1 | Page/HAM 2017/OTTO GUSTI/stfk ledalero Bab III: Kursus Dasar Faham Hak-hak Asasi Manusia 3.1. Pengertian dan Prinsip-Prinsip HAM Apa itu hak-hak asasi manusia? UU No. 39/1999 tentang HAM mendefinisikan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 ayat 1 UU No. 39/1999). Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia melihat HAM sebagai hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai anugerah Tuhan, yang tak boleh dirampas atau diabaikan oleh siapa pun. HAM merupakan hak yang melekat pada diri manusia kerena kemanusiaannya. Karena itu hak-hak asasi manusia bersifat kodrati dan keberadaannya mendahului sebuah institusi negara. Keberadaan HAM tidak bergantung pada faktor-faktor kontingen seperti asal-usul, ras, jenis kelamin, bangsa dan agama. Karena bersifat kodrati, hak asasi tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negara. Negara dapat saja tidak mengakui hak-hak asasi itu. Dengan demikian, hak-hak asasi tidak dapat dituntut di depan hakim. Tetapi, dan itulah yang menentukan, hak-hak itu tetap dimiliki. Orang boleh saja merampas jam tangan saya, tapi jam tangan tersebut tetap milik saya. Karena itu hak-hak asasi seharusnya diakui. Tidak mengakui hak- hak yang dimiliki manusia sebagai manusia menunjukkan bahwa dalam negara itu martabat manusia belum diakui sepenuhnya. Sebagai hak kodrati faham hak-hak asasi manusia memiliki beberapa prinsip umum: 1) Universal: hak asasi manusia dimiliki manusia karena ia manusia, maka hak-hak itu berlaku bagi semua manusia atau bersifat universal. Setiap orang memiliki hak- hak itu sejauh ia termasuk species homo sapiens, dan bukan karena cirri-ciri tertentu yang melekat pada dirinya. Hal ini dirumuskan secara jelas dalam Deklarasi Universal HAM PBB tahun 1948, Pasal 2: “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan yang tercantum dalam Pernyataan ini dengan tak ada perkecualian apa pun, seperti misalnya bangsa, wana kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, milik kelahiran ataupun kedudukan lain.” 2) Kesetaraan dan non diskriminasi: semua manusia memiliki martabat dan hak yang sama. Tidak seorang pun boleh didiskriminasi berdasarkan ras, suku bangsa, warna kulit, jenis kelamin, orientasi seks, usia, bahasa, agama, keyakinan politik, kebangsaan, kepemilikan, kelahiran, daerah asal. 3)Tidak dapat dicabut: hak asasi melekat pada setiap manusia dan tidak seorangpun yang boleh mengurangi atau
22
Embed
Bab III: Kursus Dasar Faham Hak-hak Asasi Manusia 3.1. … · · 2017-02-20sebagai abad lahirnya faham hak-hak asasi manusia. Akan tetapi pada fase ini tatanan kekuasaan tradisional
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o
Bab III: Kursus Dasar Faham Hak-hak Asasi Manusia
3.1. Pengertian dan Prinsip-Prinsip HAM
Apa itu hak-hak asasi manusia? UU No. 39/1999 tentang HAM mendefinisikan
HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia
sebagai makhluk Tuhan dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia (Pasal 1 ayat 1
UU No. 39/1999).
Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia melihat HAM sebagai hak-hak dasar
yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal dan abadi sebagai
anugerah Tuhan, yang tak boleh dirampas atau diabaikan oleh siapa pun. HAM
merupakan hak yang melekat pada diri manusia kerena kemanusiaannya. Karena
itu hak-hak asasi manusia bersifat kodrati dan keberadaannya mendahului sebuah
institusi negara. Keberadaan HAM tidak bergantung pada faktor-faktor kontingen
seperti asal-usul, ras, jenis kelamin, bangsa dan agama. Karena bersifat kodrati, hak
asasi tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku oleh negara. Negara
dapat saja tidak mengakui hak-hak asasi itu. Dengan demikian, hak-hak asasi tidak
dapat dituntut di depan hakim. Tetapi, dan itulah yang menentukan, hak-hak itu
tetap dimiliki. Orang boleh saja merampas jam tangan saya, tapi jam tangan tersebut
tetap milik saya. Karena itu hak-hak asasi seharusnya diakui. Tidak mengakui hak-
hak yang dimiliki manusia sebagai manusia menunjukkan bahwa dalam negara itu
martabat manusia belum diakui sepenuhnya.
Sebagai hak kodrati faham hak-hak asasi manusia memiliki beberapa prinsip umum:
1) Universal: hak asasi manusia dimiliki manusia karena ia manusia, maka hak-hak
itu berlaku bagi semua manusia atau bersifat universal. Setiap orang memiliki hak-
hak itu sejauh ia termasuk species homo sapiens, dan bukan karena cirri-ciri tertentu
yang melekat pada dirinya. Hal ini dirumuskan secara jelas dalam Deklarasi
Universal HAM PBB tahun 1948, Pasal 2: “Setiap orang berhak atas semua hak dan
kebebasan yang tercantum dalam Pernyataan ini dengan tak ada perkecualian apa
pun, seperti misalnya bangsa, wana kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau
pendapat lain, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, milik kelahiran ataupun
kedudukan lain.”
2) Kesetaraan dan non diskriminasi: semua manusia memiliki martabat dan hak yang
sama. Tidak seorang pun boleh didiskriminasi berdasarkan ras, suku bangsa, warna
kulit, jenis kelamin, orientasi seks, usia, bahasa, agama, keyakinan politik,
kebangsaan, kepemilikan, kelahiran, daerah asal. 3)Tidak dapat dicabut: hak asasi
melekat pada setiap manusia dan tidak seorangpun yang boleh mengurangi atau
2 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o
menghilangkan hak tersebut. 4) Tidak bisa dibagi: setiap hak asasi punya posisi yang
sama pentingnya bagi martabat manusia. Tidak ada satu hak asasi yang lebih tinggi
dari hak asasi lainnya. Terpenuhinya hak yang satu mengandaikan atau
mensyaratkan terpenuhinya hak lain. Hak sipil politik ada kaitannya dan tidak bisa
dipisahkan dengan hak ekonomi, sosial dan budaya. 5)Saling tergantung dan
berkaitan: semua hak asasi bergantung dan berkaitan satu sama lainnya. 6)
Akuntabilitas/tanggung gugat: negara dan pihak-pihak lain memiliki kewajiban untuk
menegakkan hak asasi dan memasukkan standard internasional hak asasi ke dalam
hukum nasional. 7) Partisipasi/inklusi: setiap manusia berhak untuk berpartisipasi
dalam dan mendapatkan akses atas informasi terkait dengan proses pengambilan
keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka.
3.2. Sejarah Perkembangan HAM
Ernst Tugendhat menyebut dua fase penting dalam sejarah perkembangan faham
hak-hak asasi manusia. Tahap pertama ialah fase perkembangan di Inggris dari
munculnya Magna Charta hingga Bill of Richts. Tahap kedua ditandai dengan masa
transisi menuju demokratisasi.1
Pada tahap pertama perkembangan sejarah hak asasi manusia berpuncak pada abad
ke-17 sebagai masa lahirnya faham hak-hak asasi manusia di Inggris. Prestasi ini
melewati tahapan perkembangan selama empat abad yang berawal dengan lahirnya
Magna Charta Libertatum. Sebelum adanya Magna Charta Libertatum raja Inggris
memiliki kekuasaan berdasarkan tradisi. Tradisi merupakan sumber legitimasi
kekuasaan raja. Pada tahun 1215 lahirlah Magna Charta Libertatum yang membatasi
kekuasaan absolut sang raja. Magna Charta melindungi warga masyarakat, kendati
hanya berlaku untuk kelas tertentu (bangsawan), dari tahanan, hukuman dan
perampasan harta benda secara sewenang-wenang.
Pada tahun 1679 muncul sebuah dokumen juridis bernama Habeas Corpus. Dokumen
ini merupakan sebuah dokumen keberadaban hukum bersejarah yang menetapkan
bahwa seseorang yang ditangkap dan ditahan selambat-lambatnya tiga hari
setelahnya harus dihadapkan ke depan hakim dan diberitahu atas alasan apa dia
ditahan. Penahahanan terhadap seseorang hanya memiliki legitimasi atas perintah
hakim.
1 Bdk. E. Tugendhat, “Die Kontroverse um die Menschenrechte“, dalam: S. Gosepath dan G.
Lohmann (Ed.), Philosophie der Menschenrechte, Frankfurt am Mein: Suhrkamp Verlag, 1998,
hal. 48
3 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o
Ketika Glorious Revolution berhasil menggulingkan Raja James II, muncullah
penggantinya William von Orange. Berdasarkan Bill of Rights (1689) ia harus
mengakui kekuasaan dan hak-hak parlemen. Dengan demikian Inggris merupakan
negara pertama yang memiliki konstitusi moderen. Dan abad ke-17 dipandang
sebagai abad lahirnya faham hak-hak asasi manusia. Akan tetapi pada fase ini
tatanan kekuasaan tradisional tak pernah dipersoalkan. Yang ada ialah pembatasan
kekuasaan dan wewenang raja. Perkembangan di Inggris ini sangat dipengaruhi
oleh filsafat John Locke (1632-1704) yang, di samping menuntut toleransi religius
(kecuali terhadap orang Katolik dan ateis), megemukakan bahwa semua orang
diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah (natural rights) yang tidak dapat
dilepaskan seperti hak hidup, kemerdekaan, milik dan mengusahakan kebahagiaan.
Fase kedua ialah masa transisi menuju demokrasi. Pada masa ini sumber legitimasi
kekuasaan tradisional mulai dipersoalkan. Legitimasi kekuasaan bukan lagi tradisi
tapi dibangun di atas kehendak bebas individu. Warga negara bukan lagi bawahan
sang raja. Ia berhak mengambil bagian dalam konstelasi kekuasaan lewat hak
memilih. Dengan demikian setiap individu ikut menentukan perputaran roda
politik.
Hak-hak asasi manusia dirumuskan dalam perjalanan sejarah sebagai tanggapan
atas persoalan dan tantangan yang dihadapi masyarakat dalam konteks tertentu.
Tidak semua hak itu dirumuskan dalam waktu bersamaan, tapi dalam waktu
berbeda sesuai dengan tantangan zaman. Atas dasar perkembangan persoalan dan
jawaban atasnya, faham hak-hak asasi manusia dapat dikelompokkan ke dalam tiga
generasi dan lima kelompok.
Generasi pertama adalah hak asasi manusia yang diangkat dalam perlawanan
terhadap kesewenangan para raja dan bangsawan, jadi dalam pemberontakan
masyarakat terhadap monopoli kekuasaan kaum feodal. Hak- hak itu dirumuskan
sejak akhir abad ke-17 dan mendapat rumusan klasik dalam daftar hak-hak asasi
manusia dan warga negara yang disahkan oleh Parlemen Prancis 1789 sebagai salah
satu buah pertama dari Revolusi Prancis. Dalam generasi pertama itu, termuat tiga
kelompok hak-hak asasi manusia: (1) Kebebasan-kebebasan dasar, seperti misalnya
kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang, kebebasan beragama, kebebasan
untuk bergerak, kebebasan untuk mencari informasi. (2) Hak-hak dasar demokratis,
seperti: hak untuk berkumpul dan berserikat, untuk menyatakan pendapatnya
secara lisan dan tertulis, hak untuk ikut aktif dan pasif dalam pemilihan umum. (3)
Hak atas perlindungan negara, misalnya terhadap serangan kriminal, hak atas
proses pengadilan yang adil, termasuk untuk mendapat pembela. Latar belakang
4 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o
filosofis tiga macam hak asasi itu adalah liberalism (John Locke dan Montesquieu)
dan republikanisme (J.J. Rousseau).
Generasi kedua hak-hak asasi manusia lahir sebagai hasil perjuangan kaum buruh
industri dan kelompok-kelompok kelas bawah lain di abad ke-19. Latar belakang
filosofisnya adalh sosialisme. Generasi kedua ini memuat hak-hak asasi sosial,
seperti hak atas tempat tinggal atas pekerjaan, atas upah yang adil, atas nafkah
hidup. Pasal 33 dan 34 UUD 1945 termasuk kelompok ini.
Generasi ketiga hak-hak asasi manusia baru muncul sesudah kolonialisme
dipatahkan dan memuat kelompok hak-hak asasi manusia yang kelima, hak-hak
kolektif, misalnya hak minoritas atas kelestarian budaya dan identitas sosial dan
religius mereka.
3.3. Universalitas dan Kontekstualitas HAM
Prinsip universalitas HAM sering mendapat gugatan dan kritik. Pertanyaan
fundamental yang muncul di sini ialah mengapa faham HAM itu baru disadari dan
dirumuskan di Inggris pada abad ke-17 jika hak-hak tersebut memang dianggap
universal? 2 Kenyataan itu menunjukkan sesuatu yang amat penting: Kesadaran
bahwa manusia memiliki hak-hak asasi itu baru muncul dalam sebuah konteks.
Konteks itu adalah modernitas.
Secara lebih umum dapat dikatakan bahwa konteks munculnya kesadaran akan
hak-hak asasi manusia adalah robohnya masyarakat tradisional dan munculnya
masyarakat moderen. Hak-hak asasi manusia baru dapat disadari sesudah struktur-
struktur sosial tradisional yang melindungi individu dan kelompok-kelompok
masyarakat tidak lagi berdaya, jadi sesudah masing-masing kelompok dan golongan
tidak lagi dilindungi oleh adat dan tradisi.
Selama keutuhan manusia masih terjamin oleh adat dan struktur-struktur sosial
lainnya belum ada kebutuhan untuk merumuskan paham hak asasi manusia. Tetapi
dalam situasi perubahan sosial di mana individu (yang ditangkap kopkamtib),
kelompok orang (kelompok tani yang tanahnya digusur untuk lapangan golf),
golongan (misalnya agama minoritas) maupun suku ( suku terasing yang hutan
ulayatnya mau dieksploitasi) terancam oleh kekuasaan negara maupun kekuatan-
kekuatan sosial lain, hak-hak asasi manusia semakin menjadi sarana untuk
menjamin keutuhan individu, kelompok, golongan dan suku itu.
Antara kontekstualitas dan universalitas hak-hak asasi manusia tak ada
pertentangan. Universalitas menyangkut isi hak-hak asasi manusia, sedangkan
2 Bdk. F. Magnis-Suseno, op.cit., hal. 163
5 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o
kontekstualitas menyangkut relevansinya. Hak-hak asasi memang berlaku
universal, jadi segenap orang harus diperlakukan sesuai dengan hak-hak itu, tetapi
dalam konteks pramoderen kewajiban itu belum relevan, karena sudah dijamin
lewat sarana-sarana sosial tradisional.
Pertimbangan itu tadi menunjukkan sesuatu: memang ada kaitan antara paham hak
asasi manusia dan masyarakat moderen yang lebih individualistik. Akan tetapi,
kaitan itu berbeda dari apa yang sering dituduhkan. Hak-hak asasi manusia
bukannya mendukung penyebaran individualisme, melainkan membendungnya.
Hak-hak asasi manusia adalah sarana etis dan hukum untuk melindungi individu,
kelompok maupun golongan yang lemah terhadap kekuatan-kekuatan raksasa
dalam masyarakat moderen.
Itu juga berlaku di Indonesia. Indonesia sudah lama bukan lagi masyarakat
tradisional. Bukan konsepsi hak-hak asasi manusia yang membongkar struktur-
struktur sosial tradisional di Indonesia, melainkan proses modernisasi sendiri yang
membongkarnya. Proses itu untuk sebagian merupakan akibat tak terelakkan
globalisasi komunikasi dan perekonomian, tetapi untuk sebagian sudah
diinisiasikan oleh kekuasaan colonial, dan kemudian secara sadar dipacu oleh
semua pemerintah kita. Jauh sebelum hak-hak asasi manusia menjadi isu dalam
masyarakat luas, individualisasi individu Indonesia sudah menjadi kenyataan. Hal
ini dapat ditunjukkan lewat empat faktor berikut: Pertama, kita mempunyai sistem
pendidikan yang 100 persen Barat, modern, individualistik dengan sistem penilaian
yang berfokus pada prestasi individu. Kedua, ekonomi pasar diganti dengan
ekonomi uang, di mana pemilikan individual terhadap uang menentukan hidup
matinya seseorang. Ketiga, segala urusan administrasi negara maupun swasta
individualistik murni (tak ada KTP kolektif). Keempat, semakin banyak orang harus
secara individual mencari tempat kerja untuk tidak mati kelaparan.
Keempat fakta di atas menunjukkan bahwa mekanisme sosial kita yang bernama
kekeluargaan dan gotong-royong sudah tak mampu lagi melindungi individu.
Struktur-struktur sosial lama tinggal kulitnya saja, tapi substansinya sudah rusak
dan individu berada dalam bahaya dihancurkan oleh tekanan dari kekuatan-
kekuatan sosial moderen (negara dan birokrasi, korporasi dan kekuatan-kekuatan
raksasa lainnya). Persis itulah situasi di mana konsepsi hak-hak asasi manusia
memainkan peranannya: hak-hak itu secara efektif melindungi manusia, baik
individu maupun kelompok atau golongan, terhadap kekuatan-kekuatan sosial
raksasa itu. Memacu modernisasi masyarakat di semua bidangdan sekaligus
memakai nilai-nilai budaya tradisional untuk menolak pengakuan hak-hak asasi
masyarakat kelihatan kontradiktif.
6 | P a g e / H A M 2 0 1 7 / O T T O G U S T I / s t f k l e d a l e r o
Jadi bukannya hak-hak asasi manusia mendorong individualism, melainkan hak-
hak asasi manusia itu melindungi individu, kelompok dan golongan-golongan yang
terancam dalam masyarakat moderen. Karena itu keliru kalau ada anggapan bahwa
hak-hak asasi manusia merupakan tanda egoisme. Sebaliknya yang benar: jaminan
terhadap hak-hak asasi manusia merupakan tanda solidaritas dan kepedulian sosial
dalam masyarakat yang bersangkutan. Karena menjamin hak-hak asasi manusia
berarti: Masyarakat memasang standar atau tolok-ukur bagaimana segenap anggota
masyarakat harus diperlakukan dan bagaimana tidak, entah dia kuat atau lemah,
menang atau kalah. Hak-hak asasi selalu berupa perlindungan bagi pihak yang
lemah: Minoritas-minoritas etnis, religius, budaya, atau bahasa dilindungi terhadap
mayoritas kuat, mayoritas mereka yang secara sosial dan ekonomi lemah terhadap
elite atau kelompok berkuasa di atas, wanita terhadap pria, dll.
Hak-hak asasi manusia adalah jaminan yang diberikan oleh pihak kuat kepada
pihak lemah dalam masyarakat: meskipun kau tak punya kekuatan, tetapi kau tetap
akan diperlakukan sebagai manusia dan tetap boleh hidup sesuai dengan harkatmu
sebagai manusia. Maka, jauh daripada individualisme, hak-hak asasi manusia
merupakan sarana utama untuk menjamin solidaritas antara yang kuat dan lemah
dalam masyarakat modern. Mengakui hak-hak asasi manusia berarti, bahwa dalam
masyarakat itu mereka yang lemah atau minoritas tetap merupakan warga
masyarakat yang sama bebas dan terhormat dalam harkat kemanusiaannya dengan
yang lain-lain. Semua kasus hak asasi manusia selalu menyangkut pihak yang
lemah, yang terancam, yang tidak dapat membela diri, yang dianggap tidak
berguna.
Dalam kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik moderen, hak-hak asasi manusia