada resiko pertentangan kontrol konstitusional Undang-Undang, dan lebih
menjamin kepastian hukumnya19
.
Dengan demikian, praktik MA di atas lah yang menjadi starting point dalam
pembahasan kewenangan MA untuk melakukan judicial review Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar.
B. Kewenangan Mahkamah Agung Republik Indonesia Melakukan Pengujian
Konstitusional
1. Undang-Undang Dasar 1945 sebagai Dasar Pengujian Konstitusional
Sebelum mengenal lebih jauh tentang pengujian konstitusional, perlunya
kejelasan peristilahan antara constitutional review atau pengujian konstitusional
dengan Judicial Review, constitutional review selain dilakukan oleh hakim dapat pula
dilakukan oleh lembaga selain hakim atau pengadilan, tergantung kepada lembaga
mana UUD memberikan kewenangan untuk melakukannya, kemudian dalam konsep
judicial review terkait pula pengertian yang lebih luas objeknya, misalnya mencakup
legalitas peraturan perundang-undangan terhadap Undang-Undang, sedangkan
constitutional review hanya menyangkut pengujian konstitusionalitasnya, yaitu
19
Victor Ferreres, 2004, THE CONSEQUENCES OF CENTRALIZING CONSTITUTIONAL REVIEW
IN A SPECIAL COURT. SOME THOUGHTS ON JUDICIAL ACTIVISM, Yale Law School SELA
Papers, 1(1) : 1-2.
terhadap UUD. Jadi berkenaan dengan hal tersebut, bisa kita katakan jika ukuran
pengujian itu dilakukan menggunakan konstitusi sebagai alat pengukur, maka
kegiatan pengujian semacam itu dapat disebut sebagai constitutional review atau
pengujian konstitusional, yaitu pengujian mengenai konstitusionalitas dari norma
hukum yang sedang diuji20
. Pengujian konstitusional itu perlu untuk dilakukan dalam
rangka melindungi dan mengawal pelaksanaan hukum dan konstitusi dalam praktik
sehari-hari, mengingat juga bahwa konstitusi sendiri merupakan hukum dasar,
tertinggi, sebuah Supreme Law of the Land21
.
Dalam sistem pengujian konstitusionalitas (Constitutional Review), terkandung
pengertian bahwa yang supreme itu adalah konstitusi, bukan parlemen22
. Dikatakan
sebagai Supreme atau Supreme Law of the Land dikarenakan pertama dilihat dari
posisi “konstitusi” sebagai “hukum dasar” (basic law), mengandung norma-norma
dasar yang mengarahkan bagaimana pemerintah mendapatkan kewenangan
mengorganisasikan penyelenggaraan kekuasaan negara. Dalam kedudukan sebagai
basic law, konstitusi dapat dijadikan instrumen efektif mencegah timbulnya
penyalahgunaan kekuasaan. Kedua, segi hirarki peraturan perundang-undangan,
konstitusi sebagai “hukum tertinggi” kedudukannya “kuat”, artinya produk hukum
lainnya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi, dan kalau bertentangan harus
dibatalkan. Ketiga, konstitusi sebagai dokumen hukum dan politik (politico-legal
20
Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, KonPress, Jakarta,
2006, Hal. 6-7. 21
Ibid, Hal.8 22
Ibid, Hal. 31
document) menempati kedudukan “istimewa”, selain subtansi atau materi muatannya
memuat norma hukum dasar, juga berisi piagam kelahiran suatu negara baru, inspirasi
merealisasi cita-cita negara dan cita-cita hukum, karena itu norma konstitusi juga
mengendalikan norma-norma lainnya.23
Di Indonesia dengan UUD 1945 sebagai konstitusinya, menjadi dasar segala
peraturan perundang-undangan , dijelaskan oleh Pasal 3 ayat 1 Undang-Undang No.
12 Tahun 2011 “Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
merupakan hukum dasar dalam peraturan perundang -undangan”, kemudian
dijabarkan kembali melalui hirarki peraturan perundang-undangan, di Pasal 7 ayat 1
Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, sebagai berikut
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
3. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
4. Peraturan Pemerintah
5. Peraturan Presiden
6. Peraturan Daerah Provinsi
7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
Kemudian sistem hirarki tersebut dijabarkan kembali pada penjelasan umum
Pasal 7 ayat 2 Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, “penjenjangan setiap jenis
peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi”, yang menjelaskan bahwa peraturan
perundang-undangan tidak dimungkinkan untuk bertentangan dengan peraturan yang
23
Dewa Gede Atmaja, Hukum Konstitusi, Setara Press, Malang, 2010, Hal.39-40.
susunan hirarkinya berada diatasnya, yang dapat di simpulkan juga bahwa tidak boleh
ada peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan UUD 1945, lalu pada