BAB III PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG WATHA’ SEBAGAI SYARAT SAHNYA RUJUK BAGI TALAK YANG JATUH AKIBAT SUMPAH ILA’ A. Biografi Imam Malik 1. Tempat dan Tahun Kelahiran Imam Malik Imam Malik adalah Imam kedua dari imam-imam empat serangkai dalam islam dari segi umur. Beliau dilahirkan dikota Madinah suatu daerah dinegeri Hijaz, pada tahun 93 Hijriyah/712M. Beliau adalah seorang dari keturunan bangsa arab dari Dusun Dzu Ashbah, sebuah dusun dikota Himyar dari jajahan negeri Yaman. 1 Nama beliau dari kecil adalah Malik bin Anas bin Malik bin Amir Al Ashbahy, dan ibunya bernama Siti Al-‘Aliyah binti Syuraik bin Abdurrahman bin Syuraik Al-Azadiyah. Dan menurut beberapa riwayat yang termaktub dalam kira-kitab tarikh: “Bahwa Imam Malik ketika dalam kandungan rahim ibunya adalah dalam tempo kurang lebih dua tahun”. 2 Ketika masih dalam usianya yang masih kanak-kanak beliau mulai sudah belajar membaca al-Qur'an dengan lancar diluar kepala. 3 Perlu dijelaskan, bahwa nama Anas bin Malik (ayah beliau) itu bukannya Anas bin Malik yang pernah menjadi sahabat dan khadam Nabi kita Muhammad SAW yang terkenal itu , karena Anas bin Malik ini 1 H. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab¸ Bulan Bintang, Jakarta, 1985, hlm. 84 2 Ibid 3 Ibid, hlm. 85 27
22
Embed
BAB III PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG WATHA’ SEBAGAI SYARAT ...library.walisongo.ac.id/digilib/files/disk1/2/jtptiain-gdl-s1-2005-lauraintan-99-BAB... · bab iii pendapat imam malik
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB III
PENDAPAT IMAM MALIK TENTANG WATHA’ SEBAGAI SYARAT
SAHNYA RUJUK BAGI TALAK YANG JATUH AKIBAT SUMPAH ILA’
A. Biografi Imam Malik
1. Tempat dan Tahun Kelahiran Imam Malik
Imam Malik adalah Imam kedua dari imam-imam empat serangkai
dalam islam dari segi umur. Beliau dilahirkan dikota Madinah suatu
daerah dinegeri Hijaz, pada tahun 93 Hijriyah/712M. Beliau adalah
seorang dari keturunan bangsa arab dari Dusun Dzu Ashbah, sebuah dusun
dikota Himyar dari jajahan negeri Yaman.1
Nama beliau dari kecil adalah Malik bin Anas bin Malik bin Amir
Al Ashbahy, dan ibunya bernama Siti Al-‘Aliyah binti Syuraik bin
Abdurrahman bin Syuraik Al-Azadiyah. Dan menurut beberapa riwayat
yang termaktub dalam kira-kitab tarikh: “Bahwa Imam Malik ketika dalam
kandungan rahim ibunya adalah dalam tempo kurang lebih dua tahun”.2
Ketika masih dalam usianya yang masih kanak-kanak beliau mulai
sudah belajar membaca al-Qur'an dengan lancar diluar kepala.3
Perlu dijelaskan, bahwa nama Anas bin Malik (ayah beliau) itu
bukannya Anas bin Malik yang pernah menjadi sahabat dan khadam Nabi
kita Muhammad SAW yang terkenal itu , karena Anas bin Malik ini
1 H. Moenawar Chalil, Biografi Empat Serangkai Imam Mazhab¸ Bulan
Dalam menetapkan hukum dan ketika memberi fatwa, beliau sangat
berhati-hati, sebagaimana diriwayatkan, bahwa beliau pernah berkata, “saya
tidak pernah memberikan fatwa dan meriwayatkan suatu hadist, sehingga 70
ulama membenarkan dan mengakuinya”.21
Adapun metode istimbath hukum yang digunakan Imam Malik dalam
menetapkan hukum itu didasarkan pada sepuluh dasar, yaitu sebagai berikut:22
1. Al-Qur'an
Dalam memegang al-Quran ini meliputi pengambilan hukum
berdasarkan atas dhahir nash al-Quran atau keumumannya, meliputi
mafhum al-Mukhalafah dan mafhum al-aula dengan memperhatikan
‘illatnya.
2. Sunnah
Dalam berpegang kepada sunnah sebagai dasar hukum, Imam
Malik mengikuti cara yang dilakukannya dalam berpegang kepada al-
Quran. Apabila dalil syar’i menghendaki adanya penta’wilan, maka yang
dijadikan pegangan adalah arti ta’wil tersebut.
Dan apabila terdapat pertentangan antara ma’na dhahir Al-Quran
dengan makna yang terkandung dalam Sunnah sekalipun jelas maka yang
dipegang adalah makna dhahir al-Quran. Tetapi apabila makna yang di
kandung oleh Al-Sunnah tersebut dikuatkan oleh ijma’ ahli al-Madinah,
maka ia lebih mengutamakan makna yang terkandung dalam sunnah
21Ibid 22 Dr. Huzaemah Tahido Yanggo, op. cit., hlm. 106
39
daripada dhahir al-Quran (Sunnah yang dimaksud disini adalah sunnah Al-
Muthawatirah atau Al-Masyhurah)
3. Ijma’ Ahli-Madinah
Ijma ahl al-Madinah ini ada dua macam, yaitu ijma’ ahl Al-
Madinah yang asalnya dari al-Naql, hasil dari mencontoh Rasulullah Saw,
bukan dari hasil ijtihad ahl al-Madinah, seperti tentang ukuran mud, sha’,
dan penentuan suatu tempat, seperti tempat mimbar Nabi SAW, atau
tempat dilakukannya amalan-amalan rutin seperti adzan di tempat yang
tinggi dan lain-lain. Ijma’ semacam ini dijadikan hujjah oleh Imam Malik.
Menurut Ibnu Taimiyah, yang dimaksud dengan ijma’ ahl al-
Madinah tersebut adalah ijma’ ahl al-Madinah pada masa lampau yang
menyaksikan amalan-amalan yang berasal dari Nabi SAW. Sedangkan
kesepakatan ahl al-Madinah yang hidup kemudian, sama sekali bukan
merupakan hujjah. Ijma’ ahl al-Madinah yang asalnya dari al-Naql, sudah
merupakan seluruh kaum muslimin sebagai hujjah.
Dikalangan mazhab Maliki, ijma’ ahl al-Madinah lebih
diutamakan dari pada khabar ahad, sebab ijma’ ahl al-Madinah
merupakan pemberitaan oleh jama’ah, sedangkan khabar ahad hanya
merupakan pemberitaan perorangan.
Ijma’ ahl al-Madinah ini ada beberapa tingkatan, yaitu:
a. Kesepakatan ahl al-Madinah yang asalnya al-Naql.
b. Amalan ahl al-Madinah sebelum terbunuhnya Ustman bin Affan.
40
c. Amalan ahl al-Madinah itu dijadikan pendukung atau pentarjih atas
dua dalil yang saling bertentangan.
d. Amalan ahl al-Madinah sesudah masa keutamaan yang menyaksikan
amalan Nabi SAW
4. Fatwa Sahabat.
Yang dimaksud dengan sahabat disini adalah sahabat besar, yang
pengetahuan mereka terhadap suatu masalah itu didasarkan pada al-Naql.
Ini berarti yang dimaksud dengan fatwa sahabat adalah berwujud hadits-
hadits yang wajib diamalkan.
Menurut Imam Malik, para sahabat besar tersebut tidak akan
memberi fatwa, kecuali atas dasar apa yang dipahami dari Rasulullah Saw.
Namun demikian, beliau mensyaratkan fatwa sahabat tersebut, tidak boleh
bertentangan dengan hadits marfu’ yang dapat diamalkan dan fatwa
sahabat yang demikian ini lebih didahulukan dari pada qiyas. Imam Malik
juga menggunakan fatwa tabi’in besar sebagai pegangan dalam
menentukan hukum.
5. Khabar Ahad dan Qiyas.
Imam Malik tidak mengakui khabar ahad sebagai sesuatu yang
datang dari Rasulullah, jika khabar ahad itu bertentangan dengan sesuatu
yang sudah dikenal oleh masyarakat Madinah, sekalipun hanya dari hasil
istimbath, kecuali khabar ahad tersebut dikuatkan oleh dalil-dalil lain
yang qath’i.
41
Dalam menggunakan khabar ahad ini, Imam Malik tidak selalu
konsisten. Kadang ia mendahulukan qiyas dari pada khabar ahad. Kalau
khabar ahad itu dikenal atau tidak popular di kalangan masyarakat
Madinah, maka hal ini dianggap sebagai petunjuk, bahwa khabar ahad
tersebut tidak benar berasal dari Rasulullah SAW. Dengan demikian, maka
khabar ahad tersebut tidak digunakan sebagai dasar hukum, tetapi ia
menggunakan qiyas dan mashlahah.
6. Al-Istihsan.
Imam Malik mengartikan istihsan yaitu menurut hukum dengan
mengambil masalah yang merupakan bagian dalam dalil yang bersifat
kully (menyeluruh) dengan maksud mengutamakan al-Istidlal al-Mursal
dari pada qiyas, sebab menggunakan Istihsan itu bukan berarti hanya
mendasarkan pada pertimbangan perasaan semata, melainkan
mendasarkan pertimbangannya pada maksud pembuat syara’ secara
keseluruhan.
Ibnu Al-‘Araby salah seorang diantara ulama Malikiyah memberi
komentar, bahwa istihsan menurut madzhab Malik, bukan berarti
meninggalkan dalil dan bukan berarti menetapkan hukum atas dasar ra’yu
semata, melainkan berpindah dari satu dalil yang ditinggalkan tersebut.
Dalil yang kedua itu dapat berwujud ijma’ atau ‘urf atau mashlahah
mursalah, atau kaidah :Raf’u al-Haraj wa al-Mashaqah (menghindarkan
kesempitan dan kesulitan yang telah diakui syari’at akan kebenarannya).
42
Sedangkan Imam Syafi’i hanya menolak istihsan yang tidak punya
sandaran sama sekali, selain keinginan mujtahid yang bersangkutan. Hal
ini dapat dipahami dari ucapan beliau, bahwa barang siapa yang
membolehkan menetapkan hukum atau berfatwa dengan tanpa berdasarkan
khabar yang sudah lazim atau qiyas, maka hukum atau fatwanya tidak
dapat dijadikan hujjah.
Dari kata-kata Imam Syafi’i, jelas bahwa hukum atau fatwa yang
tidak didasarkan pada khabar lazim atau qiyas terhadap khabar lazim
tersebut, maka hukum atau fatwanya tidak dapat dijadikan dasar hukum.
7. Al-Maslahah al-Mursalah.
Al-Maslahah al-Mursalah adalah maslahah yang tidak ada
ketentuannya, baik secara tersurat atau sama sekali tidak disinggung oleh
nash, dengan demikian al-Maslahah al-Mursalah itu kembali kepada
memelihara tujuan syari’at diturunkan. Tujuan syari’at diturunkan dapat
diketahui melalui al-Quran atau Sunnah, atau ijma’. Pendapat ini termasuk
pendapat Imam al-Ghazali.
Para ulama yang berpegang kepada mashlahah mursalah sebagai
dasar hukum, menetapkan beberapa syarat untuk dipenuhi sebagai berikut:
a. Mashlahah itu harus benar-benar merupakan mashlahah menurut
penelitian yang seksama, bukan sekedar diperkirakan secara sepintas
saja.
b. Mashlahah itu harus benar-benar merupakan mashlahah yang bersifat
umum, bukan sekedar mashlahah yang hanya berlaku untuk orang-
43
orang tertentu. Artinya mashlahhah tersebut harus merupakan
mashlahah bagi kebanyakan orang.
c. Mashlahah itu harus benar-benar merupakan mashlahah yang bersifat
umum dan tidak bertentangan dengan nash atau ijma’.
Imam Syafi’i dan pengikutnya, antara lain Imam al-Ghazali
menolak adanya maslahah mursalah sebagai dasar hukum. Menurutnya
menggunakan mashlahah mursalah sebagai dasar hukum, berarti
menetapkan hukum berdasarkan pertimbangan akal atau perasaan.
8. Sadd al-Zara’i.
Imam Malik menggunakan sadd al-Zara’I sebagai landasan dalam
menetapkan hukum. Menurutnya, semua jalan yang menuju kepada yang
haram, maka hukumnya haram. Dan semua jalan yang menuju kepada
yang halal, maka halal pula hukumnya.
9. Istishab.
Imam Malik menjadikan Istishab sebagai landasan dalam
menetapkan hukum. Adapun Istishab adalah tetapnya suatu ketentuan
hukum untuk masa sekarang atau yang akan datang, berdasarkan atas
ketentuan hukum yang sudah ada di masa lampau.
Jadi sesuatu yang telah diyakini adanya, kemudian datang keraguan
atas hilangnya sesuatu yang diyakini adanya tersebut, hukumnya tetap
seperti hukumnya pertama. Yaitu tetap ada, begitu pula sebaliknya,
misalnya: seorang yang telah yakin sudah berwudlu dan dikuatkan lagi,
bahwa ia baru saja menyelesaikan shalat subuh, kemudian datang
44
keraguan pada orang tersebut tentang sudah batal atau belum wudlunya,
maka hukum yang dimiliki orang tersebut adalah bahwa belum batal
wudlunya. Sebaliknya apabila ada seorang yang belum berwudlu dan
dikuatkan pula, bahwa ia belum melakukan suatu shalat apapun, bahwa ia
baru hendak mengerjakan shalat, datang keraguan tentang sudah berwudlu
atau belum? Maka hukum yang dimiliki orang tersebut adalah bahwa ia
belum berwudlu. Inilah yang disebut istishab.
10. Syar’u Man Qablana Syar’un Lana.
Menurut Qadhy abd. Wahab al-Maliky, bahwa Imam Malik
menggunakan aqidah Syar’u Man Qablana Syar’un Lana, sebagai dasar
hukum.
Tentang pendapatnya tentang masalah rujuk yang jatuh akibat sumpah
ila’ rupanya Imam Malik berpegang pada:
a. Amal Ahli Madinah, dasar ini digunakan beliau terhadap adanya
pengambilan sikap yang harus dilakukan oleh suami ketika habis masa
empat bulan apakah ia akan mentalak istrinya.
b. Qiyas, sebagaimana telah kita ketahui bahwa Imam Malik menjadikan
qiyas ini sebagai dasar istimbath hukum yang didasarkan pada analogi
yakni menyamakan sesuatu hukum terhadap masalah yang tak ada nashnya
dengan masalah yang ada nashnya dengan adanya kesamaan ‘illat hukum.
Dalam masalah ini beliau mengemukakan bahwa setiap rujuk dari talak
tak lain dimaksudkan untuk menghilangkan dasar oleh karena itu keabsahan
suatu rujuk didasarkan pada penghilangan darar. Sebagaimana talak yang
45
dijatuhkan akibat kesulitan suami dalam memberikan nafkah kepada istrinya
yang kemudian hendak rujuk maka keabsahan rujuknya didasarkan pada
keadaan suami yang telah berubah baik dan keadaan tak mampu menjadi
suami yang layak mampu memberi nafkah istri.23
C. Pendapat Imam Malik Tentang Watha’ Sebagai Syarat Sahnya Rujuk
Bagi Talak Yang Jatuh Akibat Sumpah Ila’.
Talak yang merupakan penyebab terjadinya rujuk beragam bentuk
yang mengakibatkan bermacam-macam pula hukumnya. Dalam hal ini penulis
akan menyoroti salah satu dari rujuk tersebut yang ada kaitannya dengan
skripsi ini yakni sumpah ila’.
Adapun pada persoalan sumpah ila’, sebelum talak dijatuhkan baik
oleh suami langsung maupun oleh perintah hakim, terlebih dahulu dimintakan
sikap oleh suami apabila benar-benar telah melewati masa empat bulan setelah
ikrar sumpah dilakukan, sebagaimana yang telah diceritakan oleh al-Bukhari:
حدثنى مالك عن نافع عن ابن عمر اذا مضت اربعة اشهر يوفق حتى يطلق وال يقع عليها الطال ق حتى يطلق ويذآر ذلك عن
رواه ( عثمان وعلى والى الدرداء وعائشة وانثى عشر رجال 24)البخاري
Artinya: “Telah diceritakan dari Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar jika lewat empat bulan maka diambilkan sikap sehingga suami mentalak dan tidak terjadi talak kecuali setelah suami mentalak, hal yang demikian ini disebut pula oleh Usman, Ali, Abi Darda,Aisyah dan dua belas sahabat Nabi Saw”. (HR. al-Bukhari)
23 Ibnu Rusyd, Terjemahan Bidayatul Mujtahid, Jilid II, Terjemahan: A. Hanafi.
MA, Semarang, Asy-Syifa’, 1990, hlm. 565 24 Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Shohih al-Bukhari, Juz V, Indonesia, Dar:
Ahya’ al-Kitab al-‘Arabiyah, t.th., hlm. 174
46
Dan jika ternyata dalam pengembalian sikap ini suami memilih untuk
kembali kepada istrinya maka ia wajib membayar kafarat atau sumpah dengan
menyebut nama Allah Swt.25 Adapun jika ia tidak mau memilih baik kembali
maupun mentalak istrinya maka hakimlah yang mentalaknya.26
Adapun jenis talak yang diakibatkan sumpah ila’ ini adalah raj’i
sehingga memungkinkan suami untuk melakukan rujuk. Imam Malik
menceritakan sebagai berikut:
, ان سعيد بن المسيب وابا بكر بن عبد الرحمن:عن ابن شهابانها اذا مضت االربعة : آانا يقوالن فى الرجل يولى من امراته
27 ولزوجها عليها الرجعة ماآانت فى العدة, فهى تطليقةاشهر
Artinya: “Dari Malik dari Ibnu Syihab sesungguhnya Sa’id bin Musyyad dan Abu Bakar bin Abdul Rahmad pernah mengatakan tentang seseorang laki-laki yang telah berila’ terhadap istrinya, maka apabila telah lewat masa empat bulan sejak di ikrarkan maka sang istri berstatus telah dicerai. Dan bagi suami berhak merujuknya sepanjang sang istri masih ada dalam masa iddah”.
Dan dalam masa iddah tersebut apabila suami berkehendak
memperbaiki kembali hubungan suami istri yakni dengan rujuk maka dalam
hal ini dikalangan para ulama terjadi perbedaan pendapat. Kebanyakan para
ulama memperbolehkan dengan syarat yang lazim pada rujuk, akan tetapi
Imam Malik mengatakan bahwa tidak akan sah rujuk oleh suami yang telah
mentalak istrinya akibat sumpah ila’ tanpa dengan watha’. Lebih lanjut beliau
mengatakan:
25 Al-sya’roni, al-Mizan al-Kubra, Juz I, Dar: al-Fikr, Cet. Ke-2, 1978, hlm. 124 26 Muhammad Ali as-Shabuni, Tafsir Ayat al-Ahkam Mina al-Qur’an, Juz I,
Bairut: Dar: al-Kutub al-‘Ilmiyah, t.th., hlm. 221 27 Imam Malik R.A, Terjemahan al-Muwatta’, Jilid II, Tarjamah: KH. Adib
Bisri Musthofa dkk, Semarang, CV. Asy-Syifa’, 1989, hlm. 62
47
فيطلق عند انقضاء , فيوفق, قال مالك فى الرجل يولى من امراتهانه لم يصبها حتى تنقضى عد : ثم يراجع امراته. االربعة اشهر
, ه عذراال ان يكون ل. وال رجعة له عليها. فال سبيل له اليها, تها ارتجا عه فان. اوما اشبه ذلك من العذر, او سجن, من مرض 28 عليها اياها ثابت
Artinya: “Imam Malik berkata tentang seorang yang telah berila’ terhadap istrinya yang kemudian diambilkan sikap dan suami mentalaknya ketika habis masa empat bulan. Dan jika suami bermaksud kembali maka harus menjimak terlebih dahulu dalam masa iddah. Dan jika tidak maka rujuknya tidak sah karena jimak merupakan keabsahannya kecuali suami dalam keadaan uzur seperti: sakit, dalam penjara dan yang sejenisnya dan apabila ada uzur-uzur seperti itu, maka rujuknya dianggap sah.
Demikian pendapat Imam Malik tentang wathsa’ atau jimak yang
dijadikan syarat rujuk yang dilakukan setelah terjadi talak akibat adanya
sumpah ila’.
28 Imam Malik bin Anas, al-Muwatta’, Bairut, Dar: Ahya al-‘Ulum, t.th., hlm.