28 BAB III BIOGRAFI DAN METODE ISTINBATH HUKUM IMAM NAWAWI DAN IBNU HAZM 3.1. Biografi dan Istinbath Hukum Imam Nawawi. 3.1.1. Biografi Imam Nawawi Imam An-Nawawi lahir pada pertengahan bulan Muharam tahun 631 H di kota Nawa (Nawawi 2006, 54). Nama lengkap beliau adalah Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Muri bin Hasan bin Husin bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam Al-Hizami An-Nawawi, panggilannya ialah Abu Zakaria. Imam An-Nawawi dijuluki Abu Zakaria karena namanya adalah Yahya. Orang arab sudah terbiasa memberi julukan Abu Zakaria kepada orang yang bernama Yahya Nabi Allah dan ayahnya Zakaria Alaihuma As-Salam, sebagaimana juga seorang yang bernama Yusuf dijuluki Ya’qub, seorang yang bernama Ibrahim dijuluki Abu Ishaq dan orang yang bernama Umar dijuluki Abu Hafsh. Pemberian julukan seperti di atas tidak dengan peraturan yang berlaku sebab Yahya dan Yusuf adalah anak bukan ayah, namun gaya pemberian julukan seperti itu sudah biasa didengar orang-orang Arab (Farid 2006, 756). Syaikh Imam An-Nawawi pernah bercerita bahwa sebagian kakeknya menyangka Al-Hizami merupakan nisbat pada Hiam Abu Hakim, salah seorang sahabat Rasullullah SAW. Hizam disini adalah kakeknya seorang yang mampir di Jaulan desa Nawa seperti kebiasaan orang-orang Arab. Lalu bermukim di sana dan diberikan keturunan oleh Allah SWT hingga manusia menjadi banyak. An- Nawawi adalah nisbat pada desa Nawa tersebut. Dia merupakan pusat kota Al-Jaulan, dan berada di kawasan Hauran di Provinsi Damaskus. Jadi Imam An-Nawawi adalah orang Damaskus karna menetap di sana selama kurang lebih delapan belas tahun. Abdullah bin Al-Mubarak
39
Embed
BAB III BIOGRAFI DAN METODE ISTINBATH HUKUM IMAM NAWAWI ...
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
28
BAB III
BIOGRAFI DAN METODE ISTINBATH HUKUM
IMAM NAWAWI DAN IBNU HAZM
3.1. Biografi dan Istinbath Hukum Imam Nawawi.
3.1.1. Biografi Imam Nawawi
Imam An-Nawawi lahir pada pertengahan bulan Muharam
tahun 631 H di kota Nawa (Nawawi 2006, 54). Nama lengkap beliau
adalah Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Muri bin Hasan bin Husin bin
Muhammad bin Jum’ah bin Hizam Al-Hizami An-Nawawi,
panggilannya ialah Abu Zakaria. Imam An-Nawawi dijuluki Abu
Zakaria karena namanya adalah Yahya. Orang arab sudah terbiasa
memberi julukan Abu Zakaria kepada orang yang bernama Yahya Nabi
Allah dan ayahnya Zakaria Alaihuma As-Salam, sebagaimana juga
seorang yang bernama Yusuf dijuluki Ya’qub, seorang yang bernama
Ibrahim dijuluki Abu Ishaq dan orang yang bernama Umar dijuluki
Abu Hafsh. Pemberian julukan seperti di atas tidak dengan peraturan
yang berlaku sebab Yahya dan Yusuf adalah anak bukan ayah, namun
gaya pemberian julukan seperti itu sudah biasa didengar orang-orang
Arab (Farid 2006, 756).
Syaikh Imam An-Nawawi pernah bercerita bahwa sebagian
kakeknya menyangka Al-Hizami merupakan nisbat pada Hiam Abu
Hakim, salah seorang sahabat Rasullullah SAW. Hizam disini adalah
kakeknya seorang yang mampir di Jaulan desa Nawa seperti
kebiasaan orang-orang Arab. Lalu bermukim di sana dan diberikan
keturunan oleh Allah SWT hingga manusia menjadi banyak. An-
Nawawi adalah nisbat pada desa Nawa tersebut. Dia merupakan pusat
kota Al-Jaulan, dan berada di kawasan Hauran di Provinsi Damaskus.
Jadi Imam An-Nawawi adalah orang Damaskus karna menetap di sana
selama kurang lebih delapan belas tahun. Abdullah bin Al-Mubarak
29
pernah berkata “Barang siapa yang menetap di suatu negeri selama
empat tahun, maka dia dinisbatkan kepadanya (Nawawi 2006, 7).
Imam An-Nawawi gelarnya adalah Muhyiddin. Namun, ia
sendiri tidak senang diberi gelar tersebut. Al-Lakhani mengatakan
bahwa Imam An-Nawawi tidak senang dengan julukan Muhyiddin
yang diberikan orang kepadanya (Ahmad Farid 2006, 756). Ketidak-
sukaan itu disebabkan karna adanya rasa tawadhu’ yang tumbuh pada
diri Imam An-Nawawi, meskipun sebenarnya dia pantas diberi
julukan tersebut karna dengan dia Allah SWT menghidupkan Sunnah,
mematikan bid’ah, menyuruh melakukan perbuatan yang ma’ruf,
mencegah perbuatan yang mungkar dan memberikan manfaat bagi
umat Islam dengan karya-karyanya (Farid 2006, 757).
Imam An-Nawawi adalah ulama yang paling banyak
mendapatkan cinta dan sanjungan makhluk. Orang yang mempelajari
biografinya akan melihat adanya Wira’i, zuhud, kesungguhan dalam
mencari ilmu yang bermanfaat, amal soleh, ketegasan dalam membela
kebenaran dan amar ma’ruf nahi munkar, takut dan cinta kepada Allah
SWT dan kepada Rasul nya. Semua itu menjelaskan rahasia mengapa
ia dicintai banyak orang. Imam An-Nawawi merupakan ulama yang
besar pada masanya Ia telah meninggalkan berkas-berkas, ketetapan-
ketetapan dan kitab-kitab ilmiah yang berbobot. Peninggalan-
peninggalan tersebut, ia telah menunjukan bahwa ia melebihi ulama-
ulama dan imam-imam pada masanya (Farid 2006, 755).
Adz-Dzabhi mensifati Imam An-Nawawi sebagai orang yang
beribawa, jarang tertawa, tidak bermain-main, dan terus bersungguh-
sungguh dalam hidupnya. Ia selalu mengatakan yang benar, meskipun
hal itu sangat pahit baginya dan tidak takut terhadap hinaan orang
yang menghina dalam membela agama Allah SWT. Adz-Dzabhi
mengatakan di dalam kitab tarikh Al-Islam bahwa Imam An-Nawawi
30
mengenakan pakaian-pakaian sebagaimana para ahli fikih di Hauran
mengenakannya, namun ia tidak terlalu memperhatikan masalah
berpakaian (Farid 2006, 757).
حدثنا قتيبة حد ثنا عبد العزيز بن محمدعن العلاء بن عبد الرحمن عن أبيو عن الله صلى الله عليو و سلم قال ما نقصت صدقة من مال أبي ىريرة, أن رسول
وما زاد رجلا بعفو إلا عزا وما توا ضع أحد لله إلا رفعو اللهقال أبو عيسى وفي الباب عن عبد الرحمن بن عوف وابن عبا س وأبي كبشة الأ نما ري وسمو
عمر بن سعد وىذا حديث حسن صحيح )روه التر مذى( Artinya : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah Telah
menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Muhammad dari Al- Ala` bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi Wasallam bersabda: "Sedekah itu, pada hakekatnya tidak akan mengurangi harta. Tidaklah seorang memberikan maaf, kecuali ia akan semakin bertambah mulia. Dan tidaklah seorang yang tawadhu' karena Allah SWT, kecuali Allah SWT akan meninggikan derajatnya." Abu Isa berkata; Hadits semakna juga diriwayatkan dari Abdurrahman bin Auf, Ibnu Abbas, dan Ibnu Kasyabah Al-Anmari, namanya adalah Umar bin Sa'd. Hadits ini adalah hadits hasan Shahihh.(HR.At-Tirmidzi) (At-Tarmidzi 1962, 376).
3.1.2. Pendidikan
Syaikh Yasin bin Yusuf Al Marakisyai melihat Imam An-Nawawi
di kota Nawa, ketika itu umurnya masih sepuluh tahun. Anak-anak
kecil yang lain memaksanya untuk bermain bersama mereka, namun
Imam An-Nawawi lari dari mereka dan menangis karna dipaksa. Dia
membaca Al-Qur’an ketika itu, lalu hatinya menjadi senang kepada
Nawawi. Ayahnya menempatkannya di toko, namun kesibukannya
dengan Al-Qur’an tidak bisa dikalahkan oleh aktivitas jual beli (Farid
2006, 759).
Imam An-Nawawi tumbuh berkembang dalam penjagaan,
kebaikan, dan menghafalkan Al-Qur’an. Dia menghabiskan waktunya
31
ditoko bersama dengan ayahnya. Kemudian pada tahun 649 H
ayahnya memindahkannya ke Damaskus agar belajar di sana. Dia
bertempat diasrama para siswa. Imam An-Nawawi menghafal kitab
At-Tanbih dalam waktu kurang lebih empat bulan setengah dan ia
hafal seperempat pembahasan ibadah dari kitab Al Muhadzab dalam
sisa tahun itu, kemudian Mensyarahi, Mentashi dihadapan syaikhnya
yaitu seorang Imam, Ulama besar, zuhud, wara’, mempunyai
keutamaan dan pengetahuan-pengetahuan yakni Abu Ibrahim bin
Ahmad bin Usman Al-Maghribi asy-Syafi’i dan ia selalu bersama
dengannya.
Menurut Ustadz Ahmad Abdul Aziz Qasim, ada beberapa hal
yang biasa membentuk kepribadian yang besar pada Imam An-
Nawawi, pertama berupa kemauan sendiri yang muncul dari dirinya
seperti (Farid 2006, 762):
1. Melakukan perjalanan dalam mencari ilmu.
2. Keberadaannya di Madrasah Ar-Rawahiyah.
3. Bersungguh-sungguh dalam belajar.
4. Banyak menghafal dan menela’ah.
5. Belajar dari guru-guru besar dan mendapat perhatian dari
mereka.
6. Tersedianya kitab-kitab secara lengkap.
7. Sering mengajarkan ilmu yang telah didapatkan dari guru-
gurunya .
Kedua adalah faktor-faktor yang tidak biasa, seperti faktor
bakat yang diberikan Allah SWT kepada hamba yang dikehendakinya,
seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Baqarah Ayat 269:
را كرا وما يذكككرإلاك يؤ مة فؤقد أو ت ا مة من يشاء ومن يؤ ا يؤ أولو الألباب
32
Artinya: Allah SWT menganugerahkan al-Hikmah (kefahaman yang dalam tentang Al-Quran dan As-Sunnah) kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa yang dianugerahi hikmah, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah) (QS Al-Baqarah, 269).
Namun, pemberian hikmah itu disyaratkan dengan taqwa dan
takut kepada Allah SWT. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah Ayat
282 :
ل شيء عليم ب واللك م اللك واتؤكقوا اللك ويؤعلمArtinya : Dan bertakwalah kepada Allah SWT, Allah SWT mengajarmu
dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu (Al- Baqarah, 282).
3.1.2.1. Guru-guru Imam An-Nawawi
Imam An-Nawawi dalam perjalanan mencari ilmunya telah
melibatkan beberapa ulama yang berjasa memberikan beliau
pelajaran dalam berbagai ilmu, antara lain:
1. Ilmu Fiqih
a) Abu Ibrahim Ishaq bin Ahmad bin Utsman Al-Maghribi Ad-
Dimasyiqi : dia adalah seorang Imam, yang diakui
keilmuannya, zuhudnya, wara’nya, banyak ibadahnya,
besar keutamaannya, dan kelebihan semuanya itu di atas
teman-temannya (Nawawi 2006, 12).
b) Abu Muhammad Abdurrahman bin Nuh bin Muhammad
bin Ibrahim bin Musa Al-Maqdisi Ad-Dimasyqi : dia adalah
seorang Imam, orang yang arif, zuhud, ahli ibadah, wara’,
sangat teliti, dan mufti Damaskus pada masanya (Nawawi
2006, 13).
33
c) Syaikh Abu hafsh Umar bin As’ad bin Abi Ghalib Ar-Raba’i
Al-Irbili : dia adalah orang yang teliti dan menjadi seorang
mufti (Nawawi 2006, 14).
d) Abu Al-hasan bin Sallar bin Al-Hasan Al-Irbili Al-Halabi Ad-
Dimasyqi : dia adalah seorang Imam yang disepakati
keimamannya, keagungannya, kelebihannya, dibidang ilmu
mazhab di zamannya (Nawawi 2006, 15).
2. Ilmu Ushul Fiqih
Imam An-Nawawi mempelajari ilmu Ushul Fiqih kepada
sejumlah ulama. Yang paling masyur dan paling besar antara
lain : Al-Qadhi Abu Al Fath Umar bin Bundar bin Umar bin Ali
Muhammad At-Taflisi Asy-Syafi’i (Ahmad Farid 2006, 773).
Imam An-Nawawi belajar kepadanya Al-Muntajhob karya
Imam Fakhruddin Ar-Razi dan sebagian dari kitab Al-Mustashfa
karya Imam Al-Ghazali (Nawawi 2006, 16).
3. Ilmu Bahasa, Nahwu dan Sharaf
Adapun guru-gurunya dalam bidang Ilmu Bahasa, Nahwu dan
Sharaf adalah:
a) Fakhruddin al-Maliki, Imam An-Nawawi berkata “Aku
belajar kepadanya, tentang Sibawaih atau lainnya.
Keraguan ini adalah dari diri saya sendiri (Nawawi 2006,
16).
b) Syaikh Abu Abdillah Muhammad bin Abdillah bin Malik
Jayyani, dengan kitab karya-karyanya.
c) Ahmad bin Salim Al-Mashari
d) Ibnu Malik (Farid 2006, 773).
4. Ilmu Hadits
Guru-gurunya dalam bidang Ilmu Hadits adalah :
a) Syaikh Al-Muhaqqiq Abu Ishaq Ibrahim bin Isa al-Muradi
al-Andalusia asy-Syafi’i. Dia telah mensyarahkan
34
kepadanya Shahih Muslim, sebagian besar dari Shahih Al-
Bukhari dan banyak hadits-hadits dari Al-Jam’u bain As-
Shalihin karya Al-Humaidi (Nawawi 2006, 17).
b) Abu Ishaq Ibrahim bin Abi Hafsah Umar bin Mudhar Al-
Wasithi
c) Zainuddin Abu Al-Baqa’ Khalid bin Yusuf bin Sa’ad Ar-
Ridha bin Al-Burhan.
d) Abdul Aziz bin Muhammad bin Abdul Muhsin Al-Anshari
(Farid 2006, 773).
3.1.2.2. Murid Imam Nawawi
1. Alauddin bin Al-Aththar
2. Shadr Ar-Rais Al-Fadhil Abu Al-Abbas Ahmad binm Ibrahim bin
Mush’ah
3. As-Syamsi Muhammad bin Abi Bar bin Ibrahim bin Abdirrahman
bin An-Naqib.
4. Al-Nadar Muhammad bin Ibrahim bin Sa’dillah bin Jum’ah.
5. Asy-Syihab Muhammad binAbdil Khaliq bin Utsman bin Munzhir
Al-Anshari Ad-Dimasyiqi Al-Muqri.
6. Syihabuddin Ahmad bin Muhammad bin Abbas bin Ja’wan.
7. Al-Faqih Al-Muqir Abu Abbas Ahmad Adh-Dharir Al-Wasithi.
3.1.2.3. Kitab-kitab karya Imam An-Nawawi
1. Kitab-kitab karyanya dalam bidang hadits :
a) Syarah Muslim yang dinamakan Al-Minhaj Syarah Shahihh
Muslim Al-Hajjajj.
b) Riyadh Ash-Shalihin.
c) Al-Arbain An-Nawawi.
d) Khulashah Al-Ahkam min Muhammad As-Sunan Wa Qawa’id
Al-Islam.
35
e) Syarah Al-Bukhari.
f) Al-Adzkar yang dinamakan Hilyah Al-Abrar Al-Khiyar fi
Talkhish Ad-Da’awat wa Al-Adzkar (Nawawi 2006, 21).
2. Kitab-kitab karyanya dalam bidang ilmu hadits :
a) Al-Irsyad.
b) At-Taqrib.
c) Al-Irsyat Ila Bayan Al-Asma’ Al-Mubhamat.
3. Kitab-kitab karyanya dalam bidang fiqih :
a) Raudh Ath-Thalibin.
b) Al-Majmu’ Syarah Al-Muhadzab (disempurnakan oleh As-
Subki kemudian Al-Muthi’)
c) Al-Minhaj.
d) Al-Idhah.
e) At-Tahqiq (Farid 2006, 776).
4. Kitab-kitabnya dalam bidang pendidikan dan etika :
a) Adab Hamalah Al-Qur’an.
b) Bustan Al-Arifin.
5. Kitab-kitab karyanya dalam bidang biografi dan sejarah:
a) Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat.
b) Thabaqat Al-Fuqoha.
6. Kitab-kitab karyanya dalam bidang bahasa
a) Tahdzib Al-Asma’ wa Al-Lughat bagian kedua.
b) Tahrir At-Tanbih.
3.1.3. Kondisi Sosial dan Politik
Imam An-Nawawi dilahirkan di kota Nawa. Ia menghabiskan
masa kanak-kanaknya ditempat kota kelahirannya dengan membaca
Al-Qur’an, hingga umurnya mencapai remaja, ia berbeda dengan anak-
anak yang lain. Umurnya sembilan belas tahun, ayahnya membawah
Imam An-Nawawi ke Damaskus pada tahun 649 H. Dia bertempat
tinggal di Madrasah Ar-Rawahiyah (Nawawi 2006, 66).
36
Ia banyak menuntut ilmu agama dari gurunya di madrasah Ar-
Rawahiyah namun mengambil sedikit dari kehidupan dunianya hingga
nyaris tidak meminum airnya. Nama harumnya selalu dikenang
sepanjang masa, begitu juga karya-karya dan ilmunya. Ketika Al-Malik
Azh-Zhahir tergila-gila dengan angan-angannya dan nafsunya
menyuruh berbuat zhalim, para ahli fiqih menjerumuskannya untuk
menjual akhiratnya dengan emas. Saat itu yang tersisa dalam
memberikan dukungan untuknya adalah Syaikh Muhyiddin An-
Nawawi .
Imam An-Nawawi datang kepadanya dan membuatnya takut.
Dia menyatakan fatwanya dan berkata, “Sungguh mereka telah
memberikan fatwa yang batil kepadamu. Kamu tidak berhak menarik
iuran (pajak) dari rakyat hingga kas di Baitul Mal habis, dan kamu
serta istri-istrimu, budak-budakmu dan para pejabatmu harus
mengembalikan apa yang telah kamu ambil dari hak mereka
sebenarnya, kamu kembalikan lagi ke Baitul Mal” (Nawawi 2006, 64).
Syaikh An-Nawawi mengucapkannya dengan tegas. Setelah dia
keluar, raja Azh-Zhahir berkata, “putuslah jabatan-jabatan dan gaji
ahli Fikih ini maka orang yang disekitar raja mengatakan,
“Sesungguhnya dia tidak punya jabatan, juga tidak mengambil gaji.”
Sang raja bertanya, darimana dia makan? “dari makanan yang dikirim
oleh ayahnya. ”Sang raja berkata, “demi Allah, aku hendak
membunuhnya, namun aku melihat seakan-akan singa sedang
membuka mulutnya di antara aku dan dia, jika aku mendekatinya,
maka singa itu akan memakanku.” Kemudian sang raja merasakan
sesuatu dalam hatinya ketika itu dan meminta perdamaian dengan
Syaikh An-Nawawi, sungguh dia tidaklah fakir.
Namun Syaikh An-Nawawi menjadi terkenal di belahan timur
dan barat, di tempat yang dekat maupun jauh, begitu juga karya-
37
karyanya yang menuangkan isi-isi yang jelas dan terang, yang pada
masa sekarang menjadi rujukan fatwa dan amal (Nawawi 2006, 65).
3.1.4. Metode Istinbath Hukum Imam An-Nawawi
Istinbath merupakan sistem atau metode para mujtahid yang
digunakan untuk menemukan atau menetapkan suatu hukum.
Istinbath erat kaitannya dengan fikih, karena sesungguhnya fikih dan
segala hal yang diberikan dengannya, merupakan hasil ijtihad para
mujtahid dalam menetapkan hukum dari sumbernya.
Metode istinbath hukum yang dipakai Imam An-Nawawi pada
dasarnya adalah sama dengan istinbath hukum yang dipergunakan
oleh Imam Syafi’i, hal ini disebabkan karna Imam An-Nawawi
merupakan salah satu ulama golongan Syafi’iyah. Selain itu tidak ada
pembahasan khusus mengenai metode istinbath hukum yang
dilakukan oleh Imam An-Nawawi, baik berupa buku yang ditulis
olehnya maupun oleh muridnya. Oleh karena itu, untuk mengetahui
metode istimbath hukum yang dipergunakan Imam An-Nawawi
sangat perlu kiranya terlebih dahulu penulis paparkan metode
istinbath hukum Imam Syafi’i.
Mazhab Syafi’i ini dibangun oleh Imam Muhammad Ibnu Idris
Asy-Syafi’i seorang keturunan Hasyim bin Abdul Muthalib (Ash-
Shiddieqy 1997, 119). Pola pemikiran dalam memahami hukum Islam
Imam Syafi’i ini sama dengan Imam Mazhab lainnya dari Mazhab
Imam empat yaitu Abu Hanifah, Malik bin Anas dan Ahmad ibnu
Hambal adalah termasuk golongan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah.
Golongan Ahlu al-Sunnah wa al-Jama’ah dalam bidang furu’ terbagi
kepada dua aliran di antaranya adalah aliran Ahlu al-Hadits dan aliran
Ahlu al-Raʹyi. Imam Syafi’i termasuk dalam aliran Ahlu al-Hadits. Oleh
karena itu, meskipun Imam Syafi’i digolongkan sebagai orang yang
beraliran Ahlu al-Hadits, namun pengetahuannya tentang fiqih Ahlu
38
Al-Raʹyi tentu akan memberi pengaruh kepada metodenya dalam
menetapkan hukum (Yanggo 1997, 124).
Imam Syafi’i menjelaskan kerangka dan dasar-dasar
madzhabnya dan juga beberapa contoh bagaimana merumuskan
hukum-hukum far’iyah di dalam kitabnya al-Risalah. Menurut Imam
Syafi’i, Al-Qur’an dan Hadits adalah berada dalamsatu tingkat, dan
bahkan merupakan satu kesatuan sumber syari’at Islam. Sedangkan
teori istidlal seperti qiyas, istiḥsan, dan lainnya hanyalah merupakan
suatu metode merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari
sumber utamanya tadi.
Pemahaman integral terhadap Al-Qur’an dan Hadits ini
merupakan karakteristik yang menarik dari pemikiran fiqh Syafi’i.
Menurut Imam Syafi’i, kedudukan Hadits dalam banyak hal adalah
sebagai penjelas dan penafsir sesuatu yang tidak dijelaskan oleh Al-
Qur’an. Oleh karena Sunnah Nabi tidak berdiri sendiri, tetapi punya
keterkaitan erat dengan Al-Qur’an. Imam Syafi’i juga mempunyai
pandangan yang dikenal dengan qaul al-qadim dan qaul al-jadid. Qaul
al-qadim juga terdapat dalam kitabnya yang bernama al-Ḥujjah, yang
dicetuskan di Irak. Sedangkan qaul al-jadid nya terdapat dalam
kitabnya yang bernama al-Umm yang dicetuskan di Mesir.
Menurut Imam Syafi’i struktur hukum Islam dibangun di atas
sumber-sumber hukum yang terdiri atas Al-Qur’an, Hadits, Ijma’ dan
Qiyas. Meskipun ulama sebelumnya juga menggunakan empat dasar di
atas, tetapi rumusan Imam Syafi’i punya nuansa dan paradigma baru,
penggunaan ijma’ misalnya tidak sepenuhnya mengikuti rumusan
Imam Malik yang sangat umum dan tanpa batas yang jelas. Bagi Imam
Syafi’i ijma’ merupakan metode dan prinsip dan karenanya ia
memandang konsensus orang-orang umum sebagaimana dinyatakan
Imam Malik dan ulama-ulama Madinah.
39
Satu hal yang perlu diketahui bahwa Imam Syafi’i tidak
bersikap fanatik terhadap pendapat-pendapatnya, hal ini nampak
pada suatu ketika ia pernah berkata: “Demi Allah aku tidak peduli
apakah kebenaran itu nampak melalui lidahku atau melalui lidah
orang-orang Arab sendiri, orang-orang Barbar, dan orang Eropa.
Oleh penguasa yang baru, ayah Ibnu Hazm dipecat sebagai
Menteri dan ditahan beberapa lama, kemudian dibebaskan
(Syarqawi 2000, 562).
Ketika Ibnu Hazm berumur 20 tahun dia ditinggal wafat
ayahnya. Ayahnya wafat hari Sabtu sore tanggal 28 Dzulhijjah 402
H. Setelah ditinggal wafat ayahnya, ia pergi meninggalkan Cordova
menuju Almeria, sebuah kota kecil di daerah Granada untuk
mencari ketenangan, di sana ia memanfaatkan waktunya untuk
menghadiri pelajaran-pelajaran di halaqah-halaqah dan membaca
buku-buku di rumah. Di Cordova pangeran-pangeran Bani
Umayyah bertarung terus berebut kekuasaan.
Pada akhirnya kekuasaan jatuh ketangan ‘Awaliyyin. Ibnu
Hazm khawatir akan dikejar-kejar penguasa, karena ia keturunan
orang Bani Umayyah yang datang pertama di Andalusia. Apa yang
dikhawatirkannya itu benar terjadi, ia dituduh berkomplot
dengan kaum yang menentang ‘Alawiyyin, lalu ia dijatuhi
hukuman pengucilan kemudian dilepaskan kembali. Ketika Ibnu
Hazm mengetahui bahwa Abdurrahman IV yang bergelar
Murtadha memproklamirkan diri sebagai Khalifah Umayyah di
58
Valencia, maka ia segera meninggalkan Ameria ke Valencia
(Syarqawi 2000, 563).
Ibnu Hazm kembali ke Cordova ketika al-Qasim Ibn Hamud
menjabat sebagai Khalifah, yaitu pada bulan Syawal 409 H, setelah
meninggalkan kota itu lebih kurang 6 (enam) tahun. Setelah
pemerintahan al-Qasi berakhir, kemudian digantikan oleh
Abdurrahnam V yang bergelar al-Muthazir, yaitu sahabat Ibnu
Hazm, kemudian mengangkat Ibnu Hazm sebagai Menteri.
Abdurrahman V dilantik sebagai Khalifah pada bulan Ramadhan
414 H, bertepatan dengan bulan Desember 1023 M.
Namun pemerintahannya berlangsung selama 7 (tujuh)
minggu. Karena Abdurrahman mati dibunuh oleh orang pada
bulan Dzulqaedah 414 H bertepatan bulan Januari 1024 M. Dan
Ibnu Hazm pun sempat ditahan, tetapi tidak ada ketentuan yang
pasti berapa lamanya. Namun yang jelas pada tahun 418 H, ia
sudah berada di Jativa. Pada masa kekuasaan Hisyam III yang
bergelar al- Mu’tadabillah 418-423 H ia diangkat lagi menjadi
Menteri, sampai ia mengundurkan diri dari percaturan politik dan
menekuni bidang ilmiah yaitu menulis dan mengajar (Dahlan
1996, 609).
Ibnu Hazm lari dari kehidupan politik dan menjadi sesosok
yang mencintai ilmu. Kesibukannya bergaul dengan manusia
diubahnya menjadi sibuk dengan buku-buku. Dia menemukan
sesuatu yang membuatnya tidak ragu, menemukan teman yang
tidak diragukan lagi kejujuran cintanya di dalam buku. Dia selalu
mempelajari buku yang ada di hadapannya (Jamal 2005, 120).
3.2.4. Metode Istinbath Hukum
Ibnu Hazm adalah seorang yang bermazhab zhahiriyyah, dalam
ber-istinbath hukum untuk menghadapi studi-studi ke-Islaman, Ibnu
59
Hazm menjelaskan dalam kitabnya al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, bahwa
ia dalam ber-istinbath menggunakan empat dasar pokok yaitu :
الأ صول التى لايعرف شئ مذا لشرا نع إلامنهاو أ نها أربعة وىي : نص الق تعا ى ماا ان ونص كلا م رسول الله صلى الله عليو و سلم الذي إنما عن الله
صح عنو عليو اسلا م نقل القات اوالتو اتر وإجما ع جميع علما ءالأ مة اوالدليل منها ولايحتمل إلا وجها واحد
Artinya :Dasar-dasar hukum yang tidak diketahui sesuatu dari syara’
melainkan dari dasar-dasar itu ada empat, yaitu : bersarkan al-Qur’an, berdasarkan perkataan Rasulullah yang sebenarnya datang dari Allah juga yang sahih kita terima dari padanya dan dinukilnya oleh orang-orang kepercayaan atau yang mutawatir dan ijma’ oleh semua umat dan suatu dalil dari padanya yang tidak mungkin menerima selain dari pada satu cara saja (Hazm t.th, 71).
Berdasarkan penjelasan diatas dapat dipahami bahwa sumber
dalam menetapkan hukum menurut ibnu hazm ada 4 yaitu:
a. Al-Qur’an
b. Al- Sunnah
c. Al-Ijma’
d. Dalil yang keluar dari nash dan mengandung makna satu.
Keempat dasar inilah yang kemudian dijadikan oleh Ibnu Hazm
sebagai sumber sekaligus metode (Ushul al-Fiqh) dalam menggali
hukum-hukum Allah. Karena memang kitabnya Al-Ihkam fi Ushul al-
Ahkam sendiri diyakini sebagai kitab yang membahas metodologi
yang digunakan Ibnu Hazm dalam menyimpulkan hukum-hukum
Islam.
a. Al-Quran
Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan oleh-Nya
melalui malaikat Jibril kepada Rasulullah Muhammad SAW dengan
lafadz bahasa Arab dan makna-maknanya yang benar, untuk
60
menjadi hujjah bagi Rasul atas pengakuannya sebagai Rasulullah,
menjadi peraturan bagi manusia yang mengikuti petunjuknya, dan
menjadi qurbah di mana mereka beribadah dengan membacanya
(Khalaf 1994, 18).
Dalam memahami nash orang berselisih memahaminya, hanya
saja daya menanggapilah yang berbeda-beda karena sesuai dengan
daya menurut kekuatan pemahamannya, Ibn Hazm berkata :
ولبيان يختلف فى الوضوح فيون بعضو جلياو بعضو فيافيختلف الناس فى فهمو بعضهم ويتأر بعضهم عن فهمو كما قال على بن ابى طالب
الله رجلا فى دينورضى الله عنو: الا ان يوء Artinya: Penjelasan berbeda-beda keadaannya. Sebagiannya terang
dan sebagiannya tersembunyi. Karena itu manusia berselisih dalam memahaminya, sebagian mereka memahaminya, sedangkan sebagian yang lain tidak dapat memahaminya. Sebagaimana Ali bin Abi Talib mengatakan “terkecuali Allah memberikan kepada seseorang paham (kecerdasan) yang kuat tentang agamanya (Hazm t.th, 88).
Dalam memahami al-Qur’an Ibn Hazm menekankan adanya
kaidah-kaidah bahasa yang harus diketahui oleh Mujtahid dalam
memahami kandungan Al-Qur’an. Oleh karena itu Ibnu Hazm
sangat memperhatikan adannya istisna’, takhshis, taukid dan nasikh
mansukh. Ia menyebut hal itu sebagai bayan, seperti yang
dikatakannya :
إن التخصيص اوالإستناءنوعان من أنوا ع البيان
Artinya: Sesungguhnya takhsis dan istitsna adalah dua macam dari macam-macam al-Bayan (Hazm t.th, 80).
61
Dan perkataannya tentang taukid sebagai berikut:
والتاءكيد نو ع من انو اع البيانArtinya: Ta’kid adalah suatu macam penjelasan (al-Bayan)
(Hazm t.th, 88).
Ibnu Hazm terkadang memakai istilah makhasis sebagai
pengganti istilah nasikh. Ibnu Hazm dalam mengambil zhahir al-
Qur’an ia juga menggunakan makna majaz, karena majaz itu
termasuk bahagian zhahir nash, apabila sudah terkenal
pemakaiannya,atau ada qarinah yang menegaskan. Ibn Hazm selalu
mengambil zhahir nash, sehingga segala Amr untuk wajib, wajib
segera dikerjakan, kecuali ada hal lain yang menetapkan tidak
demikian. Lafadz ‘Am harus diambil umumnya,karena itulah yang
zhahir, terkecuali ada keterangan bahwa yang dimaksud bukan
zhahir (Hazm t.th, 79).
b. Sunnah
Dalam hal ini Ibn Hazm berkata :
لما بينا أن القران ىوالأصل المرجو ع إليو فى الشر انع نظر نافيو فو جدنا فيو جل إيجاب طا عة ماأمر نا بو رسول ىصلى الله عليو وسلم ووجدناه عزو
يقول فيو واصفالر سول ىصلى الله عليو وسلم وما ينطق عن الهوى . ان ىوإلاوىي يو حى. فصح لنا بذلك أن الوحي ينقسم من الله عزوجل اى رسو لو سلى الله عليو وسلم قسمين: أحد هما : وحى متلو م لف تأ ليفا
لف ولا مع جز معجز النظام وىوالقران, والانى وحي مروي منقول غر مصلى لله عليو النظم ولامتلو لنو مقروء, وىوا لخبر الواردعن رسول الله
وسلم
62
Artinya: Ketika kami telah menjelaskan bahwasanya al-Qur’an adalah pokok pangkal yang harus kepadanya kita kembali dalam menentukan hukum, maka kami memperhatikan isinya, kami mendapatkan didalamnya keharusan mentaati apa yang Rasulullah perintahkan kepada kita dan firman Allah menegaskan dalam memberikan sifat akan sabda Rasul (dan dia tidak menuturkan sesuatu dari hawa nafsunya, tidaklah yang disampaikan itu melainkan apa yang telah diwahyukan kepadanya). Maka shah bagi kami bahwasanya wahyu yang datang dari Allah terbagi dua; pertama, wahyu yang dibacakan yang merupakan mukjizat. Yang kedua, wahyu yang diriwayatkan dan dinukilkan tidak disyari’atkan kita membacanya sebagai ibadah. Namun demikian dia tetap dibacakan dan itulah hadits Rasulullah (Hazm t.th, 96).
Ibnu Hazm berpendapat dalam memandang al-Qur’an dan al-
Sunnah keduanya merupakan bagian yang satu sama lainnya saling
menyempurnakan. Ibn Hazm berkata :
والقران والخبر الصحيح بعضها مضا ف إى بعض. وهما شئ واحد أنهما من عند الله تعلى وحمهماحم واحد فى باب وجوب الطاعة لهما لماقد مناه انفا فى صدر ىذ االباب قال تعاى : ياايهاالذين امنو اأطيعوالله
عنا واطيعو اارسو ل ولا تولواعنو وأنتم تسمعون, ولا تون كالذين قالواسم وىم لايدعن
Artinya: Al-Qur’an dan hadits yang sahih, sebagiannya
disandarkan pada sebagiannya, keduanya dipandang satu dalam arti, kedua-duanya datang dari sisi Allah. Dan menetapkan hukum kepada keduanya sebagaimana firman Allah, “ Hai orang-orang yang
beriman taatlah kepada Allah, dan taatilah Rasul-Nya, jangan kamu berpaling dari padanya sedang kamu mendengar, dan janganlah kamu seperti orang yang mengatakan “kami telah mendengar” padahal mereka tidak mengetahui” (Hazm t.th, 98).
63
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa Ibn Hazm
memandang al-Qur’an dan al-Sunnah sama kedudukannya sebagai
jalan yang menyampaikan manusia ke syari’at Islam, karena
keduanya adalah wahyu Allah SWT. Ibn Hazm menetapkan bahwa
syari’at Islam hanya mempunyai sumber yang bercabang dua, dan
kedua cabang ini sama kekuatannya dalam menetapkan hukum,
walaupun cabang yang pertama merupakan pokok bagian cabang
yang kedua. Cabang yang kedua yaitu al-Sunnah yang sudah diakui
ke-sahihan-nya (ash- Shiddieqy 1997, 327).
Menurut Ibn Hazm, wajib diyakini kebenaran hadits ahad
sebagaimana wajib mengamalkannya. Untuk prinsip ini ia
mengemukakan beberapa syarat. Ibnu Hazm mensyaratkan para
perawi itu seorang yang adil terkenal sebagai orang yang benar,
kuat hafalannya, serta mencatat apa yang didengar dan dinukilkan,
harus terpercaya dan merupakan seorang yang faqih. Ia juga
mensyaratkan pula sanad hadits itu muttasil hingga sampai kepada
Nabi. Ibn Hazm tidak menerima hadits mursal, kecuali hadits
mursal itu mempunyai nilai-nilai tersendiri, umpamanya hadits itu
di-irsal-kan oleh tabi’in besar, dan hadits mursal itu diriwayatkan
yang semaknanya atau dikuatkan oleh hadits yang lain, atau oleh
pendapat sahabat, atau diterima oleh ahli ilmu (ash- Shiddieqy
1997, 331).
Karena al-Sunnah diletakkan pada martabat al-Qur’an maka
Ibn Hazm menetapkan dua buah dasar yaitu:
1) Al-Sunnah dapat mentakhsis al-Qur’an
2) Takhsis dipandang bayan, dan al-Sunnah adalah bayan bagi al-
Qur’an.
64
c. Ijma’
Ijma’ adalah Sumber yang ketiga menurut Ibn Hazm. Dalam hal
ijma’ Ibnu Hazm berkata:
إفقنا نحن وأكر المخا لفين لناعلى أنالا جماع من علماءاىل الإسلام حجة وحق مقطو ع بو دين الله عز وجل
Artinya: Kami telah sepakat dan kebanyakan orang yang menyalahi
kami, bahwasanya ijma’ dari segenap ulama Islam adalah hujjah dan suatu kebenaran yang pasti dalam agama Allah (Hazm t.th, 128).
Ijma’ yang ditetapkan Ibn Hazm ialah ijma’ yang berdasarkan
nash, Karenanya segala ijma’ yang tidak bersandarkan nash
bukanlah ijma’. Sandaran ijma’ menurut Ibn Hazm hanyalah nash
(ash- Shiddieqy 1997, 338).
فا علموارحمم الله ان من اتبع نص القران, وما أسند من ظريق القات اى رسول الله صلى الله عليو وسلم, فقد اتبع الا جماع يقينا. وان عاج
عن سيء من ذلك فلم يتبع الاجماع
Artinya:Maka ketahuilah olehmu mudah - mudahan Allah merahmatimu bahwa siapa yang mengikuti nash al-Qur’an dan sesuatu yang disandarkan dari jalan yang dipercayai kepada Rasulullah ( al-Sunnah) berarti dia mengikuti ijma’ secara yakin, dan siapa yang berpaling dari yang demikian maka tidaklah ia mengikuti ijma’ (Hazm t.th, 128).
Ijma’ menurut Ibnu Hazm dapat dipahami bahwa mengikuti
teks al-Qur’an dan al-Sunnah. Ibnu Hazm mengatakan Ijma’ terbagi
kepada dua macam yaitu: 1) Semua masalah yang tidak diragukan lagi oleh setiap Muslim.
Misalnya membaca syahadat, kewajiban atas shalat lima waktu,
65
puasa di bulan Ramadhan. Haramnya bangkai, darah, daging
Babi, wajib membayar zakat dan lain sebagainya. Orang yang
tidak mengakui semua ini bukanlah Muslim. Inilah yang disebut
dengan Ijma’ seluruh ummat.
2) Perbuatan Nabi disaksikan sahabat, atau diyakini oleh sahabat
lainnya yang tidak hadir pada peristiwa itu. Misalnya
memberikan setengah dari hasil pertanian Khaibar kepada
orang Yahudi, padahal kalau ummat Islam mau, orang Islam
mampu mengusir kaum yahudi dari Khaibar.
Ibnu Hazm menerima Ijma’ pada masa Nabi, karena mereka
menyaksikan penjelasan Nabi, dan mereka orang-orang Mukmin
yang sesungguhnya oleh sebab itu Ijma’ mereka adalah Ijma’ yang
benar.
d. Al-Dalil
Dalam kitabnya Ibnu Hazm tidak ada secara jelas definisi al-
Dalil. Namun dibuku Amir Syarifuddin dikatakan bahwa al-Dalil
berasal dari kata dalala dengan bentuk masdar-nya dalil yang
secara etimologi berarti: suatu yang dapat menunjuki dalam
literatur ushul fikih kata ini sering disebut al-Dalilatu al-Syar’iyyatu.
Dan dalam literatur kontemporer untuk kata yang sama digunakan
kata yang lain yang dianggap semakna yaitu kata mashdar yang
jamaknya mashadir yang berarti sumber. Apabila dilihat dari segi
etimologi kata itu tidak sinonim, paling tidak apabila kata tersebut
dihubungkan dengan kata Syari’ah, kata mashdar berarti wadah
dari wadah itu ditimba suatu hukum, sedangkan kata dalil hukum
berarti: “suatu dalil yang memberikan petunjuk dalam menemukan
hukum Allah” (Syarifuddin 1994,43).
Al-Dalil tersebut tidak berbeda jauh dari qiyas. Hal ini telah
diungkapkan oleh al-Khatib al-Baqhdady zhahiriyah mengatakan
66
bahwa dasar yang mereka namakan al-Dalil itu tidak keluar dari
nash, seperti dalam penerapan qiyas. Sementara Ibn Hazm
menetapkan bahwa apa yang dinamakan dalil itu diambil dari ijma’
atau dari nash, bukan diambil dengan jalan mempertautkannya
kepada nash. al-Dalil menurut Ibn Hazm berbeda dengan qiyas
(ash- Shiddieqy 1997, 349).
Sebagaimana Ibnu Hazm menjelaskan:
ظن قوم يجلهلهم أن قولنا بالدليل روج منا عن النص والإ جماع وظن أرون أن القياس والد ليل وحد فأ طنو افي ظنهم أفحش طاء
Artinya: Orang-orang yang tidak tahu menduga bahwa pendapat
kami tentang “al-dalil” telah keluar (menyimpang) dari nash dan ijma’, dan sebagian lagi menduga bahwa qiyas dengan al-dalil adalah sama, dugaan mereka sangat keliru (Hazm t.th, 105).
Qiyas pada dasarnya ialah menyamakan sesuatu dengan
hukum sesuatu yang lain karena adanya kesamaan ‘illat hukum
menurut mujtahid yang menyamakan hukumnya (Dahlan, 2014,
161). Menurut Ibn Hazm al-Dalil dibagi menjadi dua macam yaitu
al-Dalil yang diambil dari nash dan yang diambil dari Ijma’:
الدليل مأ ذ من النص ومن الا جماع Artinya: Adapun al-Dalil ialah: al-Dalil yang diambil dari nash dan