BAB III Metode Penelitian A. Paradigma Penelitian Seperti halnya ilmu-ilmu sosial yang menjadi induk, ilmu dan penelitian komunikasi merupakan suatu multy-paradigm science, artinya ilmu komunikasi mempunyai sejumlah paradigma atau perpektif dasar. Teori dan penelitian komunikasi bisa dikelompokkan minimal dalam tiga paradigma, yakni classical paradigm (yang mencakup positivism dan post positivism), critical paradigm, dan constructive paradigm. Masing-masing paradigma berfungsi sebagai mental window atau world view yang dipergunakan oleh suatu komunitas ilmuan tertentu untuk mempelajari obyek kelimuan mereka. 104 Ketiga paradigma tersebut mempunyai perbedaan pandangan dalam melihat posisi peneliti dan tujuan penelitian. Dalam paradigma klasik, peneliti harus menempatkan diri sebagai valeu free researcher, memisahkan nilai-nilai subyektif yang dimiliki dengan fakta abyketif yang diteliti. Sebaliknya, paradigma kritis dan konstruktivis melihat hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan, sebab pemilihan apa yang diteliti selalu melibatkan value judgements dan keberpihakan pada nilai-nilai tertentu. Paradigma klasik menilai, tujuan penelitian adalah memperoleh pengetahuan yang obyektif, memiliki signifikan akademis, praktis dan metodologis. Sebaliknya tujuan penelitian dari paradigma kritis adalah untuk mengungkapkan kesadaran palsu (false consciousness) di balik apa yang dinilai “obyketif”; tujuannya antara 104 Dedy N. Hidayat, Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi, dalam Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, No. 3/April 1999, hal: 34-35 65
18
Embed
BAB III Metode Penelitian A. Paradigma Penelitian · PDF fileMetode Penelitian A. Paradigma ... umumnya sebagai pengantar ringkasan dari apa yang ingin disampaikan sebelum masuk dalam
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB III
Metode Penelitian
A. Paradigma Penelitian
Seperti halnya ilmu-ilmu sosial yang menjadi induk, ilmu dan penelitian
komunikasi merupakan suatu multy-paradigm science, artinya ilmu komunikasi
mempunyai sejumlah paradigma atau perpektif dasar. Teori dan penelitian
komunikasi bisa dikelompokkan minimal dalam tiga paradigma, yakni classical
paradigm (yang mencakup positivism dan post positivism), critical paradigm, dan
constructive paradigm. Masing-masing paradigma berfungsi sebagai mental
window atau world view yang dipergunakan oleh suatu komunitas ilmuan tertentu
untuk mempelajari obyek kelimuan mereka.104
Ketiga paradigma tersebut mempunyai perbedaan pandangan dalam melihat
posisi peneliti dan tujuan penelitian. Dalam paradigma klasik, peneliti harus
menempatkan diri sebagai valeu free researcher, memisahkan nilai-nilai subyektif
yang dimiliki dengan fakta abyketif yang diteliti. Sebaliknya, paradigma kritis dan
konstruktivis melihat hal tersebut merupakan sesuatu yang tidak mungkin
dilakukan, sebab pemilihan apa yang diteliti selalu melibatkan value judgements
dan keberpihakan pada nilai-nilai tertentu.
Paradigma klasik menilai, tujuan penelitian adalah memperoleh pengetahuan
yang obyektif, memiliki signifikan akademis, praktis dan metodologis. Sebaliknya
tujuan penelitian dari paradigma kritis adalah untuk mengungkapkan kesadaran
palsu (false consciousness) di balik apa yang dinilai “obyketif”; tujuannya antara
104 Dedy N. Hidayat, Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi, dalam Jurnal Ikatan
Sarjana Komunikasi Indonesia, No. 3/April 1999, hal: 34-35
65
lain untuk memperoleh temuan yang memiliki signifikansi sosial, seperti kritik
sosial, penyadaran, pemberdayaan, atau transformasi sosial. Perbedaan lebih detil
antara paradigma klasik dan kritis dapat dilihat dalam tabel berikut:105
Tabel 1 Pebandingan Paradigma Penelitian
Perbedaan Ontologis
Classical Paradigm Critical Paradigm Critical Realism: ada realitas yang “real” yang diatur oleh kaidah-kaidah tertentu yang berlaku universal walaupun kebenaran pengetahuan tentang itu mungkin hanya bisa diperoleh secara probabilistik
Historical Realism: Realitas yang teramati (virtual reality) merupakan realitas “semu” yang telah terbentuk oleh proses sejarah dan keuatan-keuatan sosial, budaya, dan ekonomi politik
Perbedaan Epistemologis Classical Paradigm Critical Paradigm Dualist/objectivist Ada realitas obyektif, sebagai suatu realitas yang external di luar diri peneliti. Peneliti harus sejauh mungkin membuat jarak dengan obyek penelitian
Transactionalist/Subjectivist Hubungan antara peneliti dengan realitas yang diteliti selalu dijembatani oleh nilai-nilai tertentu. Pemahaman tentang suatu realitas merupakan value mediated finding
Perbedaan Axiologis Classical Paradigm Critical Paradigm • Nilai, etika dan pilihan moral harus
berada di luar proses penelitian • Peneliti berperan sebagai
disinterested scientist • Tujuan Penelitian: eksplanasi,
prediksi dan kontrol
• Nilai, etika dan pilihan moral merupakan bagian takterpisahkan dari suatu penelitian
• Peneliti menampatkan diri sebagai transformative intelectual, advokat dan aktivis
Tujuan Penelitian: kritik sosial, transformasi, emansipasi dan social empowerment
105 Tabel perbedaan antara paradigma klasik dan kritis diadopsi dari Dedy N Hidayat, Ibid, hal: 39-40
66
pengujian hipotesis dalam struktur hipothetico deductive method; melalui lab, eksperimen atau survey eksplanatif, dengan analisis kuantitatif
Mengutamakan analisis komprehensif, kontekstual dan multi level analysis yang bisa dilakukan melalui penempatan diri sebagai aktivis/partisipan dalam transformasi sosial
Kriteria kualitas penelitian: Objectivity, realibility and validity (internal dan external validity)
Kriteria kualitas penelitian: Historical situadness; sejauh mana penelitian memperhatikan konteks historis, sosial, budaya, ekonomi dan politik
Sumber: adaptasi dari Dedy N. Hidayat, Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi, dalam Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia, No. 3/April 1999, hal: 34-35
B. Analisis Wacana
Sesuai dengan paradigma kritis, penelitian ini bersifat kualitatif. Jenis
penelitian ini memberi peluang yang besar bagi dibuatnya interpretasi-interpretasi
alternatif. Tipe yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif, dengan
tujuan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik bidang tertentu
secara faktual dan cermat.106
Penelitian ini menggunakan analisis wacana kritis yang dipekenalkan oleh
Teun van Dijk. Model ini pada dasarnya melihat wacana dalam tiga tingkatan,
yaitu teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Jika digambarkan, skema penelitian
dan metode dipakai dalam analisis wacana model van Dijk adalah sebagai
Tabel 2 Skema Penelitian dan Metode Analsis Wacana
Struktur Metode
Analisis Teks Menganalisis strategi wacana yang dipakai untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu. Bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk menyingkirkan atau memarjinalkan suatu kelompok, gagasan, atau peristiwa tertentu.
Critical Linguistic
Kognisi Sosial Mengenalisis bagaimana kognisi wartawan dalam memahami seseorang atau peristiwa tertentu yang akan ditulis.
Wawancara mendalam
Analisis Sosial Menganalisis bagaimana wacana yang berkembang dalam masyarakat, proses produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwa yang digambarkan.
Agar dapat melihat bagaimana strategi wacana yang dipakai dalam teks, van
Dijk membagi struktur analisis teks menjadi beberapa bagian, yaitu struktur
makro, mikro dan superstruktur. Masing-masing struktur terdiri atas beberapa
elemen wacana. Kerangka analisis teks model van Dijk bisa dilihat dalam skema
berikut.108
108 Struktur analisis wacana model van Dijk serta penjelasan elemennya dirangkum dari Eriyanto,
Ibid, hal: 228-259 dan Teun A. van Dijk, “Rasisme Baru dalam Pemberitaan di Media,” dalam Sandra Kartika dan M. Mahendra (ed) Dari Keseragaman Menuju Keberagaman, Wacana Multikultural dalam Media, Jakarta: LSPP, 1999, terutama hal: 21-29.
68
Tabel 3 Kerangka analisis teks model Teun van Dijk
Struktur Wacana Hal yang diamati Elemen Struktur Makro Tematik
Tema/topik yang dikedepankan dalam berita
Topik
Superstruktur Skematik Bagaimana bagian dan
urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh
Skema
Struktur Mikro Semantik Makna yang ingin
ditekankan dalam teks berita
Latar, Detail, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi
Struktur Mikro Sintaktis Bagaimana bentuk dan susunan kalimat yang
dipilih
Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata ganti
Struktur Mikro Stilistik Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks
apa yang ingin diekspresikan secara eksplisit. Pengingkaran menunjukkan seolah
wartawan menyetujui sesuatu sesuatu, padahal ia tidak setuju dengan memberikan
argumentai atau fakta yang menyangkal persetujuannya tersebut.
Bentuk Kalimat berkaitan dengan cara berpikir logis dan prinsip kausalitas.
Bentuk kalimat menentukan makna yang dibentuk oleh susunan kalimat. Dalam
kalimat aktif seseorang menjadi subyek pernyataannya, sedang dalam kalimat
pasif seseorang menjadi obyek pernyataannya.
71
Kata Ganti untuk menciptakan suatu komunitas imajinatif. Kata ganti
dipakai komunikator untuk menunjukkan di mana posisi seseorang dalam wacana.
Prinsipnya, kata ganti dipakai untuk merangkul dukungan dan menghilangkan
oposisi yang ada. Misalnya kata ganti “kami” atau “kita” bisa menumbuhkan
solidaritas, aliansi, perhatian publik serta mengurangi kritik dan oposisi kepada
diri sendiri.
Leksikon menandakan bagaimana seseorang melakukan pemilihan kata atas
berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Pemilihan kata secara ideologis
menunjukkan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta atau realitas.
Praanggapan (Presupposition) merupakan pernyataan yang dipakai untuk
mendukung makna suatu teks. praanggapan merupakan upaya mendukung
pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya sehingga
tidak perlu dipertanyakana lagi. Praanggapan umumnya didasarkan pada ide
common sense, praanggapan yang logis sehingga meskipun tidak ada atau belum
terjadi tidak dipertanyakan kebenarannya.
Grafis adalah elemen untuk memeriksa apa yang ditekankan dan dianggap
penting dalam teks. Grafis biasaya muncul lewat bentuk tulisan yang berbeda
dengan tulisan lain, huruf tebal, tanda petik, tabel, angka, grafik serta gambar.
Grafis menunjukkan bagian mana yang harus mendapat perhatian dan dianggap
penting.
Metafora bisa menunjukkan makna utama suatu teks. Metafora tertentu
dipakai sebagai landasan berpikir, alasan pembenar atas pendapat atau gagasan
tertentu kepada publik. Metafora bisa berupa sesuatu yang dipercaya masyarakat,
72
ungkapan sehari-hari, peribahasa, pepatah, petuah leluhur, kata-kata kuno, atau
mungkin ungkapan yang diambil dari ayat suci, semuanya bisa dipakai untuk
memperkuat pesan utama.
2. Kognisi Sosial
Dalam pandangan van Dijk, kognisi sosial merupakan suatu hal penting
dalam memahami proses produksi berita. Proses ini memasukkan informasi yang
digunakan untuk menulis dari suatu bentuk wacana tertentu misalnya hasil
wawancara, konferensi pers atau lainnya. Proses yang dimaksud juga melihat
bagaimana peristiwa ditafsirkan, disimpulkan dan dimaknai oleh wartawan yang
akan menulis berita.109 Produksi berita, memahami dan memaknai peristiwa
terjadi dalam kognisi sosial wartawan.
Kognisi sosial menjadi jembatan antara dimensi teks (tataran mikro) dengan
kondisi sosial (tataran makro). Kognisi sosial adalah kesadaran mental seseorang
yang membentuk sebuah teks. Asumsinya, teks sesungguhnya tidak mempunyai
makna, tapi makna diberikan oleh pemakai bahasa melalui skema (Schemata)
kesadaran mental pemakai bahasa, skema ini oleh van Dijk di sebut “Model”.
Model adalah penghubung penting antara aspek sosial dan pribadi, antara
umum dan khusus, antara gambaran sosial dan pembentukannya dalam wacana
serta praktek sosial yang lain. Intinya, model menggambarkan pengalaman
seseorang sehari-hari, baik lewat pengamatan maupun partisipasi dalam tindakan,
peristiwa atau wacana. Model bersifat personal, subyektif, dan terbatas konteks,
109 Eriyanto, Ibid, hal: 266
73
model menonjolkan apa yang diketahui oleh individu, berfikir mengenai tindakan,
kejadian atau fakta tertentu dan menginterpretasikannya secara subyektif. Individu
secara terus menerus meniru kejadian sehari-hari baik dalam kegiatan komunikasi
maupun dengan membaca berita. Ringkasnya semua praktek sosial kita diawasi
oleh model mental. Meskipun model bersifat unik, personal dan terbatas konteks,
model bersifat sosial sebab pengetahuan dan opini individu dipengaruhi oleh
pengetahuan sosiokultural dan opini kelompok.110
Ketika meliput peristiwa, wartawan menggunakan model untuk memahami
peristiwa yang ada di hadapannya. Ada beberapa strategi yang dipakai oleh model
dalam memahami peristiwa. Pertama, menyeleksi berbagai sumber dan informasi
mengenai suatu peristiwa. Pilihan yang diambil ditentukan oleh evaluasi yang
dilakukan dalam pikiran wartawan, dan hal itu menunjukkan posisi yang diambil
di antara pihak yang terlibat dalam suatu peristiwa. Kedua, reproduksi informasi,
apakah informasi yang didapat dikopi, digandakan atau justru tidak dipakai.
Ketiga, penyimpulan informasi. Strategi besar dalam memproduksi berita yang
berhubungan dengan mental kognisi wartawan adalah penyimpulan atau
peringkasan informasi, bagaimana realitas yang kompleks dipahami dan
ditampilkan dengan ringkas.
3. Analisis Sosial
Untuk melihat proses produksi dan reproduksi wacana dalam masyarakat,
van Dijk menawarkan analisis sosial yang menguraikan bagaimana kelompok
110 Teun A.van Dijk, “Opinions and Ideologies in The Press,” dalam Allan Bell and Peter Garrett
(ed), Approach to Media Discourse, Oxford: Blackwell Publisher, 1998, hlm. 26-27
74
dominan membentuk wacana yang sesuai dengan kebutuhan dan bisa menopang
dominasi serta kekuasaannya. Menurut van Dijk, ada tiga hal yang dilihat dalam
analisis sosial, yaitu kekuasaan, dominasi dan akses.111 Kekuasaan didefinisikan
sebagai kepemilikan yang dimiliki suatu kelompok untuk mengontrol kelompok
lain. Kekuasaan umumnya didasarkan pada kepemilikan atas sumber-sumber yang
bernilai, seperti uang, status, dan pengetahuan. Selain kontrol langsung dan
bersifat fisik, kekuasaan juga bisa berbentuk persuasif, yakni tindakan seseorang
yang secara tidak langsung mengontrol dengan jalan mempengaruhi kondisi
mental, seperti kepercayaan, sikap dan pengetahuan.
Dominasi bisa diartikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan sosial. Pada
kelompok yang berkuasa, dominasi menghasilkan berbagai macam bentuk
ketidakadilan sosial. Dominasi direproduksi lewat pemberian akses khusus
terhadap sumber-sumber sosial secara diskriminatif. Dominasi juga direproduksi
dengan melegitimasi akses tertentu lewat bentuk-bentuk kontrol pikiran yang
manipulatif dan cara lain agar kelompok yang didominasi bisa menerima keadaan
tersebut secara suka rela.
Teun van Dijk juga melihat akses sebagai faktor penting dalam produksi
wacana, bagaimana akses yang dimiliki setiap kelompok dalam masyarakat.
Kelompok elite biasanya mempunyai akses yang lebih besar dibandingkan dengan
kelompok yang tidak berkuasa. Misalnya kelompok yang berkuasa punya akses
lebih besar terhadap media sehingga bisa mempengaruhi kesadaran khalayak dan
menentukan topik serta isi wacana apa yang dapat disebarkan kepada khalayak. 111 Elemen-elemen analisis sosial diambil dari Teun A van Dijk, “Discourse and Cognition in
Society” dalam David Crowly & David Mitchell, Communication Theory Today, UK Cambridge: Polity Press, 1994, hal: 108-110 dan Eriyanto, Op.Cit,, hal: 271-274
75
Khalayak dan kelompok lain yang tidak mempunyai akses hanya akan menjadi
konsumen dari wacana yang telah ditentukan, bahkan bisa memperbesar wacana
tertentu lewat reproduksi dari apa yang telah mereka terima dari kelompok
dominan.
Meskipun ketiganya adalah bagian yang integral, dalam prakteknya analisis
bisa dilakukan secara terpisah. Karena beberapa keterbatasan, penelitian ini hanya
mengkaji dimensi teks dan konteks sosial. Analisis teks menggunakan metode
analisis bahasa kritis (Critical Linguistic) yang mengkaji struktur teks dari level
makro hingga mikro. Analisis teks bukan hanya melihat muatan teks yang bersifat
nyata (manifest) tapi juga berusaha membedah makna yang tersembunyi di balik
suatu pesan. Setelah mengkaji strategi wacana dalam teks berita, penelitian
dilanjutkan dengan kajian pustaka untuk melihat bagaimana faktor kekuasaan,
dominasi dan akses membentuk dominasi wacana tertentu dalam masyarakat dan
bagaimana wacana lainnya tersingkirkan. Pada bagian ini juga melihat kaitan
antara wacana yang ada dalam teks berita dengan wacana yang beredar dalam
masyarakat serta melihat beberapa faktor yang diasumsikan mempengaruhi proses
produksi berita sehingga menghasilkan wacana tertentu.
C. Karakteristik Analisis Wacana
Analisis wacana kritis tidak semata melihat benar-tidaknya susunan dan
pemakaian bahasa, tapi lebih melihat peran bahasa dalam memproduksi dan
reproduksi kekuasaan, bahasa sebagai praktik sosial dan dikaitkan dengan konteks
tertentu. Analisis wacana melihat bahasa sebagai alat untuk melihat ketimpangan
76
kekuasaan yang terjadi dalam masyarakat. Seperti diuraikan Eriyanto, analisis
wacana kritis mempunyai beberapa karakteristik.112
Pertama, Tindakan. Wacana dipahami sebagai suatu tindakan (action). Jadi
membaca, menulis dan menggunakan bahasa bukan dipakai untuk dirinya sendiri
tapi untuk berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain. Konsekuensinya
adalah wacana harus dilihat sebagai sesuatu yang bertujuan dan dengan demikian
berarti diekspresikan secara sadar dan terkontrol.
Kedua, Konteks. Menurut Guy Cook, seperti dikutip Eriyanto,113 analisis
wacana kritis juga melihat konteks komunikasi: siapa yang mengkomunikasikan
dengan siapa dan mengapa; dalam jenis khalayak dan situasi apa; melalui medium
apa; bagaimana perbedaan tipe dari perkembangan komunikasi; dan hubungan
untuk setiap masing-masing pihak. Bahasa tidak dilihat sebagai mekanisme
internal linguistik semata, juga tidak berada dalam ruang tertutup, tapi dipahami
dalam konteks keseluruhan. Cook melihat ada tiga hal sentral dalam pengertian
wacana: teks, konteks dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, kata-kata
yang tercetak dan semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik gambar efek
suara citra dsb. Konteks memasukkan semua situasi dan hal yang berada di luar
teks dan mempengaruhi pemakaian bahasa misalnya partisipan, situasi, fungsi
yang dimaksudkan dsb. Wacana adalah penggambaran teks dan konteks secara
bersama-sama dalam proses komunikasi.
Ketiga, Historis. Menempatkan wacana dalam konteks tertentu berarti
melihat bagaimana teks diproduksi dalam situasi tertentu. Untuk mengerti sebuah
teks maka harus menempatkan teks tersebut dalam konteks historis tertentu, yakni
bagaimana situasi sosial politik yang ada pada saat teks tersebut diciptakan.
Keempat, Kekuasaan (Power). Wacana yang muncul baik dalam bentuk
teks maupun percakapan tidak dilihat sebagai sesuatu yang alamiah dan netral tapi
sebagai bentuk pertarungan kekuasaan. Kekuasaan tidak hanya diinterpretasikan
dalam lingkup negara tapi sebagai kontrol sebuah kelompok terhadap kelompok
lain,114misalnya kuasaan laki-laki dalam seksisme, kulit putih terhadap kulit hitam
dalam rasisme dsb. Pengguna bahasa dilihat sebagai anggota dari kategori sosial
tertentu, apakah sebagai wartawan, penganut suatu agama, dokter, laki-laki dst.
Karena itu analisis wacana kritis tidak hanya melihat teks tapi menghubungkan
dengan kekuatan dan kondisi sosial, politik, ekonomi dan budaya tertentu.
Kelima, Ideologi. Ideologi juga konsep sentral dalam analisis wacana kritis
sebab teks dan percakapan adalah bentuk praktik atau cerminan ideologi tertentu.
Melalui ideologi kita bisa melihat dengan cara bagaimana makna dimobilisasi
menggunakan bentuk-bentuk simbolik tertentu dan berfungsi menopang serta
mengukuhkan dominasi.115 Ideologi dibangun oleh kelompok dominan untuk
mereproduksi dan melegitimasi dominasi dengan cara membentuk kesadaran
khalayak sehingga dominasi yang mereka lakukan bisa terlihat sebagai sesuatu
yang sah dan wajar. Wacana dalam pendekatan ini dilihat sebagai medium bagi
kelompok dominan untuk melakukan persuasi dan komunikasi kepada khalayak
114 Dalam Teun A. Van Dijk, Ideology and Discourse, A Multidiciplinary Introduction, diambil
dari situs www.hum.uva.nl/teun. 115 tepatnya Thomposn menyatakan, “...I propose to conceptualize ideology in terms of the ways
in which the meaning mobilized by symbolic forms serves to establish and sustain relation of domination” dalam John B Thompson, Ideology and Modern Culture: Critical Social Theory in The Era of Mass Communication, Cambridge, Polity Press, 1990, hal. 58.