BAB III DASAR TEORI 3.1 UMUM Pada kegiatan penambangan, proses penggalian merupakan kegiatan yang utama. Penggalian dilakukan terhadap massa batuan yang memiliki struktur geologi yang kompleks didalamnya. Oleh karena itu diperlukan suatu perancangan yang tepat agar massa batuan tetap dalam kesetimbangannya. Perancangan yang buruk dapat mengakibatkan bahaya kelongsoran pada waktu-waktu yang akan datang yang dapat berakibat pada keselamatan kerja, keamanan peralatan dan harta benda, serta kelancaran produksi tambang yang akhirnya akan menaikkan biaya produksi, yang jelas tidak diinginkan oleh suatu perusahaan tambang. Ada empat parameter yang perlu diperhatikan dalam perancangan kemantapan lereng di tambang terbuka, yaitu rencana penambangan, kondisi struktur geologi, sifat- sifat fisik dan mekanik material pembentuk lereng dan tekanan air tanah. Dari ke-empat parameter tersebut, struktur geologi merupakan parameter yang paling dominan dalam mengontrol kemantapan lereng batuan baik bentuk maupun arah longsoran lereng. Terdapat tiga jenis metode analisis kemantapan lereng, yaitu metode analitik, metode empirik, dan metode observasi. Metode analitik Metode analitik merupakan metode yang didasarkan atas analisis tegangan- regangan yang terdapat pada lereng. Metode empirik Metode empirik merupakan metode yang didasarkan atas pengalaman praktis dan analisis statistik dari pengamatan berbagai pekerjaan-pekerjaan sebelumnya. Klasifikasi massa batuan merupakan pendekatan empirik yang paling terkenal dalam analisis kestabilan lereng (Goodman, 1980; Hoek & Brown, 1980). Metode observasi Metode observasi merupakan metode yang didasarkan atas hasil pengamatan langsung terhadap perpindahan yang terjadi pada massa batuan. Pengamatan 22
24
Embed
BAB III DASAR TEORI - · PDF fileKlasifikasi massa batuan merupakan pendekatan ... foliasi pada batuan metamorf. ... menjadi kelas massa batuan. Memberikan dasar-dasar untuk pengertian
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB III
DASAR TEORI
3.1 UMUM
Pada kegiatan penambangan, proses penggalian merupakan kegiatan yang
utama. Penggalian dilakukan terhadap massa batuan yang memiliki struktur geologi
yang kompleks didalamnya. Oleh karena itu diperlukan suatu perancangan yang tepat
agar massa batuan tetap dalam kesetimbangannya. Perancangan yang buruk dapat
mengakibatkan bahaya kelongsoran pada waktu-waktu yang akan datang yang dapat
berakibat pada keselamatan kerja, keamanan peralatan dan harta benda, serta kelancaran
produksi tambang yang akhirnya akan menaikkan biaya produksi, yang jelas tidak
diinginkan oleh suatu perusahaan tambang.
Ada empat parameter yang perlu diperhatikan dalam perancangan kemantapan
lereng di tambang terbuka, yaitu rencana penambangan, kondisi struktur geologi, sifat-
sifat fisik dan mekanik material pembentuk lereng dan tekanan air tanah. Dari ke-empat
parameter tersebut, struktur geologi merupakan parameter yang paling dominan dalam
mengontrol kemantapan lereng batuan baik bentuk maupun arah longsoran lereng.
Terdapat tiga jenis metode analisis kemantapan lereng, yaitu metode analitik,
metode empirik, dan metode observasi.
Metode analitik
Metode analitik merupakan metode yang didasarkan atas analisis tegangan-
regangan yang terdapat pada lereng.
Metode empirik
Metode empirik merupakan metode yang didasarkan atas pengalaman praktis
dan analisis statistik dari pengamatan berbagai pekerjaan-pekerjaan sebelumnya.
Klasifikasi massa batuan merupakan pendekatan empirik yang paling terkenal
dalam analisis kestabilan lereng (Goodman, 1980; Hoek & Brown, 1980).
Metode observasi
Metode observasi merupakan metode yang didasarkan atas hasil pengamatan
langsung terhadap perpindahan yang terjadi pada massa batuan. Pengamatan
22
dilakukan terhadap lereng kerja (working slope) maupun lereng akhir (final
slope).
Klasifikasi massa batuan yang terdiri dari beberapa parameter sangat cocok
untuk mewakili karakteristik massa batuan, khususnya sifat-sifat bidang lemah atau
kekar dan derajat pelapukan massa batuan. Atas dasar ini sudah banyak usulan atau
modifikasi klasifikasi massa batuan yang dapat digunakan untuk merancang
kemantapan lereng. Pada umumnya klasifikasi tersebut mencoba menghubungkan
parameter sudut kemantapan lereng dengan bobot klasifikasi massa batuan untuk
berbagai tinggi lereng. Romana (1985 & 1991) menekankan deskripsi detil dari kekar
untuk melihat potensi kelongsorannya dan pengaruh cara penggalian terhadap
kemantapan lereng.
3.2 MASSA BATUAN
Palmstorm (2001) menjelaskan konsep massa batuan yang idealnya merupakan
susunan dari sistem blok-blok dan fragmen-fragmen batuan yang dipisahkan oleh
bidang-bidang diskontinu yang masing-masing saling bergantung sebagai sebuah
kesatuan unit, lihat gambar 3.1.
Gambar 3.1 Konsep pembentukan massa batuan (Palmstrom,2001)
Adanya bidang diskontinu ini membedakan kekuatan massa batuan dengan
kekuatan batuan utuh atau intact rock. Massa batuan akan memiliki kekuatan yang lebih
kecil dibandingkan dengan batuan utuh. Variasi yang besar dalam hal komposisi dan
struktur dari batuan serta sifat dan keberadaan bidang diskontinu yang memotong
23
batuan akan membawa komposisi dan struktur yang kompleks terhadap suatu massa
batuan. Melakukan test in-situ pada suatu massa batuan akan menghasilkan variasi yang
luar biasa dari sifat mekanik yang terdapat dalam satu massa batuan dari satu tempat ke
tempat lainnya.
Kurang tersedianya data geologi untuk pengkarakterisasian dari suatu lokasi
batuan akan memberikan halangan utama terhadap proses desain, kontruksi dan operasi
penggalian batuan. Pengembangan dari metode dan teknik pengkarakterisasian suatu
lokasi batuan, serta intepretasi data adalah penelitian utama yang dibutuhkan, bukan
hanya untuk penggalian batuan dalam ukuran besar tapi untuk seluruh bentuk dari
rekayasa batuan (Brown, 1986).
Oleh karena itu, sifat atau karateristik massa batuan tidak dapat diperkirakan
tetapi harus dilakukan pengukuran dari hasil observasi, deskripsi dan melakukan test
langsung maupun tidak langsung yang didukung oleh test laboratorium dengan
menggunakan specimen kecil dari batuan, dimana karakteristik dari parameter massa
batuan akan didapatkan.
Gambar 3.2 Karakteristik batuan in-situ (A.A. Balkema publishers, 2001, pp. 49 – 97)
24
3.3 BIDANG DISKONTINU
Secara umum bidang diskontinu merupakan bidang yang membagi-bagi massa
batuan menjadi bagian-bagian yang terpisah. Menurut Priest (1993), bidang diskontinu
adalah setiap bidang lemah yang terjadi pada bagian yang memiliki kuat tarik paling
lemah dalam batuan. Menurut Gabrielsen (1990), keterjadian bidang diskontinu tidak
terlepas dari masalah perubahaan stress (tegangan), temperatur, strain (regangan),
mineralisasi dan rekristalisasi yang terjadi dalam waktu yang panjang.
Dari beberapa pengertian diatas, dapat disimpulkan bahwa bidang diskontinu
terbentuk karena tegangan tarik yang terjadi pada batuan. Hal ini yang membedakan
antara diskontinuitas alami, yang terbentuk oleh peristiwa geologi atau geomorfologi,
dengan diskontinuitas artifisial yang terbentuk akibat aktivitas manusia misalnya
pengeboran, peledakan dan proses pembongkaran material batuan. Secara tiga dimensi,
struktur diskontinuitas pada batuan disebut sebagai struktur batuan sedangkan batuan
yang tidak pecah disebut sebagai material batuan yang bersama struktur batuan,
membentuk massa batuan.
Beberapa macam bidang diskontinu yang digolongkan berdasarkan ukuran dan
komposisi bidang diskontinu adalah sebagai berikut:
1. Fault atau patahan
Fault atau patahan adalah bidang diskontinu yang secara jelas memperlihatkan
tanda-tanda bidang tersebut mengalami pergerakan. Tanda-tanda tersebut
diantaranya adalah adanya zona hancuran maupun slickensided atau jejak yang
terdapat disepanjang bidang fault. Fault dikenal sebagai weakness zone karena
akan memberikan pengaruh pada kestabilan massa batuan dalam wilayah yang
luas.
2. Joint atau kekar
Beberapa pengertian joint atau kekar :
• Berdasarkan ISRM (1980), joint atau kekar adalah bidang diskontinu yang
terbentuk secara alami tanpa ada tanda-tanda pergeseran yang terlihat.
• Menurut Price (1966), joint adalah retakan pada batuan yang tidak
menunjukkan tanda-tanda pergerakan, atau meskipun mengalami pergerakan
tetapi sangat kecil sehingga bisa diabaikan.
25
Joint berdasarkan lokasi keterjadiannya dapat dikelompokkan menjadi :
• Foliation joint adalah bidang diskontinu yang terbentuk sepanjang bidang
foliasi pada batuan metamorf.
• Bedding joint adalah bidang diskontinu yang terbentuk sepanjang bidang
perlapisan pada batuan sedimen.
• Tectonic joint (kekar tektonik) adalah bidang diskontinu yang terbentuk
karena tegangan tarik yang terjadi pada proses pengangkatan atau tegangan
lateral, atau efek dari tekanan tektonik regional (ISRM, 1975). Kekar
tektonik pada umumnya mempunyai permukaan datar (planar), kasar
(rough) dengan satu atau dua joint set.
3. Fracture
Fracture adalah bidang diskontinu pada batuan yang terbentuk karena adanya
proses pelipatan dan patahan yang intensif (Glossary of Geology, 1980).
Fracture adalah istilah umum yang dipakai dalam geologi untuk semua bidang
diskontinu. Namun istilah ini jarang dipakai untuk kepentingan yang
berhubungan dengan rock engineering dan engineering geology.
4. Crack
Crack adalah bidang diskontinu yang berukuran kecil atau tidak menerus
(ISRM1975). Namun dibeberapa rock mechanic engineer menggunakan istilah
fracture dan crack untuk menjelaskan pecahan atau crack yang terjadi pada saat
pengujian batuan, peledakan dan untuk menjelaskan mekanisme pecahnya
batuan.
5. Rupture
Rupture adalah pecahan atau bidang diskontinu yang terjadi karena proses
ekskavasi atau pekerjaan manusia yang lain.
6. Fissure
Fissure adalah bidang diskontinu yang berukuran kecil, terutama yang tidak
terisi atau terbungkus oleh material isian.
7. Bedding (bidang pelapisan)
Merupakan istilah untuk bidang perlapisan pada batuan sedimen. Bedding
terdapat pada permukaan batuan yang mengalami perubahan ukuran dan
26
orientasi butir dari batuan tersebut serta perubahan mineralogi yang terjadi
selama proses pembentukan batuan sedimen.
8. Seam adalah:
- Zona lempung dengan ketebalan beberapa centimeter (sebagian kecil).
Ketika muncul sebagai zona lemah pada material sedimen, seam bisa
menjadi lebih tebal. Di sisi lain, seam bisa direpresentasikan sebagai sesar
kecil atau zona alterasi sepanjang bidang lemah.
- Bidang perlapisan batu bara pada lapisan-lapisan berbeda yang mudah
terpisahkan (Dictionary of Geological Terms, 1962).
9. Shear adalah bidang pergeseran yang berisi material hancuran akibat tergerus
oleh pergerakan kedua sisi massa batuan dengan ukuran celah yang lebih lebar
dari kekar. Ketebalan material hancuran yang berupa batu atau tanah ini
bervariasi dari ukuran beberapa millimeter sampai meter.
27
3.4 KLASIFIKASI MASSA BATUAN
Klasifikasi massa batuan digunakan sebagai alat dalam menganalisis
kemantapan lereng yang menghubungkan antara pengalaman di bidang massa batuan
dengan kebutuhan pemantapan di berbagai kondisi lapangan yang dibutuhkan. Namun
demikian, penggunaan klasifikasi massa batuan tidak digunakan sebagai pengganti
perancangan rinci.
Pada dasarnya pembuatan klasifikasi massa batuan bertujuan (Bieniawski,
1989) :
Mengidentifikasi parameter-parameter penting yang mempengaruhi perilaku
massa batuan.
Membagi formasi massa batuan kedalam grup yang mempunyai perilaku sama
menjadi kelas massa batuan.
Memberikan dasar-dasar untuk pengertian karakteristik dari setiap kelas massa
batuan.
Menghubungkan pengalaman dari kondisi massa batuan di satu lokasi dengan
lokasi lainnya.
Mengambil data kuantitatif dan pedoman untuk rancangan rekayasa
(engineering)
Memberikan dasar umum untuk kemudahan komunikasi diantara para insinyur
dan geologiwan.
Agar dapat dipergunakan dengan baik dan cepat maka klasifikasi massa batuan
harus mempunyai beberapa sifat seperti berikut (Bieniawski, 1989) :
Sederhana, mudah diingat dan dimengerti.
Sifat-sifat massa batuan yang penting harus disertakan
Parameter dapat diukur dengan mudah dan murah
Pembobotan dilakukan secara relatif
Menyediakan data-data kuantitatif
Dengan menggunakan klasifikasi massa batuan akan diperoleh paling tidak tiga
keuntungan bagi perancangan kemantapan lereng yaitu (Bieniawski, 1989) :
28
Meningkatkan kualitas hasil penyelidikan lapangan dengan data masukan
minimum sebagai parameter klasifikasi.
Memberikan informasi/data kuantitatif untuk tujuan rancangan
Penilaian rekayasa dapat lebih baik dan komunikasi lebih efektif pada suatu
prooyek.
Menurut Palmstrom (1995), klasifikasi massa batuan dapat dikelompokkan
berdasarkan bentuk dan tipe dari klasifikasi massa batuan itu. Pengelompokan menurut
bentuk berkaitan dengan data masukan dari klasifikasi massa batuan. Sedangkan
pengelompokan berdasarkan tipe, berhubungan dengan penerapan dari klasifikasi massa
batuan tersebut.
Saat ini telah berkembang berbagai metode klasifikasi massa batuan. Di antara
metode klasifikasi itu, ada yang digunakan untuk kepentingan perancangan empiris, dan
ada pula yang digunakan hanya sebagai data masukan untuk klasifikasi massa batuan
yang lain. Tabel 3.1 memperlihatkan berbagai metode klasifikasi massa batuan yang
ada.
29
Tabel 3.1 Metode klasifikasi massa batuan utama (mod. Palmstrom, 1995)
Rock Load Theory Terzhagi, 1946 USARancangan steel support pada terowongan
Deskriptif, behavioristik Fungsional
Stand up time Lauffer, 1958 Austria Masukan pada rancangan terowongan Deskriptif General
NATMRabcewicz, 1964/65 and 1975 Austria
Rancangan dan penggalian pada incompetent (overstressed) ground
Deskriptif, behavioristik
Tunneling concept
RQD Deere et al., 1966 USABerdasarkan core logging; digunakan pada sistem klasifikasi yang lain Numerik General
A recommended rock classification for rock mechanical purposes
Patching and Coates, 1968 Masukan pada mekanika batuan Deskriptif General
The Unified classification of soils and rocks Deere et al., 1969 USA
Berdasarkan pada partikel dan blok untuk komunikasi Deskriptif General
Rock Structure Rating (RSR) concept
Wickham et al., 1972 USA
Rancangan steel support pada terowongan Numerik Fungsional
Rock Mass Rating (RMR) classification Bieniawski, 1974
South Africa
Digunakan pada rancangan terowongan, tambang, dan fondasi Numerik Fungsional
Q-system Barton et al., 1974 NorwayPerancangan penyangga pada lubang bukaan bawah tanah Numerik Fungsiona
Mining RMR Laubscher, 1975 Digunakan pada rancangan tambang Numerik Fungsional
The typological classificationMatula and Holzer, 1978 Penggunaan dalam komunikasi Deskriptif General
Unified Rock Classification System (URCS)
Williamson, 1980 USA Penggunaan dalam komunikasi Deskriptif General
Basic geotechnical description (BGD) ISRM, 1981 Penggunaan umum Deskriptif General
Rock mass strength (RMS) Stille et al., 1982 Sweden Numerik Fungsional
Modified basic RMR (MBR)Cummings et al., 1982 Digunakan pada rancangan tambang Numerik Fungsional
Simplified rock mass ratingBrook and Darmaratne,1985
Digunakan pada rancangan tambang dan terowongan Numerik Fungsional
Slope mass rating (SMR) Romana, 1985 Spain Digunakan pada rancangan tambang Numerik Fungsional
Ramamurthy/AroraRamamurthy and Arora, 1993 India
Rancangan dan penggalian pada intact and jointed rocks Numerik Fungsiona
Geological Strength Index - GSI Hoek et al., 1995
Perancangan penyangga pada lubang bukaan bawah tanah Numerik Fungsional
Rock mass Number - N Goel et al., 1995 India Numerik Fungsional
Rock mass index - Rmi Arild Palmstrom, 1995
NorwayPenentuan karakteristik umum, rancangan penyangga dan TBM progress
Numerik Fungsional
*)
**)
Aplikasi Utama
Behavioristik : Data masukan berdasarkan perilaku/behavior dari massa batuan di terowongan
General : Sistem klasifikasi digunakan untuk penentuan karakteristik umum
Fungsional : Sistem klasifikasi dirancang untuk penggunaan aplikasi khusus, seperti rancangan penyangga
Bentuk *) Tipe **)
Deskripstif : Data masukan untuk sistem klasifikasi pada umumnya berupa deskriptif/penjelasan Numerik : Data masukan berupa parameter yang dinyatakan dalam rating numerik berdasarkan karakteristiknya
Nama Klasifikasi Penemu Negara
l
l
Asal
30
Hubungan antara parameter-parameter masukan dengan berbagai metode
klasifikasi massa batuan diperlihatkan dalam Tabel 3.2.
Tabel 3.2 Hubungan antara parameter masukan dengan metode klasifikasi massa
batuan (Edelbro, 2003)
3.4.1 Rock Quality Designation (RQD)
Pada tahun 1967 D.U. Deere memperkenalkan Rock Quality Designation (RQD)
sebagai sebuah petunjuk untuk memperkirakan kualitas dari massa batuan secara
kuantitatif. RQD didefinisikan sebagai persentasi dari perolehan inti bor (core) yang
secara tidak langsung didasarkan pada jumlah bidang lemah dan jumlah bagian yang
lunak dari massa batuan yang diamati dari inti bor (core). Hanya bagian yang utuh
dengan panjang lebih besar dari 100 mm (4 inchi) yang dijumlahkan kemudian dibagi
panjang total pengeboran (core run) (Deere, 1967). Diameter inti bor (core) harus
berukuran minimal NW (54.7 mm atau 2.15 inchi) dan harus berasal dari pemboran
menggunakan double-tube core barrel.
31
Length of core pieces >10cm lengthRQD = 100%
Total length of core run×∑
Metode ini telah dikenal luas sebagai parameter standar pada pekerjaan drill
core logging. Keuntungan utama dari sistem RQD adalah pengerjaan yang sederhana,
hasil yang diinginkan dengan cepat diperoleh, dan juga tidak memakan banyak biaya
(murah). RQD dilihat sebagai sebuah petunjuk kualitas batuan dimana permasalahan
pada batuan seperti tingkat kelapukan yang tinggi, lunak, hancur, tergerus dan
terkekarkan diperhitungkan sebagai bagian dari massa batuan (Deere & Deere, 1988).
Dengan kata lain, RQD adalah ukuran sederhana dari persentasi perolehan batuan yang
baik dari sebuah interval kedalaman lubang bor.
Hubungan antara nilai RQD dan kualitas dari suatu massa batuan diperkenalkan
oleh Deere (1967) seperti Tabel 3.3 berikut ini.
Tabel 3.3 Hubungan RQD dan kualitas massa batuan (Deere, 1967)
RQD (%) Kualitas Batuan
< 25 Sangat jelek (very poor) 25 - 50 Jelek (poor) 50 - 75 Sedang (fair) 75 - 90 Baik (good) 90 - 100 Sangat baik (excellent)
3.4.1.1 Metode Langsung
Dalam menghitung nilai RQD, metode langsung digunakan apabila core logs
tersedia. Tata cara untuk menghitung RQD menurut Deere diilustrasikan pada Gambar
3.4. Selama pengukuran panjang core pieces, pengukuran harus dilakukan sepanjang
garis tengahnya. Inti bor (core) yang pecah/retak akibat aktivitas pengeboran harus
digabungkan kembali dan dihitung sebagai satu bagian yang utuh. Ketika ada keraguan
apakah pecahan/retakan diakibatkan oleh ektivitas pengeboran atau terjadi secara alami,
pecahan itu bisa dimasukkan kedalam bagian yang terjadi secara alami. Semua
pecahan/retakan yang bukan terjadi secara alami tidak diperhitungkan pada perhitungan
panjang inti bor (core) untuk RQD (Deere, 1967).
32
Berdasarkan pengalaman Deere, semua ukuran inti bor (core) dan teknik
pengeboran dapat digunakan dalam perhitungan RQD selama tidak menyebabkan inti
bor (core) pecah (Deere D. U. and Deere D.W., 1988). Menurut Deere (1988), panjang
total pengeboran (core run) yang direkomendasikan adalah lebih kecil dari 1,5 m
(Edelbro, 2003).
Call & Nicholas, Inc (CNI), konsultan geoteknik asal Amerika,
mengembangkan koreksi perhitungan RQD untuk panjang total pengeboran yang lebih
dari 1,5 m. CNI mengusulkan nialai RQD diperoleh dari persentase total panjang inti
bor utuh yang lebih dari 2 kali diameter inti (core) terhadap panjang total pengeboran
(core run). Metode pengukuran RQD menurut CNI diilustrasikan pada Gambar 3.5.
L = 28 cm
Mechanical Break Caused By Drilling Process
L = 0 No Recovery
L = 28 cm
L = 0 No pieces > 12.2 cm
L = 11 cm
L = 0 No pieces > 10 cm
L = 0 No pieces > 12.2 cm
L = 20 cm
L = 25 cm
Mechanical Break Caused By Drilling Process
L = 0 No Recovery
L = 20 cm
L = 25 cm
Panjang total pengeboran (core run) = 100 cm Diameter inti bor (core) = 61,11 mm
Length of core pieces >10cm lengthRQD = 100%
Total length of core run
Panjang total pengeboran (core run) = 100 cm Diameter inti bor (core) = 61,11 mm
Length of core pieces >2 core diameterRQD = 100%
Total length of core run
∑ ××
28+20+25RQD = 100% 73%
100
∑× =
∑×
28+11+20+25RQD = 100% 84%
100
∑× =
Gambar 3.3 Metode pengukuran RQD
menurut Deere
Gambar 3.4 Metode pengukuran RQD
menurut CNI
33
3.4.1.2 Metode Tidak Langsung
Dalam menghitung nilai RQD, metode tidak langsung digunakan apabila core
logs tidak tersedia. Beberapa metode perhitungan RQD metode tidak langsung :
Menurut Priest and Hudson (1976) 0.1RQD = 100e (0.1 1)λ λ− +
dimana, λ = jumlah total kekar per meter.
Menurut Palmstrom (1982)
RQD = 115 – 3,3 Jv
dimana, Jv = jumlah total kekar per meter3.
Hubungan antara RQD dan Jv dapat dilihat pada Grafik 3.1 di bawah ini.
Grafik 3.1 Hubungan RQD dan Jv (Palmstrom,1982)
34
3.4.2 Rock Mass Rating (RMR)
Bieniawski (1976) mempublikasikan suatu metode klasifikasi massa batuan
yang dikenal dengan Geomechanics Classification atau Rock Mass Rating (RMR).
Metode rating dipergunakan pada klasifikasi ini. Besaran rating tersebut didasarkan
pada pengalaman Bieniawski dalam mengerjakan proyek-proyek terowongan dangkal.
Metode ini telah dikenal luas dan banyak diaplikasikan pada keadaan dan lokasi
yang berbeda-beda seperti tambang pada batuan kuat, terowongan, tambang batubara,
kestabilan lereng, dan kestabilan pondasi. Klasifikasi ini juga sudah dimodifikasi
beberapa kali sesuai dengan adanya data baru agar dapat digunakan untuk berbagai
kepentingan dan sesuai dengan standar internasional.
3.4.2.1 Parameter-parameter Rock Mass Rating (RMR)
Sistem klasifikasi massa batuan RMR menggunakan enam parameter berikut ini
dimana rating setiap parameter dijumlahkan untuk memperoleh nilai total dari RMR :
1. Kuat tekan batuan utuh (Strength of intact rock material)
2. Rock Quality Designation (RQD).
3. Jarak antar (spasi) kekar (Spacing of discontinuities)
4. Kondisi kekar (Condition of discontinuities)
5. Kondisi air tanah (Groundwater conditions)
a) Kuat Tekan Batuan Utuh (Strength of Intact Rock Material)
Kuat tekan batuan utuh dapat diperoleh dari Uji Kuat Tekan Uniaksial (Uniaxial
Compressive Strength, UCS) dan Uji Point Load (Point Load Test, PLI). UCS
menggunakan mesin tekan untuk menekan sampel batuan dari satu arah (uniaxial).
Sampel batuan yang diuji dalam bentuk silinder (tabung) dengan perbandingan antara
tinggi dan diameter (l/D) tertentu. Perbandingan ini sangat berpengaruh pada nilai UCS
yang dihasilkan. Semakin besar perbandingan panjang terhadap diameter, kuat tekan
akan semakin kecil. ASTM memberi koreksi terhadap nilai UCS yang diperoleh pada
perbandingan antara panjang dengan diameter ( 1D =l ) sampel satu :
35
( 1
0.22
( )
)0.778
cc D
D
σσ = =⎛ ⎞
+⎜ ⎟⎝ ⎠
l
l
Sedangkan Protodiakonov memberi koreksi pada perbandingan antara panjang dan
diameter ( 2D =l ) sample dua :
( 2
2
( )
8)7
cc D
D
σσ = =⎛ ⎞
+⎜ ⎟⎝ ⎠
l
l
dimana, cσ = kuat tekan uniaksial batuan hasil pengujian
PLI menggunakan mesin tekan untuk menekan sampel batuan pada satu titik.
Bieniawski mengusulkan sampel yang digunakan berdiameter 50 mm. Hubungan antara
nilai point load strength index (Is50) dengan UCS yaitu UCS = 23 Is50. Faktor koreksi
digunakan apabila diameter sampel tidak 50 mm.
0.45
50DF ⎛ ⎞= ⎜ ⎟
⎝ ⎠
dimana, F = Faktor koreksi nilai Is
D = Diameter sampel
Pada perhitungan nilai RMR, parameter kekuatan batuan utuh diberi bobot
berdasarkan nilai UCS atau nilai PLI-nya seperti tertera pada Tabel 3.4 dibawah ini.
Tabel 3.4 Kekuatan material batuan utuh (Bieniawski, 1989)