BAB III LATAR BELAKANG DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN KRISTOLOGI DALAM PLURALISME AGAMA 3.1. Pendahuluan Setiap agama di Indonesia, tidak dapat memungkiri fakta adanya fenomena pluralitas agama dan pengaruhnya dalam kehidupan bersama. Akan tetapi, di satu sisi, semua agama dan pemeluk agama memiliki klaimnya masing- masing mengenai keabsolutan kebenaran-kebenaran yang diimani atau yang diminati oleh masing-masing agama. Dengan adanya eksistensi agama, di tengah kemajemukan dan keunikan agama, maka sangat berpotensi untuk melahirkan fanatisme terhadap agama sendiri, dan antipati terhadap orang yang memeluk agama lain. Oleh karena itu, para tokoh-tokoh agama terus mengadakan pertemuan-pertemuan untuk berdialog dengan tujuan meningkatkan toleransi antar umat beragama. Di kalangan Kristen sendiri, metode dialogis merupakan kekuatan yang sangat diandalkan. Namun, tanpa disadari metode dialog telah merubah arti dan hakikat masing-masing agama, termasuk merubah arti dan hakikat agama Kristen. Hal ini dikarenakan metode dialog telah melangkah lebih jauh dari metode dialog sebelumnya. Dimana, sebelumnya dialog dilihat hanya sebagai wadah persekutuan antar umat beragama; akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya, dialog menjadi usaha masing-masing agama untuk mempelajari kebenaran agama lain sampai pada taraf menerima keabsahan, kebenaran semua agama.
28
Embed
BAB III LATAR BELAKANG DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN … · 2012. 11. 5. · BAB III LATAR BELAKANG DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN KRISTOLOGI DALAM PLURALISME AGAMA 3.1. Pendahuluan Setiap agama
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB III
LATAR BELAKANG DAN PEMIKIRAN-PEMIKIRAN
KRISTOLOGI DALAM PLURALISME AGAMA
3.1. Pendahuluan
Setiap agama di Indonesia, tidak dapat memungkiri fakta adanya
fenomena pluralitas agama dan pengaruhnya dalam kehidupan bersama. Akan
tetapi, di satu sisi, semua agama dan pemeluk agama memiliki klaimnya masing-
masing mengenai keabsolutan kebenaran-kebenaran yang diimani atau yang
diminati oleh masing-masing agama. Dengan adanya eksistensi agama, di tengah
kemajemukan dan keunikan agama, maka sangat berpotensi untuk melahirkan
fanatisme terhadap agama sendiri, dan antipati terhadap orang yang memeluk
agama lain. Oleh karena itu, para tokoh-tokoh agama terus mengadakan
pertemuan-pertemuan untuk berdialog dengan tujuan meningkatkan toleransi antar
umat beragama.
Di kalangan Kristen sendiri, metode dialogis merupakan kekuatan yang
sangat diandalkan. Namun, tanpa disadari metode dialog telah merubah arti dan
hakikat masing-masing agama, termasuk merubah arti dan hakikat agama Kristen.
Hal ini dikarenakan metode dialog telah melangkah lebih jauh dari metode dialog
sebelumnya. Dimana, sebelumnya dialog dilihat hanya sebagai wadah
persekutuan antar umat beragama; akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya,
dialog menjadi usaha masing-masing agama untuk mempelajari kebenaran agama
lain sampai pada taraf menerima keabsahan, kebenaran semua agama.
Dalam konteks kekristenan, pemikiran dan sikap seperti ini dianut dan dipelopori
oleh kaum pluralis. Kaum pluralis menolak semua klaim agama yang bersifat
eksklusif, absolut, unik dan final. Pluralisme menolak konsep kefinalitasan,
eksklusivisme yang normatif dan keunikan Yesus Kristus. Paradigma ini
merupakan kritik atas kristosentrisme yang muncul dalam kekristenan. Menurut
mereka, semua kebenaran-kebenaran dalam agama dan tentang agama adalah
relatif. Dengan demikian, pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya
yang sangat serius bagi kekristenan.
Sehubungan dengan hal tersebut, maka untuk memahami konsep kaum
pluralis khususnya konsep kristologinya, maka dalam bab ini, penulis akan
memaparkan mengenai pengertian pluralisme, latar belakang bangkitnya
pluralisme, serta pemikiran-pemikiran Kristologi dalam pluralisme.
3.2. Pengertian Pluralisme Agama
Pluralisme1 agama adalah istilah khusus dalam kajian agama-agama.
Pluralisme agama dapat didefinisikan ke dalam tiga pengertian. 2Pertama, ia dapat
menunjuk kepada fakta kemajemukan agama yaitu fakta berbagai macam agama
disepanjang sejarah manusia dalam berbagai kebudayaan. Pluralisme agama
dalam pengertian ini adalah sebuah pernyataan tentang fenomena obyektif
kemajemukan agama-agama. Kedua, pluralisme agama menunjuk kepada fakta
kemajemukan agama dan kesadaran terhadap fakta tersebut. Kesadaran yang
1 Kata Pluralitas mengacu pada konteks yang didalamnya kita hidup–suatu kompleksitas
fenomena masyarakat yang terdiri dari berbagai macam kebudayaan, agama dan ideologi.
Sedangkan Pluralisme adalah suatu paham, sikap yang menerima validitas atau keabsahan bahwa
semua agama adalah sama 2 Daniel B. Clendenin, Many Gods, Many Lords “an interpretative theory about how one
should handle the many competing truth-claims made by the various religions” (Grand Rapids:
Baker, 1995) hlm. 12
membawa kepada persetujuan dan pengakuan bahwa kemajemukan agama
merupakan sesuatu yang baik. Ketiga, pluralisme agama dapat juga berarti
penerimaan terhadap kemajemukan agama-agama dan mengakui bahwa semua
agama pada akhirnya menunju kepada realitas mendasar yang sama dan semua
orang-orang percaya dari keyakinan agama dan iman yang berbeda-beda
mendapat keselamatan yang sama efektif.
Dalam pengertian yang ketiga ini, pluralisme agama merupakan suatu
paham, sikap yang berupaya untuk mengakui dan menerima validitas atau
keabsahan bahwa semua agama adalah sama, sehingga dengan demikian
kebenaran-kebenaran yang beragam dapat saling mengisi dan melengkapi.
Dengan kata lain, mereka saling membuka diri untuk dapat menerima semua
keberadaan agama-agama yang lainnya, dengan tidak membicarakan atau
mempertajam keberbedaan pengajaran agama masing-masing. Jadi, dalam
pengertian ini, pluralisme agama secara sederhana berarti ”agama-agama pada
hakikatnya setara, sama-sama benar dan sama-sama menyelamatkan”. Semua
agama pada dasarnya menuju pada Allah, hanya jalannya yang berbeda-beda.
Sehubungan dengan pengertian di atas tersebut, maka David Breslaur
seperti yang dikutip oleh Wisma Pandia menyebut pluralisme sebagai: suatu
situasi dimana bermacam-macam agama berinteraksi dalam suasana saling
menghargai dan dilandasi kesatuan rohani meskipun mereka berbeda.3 Oleh sebab
itu Newbigin memberikan pendapatnya yaitu: Perbedaan-perbedaan antara agama-
agama adalah bukan pada masalah kebenaran dan ketakbenaran, tetapi tentang
perbedaan persepsi terhadap satu kebenaran; ini berarti bahwa berbicara tentang
3 Wisma Pandia, Teologi Pluralisme Agama-agama (Tangerang : Literatur Sekolah
Tinggi Theologi Injili Philadelphia) hlm. 4-5
kepercayaan-kepercayaan keagamaan sebagai benar atau salah adalah tidak
diperkenankan. Selanjutnya Newbigin mengatakan, bahwa Kepercayaan
keagamaan adalah masalah pribadi. Setiap orang berhak untuk mempercayai iman
masing-masing.4 Walaupun pada kenyataannya bahwa masalah agama bukanlah
semata-mata masalah pribadi tetapi juga masalah sosial. Dimana pada dasarnya
semua orang saling berhubungan antara satu dengan yang lain baik dalam
lingkungan maupun dalam suatu komunitas.
Dari definisi di atas, tampak bahwa pluralisme tidak menolak perbedaan
tetapi menerimanya, malah menolak konsep eksklusivisme yang menganggap
dirinya sendiri yang paling benar dan berbeda dari agama lain sehingga dapat
mengganggu kesatuan yang diinginkan. Pluralisme mengusulkan agar para
pemeluk agama mengakui kebenaran dari semua bentuk keagamaan dan
meninggalkan klaim-klaim masa lalu tentang bentuk agama yang “satu-satunya”
atau yang tertinggi. Pluralisme memberikan satu format keagamaan yang baru,
yaitu semua agama pada dasarnya sama-sama benar dan sama-sama
menyelamatkan.
3.3. Latar Belakang Bangkitnya Pluralisme Agama
3.3.1. Fakta Kemajemukan dan Dialog Agama
Salah satu faktor bangkitnya pluralisme adalah masalah
kemajemukan agama. Fakta tentang keberagaman agama dan
kemajemukannya adalah satu hal yang tidak bisa dipungkiri oleh siapa
pun juga. Kesadaran dan pemahaman akan kemajemukan itu tidak hanya
4 Lesslie Newbigin, Injil Dalam Masyarakat Majemuk (Jakarta: BPKGunung Mulia,
1993) hlm
sampai pada tingkat mengalami keberadaan agama lain, tetapi juga
dituntut untuk membangun hubungan yang baik dan toleransi yang lebih
luas. Dalam masyarakat yang majemuk ini, maka perlu dikembangkan
sikap pluralisme, yakni mengakui, menghormati, bahkan membela
eksistensi orang lain dengan ketotalitasannya, hak dan pola hidupnya,
paham dan keyakinannya. Apabila satu agama menuntut kebebasan
untuk meyakini sepenuhnya agama dan keyakinan mereka maka agama
tersebut pun harus menghormati dan mengakui hak orang lain untuk
meyakini sepenuhnya agama dan keyakinannya juga.5
Teologi pluralisme agama berupaya untuk mencari makna
teologis dari masing-masing agama. Upaya tersebut dimaksudkan untuk
merekonstruksi ajaran agama masing-masing sehingga dapat tercipta
dialog yang sehat antar iman. Upaya tersebut berkaitan dengan keimanan
Kristen, yakni bagaimana kekristenan menafsirkan Kristologi secara
baru sehingga mampu memberi tempat bagi agama-agama lain. Hal ini
disebabkan selama ini, agama Kristen menganggap bahwa agama
mereka yang paling benar dibanding dengan agama lain. Mereka
mengangap bahwa di luar Kristus tidak ada keselamatan. Kristus
merupakan satu-satunya jalan untuk memperoleh keselamatan. Dengan
kata lain, kaum pluralisme mengatakan bahwa kristologi yang ada tidak
dirumuskan dalam konteks pluralisme agama-agama dalam masyarakat
yang majemuk. Bagi kaum pluralis, apabila kristologi di atas tersebut
tidak ditafsirkan kembali, maka dapat menimbulkan konflik antar umat
5 Tim Balitbang PGI, Agama dan Dialog: Pencerahan, Pendamaian dan Masa Depan
(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003) hlm. 459-460
beragama dan cita-cita untuk mewujudkan kesatuan semua agama tidak
akan tercapai.6 Sekalipun pada kenyataannya bahwa konflik tetap terjadi
Faktor lain yang menyebabkan bangkitnya pluralisme agama
adalah adanya usaha mengadakan dialog yang lebih luas sehingga
memungkinkan terjadinya suatu transformasi diri. Tujuan dialog ini
menurut knitter, adalah untuk mengevaluasi diri bahwa jikalau Allah
hanya satu saja, tidakkah layak kalau juga ada hanya satu agama?
Apakah agama-agama itu semuanya mempunyai sesuatu yang sama di
dalam diri mereka? Bagaimanakah agama-agama itu saling berhubungan
satu sama lain? Apakah agama-agama yang banyak sesungguhnya hanya
satu? Lebih spesifik lagi, bagaimanakah agama saya mempunyai kaitan
dengan agama-agama lainnya? Dapatkah saya belajar sesuatu dari
agama-agama lain? Dapatkah saya belajar lebih banyak lagi dari agama-
agama tersebut, ketimbang yang saya dapatkan dari agama saya sendiri?7
Sementara itu tiga orang teolog pluralis Asia yaitu Raimundo
Panikkar, Stanley Samartha, dan Choan Seng Song adalah orang yang
menyetujui konsep dialog sebagai misi utama semua agama, terutama
kekristenan.
Song dan Panikkar setuju bahwa dialog adalah,
”perjumpaan yang sejati dengan orang lain kepercayaan dan ideologi
lain dan menemukan bahwa ada jalan lain untuk mengenal kebenaran
dari pada yang telah dipelajari.” Song mengusulkan adanya pertobatan
dialogis, yaitu: “Berbalik dari memakai dialog sebagai alat untuk
6 Tim Balitbang PGI, Meretas Jalan Teologi Agama-Agama di Indonesia: Theologia
Religionum (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000) hlm. 23
7 Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama: Dialog Multi-Agama dan Tanggung Jawab
Global, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2006) hlm. 130-132
mengubah iman kepercayaan lain dan melangkah masuk ke dalam
kehidupan mitra-mitra dialog.” Stanley Samartha berpendapat bahwa,
“Seorang Kristen harus mendekati dialog atas dasar Teosentris dan
bukan atas dasar Kristosentris. Hal ini membebaskan orang Kristen dari
anggapan diri sebagai pemilik wahyu dan kebenaran satu-satunya.”.
Dengan dasar konsep inkarnasi, ia mendorong supaya orang Kristen
untuk berani berdialog. Oleh karena itu ia mengartikan bahwa dialog
adalah, ”Upaya untuk memahami dan menyatakan partikularitas kita
bukan hanya dalam kaitan dengan warisan kita sendiri tetapi juga dalam
hubungan dengan warisan rohani tetangga-tetangga.” 8
Sedangkan Raimundo Panikkar menyatakan bahwa, “melalui
dialog-dialog pengalaman-pengalaman partikular mengenai kebenaran-
Kristus bagi orang Kristen, Veda bagi orang Hindu dapat diperluas dan
diperdalam sehingga menyingkap pengalaman-pengalaman partikular
mengenai kebenaran. Melalui dialog akan terjadi perluasan dan
pendalaman setiap pengalaman partikular mengenai kebenaran ilahi.
”Song menyetujui bahwa dialog ialah, perjumpaan yang sejati dengan
orang lain kepercayaan dan ideologi lain dan menemukan bahwa ada
jalan lain untuk mengenal kebenaran daripada yang telah kita pelajari. 9
3.3.2. Relativisme Sebagai Salah Satu Titik Tolak Pluralisme.
Berbicara tentang perkembangan pluralisme, maka hal tersebut
tidak terlepas dari masalah relativisme. Relativisme mengatakan bahwa
kebenaran adalah relatif, tergantung siapa yang melihatnya. Penganut
8 Pluralitas Agama dan Dialog. Internet, www. Makalah Sahabat Awam. (Jumat, 5, 08
/2011: 19.30 Wib) 9 Ibid
relativisme percaya bahwa agama-agama yang ada juga bersifat relatif.
Masing-masing agama benar menurut penganut-komunitasnya. Agama
apa pun tidak berhak menghakimi iman orang lain. Yang dimaksud
dengan relativisme, ialah bahwa semua agama adalah relatif, terbatas,
tidak sempurna dan merupakan suatu proses pencarian. Oleh karena itu,
kekristenan adalah agama terbaik untuk orang Kristen, Hindu adalah
agama terbaik untuk orang Hindu. Moto kaum puralis ialah ”agamamu
benar menurutmu, agamaku benar menurutku. Semua agama sama-sama
benar”.10
Relativisme agama seolah-olah ingin membawa prinsip win-
win solution ke dalam area kebenaran.
Menurut Lumintang, Ernst Troelstch merupakan tokoh peletak
Pluralisme modern, memulai refleksi teologisnya dengan berupaya
mengatasi konflik besar antara relativisme dan kemutlakan kristiani.
Titik pijak awalnya dari pemahaman bagaimana Allah menyatakan
dirinya dalam sejarah manusia. Troeltsch berusaha membuat sintesis
antara relativisme historis dan absolutisme religius. Ia mengatakan
bahwa “Masalah yang dihadapi oleh pendekatan sejarah bukanlah
bagaimana membuat sebuah pilihan ini atau itu antara relativisme dan
absolutisme, namun bagaimana menggabungkan keduanya.”11
Tokoh lain yang merupakan peletak dasar Pluralisme yaitu John
Hick dan Gordon Kaufman yang meletakkan relativisme yang lebih
dalam dari Troeltsch. Kaufman mengusulkan agar para pemeluk agama
mengakui relativitas historis semua bentuk keagamaan dan dengan
10
Stevri I Lumintang, Theologia Abu-Abu; Pluralisme Agama, edisi revisi, (Malang:
Gandum Mas, 2004) hlm. 67 11
Ibid
demikian menanggalkan klaim-klaim masa lalu tentang bentuk agama
”satu-satunya” atau bentuk yang ”tertinggi”.12
Hick memberikan makna
lebih jauh terhadap kesadaran tentang relativitas historis. Ia
menyimpulkan:
Tampaknya kita tak mungkin membuat penilaian global bahwa suatu
tradisi keagamaan yang satu lebih banyak menyumbangkan kebaikan
atau lebih sedikit keburukan daripada yang lain; atau bahwa satu tradisi
memberikan keseimbangan yang lebih baik antara kebaikan dan kejahatan
dari pada tradisi lain. Sebagai totalitas yang amat besar dan kompleks,
tradisi-tradisi dunia tampaknya lebih kurang setara satu sama lain. Tak
satupun dapat disebutkan secara khusus sebagai yang sungguh-sungguh
lebih unggul.13
Relativisme telah menjadi api yang membakar semangat kaum
pluralis dalam berdialog dengan pendekatan yang inklusif, dan
membuang finalitas Yesus. Dari pernyataan-pernyataan di atas maka
dapat diambil suatu kesimpulan bahwa relativisme adalah salah satu titik
tolak yang dipakai oleh kaum Pluralis, secara khusus dipakai oleh John
Hick sebagai salah satu dasar dalam meletakkan pandangan pluralis.
3.3.3. Pergeseran Pandangan Teologi Katolik Roma dan Dewan Gereja Dunia.
Munculnya teologi pluralisme agama mulanya dipelopori oleh
para teolog Katolik. Hal ini dikarenakan mereka yang terlebih dahulu
mengubah posisi mereka yang semula eksklusif menjadi inklusif
kemudian menjadi pluralis. Baru beberapa tahun kemudian diikuti oleh
teolog Protestan. Berkaitan dengan hal tersebut, maka ada dua peristiwa
besar yang sangat mempengaruhi perkembangan teologi gereja-gereja
se-dunia, yakni konsili Vatikan II (tahun 1961-1965), dan sidang raya
Dewan Gereja-gereja se-dunia di Uppsala (1968). Beberapa teolog
12
John Hick dan Paul F. Knitter, Mitos Keunikan Agama kristen, (Jakarta: BPk Gunung
Mulia, 2001) hlm, xiii 13
Ibid
Katolik yang pikirannya sangat mempengaruhi perkembangan
pluralisme, yakni Karl Rahner, Raimundo Panikkar, Stanley Samartha
dan Paul F. Knitter. Karl Rahner menghancurkan posisi eksklusivisme
yang tradisional yang dipegang gereja Katolik dengan mengemukakan
teorinya bahwa Allah menghendaki semua orang diselamatkan.14
Knitter mengatakan bahwa Konsili Vatikan II (1961-1965)
merupakan suatu tonggak sejarah tentang agama-agama lain. Dengan
kata lain konsili Vatikan II merupakan tonggak sejarah bagi bangkitnya
semangat pluralisme, dimana belum pernah sebelumnya gereja membuat
pernyataan resmi yang begitu luas dan mendalam yang berhubungan
dengan agama-agama lain; belum pernah sebelumnya gereja Katolik
mengatakan berbagai hal yang positif tentang agama-agama lain; belum
pernah sebelumnya gereja mengajak umat Kristiani untuk bersikap serius
dan berdialog dengan agama-agama lain. Dibandingkan dengan sikap
"extra ecclesiam nulla salus" (di luar gereja, tidak ada keselamatan) yang
berlangsung dari abad ke 15- ke 16.15
Perubahan ini bukan saja terjadi di kubu Katolik tetapi juga dari
Kristen Protestan sendiri, khususnya yang menyebut diri dari aliran arus
utama, yaitu gereja-gereja yang tergabung dalam satu semangat
oikumenikal yang dipayungi oleh Dewan Gereja-gereja se-dunia (DGD).
Sidang Raya IV Dewan Gereja-gereja se-Dunia pada tanggal 14-19 Juli
1968 di Uppsala menjadi titik tolak sikap gereja dalam perjumpaannya
dengan agama-agama lain bahwa: ”Pertemuan dengan orang-orang yang
14
Stevri I Lumintang, Theologia Abu-abu: Pluralisme Agama, hlm. 81-82 15
Paul F. Knitter, Pengantar teologi Agama-Agama, (Yogyakarta: Kanasius, 2008), hlm.
87-88
berbeda keyakinan atau orang-orang yang tidak beriman harus
memimpin kepada dialog. Pendekatan orang Kristen kepada orang yang
tidak beriman harus manusiawi, bersifat pribadi, relevan dan rendah hati.
Sebagai orang Kristen kita percaya bahwa Kristus berbicara dalam
bentuk dialog, menyatakan diri-Nya kepada mereka yang tidak mengenal
Dia dan mengoreksi pengetahuan mereka yang terbatas dan kabur.
Dialog dan proklamasi Injil adalah berbeda. Para teolog yang menganut
dan memelopori pluralisme agama mengembangkan teologi agama-
agama bertolak dari rumusan-rumusan dari hasil beberapa konferensi
yang diadakan oleh DGD. Hal itu mengindikasikan bahwa rumusan-
rumusan DGD turut memberikan kontribusi bagi muncul dan
berkembangnya pluralisme dalam teologi Kristen.16
C.S. Song mendefinisikan misi berarti mencari persekutuan
dengan orang-orang lain dalam kasih Allah, dan menyetujui dialog
sebagai perjumpaan yang sejati dengan orang lain kepercayaan dan
ideologi lain dan menemukan bahwa ada jalan lain untuk mengenal
kebenaran daripada yang telah kita pelajari.17
Ioanes Rakhmat mengakui
bahwa dalam kekristenan terjadi pergesaran sikap terhadap orang
beragama lain, yakni dari monolog menjadi dialog.18
Sedangkan Olaf
Schumann mengatakan, bahwa dialog adalah suatu usaha positif untuk
mendapatkan pengertian yang lebih dalam mengenai kebenaran melalui
saling pengertian akan keyakinan. Dengan kata lain, ia menganjurkan
16
Stevri I Lumintang, Theologia Abu-abu: Pluralisme Agama, hlm.81-88 17