27 BAB III HASIL TEMUAN PENELITIAN TENTANG PERANAN MUSIK DALAM IBADAH MINGGU DI JEMAAT GKMI SALATIGA DARI PERSPEKTIF PSIKO-TEOLOGIS A. Sejarah GKMI Salatiga Pada tahun 1968-1969 merupakan permulaan keberadaan GKMI Salatiga. Berawal dari persekutuan kaum muda Kristen yang belajar di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga. Pada tahun 1968 mahasiswa yang tergabung dalam PERHIMPA (Perhimpunan Mahasiswa dari Pati) mengadakan persekutuan, hal tersebut mendapat tanggapan yang baik dari para mahasiswa. Kemudian di tahun yang sama Albert Wijaya secara khusus memberikan perhatian, beliau ingin secara sungguh-sungguh memperhatikan kehidupan kerohanian para mahasiswa yang berasal dari Jawa Tengah Utara (jemaat GGKMI dan GGITJ). Perhatian tersebut akhirnya melahirkan persekutuan pemuda Mennonite yang diadakan di Jalan Taman Sari dibawah pimpinan Andreas Setiawan (Pendeta GKMI Demak). Setelah satu bulan persekutuan tersebut berlangsung, GKMI Semarang yang secara khusus juga memberikan dukungan penuh yaitu dengan mengirim Sdr. Yesaya Abdi, seorang mahasiswa teologi di STBI (Seminar Theologi Baptis Indonesia) Semarang menjajaki pelayanan dalam persekutuan tersebut. Sehingga sejak saat itu persekutuan tersebut kemudian dipimpinnya. Pada bulan Desember di tahun yang sama diadakan Natal bersama di Kopeng, banyak jemaat dan mahasiswa GKMI yang di Salatiga hadir memenuhi undangan. Setelah acara tersebut lahir gagasan untuk membentuk jemaat di Salatiga dengan pelayanan satu bulan
30
Embed
BAB III HASIL TEMUAN PENELITIAN TENTANG PERANAN …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/10536/3/T2_752014023_BAB...persekutuan kaum muda Kristen yang belajar di Universitas Kristen
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
27
BAB III
HASIL TEMUAN PENELITIAN TENTANG PERANAN MUSIK DALAM
IBADAH MINGGU DI JEMAAT GKMI SALATIGA DARI PERSPEKTIF
PSIKO-TEOLOGIS
A. Sejarah GKMI Salatiga
Pada tahun 1968-1969 merupakan permulaan keberadaan GKMI Salatiga. Berawal dari
persekutuan kaum muda Kristen yang belajar di Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga.
Pada tahun 1968 mahasiswa yang tergabung dalam PERHIMPA (Perhimpunan Mahasiswa
dari Pati) mengadakan persekutuan, hal tersebut mendapat tanggapan yang baik dari para
mahasiswa. Kemudian di tahun yang sama Albert Wijaya secara khusus memberikan
perhatian, beliau ingin secara sungguh-sungguh memperhatikan kehidupan kerohanian para
mahasiswa yang berasal dari Jawa Tengah Utara (jemaat GGKMI dan GGITJ).
Perhatian tersebut akhirnya melahirkan persekutuan pemuda Mennonite yang diadakan
di Jalan Taman Sari dibawah pimpinan Andreas Setiawan (Pendeta GKMI Demak). Setelah
satu bulan persekutuan tersebut berlangsung, GKMI Semarang yang secara khusus juga
memberikan dukungan penuh yaitu dengan mengirim Sdr. Yesaya Abdi, seorang mahasiswa
teologi di STBI (Seminar Theologi Baptis Indonesia) Semarang menjajaki pelayanan dalam
persekutuan tersebut. Sehingga sejak saat itu persekutuan tersebut kemudian dipimpinnya.
Pada bulan Desember di tahun yang sama diadakan Natal bersama di Kopeng, banyak
jemaat dan mahasiswa GKMI yang di Salatiga hadir memenuhi undangan. Setelah acara
tersebut lahir gagasan untuk membentuk jemaat di Salatiga dengan pelayanan satu bulan
28
sekali. Gagasan tersebut kemudian dilaksanakan di rumah salah satu jemaat di Jalan
Pahlawan sebagai tempat pelayanan dan pertemuan. Dengan adanya tempat tersebut,
penginjilan pun terus dilakukan oleh para mahasiswa sampai akhirnya dibuka kelas
katekisasi. Pada bulan Oktober 1969 dilaksanakan baptisan pertama 15 orang yang dilayani
oleh Pdt. Mesack Krisetya. Pada tahun itu pula menjadi Pos PI dari GKMI Semarang.
Tahun 1970-1977 kemudian pelayanan semakin dikembangkan yaitu dengan dibukanya
pelayanan sekolah minggu dan kelompok-kelompok persekutuan di beberapa tempat di
sekitar Salatiga bahkan sampai daerah Boyolali dan Ambarawa. Meskipun dalam
perkembangannya banyak kelompok yang tidak berlanjut, namun banyak kelompok pula
yang terus berkembang. Pembentukan kelompok-kelompok tersebut adalah hasil dari
penginjilan yang terus dilakukan pada waktu itu. Beberapa orang dari jemaat diikutsertakan
dalam pelatihan pelayanan dan mengajar agar menunjuang pengijilan yang terus dilakukan.
Para mahasiswa memimpin kelompok-kelompok tersebut dan akhirnya terbentuklah jemaat
Salatiga yang didominasi dari orang-orang Jawa.
Tahun 1978 : Tonggak sejarah
Jemaat yang semakin bertumbuh membuat tempat di Jalan Taman Sari tidak cukup
untuk beribadah. Oleh karena itu bersama-sama jemaat akhirnya membeli tanah dan
bangunan yang dulunya merupakan pabrik krupuk di Jalan Candisari No. 3 Salatiga.
Perpindahan tempat tersebut membawa dampak yang sangat positif, selain jemaat
semakin tertampung saat beribadah juga dapat mengembangkan pelayanan. Maka pada
tahun 1978 menjadi gereja dewasa pada tanggal 26 Mei dan menjadi anggota ke 13 Sinode
Muria atas nama GKMI Salatiga.
29
Tahun 1991-2011: Estafet kepemimpinan
Pendewasaan gereja mendorong penginjilan terus dilakukan khususnya di daerah
Salatiga Timur sampai akhirnya terbentuk cabang Brangkongan, Sumberejo, Cukilan,
Jengglengan dan Gamolan.
Jemaatpun semakin bertambah, gereja di gedung lama pun tidak muat menampung
jemaat saat beribadah. Akhirnya gereja menggumuli untuk memiliki gereja yang baru.
Kerinduan akhirnya terwujud, pada tahun 2003 gedung gereja yang lebih besar dan lebih
indah diresmikan.
B. Aliran Mennonit
Gereja Kristen Muria Indonesia (GKMI) adalah salah satu gereja yang beraliran
Mennonit. Selain GKMI ada juga Gereja Injili di Tanah Jawa. Aliran Mennonit merupakan
bagian dari gerakan Anabaptis yang muncul di daratan Eropa tak lama sesudah Martin
Luther mencanangkan reformasi.1 Nama Mennonit berasal dari nama Menno Simons, tokoh
gerakan Anabaptis di Belanda, yang menganut garis moderat dan anti-kekerasan.2
Pada tahun 1522 Ulrich Zwingli dan sejumlah orang yang sepadangan dengannya
mengerluarkan pernyataan yang berisi tuntutan pembaruan secara radikal dalam gereja.
Namun hal ini ditolak oleh Gereja Katolik Roma sehingga Zwingli memutuskan untuk
berhenti menjadi imam pada Gereja Katolik Roma. Kemudian pemerintah kota Zurich
mengangkatnya kembali tetapi tidak di bawah Gereja Katolik Roma melainkan di bawah
1 Jan S. Aritonang, “Berbagai Aliran di dalam dan di sekitar Gereja”. BPK Gunung Mulia, Jakarta. 2008. 104.
2 ibid., 105.
30
wewenang pemerintah. Peristiwa ini menandai awal dari Reformasi di Swiss, yang
mengarah pada bentuk gereja-negara.3
Namun dalam waktu singkat pemerintah kota itu melihat bahwa proses dan gerakan
Reformasi ini perlu dikendalikan, karena ada tuntutannya yang mengandung konsekuensi
politis yang besar. Misalnya, setelah mendengarkan khotbah-khotbah Zwingli yang digali
dari Kitab-kitab Injil, para petani di sekitar Zurich berkesimpulan bahwa mereka tidak perlu
lagi membayar pajak dan persepuluhan. Hal ini tentu akan membuat rusaknya hubungan
kerja sama dengan negara lain dalam bidang politik, ekonomi dan gerejawi. Atas tindakan
yang dilakukannya maka pada Januari 1524 akhirnya Zwangli menandatangani beberapa
kesepakatan dengan pemerintah.
Kompromi Zwingli dengan pemerintah ini membuat sebagian warga jemaat pendukung
gerakan Reformasi di Zurich menganggap bahwa mereka sedang digiring menuju pada arah
status gereja-negara. Pada akhirnya di bawah pimpinan Conrad Grebel, mereka menggugat
campur tangan dan kendali pemerintah atas kehidupan gereja, termasuk dalam perjamuan
kudus, karena menurut mereka hal ini bertentangan dengan firman Allah.
Kelompok di bawah pimpinan Grebel ini mengajukan dua pokok pikiran: (1)
membentuk Partai Reformasi sebagai partai politik baru di kota Zurich, (2) baptisan anak
tidak sah, karena tidak memungkinkan calon baptisan untuk lebih dahulu menyatakan
3 Jan S. Aritonang., op.cit., 106.
31
respons pribadi atas pengampunan dosa yang ditawarkan Kristus maupun untuk menyatakan
ketaatan serta pertobatan, sebagaimana diamanatkan di dalam Alkitab.4
Gagasan tersebut tidak didukung oleh Zwingli, terutama mengenai Baptisan anak.
Dalam buku yang ditulis oleh Zwingli pada tahun 1525, di situ ia membela baptisan anak
atas dasar bahwa itu adalah tanda perjanjian dan perjanjian itu meliputi seluruh keluarga.
Akibat dari penolakan Zwingli maka Grebel dan kawan-kawan menulis surat kepada tokoh-
tokoh Reformasi, yaitu Marthin Luther, Andreas Carlstadt, dan Thomas Munzer. Khusus
kepada Munzer, Grebel dan kawan-kawan menambahkan nasihat dan peringatan, agar
Reformasi tidak dilakukan dengan unsur kekerasan dan kekuatan senjata. Banyak kalangan
Anabaptis yang sudah menghalalkan kekerasan dalam mewujudkan gagasan dari ajaran
mereka. Apapun yang mereka katakan mengenai paham baptisan, baik kalangan GKR
maupun gereja reformatoris yang magisterial (yang didukung pemerintah) tetap menganggap
mereka menyebarkan ajaran sesat. Akibatnya di kalangan kaum Anabaptis terjadi
disintegrasi. Untuk mencegah disintegrasi yang lebih parah, maka pada januari 1527 mereka
berkumpul di desa Schleithem, Swiss. Pertemuan tersebut menghasilkan beberapa
kesepakatan yang dikenal dengan Pengakuan Iman Schleithem.
Kesepakatan tersebut antara lain, (1) Baptisan; (2) Pengucilan; (3) Perjamuan Kudus;
(4) Pemisahan dari dunia kegelapan dan dari kekejian; (5) Kepemimpinan (pendeta) di
dalam gereja (6) [Larangan] menggunakan „pedang‟ (sejanta; kekerasan); dan [Larangan]
sumpah. Namun setelah pertemuan dan kesepakatan Schleitheim, penghambatan dan
penganiyaan kaum Anabaptis semakin keras. Melchior Hoffman merupakan salah satu
4 Jan S. Aritonang., op.cit., 107.
32
korban yang dipenjarakan atas tuduhan menyebarkan ajaran sesat. Salah seorang yang
terpengaruh oleh ajaran Hoffman adalah Jan Matthijs, ia mengutus dua belas „rasul‟ untuk
mentobatkan masyarakat. Namun karena hambatan dan tekanan yang mereka alam
memaksakan mereka untuk menghalalkan kekerasan untuk memaksa jemaat untuk bertobat
dan dibaptis di bawah ancaman senjata. Ada juga yang dikenal lebih gila lagi, yaitu Jan van
Leiden yang menggantikan Jan Matthijs. Jan van Leiden memproklamasikan dirinya sebagai
Raja Daud dan memerintah dengan tangan besi sambil membenarkan poligami. Namun
kekuasaannya runtuh oleh pasukan Uskup pada 24 Juni 1535. Dari peristiwa tersebut,
banyak orang di Jerman menjadi sangat kecewa bahkan semakin menderita, dan mulai sejak
saat itu semua kalangan Anabaptis diidentikkan dengan kaum Anabaptis Munster yaitu
pengkhayal dan revolusioner.
Untunglah masih ada aliran Anabaptis yang tidak mengikuti Monster yang memakai
kekerasan, namanya adalah Menno Simons. Ia adalah Imam Gereja Katolik Roma, namun ia
begitu tertarik dengan Anabaptis, sehingga pada tahun 1536 Menno secara terbuka
menyatakan diri beralih pada kaum Anabaptis, tetapi bukan yang menganut garis keras,
melainkan yang cinta damai dan menolak kekerasan. Ada lima hal yang merupakan
keunikan Mennonit: cinta damai, jatidiri di dalam persekutuan, komunalisme, saling
melayani, dan tidak individualisme.
C. Hasil Temuan Penelitian
Pada bagian bab III ini akan membahas mengenai data yang ditemui di lapangan. Data
yang didapatkan melalui teknik wawancara tersebut untuk mencari informasi peranan musik
dalam ibadah minggu di Jemaat GKMI Salatiga. Penulis telah melakukan teknik wawancara
33
dengan mendapatkan sebanyak 9 narasumber yang terdiri dari dua orang Pemuda, satu orang
Majelis, lima orang Dewasa, dan satu orang Kaum lansia.
1. Anneke Putri Kusuma5
Narasumber yang pertama adalah Anneke Putri Kusuma. Anneke sangat setuju
bahwa musik adalah sarana sebagai bentuk penyataan ekspresi atau perasaan manusia.
Menyanyi bisa menjadi cara bagi manusia untuk mengekspresikan sesuatu dan tentu
dapat mempengaruhi perasaan manusia saat bernyanyi. Keadaan yang Anneke rasakan
ketika bernyanyi adalah Anneke merasa senang dan selalu ingin menyanyi dalam
keadaan apapun. Ketika bernyanyipun seakan beban pikiran atau stres yang ada akan
berkurang dan terkadang respon dari musik dan nyanyian adalah memejamkan mata
dan menggerakkan tangan. Semuanya terjadi spontan saat menghayati lagu yang
dinyanyikan. Alasan Anneke bernyanyi untuk Tuhan adalah sebagai rasa syukur dan
terima kasih kepada Tuhan. Pada saat itulah Anneke merasakan damai, dan sepertinya
dia begitu dekat Tuhan. Kedamaian itu menciptakan sebuah relasi yang baik bagi
Anneke dan jemaat.
Anneke rasanya ingin sekali berbagi berkat bagi jemaat lainnya karena menurut
Anneke, ia sudah menerima berkat dari Tuhan maka Anneke ingin membagikan berkat
yang ia rasakan kepada jemaat. Aliran musik yang ada dalam gereja ternyata mampu
mempengaruhi seseorang tetapi kembali lagi kepada setiap pribadi bagaimana