Top Banner
III. METODE PENELITIAN 3.1. Jenis dan Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi: 1. Data panel hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2005-2009 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) antara lain jumlah dan persentase penduduk miskin, garis kemiskinan, indeks gini dan tingkat pengangguran terbuka. 2. Data yang diperoleh dari berbagai publikasi BPS, diantaranya publikasi indikator kesejahteraan rakyat dan produk domestik regional bruto (PDRB). 3. Data berupa informasi kabupaten/kota pesisir dan bukan pesisir, data mengenai besarnya bantuan dari program PEMP tahun 2005-2009, serta publikasi PEMP yang bersumber dari KPP. 3.1.1. Data yang Digunakan Untuk Peubah Data Panel Data yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 3 s.d 7. 1. Pertumbuhan ekonomi: PDRB perkapita atas dasar harga konstan tahun 2005- 2009, sumber BPS. 2. Ketimpangan pendapatan: Indeks gini yang dihitung berdasarkan pendekatan pengeluaran hasil SUSENAS tahun 2005-2009, sumber BPS. 3. Pengangguran: Tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang dihitung dari hasil SAKERNAS tahun 2005-2009, sumber BPS. 4. Kemiskinan: Persentase penduduk miskin yang dihitung berdasarkan pendekatan garis kemiskinan hasil SUSENAS 2005-2009, sumber BPS. 5. PEMP: Alokasi besaran dana PEMP yang diberikan pada kabupaten/kota pesisir penerima program PEMP tahun 2005-2009, sumber KKP. 3.1.2. Data yang Digunakan Untuk Menghitung GIC Data yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 8. Data yang berasal dari pengeluaran perkapita dilihat melalui persentil hasil SUSENAS tahun 2005 dan tahun 2009. Penghitungan untuk sumber data pengeluaran berasal dari data konsumsi rumahtangga yang dikumpulkan oleh BPS setiap tahun melalui
34

BAB III Metode Penelitian

Aug 06, 2015

Download

Documents

Utomo Febby
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB III Metode Penelitian

III. METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

meliputi:

1. Data panel hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) dan Survei

Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2005-2009 yang dilakukan

oleh Badan Pusat Statistik (BPS) antara lain jumlah dan persentase penduduk

miskin, garis kemiskinan, indeks gini dan tingkat pengangguran terbuka.

2. Data yang diperoleh dari berbagai publikasi BPS, diantaranya publikasi

indikator kesejahteraan rakyat dan produk domestik regional bruto (PDRB).

3. Data berupa informasi kabupaten/kota pesisir dan bukan pesisir, data mengenai

besarnya bantuan dari program PEMP tahun 2005-2009, serta publikasi PEMP

yang bersumber dari KPP.

3.1.1. Data yang Digunakan Untuk Peubah Data Panel

Data yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 3 s.d 7.

1. Pertumbuhan ekonomi: PDRB perkapita atas dasar harga konstan tahun 2005-

2009, sumber BPS.

2. Ketimpangan pendapatan: Indeks gini yang dihitung berdasarkan pendekatan

pengeluaran hasil SUSENAS tahun 2005-2009, sumber BPS.

3. Pengangguran: Tingkat pengangguran terbuka (TPT) yang dihitung dari hasil

SAKERNAS tahun 2005-2009, sumber BPS.

4. Kemiskinan: Persentase penduduk miskin yang dihitung berdasarkan

pendekatan garis kemiskinan hasil SUSENAS 2005-2009, sumber BPS.

5. PEMP: Alokasi besaran dana PEMP yang diberikan pada kabupaten/kota

pesisir penerima program PEMP tahun 2005-2009, sumber KKP.

3.1.2. Data yang Digunakan Untuk Menghitung GIC

Data yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 8.

Data yang berasal dari pengeluaran perkapita dilihat melalui persentil

hasil SUSENAS tahun 2005 dan tahun 2009.

Penghitungan untuk sumber data pengeluaran berasal dari data

konsumsi rumahtangga yang dikumpulkan oleh BPS setiap tahun melalui

Page 2: BAB III Metode Penelitian

42

SUSENAS. Pendekatan untuk menghitung pendapatan rumahtangga

menggunakan nilai besarnya pengeluaran. Pendekatan ini dianggap lebih

mencerminkan keadaan sebenarnya, meskipun ada juga kelemahan-kelemahan

dari pendekatan ini.

Coudovel et al. (2002) mengungkapkan bahwa konsumsi merupakan

indikator yang lebih baik untuk mengukur kemiskinan karena:

1. Konsumsi adalah indikator yang lebih baik untuk mengukur outcome

daripada pendapatan. Konsumsi lebih terkait dengan keadaan seseorang,

sehingga bisa digunakan untuk ukuran kebutuhan dasar. Dilain pihak,

pendapatan adalah salah satu elemen yang memungkinkan untuk

mengkonsumsi barang. Data pendapatan juga lebih sulit diakses dan

mungkin tidak tersedia.

2. Konsumsi bisa diukur lebih baik daripada pendapatan. Pada perekonomian

agraris yang miskin, pendapatan rumahtangga berfluktuasi, sehingga lebih

sulit diukur. Pada daerah perkotaan, dengan sektor informal yang besar,

pendapatan juga sulit diukur. Sehingga rumahtangga yang menjadi

responden akan kesulitan untuk memberikan data pendapatannya.

3. Konsumsi lebih merefleksikan standar hidup yang sebenarnya dan

kemampuan untuk memenuhi kebutuhan dasar. Pengeluaran untuk

konsumsi tidak hanya merefleksikan barang dan jasa yang bisa dibeli oleh

rumahtangga, tapi juga kemungkinan rumahtangga tersebut bisa

mengakses pasar kredit ketika pendapatannya rendah.

Hidayat dan Patunru (2007) mengungkapkan bahwa penghitungan

indeks gini dengan menggunakan data pengeluaran cenderung lebih rendah

daripada indeks gini yang dihitung dengan data pendapatan. Hal ini karena

data pengeluaran kemungkinan hanya dapat menggambarkan besarnya

pendapatan pada penduduk berpendapatan rendah dan menengah, tetapi tidak

untuk penduduk berpendapatan tinggi.

3.2 Metode Analisis

Metode analisis yang digunakan antara lain: Analisis deskriptif, analisis

kuadran, analisis growth incidence curve (GIC) dan analisis data panel.

Page 3: BAB III Metode Penelitian

43

3.2.1. Analisis Deskriptif

Analis deskriptif merupakan suatu teknik analisis sederhana yang dapat

digunakan untuk menggambarkan kondisi suatu observasi dengan menyajikan

dalam bentuk ulasan, tabel maupun grafik dengan tujuan memudahkan dalam

menafsirkan hasil observasi.

3.2.2. Analisis Kuadran

Analisis kuadran dalam penelitian ini digunakan untuk melihat dampak

implementasi program PEMP periode 2005-2009 terhadap 20 kabupaten/kota

pesisir, yaitu berupa analisis dinamika dan perkembangan pertumbuhan ekonomi,

ketimpangan pendapatan dan pengangguran terhadap kemiskinan yang terjadi di

kabupaten/kota pesisir pada awal periode (tahun 2005), dan setelah 4 tahun

implementasi program PEMP (tahun 2009). Gambaran kedua waktu tersebut

diharapkan dapat memberikan gambaran dinamika kemiskinan, pertumbuhan

ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran di kabupaten/kota pesisir.

3.2.3. Analisis Pro Poor Growth ( Growth Incidence Curve/GIC)

Analisis Pro Poor Growth ( Growth Incidence Curve/GIC) yang

digunakan dalam penelitian ini untuk melihat apakah pertumbuhan ekonomi di

wilayah pesisir (20 kabupaten/kota pesisir) memberikan manfaat bagi penduduk

miskin atau mengarah ke pro poor growth (PPG), digunakan analisis growth

incidence curve (GIC). PPG yang digunakan dalam penelitian ini diukur melalui

pendekatan agregat. Ravallion (2005) menggunakan GIC untuk mengukur PPG,

dengan rumus:

))('()( pLdLnpg += γ (3.1)

Dimana γ = dLn(µ) yaitu tingkat pertumbuhan rata-rata pendapatan (pengeluaran)

dari keseluruhan penduduk.

g(p) = GIC. Jika g(p) >nol (0), artinya GIC bernilai positif di keseluruhan

penduduk persentil-p, maka pertumbuhan bersifat pro poor growth. Sebaliknya,

jika g(p) bernilai negatif atau tidak semua positif di keseluruhan penduduk

persentil-p, maka pertumbuhan belum bersifat pro poor growth. Selain itu, GIC

dapat menunjukkan perubahan ketimpangan pendapatan antara penduduk miskin

Page 4: BAB III Metode Penelitian

44

dan kaya. Jika GIC merupakan fungsi turun, maka ketimpangan menurun

demikian pula sebaliknya.

3.2.3.1 Tahapan Pengolahan GIC

Pengolahan Growth Incidence Curve (GIC) menggunakan SPSS 13.

Tahapan sebagai berikut:

1. Data yang digunakan yaitu rata-rata pengeluaran penduduk perkapita hasil

SUSENAS 2005 dan 2009, masing-masing dari 20 kabupaten/kota pesisir.

2. Distribusi pengeluaran menurut persentil, diurutkan dari pengeluaran rendah

sampai dengan tertinggi (100 persen) dihitung masing-masing untuk tahun

2005 dan 2009.

3. Dihitung masing-masing persentil nilai growth (pertumbuhan) rata-rata

pengeluaran penduduk tahun 2009 dibanding tahun 2005.

4. Nilai growth menurut persentil dibuat kurva dengan rata-rata pertumbuhan

(mean growth)

1009

59 xp

ppgrowth

−=

Atau menggunakan rumus pertumbuhan geometrik

1

1

5

9 −

=

n

P

Pr

Dimana: r = pertumbuhan

P5 = rata-rata pengeluaran perkapita tahun 2005

P9 = rata-rata pengeluaran perkapita tahun 2009

n = selisih periode tahun (2009-2005=4)

3.2.4. Analisis Data Panel

Untuk melihat pengaruh program PEMP serta keterkaitan antara

pertumbuhan ekonomi, ketidakmerataan pendapatan, pengangguran dan

kemiskinan digunakan analisis kuantitatif yaitu dengan menggunakan analisis data

panel. Data panel adalah gabungan antara data silang (cross section) dan data

runtun waktu (time series), sehingga periode waktu yang digunakan tidak terlalu

panjang dan data silangnya dapat berupa karakteristik suatu perusahaan /wilayah/

Page 5: BAB III Metode Penelitian

45

negara . Jadi, data panel terdiri dari beberapa atau banyak objek yang meliputi

beberapa periode. Nama lain data panel antara lain: Panel Pooled data,

combination of time series and cross section data, longitudinal data, pooled-time

series data. Jika setiap unit cross section memiliki jumlah observasi time series

yang sama maka disebut sebagai balanced panel. Sebaliknya, jika unit-unit cross

section memiliki jumlah observasi time series yang berbeda maka disebut

unbalanced panel.

Regresi dengan menggunakan data panel disebut dengan model regresi

data panel. Penggunaan model regresi data panel memungkinkan untuk

menangkap karakteristik antar individu dan antar waktu. Selain itu, data panel

digunakan apabila observasi dari cross section saja atau data time series saja tidak

cukup untuk dilakukan analisis, karena dengan data panel observasinya akan lebih

banyak. Hsiao (1990) menyatakan bahwa model regresi data panel memiliki

beberapa keuntungan, antara lain:

1. Data panel mampu menyediakan data yang lebih banyak dan informasi yang

lebih lengkap, karena merupakan gabungan antara data cross section dan data

time series, sehingga model regresi data panel akan menghasilkan degree of

freedom (df) yang lebih besar yang selanjutnya akan meningkatkan presisi

dari estimasi regresi;

2. Penggabungan informasi dari data time series dan data cross section, dapat

mengatasi masalah yang timbul akibat penghilangan variabel (ommited

variable);

3. Data panel dapat meminimalkan bias yang dihasilkan oleh agregasi individu

karena unit data lebih banyak;

4. Data panel mampu mengindikasikan dan mengukur efek yang secara

sederhana tidak dapat diperoleh dengan data cross section murni atau time

series murni;

5. Data panel mampu mengurangi kolinieritas antar variabel;

6. Suatu hal yang penting dalam data panel yang diabaikan dalam penggunaan

OLS adalah heterogenitas antara unit-unit cross section. Asumsi yang

mendasari OLS tersebut sangat jarang berlaku dalam kenyataan sehari-hari.

Page 6: BAB III Metode Penelitian

46

Heterogenitas dapat terjadi pada intercept, slope, atau keduanya. Perbedaan

antar individu tersebut dapat diperoleh dengan menggunakan data panel.

Kelebihan analisis regresi data panel yang fundamental ditambahkan oleh

Greene (2005) yaitu adanya fleksibilitas yang lebih besar bagi peneliti dalam

memodelkan perbedaan perilaku diantara individu-individu. Didalam model

regresi klasik, gangguan (errorterms/disturbanced) selalu dinyatakan bersifat

homoskedastik dan serial uncorrelated. Dalam kondisi tersebut, penggunaan

metode OLS akan menghasilkan estimator yang memiliki sifat Best Linear

Unbiased Estimator (BLUE). Sedangkan dalam metode regresi data panel, yang

merupakan gabungan data beberapa individu dalam beberapa periode, asumsi

model regresi klasik tersebut tidak dapat diterapkan. Hal ini terjadi karena dalam

data panel terdapat tiga macam gangguan, yaitu: gangguan antar waktu (time

series related disturbances), gangguan antar individu (cross section disturbance),

serta gangguan antar waktu dan antar individu.

Pengujian dalam analisis regresi data panel berbeda dengan pengujian

dalam persamaan tunggal. Dalam analisis persamaan tunggal, pengujian dilakukan

untuk mengetahui apakah terjadi gejala homoskedastik, heteroskedastik, atau

autokorelasi untuk satu individu. Perbaikan (remidial) model dilakukan jika

berdasarkan hasil pengujian terdapat asumsi regresi linier klasik yang terlanggar,

sehingga diperoleh hasil estimasi yang bersifat BLUE. Kemudian pengujian

dalam analisis data panel dilakukan untuk menentukan estimator yang lebih baik,

disesuaikan dengan kondisi matriks varians-covarians residual (Ekananda, 2006).

Dalam penelitian ini, penulis membatasi pembahasan pada data panel yang

bersifat balanced panel, yang mana tiap-tiap individu (kabupaten/kota) memiliki

jumlah observasi time series yang sama. Jadi, total observasi adalah N (jumlah

cross section) x T (jumlah time series)

3.2.4.1. Model Regresi Data Panel

Analisis regresi yang menggunakan data panel mempunyai tiga macam

model, yaitu Common Effect, Fixed Effect dan Random Effect.

Page 7: BAB III Metode Penelitian

47

a. Model Common Effects

Model common effects merupakan pendekatan data panel yang paling

sederhana, yaitu hanya dengan mengombinasikan data time series dan data cross

section dalam bentuk pool, dan teknik estimasinya menggunakan pendekatan

kuadrat terkecil/pooled least squares. Model ini tidak memperhatikan dimensi

individu maupun waktu, sehingga diasumsikan bahwa perilaku antar individu

sama dalam berbagai kurun waktu. Persamaan regresi dalam model common

effects dapat ditulis sebagai berikut:

Common Effect Model:

; (3.2)

Dimana :

i = 1, 2, 3, … , N;

t = 1, 2, 3, … , T

N = jumlah observasi / unit cross section / individu

T = jumlah periode waktu

NT = jumlah data panel

m = jumlah variabel bebas

Dimana komponen error mengikuti asumsi seperti dalam pengolahan

kuadrat terkecil (OLS), sehingga proses estimasi secara terpisah untuk setiap unit

cross section dapat dilakukan.

Untuk periode t=1, akan diperoleh persamaan regresi cross section sebagai

berikut:

(3.3)

dengan

i = 1, 2, 3, …, N

Implikasinya, akan diperoleh sebanyak T persamaan cross section yang

sama. Begitu juga sebaliknya, kita juga dapat memperoleh persamaan deret waktu

(time series) sebanyak N persamaan untuk setiap T periode observasi. Namun,

untuk mendapatkan parameter yang konstan dan efisien akan lebih baik jika

diperoleh dalam bentuk regresi yang lebih besar dengan melibatkan sebanyak N ×

T observasi.

Page 8: BAB III Metode Penelitian

48

b. Model Fixed Effects

Model ini mengasumsikan bahwa perbedaan antar individu dapat

diakomodasi melalui perbedaan intersepnya. Intersep pada setiap individu

merupakan parameter yang tidak diketahui dan akan diestimasi. Misalkan dan

merupakan T pengamatan untuk setiap unit ke-i, dan yang disusun dalam vektor T

× 1 merupakan vektor gangguan, maka model fixed effects dapat ditulis sebagai

berikut:

Fixed Effect Model:

(3.4)

Untuk mengestimasi model fixed effects, dimana intersep berbeda antar

individu, maka digunakan teknik variable dummy. Metode estimasi ini sering

disebut dengan teknik Least Squares Dummy Variable (LSDV). Dengan demikian,

persamaan diatas dapat ditulis sebagai berikut:

(3.5)

c. Model Random Effects

Estimasi model regresi data panel dengan fixed effect melalui teknik LSDV

menunjukkan ketidakpastian model yang digunakan. Untuk mengatasi masalah

ini, bisa menggunakan variabel residual yang dikenal sebagai metode random

effects. Pada model ini, akan dipilih estimasi model regresi data panel dimana

residual saling berhubungan antar waktu dan antar individu. Oleh karena itu, pada

model ini diasumsikan bahwa ada perbedaan intersep untuk setiap individu dan

intersep tersebut merupakan variabel random atau stokastik. Dengan demikian,

dalam model random effects terdapat dua komponen residual, yaitu residual

secara menyeluruh (ξit) dan residual secara individu (ui). Persamaan regresi untuk

model random effects dapat ditulis sebagai berikut:

dimana (3.6)

Beberapa asumsi yang harus dipenuhi dalam model random effects, antara

lain:

Page 9: BAB III Metode Penelitian

49

Hal ini berarti bahwa komponen error tidak berkorelasi satu sama lain dan

tidak ada autokorelasi antara cross section dan time series.

3.2.4.2. Uji Signifikansi Model Regresi Data Panel

Dari ketiga model yang telah dijelaskan sebelumnya, yaitu model common

effects, model fixed effects, dan model random effects, selanjutnya akan

ditentukan model yang paling tepat untuk mengestimasi regresi data panel.

Terdapat tiga prosedur pengujian secara formal yang digunakan untuk memilih

model regresi data panel yang terbaik, yaitu uji statistik F yang digunakan untuk

memilih antara model common effects atau model fixed effects; uji Langrange

Multiplier (LM) yang digunakan untuk memilih antara model common effects atau

model random effects; dan uji Hausman yang digunakan untuk memilih antara

model fixed effects atau model random effects. Selanjutnya, untuk model estimasi

regresi data panel terpilih, akan dilakukan pengujian untuk memilih estimator

dengan struktur varians-covarians dari residual yang lebih baik. Model random

effects sangat berguna jika individu yang dijadikan sampel adalah dipilih secara

random dan merupakan wakil dari populasi (Widarjono, 2005). Sementara itu,

Judge dalam Manurung (2005) menyatakan ada empat pertimbangan pokok yang

dapat digunakan untuk memilih antara model fixed effects atau random effects,

yaitu: Jika jumlah time series (T) besar dan jumlah cross section (N) kecil, maka

nilai taksiran parameter berbeda kecil, sehingga pilihan didasarkan pada

kemudahan penghitungan, yaitu model fixed effects.

a. Bila N besar dan T kecil, maka penaksiran dengan model fixed effects dan

model random effects akan menghasilkan perbedaan yang signifikan. Pada

model random effects diketahui bahwa , dimana merupakan

komponen acak cross section. Sementara itu, pada model fixed effecs

bersifat tidak acak. Bila diyakini bahwa individu atau cross section tidak acak

Page 10: BAB III Metode Penelitian

50

maka model fixed effects lebih tepat. Sebaliknya, jika cross section acak

maka model random effects lebih tepat.

b. Jika komponen error individu berkorelasi, maka penaksir dengan model

random effects adalah bias dan penaksir dengan model fixed effects tidak

bias.

c. Jika N besar dan T kecil serta asumsi model random effects terpenuhi, maka

penaksir model random effects lebih efisien dari penaksir model fixed effects.

Dalam penelitian ini, pemilihan model estimasi terbaik akan dilakukan

dengan menggunakan pengujian secara formal, yaitu dengan tiga jenis pengujian

Ketiga pengujian tersebut antara lain:

1. Uji signifikansi Model Fixed Effects

Untuk menguji signifikansi fixed effects dilakukan dengan statistik uji F.

Uji F digunakan untuk mengetahui apakah model regresi data panel dengan fixed

effect melalui teknik variabel dummy lebih baik dari model regresi data panel

tanpa variabel dummy (common effect) dengan melihat sum square residual (SSR).

Hipotesis nul (H0) yang digunakan adalah bahwa intersep dan slope adalah sama.

Adapun uji F statistiknya adalah sebagai berikut:

(3.7) dimana n = jumlah individu; k = jumlah parameter dalam model fixed effects tidak

termasuk intersep; SSR1 = sum square residual model tanpa variabel dummy

(common effect), dan SSR2 = sum square residual model fixed effects dengan

variabel dummy. Nilai statistik F hitung akan mengikuti distribusi statistik F

dengan derajat bebas (df) sebanyak n-1 untuk pembilang dan sebanyak nT-n-k

untuk penyebut. Jika nilai statistik F hitung lebih besar daripada F tabel pada

tingkat signifikansi tertentu, maka hipotesis nul akan ditolak, yang berarti asumsi

koefisien intersep dan slope adalah sama menjadi tidak berlaku, sehingga model

regresi data panel dengan fixed effects lebih baik dari model regresi data panel

tanpa variabel dummy (common effects).

Page 11: BAB III Metode Penelitian

51

2. Uji signifikansi Model Random Effects

Untuk mengetahui apakah model random effects lebih baik dari model

common effects, dapat digunakan uji Langrange Multiplier (LM) yang

dikembangkan oleh Breusch-Pagan (1980). Pengujian ini didasarkan pada nilai

residual dari metode common effects. Hipotesis nul (H0) yang digunakan adalah

bahwa intersep bukan merupakan variabel random atau stokastik. Dengan kata

lain varians dari residual ui bernilai nol. Adapun nilai statistik LM dihitung

berdasarkan formula sebagai berikut:

(3.8)

dimana n = jumlah individu; T = jumlah periode waktu; dan eit adalah residual

metode common effects (OLS). Uji LM ini didasarkan pada distribusi chi-square

dengan derajat bebas (df) sebesar 1. Jika hasil LM statistik lebih besar dari nilai

kritis statistik chi-square, maka hipotesis nul akan ditolak, yang berarti estimasi

yang tepat untuk model regresi data panel adalah model random effects daripada

model common effects.

3. Pengujian signifikansi Fixed Effects atau Random Effects (Signifikansi

Hausman)

Uji Hausman digunakan untuk mengetahui apakah model fixed effects

lebih baik dari model random effects. Uji ini didasarkan pada gagasan bahwa

hipotesis nol menyatakan tidak adanya korelasi, baik OLS (dalam model LSDV)

maupun GLS adalah konsisten, akan tetapi OLS tidak efisien, sedangkan hipotesis

alternatifnya yaitu OLS konsisten tetapi GLS tidak konsisten. Oleh karena itu, di

bawah hipotesis nol, kedua estimasi seharusnya tidak berbeda secara sistematik,

dan ujinya dapat dilakukan berdasarkan pada perbedaan. Unsur penting untuk

metode ini adalah matriks kovarians dari perbedaan vektor :

(3.9)

Page 12: BAB III Metode Penelitian

52

dimana untuk OLS (dalam model LSDV), dan untuk model GLS. Hasil

metode Hausman adalah bahwa perbedaan kovarians dari estimator yang efisien

dengan estimator yang tidak efisien adalah nol, sehingga

atau (3.10)

Kemudian, dengan mensubstitusikan kedua persamaan diatas akan menghasilkan

matriks kovarians sebagai berikut:

(3.11)

Selanjutnya mengikuti kriteria Wald, nilai statistik Hausman ini akan mengikuti

distribusi chi-square sebagai berikut:

(3.12)

Statistik uji Hausman di atas mengikuti distribusi statistik chi-square dengan

derajat bebas sebanyak k, yaitu sejumlah parameter tanpa intersep. Jika nilai

statistik Hausman lebih besar daripada nilai kritis statistik chi-square, maka

hipotesis nul akan ditolak, yang berarti estimasi yang tepat untuk regresi data

panel adalah metode fixed effects daripada metode random effects.

3.2.4.3. Spesifikasi Model

Metode ekonometrik yang digunakan untuk melihat pengaruh program

PEMP terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan

pengangguran menggunakan metode data panel. Metode data panel juga

digunakan untuk melihat pengaruh pertumbuhan ekonomi, ketimpangan

pendapatan dan pengangguran terhadap kemiskinan. Penggunaan metode estimasi

ini diharapkan dapat menunjukkan variasi hasil estimasi, melihat kebaikan,

robustness model, serta validitas dari metode estimasi yang digunakan.

Berdasarkan pertimbangan dari beberapa penelitian terdahulu, maka model

pengaruh PEMP terhadap pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan

pengangguran direpresentasikan dalam model persamaan 1 s.d 3 sebagai berikut:

(3.13)

Page 13: BAB III Metode Penelitian

53

(3.14)

(3.15)

Model regresi yang digunakan untuk melihat hubungan antara

pertumbuhan ekonomi, ketimpangan pendapatan dan pengangguran terhadap

kemiskinan di kabupaten/kota pesisir menggunakan model yang dikembangkan

oleh Xin Meng et al. ( 2005), dalam penelitiannya yang berjudul ”Poverty,

Inequality, and Growth in Urban China, 1986-2000. Bourguignon (2004) juga

mengembangkan kerangka konseptual the poverty-growth-inequality triangle

untuk melihat hubungan antara kemiskinan, pertumbuhan ekonomi dan

ketimpangan pendapatan. Berdasarkan penelitian tersebut, maka dikembangkan

untuk persamaan ke-4 adalah sebagai berikut :

(3.16) Dimana :

Rnt : pertumbuhan ekonomi untuk area ke n, periode ke -t,

Gnt : ketimpangan pendapatan untuk area ke n, periode ke -t,

Tnt : tingkat pengangguran untuk area ke n, periode ke -t,

P nt : program PEMP untuk area ke n, periode ke -t

Mnt: persentase penduduk miskin untuk area ke n, periode ke -t,

αn: common/fixed/random effect untuk area ke- n,

ξnt : disturbance term

3.2.4.4. Tahapan Pengolahan Data Panel

Dalam penelitian ini pengolahan data panel menggunakan Eviews 6,

persamaan PEMP terhadap PDRB, Indeks Gini dan TPT (persamaan 1 s.d 3)

dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:

1. Memilih model estimasi yang terbaik dari 2 model yaitu Model Fixed

effects atau Random effects dengan cara melakukan pengolahan untuk

masing-masing persamaan antara peubah PEMP dengan PDRB, peubah

PEMP dengan Gini dan peubah PEMP dengan TPT dengan menggunakan

Fixed effects dan Random effects.

2. Selanjutnya dilakukan Uji Hausman untuk membandingkan model estimasi

mana yang dipilih Fixed effects atau Random effects.

Page 14: BAB III Metode Penelitian

54

3. Dari hasil Uji Hausman, jika peluang (probabilita) < 0,05 maka model

estimasi yang dipilih adalah Fixed Effects. Sebaliknya jika peluang > 0,05

maka keputusan adalah model Random Effects.

4. Untuk melihat apakah persamaan atau model yang dipilih sudah bebas

dari asumsi regresi, maka dilakukan pengujian asumsi dengan melihat

autokorelasi dan heteroskedastik.

5. Autokorelasi dapat diketahui dengan melihat angka Durbin Watson pada

persamaan yang telah ditetapkan (fixed atau random). Jika angka Durbin

diluar wilayah keputusan maka terdeteksi adanya autokorelasi

(persamaan 1 s.d 3 nilai dL=1.65 dan dU=1.69, utk pers 4 nilai dL=1.61

dan dU=1.73)

6. Heteroskedastik diketahui dengan Uji White yaitu dengan cara melihat

angka R-Squared pada persamaan yang telah ditetapkan (fixed atau

random) dikalikan dengan jumlah observasi. Hasil uji White ini kemudian

dibandingkan dengan Tabel Chi square. Jika hasil uji White > tabel Chi

square, maka terdeteksi adanya heteroskedastik ( persamaan 1 s.d 3,

tabel Chi square =6.63 dan untuk persaman 4, tabel Chi square =11.34)

7. Jika tidak terdeteksi adanya autokorelasi dan heteroskedastik maka

persamaan yang digunakan adalah persamaan yang telah ditetapkan dari

hasil uji Hausman (Model estimasi fixed effect atau random effect).

8. Jika persamaan terdeteksi adanya autokorelasi dan heretoskedastik, maka

dilakukan pengolahan kembali dengan menggunakan model yg ditetapkan

(fixed atau random) dan menggunakan COVARIANCE METHOD �

CROSSSECTION WEIGTH/SUR(PCSE).

Output hasil pengolahan data panel dapat dilihat pada Lampiran 10.

3.2.5. Definisi Operasional

Deskripsi operasional dari peubah-peubah yang digunakan dalam model

antara lain:

1. Angka Kemiskinan (Head Count Index)

Angka kemiskinan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

persentase penduduk miskin (HCI) di kabupaten/kota pesisir dalam periode

tahun 2005-2009. Konsep dan definisi penduduk miskin mengacu pada konsep

Page 15: BAB III Metode Penelitian

55

dan definisi yang digunakan BPS, yaitu dihitung berdasarkan tingkat

pengeluaran (rupiah) untuk memenuhi kebutuhan dasar minimum makanan

setara dengan 2.100 kkal perkapita, serta kebutuhan dasar non makanan

(papan, sandang, sekolah, transportasi, dan kebutuhan rumahtangga serta

individu yang mendasar lainnya) disebut garis kemiskinan.

2. Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP)

PEMP adalah program bantuan yang diluncurkan oleh Kementerian

Kelautan dan Perikanan (KKP) mulai tahun 2001. Program ini ditujukan untuk

meningkatkan kemampuan ekonomi masyakarat di daerah pesisir. Program

Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) merupakan besaran dana

bantuan pemberdayaan ekonomi yang diperoleh dari KPP. Dana bantuan

stimulus tersebut merupakan salah satu mata anggaran dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

3. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita riil dalam rupiah

(berdasarkan harga konstan tahun 2000) di kabupaten pesisir. Penggunaan

PDRB per kapita riil ini yang merupakan besaran agregat, dimaksudkan agar

sesuai dengan istilah pertumbuhan ekonomi yang juga merupakan angka

agregat dasar.

4. Ketimpangan Pendapatan

Dalam penelitian ini ukuran ketimpangan pendapatan yang digunakan

adalah indeks gini menurut kabupaten/kota di pesisir. Penghitungan indeks gini

oleh Badan Pusat Statistik (BPS) melalui pendekatan pengeluaran perkapita.

5. Tingkat Pengangguran Terbuka

Pengangguran adalah mereka yang sedang mencari pekerjaan,

mempersiapkan usaha, yang sudah punya pekerjaan tetapi belum mulai

bekerja, dan pada waktu yang bersamaan mereka tidak bekerja (jobless).

Pengangguran dengan konsep/definisi tersebut biasanya disebut sebagai

pengangguran terbuka (open unemployment).

Page 16: BAB III Metode Penelitian

56

Page 17: BAB III Metode Penelitian

BAB IV. DINAMIKA KABUPATEN/KOTA PESISIR DALAM UPAYA PENINGKATAN KESEJAHTERAAN

MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PEMP

Analisis deskriptif dan kuadran dalam penelitian ini digunakan untuk

memberikan gambaran mengenai dinamika kemiskinan, pertumbuhan ekonomi,

ketimpangan pendapatan dan pengangguran di kabupaten/kota pesisir pada awal

periode (tahun 2005) dan setelah 4 tahun implementasi program PEMP (tahun

2009).

4.1. Dinamika Kabupaten/Kota Pesisir

Sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia merupakan wilayah pesisir

atau berbatasan langsung dengan laut. Jumlah kabupaten/kota pesisir di Indonesia

pada tahun 2009 sebanyak 307 kabupaten/kota atau sebesar 65,18 persen dari total

471 kabupaten/kota. Mayoritas jumlah penduduk berada di wilayah pesisir yaitu

sekitar 145,92 juta jiwa atau sebesar 63,2 persen dari sekitar 230,87 juta jiwa

penduduk Indonesia. Banyaknya penduduk di wilayah pesisir membawa

konsekuensi konsentrasi penduduk miskin terbanyak berada di kabupaten/kota

pesisir. Hasil Susenas 2009 memperlihatkan bahwa dari sekitar 31,76 juta jiwa

penduduk miskin, sebanyak 21,36 juta jiwa atau 67,3 persen berada di

kabupaten/kota pesisir.

Sebagai upaya mengurangi tingkat kemiskinan dan meningkatkan

kesejahteraan masyarakat di wilayah pesisir, sejak tahun 2001 pemerintah melalui

DKP memberikan bantuan kepada masyarakat pesisir yaitu berupa program

pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP). Kegiatan PEMP diluncurkan

secara khusus untuk mengatasi berbagai permasalahan akibat krisis ekonomi,

kenaikan BBM, kesenjangan, kemiskinan, dan rendahnya kapasitas sumberdaya

manusia (masyarakat) pesisir serta upaya mengoptimalkan pemanfaatan potensi

sumberdaya kelautan dan perikanan. Dalam pelaksanaan program PEMP, tidak

semua kabupaten/kota di pesisir mendapatkan stimulus secara berkesinambungan

(rutin) setiap tahun. Sesuai petunjuk pelaksanaan program PEMP yang disusun,

kabupaten/kota yang mendapatkan bantuan PEMP secara rutin setiap tahun

adalah kabupaten/kota pesisir yang secara berkala memberikan laporan

Page 18: BAB III Metode Penelitian

58

pertanggungjawaban kegiatan dan progresnya secara baik. Pada tahun 2009,

terdapat 307 kabupaten/kota pesisir. Selama periode 2005-2009 ,dari sejumlah

kabupaten/kota pesisir tersebut sebanyak 20 kabupaten/kota mendapat program

PEMP secara rutin, 257 kabupaten/kota mendapat program PEMP tidak rutin

dan 30 kabupaten/ kota pesisir lain yang sama sekali belum pernah mendapat

program PEMP (tanpa PEMP).

Tabel 4.1. Dinamika Pertumbuhan, Ketimpangan dan Kemiskinan Kabupaten Pesisir menurut Penerima PEMP, Periode 2005-2009

Indikator Pesisir

PEMP Rutin

Pesisir PEMP Tidak Rutin

Pesisir Lain

(Tanpa PEMP)

Total Pesisir

Nasional

Perekonomian PDRB Konstan (2005)* 2.335 3.634 2.881 3.503 3.775 PDRB Konstan (2009)* 2.915 4.340 3.590 4.201 4.480 Pertumbuhan PDRB 5,70 4,54 5,66 4,64 4,38

Ketimpangan Gini Rasio (2005) 0,35 0,37 0,32 0,37 0,38 Gini Rasio (2009) 0,32 0,33 0,31 0,33 0,34 Pertumbuhan Gini Rasio -1,75 -2,76 -0,55 -2,66 -2,61

Pengangguran TPT (2005) 10,60 10,93 10,75 10,90 11,24 TPT(2009) 7,71 7,65 6,37 7,59 7,87 Pertumbuhan Pengangguran -7,64 -8,52 -12,24 -8,63 -8,52 Kemiskinan

PersentaseKemiskinan (2005) 16,24 17,80 20,21 17,78 16,62 PersentaseKemiskinan (2009) 13,83 14,58 16,72 14,64 13,76 Pertumbuhan Kemiskinan -3,95 -4,86 -4,63 -4,74 -4,61

Sumber: BPS (2009), diolah

*) dalam juta rupiah

4.1.1. Gambaran Kemiskinan

Persentase kemiskinan di tingkat nasional menunjukkan nilai yang menurun

pada periode 2005-2009. Angka kemiskinan Indonesia tahun 2009 tercatat sebesar

13,76 persen, atau mengalami perbaikan bila dibandingkan dengan tahun

sebelumnya yang tercatat sebesar 15,15 persen. Demikian pula dengan kondisi

kabupaten/kota pesisir, capaian indikator kemiskinan pesisir juga membaik seperti

yang tersaji pada Tabel 4.1.

Page 19: BAB III Metode Penelitian

59

Rata-rata persentase kemiskinan kabupaten/kota pesisir menurut penerima PEMP

mengalami penurunan dalam kurun waktu 2005-2009, dengan laju penurunan

sebesar -3,95% untuk kabupaten/kota pesisir penerima PEMP Rutin. Persentase

penurunan penduduk miskin tertinggi adalah kabupaten/kota penerima PEMP

tidak rutin dengan laju penurunan penduduk miskin sebesar -4,86% (Tabel 1.).

16.2413.83

17.80

14.58

20.21

16.72 16.6914.15

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

PEMP Rutin PEMP TidakRutin

Pesisir Lain Total Pesisir

2005 2009 Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.1. Tingkat Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP, Tahun 2005 dan 2009

Gambar 4.1. memberi gambaran tingkat kemiskinan di kabupaten/kota

pesisir penerima program PEMP secara rutin, kabupaten/kota pesisir penerima

PEMP tidak rutin dan kabupaten/kota pesisir lain (tanpa bantuan PEMP) dalam

rentang waktu 2005-2009. Kabupaten/kota pesisir yang memperoleh program

PEMP rutin memiliki persentase penduduk miskin yang paling rendah bila

dibandingkan dengan kabupaten/kota penerima PEMP tidak rutin maupun

kabupaten/kota pesisir lainnya. Pada tahun 2005, wilayah pesisir yang mendapat

program PEMP rutin persentase penduduk miskinnya sebesar 16,24 persen turun

menjadi 13,83 persen pada tahun 2009. Sementara itu persentase penduduk

miskin di kabupaten pesisir lainnya (kabupaten/kota tanpa PEMP) cukup tinggi,

di tahun 2005 sebesar 20,21 persen turun menjadi 16,72 persen di tahun 2009.

Page 20: BAB III Metode Penelitian

60

4.1.2. Gambaran Pertumbuhan Ekonomi

Capaian pengentasan kemiskinan kabupaten/kota pesisir diikuti dengan

perbaikan pada capaian indikator perekonomian. Pada Tabel 4.1. terlihat bahwa

rata-rata pertumbuhan ekonomi di kabupaten/kota pesisir (2005-2009) sebesar

4,64 %. Pertumbuhan ekonomi kabupaten/kota pesisir lebih banyak ditopang

melalui pendapatan asli daerah dari sektor non migas.

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.2. Rata-Rata PDRB menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima Program PEMP, Tahun 2005 dan 2009 (jutaan rupiah)

Gambaran rata-rata PDRB di kabupaten/kota pesisir yang memperoleh

program PEMP secara rutin, kabupaten/kota penerima PEMP tidak rutin dan

kabupaten/kota pesisir lainnya kurun waktu 2005-2009 disajikan pada Gambar 4.2.

Pada gambar tersebut terlihat bahwa kabupaten/kota pesisir yang memperoleh

program PEMP rutin memiliki rata-rata PDRB paling rendah bila dibandingkan

dengan kabupaten/kota penerima PEMP tidak rutin maupun kabupaten/kota pesisir

lainnya (tanpa PEMP). Namun demikian, bila dilihat dari capaian rata-rata

pertumbuhan ekonomi, kabupaten/kota pesisir penerima PEMP rutin mengalami

pertumbuhan yang paling tinggi dibanding capaian wilayah pesisir lainnya yaitu

tercatat sebesar 5,70 % per tahun. Kondisi ini salah satunya diduga adanya upaya

peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui program PEMP secara rutin setiap

tahun (Tabel 4.1.).

2305

2890

3620

4324

2881

3590 3491

4198

0

1000

2000

3000

4000

5000

PEMP Rutin PEMP TidakRutin

Pesisir Lain Total Pesisir

2005 2009

Page 21: BAB III Metode Penelitian

61

Rata-rata PDRB di wilayah pesisir baik yang mendapat program PEMP

maupun tidak, pada tahun 2009 mengalami peningkatan dibandingkan tahun

2005. Rata-rata PDRB di kabupaten/kota pesisir menerima PEMP tidak rutin

cukup tinggi, yaitu sebesar Rp 3,620 milyar pada tahun 2005 meningkat menjadi

Rp 4,324 milyar pada tahun 2009.

4.1.3. Gambaran Ketimpangan Pendapatan

Gambaran ketimpangan pendapatan melalui pendekatan peubah indeks gini

di kabupaten/kota pesisir disajikan pada Gambar 4.3. Ketimpangan pendapatan di

kabupaten/kota pesisir sejalan dengan kondisi pada level nasional, dimana terdapat

tren penurunan tiap tahunnya. Ketimpangan pendapatan menurut Oshima (1970)

dapat dikelompokkan menjadi tiga berdasarkan indeks gini yaitu:

1. ketimpangan rendah apabila indeks gini lebih kecil dari 0,3.

2. ketimpangan sedang apabila indeks gini terletak antara 0,3 - 0,4.

3. ketimpangan tinggi apabila indeks gini lebih besar dari 0,4.

Berdasarkan kiteria tersebut, ketimpangan pendapatan kabupaten/kota

pesisir penerima PEMP yang diukur dengan indeks gini tergolong sedang. Indeks

gini kabupaten/kota pesisir penerima PEMP rutin pada tahun 2009 sebesar 0,32

lebih rendah dibandingkan dengan ketimpangan pendapatan kabupaten/kota pesisir

dan kabupaten/kota penerima PEMP tidak rutin yaitu sebesar 0,33.

0,35

0,32

0,37

0,33

0,320,31

0,37

0,33

0,28

0,30

0,32

0,34

0,36

0,38

PEMP Rutin PEMP Tidak Rutin Pesisir Lain Total Pesisir

2005 2009 Sumber: BPS (2009),diolah

Gambar 4.3. Indeks Gini menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima Program PEMP Tahun 2005 dan 2009

Page 22: BAB III Metode Penelitian

62

4.1.4. Gambaran Pengangguran

Gambaran pengangguran didekati oleh peubah tingkat pengangguran

terbuka (TPT). Pada tahun 2005, TPT di ketiga kelompok kabupaten/kota pesisir

tidak terlihat perbedaan yang berarti (Gambar 4.4).

10.60

7.71

10.93

7.65

10.75

6.37

11.24

7.87

0.00

5.00

10.00

15.00

PEMP Rutin PEMP Tidak Rutin Pesisir Lain Total Pesisir

2005 2009

Sumber: BPS (2009), diolah Gambar 4.4. TPT menurut Kabupaten/ Kota Pesisir Penerima Pogram PEMP Tahun 2005 dan 2009

Gambaran pengangguran didekati oleh peubah tingkat pengangguran

terbuka (TPT). Pada tahun 2005, TPT di ketiga kelompok kabupaten/kota pesisir

tidak terlihat perbedaan yang berarti (Gambar 4.4). TPT kabupaten/kota pesisir

penerima program PEMP rutin pada tahun 2005 sebesar 10,60 persen turun

menjadi 7,71 persen pada tahun 2009. Sementara itu TPT di kabupaten pesisir

lainnya (kabupaten/kota tanpa PEMP) mengalami penurunan sebesar 4,38 persen,

dimana pada tahun 2005 sebesar 10,75 persen turun menjadi persen 6,37 pada

tahun 2009.

Analisis selanjutnya difokuskan pada 20 kabupaten/pesisir penerima

PEMP secara rutin, untuk melihat gambaran secara rinci dampak program PEMP.

4.2. Dinamika 20 Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP

Analisis dinamika dan perkembangan pertumbuhan ekonomi, ketimpangan

pendapatan, dan pengangguran terhadap kemiskinan di kabupaten/kota pesisir

dilakukan untuk melihat dampak implementasi program PEMP yang dilaksanakan

oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terhadap 20 kabupaten/kota

pesisir dalam periode 2005-2009. Tahun 2005 dan 2009 adalah kondisi awal dan

akhir periode bantuan PEMP, sehingga dapat diketahui secara sederhana

Page 23: BAB III Metode Penelitian

63

implementasi program PEMP di 20 kabupaten/kota pesisir pada kurun waktu

2005-2009.

4.2.1. Dinamika Kemiskinan

Ukuran kemiskinan merupakan tolok ukur keberhasilan pembangunan

pemerintah dimana salah satu target RPJMN pemerintah antara lain yaitu penurunan

persentase penduduk miskin. Capaian angka kemiskinan di Indonesia cukup

menggembirakan, persentase penduduk miskin pada periode 2005 hingga 2009

menunjukkan kecenderungan menurun. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat

persentase penduduk miskin pada tahun 2005 sebesar 16,62 persen, sementara itu

persentase penduduk miskin pada tahun 2009 tercatat sebesar 13,76 persen. Selama

periode tersebut persentase penduduk miskin di Indonesia berkurang dengan laju

penurunan sebesar -4,61 persen. Demikian pula penduduk miskin di 20

kabupaten/kota pesisir penerima program PEMP mengalami penurunan persentase

pada periode 2005-2009 dengan laju penurunan sebesar - 0,39 persen seperti yang

disajikan pada Tabel 4.1.

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.5. Perbandingan Persentase Penduduk Miskin menurut Kabupaten/ Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009

Biak Numfor merupakan kabupaten yang memiliki penurunan persentase

terbesar dalam periode tahun 2005-2009 yaitu sebesar 10,85 persen (Gambar 4.5).

Meskipun memiliki penurunan persentase terbesar, namun Biak Numfor

merupakan kabupaten yang masih memiliki persentase penduduk miskin terbesar

Page 24: BAB III Metode Penelitian

64

di tahun 2005 dan 2009 yaitu sebesar 47,36 persen pada tahun 2005 dan 36,51

persen pada tahun 2009. Pada tahun 2005 kabupaten yang memiliki penurunan

kemiskinan terkecil selama periode 2005 sampai 2009 adalah Kabupaten Bantul

yaitu sebesar 0,57 persen. Hal ini dapat dimaklumi karena dalam periode ini

Kabupaten Bantul mengalami gempa bumi yang cukup parah . Pada tahun 2005

kabupaten yang memiliki persentase kemiskinan terkecil adalah Kota Padang yaitu

sebesar 4,41 persen, sedangkan pada tahun 2009 adalah Kabupaten Pontianak

sebesar 5,46 persen.

Pada Gambar 4.5 juga terlihat bahwa diantara 20 kabupaten/kota penerima

program PEMP, ada 5 (lima) kabupaten/kota yang memiliki persentase penduduk

miskin lebih tinggi pada tahun 2009 dibandingkan keadaan tahun 2005. Kabupaten/

kota yang mengalami kenaikan persentase penduduk miskin antara lain Kota Banda

Aceh, Kota Padang, Kota Bengkulu, Kabupaten Gianyar dan Kabupaten Minahasa

Utara. Kota Bengkulu adalah kota pesisir yang mengalami peningkatan persentase

penduduk miskin paling tinggi yaitu sebesar 8,92 persen.

Peningkatan persentase kemiskinan di 5 kabupaten/kota pesisir terlihat

wajar pada tahun 2005 hingga tahun 2007. Kota Banda Aceh mengalami penurunan

disebabkan cakupan penelitian diluar wilayah yang terkena gempa. Kota Bengkulu

terlihat mengalami pelonjakan kemiskinan pada periode 2007-2009 (Gambar 4.6).

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.6. Penduduk Miskin di 5 Kabupaten/Kota Pesisir yang Mengalami Peningkatan Persentase Kemiskinan, Tahun 2005-2009

Terdapat dua hal yang diduga merupakan penyebab tidak tercapainya

target penurunan tingkat kemiskinan dan pengangguran pada RPJM 2005-2009.

Pertama, adanya pengurangan subsidi yang mengakibatkan kenaikan harga BBM

Page 25: BAB III Metode Penelitian

65

hingga 2 kali lipat pada tahun 2005. Kedua, adanya krisis ekonomi global

(external shock) pada tahun 2008 (Alisjahbana, 2010). Selain dua hal yang diduga

sebagai penyebab tersebut diatas, kelima kabupaten/kota pesisir tersebut juga

merupakan wilayah atau daerah rawan gempa.

4.2.2. Dinamika Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator penting guna

melakukan evaluasi dan koreksi terhadap program pembangunan ekonomi yang

telah dilaksanakan pada masa atau periode yang lalu. Dalam mengukur tingkat

pertumbuhan ekonomi digunakan angka Produk Domestik Regional Bruto

(PDRB) atas dasar harga konstan, karena dalam penghitungan PDRB atas dasar

harga konstan tersebut, pengaruh perubahan harga telah dieliminasi. Dengan

demikian pertumbuhan yang dicerminkan merupakan pertumbuhan riil barang

dan jasa dalam suatu periode waktu tertentu.

Sumber: BPS (2009), diolah Gambar 4.7. Perbandingan PDRB menurut Kabupaten/Kota Pesisir

Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009 (juta rupiah)

Capaian rata-rata pertumbuhan ekonomi 20 kabupaten/kota pesisir

penerima PEMP cukup tinggi, tercatat beberapa kabupaten/kota memiliki

pertumbuhan ekonomi di atas 4 % (Gambar 4.7). PDRB kabupaten/kota pesisir

tertinggi dicapai oleh Kota Padang baik pada tahun 2005 (9.111 juta rupiah)

Page 26: BAB III Metode Penelitian

66

maupun tahun 2009 ( 11.346 juta rupiah ). Pertumbuhan ekonomi yang tinggi di

Kota Padang lebih banyak ditopang melalui pendapatan asli daerah dari sektor

non migas. Sektor non migas khususnya sektor andalan antara lain bahari dan

kelautan mampu memberikan kontribusi penting dalam mendorong pertumbuhan

ekonomi. Kontribusi sektor bahari dan kelautan sekitar 20 persen dari total

PDRB. Implikasi dari hal tersebut bahwa dengan nilai pertumbuhan yang tinggi,

Kota Padang berhasil menurunkan ketimpangan pendapatannya.

4.2.3 Dinamika Ketimpangan Pendapatan

Ketimpangan pendapatan atau kesenjangan ekonomi dan tingkat

kemiskinan yang tinggi merupakan dua masalah besar di banyak negara

berkembang, tidak terkecuali di Indonesia

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.8. Perbandingan Indeks Gini menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009

Berdasarkan kiteria ketimpangan pendapatan Oshima (1970),

ketimpangan distribusi pendapatan di 20 kabupaten/kota pesisir penerima PEMP

yang diukur dengan indeks gini masih tergolong sebagai ketimpangan rendah

sampai sedang namun tetap perlu diwaspadai karena ada beberapa wilayah

memiliki kecenderungan untuk meningkat seperti yang terlihat pada Gambar 4.8.

Pada Gambar 4.8 juga terlihat bahwa indeks gini di 20 kabupaten/kota

pesisir penerima PEMP berada pada kisaran 0,25 hingga 0,36. Pada tahun 2009,

indeks gini tertinggi adalah Kabupaten Pontianak sebesar 0,30. Sebaliknya indeks

Page 27: BAB III Metode Penelitian

67

gini terendah adalah Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Ciamis dengan nilai

indeks gini sebesar 0,25. Kondisi ini berarti ketimpangan distribusi pendapatan di

Kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Ciamis termasuk kategori ketimpangan

rendah.

4.2.4. Dinamika Pengangguran

Salah satu isu penting dalam ketenagakerjaan, di samping keadaan

angkatan kerja (economically active population) dan struktur ketenagakerjaan

adalah isu pengangguran. Pengangguran dari sisi ekonomi merupakan produk

dari ketidakmampuan pasar kerja dalam menyerap angkatan kerja yang tersedia.

Ketersediaan lapangan kerja yang relatif terbatas tidak mampu menyerap

masyarakat pencari kerja yang senantiasa bertambah setiap tahun seiring dengan

bertambahnya jumlah penduduk.

Pengurangan subsidi yang mengakibatkan kenaikan harga BBM hingga 2

kali lipat pada tahun 2005 dan Krisis ekonomi global pada tahun 2008 diduga

merupakan salah satu penyebab tidak tercapainya target pengurangan tingkat

kemiskinan dan pengangguran pada RPJM 2005-2009.

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.9. Perbandingan TPT menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009

Page 28: BAB III Metode Penelitian

68

4.3. Analisis Kuadran

Analisis yang lebih mendalam mengenai gambaran dinamika kemiskinan

kabupaten/kota pesisir dapat dilihat dengan membandingkan kondisi pertumbuhan,

ketimpangan pendapatan, pengangguran dan kemiskinan pada tahun 2005 dan

2009, melalui analisis kuadran.

Berdasarkan hasil analisis kuadran diketahui bahwa dari 20 kabupaten/kota

penerima PEMP rutin, di tahun 2005 ada sebanyak 10 kabupaten/kota memiliki

persentase penduduk miskin dibawah rata-rata, sedangkan pada tahun 2009

meningkat menjadi 11 kabupaten/kota. Perkembangan ketimpangan pendapatan

mengalami perbaikan dalam periode 2005-2009. Jumlah kabupaten yang memiliki

indeks gini di atas rata-rata pada tahun 2005 sebanyak 4 kabupaten/kota dan turun

menjadi 1 kabupaten di tahun 2009. Pada tahun 2005, jumlah kabupaten/kota yang

memiliki pertumbuhan ekonomi (PDRB) diatas rata-rata sebanyak 6

kabupaten/kota dan bertambah menjadi 7 kabupaten/kota pada tahun 2009. Secara

umum, tingkat pengangguran di 20 kabupaten/kota mengalami penurunan dalam

periode 2005-2009. Jumlah kabupaten/kota yang memiliki pengangguran dibawah

rata-rata di tahun 2005 sebanyak 11 kabupaten/kota dan turun menjadi 9

kabupaten/kota di tahun 2009.

4.3.1 Pertumbuhan Ekonomi dan Kemiskinan

Gambar 4.9. menunjukkan dinamika pertumbuhan dan kemiskinan di 20

kabupaten pesisir penerima PEMP. Gambar tersebut menunjukkan bahwa

kabupaten/kota memiliki karakteristik yang hampir homogen, hal ini terlihat dari

pola analisis kuadran yang banyak mengumpul pada kuadran tertentu yaitu

Kuadran III dan IV. Kuadran I menunjukkan kondisi terbaik yaitu apabila

kabupaten/kota memiliki persentase kemiskinan yang rendah (dibawah rata-rata)

dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi (diatas rata-rata). Kuadran II menunjukkan

kondisi dimana kabupaten/kota memiliki karakteristik pertumbuhan ekonomi yang

tinggi namun disertai dengan persentase kemiskinan yang juga tinggi. Kuadran III

menunjukkan kondisi yang terburuk dimana kabupaten/kota memiliki karakteristik

yaitu pertumbuhan ekonomi yang rendah dan persentase kemiskinan yang tinggi.

Sementara itu, Kuadran IV memperlihatkan kondisi kabupaten/kota yang memiliki

Page 29: BAB III Metode Penelitian

69

pertumbuhan ekonomi yang rendah disertai persentase kemiskinan yang juga

rendah.

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.10. Perbandingan Kondisi Pertumbuhan dan Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009

Berdasarkan analisis kuadran pertumbuhan ekonomi (PDRB) dan

kemiskinan pada tahun 2005, terlihat bahwa kabupaten/kota yang berada dalam

Kuadran 1 (kuadran terbaik) sebanyak 4 kabupaten/kota (Gianyar, Ciamis,

Pontianak dan Kota Padang). Kabupaten/kota yang masuk Kuadran II ada 2 yaitu

Kabupaten Tasikmalaya dan Kabupaten Bantul. Sementara itu hampir separuh

kabupaten/kota ( 9 kabupaten/kota) masuk dalam kuadran terburuk (Kuadran III),

sedangkan kuadran IV dihuni oleh 7 kabupaten/kota. Jika dibandingkan dengan

keadaan tahun 2009, analisis kuadran untuk peubah PDRB dan kemiskinan tidak

menunjukkan perbedaan yang berarti. Perkembangan yang baik hanya dialami

oleh Kabupaten Tasikmalaya dimana pada tahun 2005 berada di Kuadran II dan

pada tahun 2009 berpindah ke kuadran terbaik yaitu Kuadran I. Kondisi ini dapat

diartikan sebagai perbaikan dalam hal penurunan persentase kemiskinan di

I

III II

IV

I

II III

IV

120001000080006000400020000

pdrb2009

40.00

30.00

20.00

10.00

mis

kin

20

09

Biak NumforFakfak

Seram Bagian Timur

Buru

Maluku Tengah

Minahasa Utara

Nunukan

Kotawaringin BaratPontianak

Sambas

Gianyar

Bantul

Kulon Progo

Ciamis

Tasikmalaya

Bengkulu

Tanjung Jabung Barat

PadangBanda Aceh

Aceh Besar

1000080006000400020000

pdrb2005

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00

mis

kin

20

05

Biak Numfor

Fakfak

Seram Bagian Timur

Buru

Maluku Tengah

Minahasa Utara

Nunukan

Kotawaringin BaratPontianak

Sambas

Gianyar

Bantul

Kulon Progo

Ciamis

Tasikmalaya

Bengkulu

Tanjung Jabung Barat

Padang

Banda Aceh

Aceh Besar

I

IV

III

I

II

IV

III II

Page 30: BAB III Metode Penelitian

70

Kabupaten Tasikmalaya. Sementara itu kabupaten/kota lain tidak menunjukkan

perubahan yang berarti (Gambar 4.10).

4.3.2 Ketimpangan Pendapatan dan Kemiskinan

Dalam analisis kuadran antara ketimpangan pendapatan (Indeks Gini) dan

kemiskinan, Kuadran I (terbaik) didefinisikan oleh kabupaten/kota yang memiliki

persentase kemiskinan yang rendah disertai indeks gini yang juga rendah.

Kuadran II, menunjukkan kondisi kabupaten/kota yang memiliki indeks gini yang

tinggi namun persentase kemiskinan yang rendah. Kuadran III merupakan kondisi

terburuk dimana kabupaten/kota pesisir memiliki kondisi kemiskinan dan indeks

gini yang tinggi. Sementara itu Kuadran IV menunjukkan kondisi kemiskinan

yang tinggi namun memiliki indeks yang rendah.

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.11. Perbandingan Kondisi Indeks Gini dan Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009

Gambar 4.11 menunjukkan bahwa posisi kabupaten/kota pesisir pada tahun

2005 dan 2009 memiliki karakteristik yang mayoritas menyebar di Kuadran I dan IV.

Pada tahun 2005 terlihat bahwa kabupaten/kota pesisir yang masuk dalam Kuadran I

0.340.320.300.280.260.24

gini2009

40.00

30.00

20.00

10.00

mis

kin

200

9

Biak NumforFakfak

Seram Bagian Timur

Buru

Maluku Tengah

Minahasa Utara

Nunukan

Kotawaringin BaratPontianak

Sambas

Gianyar

Bantul

Kulon Progo

Ciamis

Tasikmalaya

Bengkulu

Tanjung Jabung Barat

Padang

Banda Aceh

Aceh Besar

I

IV III

II

0.360.340.320.300.280.26

gini2005

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00

mis

kin

20

05

Biak Numfor

Fakfak

Seram Bagian Timur

Buru

Maluku Tengah

Minahasa Utara

Nunukan

Kotawaringin BaratPontianak

Sambas

Gianyar

Bantul

Kulon Progo

Ciamis

Tasikmalaya

Bengkulu

Tanjung Jabung Barat

Padang

Banda Aceh

Aceh Besar

II I

IV III

Page 31: BAB III Metode Penelitian

71

(kuadran terbaik) sebanyak 6 kabupaten/kota (Ciamis, Pontianak, Kota Banda Aceh,

Kotawaringin Barat, Sambas dan Kota Padang). Kabupaten/kota pesisir yang masuk

Kuadran II, hanya satu yaitu Kota Bengkulu. Sementara itu, Kabupaten Bantul dan

Biak Numfor berada di posisi kuadran terburuk (Kuadran III).

Pada tahun 2009, analisis kuadran untuk peubah Indeks Gini dan

kemiskinan terjadi perubahan yang cukup berarti jika dibandingkan kondisi tahun

2005. Perkembangan yang baik dialami oleh Kabupaten Bantul, yang posisinya

dari kuadran terburuk beralih ke Kuadran IV (ketimpangan rendah, kemiskinan

tinggi). artinya mengalami perbaikan karakteristik ketimpangan pendapatan

namun tidak dalam karakteristik kemiskinan. Sebaliknya Kabupaten Biak Numfor

merupakan satu-satunya kabupaten/kota pesisir yang tetap dalam kondisi terburuk

berada di Kuadran III ( kemiskinan dan indeks gini tinggi). Sementara itu

kabupaten/kota lain tidak menunjukkan perubahan yang berarti.

4.3.3 Pengangguran dan Kemiskinan

Analisis kuadran antara tingkat pengangguran terbuka (TPT) dan tingkat

kemiskinan, disajikan pada Gambar 4.11. Jika dilihat dari posisi kuadran, Kuadran

I (terbaik) didefinisikan sebagai kabupaten/kota yang memiliki persentase tingkat

kemiskinan yang rendah disertai TPT yang juga rendah. Kuadran II menunjukkan

kondisi kabupaten/kota yang memiliki TPT yang tinggi namun persentase

kemiskinan yang rendah. Kuadran III merupakan kondisi terburuk dimana

kabupaten/kota memiliki kondisi kemiskinan dan TPT yang tinggi. Sementara itu

Kuadran IV menunjukkan kondisi kemiskinan yang tinggi namun memiliki TPT

yang rendah.

Pada Gambar 4.12, terlihat bahwa kabupaten/kota yang masuk dalam

Kuadran I (kuadran terbaik) sebanyak 5 kabupaten/kota (Ciamis, Pontianak,

Gianyar, Kotawaringin Barat dan Sambas). Kabupaten/kota yang berada di

Kuadran II yaitu Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kota Bengkulu, Kabupaten

Minahasa Utara,Kota Padang, dan Kota Banda Aceh. Sementara itu terdapat 4

kabupaten/kota yang masuk Kuadran III yaitu Kabupaten Nunukan, Biak Numfor,

Aceh Besar dan Maluku Tengah.

Page 32: BAB III Metode Penelitian

72

IV

16.0014.0012.0010.008.006.004.002.00

tpt2009

40.00

30.00

20.00

10.00

mis

kin

2009

Biak Numfor

Fakfak

Seram Bagian Timur

Buru

Maluku Tengah

Minahasa Utara

Nunukan

Kotawaringin Barat

Pontianak

Sambas

Gianyar

Bantul

Kulon Progo

Ciamis

Tasikmalaya

Bengkulu

Tanjung Jabung Barat

Padang

Banda Aceh

Aceh Besar

40.0030.0020.0010.000.00

tpt2005

50.00

40.00

30.00

20.00

10.00

0.00

mis

kin

200

5

Biak Numfor

Fakfak

Seram Bagian Timur

Buru

Maluku Tengah

Minahasa Utara

Nunukan

Kotawaringin Barat

Pontianak

Sambas

Gianyar

Bantul

Kulon Progo

Ciamis

Tasikmalaya

Bengkulu

Tanjung Jabung Barat

Padang

Banda Aceh

Aceh Besar

I

IV

II

III

I

III

II

IV

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.12. Perbandingan Kondisi Tingkat Pengangguran Terbuka(TPT) dan Kemiskinan menurut Kabupaten/Kota Pesisir Penerima PEMP Tahun 2005 dan 2009

Analisis kuadran untuk peubah TPT dan tingkat kemiskinan pada tahun 2009

menunjukkan perbedaan yang berarti jika dibandingkan dengan keadaan tahun

2005. Perkembangan yang baik dialami oleh Kabupaten Tasikmalaya dan Tanjung

Jabung Barat pada tahun 2005 posisi masing-masing berada di kuadran 4 dan 2,

pada tahun 2009 berubah posisinya berada di kuadran terbaik yaitu kuadran 1.

Perkembangan yang baik untuk Kabupaten Tasikmalaya dalam analisis

kuadran dapat diartikan sebagai perbaikan dalam hal pertumbuhan ekonomi,

penurunan pengangguran dan penurunan persentase kemiskinan di kabupaten

Tasikmalaya. Berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan No. 41 Tahun 2009

tentang penetapan lokasi minapolitan, Kabupaten Tasikmalaya merupakan salah

satu kabupaten/kota yang menjadi lokasi pengembangan kawasan minapolitan dari

41 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Kawasan minapolitan adalah kawasan yang

terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem

produksi perikanan dan pengeloaan sumberdaya alam tertentu. Saat ini sedang

dibangun PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan) di Kampung Pamayang, Desa

Cikawungading, Kecamatan Cipatujah, selanjutnya pembangunan TPI (Tempat

Page 33: BAB III Metode Penelitian

73

Pendaratan Ikan) di beberapa desa. Pengembangan kawasan minapolitan

merupakan upaya dalam mendorong pengembangan kawasan budidaya perikanan

di daerah. Kegiatan di kawasan minapolitan ini bertujuan untuk meningkatkan

perekonomian dan pertumbuhan wilayah dengan kegiatan budidaya perikanan

sebagai penggerak utamanya (Saefulah, 2009).

Berdasarkan analisis kuadran pengangguran dan kemiskinan kabupaten

yang mengalami kemunduran atau berada diposisi sangat buruk (tingkat

pengangguran dan kemiskinan sangat tinggi) adalah Kabupaten Seram Bagian

Timur, Biak Numfor, Maluku Tengah dan Fak-Fak. Kabupaten-kabupaten tersebut

terletak di Indonesia bagian timur, posisinya sangat buruk, yang dapat diartikan

bahwa kabupaten tersebut masih memiliki tingkat pengangguran sekaligus tingkat

kemiskinan yang sangat tinggi. Kebijakan pemerintah dengan adanya program

PEMP di kawasan timur kiranya belum dapat mendorong penurunan angka

pengangguran dan kemiskinan. Krisis ekonomi global diduga merupakan salah satu

penyebab tidak tercapainya target pengurangan tingkat kemiskinan dan

pengangguran pada periode 2005-2009, selain akibat faktor alam yang kurang

mendukung masyarakat pesisir wilayah timur untuk bekerja dalam mencari

penghasilan.

4.4 Pro Poor Growth ( Growth Incidence Curve /GIC)

Analisis tentang Pro Poor Growth dengan menggunakan GIC berguna

untuk mengetahui derajat manfaat pertumbuhan ekonomi di 20 kabupaten/kota

penerima program PEMP bagi penduduk miskin. Distribusi pendapatan terjadi

perbaikan jika GIC merupakan fungsi turun. Dalam analisis ini, GIC dilakukan

dalam periode 2005-2009. Penyesuaian pada data pengeluaran di tiap kabupaten/

kota dilakukan untuk memenuhi keterbandingan data antar kabupaten dan antar

periode, karena perbedaan garis kemiskinan antar kabupaten/kota dan antar waktu.

4.4.1 GIC Periode 2005-2009

Gambar 4.12. menunjukkan GIC dari 20 kabupaten/kota penerima

program PEMP periode 2005-2009. Pada gambar tersebut memperlihatkan nilai

pertumbuhan yang selalu positif di setiap persentil penduduk selama periode

tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi di periode ini bersifat

Page 34: BAB III Metode Penelitian

74

pro poor growth, yang berarti pula telah memberikan manfaat bagi penduduk

miskin. Bahkan GIC tersebut juga menunjukkan sebagai fungsi turun, dimana

pertumbuhan di kelompok persentil teratas justru lebih rendah dibandingkan

pertumbuhan di kelompok persentil terendah (hingga persentil-60).

Sumber: BPS (2009), diolah

Gambar 4.13. Growth Incidence Curve (GIC) 20 Kabupaten/Kota Penerima Program PEMP Periode 2005-2009

Hal ini menunjukkan terjadinya perbaikan distribusi pendapatan di 20

kabupaten/kota penerima program PEMP selama periode tersebut. Meskipun

secara keseluruhan terjadi pertumbuhan positif di semua kelompok persentil, akan

tetapi pertumbuhan yg lebih tinggi di kelompok persentil terendah mempersempit

kesenjangan pendapatan yang ada. Setidaknya program PEMP memberikan

dampak positif bagi penduduk miskin dengan meningkatnya pendapatan mereka

melalui peningkatan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kaya.