30 BAB III METODE H{ISAB dan RU’YAH DALAM AL-QUR’AN A. Pengertian H{isab dan Ru’yah H{isab berasal dari bahasa Arab h}asiba yang bermakna menghitung 1 , sedangkan H{isab secara istilah adalah menghitung kalender bulan dengan kaidah astronomi. 2 Hisab pada dasarnya lama dikenal dalam ilmu falak 3 (astronomi) yang dalam prakteknya di gunakan untuk memprediksi gerak matahari dan bulan terhadap bumi. Selain berguna untuk menentukan awal bulan qamariah, hisab juga bermanfaat untuk menentukan posisi kiblat sholat. Dalam hal ini H{isab dibagi menjadi dua, yang pertama H{isab H{aqiqi yakni sistem h}isab yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini, umur tiap bulan tidaklah konstan dan tidak beraturan, melainkan tergantung posisi hila>l setiap awal bulan. Yang kedua H{isab ‘Urfi yakni sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara konvensional. Sistem hisab ini tak ubahnya seperti kalender shamsiyah (miladiyah), bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali bulan tertentu pada tahun-tahun tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari. 1 Taufiqul Hakim, Kamus at-Taufiq Arab-Jawa-Indonesia (Jepara: El-Falah, 2005), 120. 2 Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola,2001), 228. 3 Ilmu Falak adalah ilmu dari salah satu cabang sains yang mempelajari perhitungan gerak benda- benda langit, benda-benda langit yang dimaksud adalah matahari, bulan planet, meteor, bintang, galaksi, nebula, quasa, nova, lubang hitam, dan sebagainya. Mutaoha, AR, Modul Pelatihan Rukyatul Hila> l (Observasi Bulan Sabit Muda), (Masjid Syuhada, Yogyakarta, senin 24 sep 2007) 2.
26
Embed
BAB III METODE H{ISAB dan RU’YAH QUR’ANdigilib.uinsby.ac.id/992/5/Bab 3.pdfmenghitung1, sedangkan H{isab secara istilah adalah menghitung kalender bulan dengan kaidah astronomi.2
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
30
BAB III
METODE H{ISAB dan RU’YAH DALAM AL-QUR’AN
A. Pengertian H{isab dan Ru’yah
H{isab berasal dari bahasa Arab h}asiba yang bermakna
menghitung1, sedangkan H{isab secara istilah adalah menghitung kalender
bulan dengan kaidah astronomi.2 Hisab pada dasarnya lama dikenal dalam
ilmu falak3 (astronomi) yang dalam prakteknya di gunakan untuk
memprediksi gerak matahari dan bulan terhadap bumi. Selain berguna
untuk menentukan awal bulan qamariah, hisab juga bermanfaat untuk
menentukan posisi kiblat sholat.
Dalam hal ini H{isab dibagi menjadi dua, yang pertama H{isab
H{aqiqi yakni sistem h}isab yang didasarkan pada peredaran Bulan dan Bumi
yang sebenarnya. Menurut sistem ini, umur tiap bulan tidaklah konstan dan
tidak beraturan, melainkan tergantung posisi hila>l setiap awal bulan. Yang
kedua H{isab ‘Urfi yakni sistem perhitungan kalender yang didasarkan pada
peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi dan ditetapkan secara
konvensional. Sistem hisab ini tak ubahnya seperti kalender shamsiyah
(miladiyah), bilangan hari pada tiap-tiap bulan berjumlah tetap kecuali
bulan tertentu pada tahun-tahun tertentu jumlahnya lebih panjang satu hari.
2 Pius A Partanto dan M. Dahlan al-Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola,2001), 228.
3 Ilmu Falak adalah ilmu dari salah satu cabang sains yang mempelajari perhitungan gerak benda-
benda langit, benda-benda langit yang dimaksud adalah matahari, bulan planet, meteor, bintang,
galaksi, nebula, quasa, nova, lubang hitam, dan sebagainya. Mutaoha, AR, Modul Pelatihan Rukyatul Hila>l (Observasi Bulan Sabit Muda), (Masjid Syuhada, Yogyakarta, senin 24 sep 2007)
2.
31
Sehingga sistem h}isab ini tidak dapat dipergunakan dalam menentukan
awal bulan Qamariyah untuk pelaksanaan ibadah (awal dan akhir
Ramadhan), karena menurut sistem ini bulan Sha’ban dan Ramadhan
adalah tetap, yaitu 29 hari unutk Sha’ban dan 30 hari untuk Ramadhan.4
Bentuk tunggal dari ru’yah adalah dari kata ra’a yang mempunyai
arti: 1). Melihat 2). Dapat dilihat 3). Mengerti 4). Menyangka 5). Mengira
6). Bermimpi.5 Kalaupun ada pendapat bahwa ra’a diartikan dengan ilmu,
maksudnya adalah h}isab itu sendiri, tetapi dalam praktek perhitungannya,
mempertimbangkan posisi hila>l supaya bisa dilihat, bukan hanya
keberadaanya saja. Ru’yah adalah aktivitas mengamati kemungkinan
terlihatnya hila>l, yaitu penampakan bulan sabit yang pertama kali setelah
terjadi ijtima’.
Di dalam Al-Qur’an sendiri, kata ra’a juga digunakan dalam dua
konteks tersebut. Bisa ‘melihat’ secara fisik, bisa juga memperkirakan dan
merenungi secara mendalam dengan ilmu, atau bahkan bisa bermakna
mimpi yang benar. Berikut ini adalah ayat-ayatnya.
Al-Qur’an surah al-An’an (6): 77 :
‚Kemudian tatkala Dia melihat bulan terbit Dia berkata: "Inilah
Tuhanku". tetapi setelah bulan itu terbenam, Dia berkata:
"Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaKu,
ketika Matahari terbit disini bisa jadi ia telah terbenam di sana, sehingga
jika Indonesia yang melihat bulan, maka masyarakat muslim di sana
(Amerika) belum wajib berpuasa. Demikian pula sebaliknya. Tetapi jika
masyarakat Muslim di Mekah melihatnya, maka baik masyarakat Muslim di
Indonesia maupun di Amerika kesemuanya telah wajib berpuasa, karena
betapapun perbedaan waktu terjadi, semuanya – ketika di satu tempat
terlihat bulan – masih dalam keadaan malam. Sungguh jika ini dilaksanakan,
maka akan banyak waktu, tenaga, dan biaya yang dihemat, bahkan salah satu
sumber perselisihan antar umat Islam dapat teratasi.22
Melihat atau mengetahui kehadiran bulan sabit Ramadhan adalah
tanda kewajiban berpuasa, sebagaimana melihat atau mengetahui kehadiran
bulan sabit Syawal adalah tanda berakhirnya puasa Ramadhan. Hari
kesembilan dari kehadiran bulan Dhulhijjah adalah hari wuquf di Arafah.
Dan banyak kewajiban atau anjuran agama yang dikaitka dengan bulan.
Mengapa bulan, bukan matahari? Manusia tidak dapat mengetahui bilangan
hari hanya dengan melihat matahari, karena titik pusat tata surya yang
berupa bola dan memancarkan cahaya itu tidak memberi tanda-tanda tentang
hari-hari yang berlaku atau yang sedang dan akan dialami manusia. Setiap
hari, matahari muncul dan terlihat dalam bentuk dan keadaan sama, yang
berbeda dengan bulan. Matahari hanya menunjuk perjalanan sehari, jika ia
terbit maka itu tanda hari sudah pagi, jika sudah naik sepenggalahan, maka
ia menjelang tengah hari, dan bila terbenam, maka sehari telah berlalu, atau
22
Ibid., 405.
41
malam telah tiba.
Anda tidak dapat mengetahui keadaan siang melalui bulan, karena ia
tampak di waktu malam, tetapi anda dapat mengetahui awal kehadiran bulan
dengan melihatnya seperti sabit, selanjutnya anda mengetahui hari-hari
pertama bila melihatnya dalam bentuk lebih besar, sedang pertengahan bulan
diketahui dengan melihatnya dalam bentuk purnama sempurna. Itu-kata Al-
Qur’an yang juga diakui oleh ilmuan – karena bulan memiliki manzilah-
manzilah, dan setelah sampai ke manzilah terakhir dalam bentuk purnama
dalam bentuk purnama ia kembali terlihat mengecil dan mengecil hingga
menjadi dalam pandangan seperti tandang kering yang tua melengkung. (QS.
Ya>si>n 36 : 39). Di sisi lain, perhitungan yang didasarkan pada matahari,
menjadikan iklim dan suhu udara akan sama, atau paling tidak serupa
sepanjang masa. Lama perjalanannya pun sejak terbit hingga terbenamnya
akan sama.23
Tafsir QS. Al-Baqarah: 189
‚Mereka bertanya kepadamu (muhammad)tentang bulan sabit.
Katakanlah: "Itu adalah (petunjuk) waktu bagi manusia dan
(ibadah) haji; dan bukanlah suatu kebajikan memasuki rumah
dari atasnya24
, tetapi kebajikan adalah (kebajikan) orang yang
23
Ibid., 406. 24
Pada masa jahiliyah, orang yang berihram pada waktu haji, mereka memasuki rumah dari
belakang, bukan dari depan. Hal ini ditanyaka pula oleh para sahabat kepada Rasulullah Saw.
sehingga turunlah ayat ini. Ibid., 29.
42
bertakwa. Masukilah rumah-rumah dari pintu-pintunya; dan
bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung.25
Ayat di atas secara eksplisit menyebut istilah hila>l atau bulan sabit–
al-Ahillah bentuk jamak dari al-Hila>l- terkait dengan musim haji. Dan
kemudian Allah mengajarkan bahwa hila>l bisa digunakan sebagai tanda-
tanda datangnya ibadah haji. Karena musim haji itu memang terdiri dari
beberapa bulan yang sudah dimaklumi sejak sebelum zaman Rasulullah,
yakni: bulan Shawal, Dhulqa’dah, dan Dhulhijjah.26
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit, mengapa bulan pada
mulanya terlihat seperti sabit, kecil, tetapi dari malam ke malam ia
membesar sehingga mencapai purnama, kemudian mengecil dan mengecil
lagi, sampai menghilang dari pandangan? Katakanlah,‛Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia. Waktu dalam penggunaan Al-Qur’an
adalah batas akhir peluang untuk menyelesaikan suatu aktivitas. Ia adalah
kadar tertentu dari satu masa. Dengan keadaan bulan seperti itu manusia
dapat mengetahui dan merancang aktivitasnya sehingga dapat terlaksana
sesuai dengan masa penyelesaian (waktu) yang tersedia, tidak terlambat,
apalagi terabaikan dengan berlalunya waktu, dan juga untuk waktu
pelaksanaan ibadah haji.
Seperti terlihat di atas, jawaban yang diberikan ini tidak sesuai
dengan pertanyaan yang diajukan. Karena jawaban yang seharusnya
diberikan adalah bulan memantulkan sinar matahari ke bumi melalui
permukaannya yang tampak dan terang hingga sampai terbitlah sabit.
25
Ibid., 29. 26
Agus Mustofa, Jangan Asal Ikut-ikutan Hisab dan Rukyat (Surabaya: Padma Press, 2013 ), 154.
43
Apabila pada paruh pertama, bulan berada pada posisi di antara matahari dan
bumi, bulan itu menyusut yang berarti muncul bulan sabit baru. Dan, apabila
berada di arah berhadapan dengan matahari, di mana bumi berada di tengah,
akan tampak bulan purnama. Kemudian purnama itu kembali mengecil
sedikit demi sedikit sampai ke paruh kedua. Dengan demikian sempurnalah
satu bulan Qamariyah selama 29,5306 hari. Atas dasar ini dapat ditentukan
penanggalan Arab, sejak munculnya bulan sabit hingga bulan tampak
sempurna sinarnya. Bila bulan sabit tampak seperti garis tipis di ufuk barat,
kemudian tenggelam beberapa detik setelah tenggelamnya matahari, ketika
itu dapat terjadi ru’yah terhadap bulan. Demikian ditentukan perhitungan
waktu melalui bulan, demikian juga diketahui permulaan dan akhir masa
pelaksanaan haji.27
Secara umum, hila>l didefinisikan sebagai bulan baru atau bulan tua,
dimana saat itu bulan berbentuk sabit. Akan tetapi, karena pembahasan
Ramadhan dan Syawal selalu berbicara tentang awal bulan, maka hila>l selalu
diasosiasikan dengan bulan baru. Menjadi tidak penting untuk berbicara
bulan tua yang dalam istilah Al-Qur’an disebut berbentuk tandan tua yang
melengkung. Sebenarnya, bentuk-bentuk bulan itu dalam masyarakat Arab
memiliki nama-nama yang terus berubah sebagaimana disebutkan oleh Al-
Qurtubi,yaitu: ghurur, naqlu, tas’u, ‘ushr, albaid}, dzar’u, dhulmu, hanadis, da
adi danmuh}aq.
Jadi, makna hila>l sebetulnya tidak khusus menunjuk kepada bulan
27
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h, 417.
44
baru saja, melainkan juga pada bentuk-bentuk bulan dalam perjalanannya
selama satu bulan penuh. Itulah sebabnya, Al-Qur’an menyebut hilal> tidak
dalam bentuk tunggal al-Hila>l, melainkan dalam bentuk jamak al-Ahillah.
Hal ini mendorong kita untuk memahami fase-fase pergerakan bulan dalam
berbagai bentuknya, sebagai patokan perhitungan dalam kalender Islam,
sebagaimana ayat-ayat berikut ini.
Al-Qur’an surat Yunus : 5
‚Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya
dan Dia-lah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar
kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah
tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan benar.
Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-
orang yang mengetahui.28
Al-Qur’an surat Yasin : 39
‚Dan telah Kami tetapkan tempat peredaran bagi bulan, sehingga
(setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir)
Kembalilah ia sebagai bentuk tandan yang tua29
.
Dengan pemahaman seperti ini, akan bisa mengambil kesimpulan
yang lebih proporsional dalam menentukan fase-fase bulan sebagai pedoman
waktu. Bahwa, hila>l yang dimaksudkan Al-Qur’an bukan hanya berbicara
tentang awal bulan, melainkan tentang kaidah h}isab secara menyeluruh,
28
Ibid., 208. 29
Maksudnya: bulan-bulan itu pada Awal bulan, kecil berbentuk sabit, kemudian sesudah
menempati manzilah-manzilah, Dia menjadi purnama, kemudian pada manzilah terakhir kelihatan
seperti tandan kering yang melengkung. Ibid., 442.
45
terkait dengan al-Ahillah yang memiliki manzilah-manzilah, agar manusia
mengetahui bilangan tahun dan perhitungan waktu.30
Di dalam Al-Qur’an, bulan disebut dengan tiga istilah. Yang pertama
adalah shahrun(month), yang kedua adalah qamar (moon), dan yang ketiga
adalah hila>l (crescent moon). Shahrun digunakan untuk menyebut bulan
dalam arti durasi waktu yang berjumlah 29 atau 30 hari. Juga untuk
menyebut nama bulan, misalnya: bulan Ramadhan (shahru Ramad}an), bulan
Syawal (shahru Shawal), atau bulan Haji (shahru Dhulhijjah).
Sedangkan istilah qamar digunakan untuk menunjuk sebuah benda
langit yang menjadi satelit planet Bumi. Sebuah benda langit yang
bercahaya dan selalu terlihat berubah-ubah bentuk seiring dengan
pergerakannya mengelilingi Bumi. Al-Qamar inilah yang sering disebut Al-
Qur’an sebagai benda langit yang bisa dijadikan patokan perhitungan waktu.
Sementara itu, al-Hila>l adalah sebutan khusus bagi al-Qamar dalam
beragam bentuknya. Bisa mengacu pada bulan sabit baru, atau bulan sabit
tua. Penggunaan bentuk jamak al-Ahillah menunjuk kepada semua bentuk al-
Qamar dalam fase yang berbeda-beda itu.
Dalam bahasa Inggris hila>l disebut juga sebagai crescent moon (bulan
sabit). Dancrescent ini memiliki fase-fase dimana bentuk bulan sabit itu
berubah secara terus menerus, sehingga dikenal istilah: waxing crescent
(bulan muda selama beberapa hari sampai mencapai seperempat bulatan)
dan waning crescent (bulan tua selama beberapa hari sampai munculnya
30
Agus Mustofa, Jangan Asal Ikut-ikutan Hisab dan Rukyat, 191-193.
46
bulan baru).
Dan di antaranya ada yang disebut waxing gibbous dan waning
gibbous. Yakni, bentuk bulan sebelum purnama dan sesudah purnama. Oleh
karena itu, pemakaian kata hila>l dalam Al-Qur’an sebenarnya tidak
menunjuk kepada saat paling awal dalam kemunculan bulan baru.
Melainkan, sampai beberapa hari sebelum mencapai perempat pertama. Juga,
beberapa hari setelah mencapai perempat terakhir.
Dengan demikian, definisi h}ilal yang disebutkan oleh Al-Qur’an itu
sebenarnya sedemikian lenturnya. Yang penting, umat Islam menjadikan
‘bulan sepotong’ itu sebagai salah satu tanda bagi permulaan bulan.
Ramadhan maupun shawal.31
Kembali kepada pertanyaan sahabat Nabi di atas (tentang al-Ahillah),
Al-Qur’an tidak menjawab sesuai dengan harapan mereka, tetapi memberi
jawaban lain yang lebih sesuai dengan kepentingan mereka. Hal serupa
banyak terjadi dengan tujuan mengingatkan penanya bahwa ada yang lebih
wajar ditanyakan dari pada yang telah diajukan. Memang Al-Qur’an
mendidik manusia, dan salah satu bentuk pendidikannya adalah
mengarahkan mereka melalui jawaban-jawabannya.
Memang tidak salah bila Al-Qur’an menjawab pertanyaan mereka
dengan jawaban ilmiah, sebagaimana dijelaskan dalam astronomi, yakni
keadaan bulan seperti itu akibat peredaran bulan dan matahari, serta posisi
masing-masing dalam memberi dan menerima cahaya matahari. Tetapi bila
31
Ibid., 195-196.
47
jawaban ini yang disampaikan, maka disamping masalah yang lebih penting
tidak terungkap, penjelasan menyangkut pertanyaan itu bukan merupakan
bidang Al-Qur’an, karena Al-Qur’an adalah kitab hidayah bukan kitab
ilmiah. Di samping itu, jawaban ilmiah berdasarkan astronomi itu belum
dapat terjangkau oleh para penanya ketika itu. Demikian ayat ini
mengajarkan, agar tidak menjawab persoalan yang tidak termasuk otoritas
Anda, tidak juga memberi jawaban yang diduga keras tidak dimengerti oleh
penanya, sebagaimana ia mengajarkan agar mengarahkan penanya kepada
pertanyaan dan jawaban yang bermanfaat baginya, di dunia atu akhirat.
Yang lebih wajar mereka ketahui adalah tujuan penciptaan bulan
seperti itu serta manfaat yang harus diperoleh dari keadaannya yang
demikian. Keadaan bulan sperti jawaban Al-Qur’an adalah untuk mengetahui
waktu-waktu. Pengetahuan tentang waktu menuntut adanya pembagian
teknis menyangkut masa yang dialami seseorang dalam hidupnya (detik,
menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun, dan lain-lain), semua harus
digunakan secara baik dengan rencana yang teliti agar ia tidak berlalu tanpa
diisi dengan penyelesaian aktivitas yang bermanfaat.32
Tafsir QS>. Al-An’am : 96
‚Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk
beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk
perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi
Maha mengetahui.33
32
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishba>h, 418. 33
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 188.
48
(Dia menyingsingkan pagi) mashdar yang bermakna isim yakni subuh
atau pagi hari; artinya Allahlah yang menyingsingkan sinar pagi, yaitu
cahaya yang tampak di permulaan pagi hari mengusir kegelapan malam
hari34
dalam tafsir ibnu katsir ayat ini ditfasirkan lain, yaitu bahwa Allah
yang menciptakan cahaya dan kegelapan, hal ini seperti firman Allah dalam
surat al-An’am ayat yang lain yang lain:35
‚Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi
dan Mengadakan gelap dan terang, Namun orang-orang yang
kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Tuhan mereka.36
Yaitu dia yang mahasuci menyingsingkan gelapnya malam hari pada
pagi hari, sehingga alam menjadi terang, dan cakrawala tampak terang
benderang. Gelapnya malam hari hilang berangsur-angsur dan pergi
membawa kegelapanya, lalu datanglah siang hari dengan sinarnya yang
terang.37
Allah menjelaskan kekuasaan-Nya dalam menciptakan berbagai
macam hal yang bertentangan lagi berbeda-beda, semuanya itu menunjukkan
kesempurnaan kebesaran yang dimiliki-Nya dan kebesaran kekuasaan-Nya.
Suhaib al-Rumi berkata kepada istrinya yang baru saja mencelanya karena
banyak bergadang di malam hari, ‚sesungguhnya Allah menjadikan malam
34
Jala>l al-Di>n Muhammad bin Ahmad al-Mahali, Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rahma>n, Tafsir Al-Jala>Lain, 392. 35
Ibnu Katsi>r, Tafsi>r al-Qur’a>n, 435. 36
Kementrian Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, 171. 37
Ibid., 435.
49
hari untuk beristirahat, kecuali bagi suhaib, sesungguhnya suhaib apabila
ingat akan surga rasa rindunya memanjang dan apabila ingat akan neraka,
maka terusirlah rasa kantuknya‛demikianlah menurut riwayat ibnu abu
H{atim.38
Dan menjadikan matahari dan bulan keduanya beredar menurut
perhitungan yang pasti rapi, tidak berubah dan tidak kacau, melainkan
masing-masing dalam musim panas dan musim dinginnya. Sebagai akibat
dari hal tersebut, maka berbeda-bedalah panjang dan pendek malam dan
siang hari.39
Artinya matahari dan bulan itu beredar menurut perhitungannya
sebagaimana yang dijelaskan dalam ayat 5 surah Al-Rahman. Itulah yang
telah tersebut itu ketentuan Allah Yang Maha Perkasa di dalam kerajaan-
Nya lagi Maha Mengetahui seluk-beluk makhluk-Nya.
Tafsir QS. Al-Taubah: 36
‚Sesungguhnya jumlah bulan pada sisi Allah ialah dua belas
bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia
menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan
haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, Maka janganlah
kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan
perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana
38
Ibid., 436. 39
Ibnu Katsi>r, Tafsi>r al-Baya>n, 437
50
merekapun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah
bahwasanya Allah beserta orang-orang yang takwa.40
Dengan turunnya wahyu di atas pada tahun ke-9 setelah Hijrah, Nabi
Muhammad Saw., mengeluarkan dekrit bahwa kalender Islam tidak lagi
bergantung kepada perjalanan matahari yakni memakai kalender Qamariyah
murni dengan menghilangkan bulan Nasi’ bulan ke tiga belas.41
Bahwa,
setahun harus 12 bulan. Dan setiap bulannya sama dengan periode Bulan
mengitari Bumi, yaitu 29,5 hari. Tepatnya 29,530589 hari.
Enam tahun sesudah wafatnya Rasulullah Saw., yakni pada tahun 17
H, Khalifah Umar bin Khat}ab menerima usulan untuk menetapkan
penomeran tahun dalam kalender Islam itu. Yang memberikan usul adalah
gubernur Bas}rah, Abu Musa al-Ash’ari.
Khalifa Umar lantas membentuk panitia untuk membahas dan
merumuskan masalah itu. Panitia tersebur beranggotakan Umar, Uthman bin
affan, Ali bin Abi T{alib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas,
Talhah bin Ubaidillah, dan Zubair bin Awwam. Mereka bermusyawarah
untuk menentukan kapan permulaan tahun pertama dalam penanggalan
Islam.
Maka muncullah tiga usulan peristiwa yang akan dijadikan permulaan
tahun kalender Islam, yaitu:
40
Ibid., 192 41
Cikal bakal kalender Qamariyah ini sebenarnya sudah ada sejak zaman pra Islam di kawasan
Timur Tengah, dengan berpatokan pada matahari dan bulan. Awalnya jumlah bulan dalam
setahun adalah 13 bulan, dengan pergantian tahunnya dipenghujung musim panas yang jatuh
dibulan September. Lihat Agus Mustofa, Jangan Asal Ikut-ikutan Hisab dan Rukyat, 46.
51
1. Tahun kelahiran Nabi Saw., yang bertepatan dengan tahun Gajah
yakni 571 M. Ide dasarnya adalah meniru kalender Masehi, yang
menetapkan tahun kelahiran al-Masih sebagai tahun pertama.
2. Tahun turunnya firman Allah yang pertama, yang bertepatan
dengan tahun 610 M.
3. Tahun hijrahnya Nabi Saw., dari makkah ke Madinah yang
bertepatan dengan tahun 622 M
Akhirnya, panitia kecil itu sepakat memilih opsi yang ketiga, yaitu
tahun hijrahnya Rasulullah dari Makkah ke Madinah. Dan karena itulah,
kalender Islam ini lantas dinamai sebagi kalender Hijriyah.42
Tafsir QS. Yunus: 5-6
‚Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya
dan Dia-lah yang menetapkan tempat-tempat orbitnya, agar
kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah
tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan benar.
Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-
orang yang mengetahui. Sesungguhnya pada pergantian malam
dan siang, dan pada apa yang diciptakan Allah di langit dan di
bumi, pasti terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya) bagi orang-
orang yang bertakwa.43
Dalam Tafsir Jalalain dijelaskan bahwa matahari bersinar dan
matahari mempunyai sinar. Sedangkan dalam tafsir al-Bayan karya al-T}abari
42
Ibid., 50-51. 43
Depag, Al-Qur’an Wanita, 208.
52
menjelaskan bahwa matahri bersinar diartikan sebagai siang, dan dan bulan
bercaya itu sebagai malam. Dan kedua itu mempunyai manzilah atau
peredarannya sendiri, tidak mungkin ada overlapping antar keduanya
selamanya.44
Kalimat manzilah-manzilah dijelaskan dalam tafsir jalalain bahwa
selama dua puluh delapan malam untuk setiap bulan, setiap malam daripada
dua puluh delapan malam itu memperoleh suatu manzilah, kemudian tidak
tampak selama dua malam, jika jumlah hari bulan yang bersangkutan ada
tiga puluh hari atau tidak tampak selama satu malam jika ternyata jumlah
hari bulan yang bersangkutan ada dua puluh sembilan hari.
Ayat yang menyatakan supaya kalian mengetahui ditafsirkan melalui
hal tersebut adalah bilangan tahun dan perhitungan waktu, Allah tidak
menciptakan hal yang disebutkan diatas melainkan dengan hak dan bukan
main-main.45
Berbeda dengan tafsir al-Bayan, menjelaskan tentang ketetapan
manzilah adalah hanya khusus untuk bulan, hal ini dikarenakan bulanlah
yang sebenarnya dijadikan patokan dalam menghitung adanya hari, bulan,
dan tahun, bukan terletak pada matahari.46
Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu silih bergantinya
malam dan siang hari kemudian panjang dan pendeknya malam dan siang
44
Muhammad Ibnu Jari>r bin Katsi>r bin Gha>lib al-Maliki>, Abu Ja’far at{-T{abari>, Jami’ al-Baya>n fi Ta’wi>l Al-Qur’a>n (Tp: Muasasad ar-Risalah, 2000), Jilid 15, 23. 45
Jala>l al-Di>n Muhammad bin Ahmad al-Mahali>, Jala>l al-Di>n ‘Abd al-Rahma>n bin Abi> Bakar al-