digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id digilib.uinsby.ac.id BAB III HALAL HARAM MENURUT AL-GHAZA> LI> DI DALAM KITAB IH} YA' ULU> M AL-DI> N. A. Biografi Imam al-Ghaza> li> 1. Riwayat Hidup Imam al-Ghaza> li> Al-Ghaza> li> sebagai tokoh terkenal, utamanya di bidang Sufistik mempunyai sejarah hidup seperti layaknya tokoh lain. Perjalanan hidupnya hampir dapat dipastikan selalu berhubungan dengan keadaan sosial yang mengitarinya, sehingga wawasan intelektual yang dimilikinya banyak bersinggungan dengan peristiwa sosial yang terjadi saat al-Ghaza> li> masih hidup. Oleh karena itu, dalam bahasan berikut perlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza> li> , lengkapnya bernama Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghaza> li> , 1 yang dilahirkan pada tahun 450 H/ 1058 M di Thus, 2 wilayah Khurasan Iran yang diwarnai oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun didiami oleh mayoritas umat Islam Sunni, juga banyak dihuni oleh orang- orang Kristen dan Islam Shiah. 3 1 Al-Ghaza> li> , Mizan al-'Amal ( Beirut : D< ar al-Kutub al-Ilmiyah, 1989 ), 3. 2 Thus, adalah kota di Khurasan, jaraknya dengan Naisabur sekitar 10 farsah. Kota ini dikuasai pada zaman Uthman ibn 'Affan, di kota Thus juga terdapat makam dari 'Ali bin Musa al-Ridlo dan makam Harun al-Rasyid. 3 Al-Ghaza> li> , Al-Munqid min al-Dlalal ( Mesir : D< ar al-Kutub al-Hadithah, 1968 ), 1. 64
50
Embed
BAB III - digilib.uinsby.ac.iddigilib.uinsby.ac.id/3100/6/Bab 3.pdfperlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan intelektualnya. Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Al-Ghaza>li> sebagai tokoh terkenal, utamanya di bidang Sufistik
mempunyai sejarah hidup seperti layaknya tokoh lain. Perjalanan
hidupnya hampir dapat dipastikan selalu berhubungan dengan keadaan
sosial yang mengitarinya, sehingga wawasan intelektual yang
dimilikinya banyak bersinggungan dengan peristiwa sosial yang terjadi
saat al-Ghaza>li> masih hidup. Oleh karena itu, dalam bahasan berikut
perlu adanya kajian tentang kehidupan, setting sosial dan wawasan
intelektualnya.
Al-Ghaza>li>, lengkapnya bernama Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-Ghaza>li>,1 yang dilahirkan
pada tahun 450 H/ 1058 M di Thus,2 wilayah Khurasan Iran yang
diwarnai oleh perbedaan paham keagamaan, karena daerah ini meskipun
didiami oleh mayoritas umat Islam Sunni, juga banyak dihuni oleh orang-
orang Kristen dan Islam Shiah.3
1 Al-Ghaza>li>, Mizan al-'Amal ( Beirut : D<ar al-Kutub al-Ilmiyah, 1989 ), 3. 2 Thus, adalah kota di Khurasan, jaraknya dengan Naisabur sekitar 10 farsah. Kota ini dikuasai pada zaman Uthman ibn 'Affan, di kota Thus juga terdapat makam dari 'Ali bin Musa al-Ridlo dan makam Harun al-Rasyid. 3 Al-Ghaza>li>, Al-Munqid min al-Dlalal ( Mesir : D<ar al-Kutub al-Hadithah, 1968 ), 1.
memanfa’atkan kesempatan untuk mempelajari tasawuf dan
mempraktikkan ajaran-ajarannya di bawah bimbingan Yusuf al-Nassaj.7
Pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh di Thus belum
memuaskan bagi al-Ghaza>li>, karena itu ia pergi untuk belajar ke
Naisabur8 berguru pada salah seorang teolog aliran Ash’ariyyah yang
terkenal, Abu al-Ma’ali Abd al-Malik Ibn Abi Muhammad al-Juwaini
yang bergelar Imam al-Haramain.9 Dari madrasah di Naisabur yang al-
Juwaini bertindak sebagai tenaga pengajarnya, al-Ghaza>li> memperoleh
ilmu kalam, mantik, hukum, retorika, ilmu pengetahuan alam dan
tasawuf.10
Selama di Naisabur al-Ghaza>li> tidak saja belajar dengan Imam al-
Haramain, akan tetapi juga mempergunakan kesempatan belajar untuk
menjadi pengikut sufi bersama Abu al-Fadlil bin Muhammad bin ‘Ali al-
Farmadi, seorang murid pamannya, al-Qushairi, yang ahli tasawuf.
Sesudah dari Naisabur al-Ghaza>li> lalu pergi ke al-Askar, dengan
mendapat sambutan hangat dari Perdana Menteri, karena Nizham al-
Mulk telah mengetahui kedudukan al-Ghaza>li> yang tinggi.
Di al-Askar ia pernah diundang untuk berdiskusi ilmiah dengan
sekelompok ulama di hadapan Perdana Menteri. Di dalam diskusi itu,
Perdana Menteri melihat keluasan dan kedalaman ilmu al-Ghaza>li> bila
7 Ibid, 68. 8 Naisabur, adalah suatu daerah yang banyak menghasilkan buah-buahan, kota ini dikuasai Muslimin pada zaman Khalifah 'Uthman Ibn 'Affan pada saat dipimpin oleh al-Amir Abd al-Allah bin 'Amir bin Kurais tahun 31 H. ada pendapat yang mengatakan Naisabur di kuasai Muslimin pada zaman Khalifah Umar Ibn Khattab dari al-Amir Al-Ahnaf ibn Qais. 9 Taj al-Di>n al-Subki, T}abaqatu al-Shafi>'iyah al-Kubra, ( Mesir : Ruhama, 1968), Vol III, 162-221. 10 Hadziq, Rekonsoliasi......, 68.
mereka bunuh di masa al-Ghaza>li> masih hidup adalah Perdana Menteri
Nizham al-Mulk dari Di>nasti Saljuk di tahun 1092 M.19
Dari fakta sejarah di atas dapat diketahui bahwa setting sosial
Islam saat al-Ghaza>li> hidup sudah berada dalam keadaan disintegrasi,
sehingga membawa akibat matinya ilmu-ilmu Islam dalam jiwa
pemeluknya. Hal ini dapat dilihat pada kasus pertentangan pendapat
yang ditimbulkan oleh para mutakallimi>n, filosof dan ahli kebatinan
dalam soal mencari kebenaran, sehingga menimbulkan ketidakpuasan
psikologis dalam masyarakat serta kebingungan dan keraguan di
kalangan orang awam.20
Demikian juga kasus pertentngan yang ditimbulkan oleh kaum
Faqih dan kaum Sufi. Di satu pihak kaum Sufi lebih banyak menekankan
aspek-aspek keakhiratan dan batiniyah dalam kehidupan, di pihak lain
kaum Faqih banyak menekankan aspek-aspek keduniaan dan lahiriyah,
sehingga masing-masing tenggelam dalam ajarannya, demikian jauh dari
saling memahami pertentangan tersebut.21 Setting sosial yang demikian
ini secara historis sulit untuk dilepaskan dari kehidupan dan pemikiran
al-Ghaza>li> hingga ia wafat, karena di manapun seorang pemikir berada,
tidak akan melepaskan diri dari bentukan sejarah yang melingkarinya.
19 Ibid., 76-77. 20 Sebagai bukti dalam aliran Ateisme ( al-Dahriyyun ), dan Naturalisme ( al-Thabi'iyyun ) ada ajaran yang mengingkari wujud Allah ( al-Ghaza>li>, al-Munqid min Dalal, hal. 91-92 ), dan mengingkari kekekalan jiwa yang berakibat pengingkaran terhadap hari akhir, surga, neraka, lain-lain ( ibid., 97 ). 21 Kenyataan itu dapat diperhatikan pada ajaran fana', hulul, ittihad, dan wahdah al-wujud dipihak ahli tasawuf, sementara dipihak figh sama sekali tidak dapat membenarkannya, karena dianggap merusak aqidah ( Abdurrahman Abdul Khaliq dan Ihsan Ilahi Zahir, Pemikiran Sufisme di Bawah Bayang-bayang Fatamorgana, Jakarta, Amzan, 2000), 71.
Dengan latar belakang setting sosial yang demikian, maka al-Ghaza>li>
sewaktu ‘uzlah menyusun teori-teori psikologi dalam bentuk tas}fi>yat al-
nafs dalam Ihya’ ‘Ulu>m al-Di>n sebagai upaya untuk membasmi
kecenderungan jahat yang ada pada jiwa/batin masyarakat saat itu.22
Hanya saja tindakan ‘uzlahnya ini memunculkan penilaian yang
beragam. Ada pendapat negatif yang menyatakan bahwa ‘uzlah al-
Ghaza>li> dari Baghdad menuju Damaskus Siria disebabkan rasa
ketakutannya terhadap gerakan aliran Bathiniyah yang waktu itu
mengadakan serentetan pembunuhan terhadap para tokoh ulama dan
penguasa, sebab dia baru saja mengeluarkan hasil karyanya yang
menghantam akidah aliran tersebut.23 Namun ada pula pandangan yang
cenderung positif menyatakan bahwa tindakan ‘uzlahnya hanya
dilatarbelakangi oleh sebuah keinginan agar lebih mendekatkan diri
kepada Allah dan mendapatkan kebahagiaan hidup kelak yang akan
datang.24 Pandangan ini sejalan dengan pernyataan al-Ghaza>li> sendiri:
Jelas bagiku, bahwa tidak akan tercapai kebahagiaan akhirat kecuali dengan taqwa, dan mencegah diri agar jangan larut dalam hawa nafsu. Sedang kunci untuk mencapai hal itu adalah dengan memutuskan hubungan hati dengan hal yang bersifat duniawi dan menjauhkan diri dari tempat-tempat yang menyesatkan untuk kembali ke tempat kekal dan dengan sepenuh hati menuju Allah.25
Lepas dari pendapat pro dan kontra tersebut, yang jelas akibat
dari ‘uzlahnya al-Ghaza>li> telah dapat mengetengahkan berbagai
22 Hanas Laggulung, Asas-asas Pendidikan Islam ( Jakarta : Pustaka al-Husna, 1987 ), 375. 23 Abdullah Hadziq,MA., Rekonsoliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, 73. 24 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulum al-Din, volume I, 9. 25 Al-Ghaza>li>, Al-Munqid min al-Dlalal, 128-129.
mengetahui mendalami dan memahami masalah-masalah yang hakiki.
Hal ini dilukiskan oleh al-Ghaza>li> sendiri seraya menyatakan:
“kehausanku untuk menggali hakikat segala persoalan telah menjadi kebiasaanku semanjak aku muda. Hal itu merupakan tabiat dan fitrah yang telah diletakkan oleh Allah dalam kejadianku, bukan karena usahaku”.29 Karenanya al-Ghaza>li> terdorong belajar tasawuf kepada salah seorang tokoh sufi, Abu al-Fadlil Ibn ‘Ali Muhammad Ibn ‘Ali al-Farmadi (w 477 H) dari segi teori dan praktiknya.30
Sewaktu jadi murid Imam al-Haramain, ia menanamkan
kebiasaan skeptis terhadap persoalan dan pertentangan teologis, meski
kecenderungan skeptis tersebut harus berhadapan pengaruh gurunya.
Ketika Imam al-Haramaim meninggal dunia tahun 478 H./1085 M.
kecenderungan skeptis ini berkembang lebih lanjut semasa ia berada di
majlis seminar yang didirikan oleh Nizham al-Mulk, wazir Saljuk,
pecinta ilmu dan ulama. Di Majlis ini beliau banyak berdiskusi dengan
para ulama lebih kurang enam tahun. Selama itu ilmunya semakin
mendalam, terutama di bidang kalam.
Kesan tersebut dapat dibuktikan melalui karya intelektualnya di
bidang kalam, seperti Qawa’id al-‘Aqa’id yang kini termasuk salah satu
bab dari kitab Ihya’ ‘Ulu>m al-Di>n, kitab al-Arba’in fi Us}ul al-Di>n, kitab
al-Risalah al-Qudsiyyah,Al-Iqtishad fi al-I’tiqad dan Iljam al-A’wam ‘an
Ilm al-Kalam. Dengan reputasinya yang demikian itu, di Nizhamiyah
Baghdad kuliah-kuliah al-Ghaza>li> menjadi daya tarik tersendiri bagi para
29 Al-Ghaza>li>, Al-Munqid min al-Dlalal, 75. 30 Ahmad al-Sharbashi, Al-Ghaza>li> wa al-Tasawuf al-Islami ( Mesir : Dar al-Hilal, Tt ), 29-31.
sumber pengetahuan tentang kebenaran. Al-Ghaza>li> sependapat dengan
mereka bahwa pemberi informasi (al-mu’allim) itu perlu bersifat
ma’shum, tetapi hanya sebatas pada tingkat Nabi, sesudah Nabi orang
tidak memerlukan imam yang ma’shum lagi, sebab Tuhan melalui kitab
suci telah memberi kepada manusia ukuran (mizan) dan alat untuk
mengetahui kebenaran, yang oleh al-Ghaza>li> disebutnya sebagai al-
qisthas al-mustaqi>m.
Selanjutnya dalam kontek wawasan intelektual, al-Ghaza>li> juga
mendalami bidang fiqh dan kalam. Hal ini dapat dibuktikan melalui
karya tulisnya yang berjudul Al-Wajiz (ringkasan), al-Wasith
(pertengahan) dan al-Basith (sederhana) dalam bidang fiqh, dan al-
Iqtishad fi al-I’tiqad (moderasi dalam aqidah) di bidang kalam. Dengan
demikian al-Ghaza>li> dapat dianggap sebagai sosok intelektual yang
berhasil mencapai puncak karier intelektualnya, sebagaimana harapan
pada umumnya intelektual waktu itu. 37
Sesudah itu al-Ghaza>li> menuju ke jalan tasawuf, karena diyakini
bahwa metode berfikir filsafat, ilmu kalam dan bathiniyyah tidak mampu
mengantarkannya kepada pencapaian tujuannya. Sebaliknya ia hanya
berkeyakinan bahwa tasawuf adalah jalan terbaik yang pantas dilalui
manusia, sebagaimana pernyataannya:
“saya ketahui pasti bahwa para Sufi yang berjalan di jalan Allah, hidup mereka adalah hidup yang terbaik, cara mereka adalah cara yang paling benar dan moral mereka adalah pekerti yang paling bersih.38
37 Abdullah Hadziq, Rekonsoliasi Psikologi Sufistik dan Humanistik, 77. 38 Al-Ghaza>li>, Al-Munqid min al-Dlalal, 132.
muhasabah, muraqabah, dan hal-hal lain yang bersifat metafisik.
Sedang dalam supplement, dimuat tentang kelebihan-kelebihan
Ihya’, berbagai problematika dalam Ihya’, dan seputar uraian tentang
tasawuf, akhlak tasawuf, serta keutamaan-keutamaan ibadah yang
bercorak sufistik. Ihya’ al-‘Ulu>m al-Di>n karya al-Ghaza>li> tersebut,
berdasrkan catatan sejarah pribadi>nya, diulis setelah ia selesai mengkaji
falsafah, ilmu kalam, tasawuf dan aliran kebatinan yang berkembang saat
itu. Sementara dari sisi waktu dan tempat kitab tersebut ditulis di
Baghdad setelah habis masa ‘uzlahnya,41 meski ada pendapat lain yang
menyebutkan bahwa Ihya’ ditulis pada masa ‘uzlahnya42 yang
diperkirakan tahun 1095-1107 M.
41 Philip K Hitti, History of The Arabs, ( London : The Macmillan Press, 1974 ), 342. 42 Mahmud Hamdi Zaqzuq, Al-Manhaj al-Falsafi Bain al-Ghaza>li> wa Dikart, Terj. Ahmad Rafi' Uthman, Al-Ghaza>li> Sang Sufi Sang Filosof , (Bandung : Pustaka Perpustakaan Salman ITB, 1987 ), 4.
Kitab al-Ihya’ yang telah memuat konsep rekonsiliatif antara
pengalaman sufisme dan shari>’at,43 sebagaimana harapan Imam al-
Qusyairi, selain mendapat penghargaan dari Muhammad Abduh yang
dilansir oleh Jamal al-Di>n al-Qasimi, dan Musa al-Maimun dari teolog
Yahudi juga mendapat kritikan karena dianggapnya tidak orisinal.44
Sekalipun mendapatkan penghargaan karena Ihya’nya, bukan
berarti karya intelektual al-Ghaza>li> tersebut bebas dari pengaruh
eksternal. Menurut pengakuan al-Ghaza>li> sendiri, khusunya menyangkut
pembahasan di bidang tasawuf telah dipengaruhi oleh pemikiran-
pemikiran sufistik sebelumnya, antara lain Qut al-Qulub karangan Abu
Thalib al-Makki dan pemikiran tas}awwuf al-H}ari>th al-Muh}a>sibi>, Al-
Junaydi dan Abu Yazid al-Bust}ami>.45 Tetapi, ungkapan dan uraian dalam
Ihya’ menurut al-Ghaza>li> jauh berbeda dibanding buku-buku tasawuf
mereka.
Perbedaan tersebut menurutnya terdapat dalam lima hal berikut :
pertama, Ihya’ menjelaskan apa yang ditulis mereka secara singkat dan
umum, kedua, Ihya’ menyusun dan mengatur apa yang ditulis mereka
berserakan dan tidak sistematis, ketiga, Ihya’ meringkas dan menguatkan
apa yang ditulis mereka secara panjang, keempat, Ihya’ membuang apa
yang mereka tulis secara berulang-ulang, kelima, Ihya’ memberikan
43 Simut, Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam ( Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1996 ), 167. 44 Kautsar Azhari Noer, Mengkaji Ulang Posisi al-Ghaza>li> dalam Sejarah Tasawuf "Majalah Pesantren " dalam Jurnal Paradikma. Vol. I, ( Jakarta ; Raja Grafindo Persada, 1999), 185. 45 Al-Ghaza>li>, Al-Munqid min al-Dlalal, 126.
penyucian diri dari dosa dan kesalahan, ketiga, penyucian hati dan akhlaq
yang tercela, dan keempat, penyucian ‘sirr’ (harfiyah: rahasia atau situasi
hati paling dalam) dari selain Allah SWT.49
Adapun konsepsi al-Ghaza>li> tentang Us}ul Fikih terungkap secara
sistematis dalam kitabnya “Al-Mustasfa”.50 Dari kitab ini kita akan
mendapatkan informasi tentang keberatan al-Ghaza>li> terhadap “Shar’u
man Qablana, Qaul Sah}abi, Istihsan, Istislah, dll” sebagai sumber hukum
sekunder. Bagi al-Ghaza>li>, sumber hukum itu cukup empat, yaitu al-
Kitab, al-Sunnah, Ijma' dan akal pikiran. Adapun selebihnya Qiyas,
Istih}san dan lain-lain. Sehingga inheren pada sumber yang terakhir, yaitu
akal. Keterusterangan al-Ghaza>li> mengedepankan akal sebagai sumber
hukum yang keempat-menurut hemat penulis-merupakan pengaruh dari
filsafat 51. Untuk lebih jelasnya di uraikan hal-hal berikut ini:
a. Hakikat Hukum
Bagi al-Ghaza>li>, hukum itu merupakan uraian mengenai
kitab al-Shar’i (obyek hukum yang ditentukan oleh shari’at yang
berkaitan dengan perbuatan seorang mukallaf ). Jadi, seandainya
tidak ada kitab dari shara’ maka hukum itu tidak akan pernah ada.
Oleh karena itu, tegas al-Ghaza>li>, akal pikiran manusia tidak punya
tempat untuk menentukan baik-buruknya suatu perbuatan, dan (juga)
49 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulum al-Din, vol I , 125. 50 Kitab ini di karang al-Ghaza>li> sebelum wafatnya, berarti waktu ia mendapatkan kesadaran baru dalam kehidupan sufi, ( al-Ghaza>li>, al-Mustasfa, 3-4 ) 51 Fakultas Shari>‘ah IAIN Sunan Ampel Surabaya, "Al-Qanun", jurnal Pemikiran dan Pembaharuan Hukum Islam, volume 10, Nomor 2 ( Desember, 2005 ), 800.
"Hai Rasu>l-Rasu>l, makanlah dari makanan yang baik-baik, dan kerjakanlah amal yang saleh. Sesungguhnya Aku Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan".
Allah memerintahkan untuk makan dari yang baik-baik
sebelum beramal. Dan ada yang mengatakan bahwa yang di maksud
adalah sesuatu yang halal.59
b. Al-Qur’a>n surat al-Baqarah ayat 188
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.
c. H}adi>th Nabi SAW yang riwayatkan oleh Abu Na'im :
قلبه وأجرى ينابيع احلكمة من قلبهأكل احلالل أربعني يوما نور اهللامن "Barang siapa makan halal empat puluh hari, maka Allah menerangi hatinya dan Ia lakukan sumber-sumber hikmah dari hatinya atas lidahnya "
d. Al-Qur’a>n Surat al-Nisa' ayat 10
Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka).
disamakan dengan hal-hal yang buruk itu karena umumnya jijik
sehingga makruh memakannya. Dan kemakruhan itu bukan
karena najisnya karena, yang benar binatang-binatang itu tidak
najis karena, akan tetapi karena RAsulullah SAW.
memerintahkan untuk memasukkan lalat di dalam makanan,
apabila lalat itu terjatuh padanya, barangkali makanan itu panas
dan menjadikan sebab kematianya.
Seandainya semut atau lalat jatuh di dalam periuk maka
tidak wajib mengalirkanya karena yang dipandang menjijikkan
bendanya apabila ia masih mempunyai benda, dan benda itu
tidak najis sehingga benda itu haram karena najis. Dan ini
menunjukkan bahwa haramnya itu karena dipandang
menjijikkan.
Oleh karena itu Al-Ghaza>li> mengatakan:
“Seandainya jatuh satu bagian anak Adam (manusia) di dalam periuk walaupun, timbangan (seberat) satu daniq (1/6 dirham) maka haramlah seluruhnya, bukan karena najisnya, karena yang benar, anak adam (manusia) itu tidak najis karena mati, akan tetapi memakannya itu haram karena dimuliakan, bukam karena dipandang menjijikkan.
Adapun binatang-binatang yang boleh dimakan apabila
disembelih dengan sharat shara’ maka tidak seluruh bagian-
bagianya itu halal. Tetapi darah, kotoran dan setiap apa yang
diputuskan najis padanya itu diharamkan. Bahkan memakan
Haram juga mempunyai tingkatan seperti halal, sebagiannya
buruk dalam tingkatan pertama, sebagianya dalam tingkatan kedua,
ketiga atau keempat.
Oleh karena itu Al-Ghaza>li> mengatakan wara’ terhadap
haram itu ada empat tingkat,60 yaitu:
3.1. Wara’ orang sangat adil, dan itulah yangmewajibkan kefasikan
dengan melanggarnya, dan gugurlah keadilan karenanya dan
tetap (sah) lah nama durhaka dan menyebabkan masuk neraka.
Yaitu wara’ dari setiap apa yang diharamkan oleh fatwa fuqaha>‘.
3.2. Wara’ orang yang shalih, yaitu mencegah dari sesuatu yang
menyampaikan kepada penaggungan haram, tetapi mufti (ahli
fatwa) memberi keringanan dalam mengambilnya karena
berdasarkan atas d{ahir,61 karena itu termasuk tempat-tempat
shubhat secara global, maka hendaklah kita memberi nama
penyempitan terhadap hal itu sebagai wara’ orang-orang yag
shalih,.
3.3. Sesuatu yang tidak diharamkan oleh fatwa dan tidak ada shubhat
mengenai kehalalannya. Tetapi dikhawatirkan dapat
menyampaikan kepada sesuatu yang diharamkan. Yaitu
meninggalkan sesuatu yang tidak menyebabkan dosa.
60 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulum al-Din, 95. 61 Dahir yang dimaksud di sini adalah dahir lawan kata dari sara'ir ( hal-hal yang dinilai hanya oleh Allah). ( Muhammad bin Muhammad al-Husaini al-Zabidi, Ittihaf Tasat al-Muttaqin Sharh Ihya' Ulum al-Din, Vol 6), (Beirut : Dar al-Fikr, Tentu), 22.
Ini adalah wara’ orang-orang yang bertakwa , Nabi SAW
bersabda:
٦٢اليبلغ العبد درجة املتقني جىت يدع ماالبأس به خمافة مابه بأس
“Seorang hamba tidak sampai kepada derajad muttaqin (orang-orang yang bertakwa) sehingga ia meninggalkan sesuatu yang tida apa-apa karena takut kepada sesuatu yang apa-apa (dosa)".
3.4. Sesuatu yang sama sekali tidak apa-apa dan tidak dikhawatirkan
untuk menyampaikan kepada sesuatu yang apa-apa (berdosa),
sesuatu itu memperoleh kepada selai Allah dan atas niat selain
taqwa dalam beribadah kepada Allah atau menyampaikan
kepada sebab-sebabnya yang memudahkan baginya baik makruh
atau ma’siat. Mencegah diri dari hal ini adalah wara’ orang-
orang yang siddiqin (orang yang sangat membenarkan agama).
Adapun haram yang kami sebutkan pada tingkat pertama
menjadi persyaratan dalam keadilan dan terlepasnya sifat
kefasikan itu ada beberapa tingkat juga dalam keburukan.
Diantaranya adalah sesuatu yang diambil dengan aqad yang fa>s}id
itu haram, tetapi tidak setingkat dengan benda yang di ghasab,
dan meninggalkan jalan ibadah dengan mu'athah itu lebih ringan
daripada meninggalkan ibadah dengan riba.63
62 H}adi>th ini diriwayatkan oleh Ibn Majjah, al-Tirmizi dan al-Hakim dari h}adi>th 'Atiyah bin Urwah. 63 Al-Ghaza>li>, Ihya' Ulu>m al-Di>n, 95.
4) Tingkatan Shubhat, Motifator Shubhat dan Perbedaan Halal dan
Haram.
Mengenai shubhat ini, Rasulullah SAW bersabda:
عت رسول اهللا صلى اهللا عليه عت النـعمان بن بشري يـقول : مس عن عامر قال : مسنـهما مشبـهات ال يـعلمها وبـيـ واحلرام بـني كثري من الناس وسلم يـقول : احلالل بـني
رأ لدينه وعرضه ، ومن وقع يف الشبـهات كراع يـرعى حول فمن اتـقى المشبـهات استبـمه أال احلمى يوشك أن يـواقعه أال وإن لكل ملك محى أال إن محى اهللا يف أرضه حمار
وإن يف اجلسد مضغة إذا صلحت صلح اجلسد كله ، وإذا فسدت فسد اجلسد كله أال وهي القلب
Dari Amir berkata : aku mendengar Rasulullah bersabda : “halal itu jelas, haram itu jelas dan antara keduanya terdapat hal-hal yang shubhat (samar), dimana banyak dari manusia tidak mengetahuinya. Barang siapa memelihara dari syubhat maka ia telah membersihkan bagi kehormatannya dan agamanya. Dan barang siap jatuh di dalam syubhat maka ia jatuh di adalam haram seperti pengembala di sekitar tanah larangan maka hampir ia jatuh di dalamnya. Ketahuilah ! setiap pemilik mempunyai larangan, ketahuilah bahwa larangan Allah di buminya adalah hal yang diharamkannya, ketahuilah ! di setiap jasad ada darah, apabila darah itu baik maka seluruh jasad ikut baik dan apabila darah itu buruk, maka seluruh jasad ikut buruk pula, darah itu adalah al-qalb ( hati )”.64
H}adi>th ini ada nash mengenai penetapan tiga bagian
(pembagian) itu. Yang sulit dari ini adalah bagian pertengahan yang
tidak diketahui oleh manusia, yaitu shubhat maka wajib
menjelaskannya. Karena sesuatu yang tidak diketahui oleh banyak
manusia itu kadang-kadang diketahui oleh sedikit orang.
Al-Ghaza>li> berkata “halal mutlak adalah sesuatu yang pada
dzatnya tidak ada sifat-sifat yang mewajibkan untuk haram pada
64 Al-Imam al-Hafid Ahmad bin Hajar al-Asyqalany, Fath al-Ba>ri> , Juz I, 20.
“ada seorang laki-laki membawa kelinci kepada Nabi saw. Lalu ia berkata “hasil panahanku, saya tau anak panahku ada padanya” maka beliau bersabda “bintang itu mati seketika atau setelah pergi” beliau bersabda sesungguhnya malam itu salah satu makhluk allah , tidak dapat melampaui qodarnya binatang mati kecuali sesuatu yang dia ciptakan. Barangkali ada sesuatu yang membantu atas pembunuhannya”
iv) Halal itu diketahui, tetapi kuat menurut dugaan datangnya
sesuatu yang mengharamkan karena sebab yang dianggap
menurut syara’ maka hilanglah istish-hab dan diputuskan
dengan haram. Karena jelas bagi kami bahwa ishtish-hab itu
lemah, dan tidak memepunyai hukum lagi bersama kuatnya
dugaan.
Misalnya ia menunaikan ijtihadnya kepada najisnya salah satu
dari kedua bejana dengan berpegang atas tanda yang tertentu
yang mewajibkan kuatnya dugaan maka mewajibkan haram
meminumnya sebagaimana mewajibkan larangan wudlu
denganya
Demikian juga jika ia berkata “jika zaid membunuh
binatang buruan sendirian maka istriku tertalak”. Lalu ia
melukainya dan binatang itu pergi darinya, dan ia
mendapatkannya mati maka istrinya haram. Karena menurut