40 BAB III AGAMA KHONGHUCU PADA MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU DI SURAKARTA A. Agama Khonghucu pada Masa Orde Lama di Surakarta Pada jaman presiden Soekarno, agama bukan sebuah persoalan. Artinya, secara politis kebebasan beragama tidak terlalu diintervensi sehingga kehidupan beragama di Indonesia nyaris tanpa masalah, terutama bagi masyarakat atau umat pemeluk agama Khonghucu. Akan tetapi sebagaimana dikatakan oleh Tjie, “aktivitas atau kegiatan keagamaan di Lithang Surakarta berjalan biasa saja, tidak ada yang terlalu menonjol. Kegiatan tersebut merupakan kebaktian rutin pada setiap hari Minggu pagi”. 1 Agama Khonghucu oleh Soekarno diakui sebagai salah satu agama yang ada di Indonesia selain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Hal itu tercantum dalam keputusan presiden No. 1/Pn.Ps/1965 1/Pn.Ps/1965, yang menegaskan bahwa agama resmi di Indonesia menjadi enam, termasuk Konghucu. Pada awal tahun 1961, Asosiasi Khung Chiao Hui Indonesia (PKCHI), suatu organisasi Khonghucu, mengumumkan bahwa aliran Konghucu merupakan suatu agama dan Confucius adalah nabi mereka. “Bahkan pada masa itu umat penganut agama Khonghucu di Surakarta ini sangat banyak, hingga mencapai ribuan”. 2 1 Wawancara dengan Thjie Tjai Ing pada Tanggal 25 Juli 2014 2 Wawancara dengan Thjie Tjai Ing pada Tanggal 7 Maret 2015.
26
Embed
BAB III AGAMA KHONGHUCU PADA MASA ORDE LAMA DAN …abstrak.ta.uns.ac.id/wisuda/upload/C0509034_bab3.pdf · Pada masa pemerintahan Soekarno, yayasan Tri ... Pada masa pemerintahan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
40
BAB III
AGAMA KHONGHUCU PADA MASA ORDE LAMA DAN ORDE BARU
DI SURAKARTA
A. Agama Khonghucu pada Masa Orde Lama di Surakarta
Pada jaman presiden Soekarno, agama bukan sebuah persoalan. Artinya,
secara politis kebebasan beragama tidak terlalu diintervensi sehingga kehidupan
beragama di Indonesia nyaris tanpa masalah, terutama bagi masyarakat atau umat
pemeluk agama Khonghucu. Akan tetapi sebagaimana dikatakan oleh Tjie,
“aktivitas atau kegiatan keagamaan di Lithang Surakarta berjalan biasa saja, tidak
ada yang terlalu menonjol. Kegiatan tersebut merupakan kebaktian rutin pada
setiap hari Minggu pagi”.1
Agama Khonghucu oleh Soekarno diakui sebagai salah satu agama yang
ada di Indonesia selain Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Hal itu
tercantum dalam keputusan presiden No. 1/Pn.Ps/1965 1/Pn.Ps/1965, yang
menegaskan bahwa agama resmi di Indonesia menjadi enam, termasuk Konghucu.
Pada awal tahun 1961, Asosiasi Khung Chiao Hui Indonesia (PKCHI), suatu
organisasi Khonghucu, mengumumkan bahwa aliran Konghucu merupakan suatu
agama dan Confucius adalah nabi mereka. “Bahkan pada masa itu umat penganut
agama Khonghucu di Surakarta ini sangat banyak, hingga mencapai ribuan”.2
1 Wawancara dengan Thjie Tjai Ing pada Tanggal 25 Juli 2014
2 Wawancara dengan Thjie Tjai Ing pada Tanggal 7 Maret 2015.
41
Menurut Buana Jaya, “agama khususnya Khonghucu pada jaman Soekarno
tidak begitu menjadi persoalan”3. Artinya, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh
pemerintahan Soekarno pada waktu itu tidak mengintervensi keberlangsungan
agama yang ada di Indonesia.
Lebih lanjut Tjie mengatakan “meskipun pemeluk agama Khonghucu
sangat banyak, hampir semua orang Tionghoa memeluk agama Khonghucu,
namun yang datang untuk beribadah atau mengadakan kebaktian di Lithang
Surakarta hanyalah sedikit”. Hal ini disebabkan karena umat Khonghucu bisa
menjalankan ibadah atau kebaktian di rumah atau di Klenteng.
Dibawah ini beberapa hal yang terjadi pada masa Orde Lama :
1. Prosesi Keagamaan
Prosesi Keagamaan umat Khonghucu praktis tidak mengalami intervensi
dari pemerintah. Umat agama Khonghucu, khususnya di Surakarta bisa
melaksanakan peribadatan secara khidmat dan tenang sebagaimana pemeluk umat
agama lain yang ada di Surakarta menjalankan ibadahnya. Upacara-upacara
keagamaan Khonghucu bisa dilaksanakan tanpa ada gangguan dari pihak
manapun. Pemerintah juga menjadikan hari-hari besar dalam agama Khonghucu
sebagai hari libur fakultatif. Beberapa hari besar umat Khonghucu tersebut antara
lain, tahun baru Imlek, hari lahir nabi Khonghucu, hari wafat nabi Khonghucu,
dan hari raya Ching Bing. Hal ini menunjukkan bahwa agama Khonghucu
dipandang sama dengan agama-agama lain yang ada di Indonesia. Sekolah yang
3 Wawancara dengan Buana Jaya pada Tanggal 23 Desember 2014
42
berada di bawah naungan yayasan Tripusaka yang notabene miliki Majelis Agama
Khonghucu (MAKIN) Surakarta juga menjadikan hari-hari besar agama
Khonghucu sebagai hari libur.4
2. Bidang Pendidikan Agama Khonghucu.
Di jaman Soekarno, agama Khonghucu merupakan salah satu agama yang
diakui oleh pemerintah. Penyampaian pelajaran agama bisa disampaikan secara
formal di sekolah-sekolah. Pada masa pemerintahan Soekarno, yayasan Tri
Pusaka yang bergerak di bidang pendidikan, MAKIN Surakarta memberikan
pendidikan keagamaan atau ajaran-ajaran Kong Fu Tze kepada siswa-siswa SD
Tripusaka yang berada di lokasi kantor Majelis Agama Khonghucu (MAKIN)
Surakarta. Di bawah organisasi Kong Kauw Hwee mendirikan sekolah yang
bertujuan untuk memberikan pendidikan bagi anak-anak yang kurang mampu atau
miskin.5 Pada mulanya sekolah tersebut sekedar mengajarkan kepada siswa dan
siswinya bisa membaca, menulis, dan diajarkan pula agama Khonghucu yang
antara lain mengenai budi pekerti. Artinya, tidak sesuai dengan kurikulum
sebagaimana diatur oleh pemerintah. Oleh karena itu murid-murid yang belajar di
Lithang Surakarta tidak bisa mengikuti ujian nasional. Baru pada tahun 1954
sekolah tersebut dapat bergabung dengan pemerintah dan mengikuti kurikulum
sebagaimana yang sudah ada.6
4 Wawancara dengan Buana Jaya pada Tanggal 23 Desember 2014
5 Wawancara dengan Thjie Tjai Ing pada tanggal 7 Maret 2014
6 Wawancara dengan Purwani pada tanggal 17 Desember 2014.
43
3. Prosesi Pernikahan Agama Khonghucu
Sebagaimana agama-agama lain yang ada di Indonesia, agama Khonghucu
juga memberikan pelayanan pernikahan secara agama Khonghucu bagi umatnya.
Pemberkatan pernikahan agama Khonghucu di Surakarta diadakan di Lithang
Swan Kong Tong. Pada masa pemerintahan presiden Soekarno, pernikahan tidak
mengalami masalah. Setiap orang memiliki hak untuk menikah dan memilih
agama masing-masing yang mereka percayai karena memang pada masa
pemerintahan presiden Soekarno, agama Khonghucu adalah agama yang sah di
Indonesia dan menjadi salah satu agama yang di akui.7 Apapun agamanya, bisa
menikah sesuai dengan keyakinan yang mereka anut. Apalagi, pernikahan secara
agama tertentu juga tidak ditulis di dalam surat atau akta pernikahan.
4. Kependudukan
Pada jaman pemerintahan Soekarno, belum ada kebijakan agama masuk
dalam kartu identitas, dalam hal ini KTP. Tidak ada kolom agama dalam kartu
identitas tersebut sehingga umat Khonghucu tidak perlu mencantumkan identitas
agama mereka di dalam KTP.
Misalnya, agama tidak perlu dicantumkan di kartu identitas semacam
KTP. Keberlangsungan kehidupan beragama justru didorong sebagai kekuatan
spiritual. Khonghucu, yang diakui sebagai salah satu agama di Indonesia, juga
dianggap sama atau sejajar kedudukannya dengan agama-agama lain seperti
Islam, Kristen, Katolik, Hindu, maupun Budha. Begitu pula mengenai hak-hak
7 Wawancara dengan Buana Jaya pada tanggal 23 Desember 2014.
44
sipil yang lain seperti pernikahan.8 Demikian pula pemeluk agama Khonghucu di
Surakarta. Mereka tidak merasa risau atau tidak mengalami persoalan dalam hal
pencantuman identitas agama di KTP karena memang tidak ada kolom agama di
dalamnya.
5. Kesenian dan Budaya Agama Khonghucu
Umat agama Khonghucu di Surakarta pada masa pemerintahan Soekarno
juga memiliki kesenian, yaitu Liong dan Barongsai. Kesenian Barongsai dan
Liong tersebut juga berkaitan dengan keyakinan umat Khonghucu. Misalnya,
umat Khonghucu percaya bahwa pada kelahiran nabi Khong Fu Tse, binatang
Qilin muncul. Oleh karena itu, pada setiap merayakan hari kelahiran nabi Khong
Fu Tse selalu dihadirkan kesenian Liong dan Barongsai, dimana hal itu
merupakan representasi dari kehadiran binatang Qilin. Kesenian Liong dan
Barongsai pada masa pemerintahan presiden Soekarno boleh dipertontonkan scara
umum dan busana khas China yang identik dengan warna merah boleh dipakai.
Sama sekali tidak ada pelarangan dari pemerintah. Hal ini juga berdampak pada
jumlah penganut agama Khonghucu, pada masa pemerintahan Soekarno mencapai
ribuan.9
B. Kehidupan Beragama Umat Khonghucu pada Masa Orde Baru di
Surakarta
Dinamika agama Khonghucu tidak bisa dilepaskan dari pengaruh politik.
Kebijakan politik telah membawa dampak atau pengaruh terhadap perkembangan
8 Wawancara Buana Jaya pada tanggal 23 Desember 2014.
9 Wawancara dengan Thjie Tjai Ing pada tanggal 7 Maret 2015.
45
agama Khonghucu yang mayoritas pemeluknya etnis Tionghoa. Sebagaimana
yang telah disinggung pada bab sebelumnya, salah satu wujud kebijakan yang
dijalankan oleh pemerintah Orde Baru adalah diterbitkannya Inpres No. 14 tahun
1967. Kebijakan tersebut membawa pengaruh negatif bagi kehidupan agama
Khonghucu karena isinya dianggap mengandung unsur diskriminatif terhadap
etnis Tionghoa, khususnya umat Khonghucu.
Instruksi Presiden Nomor 14/1967 yang berisi bahwa pemerintah hanya
mengakui lima agama yaitu Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha. Artinya
bahwa Khonghucu bukanlah agama yang diakui oleh pemerintah. Kebijakan
tersebut membuat hak-hak sipil penganut Khonghucu dibatasi. Perayaan
keagamaan di gedung dan fasilitas publik dilarang. Hari raya Imlek tidak
dimasukkan dalam hari besar di Indonesia. Dari segi pendidikan, sekolah di
bawah yayasan Tri Pusaka tidak boleh mengajarkan pelajaran agama
Khonghucu.10
Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor
477/74054/BA.01.2/4683/95, tanggal 18 November 1978, yang menyatakan
hanya ada lima agama di Indonesia; Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik,
Hindu, dan Budha. Padahal, saat SE ini diterbitkan, UU Nomor 5 Tahun 1969 dan
Penetapan Presiden Nomor 1.Pn.Ps. Tahun 1965 belum dicabut. 12 tahun
kemudian pemerintah melalui Mendagri kembali menerbitkan surat serupa
bernomor 77/2535/POUD, tanggal 25 Juli 1990 yang menyatakan bahwa hanya
10
Wawancara dengan Purwani pada tanggal 17 Desember 2014.
46
lima agama yang diakui di Indonesia: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik,
Hindu, dan Budha.11
Walaupun tidak disebutkan secara eksplisit tentang larangan agama
Khonghucu di Indonesia, namun dengan diberlakukan undang-undang yang hanya
mengakui adanya lima agama yaitu Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha,
maka dengan sendirinya agama Khonghucu tidak termasuk di dalamnya. Artinya,
agama Khonghucu tidak dianggap agama di Indonesia.
Kebijakan-kebijakan pemerintahan Orde Baru melalui Inpres dan Surat
Edaran sebagaimana disebutkan di atas, telah membawa dampak yang kurang baik
bagi umat Khonghucu pada khususnya. Para pemuka agama Khonghucu menilai
bahwa hal tersebut merupakan perilaku diskriminatif. Mengenai hal ini, Haksu
Tjie mengatakan bahwa “kenyataan tersebut berkaitan dengan keadaan politik
pada tahun 1965, yaitu terjadinya peristiwa G 30/S PKI. Rupanya ada anggapan
bahwa Negara RRC merupakan Negara komunis pada waktu itu, maka muncul
stigma pemeluk agama Khonghucu yang mayoritas etnis China, pasti juga berbau
komunis”.12
“Aimee Dawis menyebutkan bahwa karena Tionghoa diduga
menjalin hubungan dengan komunis Tiongkok, Soeharto memutuskan hubungan
11
Airin Liemanto., Ratio Legis Presiden Abdurrahman Wahid Menjadikan
Khonghucu Sebagai Agama Resmi Negara (Analisis Keputusan Presiden Nomor 6
Tahun 2000 Tentang Pencabutan Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967
Tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina), Skripsi, Malang:
Universitas Brawijaya. 2014. hlm. 3. 12
Wawancara dengan Thjie Tjai Ing pada tanggal 19 Desember 2014.
47
diplomatik dengan Tiongkok, lalu mengimplementasikan kebijakan asimmilasi
yang mengakibatkan erosi bahasa dan budaya Tionghoa”.13
Salah satu sentiment terhadap China adalah adanya sebagian kelompok
China, misalnya BAPERKI yang aktivitasnya dianggap sejajar dengan PKI.
Dikatakan bahwa sejak PKI meraih kesuksesan pada pemilu 1955 dan sikap
simpati terhadap keturunan orang-orang China yang dinyatakan secara terang-
terangan, aktivitas BAPERKI makin sejajar dengan PKI. Mulai saat itu
komunisme diasosiasikan dengan China.
Pada bulan Oktober 1967, sebuah mata rantai yang penting yang
menghalangi usaha pembauran dipatahkan ketika Indonesia memutuskan
hubungan diplomatik dengan Peking. Setelah itu berbagai langkah dijalankan
untuk membaurkan semua golongan China di Indonesia. Semua sekolah
berbahasa China ditutup, termasuk sekolah-sekolah BAPERKI, dan diubah
menjadi sekolah-sekolah negeri. Semua surat kabar China juga dilarang.
Dampak negatif dari kebijakan pemerintah Orde Baru sangat dirasakan
oleh umat pemeluk Khonghucu, termasuk umat Khonghucu yang ada di
Surakarta. Kehidupan keberagamaan mereka terganggu karena dalam
menjalankan peribadatan sudah tidak sebebas pada masa sebelumnya (orde lama).
Berkaitan dengan hal tersebut, Adjie Chandra menuturkan bahwa pada tahun 1979
akan diadakan kongres Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia
13
Dalam I Wibowo dan Thung Ju Lan (ed)., Setelah Air Mata Mengering:
Masyarakat Tionghoa Pasca Peristiwa Mei 1998, (Jakarta: Media Nusantara),
hlm.58.
48
(MATAKIN) di Surakarta, batal dilaksanakan lantaran ijin pelaksanaannya tiba-
tiba dicabut. Padahal, semua delegasi yang ada di seluruh tanah air sudah datang
dan siap mengikuti kongres. Kenyataan tersebut tentu saja sangat merugikan dan
menimbulkan perasaan yang kurang nyaman khususnya bagi umat pemeluk
agama Khonghucu.14
Selain hal di atas, hak-hak sipil umat Khonghucu dilanggar, tidak
terkecuali umat Khonghucu yang ada di Surakarta. Di bawah ini akan diuraikan
beberapa dampak dari kebijakan yang dijalankan oleh pemerintah Orde Baru
selama kurang lebih 32 tahun.
a. Dampak bagi Kehidupan Keagamaan
Dampak negatif dari dikeluarkannya Inpres tersebut menyebabkan ruang
gerak agama Khonghucu terbatasi. Misalnya, sulitnya mengadakan upacara atau
kegiatan tertentu baik yang berkaitan dengan peribadatan maupun tidak, seperti
mengadakan Munas MATAKIN. Setiap kali hendak mengadakan kegiatan atau
upacara tertentu wajib melakukan ijin terlebih dahulu kepada pemerintah melalui
lembaga yang berwenang. Peristiwa yagn terjadi pada tahun 1979 sebagaimana
yang dipaparkan oleh Adjie Chandra di atas satu contoh adanya diskriminasi
terhadap umat Khonghucu.
Di dalam menjalankan peribadatan, umat Khonghucu tidak serta merta
dapat menjalankan secara bebas. Upacara atau kegiatan keagamaan dijalankan
secara tertutup atau tidak diperkenankan diketahui oleh publik. Apabila hendak
14
Wawancara dengan Adjie Chandra pada tanggal 23 Desember 2014.
49
melakukan upacara peribadatan, mereka diharuskan ijin terlebih dahulu terlebih
kegiatan atau upacara agama tersebut membutuhkan tanah yang luas, artinya harus
dilakukan di tempat yang terbuka. Mereka wajib menutup tempat tersebut agar
tidak terlihat oleh publik. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa kehidupan
beragama umat Khonghucu menjadi terganggu sekaligus merasa diperlakukan
deskriminasi. “Misalnya pada tahun 1979, ketika MAKIN Surakarta ini hendak
memperingati hari kelahiran nabi Khonghucu. Upacara itu termasuk besar dan
butuh tempat. Biasanya juga dilakukan di Lithang. Maka kita tidak boleh keluar
dari Lithang ini.”15
Di dalam Instruksi Presiden no 14 tahun 1967 tentang agama, kepercayaan
dan adat istiadat China tanggal 6 Desember 1967 disebutkan bahwa Instruksi
tersebut mengandung pengertian bahwa segala bentuk peribadatan, tata cara
ibadah China yang memiliki aspek afinitas kulturil yang berpusat pada negeri
leluhurnya pelaksanaan harus dilakukan secara intern dalam hubungan keluarga
atau perorangan. Hal itu menunjukkan adanya usaha pembatasan terhadap
kehidupan beragama umat Khonghucu. perayaan-perayaan pesta agama dan adat
istiadat dilakukan secara tidak mencolok di depan umum melainkan dilakukan
dalam lingkungan keluarga.
Berkaitan dengan hal ini, Buana Jaya mengatakan. “Melihat dari dampak
yang ada, pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan presiden ke 2, telah
melakukan pelanggaran hak asasi bagi pemeluk agama tertentu, membunuh
15
Wawancara dengan Thjie Tjai Ing pada tanggal 14 Desember 2014
50
kesempatan keimannnya. Hal tersebut sebetulnya merupakan kezaliman penguasa
pada saat itu”.16
b. Dampak dalam Bidang Pendidikan
Perlu diketahui bahwa MAKIN Surakarta memiliki yayasan yang bernama
Tripusaka. Nama Tripusaka mengacu pada tiga pokok etika moral konfucian atau
Ti Jien Yong yang penjabarannya adalah Kebijakan, Cinta kasih, dan Keberanian
atau menaruh perhatian terhadap pendidikan intelektual, perasaan dan kemauan.
Salah satu bidang yang dijalankan oleh yayasan Tripusaka adalah bidang
pendidikan. Di kota Surakarta terdapat sekolah yang berada di bawah naungan
yayasan Tripusaka dalam berbagai jenjang yaitu SD, SMP, dan SMA. Sebagai
sekolah yang berada di bawah yayasan Khonghucu, maka lembaga-lembaga
pendidikan tersebut juga mengajarkan agama Khonghucu. “Sebagaimana yayasan
lain yang berada di bawah organisasi keagamaan tertentu, sekolah-sekolah yang
berada di bawah yayasan Tripusaka juga mengajarkan agama Khonghucu, dimana
agama tersebut yang dianut dan diyakini oleh pihak yayasan”.17
Sekolah yang berdiri kira-kira tahun 1925 tersebut pada mulanya berupa
pendidikan yang bertujuan untuk membantu anak-anak miskin agar bisa membaca
bahasa melayu dan berhitung. Pada perkembangan selanjutnya, sekolah Tripusaka
menjadi sekolah formal pada tahu 1935 tetapi masih bersifat membantu anak-anak
ekonomi lemah. Baru sekitar tahun 1950 Tripusaka dijadikan sekolah nasional
Indonesia dengan mata pelajaran mengikuti ketentuan pemerintah dengan tidak
16
Wawancara dengan Buana Jaya pada tanggal 23 Desember 2014. 17
Wawancara dengan Adjie Chandra pada tanggal 23 Desember 2014.
51
meninggalkan misi semula. Pada tahun 1966 sekolah menampung anak-anak yang
tidak dapat lagi sekolah lain, karena tuntutan sosial maka didirikan SMP siang
pada tanggal 14 Februari 1967, yang kemudian masuk pagi mulai tahun 1976.
SMP Tripusaka mendapatkan status diakui pada tanggal 31 Desember 1985 dan
diperbaruhi status diakui pada tahun 1992 hinga sekarang. Kemudian pada tanggal
31 Oktober 1981, menyusul didirikan SMA Tripusaka yang kemudian
mendapatkan status diakui pada tanggal 6 Januari 1986.
Namun dengan tidak diakuinya keberadaan Khonghucu sebagai agama di
Indonesia, maka secara otomatis agama Khonghucu tidak masuk dalam kurikulum
sekolah. Hal ini akan menyulitkan siswa pemeluk agama Khonghucu. Sebab
seandainya agama Khonghucu tetap diajarkan di sekolah, maka para siswa tidak
akan bisa mengerjakan atau tidak bisa mengikuti tes atau ujian. Hal ini
sebagaimana yang dikatakan Haksu Tjie. “Sebenarnya tidak ada kata-kata yang
secara jelas mengatakan bahwa agama Khonghucu dilarang di Indonesia. Namun
dengan hanya diakuinya lima agama selain agama Khonghucu, maka para siswa
pemeluk agama Khonghucu kesulitan, terutama ketika akan menghadapi tes
ujian”.18
Salah satu sikap yang diambil adalah dengan memberikan dua pelajaran
agama, yaitu agama Khonghucu dan agama lain yang diakui pemerintah
sebagaimana yang tertulis dalam undang-undang. Dengan demikian para siswa
tetap bisa mengikuti ujian agama, dan di sisi lain mereka tetap menerima pelajaran
agama Khonghucu. Berkaitan dengan hal itu, Purwani selaku pengajar di SD
18
Wawancara dengan Thjie Tjai Ing pada Tangga 16 Desember 2014.
52
Tripusaka dan sekolah Warga pada waktu itu, mengatakan bahwa; “apa yang
dilakukan tersebut memiliki tujuan agar pengajaran agama Khonghucu tetap bisa
diberikan kepada siswa yang memeluk agama Khonghucu, dan pada saat yang
bersamaan mereka juga dapat mengikuti kurikulum yang diberlakukan
pemerintah, yaitu tetap bisa mengikuti ujian tes bidang studi agama”.19
Adapun mengenai agama yang diajarkan untuk kepentingan kurikulum,
guru memilih agama Hindu. Pemilihan agama Hindu untuk keperluan tersebut
didasarkan pada pertimbangan karena ada kedekatan dalam proses peribadatan
misalnya sama-sama menggunakan dupa. Semula agama yang diajarkan oleh guru
agama adalah Budha sebagai wujud untuk memenuhi tuntutan kurikulum
sebagaimana yang diatur pemerintah. Akan tetapi di dalam prosesnya guru agama
Khonghucu dan para tokoh Khonghucu Surakarta menilai ada indikasi
„pencaplokan‟ siswa pemeluk agama Khonghucu oleh lembaga agama Budha.20
Situasi ini membuat para tokoh Khonghucu Surakarta mempertimbangkan
kembali mengenai pilihan agama yang diajarkan di sekolah, terutama sekolah di
bawah naungan MAKIN Surakarta, yaitu yayasan Tripusaka. Namun pada tahun-
tahun selanjutnya, ada pelarangan sama sekali terhadap pengajaran agama
Khonghucu di sekolah. Hal ini berdampak pada ditiadakannya pengajaran agama
Khonghucu yang sebenarnya sudah berjalan walaupun di luar kurikulum dan tidak
menjadi bidang studi yang akan diujikan kepada siswa. “Aturan yang melarang
sama sekali untuk mengajarkan agama Khonghucu di sekolah, tidak mungkin
19
Wawancara dengan Purwani pada tanggal 23 Desember 2014. 20
Wawancara dengan Adjie Chandra pada tanggal 23 Desember 2014
53
untuk tidak dipatuhi. Sebab kalaupun guru bertekad memberikan pelajaran, sudah
pasti akan ditegur oleh kepala sekolah”.21
Keadaan seperti itu telah membawa dampak yang „kurang baik‟ bagi
agama Khonghucu, yaitu banyaknya umat pemeluk agama Khonghucu yang
berpindah ke agama lain seperti Katholik, Protestan, dan Islam. Menurut apa yang
dituturkan oleh Haksu Tjie, “mayoritas mereka berpindah ke agama Katholik”.22
Perpindahan agama tersebut sebagai upaya untuk menyikapi kebijakan
pemerintah. Dengan kata lain, kebanyakan pemeluk agama Khonghucu yang
pindah agama untuk mencari „selamat‟ agar tidak kesulitan kelak dikemudian hari
dalam segala urusan yang berkaitan dengan adminitrasi dan birokrasi.
Kenyataan tersebut tentu saja secara kuantitas, umat pemeluk agama
Khonghucu menjadi berkurang. Di Lithang Swan Khong Tong, yang kebetulan
terdapat sekolah yang memang di bawah naungan yayasan Tripusaka juga
mengambil sikap terhadap dampak dari diberlakukannya Inpres no 14 tahun 1967.
c. Dampak dalam hal Pernikahan
Pernikahan merupakan salah satu tahapan hidup yang harus dilalui oleh
setiap orang. Pernikahan juga sesuatu yang sakral dan agung. Oleh karena itu
agama apapun mengatur perihal pernikahan tidak terkecuali agama Khonghucu.
Hal ini sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, yang menyaratkan perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum
21
Wawancara dengan Purwani pada tanggal 17 Desember 2014. 22
Wawancara dengan Thjie Tjai Ing pada tanggal 16 Desember 2014
54
masing-masing agama dan kepercayaan itu. Undang-undang tersebut berbunyi
sebagai berikut “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.23
Pernikahan bukan hanya sekedar legitimasi hubungan seksual antara
seorang wanita dengan seorang pria. Sebuah pernikahan bukan juga sekedar
upacara perestuan akan berlangsungnya proses lahirnya generasi baru manusia.
Ternyata, pernikahan masih mempunyai fungsi yang ketiga, yaitu dimulainya
kemandirian seorang anak manusia memasuki kehidupan bersosial. Artinya, anak
manusia tersebut akan melakukan interaksi sosial secara mandiri.24
Pernikahan dalam pengertian ajaran Khonghucu sendiri adalah perkawinan
antara laki-laki dan perempuan, pertautan antara Khian dan Khun-lah yang
melahirkan keturunan anak manusia dan ini adalah Firman Tuhan atau Kodrat.
Sebagaimana yang ada dalam kepercayaan agama Khonghucu bahwa Tuhan
(Tian/Thian) telah menciptakan manusia di dunia ini berlainan jenis Yin dan Yang
(pria dan wanita) yang saling melengkapi. Mereka memiliki Xin (Watak Sejati)
dan juga memiliki Hi, Ho, Ay, Lok, 4 (nafsu-nafsu) yang mendorong mereka
saling memiliki daya tarik, saling mengenal satu sama lain, saling mencintai, dan
saling menyayangi untuk hidup bersama. Dengan kata lain, telah menjadi kodrat
alam bahwa dua insan yang berlainan jenis kelamin itu membentuk suatu ikatan
23
Diambil dari UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 24
Kitab Si Shu (Zhong Yong BAB Utama, Pasal 4), 2012, hlm.2.
55
lahir batin dengan tujuan menciptakan keluarga yang bahagia, sejahtera dan
harmonis (Hee) serta abadi dalam ikatan perkawinan.
Menurut Confucius (Khonghucu) perkawinan adalah hal yang paling
pokok dalam berkeluarga karena keluarga merupakan susunan masyarakat terkecil
sebagai proses pembelajaran hidup dan arti kehidupan. Masa perkawinan adalah
masa dimana memisahkan kehidupan dari orang tua (menuju proses berdikari)
dimana mereka harus menentukan nasibnya sendiri untuk memenuhi
kehidupannya, menjalin hubungan yang harmonis antara suami istri yang berbeda
karakter dan sifat-sifatnya, membesarkan anak-anaknya berdasarkan pada tatanan
etika moral Ren, Yi, Li, Ti, Yong dan Xin.25
Sebagaimana diketahui dalam kaitannya dengan alam, Khian
dilambangkan sebagai langit, sedangkan Khun dilambangkan sebagai Bumi.
Berkaitan dengan metafisika, maka Khian itu melambangkan Tian ( Tuhan Khalik
Semesta Alam ), sedangkan Khun adalah ciptaan-Nya yakni alam semesta dan
seisinya. Dalam kaitannya dengan manusia, Khian dilambangkan sebagai laki-
laki, sedang Khun dilambangkan sebagai wanita atau ibu. Bahwa “terjadinya
berlaksana benda tak lain adalah pertautan antara (Khun/Yin dan Khian/Yang.
25
Ongky Setio Kuncono, Perkawinan Menurut Agama Khonghucu
Ditinjau Dari Undang-undang Nomor l Tahun 1974, dalam .