-
17
Bab III
HASIL PENELITIAN
A. DESKRIPSI KOTA SALATIGA
Salatiga merupakan salah satu kota tertua di Indonesia. Kota
kecil ini
berdiri pada 24 Juli 750. Sehingga tanggal 24 Juli lantas
ditetapkan sebagai hari
jadi Kota Salatiga oleh pemerintah daerah. Sebelum masa
reformasi, Salatiga
berbentuk kotamadya. Baru pada tahun 1999, tepatnya dengan
dikeluarkannya
UU No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Kotamadya
Salatiga
berubah menjadi Kota Salatiga. Hingga kini, Salatiga berstatus
Kota meski
dikelilingi oleh Kabupaten Semarang. 1
Salatiga merupakan sebuah kota kecil. Sebelum terjadi
pemekaran,
Salatiga hanya memiliki satu kecamatan, yaitu Kecamatan
Salatiga. Namun,
akhirnya Salatiga mendapat perluasan wilayah dari Kabupaten
Semarang.
Pascapemekaran, kota ini hanya terdiri dari 4 kecamatan dan 22
kelurahan.
Keempat kecamatan tersebut antara lain Kecamatan Sidorejo,
Kecamatan
Tingkir, Kecamatan Argomulyo, dan Kecamatan Sidomukti. Dengan
luas sebesar
56,781 km2, Kota Salatiga menempati peringkat ke-18 sebagai kota
terkecil di
Indonesia. Berdasarkan data tahun 2011, penduduk Kota Salatiga
sebanyak
177.088 orang. Dengan jumlah ini, kepadatan penduduk di Kota
Salatiga sebesar
3.119 orang/km2. 2
Kota Salatiga tergolong kota yang masyarakatnya sangat
heterogen
dengan latar belakang suku, agama dan budaya yang beragam.
Dengan kondisi
masyarakatnya yang sangat heterogen tersebut maka Pemerintah
Kota Salatiga
berusaha untuk menjaga, memupuk , melestarikan dan
meningkatkan
keharmonisan yang sudah ada . 3 Sehingga dalam perjalanan waktu,
Salatiga
mendapat predikat sebagai Kota “Toleran” ke dua (2) di
Indonesia.
1 http://warnasalatiga.com/2014/03/16/profil-kota-salatiga
2 Ibid
3 http://salatigakota.go.id/InfoBerita./2013/18/9
-
18
Sebagai kota “persinggahan”, Salatiga menjadi tempat, ruang,
wadah
“interaksi”, pertemuan, perjumpaan antar pribadi/komunitas yang
berasal dari
berbagai latar belakang. Seperti pendapat Titaley dan Hidayat di
bab
sebelumnya bahwa kondisi yang seperti ini bisa memunculkan
berbagai peluang
dan tantangan. Salah satu kebutuhan mendasar dan sekaligus
menjadi
tantangan “persoalan kemanusiaan” yang muncul dan tak
terhindarkan adalah
persoalan perkawinan. Lebih khusus lagi yaitu persoalan
perkawinan bagi
pasangan beda agama.
Dalam kenyataannya, sampai saat ini perkawinan dan
pencatatan
perkawinan bagi pasangan yang berbeda keyakinan / agama masih
mengalami
kendala. Kendala ini disebabkan karena sikap Pemerintah Kota di
berbagai
tempat di Indonesia (baca: diwakili oleh lembaga-lembaga
pencatatan sipil,
dalam hal ini Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil) tidak sama.
Di Kota
Salatiga, Dinasdukcapilnya bersedia mencatatkan. Sedangkan
diluar kota
Salatiga, dinasdukcapilnya tidak bersedia mencatatkan. “Dualisme
sikap” yang
ditunjukkan beberapa lembaga pencatatan sipil jelas menunjukkan
adanya
persoalan dalam pemahaman, “interpretasi” dan kebijakan tentang
perkawinan
pasangan beda agama dan pencatatan perkawinan khususnya bagi
pasangan
beda agama.
Pemerintah Kota Salatiga, secara khusus Kepala Dinas
Kependudukan
Dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga Sejak tahun 2000-2014 tidak
menolak
pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama. Sekalipun di
luar
Pemerintah Kota salatiga hal ini masih menjadi polemik, dan
terkesan terjadi
penolakan
Dalam bab ini kita akan mencoba melihat aturan-aturan
perundangan
yang berlaku yaitu Undang -undang Perkawinan No 1 Tahun 1974.
Dan Apa
alasan-alasan/pertimbangan yang dipakai oleh Kepala Dinas dan
Kependudukan
Pencatatan Sipil sebagai pejabat pemerintah ini bersedia
melaksanakan
pencatatan perkawinan pasangan beda agama.
B. KEHIDUPAN PERKAWINAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM/NEGARA
-
19
Salah satu prinsip dalam negara hukum adalah wetmatigheid van
bestuur
atau pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Dengan kata
lain, setiap tindakan hukum pemerintah baik dalam menjalankan
fungsi
pengaturan maupun fungsi pelayanan harus didasarkan pada
wewenang yang
diberikan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.4
Beberapa fakta dan perspektif tentang perkawinan di
Indonesia,
khususnya bagi pasangan beda agama. Sebelum dikeluarkan UU No 23
Tahun
2006, Pencatatan administrasi kependudukan termasuk di dalamnya
pencatatan
perkawinan di Indonesia menggunakan dasar hukum masa kolonial
Belanda
yaitu Staatblad.Dalam staatblad 1896 No. 158 dikenal adanya
perkawinan
campuran yang mana dikenal 3 jenis perkawinan campuran yaitu
:5
1. Perkawinan campuran antar tempat : misalnya perkawinan
orang
2. Perkawinan campuran antar agama: misalnya golongan eropa
dengan
golongan timur asia atau golongan bumi putera.
3. Perkawinan campuran antar golongan
Sedangkan hukum perkawinan di Indonesia yang sekarang ini
diatur
melalui Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-undang
ini terdiri dari 14 bab dan 67 pasal, dan untuk implementasinya
dilengkapi
Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang peraturan
pelaksanaannya dan
dinyatakan berlaku efektif sejak tanggal 1 Oktober 1975.
Undang-undang
Perkawinan (UUP) merupakan UU pertama di Indonesia yang mengatur
soal
perkawinan secara nasional. Sebelumnya urusan perkawinan dan
segala yang
berkaitan dengannya diatur melalui beragam hukum, yaitu hukum
adat bagi
warga negara Indonesia asli, hukum Islam bagi warga Indonesia
asli yang
beragama Islam, Ordonansi Pemerintah Hindia Belanda tentang
Perkawinan
Indonesia Kristen bagi warga Indonesia yang beragama Kristen di
Jawa,
Minahasa, dan Ambon, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) bagi
warga
Indonesia keturunan Eropa dan Cina, dan Peraturan Perkawinan
Campuran bagi
perkawinan campuran. Dengan demikian salah satu tujuan dari UUP
adalah
unifikasi atau penyeragaman hukum perkawinan yang sebelumnya
sangat
4 Ridwan HR, Hukum Adminsitrasi Negara (Jakarta: Rajawali Pers,
2014), 203
5 Sudargo Gautama, Segi-segi Hukum Peraturan-Perkawinan Campuran
(Bandung: Citra Aditya Bakti, 1996),2-3
-
20
beragam.6 Secara tekstual UU 1 th 1974 yang diterbitkan dan
mengatur secara
khusus tentang perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan
“campuran”
dalam arti beda agama. Hal ini oleh beberapa pihak dianggap
sebagai sebuah
“celah hukum” sehingga dalam bahasa hukum , celah hukum ini
bisa
mengakibatkan “penyelundupan hukum”. Dengan berlakunya UU 1 th
1974 ini
ketentuan-ketentuan yang diatur sebelumnya dalam staatblad 1896
No. 158
dan peraturan-peraturan lainnya yang mengatur tentang perkawinan
sejauh
telah diatur dalam UU 1/1974 ini, dinyatakan tidak berlaku.”
Perlu sekali kita memahami dan memperhatikan terlebih dahulu
tentang substansi dari UU Perkawinan No 1 th 1974 .
1. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang No. 1 th 1974
Undang-undang No. 1 th 1974, Pasal 1, menyatakan bahwa,
“Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan Yang Maha
Esa.”7
Dari pengertian ini dapat dijelaskan bahwa:
a. Perkawinan tidak hanya berdimensi lahiriah, tetapi juga
mempunyai
dimensi batiniah atau rohaniah.
b. Perkawinan hanya dapat dilaksanakan oleh seorang pria dan
seorang
wanita sebagai suami-istri. Dari sini dapat dijelaskan dua hal
sebagai
berikut:
1.) Perkawinan hanya dapat dilaksanakan seorang pria dan
seorang
wanita. Hal ini menunjukkan bahwa menurut UU Perkawinan
dianut asas perkawinan monogami.
2.) Perkawinan jangan dipandang hanya untuk memenuhi
kebutuhan
biologis, karena dimungkinkan adanya perkawinan in extrimis,
yaitu perkawinan yang dilaksanakan oleh mereka di mana salah
satu atau keduanya sudah tua dan “dalam waktu singkat” akan
meninggal dunia).
6 Ahmad Nurcholish, Pernikahan Beda Agama : Tinjauan Keagamaan,
Hukum , dan HAM . Disajikan
dalam Focus Group Discution Perkawinan Beda Agama yang dihelat
Yayasan Percik, Salatiga, 24 Juni 2014. 16 7 Drs. Sudarsono, S.H.,
M.Si , Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta : Rineka Cipta, 2010, hal
9)
-
21
Dari pengertian perkawinan tersebut di atas dapat diketahui
tentang
tujuan perkawinan, yaitu : “membentuk keluarga (rumah tangga)
yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, bukan
untuk
memeroleh anak atau pun keturunan.
2. Syarat-Syarat Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974
Agar perkawinan yang dilakukan oleh seorang pria dan seorang
wanita
sah, maka harus memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan
dalam UU
Perkawinan, di mana syarat tersebut dibedakan menjadi dua
kelompok,
yaitu:8
a. Syarat Formil
Syarat ini sebenarnya mengatur bagaimana tata cara orang yang
akan
melangsungkan perkawinan, yaitu berupa formalitas yang harus
dipenuhi
oleh orang yang akan melangsungkan perkawinan. Syarat ini telah
diaturf
dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor
9
Tahun 1975, yaitu sebagai berikut:
b. Syarat Materiil
Syarat meteriil perkawinan telah ditetapkan dalam UU Nomor 1,
di
mana syarat ini harus ada pada orang yang akan melangsungkan
perkawinan serta harus adanya ijin dari pihak-pihak yang
bersangkutan.
Syarat materiil ini selanjutnya dibedakan menjadi dua,
yaitu:
1.) Syarat Materiil Absolute:
Yaitu syarat yang harus dipenuhi oleh pihak yang
bersangkutan dan jika salah satu syarat tidak ada maka
perkawinan tidak dapat dilaksanakan dikarenakan ada halangan
perkawinan mutlak. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai
berikut:
a.) Perkawinan harus didasarkan pada persetujuan kedua belah
pihak, di mana hal ini ditetapkan dalam Pasal 6 ayat (1) UU
Perkawinan. Itu berarti bahwa perkawinan tidak boleh
8 M.Haryanto, “Tinjauan Yuridis Tentang Perkawinan”, dalam
rumpun tulisan Materi Pembekalan
Persiapan Pasangan Suami Istri (Salatiga: Klasis Salatiga,
2009)
-
22
dilakukan kalau atas dasar paksaan, penipuan ataupun
kekhilafan.
b.) Dalam Pasal 7 UU Perkawinan ditentukan, batas usia
melangsungkan perkawinan, untuk laki-laki harus sudah
berumur 19 tahun, dan perempuan 16 tahun. Sebelum usia
tersebut hanya dapat melangsungkan perkawinan jika ada
dispensasi. Pembatasan ini dimaksudkan agar tujuan
perkawinan tercapai dan mencegah perkawinan dibawah umur
(perkawinan dini) agar tidak terjadi peningkatan angka
kelahiran.
c.) Menurut Pasal 6 ayat (2-6) Apabila yang akan
melangsungkan
perkawinan belum mencapai usia 21 tahun maka harus ada ijin
dari kedua orang tuanya. Kalau salah satu orang tuanya telah
meninggal atau tidak dapat menyatakan kehendaknya, maka
ijin dapat diberikan oleh orang tua yang masih hidup atau
dapat menyatakan kehendaknya. Kalau keduanya telah
meninggal atau tidak dapat menyatakan kehendak, maka ijin
dapat diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau
keluarga dalam garis lurus ke atas yang masih hidup dan
mampu menyatakan kehendaknya. Demikian juga Pengadilan
Negeri dapat pula memberikan ijin ini.
d.) Menurut Pasal 11 UU Perkawinan dan diatur lebih lanjut
dalam
Pasal 39 PP No. 9 Tahun 1975, seorang wanita yang putus
perkawinannya sebelum melangsungkan pernikahan lagi
berlaku masa tunggu, yang dibedakan menjadi tiga kelompok,
yaitu:
(1) Bila perkawinan putus karena kematian, janda mempunyai
waktu tunggu selama 130 hari.
(2) Bila putus karena perceraian, janda masih datang bulan
ditetapkan waktu tunggu 3 x suci, minimal 90 hari,
-
23
sedangkan bila janda sudah tidak datang bulan, waktu
tunggu adalah 90 hari.
(3) Bila perkawinan putus dan janda dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan.
(4) Menurut Pasal 9 UU Perkawinan, seorang yang masih
dalam ikatan perkawinan dengan orang lain tidak dapat
melangsungkan perkawinan lagi, kecuali yang ditentukan
dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU Perkawinan. Pada azasnya
perkawinan di Indonesia adalah monogami, tetapi tidak
menutup kemungkinan poligami apabila dipenuhi syarat
menurut UU. Untuk melaksanakan poligami maka suami
harus mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri
dengan alasan sebagaimana tersebut pada Pasal 4 UU
Perkawinan, yaitu:
-Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri
-Isteri mendapat cacat badan yang tidak dapat
disembuhkan.
-Isteri tidak dapat memberikan keturunan.
Selain salah satu alasan tersebut, maka harus dipenuhi pula
syarat-syarat sebagaimana tersebut pada Pasal 5 UU
Perkawinan dan Pasal 40 s/d Pasal 44 PP No. 9 Tahun 1975.
Dengan adanya PP No. 10 tahun 1983, maka poligami untuk
pegawai negari lebih dibatasi lagi.
2.) Syarat materiil relative
Syarat ini ada pada pihak yang akan dikawini yang diatur
dalam Pasal 8 dan Pasal 10 UU Perkawinan, yaitu tidak adanya
larangan mereka untuk melangsungkan perkawinan.
3. Tata Cara Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974
-
24
Menurut Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, pencatatan
perkawinan
merupakan suatu keharusan. Kalau orang akan melangsungkan
perkawinan sebenarnya ada 4 tahapan penting yang harus dilalui,
yaitu:9
a. Pemberitahuan
Tentang pemberitahuan ini diatur dalam Pasal 3 PP No. 9
tahun
1975, yaitu orang yang akan melangsungkan perkawinan harus
memberitahukan hal ini kepada Kantor Pencatatan Perkawinan,
baik
secara lisan atau tertulis. Pemberitahuan ini dilakukan 10 hari
kerja
sebelum pelaksanaan perkawinan oleh salah satu atau kedua
mempelai, atau oleh orang tua atau wali, dapat pula oleh orang
lain
dengan surat kuasa. Dapat pula kurang dari 10 hari kerja
sebelum
pelaksanaan perkawinan asal ada dispensasi dari camat atas
nama
Bupati/ Walikota dengan menjelaskan alasan-alasannya.
b. Penelitian dan pemeriksaan
Diatur dalam Pasal 6 PP No. 9 tahun 1975. Pemeriksaan dan
penelitian menyangkut hal-hal sebagai berikut:
1. Identitas calon mempelai apakah usianya telah mencapai
usia
untuk melangsungkan perkawinan.
2. Status, apakah calaon mempelai gadis/janda, duda/jejaka,
beristeri atau belum, pegawai negari atau bukan. Hal ini
terkait
dengan waktu tunggu bilai mempelainya janda atau syarat-
syarat berpoligami apabila suami telah beristeri.
3. Agama, hal ini terkait dengan instansi yang mencatat
perkawinan juga tentang “wali” bila mempelai beragama
Islam.
c. Pengumuman
Menurut Pasal 8 PP No. 9 Tahun 1975, atas hasil penelitian
tersebut harus diumumkan agar masyarakat mengetahui dan
dalam waktu tertentu dapat mengajukan keberatan apabila
terhadap mempelai tadi ada halangan untuk melangsungkan
9 Ibid, 39
-
25
perkawinan, dan apabila dalam tenggang waktu tertentu tidak
ada
yang mengajukan keberatan maka perkawinan dapat
dilangsungkan.
d. Pencatatan Perkawinan
Setelah perkawinan sah dilaksanakan menurut hukum Agama
dan Kepercayaan masing-masing, maka selanjutnya dicatatkan
yaitu:
a. Di Kantor Urusan Agama bagi mereka yang beragama Islam
b. Di Kantor Catatan Sipil bagi mereka yang Non Islam.
Pencatatan perkawinan merupakan pemenuhan dari
ketentuan Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang
menentukan bahwa tiap-tiap perkawinan harus di catat menurut
perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan
bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan tersebut
jelas,
bagi suami isteri maupun orang lain dan masyarakat sehingga
jika
diperlukan sewaktu-waktu pencatatan tersebut menjadi alat
bukti
tertulis yang otentik.10
4. Akibat Adanya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1
Tahun
1974
Setelah seorang laki-laki dan seorang perempuan
melangsungkan
perkawinan maka akan menimbulkan akibat hukum bagi keduanya,
yaitu:11
a. Kedudukan
Dalam kehidupan suami-isteri, suami mempunyai kedudukan
sebagai kepala rumah tangga dan isteri sebagai ibu rumah
tangga,
oleh karena itu segala sesuatu yang menyangkut masalah
keluarga
harus dibicarakan dan diputus bersama oleh suami-isteri.
b. Hak dan Kewajian
Berdasarkan UU Perkawinan antara suami-isteri diwajibkan
untuk
saling mencintai, saling menghormati dan memberikan bantuan
10
Tinjauan Yuridis tentang Perkawinan,... 41 11
Ibid
-
26
lahir maupun batin, sebagai kepala keluarga suami
berkewajiban
melindungi isteri dan memenuhi kebutuhan rumah tangga sesuai
dengan kemampuannya demikian pula sebaliknya isteri
berkewajiban mengatur rumah tangganya sedemikian rupa.
c. Harta Benda
Terhadap harta benda yang diperoleh selama perkawinan UU
Perkawinan menyatakan bahwa harta tersebut menjadi harta
bersama dan pengurusannya dilaksanakan berdua sehingga kalau
akan menggunakan harta bersama harus dengan persetujuan
kedua
belah pihak. Harta bawaan masing-masing pihak dan harta yang
diperoleh sebagai hadiah atau warisan ada di bawah
pengawasan
masing-masing pihak, kecuali ditentukan lain.
5. PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM SUDUT PANDANG HUKUM/NEGARA
Perkawinan beda agama menurut pendapat O.S. Eoh yang di
kutip
dari pendapat Abdurrahman adalah perkawinan yang dilakukan oleh
orang-
orang yang memeluk agama dan kepercayaan yang berbeda satu
dengan
yang lainnya. 12 Apakah perkawinan beda agama memiliki
pengertian yang
sama dengan perkawinan campuran ? Seperti yang tertulis dalam
pasal 57
UU No 1 / 1974 bahwa Yang dimaksud dengan perkawinan campuran
dalam
Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di
Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan
kewarga-negaraan
dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. 13
Dalam zaman kompeni hingga tahun 1848 keagamaan dipergunakan
sebagai pedoman dalam hal-hal perkawinan campuran. Sesuai
dengan
struktur masyarakat yang terdapat pada waktu itu, agama yang
dianut oleh
penguasa – agama Nasrani – dijadikan pegangan. Agama dipakai
untuk
melindungi golongan Belanda. Seorang Kristen tidak dapat menikah
dengan
seorang bukan Kristen. Karena tidak sesuai dengan keadaan zaman,
pendirian
12
O.S.Eoh, Perkawinan Antar Agama Dalam Teori dan Praktek,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998). 13
Seri Hukum Dan Perundangan , Hukum Perkawinan Indonesia UU RI
No. 1 Tahun 1974, (Tangerang Selatan: SL Media, 2013 ), 22
-
27
ini dilepaskan dengan diterimanya Pasal 15 OV dari 1848 yang
dalam
perjalanannya dicabut dan digantikan dengan S. 1898-158. 14
Jadi pemahaman perkawinan beda agama dengan perkawinan
campuran jelaslah dua hal yang berbeda yang sangat dipengaruhi
dengan
konteksnya masing-masing. Yang menjadi titik berat untuk
perkawinan beda
agama adalah perbedaan keyakinan/agama. Dua orang yang
berbeda
keyakinan/agama tetap mempertahankan keyakinan/agama yang
dianutnya.
Sedangkan perkawinan campuran adalah perbedaan kewarganegaraan.
Dua
orang yang berbeda kewarganegaraan terikat dengan hukum
perkawinan
atau ketentuan perundang-undangan negara masing-masing.
Dalam UU Nomor 1/1974 Tentang Perkawinan tidak mengatur
persoalan tentang perkawinan beda / antar agama, dan secara
tegas tidak
melarang pelaksanaan perkawinan bagi pasangan yang berbeda
agama.
Dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 berbunyi:
(1)
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Menurut pasal ini, secara
implisit yang
dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya
itu
termasuk ketentuan perundang-undangan yang tidak bertentangan
atau
tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini.
Dalam Pasal 8 Undang-Undang Perkawinan mengenai larangan
perkawinan dalam butir f menyatakan: Perkawinan dilarang antara
dua
orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan
lain
yang berlaku dilarang kawin.15 Ini berarti, Undang-undang
perkawinan
menyerahkan pelaksanaan perkawinan beda agama kepada
ajaran/hukum
agama masing-masing untuk memperbolehkan atau melarang
perkawinan
tersebut, khususnya bagi pasangan yang berbeda agama.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 dan Pasal 8 UU
Perkawinan butir f menyebabkan adanya ketidak pastian hukum
bagi
pasangan yang akan menikah beda agama di Indonesia.
Akhirnya,
masyarakat Indonesia yang hendak melangsungkan perkawinan
beda
14
Ibid, Sudargo Gautama, 6-7 15
Ibid, Seri Hukum Dan Perundangan, 10
-
28
keyakinan/ agama justru menghindari pasal ini, dengan cara
penyelundupan
hukum, yaitu dengan cara meni kah di luar negeri atau pernikahan
secara
adat.
Pasal 35 huruf a UU Adminduk sebenarnya sudah memberi ruang
kepada pasangan yang berbeda agama. Dalam undang-undang
Adminduk
tersebut telah diatur bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana
terdapat
dalam pasal 34 UU Adminduk berlaku juga untuk perkawinan yang
ditetapkan
oleh pengadilan, yaitu perkawinan yang dilakukan antarumat yang
berbeda
agama.
Berdasarkan penjelasan diatas, Undang-undang Perkawinan yang
menjadi dasar hukum perkawinan di Indonesia tidak membahas
tentang
perkawinan beda agama. Justru merujuk ke UU Adminduk, perkawinan
beda
agama telah diakui di Indonesia. Hal ini nampak dari diaturnya
mengenai
pencatatan perkawinan beda agama yang ditetapkan oleh
pengadilan. Ini
berarti, perkawinan beda agama dapat dilakukan di Indonesia
dan
perkawinan tersebut sah.
6. DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KOTA SALATIGA
Pencatatan Perkawinan bagi pasangan beda agama telah
dilaksanakan sejak tahun 2000- 2014 di Salatiga. Ini berarti
pencatatan
perkawinan bagi pasangan beda agama telah mendapat “ruang”
dalam
kehidupan “public”. Tentunya kebijakan yang diambil oleh
Pemerintah Kota
Salatiga dalam hal ini Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil
tidak
berangkat dari “ruang kosong”. Ada beberapa pertimbangan,
alasan-alasan
yang mendasari kebijakan tersebut. Akan tetapi sebelum
membahasnya
lebih lanjut kita perlu mengetahui terlebih dahulu tentang tugas
pokok
Pemerintah Kota dalam hal ini Kepala Dinasdukcapil. Kemudian
bagaimana
prosedur pencatatan perkawinan bagi pasangan beda agama.
Berdasarkan informasi yang kami dapatkan bahwa Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga merupakan bagian
dari
Pemerintahan Daerah Kota Salatiga. Dan bidang kependudukan
dan
-
29
pencatatan sipil di Salatiga merupakan urusan wajib
pemerintah
sebagaimana yang tertulis dalam pasal 3 , Bab II Urusan
Pemerintah
Daerah.16
Pasal 3
(1) Urusan Pemerintahan wajib sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2
ayat (3) hurus a, meliputi:
A. Pendidikan
B. Kesehatan
C. Lingkungan Hidup;
D. Pekerjaan Umum;
E. Penataan ruang;
F. Perencanaan Pembangunan;
G. Perumahan
H. Kepemudaan dan olah raga;
I. Penanaman Modal
J. Koperasi dan usaha kecil dan menengah;
K. Kependudukan dan catatan sipil
L. Ketanagakerjaan
M. Ketahanan pangan
N. ...
Bidang kependudukan dan catatan sipil yang merupakan urusan
wajib
pemerintahan seperti yang diatur dalam pasal 4 Bab II Urusan
Pemerintahan
daerah berpedoman pada standard pelayanan minimal
bidang-bidang
urusan pemerintahan yang ditetapkan oleh Pemerintah dan
berpedoman
pada norma, standard, prosedur dan kristeria yang ditetapkan
oleh Menteri /
Kepala Lembaga Pemerintahan Non Departemen. 17
16
Himpunan Lembaran Daerah Kota Salatiga 2008. Dihimpun oleh
Bagian Hukum Kota Salatiga. Jl.Letjen Sukowati Salatiga 2008 17
Ibid, 119
-
30
a. Struktur Organisasi Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota
Salatiga18
b. Susunan Kepegawaian dan Perlengkapan
18
Rencana Stategis Satuan kerja Perangkat daerah (Renstra – SKPD)
Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil Kota Salatiga Tahun
2011-2016 Pemerintah Kota Salatiga
Kepala Dinas
Kelompok Jabatan
Fungsional
Sekretariat
Sub.Bagian
Perencana
an,
Evaluasi
dan
pelapora
Sub
bagian
Keuangan
Sub
bagian
Umum
dan kepega
waian
Bid.Pendaft
aran
Penduduk
Bid.Pengelolaan
Data dan informasi
Kependudukan
Seksi
Pendataan
Penduduk
Seksi Program
dan jaringan
Komunikasi Data
Seksi
Perpindahan
dan
Perkembanga
n Penduduk
Seksi Informasi
Administrasi
Kependudukan
UPTD
Bidang Pencatatan
Sipil
Seksi Pelayanan
Seksi
Dokumentasi
dan Informasi
-
31
Susunan Kepegawaian Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil
Kota
Salatiga terdiri dari:19
1.) Kepala Dinas
2.) Sekretariat
3.) Bidang-Bidang terdiri dari:
a.) Bidang Pendaftaran Penduduk
b.) Bidang Adminsitrasi Kependudukan
c.) Bidang Pencatatan Sipil
4.) Kelompok Jabatan Fungsional
C. Tugas Pokok dan Fungsi Kepala Dinas20
Tugas Pokok membantu Walikota dalam penyelenggaraan
Pemerintah
Daerah di bidang Kependudukan Dan Pencatatan Sipil.
1.) Perumusan kebijakan di bidang Kependudukan dan Pencatatan
sipil.
2.) Penetapan kebijakan teknis di bidang Kependudukan dan
Pencatatan
Sipil sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Walikota.
3.) Pengkoordinasian dan penaggungjawab pelaksanaan kegiatan
Dinas
berdasarkan kebijakan Walikota.
4.) Perumusan pedoman dan petunjuk teknis di bidang
kependudukan
dan catatan sipil.
5.) Penerbitan akta kelahiran, perkawinan, perceraian, pengakuan
dan
pengesahan anak, akta kematian serta rekomendasi tentang
mutasi
penduduk sesuai dengan ketentuan yang berlaku
D. Uraian Tugas Kepala Dinas21
1.) Merumuskan kebijakan di bidang kependudukan dan catatan
sipil
berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk di laksanakan
19
Ibid, 6 20
Ibid 21
Ibid
-
32
2.) Menetapkan kebijakan teknis di bidang Kependudukan dan
Pencatatan Sipil sesuai dengan kebijakan yang di tetapkan
oleh
Walikota untuk di laksanakan;
3.) Menerbitkan akta kelahiran, perkawinan, perceraian,
pengakuan dan
pengesahan anak, akta kematian serta rekomendasi tentang
mutasi
penduduk sesuai dengan ketentuan yang berlaku sebagai salah
satu
bentuk pelayanan masyarakat
4.) Memeriksa dan menandatangani surat-surat kependudukan
dan
catatan sipil serta akta catatan sipil untuk kelancaran
tugas.
E. Prosedur Pencatan Perkawinan Di Dinas Kependudukan Dan
Pencatatan Sipil Kota Salatiga
Pasal 4 Bab II jika dikaitkan dengan bidang kependudukan dan
catatan sipil, menegaskan bahwa Bidang Kependudukan dan catatan
sipil
dalam hal ini Dinas Kependudukan dan catatan sipil Salatiga,
dalam
menjalankan tugas-tugasnya , secara khusus dalam hal
melaksanakan
pencatatan perkawinan harus berpedoman pada norma, standard
,
prosedur yang ditetapkan.
Dibawah ini akan dijelaskan prosedur pencatatan perkawinan
(khusus: beda agama) yang berlangsung di Dinas Kependudukan
dan
Pencatatan Sipil Kota Salatiga .
Prosedur permohonan Pencatatan Perkawinan (Baca: Khususnya
Pasangan Beda Agama) di Dinas Kependudukan Dan Pencatatan
Sipil
Salatiga adalah sebagai berikut:
-
33
1. Pendaftaran Pemohon melalui loket:22
PEMOHONMENGAMBIL FORMULIR
DAN MENGISI
MENYERAHKAN FORMULIR DAN BERKAS
PERSYARATAN KE PETUGAS DI LOKET
PETUGAS MENELITI BERKAS PERSYARATAN *
PETUGAS MENCATAT DALAM BUKU REGISTER
PENGETIKAN KUTIPAN AKTA PERKAWINAN
PENANDATANGANAN KUTIPAN AKTA DAN
BUKU REGISTER OLEH KEPALA DINAS
PENYERAHAN KUTIPAN AKTA PERKAWINAN KEPADA PEMOHON
2. Pendaftaran Pemohon melalui Pemuka Agama / Pemuka
Penghayat
Kepercayaan yang ditunjuk oleh Dinas Kependudukan Dan
Pencatatan Sipil.23
PEMOHON
Bertemu dengan salah satu pemuka agama yang
ditunjuk oleh Dinasdukcapil untuk menanyakan
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi
Pemohon menyerahkan berkas persyaratan
kepada Pemuka Agama*
Pemohon menyerahkan berkas persyaratan
kepada Pemuka Agama*dinasdukcapil
Petugas Disdukcapil meneliti berkas-berkas
yang diberikan oleh pemuka agama
Petugas Dinasdukcapil mencatatkan dalam
register
Penandatanganan di register dilaksanakan oleh pemuka agama yang
ditunjuk oleh Dinasdukcapil pada hari
pelaksanaan pemberkatan/peneguhan perkawinan si pemohon
Setelah dilakukan penandatanganan di register
, Pemuka Agama menyerahkan kembali
register tersebut kepada petugas Dinasdukcapil agar
dapat diterbitkan akta perkawinan
1 2
3
45
6
7 8
22
Berdasarkan wawancara dengan salah satu karyawan Dinas
Kependudukan Dan Pencatatan Sipil. 23
Adapun dasar hukum penugasan kepada pemuka agama dalam
mencatatkan perkawinan ini adalah Surat Keputusan Walikota Salatiga
Nomor 436/541/2015 tentang Pengesahan pemuka Agama Dan Pemuka
Penghayat Kepercayaan Yang menerbitkan Surat Keterangan Terjadinya
Peristiwa Perkawinan Dalam Wilayah Kota Salatiga.
-
34
Catatan: * 1). Surat pemberkatan nikah dari Lembaga Agama yang
melayani.
2) Berkas persyaratan harus disertai surat pernyataan dari salah
satu
pemohon yang telah bersedia diberkati pernikahannya atau
bersedia menundukkan diri sesuai dengan hukum agama
pasangannya.
7. DASAR – DASAR HUKUM, KEBIJAKAN DAN ALASAN-ALASAN DARI
KEPALA
DINAS KEPENDUDUKAN DAN PENCATATAN SIPIL KOTA SALATIGA
TERKAIT
PROSES PENCATATAN PERKAWINAN KHUSUSNYA BAGI PASANGAN BEDA
AGAMA
Hasil penelitian dan wawancara penulis dengan Kepala
Dinasdukcapil
Salatiga periode 2000-2014 ditemukan beberapa
alasan/pertimbangan dan
aturan/norma/kaidah hukum pasal yang dijadikan dasar dalam
mengambil
sebuah kebijakan untuk mencatatkan perkawinan pasangan beda
agama.24
a. Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan No 1 tahun 1974 : “
Perkawinan
adalah Ikatan lahir batin antara seorang Pria dan seorang wanita
sebagai
suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga)
yang
bahagia dan kekal berdasarkan ke Tuhanan Yang Maha Esa.”
b. Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-
masing agama dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku
c. Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan no 23 tahun 2006
pasal
35a, perkawinan pasangan beda agama seharusnya melalui
prosedur
penetapan pengadilan.
d. Pasal 34 ayat (1) Undang-undang Nomor 23 tahun 2006
tentang
administrasi kependudukan yang menetapkan bahwa : “ Perkawinan
yang
sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan wajib
dilaporkan oleh Penduduk kepada instansi Pelaksana di tempat
terjadinya 24
Berdasarkan wawancara dengan bapak “D” pada bulan November
2015.
-
35
perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal
perkawinan”.
e. Pasal 67 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008
tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Pentatan
Sipil
ditetapkan, bahwa salah satu persyaratan pencatatan perkawinan
adalah
Surat keterangan telah terjadinya perkawinan dari pemuka
agama/pendeta.
f. UUD 1945 pasal 28 a: Setiap orang berhak untuk hidup serta
berhak
mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sedangkan pasal 28 b:
Setiap
orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui
perkawinan yang sah.
g. Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa Negara
menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduknya untuk memeluk agama.
h. Kepemimpinan yang melayani, yang selalu mengedepankan
pelayanan
kepada masyarakat.
Alasan-alasan kepala dinas yang mendasarkan pada Pasal 34 ayat
(1)
Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan
yang menetapkan bahwa : “ Perkawinan yang sah berdasarkan
ketentuan
Peraturan Perundang-undangan wajib dilaporkan oleh Penduduk
kepada
instansi Pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat
60 (enam
puluh) hari sejak tanggal perkawinan”, memiliki pemahaman bahwa
dengan
ketentuan tersebut maka perkawinan yang telah dilaksanakan
menurut
hukum agamanya masing-masing wajib harus dicatatkan di Kantor
catatan
sipil. Apabila pencatatan tersebut tidak dilakukan walaupun
orang tersebut
telah melangsungkan perkawinannya menurut hukum agamanya,
berarti
orang tersebut telah melanggar azas legalitas, sehingga
akibatnya ialah
bahwa akibat-akibat dari telah dilangsungkannya perkawinan tidak
diakui sah
secara hukum, (misalnya apabila lahir anak, maka anak yang
bersangkutan
tidak diakui sebagai anak yang lahir akibat perkawinan, ia hanya
mempunyai
hak sebagai anak ibu dengan konsekuensi yang
bermacam-macam).
-
36
Oleh karenanya, sebagai warga negara yang baik, tentu harus
menghormati hukum agamanya sekaligus wajib menghormati hukum
negara
yang berlaku dimana ia menjadi warga negaranya. Jadi berdasarkan
Pasal 34
ayat (1) ini memberikan penegasan bahwa perkawinan yang sah
menurut
agama yang disertai dengan bukti pemberkatan/surat nikah secara
absah
dan prosedural dapat dicatatkan.
Dasar pemahaman kepala dinas tentang Pasal 34 ayat (1) diatas
juga
semakin diperkuat dengan dasar hukum lain yaitu Pasal 67 ayat
(2) Peraturan
Presiden Nomor 25 Tahun 2008 tentang Persyaratan dan Tata
Cara
Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil ditetapkan, bahwa
salah satu
persyaratan pencatatan perkawinan adalah Surat keterangan telah
terjadinya
perkawinan dari pemuka agama/pendeta. Jadi Dinas kependudukan
dan
pencatatan sipil bertugas hanya mencatat dengan dasar bukti
pemberkatan
perkawinan / surat nikah secara agama. Dinas kependudukan dan
pencataan
sipil tidak memiliki kapasitas untuk menolak/melarang
perkawinan
khususnya bagi pasangan yang berbeda keyakinan.
Kenyataan yang ada, sampai dengan saat ini masih muncul
interpretasi yang berbeda dari para ahli hukum, para Pemimpin
Daerah, para
pimpinan Kepala Dinas Dan Kependudukan dari masing-masing
daerah
(secara khusus Disdukcapil Salatiga) terhadap Pasal 2 ayat (1)
Undang-
Undang 1 Tahun 1974. Seperti dalam pemberitaan di Kompas
beberapa
pemuka agama mengklaim bahwa perkawinan pasangan yang
berbeda
agama ini tidak sesuai dengan hukum agama. (Baca
http://nasional.Kompas.com/reas/2014/09/05/). Beberapa ahli
hukum juga
mengklaim bahwa perkawinan beda agama tidak sesuai dengan Pasal
2 ayat
(1) Undang-Undang 1 Tahun 1974 yang berbunyi: (1) Perkawinan
adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.25 Dengan kata lain perkawinan beda agama
itu
merupakan pelanggaran terhadap UU No. 1/1974. Akan tetapi
sekalipun
25
Sudarsono , Hukum Perkawinan Nasional (Jakarta: Rineksa Cipta,
2010), 10
http://nasional.kompas.com/reas/2014/09/05/
-
37
banyak multi tafsir atas ketentuan Pasal 2 ayat 1 UU Nomor 1
Tahun 1974
para Kepala Dinas Kependudukan Dan Pencatatan Sipil khususnya di
Kota
Salatiga tetap mengambil sebuah kebijakan yang tetap berdasarkan
hukum
dan Undang-undang yang berlaku, seperti yang tertuang di Pasal
34 ayat (1)
Undang-undang Nomor 23 tahun 2006 tentang administrasi
kependudukan,
Pasal 67 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 25 Tahun 2008
tentang
Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk dan Penca tatan
Sipil.
Berkaitan dengan Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan
no 23 tahun 2006 pasal 35a, perkawinan pasangan beda agama
seharusnya
melalui prosedur penetapan pengadilan. Para kepala Dinas
berpendapat
bahwa Undang-Undang Administrasi dan Kependudukan no 23 tahun
2006
pasal 35a ini dikenakan bagi mereka yang masing-masing
mempertahankan
agama dan tidak bersedia menikah berdasarkan hukum agama pihak
lain.
Maka solusi untuk kasus seperti ini harus ada ijin dari
Pengadilan setempat
dan harus ada pernyataan dari pemimpin agama masing-masing
bahwa
mereka tidak sanggup melangsungkan perkawinan bagi calon
pengantin.
Pengadilan atas pertimbangannya akan menerima atau menolak
permintaan
mempelai, dan apabila menerima permohonan mempelai,
Pengadilan
setempat akan memerintahkan kepada Pejabat Kantor Catatan Sipil
setempat
atas nama Negara melangsungkan pernikahan pihak yang
berkepentingan.
Seorang Kepala Dinas (baca: Pemimpin) harus memiliki
prioritas
utama dalam kepemimpinannya.26 Memiliki “spirit” melayani, yang
selalu
mengedepankan pelayanan kepada masyarakat. Artinya bahwa
seorang
pemimpin harus sungguh-sungguh melayani kepentingan masyarakat.
Selalu
memperjumpakan keutamaan dan kebahagiaan dalam hidup bersama
(baca:
konteks pelayanan masyarakat). Apa keutamaan dan kebahagiaan
seorang
pemimpin (baca:pelayan) dalam kepemimpinannya? Ketika dirinya
sebagai
pemimpin dapat me-representasikan- kehadiran negara dalam
kehidupan
26
Berdasarkan wawancara dengan ibu “A” pada bulan Desember
2015
-
38
warga negaranya27, dalam hal ini kehidupan religiusitas warganya
yang
berkaitan dengan perkawinan. Ketika agama sudah mengesahkan
sebuah
perkawinan dengan sebuah bukti berupa surat keterangan telah
terjadinya
perkawinan dari pemuka agama/pendeta maka sebagai seorang
pemimpin
(baca: Kepala Dinas dan Kependudukan Dan Pencatatan Sipil)
harus
menghormati hukum agama yang mengesahkan itu dengan cara
mencatatkan peristiwa perkawinan itu. Ketika semua ini terjadi
maka
terwujudlah sebuah keutamaan dan kebaikan dalam sebuah
komunitas
masyarakat yang dipimpinnya.
Jadi bisa disimpulkan bahwa Kewenangan dan kebijakan khusus
(baca: Otonomi kehendak) dari Kepala Dinas Kependudukan Dan
Pencatatan
Sipil yang terkait dengan pencatatan perkawinan, khususnya bagi
pasangan
beda agama bukan sekedar sebuah tindakan yang muncul dari
emosi,
keinginan, atau pilihan. Para pemimpin Dinasdukcapil bertindak
secara moral
dan berdasarkan perundang-undangan yang berlaku. Kewenangan
dan
kebijakan khusus yang diambil bukan karena sekedar
”kecenderungan” atau
ikut-ikutan tetapi tindakan yang dilakukan bertolak dari suatu
“rasa
kewajiban” . Sebuah kewajiban adalah apa yang harus dikerjakan
apapun
kecenderungan subyektif yang muncul. Dan semua yang dikerjakan
selalu
disertai dengan berbagai pertimbangan, seperti nilai, norma,
etika dan
hukum yang berlaku dalam masyarakat dan kehidupan berbangsa
bernegara.
27
Hal ini sejalan dengan Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan bahwa Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduknya
untuk memeluk agama dan sekaligus pelaksanaan pasal 28 b bahwa
Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan
melalui perkawinan yang sah.
-
39