41 BAB III GONG PERDAMAIAN DUNIA DI AMBON DALAM KACAMATA ORANG AMBON Ambon merupakan ibu kota propinsi Maluku yang tidak hanya terkenal dengan kekayaan alam, namun juga beragam suku, budaya dan agama. Komunitas agama terbesar yang dianut oleh warga kota Ambon adalah Islam dan Kristen. Tahun 1999-2004 merupakan sejarah kelam yang terjadi di Ambon karena konflik kemanusiaan bernuansa agama. Berbagai upaya perdamaian dilakukan demi menciptakan kembali suasana hidup “orang basudara” di kota Ambon. Selanjutnya, sebagai salah satu dari simbol rekonsiliasi, tahun 2009 Gong Perdamaian Dunia diletakan di pusat kota Ambon. Pada Bab ini akan dijelaskan dua hal pokok, antara lain : (1) Pemaknaan masyarakat terhadap Gong Perdamaian Dunia di Ambon, (2) Upaya rekonsiliasi dan hubungan lintas agama di Ambon. 3.1. Gambaran Umum Kota Ambon. 3.1.1. Letak Geografis Letak Kota Ambon sebagian besar berada dalam wilayah Pulau Ambon, yang secara geografis berada pada posisi: 3º - 4º Lintang Selatan dan 128º - 129º Bujur Timur, di mana secara umum Kota Ambon meliputi wilayah di sepanjang pesisir dalam Teluk Ambon dan pesisir luar Jazirah Leitimur dengan total panjang garis
37
Embed
BAB III GONG PERDAMAIAN DUNIA DI AMBON DALAM …repository.uksw.edu/bitstream/123456789/13342/3/T2_752015017_BAB... · dan berdasarkan hasil survey tata guna tanah ... (Buton, Bugis,
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
41
BAB III
GONG PERDAMAIAN DUNIA DI AMBON
DALAM KACAMATA ORANG AMBON
Ambon merupakan ibu kota propinsi Maluku yang tidak hanya terkenal
dengan kekayaan alam, namun juga beragam suku, budaya dan agama. Komunitas
agama terbesar yang dianut oleh warga kota Ambon adalah Islam dan Kristen. Tahun
1999-2004 merupakan sejarah kelam yang terjadi di Ambon karena konflik
kemanusiaan bernuansa agama. Berbagai upaya perdamaian dilakukan demi
menciptakan kembali suasana hidup “orang basudara” di kota Ambon. Selanjutnya,
sebagai salah satu dari simbol rekonsiliasi, tahun 2009 Gong Perdamaian Dunia
diletakan di pusat kota Ambon.
Pada Bab ini akan dijelaskan dua hal pokok, antara lain : (1) Pemaknaan
masyarakat terhadap Gong Perdamaian Dunia di Ambon, (2) Upaya rekonsiliasi dan
hubungan lintas agama di Ambon.
3.1. Gambaran Umum Kota Ambon.
3.1.1. Letak Geografis
Letak Kota Ambon sebagian besar berada dalam wilayah Pulau Ambon, yang
secara geografis berada pada posisi: 3º - 4º Lintang Selatan dan 128º - 129º Bujur
Timur, di mana secara umum Kota Ambon meliputi wilayah di sepanjang pesisir
dalam Teluk Ambon dan pesisir luar Jazirah Leitimur dengan total panjang garis
42
pantai 102,7 Km. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1979 luas wilayah
Kota Ambon seluruhnya seluas 377 km2 dan berdasarkan hasil survey tata guna tanah
tahun 1980 luas wilayah daratan Kota Ambon tercatat seluas 359,45 Km2.1
Secara keseluruhan Kota Ambon berbatasan dengan Kabupaten Maluku Tengah
dengan batas – batas sebagai berikut: Sebelah Utara dengan Desa Hitu, sebelah
Selatan dengan Laut Banda. Sebelah Timur kota Ambon berbatasan dengan Desa
Suli, dan sebelah Barat dengan Desa Hattu.2
Gambar 1. Peta Kota Ambon.
1 R. Rizky dan T. Wibisono, Mengenal Seni dan Budaya Indonesia (Jakarta: CIF Penebar
Tahuri adalah alat musik dan komunikasi yang dikenal didaerah pesisir kepulauan Maluku.
Alat musik ini terbuat dari kulit kerang dan dibunyikan menggunakan cara ditiup. Jika ditiup bunyinya
akan terdengar nyaring. Semakin mungil ukuran kerangnya, semakin nyaring bunyinya. Semakin besar
ukuran kerangnya, bunyinya pun semakin rendah. Pada awalnya alat musik tahuri berfungsi sebagai
alat komunikasi antara raja dan warga, serta raja dengan staf-staf negeri. Kemudian dalam
perkembangannya tahuri berfungsi pula sebagai pemandu dalam acara-acara adat di Maluku. Tahuri
juga menjadi salah satu benda arkeologi. Tahuri sebagai alat musik tradisional masyarakat Maluku,
dan sebagai cendramata atau souvenir baik buat lokal maupun non lokal.
60
akang bukan gong. (Bila ingin membandingkan gong dengan tahuri
maka kami lebih mengenal tahuri daripada gong. Orang tua zaman
dulu, marinyo ketika hendak memanggil masyarakat untuk berkumpul
pasti mereka akan meniup tahuri. Jarang sekali mereka menggunakan
gong. Jika dilihat dari bentuknya, mungkin totobuang tampilannya
mirip dengan gong, tetapi tatap saja totobung bukanlah gong).28
Gong bukanlah alat musik atau suatu benda yang mudah ditemukan dan sering
dipergunakan oleh orang Ambon dalam acara-acara adat atau kegiatan resmi lainnya.
Beberapa daerah tertentu di Indonesia menggunakan gong sebagai alat musik
pengiring tari-tarian, atau ketika gong dipukul menjadi tanda bagi masyarakat untuk
berkumpul di suatu tempat dan mendengarkan sebuah pemberitahuan, namun tidak
demikian dengan orang Ambon. Orang Ambon lebih akrab dengan tahuri sebagai alat
atau benda yang berasal dari tradisi atau kebudayaan mereka, atau disamping itu
dikenal sebuah alat musik khas orang Ambon yaitu totobuang, namun bagi orang
Ambon sendiri, totobuang bukanlah gong.
Yang beta tahu, gong itu akang bukan asli katong orang Ambon
punya. Gong itu akang banyak di Jawa, orang Jawa boleh, dong pake
akang banya. Katong orang Ambon seng pake akang di acara-acara
penting kayak mau acara nikah atau manari kayak di Jawa. Orang
tatua kasi kanal katong deng tifa totobuang, itu baru yang katong tahu
akang asli dari sini. Biasanya katong di Maluku nih orang-orang
Sarane yang barmaeng akang totobuang itu, tapi akang paleng bagus
kalo dengan musik sawat yang biasa orang Salam dong pake. Ada
sanggar-sanggar yang khusus macam di Soya, nah kalo ada acara
adat mau sambut tamu dari luar baru dong sanggar itu yang biasa
maeng totobuang, karna memang seng samua orang deng samua
daerah tahu barmaeng totobuang tu. (Yang saya ketahui, gong
bukanlah asli milik orang Ambon. Gong kebanyakan dan lebih sering
dipergunakan oleh orang Jawa. Kami, orang Ambon tidak
28
Wawancara dengan Shuresj Tomaluweng, pekerja perdamaian di Ambon dari komunitas
Badati, beragama Kristen. Tanggal 4 Februari 2017 di Passo, Negri Lama.
61
menggunakan gong dalam acara-acar penting seperti pernikahan atau
tari-tarian. Orang tua atau leluhur mengenalkan kami dengan tifa
totobuang, alat tersebutlah yang kami tahu berasal dari daerah kami
(Ambon-Maluku). Biasanya alat musik tifa totobuang dimainkan oleh
orang-orang Kristen, namun dengan perpaduan musik sawat yang
biasanya dimainkan oleh orag Islam, bunyinya terdengar indah. Ada
sanggar-sanggar khusus seperti di Soya yang bila ada acara adat atau
penyambutan tamu dari luar maka mereka itulah yang biasanya
memainkan tifa totobuang, karena memang tidak semua orang dan
semua daerah tahu cara memainkan tifa totobuang). 29
Menurut orang Ambon sesuai dengan sejarah atau apa yang mereka dengar
dari nenek moyang mereka, gong tidak berasal dari Ambon. Gong lebih banyak
ditemukan dan dipakai di Pulau Jawa. Tifa totobuang adalah alat yang lebih sering
dipergunakan oleh orang Ambon dan diketahui berasal dari Ambon. Tifa totobuang
dimainkan secara solo namun juga dapat dikombinasikan dengan permainan musik
sawat. Disini ditemukan perjumpaan antar agama dalam pentas musik karena pada
umumnya, yang memainkan tifa totobuang adalah orang Kristen, sedangkan musik
sawat dimainkan oleh orang Islam. Meskipun tidak semua orang atau semua daerah
tahu cara menggunakan atau memainkan tifa totobuang, namun tradisi penyambutan
tamu atau acara adat dengan memakai totobuang tidak pernah mati, sebab beberapa
daerah di Ambon-Maluku tetap melestarikan tradisi ini, dan bahkan negeri-negeri
tertentu membentuk sanggar dimana anak-anak muda diajarkan untuk memainkan tifa
totobuang.
29
Wawancara dengan sekertaris Majelis Latupati Kota Ambon. Tanggal 31 Januari 2017, di
Kantor Majelis Latupati Kota Ambon.
62
Orang Ambon memahami bahwa gong bukanlah alat musik tradisional
maupun alat yang dipakai dalam tradisi atau adat dan kebudayaan yang lahir,
bertumbuh dan berkembang dalam tatanan hidup mereka. Gong sama sekali bukan
warisan leluhur yang kerap kali digunakan oleh orang Ambon, karena asal dan
intensitas penggunaan sebuah gong di Ambon terbilang sangat minim. Dengan
demikian, masyarakat Ambon sama sekali tidak menemukan identitas mereka lewat
gong, maupun Gong Perdamaian Dunia. Orang Ambon tidak “terwakilkan” melalui
gong, dan sebaliknya gong tidak dapat mewakilkan dirinya sebagai simbol orang
Ambon.
3.2.5. Gong Perdamaian Dunia Hanya Aset Pemerintah Daerah.
Gong Perdamaian Dunia atau yang dikenal secara global dengan World Peace
Gong bukanlah aset satu-satunya warga Ambon, pasalnya gong perdamaian dunia
sudah tersebar sangat banyak di beberapa negara di dunia. (lih. Tabel 3). Gong
Perdamaian dunia yang berlokasi di Taman Pelita, Ambon merupakan Gong
Perdamaian Dunia ke-35.
Gong ini dianggap milik pemerintah provinsi Maluku. Hal ini disebabkan
karena setiap pengunjung yang dalam seminggu berkisar 40-50 orang ketika hendak
memasuki monument Gong Perdamaian Dunia di Ambon harus membayar biaya
masuk sebesar Rp.5.000/orang entah itu pendatang dari luar Ambon, atau bahkan
warga Ambon sendiri.30
Sedangkan, gong tersebut tampak tidak terawat dan dikelola
30
Hasil wawancara dengan salah satu penjaga/penjual karcis masuk Monument Gong Perdamaian Dunia. Tanggal 30 Januari 2017, di Monument Gong Perdamaian Dunia Ambon.
63
dengan baik. Pengunjung hanya bisa berfoto di bagian atas (gong), tapi jarang sekali
pintu museum (yang berisi dokumentasi tentang konflik Maluku 1999-2002) di buka
bagi para pengunjung. Masyarakat Ambon jarang sekali terlibat secara penuh dalam
aktivitas menyuarakan perdamaian melalui Gong Perdamaian Dunia, dan lebih parah
lagi walau pun ternyata kegiatan seperti itu diadakan, partisipasi pemerintah sangatlah
minim.
Gambar 5. Gong Perdamaian Dunia di Ambon (Tampak tidak terawat).
Beta waktu itu, tahun 2013 biking project film tentang perdamaian
yang judulnya “Hanna”, dan karna mau supaya film ini bisa dinikmati
banyak orang deng sebaik mungkin, katong mau putar di Gong
Perdamaian karena lokasinya itu batul-batul titik central di kota
Ambon. Kenyataannya adalah beta deng tamang-tamang nih adalah
anak muda yang ingin menyuarakan perdamaian lewat media ini
(pemutaran film) dan sebagai volunteer katong seng dibayar. Tapi
saat katong bicara deng dinas Pariwisata Proinsi Maluku yang pung
wewenang kelola Gong Perdamaian, katong akses dibatasi, harus
64
sewa keamanaan, sewa lokasi Rp.2.500.000.00,- (dua juta lima ratus
ribu rupiah), dan pemerintah sama skali seng kasi dukungan untuk
katong pung kegiatan perdamaian itu. Dan malah sampe disana, dong
tanya kanapa musti putar film di gong sini?. Jadi par beta, gong ini
cuma jadi simbol pencitraan saja dari pemerintah voor dunia luar liat
kalo dolo pernah terjadi konflik basar di Ambon la skarang ni su
damai. (Di Tahun 2013, saya sedang membuat project film tentang
perdamaian yang berjudul “Hanna”, dan karena keinginan agar film ini
dapat dinikmati oleh banyak orang sebaik mungkin, kami hendak
memutar film ini di lokasi Gong Perdamaian karena tempatnya yang
strategis dan merupakan titik pusat Kota Ambon. Saya dan beberapa
teman lainnya adalah anak-anak muda yang ingin menyuarakan
perdamaian lewat media ini, yaitu pemutaran film bertema
perdamaian, dan sebagai relawan pekerja perdamaian, kami sama
sekali tidak mendapat bayaran dari siapa pun. Namun, saat kami
berbicara dengan Dinas Pariwisata Provinsi Maluku yang memiliki
kewenangan untuk mengelola Gong Perdamaian Dunia, akses kami
malah dibatasi, kami harus menyewa keamanan, biaya sewa lokasi
sebesar Rp.2.500.000.00,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) dan
pemerintah sama sekali tidak memberi dukungan atau pun
berkontribusi dalam kegiatan perdamaian dimaksud. Bahkan, ketika
kami berbicara dengan mereka, mereka malah bertanya mengapa harus
memutar film tersebut disini? Jadi menurut saya, Gong Perdamaian
dunia ini hanya menjadi simbol pencitraan saja oleh Pemerintah
kepada dunia luar untuk mengetahui dan melihat bahwa dulu pernah
terjadi konflik besar-besaran di Ambon dan sekarang Ambon sudah
damai).31
Bagi pekerja perdamaian di Ambon, awalnya mereka melihat Gong
Perdamaian Dunia sebagai aset besar bagi rakyat Ambon sendiri, dan lewat Gong
Perdamaian mereka dapat menyuarakan gaung perdamaian sampai ke pelosok
wilayah Ambon. Namun kenyataannya, pemerintah tidak mendukung penuh kegiatan
perdamaian yang dilakukan, dan malah mempertanyakan alasan penggunaan
monument Gog Perdamaian Dunia yang jelas-jelas telah diketahui alasannya. Hal
31
Wawancara dengan Rifky Husain. Salah satu pekerja perdamaian di Kota Ambon, beragama
Islam. Tanggal 28 Februari 2017, di Jl. Ay Patty.
65
inilah yang kemudian mengakibatkan kurangnya kepedulian masyarakat Ambon
sendiri terhadap Gong Perdamaian Dunia.
Jelas terlihat dalam hal ini bahwa pemerintah hanya melihat Gong Perdamaian
Dunia sebagai “penghias kota” yang mendatangkan pendapatan daerah. Pemerintah
menjadi pihak yang memberi fasilitas bagi masyarakat kota Ambon dan pengunjung
lainnya untuk melihat Gong Perdamaian Dunia sebagai simbol perdamaian yang
ditempatkan di Ambon. Namun kenyataannya, fasilitas tersebut tidak dapat
digunakan semaksimal mungkin oleh warga kota Ambon, apalagi oleh pihak-pihak
yang bergerak dalam upaya menyuarakan dan menggemakan suara Perdamaian di
kota Ambon. Selain itu, nampak juga bahwa Gong Perdamaian Dunia tersebut sama
sekali tidak dirawat dengan baik oleh pemerintah yang memang bertanggung jawab
atas gong tersebut. Gong Perdamaian Dunia hanya menjadi simbol yang mati,
maknanya sama sekali tidak diresapi oleh masyarakat kota Ambon, dan yang
seharusnya menjadi fasilitator (pemerintah) pun tidak melakukan kegiatan yang
berarti untuk menyuarakan pesan perdamaian melalui Gong Perdamaian itu.
3.2.6. Gong Perdamaian Dunia: Destinasi Pariwisata VS Simbol Rekonsiliasi.
Gong Perdamaian Dunia yang diletakan di Kota Ambon sejatinya memiliki 2
tujuan, yaitu agar semangat perdamaian tetap ada di Indonesia khususnya di Ambon,
dan untuk menunjang pariwisata di Maluku. Tetapi yang lebih nampak adalah tujuan
kedua dari Gong Perdamaian Dunia. Gong tersebut lebih difungsikan sebagai tujuan
pariwisata dari orang-orang yang berada di luar wilayah kota Ambon. Sedangkan
66
orang Ambon sendiri umumnya melihat Gong Perdamaian dunia ini sebagai tempat
bersantai di sore atau malam hari.
Saya datang ke sini ya karena suasana Gong Perdamaian bila di lihat
malam hari sangat bagus dengan penataan lampunya. Ada tempat
duduk untuk bersantai dan bisa juga untuk kita foto-foto.32
Monument Gong Perdamaian Dunia memang merupakan salah satu tempat di
kota Ambon yang sering dikunjungi oleh orang Ambon sendiri maupun oleh
pendatang dari luar Ambon yang ingin melihat seperti apa bentuk Gong Perdamaian
Dunia di Ambon. Biasanya, menjelang malam, Gong Perdamaian Dunia ramai
dengan pengunjung yang hendak berfoto di monument tersebut. Gong tersebut lebih
diaplikasikan sebagai icon pariwisata.
Gong Perdamaian Dunia di Ambon sepertinya hanya jadi tempat
periwisata. Pemerintah daerah yang punya wewenang tertinggi
harusnya lebih menginfokan tentang Gong Perdamaian ke warga
Ambon, tapi nyatanya tidak. Bahkan, dalam pidato gubernur atau
walikota dan orang penting lainnya, tidak ada yang menyebutkan
tentang gong itu. Akhirnya, masyarakat tidak terlalu menaruh
perhatian atau memiliki pengetahuan dan pemaknaan yang mendalam
tentang Gong Perdamaian Dunia bila dibandingkan dengan Patung
Pattimura, misalnya. Gong Perdamaian dunia ini harusnya menjadi
simbol paling utama tentang rekonsiliasi, mengingat begitu banyak
negara (yang termuat dalam bendera negara-negara dalam gong)
yang mendukung perdamaian terjadi. Tapi minimnya perhatian dari
pemerintah daerah sendirilah yang membuat orang Ambon kurang
memaknai Gong Perdamaian Dunia sebagai simbol rekonsiliasi paling
penting di Ambon. Apalagi dengan museum yang sangat jarang
dibuka. Akhirnya orang kan hanya datang foto-foto tanpa turun lagi
32
Wawancara dengan Shella, salah satu pengunjung Monument Gong Perdamaian Dunia.
Tanggal 3 Februari 2017, di Monument Gong Perdamaian Dunia di Ambon.
67
liat di Museum tentang latar belakang konflik atau bukti-bukti konflik
Ambon. 33
Penyebab Gong Perdamaian Dunia tidak dianggap sebagai salah satu aset
penting tentang perdamaian dan hubungan rekonsiliasi lintas agama bagi orang
Ambon adalah karena pemerintah tidak memberikan informasi yang mendalam
tentang ditempatkannya gong tersebut di Kota Ambon. Pemerintah kota dan provinsi
tidak memaksimalkan fungsi Gong Perdamaian Dunia sebagaimana mestinya, mereka
hanya lebih fokus untuk menjadikan Gong Perdamaian Dunia sebagai tujuan
pariwisata, daripada gong sebagai salah satu simbol perdamaian yang tidak hanya
secara umum bagi dunia, tetapi lebih khusus warga Ambon.
Gong Perdamaian Dunia yang ada di Ambon menurut saya hanya
simbol mati saja. Gong Perdamaian itu hanya dinikmati oleh orang
dari luar wilayah Ambon sebagai “wisata konflik”. Artinya, bila
masuk ke museum bagian bawah gong maka akan terlihat dokumentasi
(berupa foto-foto) saat konflik tahun 1999-2002 terjadi. Ya, syukur
kalau museum itu dibuka, kalau tidak ya pasti pengunjung hanya
berfoto saja di gong tanpa tahu secara jelas bagaimana perjalanan
cerita konflik Ambon. Gong tidak bisa menjadi representasi cara
orang Ambon “bakubae”, gong itu tidak mampu menampung makna
kata damai bagi orang Ambon. Rekonsiliasi terjadi dari hal-hal yang
sederhana. Saat kita melakukan kebaikan dan orang lain pun
melakukan hal yang baik, serta membangun hubungan persaudaraan
yang lebih erat, disitulah damai. (Berdamai).
34
Gong Perdamaian Dunia tidak mendapat perhatian yang besar dari warga
Ambon, gogg tersebut lebih menjadi konsumsi pihak pengunjung yang berasal dari
33
Wawancara dengan Syarifa Alydruz (Ipeh). Salah satu pekerja perdamaian di Kota Ambon,
beragama Islam. Tanggal 28 Februari 2017, di Belakang Soya. 34
Wawancara dengan Rifky Husain. Salah satu pekerja perdamaian di Kota Ambon, beragama
Islam. Tanggal 28 Februari 2017, di Jl. Ay. Patty.
68
luar wilayah Ambon. Bagi narasumber, gong hanya dijadikan “wisata konflik”, yang
mana di bagian bawah monument terdapat museum berisi dokumentasi konflik 1999.
Museum tersebut jarang sekali dibuka, sehingga ketika pengunjung datang, mereka
hanya berfoto di depan Gong Perdamaian Dunia. Hal ini mengakibatkan pemahaman
tentang konflik Ambon hingga berbagai upaya perdamaian yang menjadi sejarah bagi
orang Maluku, tidak dapat dilihat secara langsung oleh pengunjung. Dengan
demikian, gong tidak dimaknai sebagai simbol perdamaian dan rekonsiliasi hubungan
lintas agama di Ambon, orang Ambon lebih melihat perdamaian terwujud dalam
tindakan “baku bae” yang mereka lakukan bagi saudara mereka yang berbeda agama.
Saya tidak melihat Gong Perdamaian Dunia sebagai simbol yang
benar-benar menyuarakan perdamaian di Kota Ambon, sebab gong itu
terlihat sunyi-sunyi saja. Kalau pun ramai, hanya sebagai pajangan
atau tempat wisata. Harusnya di lokasi Gong Perdamaian yang luas
itu dibangun juga tempat atau ruangan-ruangan khusus bagi
komunitas yang bekerja untuk perdamaian di Kota Ambon (supporting
system). Setidaknya gong tersebut dapat menjadi laboratorium untuk
kerja perdamaian yang dilakukan dengan latar belakang menyuarakan
gaung perdamaian menggunakan Gong Perdamaian Dunia di Ambon.
Orang Ambon tidak memaknai Gong Perdamaian Dunia sebagai
simbol perdamaian dan Rekonsiliasi di Kota Ambon atau pun Negeri
Raja-Raja, sebab gong bukan hasil kesepakatan orang Ambon untuk
berada di wilayah mereka.Gong tersebut adalah produk pemerintah.
Perdamaian yang terjadi di Ambon karena pengalaman pahit konflik
’99 dan orang memang telah lelah dan merasa rugi dengan suasana
konflik. Itulah sebabnya ada rekonsiliasi di Ambon, dan bukan karena
Gong Perdamaian Dunia. 35
35
Wawancara dengan Mossalam Latuconsina. Salah satu pekerja perdamaian di Kota Ambon,
beragama Islam. Tanggal 27 Februari 2017, di Ambon City Center, Passo.
69
Gong Perdamaian Dunia menjadi tidak terlalu penting bagi warga Ambon
karena gong tersebut bukan hasil kesepakatan atau permintaan dari masyarakat
Ambon. Konflik berakhir dan orang Ambon berdamai karena pada akhirnya mereka
lelah dan sadar akan akibat dari konflik itu sendiri. Dengan demikian, bagi para
pekerja perdamaian di Ambon, Gong Perdamaian Dunia diharapkan tidak saja
menjadi sebuah pajangan atau hiasan kota. Monument sebesar itu sebaiknya dijadikan
labolatorium untuk pekerjaan perdamaian di Ambon, sehingga tujuan ditempatkannya
Gong Perdamaian Dunia terlaksana lewat berbagai kegiatan yang dilakukan dimana
Gong Perdamaian Dunia menjadi medianya.
Hadirnya Gong Perdamaian Dunia di Ambon bisa menjadi simbol
perdamaian dan sebagai identitas orang Ambon tentang relasi antar
agama khususnya diantara dua komunitas besar agama yang dulu
berkonflik (Islam-Kristen) agar tidak lagi terjadi konflik di masa
mendatang. Namun, tidak ada jaminan yang pasti bahwa dengan
adanya gong itu maka perdamaian bisa terwujud dan tidak akan ada
lagi konflik. Karena pada kenyataannya, konflik selesai dan Ambon
damai berasal dari keinginan orang Ambon lagi untuk tidak lagi
berkonflik.36
Gong Perdamaian Dunia dapat dijadikan sebagai simbol perdamaian bagi
warga Ambon bila berkaca dari konflik yang pernah terjadi tahun 1999. Namun,
kehadiran Gong Perdamaian Dunia sendiri tidak bisa dijadikan jaminan bahwa
dengan adanya gong maka tidak ada lagi konflik. Hal ini lebih condong sebagai
sebuah harapan.
36
Wawancara dengan Sekertaris Majelis Latupati Kota Ambon. Tanggal 4 Februari 2017, di
Kantor Majelis Latupati Kota Ambon.
70
Pernyataan di atas menjelaskan bahwa kehadiran Gong Perdamaian Dunia
sama sekali tidak memiliki dampak besar bagi orang Ambon tentang perdamaian.
Gong hanya sebagai tempat dimana para pengunjung datang dan mengabadikan
moment mereka dengan Gong Perdamaian Dunia di Ambon yang penampilannya
terlihat manarik saat malam hari. Gong Perdamaian Dunia mungkin memiliki nilai-
nilai tertentu bagi pengunjung dari luar Ambon, entah untuk mengetahui bagaimana
suasana konflik saat itu, namun ketertarikan atau minat yang seperti itu, tidak banyak
dimiliki oleh orang Ambon sendiri.
3.3. Upaya Rekonsiliasi dan Hubungan Lintas Agama di Ambon.
Konflik besar-besaran yang terjadi di Ambon telah selesai di tahun 2004.
Penempatan Gong Perdamaian Dunia ke-35 tahun 2009 di Ambon menjadi simbol
bahwa kota Ambon sudah damai. Namun, 11 September 2011, Ambon kembali
dilanda “guncangan konflik” akibat tewasnya tukang ojek beragama Muslim, yang
jenazahnya ditemukan di daerah Kristen. Kericuhan 11 September mengakibatkan
Puluhan kendaraan, rumah serta tempat ibadah terbakar diamuk masa dan
mengakibatkan beberapa orang tewas terkena tembakan serta ratusan orang luka-
luka.
Pihak-pihak yang lelah dengan konflik dan berusaha untuk meminimalisir
agar konflik 11 September 2011 tidak membias semakin luas akhirnya melakukan
upaya-upaya perdamaian di kota Ambon. Berbagai cara dilakukan untuk
71
menyerukan perdamaian di Ambon Manise, kemudian lahirlah komunitas-
komunitas perdamaian yang melakukan kerja perdamaian di Ambon hingga kini.
11 September 2011 melahirkan gerakan “Provokator Damai” yang berjuang
untuk melakukan provokasi-provokasi bernada damai untuk melawan provokasi
yang membuat masyarakat kota Ambon menjadi was-was. Munculah “Gerakan
Badati”, sebuah gerakan damai dengan mediasi perdamaian ala warung kopi.
Sampai pada gerakan “#SaveAru” yang cukup berhasil membantu masyarakat
Kepulauan Aru dari pencaplokan tanah-tanah adat mereka.37
Beta merasa bergabung di Badati38
itu suatu ide dan tindakan yang
bagus. Morika Tetelepta yang panggil beta dan gabung ke Badati, lalu
ketemu deng usi39
Els. Lalu kemudian katong kumpul di Balitbang
GPM dan beta kenal deng bapa Jacky Manuputty. Beta tertarik
dengan inovasinya bapa Jacky tentang filter info. Usi Els bilang
katong program yang di Badati ini bagi-bagi kopi ke orang-orang
yang jaga keamanan waktu peristiwa 11 September dan setelahnya.
Beta kemudian kembangkan filter info dari “provokator damai” itu
dengan minta nomor-nomor kontak beberapa orang (misalnya raja
atau ketua RT, dll) untuk konfirmasi dan bagikan semua info melalui
filter info tadi. Jadi, semua informasi yang katong (Kopi Badati)
berikan adalah informasi yang sebenarnya, sesuai deng apa yang
terjadi. Jadi semua yang katong bikin, ternyata efektif dan sangat
membantu rekonsiliasi. (Saya merasa bergabung di Badati adalah suatu
ide dan tindakan yang benar. Morika Tetelepta adalah orang yang
mengajak saya untuk bergabung di Badati dan di sanalah saya bertemu
dengan Usi Els. Lalu akhirnya kami berkumpul di Balitbang GPM dan
saya kenal dengan Bapak Jacky Manuputty. Saya tertarik dengan
inovasi beliau tentangg filter info. Usi Els menerangkan tentang
program yang dilakukan oleh Badati adalah dengan memberikan kopi
kepada orang-orang yang menjaga keamanan saat 11 September
maupun pasca moment itu. Saya kemudian mengembangkan filter info
dari “provokator damai” itu dengan meminta nomor-nomor kontak