25 BAB III IDENTIFIKASI DATA A. Identifikasi Obyek Perancangan 1. Sangiran Sangiran sebenarnya adalah nama kembar dari dua pedukuhan kecil yang terletak di perbatasan Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Kedua pedukuhan ini dipisahkan oleh Kali Cemoro yang mengalir dari Kaki Gunung Merapi menuju ke Sungai Bengawan Solo. Dukuh Sangiran sisi utara terletak di Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragendan Dukuh Sangiran sisi selatan masuk wilayah Desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Dari nama kembar pedukuhan itulah Sangiran berasal yang sekarang telah dijadikan nama dari sebuah kawasan situs manusia purba yang cukup penting di antara jajaran situs-situs manusia purba lain di dunia yang jumlahnya sangat terbatas. Situs Manusia Purba Sangiran berada di dalam kawasan Kubah Sangiran. Kubah tersebut terdapat di Depresi Solo, di kaki Gunung Lawu kurang lebih 18 km sebelah utara kota Solo ke arah kota Purwodadi. Tepatnya Museum Sangiran beralamat di Desa Krikilan, Kec. Kalijambe, Kab. Daerah Tingkat II Sragen. Secara astronomis situs manusia purba sangiran terletak antara 110 o 49‟ hingga 110 o 53‟ Bujur Timur, dan antara 07 o 24‟hingga 07 o 30‟ Lintang Selatan. Situs Sangiran ini dianggap penting karena memiliki keutamaan antara lain, bahwa situs ini areal sebaran temuannya sangat luas yaitu ± 59,21 Km 2 berada di wilayah Kabupaten Seragen dan Karanganyar, dan mengalami masa hunian oleh manusia
26
Embed
BAB III IDENTIFIKASI DATA A. Identifikasi Obyek Perancangan · manusia purba yang cukup penting di antara jajaran situs-situs manusia purba lain di dunia yang jumlahnya sangat terbatas.
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
25
BAB III
IDENTIFIKASI DATA
A. Identifikasi Obyek Perancangan
1. Sangiran
Sangiran sebenarnya adalah nama kembar dari dua pedukuhan kecil yang
terletak di perbatasan Kabupaten Sragen dan Kabupaten Karanganyar, Jawa
Tengah. Kedua pedukuhan ini dipisahkan oleh Kali Cemoro yang mengalir dari
Kaki Gunung Merapi menuju ke Sungai Bengawan Solo. Dukuh Sangiran sisi
utara terletak di Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragendan
Dukuh Sangiran sisi selatan masuk wilayah Desa Krendowahono, Kecamatan
Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar. Dari nama kembar pedukuhan itulah
Sangiran berasal yang sekarang telah dijadikan nama dari sebuah kawasan situs
manusia purba yang cukup penting di antara jajaran situs-situs manusia purba lain
di dunia yang jumlahnya sangat terbatas.
Situs Manusia Purba Sangiran berada di dalam kawasan Kubah Sangiran.
Kubah tersebut terdapat di Depresi Solo, di kaki Gunung Lawu kurang lebih 18
km sebelah utara kota Solo ke arah kota Purwodadi. Tepatnya Museum Sangiran
beralamat di Desa Krikilan, Kec. Kalijambe, Kab. Daerah Tingkat II Sragen.
Secara astronomis situs manusia purba sangiran terletak antara 110o49‟ hingga
110o53‟ Bujur Timur, dan antara 07
o24‟hingga 07
o30‟ Lintang Selatan. Situs
Sangiran ini dianggap penting karena memiliki keutamaan antara lain, bahwa situs
ini areal sebaran temuannya sangat luas yaitu ± 59,21 Km2 berada di wilayah
Kabupaten Seragen dan Karanganyar, dan mengalami masa hunian oleh manusia
26
purba paling lama dibanding situs-situs lain di dunia, yaitu di huni oleh manusia
purba selama lebih dari satu juta tahun dengan jumlah temuan fosil manusia purba
yang cukup melimpah, yaitu mencapai 50% populasi homo erectus di dunia.
Penelitian tentang Situs Sangiran dimulai tahun 1893, ketika untuk pertama
kalinya situs ini didatangi peneliti Eugene Dubois yang pada saat itu sedang
dalam pencarian untuk mencari fosil nenek moyang manusia. Namun karena
kurang serius meneliti di sangiran, maka dia tidak berhasil mendapatkan temuan
yang dicarinya. Temuan yang ia cari justru didapatkannya di Trinil, Ngawi, Jawa
Timur. Pada tahun 1932 L.J.C. van Es melakukan pemetaan secara geologis di
Sangiran dan sekitarnya. Peta inilah yang kemudian digunakan oleh G.H.R. von
Koenigswald pada tahun 1934 untuk melakukan survei eksploratif dengan temuan
beberapa artefak prasejarah. Ia berkerja pada pemerintahan Belanda sebagai staf
di Dinas Pertambangan di Bandung pada tahun 1930-an dibantu oleh Toto
Marsono, Kepala Desa Krikilan pada masa itu yang telah melatih masyarakat
Sangiran mempelajari tentang fosil dan cara penanganannya secara profesional.
Setiap hari Toto Marsono atas perintah G. H. R. Von Koenigswald mengerahkan
penduduk sangiran untuk mencari balung buto (Bahasa Jawa = tulang raksasa)
demikian penduduk Sangiran mengistilahkan temuan tulang-tulang berukuran
besar itu. Hasil penelitian dikumpulkan di rumah Kepala Desa Krikilan, Bapak
Toto Marsono sampai tahun 1975. Karena banyaknya wisatawan yang
berdatangan, maka muncul ide untuk membangun sebuah museum melalui Bupati
Sragen di desa Krikilan Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen. Pada awalnya
Museum Sangiran dibangun diatas tanah seluas 1000 m2dan diberi nama
“Museum Plestosen” yang terletak disamping Balai Desa Krikilan. Sebuah
27
museum yang representatif baru dibangun pada tahun 1983 oleh pemerintah pusat
di atas tanah seluas 16.675 m2
karena semakin banyaknya temuan fosil yang
dihasilkan dan sekaligus bertujuan melayani wisatawan. Sejak ditetapkannya
Museum Manusia Purba Sangiran sebagai warisan dunia oleh UNESCO dengan
nama Sangiran The Early Man Site pada tanggal 5 Desember 1996, di Museum
Sangiran terus dilakukan penambahan dan pembenahan fasilitas pendukung guna
mempertegas keberadaannya sebagai salah satu warisan dunia yang memiliki
peran penting bagi perkembangan ilmu pengetahuan maupun untuk menciptakan
kenyamanan bagi para wisatawan yang berkunjung ke museum ini. Tahun 1998
Dinas Pariwisata Propinsi Jawa Tengah melengkapi kompleks Museum Sangiran
dengan bangunan audio visual di sisi timur museum dan tahun 2002 Bupati
Sragen mengubah interior ruang kantor dan ruang pertemuan menjadi ruang
pameran tambahan. Karena dianggap masih kurang representatif dan potensi Situs
Sangiran perlu dikembangkan demi kesejahteraan masyarakat luas, maka pada
tahun 2004 telah disusun masterplan dan pada tahun 2007 disusun DED (Detail
Enginering Design). Berdasarkan Masterplan dan DED tersebut maka pada tahun
2008 hingga 2014 di Situs Sangiran dibangun 5 museum di 4 klaster. Ke empat
museum klaster ini adalah Museum Manusia Purba Klaster Bukuran, Museum
Manusia Purba Klaster Ngebung, Museum Manusia Purba Klaster Dayu, dan
Museum Lapangan Manyarejo. Masing-masing museum tersebut memiliki tema
sajian yang berbeda sesuai dengan potensi masing-masing lokasi.
Di Museum Manusia Purba Sangiran ini terdapat sekitar 13.809 koleksi fosil
manusia purba dan merupakan terlengkap di Asia. Ada juga fosil hewan bertulang
belakang, fosil binatang air, batuan, fosil tumbuhan laut, alat-alat batu, dan
28
beberapa jenis hewan seperti badak, sapi, rusa, banteng, dan kerbau. Tersedia juga
ruang audio visual untuk menyaksikan fosil tinggalan kehidupan masa prasejarah
di Sangiran. Museum Sangiran saat ini menjadi sebuah museum megah dengan
arsitektur modern. Di sini kita dapat melihat dari dekat koleksi fosil manusia
purba, binatang yang hidup pada masa itu, hingga peralatan yang digunakannya.
2. Museum Manusia Purba Klaster Dayu Sangiran
Museum purbakala Dayu beserta situs arkeologinya merupakan bagian dari
Situs Manusia Purba Sangiran yang dikelola oleh Balai Pelestarian Situs Manusia
Purba Sangiran yang berpusat di Desa Krikilan Kec. Kalijambe Kab. Sragen.
Museum ini diresmikan pada tanggal 19 Oktober 2014 oleh Wakil Presiden RI
Prof. Dr Boediono bersama dengan Museum Manusia Purba Sangiran di Klaster
Ngebung dan Bukuran. Museum purbakala Dayu adalah satu-satunya museum
klaster sangiran yang berlokasi di Kabupaten Karanganyar dan menempati lahan
seluas kurang lebih 10.500 m2 yang terletak di desa Dayu, Kecamatan
Gondangrejo Kabupaten Karanganyar. Sejak pertengahan tahun 1990-an hingga
sekarang, daerah Dayu menjadi pusat perhatian para peneliti, sudah lebih dari 30
kotak test-pit di buka di lokasi ini. Di museum ini kita dapat melihat dan
mempelajari jejak kehidupan manusia purba dari struktur dan lapisan tanah yang
telah ada berjuta-juta tahun silam. Selain itu, di Museum Dayu dapat diperoleh
informasi lengkap tentang kehidupan manusia purba di pulau Jawa yang dapat
menyumbang perkembangan ilmu pengetahuan seperti antropologi, arkeologi,
geologi, paleoantropologi, magantropus, erektus, dan lain-lain. Lokasi ini menjadi
lokasi temuan fosil-fosil yang merupakan jejak kehidupan manusia purba juga
menjadi pusat penelitian ilmu pengetahuan tentang kehidupan Pra sejarah. Situs
29
ini banyak menyimpan kekayaan memori kehidupan sejak jutaan tahun silam,
baik itu kehidupan flora, fauna, maupun manusia dan budayanya, serta merekam
perubahan lingkungan yang pernah terjadi di Sangiran jutaan tahun silam.
Penelitian-penelitian di Dayu memberikan hasil yang sangat spektakuler, seperti
pada tahun 2004 hingga 2006 ditemukannya lapisan pasir flufio-volkanik di
bawah lapisan lempung hitam Foramsi Pucangan yang terdapat bukti-bukti
kehidupan manusia berupa alat-alat serpih Sangiran (Sangiran Flake Industry)
dengan kuantitas lebih dari 200 artefak. Alat-alat serpih ini merupakan budaya
manusia purba paling tua di Indonesia, dan diyaini sebagai budaya Homo Erectus
arkaik yang hidup pada kala Plestosen Bawah di Sangiran.
Museum Dayu berdiri di atas lahan yang khusus dipilih dan dirancang
sebagai sajian contoh lapisan tanah dari 4 zaman dalam rentang masa 100 ribu
hingga 1,8 juta tahun silam, Museum dayu menjelma menjadi pusat informasi
tentang pelapisan tanah purba dan budaya manusia jenis Homo Erectus
terlengkap.
Museum Dayu hadir dengan tema Apresiasi Ekskavasi dan Penelitian
Mutakhir. Museum ini memberikan gambaran mengenai lapisan tanah di Dayu,
kehidupan Kala Plestosen Bawah, dan penemuan artefak batu yang tertua di
Indonesia dalam ekskavasi di Dayu. Informasi yang populer disertai tata pamer
dan display menarik, serta sentuhan teknologi terkini menjadikan museum ini
layak menjadi tujuan wisata edukasi dan sumber ilmu pengetahuan tentang masa
lalu. Pengunjung akan diajak berjalan menuruni tangga menuju masa jutaan tahun
silam. Museum ini merupakan pengembangan untuk pemanfaatan Situs Sangiran.
Di sekitar lokasi museum sampai sekarang masih ditemukan fosil. Tujuan utama
30
pendirian Museum Dayu adalah mempresentasikan tentang kehidupan manusia
antara 1,2 sampai 0,3 juta tahun yang lalu dan informasi hasil penelitian terkini.
Pada Museum Manusia Purba Sangiran Klaster Dayu terdapat tiga jenis
ruang display, yaitu ruang shelter (anjungan), ruang diorama, dan ruang pamer.
Pada masing-masing ruang anjungan terdapat sajian fosil binatang yang berbeda-
beda. Secara umum sajian fosil binatang disesuaikan dengan penemuannya pada
masing-masing lapisan tanah. Ruang shelter terbagi menjadi tiga anjungan yaitu:
a. Anjungan Notopuro
Anjungan ini berdiri di atas lapisan tanah yang terbentuk 250.000
tahun yang lalu
Inilah sangiran 250 ribu tahun yang silam. Hamparan padang
rumput berseling belukar dialiri sungai, dengan iklim kerontong di
musim kemarau. Pada kala plestoaran atas, sangiran banyak dihuni fauna
pemakan rumput. Kelompok bovidae seperti kerbau, banteng, sapi, dan
gerombolan babi hutan ( Suidae ) mendominasi kawasan ini hidup pula
gerombolan gajah purba ( Elephantidae) yang merayah semak belukar,
kacang kacangan,dan bunga-bungaan khas stepa. Tak jarang, punggung
bukit sangiran diramikan oleh banteng dan badak yang berebut pangan
dan ruang hidup. Di lembah sungai yang surut, buaya mesti berbagi
ruang dengan kuda sungai ( hippopotamidae ). Predator seperti Macan
Ngandong (Phanthera tigris soloensis) kerap singgah di bukit Sangiran
untuk mencari makan. Demikian pula, kelompok manusia Homo erectus
merambah lembah Sangiran untuk mempertahankan hidup. Memburu
dan diburu!
31
Meski air masih melimpah di musim hujan, musim kemarau
menjadi musim tak ramah lagi bagipenghuni Sangiran. Di musim ini,
debit air sungai mengecil dan mendangkal.persainganpun semakin
sempit. Hukum evolusi pun berlaku: survival of the fittnes (siapa siap dia
akan bertahan).
Fosil yang di pamerkan pada anjungan ini adalah fragmen fosil
tulang paha gajah purba (femur) Elephantidae.
b. Anjungan Kabuh
Anjungan ini berdiri di atas lapisan tanah yang terbentuk 730.000
tahun yang lalu. Sangiran pada masa 730 – 250 ribu tahun yang lalu
merupakankawasan aliran sungai yang cukup hijau, dengan dominasi
rerumputan berseling pohon besar. Hewan herbivora seperti banteng,
badak,dan gajah purba bergerombol merumput di bawah pohon rindang
yang berseling semak belukar. Kelompok manusia Homo erectus pun
acapkali menyeruak dan menghalau hewan untuk mempertahankan ruang
hidupnya.
Kadangkala dari atas bukit, homo erectus menuruni lembah tepian
sungai besar untuk membuat alat batu dan mengumpulkan makanan
seperti kacang-kacangan, umbi, dan telur. Mereka kadang memburu
hewan-hewan antara lain babi hutan, kijang, dan sapi. Para pemburu
lincah dan cekatan ini sanggup memojokkan hewan buruannya, sebelum
menujah mereka dengan kayu runcing atau merajamnya dengan batu.
Sungai yang lebar dan berkelok menyediakan air yang berlimpah
bagi hewan dan manusia yang hidup pada masa itu. Lingkungan seperti
32
ini juga menjadi habitat yang baik bagi buaya dan kuda sungai. Selama
500 ribu tahun banyak peristiwa alam dan perubahan iklim terjadi
sehingga lingkungan Sangiran kerap berubah-ubah. Menjelang akhir kala
plestosen tengah aktivitas gunung api meningkat. Letusan-letusan
dahsyat berasal dari gunung-gungung khusunya Gunung Lawu Purba.
Fosil yang di pamerkan pada anjungan ini adalah tengkorak
banteng purba (cranium) Bibos paleosondaicus.
c. Anjungan Grenzbank
Grenzbank, merupakan lapisan sebelum Kabuh. Nama ini berasal
dari bahasa Jermanyang berarti “Zona batas.” Nama ini dilontarkan oleh
G.H.R. von Koeningswald pada tahun 1940. Geolog bangsa Jerman ini
bermaksud menandai lapisan transisi yang ditemukannya, antara kabuh
dan fase sebelumnya; yakni lapisan tanah yang mewakili “periode
antara” akibat perubahan lingkungan
Sangiran, 900-730 tahun yang lalu. Sejauh mata memandang hanya
rawa dan hutan bakau yang terlihat. Sesekali buaya menyeruak
membelah air tenang. Ketika suhu bumi memanas, muka air laut naik
menyebabkan rawa-rawa Sangiran menjadi laut dangkal, menyisakan
beting-beting daratan agak tinggi. Padang rumput diseling hijauan
pepohonan pinus, di samping aliran sungai tenang membelah daratan ini.
Gerombolan kuda sungai ( hippopotamidae) berendam dan menyelam
merayakan kelimpahan air. Penyu purba (Chelonidae) pun senang hidup
di lingkungan seperti ini.
33
Manusia purba Homo erectus biasanya beraktivitas di sepanjang
sungai. Mereka mengumpulkan tanaman pangan dan membuat alat batu
dari bahan yang tersedia, seraya tetap waspada terhadap macan purba
(panthera tigris oxygnatha) yang gemar memangsa hewan-hewan lain.
Kadangkala manusia juga belajar dari alam untuk berburu dan
menangkap hewan lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada akhir kala plestosen Tengah, proses pengangkatan daratan
dan materisal erupsi gunung api purba yang mengisi dan menimbun laut
dangkal bersama-sama mengubah Sangiran menjadi pantai dan daratan.
Fosil yang di pamerkan pada anjungan ini adalah fragmen gading
gajah purba (incisivus) Elephantidae.
Pada lapisan paling bawah kompleks museum dibangun taman bermain dan
tempat untuk beristirahat bagi pengunjung serta ruang diaroma yang berisi
gambaran aktivitas perburuan kehidupan manusia purba jaman dahulu lengkap
dengan hewan-hewan yang hidup pada masa itu. Pada saat memasuki ruangan ini,
pengunjung serasa dibawa kembali ke jaman peradaban manusia purba.
Sementara itu, pada ruang pamer terdapat sajian fosil binatang yang terdiri
dari jenis binatang tulang pinggul (pelvis) Bovidae, tulang ekor (sacrum) Bovidae,
tulang belakang (vertebrae) Bovidae, tulang kaki depan bawah (radius) Stegodon
sp., rahang bawah (mandibula) Stegodon pigmi, rangga (antler) Cervidae,
pergelangan kaki (astragalus) Bovidae, tulang kaki belakang kiri bawah (tibia