BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Pertimbangan Hakim Sejalan Menurut Pendekatan Teori Kualifikasi Lex Causae 1. Pentingnya Lex Causae pada penyelesaian sengketa HPI Pada dasarnya kualifikasi lex causae merupakan lex fori yang diperluas. Dikatakan lex fori yang diperluas karena di dalamnya menggali kaedah-kaedah yang lebih relevan dengan kasus/ perkara berdasarkan sistem hukum tertentu. Urgensi lex fori yang diperluas yaitu dalam hal ini lex causae sebab suatu alasan bahwa sistem hukum tertentu belum lengkap atau bahkan tidak ada klasifikasi sistem yang tepat untuk menyelesaikan perkara dalam sistem hukum intern. Oleh karena itu kualifikasi lex causae menjadi pilihan yang tepat sebagai sistem yang dipilih/ ditunjuk karena dianggap masih lebih bisa mengakomodir fakta-fakta hukum suatu perkara. Argumen selanjutnya adalah bahwa ketika terjadi suatu kekosongan hukum maka hakim tidak dapat terikat secara kaku pada konsep lex fori saja, sebab harus dilihat pula cakupan peristiwa/ hubungan hukum yang sejenis dari suatu sistem hukum lain. 1 Pada kasus ini, hakim melakukan analogi dari peristiwa/ hubungan hukum sebagaimana dalam pertimbangannya terdapat beberapa contoh kasus yang dijadikan kasus pendukung terhadap argumentasi dalam menentukan lex causae. 1 Ibid., h. 14.
19
Embed
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS...Penyelesaian suatu perkara Hukum Perdata Internasional (HPI) dengan kata lain disebut juga suatu penyelesaian hukum perselisihan. Dalam konsep
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS
A. Pertimbangan Hakim Sejalan Menurut Pendekatan Teori Kualifikasi
Lex Causae
1. Pentingnya Lex Causae pada penyelesaian sengketa HPI
Pada dasarnya kualifikasi lex causae merupakan lex fori yang
diperluas. Dikatakan lex fori yang diperluas karena di dalamnya
menggali kaedah-kaedah yang lebih relevan dengan kasus/ perkara
berdasarkan sistem hukum tertentu. Urgensi lex fori yang diperluas yaitu
dalam hal ini lex causae sebab suatu alasan bahwa sistem hukum
tertentu belum lengkap atau bahkan tidak ada klasifikasi sistem yang
tepat untuk menyelesaikan perkara dalam sistem hukum intern. Oleh
karena itu kualifikasi lex causae menjadi pilihan yang tepat sebagai
sistem yang dipilih/ ditunjuk karena dianggap masih lebih bisa
mengakomodir fakta-fakta hukum suatu perkara. Argumen selanjutnya
adalah bahwa ketika terjadi suatu kekosongan hukum maka hakim tidak
dapat terikat secara kaku pada konsep lex fori saja, sebab harus dilihat
pula cakupan peristiwa/ hubungan hukum yang sejenis dari suatu sistem
hukum lain.1 Pada kasus ini, hakim melakukan analogi dari peristiwa/
hubungan hukum sebagaimana dalam pertimbangannya terdapat
beberapa contoh kasus yang dijadikan kasus pendukung terhadap
argumentasi dalam menentukan lex causae.
1 Ibid., h. 14.
Penyelesaian suatu perkara Hukum Perdata Internasional (HPI)
dengan kata lain disebut juga suatu penyelesaian hukum perselisihan.
Dalam konsep penyelesaian hukum perselisahan, hal demikian
melibatkan pranata hukum yang disebut titik taut dan kualifikasi.
Dengan demikian, dapat dicermati tujuan penggunaan metode ini ialah
tidak lain untuk menentukan hukum yang seharusnya berlaku atas suatu
perkara tertentu, itulah yang dinamakan lex causae.2
Seperti halnya yang telah penulis ungkapkan sebelumnya, bahwa
dalam suatu perkara HPI akan selalu bersinggungan dengan adanya
unsur asing (foreign elements). Oleh sebabnya, forum yang menghadapi
suatu perkara tidak dapat mengabaikan kemungkinan-kemungkinan
yaitu salah satunya bahwa lex fori bukanlah satu-satunya sistem hukum
yang otomatis harus diberlakukan dalam penyelesaian perkara. Ada
kebutuhan untuk menentukan sistem hukum manakah di antara sistem-
sistem hukum yang relevan, dan yang seharusnya atau bahkan yang
lebih tepat untuk diberlakukan dalam penyelesaian perkara HPI.
Kebutuhan inilah yang memberi arti pentingnya lex causae.
2. Hasil kualifikasi terhadap Perkara
Ketika melihat cara berpikir hakim dalam menyelesaikan perkara,
dapat dilihat pula bagaimana alur pendekatan yang digunakannya. Perlu
disadari bahwa sebagaimana hakekat HPI sebagai kaidah penunjuk maka
di dalamnya memuat titik taut apa yang harus digunakan sebagai titik
2 Ibid., h. 81.
taut penentu dalam rangka menetapkan hukum yang akan diberlakukan.
Dengan penentuan seperti itu baik melalui titik taut penentu dapat
dipahami pendekatan kualifikasi seperti apa yang dipegang hakim.
Tahap kualifikasi tentunya merupakan bagian dari sebuah sistem
prosedur penyelesaian perkara. Oleh karena itu, untuk membahas lebih
lanjut mengenai pendekatan kualifikasi yang digunakan hakim maka
sebagai suatu sistem, akan dibahas juga prosedur penyelesaian
perkaranya3.
Digambarkan secara sederhana, langkah pertama dari langkah
umum penyelesaian yakni menyusun kasus posisi dari perkara. Pada
tahap ini, dikumpulkan semua fakta dan informasi yang relevan
(melakukan kualifikasi fakta) dan kemudian disusun ke dalam suatu
urutan kejadian yang sistematis. Kasus ini kurang lebih kasus posisinya
ialah sebagai berikut:
Kasus menyangkut Kartika Thahir dan Pertamina (Pertambangan
Minyak dan Gas Bumi Negara). Kartika WN Indonesia,
Pertamina merupakan perusahaan negara Republik Indonesia.
Kartika Thahir dianggap memiliki uang dari H. achmad Tahir
(suaminya) yang diduga merupakan hasil suap ketika suaminya
memegang jabatan di Pertamina.
Uang tersebut (objek sengketa) terdapat di Singapura dalam hal
ini Bank Sumitomo.
3 Ibid., h. 69 – 71.
Pertamina mengklaim uang tersebut sebagai uang negara karena
dianggap merupakan hasil suap.
Kartika melakukan gugatan di Pengadilan Singapura (Court of
Appeal). Gugatan lahir sehubungan juga dengan putusan
sebelumnya di Pengadilan Singapura (High Court).
Kemudian, langkah berikutnya ialah menentukan ada tidaknya
peristiwa hukum perselisihan. Langkah ini berdasarkan langkah
sebelumnya yaitu ketika dikumpulkan fakta dan informasi yang relevan
yang telah disusun secara sistematis. Berdasarkan fakta-fakta dalam
kasus tersebut ditentukan apakah terdapat fakta yang mempertautkan
perkara dengan lebih dari satu sistem hukum/ kaidah hukum/ peraturan
(“mencari titik-titik taut primer”). Ketika perkara tersebut memiliki titik
taut primer, maka barulah timbul kebutuhan untuk menyelesaikan
perkara dengan menggunakan metode pendekatan HPI. Penentuan titik
taut primer dapat dilihat jika adanya unsur asing (foreign elements)
dalam perkara. Dari gambaran singkat kasus posisi, maka bisa dikatakan
terdapat unsur asing. Para pihak dari Indonesia, namun objek
sengketanya maupun forumnya di Singapura.
Selanjutnya, menentukan masalah hukum utama yang muncul
dalam perkara. Dalam tahap ini biasanya ditentukan pokok
gugatan/permohonan, pokok yang dipersengketakan oleh para pihak,
hubungan hukum yang mengikat para pihak, dan seterusnya. Dari
penentuan masalah hukum utama ini, akan dapat ditemukan atau
disimpulkan apa yang merupakan kualifikasi hukum dari perkara. Dalam
kasus ini masalah hukumnya ialah ketika beberapa deposit ACU Kartika
Ratna Thahir dianggap hasil suap. Pertamina sebagai badan usaha milik
negara Indonesia mengklaim uang dalam deposit tersebut.
Lalu, langkah untuk menentukan titik taut sekunder dari perkara.
Dari perkara yang dihadapi harus dicari fakta penentu untuk menunjuk
hukum yang menyelesaikan perkara. Dalam kasus ini, perkara antara
Kartika Ratna Thahir dengan Pertamina di mana objek sengketanya di
Singapura. Di sinilah tahap yang nantinya akan berbicara mengenai
pendekatan kualifikasi yang dilakukan hakim terhadap perkara. Penulis
menyatakan bahwa pendekatan kualifikasi yang digunakan hakim ialah
model pendekatan kualifikasi Lex Causae. Pada dasarnya, putusan
hakim untuk menentukan hukum yang tepat sebagai lex causae
berangkat dari Rule 201 ayat (1) jo ayat (2) poin c, di mana menyatakan:
Rule 201 ayat (1) “the obligation to restore the benefit of an enrichment
obtained at another person‟s is governed by the proper law of the
obligation.”; ayat (2) poin c “if it arises in any other circumstances, its
proper law is the law of the country where the enrichment occurs”.
Intinya, menggambarkan bahwa hukum yang pantas untuk diterapkan
pada perkara bersangkutan adalah hukum di mana „memperkaya‟ itu
terjadi. Dalam hal ini terjadi di Singapura (bank cabang Singapura).
Ketika menggunakan Rule 201 sebagai acuan, ditemukan bahwa hakim
tidak mengutamakan kedaulatan forumnya sebagai hukum yang harus
digunakan dalam penyelesaian perkara. Penggunaan ketentuan tersebut
membuka kemungkinan ditunjuknya sistem hukum lain sebagai lex
causae lepas dari apakah ketika diterapkan ujung-ujungnya akan
menunjuk hukum dari forum itu sendiri. Jalan berpikir seperti ini
berbanding jauh dengan prinsip yang dipegang ketika menggunakan
pendekatan kualifikasi lex fori yang mana hakim secara langsung
menetapkan sistem hukum forumnya yang harus dipakai dalam
menyelesaikan perkara tanpa memperkatikan apakah sistem hukum
asing lain yang lebih pantas. Secara tersirat, melalui Rule 201, hakim
tidak serta merta menentukan penggunaan hukum forumnya namun
membuka pintu bagi sistem hukum lain untuk diterapkan.
Proses berikutnya yang merupakan tahap akhir yaitu penyelesaian
kasus. Tahapan terakhir ini ialah dengan menjawab isu-isu hukum dalam
perkara. Pada putusan yang menjadi unit amatan penulis terdapat 4
(empat) isu hukum, yaitu 1) apakah harus ada klaim kepemilikan; 2)
apakah deposito adalah hasil suap; 3) hukum manakah yang mengatur
(the governing law); dan 4) apakah klaim pertamina merupakan hal
terkait kepemilikan. Jawaban dari isu pertama apakah harus ada klaim
kepemilikan, bahwa Pertamina harus menunjukkan bahwa mereka
memiliki klaim kepemilikan terhadap uang-uang itu. di bawah sistem
hukum yang mengatur klaim tersebut. Isu kedua mengenai apakah
deposito adalah hasil suap, jawabannya ialah semua 17 deposit ACU
merupakan hasil suap. Isu ketiga pula terjawab bahwa hukum Singapura
yang mengatur. Kemudian, isu terakhir mengenai apakah klaim
pertamina merupakan hal terkait kepemilikan, bahwa klaim terhadap
uang tersebut bukan terkait klaim kepemilikan (proprietary claim) tetapi
klaim perseorangan (personal claim).
B. Penentuan lex causae sebagai The Proper Law/ The Governing Law
Dalam hal penentuan hukum yang tepat untuk diberlakukan sebagai
lex causae, maka hakim memiliki dasar dan acuan. Dasar dan acuan tersebut
menjadi salah satu yang utama pada alur berpikir hakim untuk menentukan
lex causae. Berangkat dari dasar tersebut, hakim bisa membangun sebuah
konstruksi argumentasi untuk menjadi bahan pertimbangan dalam
menentukan hukum yang akan diberlakukan
Doktrin Rule 201 yang dimunculkan Dicey & Morris merupakan
persoalan pokok ketika hakim membangun argumentasi. Rule 201
digunakan sebagai fondasi dasar dalam menentukan lex causae. Oleh karena
itu, akan dibahas lebih jauh mengenai Rule 201 serta kaitannya pula dengan
penentuan lex causae.
1. Rule 201 – Dicey & Morris on the Conflict of Laws (12th
Ed. 1993)
Kaedah yang terkandung dalam Rule 201 merupakan salah satu
argumen yang penting dalam menentukan dan menjawab isu hukum
mana yang akan berlaku pada perkara ini. Bunyi dari Rule 201 adalah
sebagai berikut.
Rule 201
1) The obligation to restore the benefit of an enrichment obtained at
another person‟s expense is governed by the proper law of the
obligation.
2) The proper law of the obligation is (semble) determined as follows:
a. If the obligation arises in connection with a contract, its proper
law is the proper law of the contract;
b. If it arises in connection with a transaction concerning an
immovable (land), its proper law is the law of the country where
the immovable is situated (lex situs);
c. If it arises in any other circumstances, its proper law is the law
of the country where the enrichment occurs.
Melalui Rule 201 akan dapat ditentukan mana hukum yang pantas
diberlakukan. Terdapat beberapa kategori yang bisa ditarik dari Rule 201
sehubungan dengan situasi dan kondisi di mana hukum yang berlaku
akan berbeda ketika latar belakang sebuah kontrak atau transaksi itu
berbeda. Misalnya Pasal 2 poin (a), menyebutkan bahwa hukum yang
pantas diberlakukan adalah hukum yang tepat dari konrak ketika
kewajiban timbul sehubungan dengan kontrak. Pasal 2 poin (b), hukum
yang tepat ialah hukum negara di mana benda tak bergerak itu terletak
(lex situs) jika transaksi mengenai sebuah benda tak bergerak (misalnya:
tanah). Kemudian, Pasal 2 poin (c) yaitu bahwa hukum yang tepat
adalah hukum hukum negara di mana tindakan memperkaya diri itu
terjadi, hal ini berlaku saat muncul dalam keadaan lain (in any other
circumstances). Namun, perlu juga diingat bahwa argumen yang
digunakan dalam menentukan lex causae bukan hanya Rule 201. Kaedah
tersebut hanya salah satu dari sekian justifikasi yang memang menjadi
hal paling penting untuk diperhatikan. Dalam hal ini, tentunya
pertimbangan penggunaan kaedah tersebut ditentukan juga oleh para
hakim terkait perkara. Pada putusan jelas dikemukakan bahwa Rule 201
yang mana akan memberikan bimbingan/ pedoman (guidance) pada the
applicable law dalam hal ganti-rugian (restitusi) bahwa akan
menegaskan hukum yang tepat untuk diberlakukan terkait dengan
perjanjian (obligation). Dengan demikian, melihat betapa pentingnya
kaedah dalam Rule 201 maka pada subjudul berikutnya akan dibahas
mengenai keterhubungannya dengan bagaimana penentuan lex causae.
a. Keterkaitan Rule 201 dengan penentuan Lex Causae
Sebelumnya telah dibahas mengenai isi dari Rule 201 berkaitan
dengan suatu justifikasi dalam penentuan lex causae pada perkara
terkait. Di sini akan dijelaskan bagaimana keterkaitan Rule 201
sehingga digunakan sebagai acuan dalam menentukan hukum yang
diberlakukan. Jelas perihal paling utama yaitu kaitannya dengan
penentuan lex causae bahwa dalam Rule 201 terdapat kaedah yang
berhubungan dengan ganti kerugian dalam hal akan menegaskan
hukum yang tepat untuk digunakan (lex causae) dilihat dari
perbuatan hukum. Perbuatan hukum yang dimaksud ialah mengenai
isi dari Rule 201, apakah itu mengenai kewajiban yang timbul dari
kontrak, mengenai benda tak bergerak, atau terkait perbuatan hukum
yang timbul dalam situasi dan kondisi yang lain (in any other
circumstances).
b. Ruang lingkup (skopa) Rule 201 Pasal (2) poin (a)
Bahasan tentang ruang lingkup Rule 201 (a) yang bunyinya: “If the
obligation arises in connection with a contract, its proper law is the
proper law of the contract”, merupakan salah satu hal pokok yang
perlu dijelaskan. Penjelasan yang nantinya akan memberikan
gambaran tepat tidaknya jika digunakan sebagai acuan dalam
penentuan lex causae. Dalam hal ini akan digambarkan skopa kaedah
pada Rule 201 (2) (a) yang adalah batasan sehingga disandingkan
dengan kesesuaian berkaitan dengan perkara khususnya perbuatan
hukum di dalamnya. Pada putusan yang bersangkutan dinyatakan
ruang lingkup/ skopa/ batasan Rule 201 (2) (a) menurut Dicey &
Morris bahwa:
Although the obligation to restore an unjust benefit does not arise from a
contract, it may, and very frequently does, arise in connection with a
contract. This is the case where a party seeks to recover money paid
pursuant to an ineffective contract, eg by reason of a total failure of
consideration or as a repayment of money paid under an illegal contract or
where he claims a quantum meruit for work done or services rendered
under a contract which turned out to be void. In all these and similar
cases, it is submitted that the existence and the scope of the obligation to
restore the benefit are governed by the law which governs the contract, or
by what would have been the governing law of the contract, if it had been
validly concluded.4
Berangkat dari pernyataan tersebut, juga argumen dalam putusan,
jelas tidak mungkin untuk mengatakan bahwa pengembalian hasil
suap termasuk dalam kategori pengembalian uang yang terbayarkan
4 Putusan Kartika Ratna Thahir v PT Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara
(Pertamina), Suit No: CA 204/ 1992, poin. 33.
menurut sebuah kontrak yang tidak efektif (ineffective contract) atau