Top Banner
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kayu Pohon Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk) Pohon Nangka umumnya berukuran sedang, memiliki tinggi 20-30 m, diameter batang mencapai 100 cm, seluruh bagian mengeluarkan getah putih bila dilukai. Daun tunggal, tersebar, helai daun agak tebal seperti kulit, kaku, bertepi rata, bulat telur terbalik hingga jorong (memanjang). Kayu nangka telah banyak digunakan di Srilangka, India, dan Eropa (Verheij dan Coronel, 1992). Gambar 2.1 Pohon Nangka (Verheij dan Coronel, 1992) Kayu nangka memiliki berat jenis rata-rata 0,61, sehingga masuk dalam kelas kuat II. Kayu yang masuk dalam kelas kuat II-III baik digunakan untuk tujuan struktural. Kandungan bagian teras nangka termasuk besar, semakin
17

BAB II(2)

Dec 13, 2014

Download

Documents

Agnes Sartika
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II(2)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kayu Pohon Nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk)

Pohon Nangka umumnya berukuran sedang, memiliki tinggi 20-30 m, diameter

batang mencapai 100 cm, seluruh bagian mengeluarkan getah putih bila dilukai.

Daun tunggal, tersebar, helai daun agak tebal seperti kulit, kaku, bertepi rata, bulat

telur terbalik hingga jorong (memanjang). Kayu nangka telah banyak digunakan di

Srilangka, India, dan Eropa (Verheij dan Coronel, 1992).

Gambar 2.1 Pohon Nangka (Verheij dan Coronel, 1992)

Kayu nangka memiliki berat jenis rata-rata 0,61, sehingga masuk dalam kelas

kuat II. Kayu yang masuk dalam kelas kuat II-III baik digunakan untuk tujuan

struktural. Kandungan bagian teras nangka termasuk besar, semakin besar persentase

bagian teras maka kayu tersebut memiliki keawetan alami yang semakin baik

(Isrianto, 1997).

Page 2: BAB II(2)

Tabel 2.1 Komposisi Kimia Kayu Pohon Nangka

Parameter Nilai (%)

Selulosa 56,47

Lignin 28,76

Pentosan 18,64

Kelarutan dalam air:

- Air dingin

- Air panas

- Alkohol-benzena

- NaOH

12,29

14,41

10,78

24,70

Kadar air 7,65

Kadar abu

Kadar silika

0,78

0,37

(Sumber : Hastoeti dan Komarayati, 1993)

Secara mikroskopis kayu nangka memiliki pori berdiameter kecil, sel serabut

yang panjang dan dinding sel serabut yang tebal. Dilihat dari sifat fisis dan anatomi

kayu nangka baik untuk bahan baku mebel, kayu konstruksi dan alat musik.

Berdasarkan klasifikasi komponen kimia kayu Indonesia, kayu nangka mempunyai

kadar ekstraktif yang tinggi dimana kadarnya lebih dari 4% (Isrianto, 1997)

2.2 Potensi Kayu Pohon Nangka Sebagai Alternatif Bahan Baku Pembuatan

Pulp

Kadar selulosa dalam kayu nangka berkisar 56,47%, dimana kadar selulosa

tersebut dapat digunakan untuk menaksir besarnya rendemen pulp dan kertas yang

diperoleh, sehingga kadar selulosa yang tinggi dapat menghasilkan rendemen pulp

yang tinggi juga dan baik digunakan sebagai bahan campuran dalam pembuatan pulp

dan kertas serta rayon.

Kadar lignin dalam kayu nangka berkisar 28,76%, sehingga diketahui bahwa

kayu nangka baik digunakan sebagai bahan baku pembuatan pulp dan kertas karena

kadar lignin kayu nangka tergolong rendah, karena jika kadar lignin suatu kayu

Page 3: BAB II(2)

tinggi akan menghambat  proses penggilingan dan kertas yang dihasilkan bersifat

kaku.

Kadar pentose dalam kayu nangka berkisar 18,64%. Nilai pentose yang rendah

ini akan memudahkan serat untuk dibetuk secara mekanis serta sifat elastic dan

mengembanganya terlihat lebih sempurna karena jika kandungan pentose terlalu

tinggi mengakibatkan kerapuhan benang rayon atau turunan selulosa yang dihasilkan

(Emil, 2011).

Kandungan kelarutan kayu dengan metode ethanol-benzene sebesar 10,78%,

kelarutan dalam air dingin sebesar 12,29% dan kelarutan dalam air panas sebesar 

14,41%, nilai kelarutan air panas selalu lebih tinggi dari air dingin, karena selain

melarutkan bahan inorganic, tannin, gum, gula dan zar warna juga dapat melarutkan

pati. Penghitungan  kelarutan kayu itu digunakan untuk menetukan zat ekstraktif

yang ada di dalam kayu. Kadar ekstraktif dalam kayu nangka yang diperoleh lebih

dari 4% hal ini mungkin disebabkan karena kandungan zat warna kuning dalam kayu

nangka yang disebut mourine (Heyne, 1987).

Kandungan kelarutan NaOH 1% sebesar 24,70% termasuk dalam kelas tinggi.

Besarnya kelarutan dalam NaOH 1% dapat memberikan petunjuk  mengenai tingkat

kerusakan kayu yang diakibatkan serangan organisme perusak kayu. Kadar abu

dalam kayu nangka berkisar 0,78%, bila kandungan abu dengan nilai yang sedang

dicampurkan dengan nitrogen akan menghasilkan pupuk mineral yang baik (Emil,

2011).

2.3 Proses Pembuatan Pulp

Pulp atau bubur kertas merupakan serat berwarna putih yang diperoleh melalui

proses penyisihan lignin dari biomassa. Pulp dapat diolah dengan lebih lanjut

menjadi kertas, rayon, selulosa asetat dan turunan selulosa yang lain. Sebagai bahan

baku pulp dipakai bahan baku jerami dan merang dan meningkat menjadi bahan baku

bambu, ampas, tebu, pohon kapas, serat dan jenis rumput – rumputan.

Syarat – syarat bahan baku yang digunakan dalam pulp, yakni :

a. Berserat

b. Kadar alfa selulosa lebih dari 40%

c. Kadar ligninnya kurang dari 25%

Page 4: BAB II(2)

d. Kadar air maksimal 10%

e. Memiliki kadar abu yang kecil

(Harefa, 2012)

Pemisahan lignin dari biomassa oleh pelarut organik dapat dianggap sebagai

efektif pendekatan. Dalam kasus ini, proses pembuatan pulp dengan menggunakan

berbagai pelarut untuk memisahkan selulosa, hemiselulosa dan lognin dari tanaman.

Ada tiga teknik pembuatan pulp pada industri, yaitu proses kraft, proses sulfit dan

proses soda (Kumar dan Deepak, 2011).

Proses pembuatan pulp terbagi atas:

2.3.1 Secara Mekanis

2.3.1.1 Grinding Process

Prinsip grinding process adalah kayu sebagai bahan baku pulp yang

berbentuk seperti bola ditekan dan berputar dengan kondisi dibawah tekanan dan

temperatur standar (Sixta, 2006).

Gambar 2.2 Prinsip Kerja Grinding

(Sixta, 2006)

Berdasarkan posisi log-nya, grinder dapat dibedakan atas:

a. Transversal groundwood

b. Longitudinal groundwood

Proses dapat dikategorikan sebagai Stone Ground Wood (SGW), Pressured

Ground Wood (PDW), dan Thermo Ground Wood (TGW) (Sixta, 2006).

Page 5: BAB II(2)

Gambar 2.3 Jenis-Jenis Prinsip Kerja Grinding

(Sixta, 2006)

2.3.1.2 Refiner Process

Refiner Process terbagi atas :

a. RMP (Refiner Mechanical Pulp), yakni menggiling serbuk kayu pada

tekanan atmosfer pada sebuah mesin penggiling.

b. TMP (Thermo Mechanical Pulp), yakni menggiling serbuk kayu dibawah

tekanan, dengan mesin penggiling kedua juga berada dibawah tekanan.

c. RTS (Retention time, Temperatur, Speed), yaknik serbuk kayu dipanaskan

pada suhu tinggi dalam waktu singkat.

d. Thermopulp, yakni pulp dipanaskan hingga suhu yang sangat tinggi

sebelum memasuki tahap berikutnya.

e. CMP (Chemimecahanical Pulp), yakni serbuk kayu mengalami

perlakukan yang biasanya menggunakan sodium sulfit dan kaustik dan

kemudian digiling tanpa tekanan.

(Sixta, 2006)

Page 6: BAB II(2)

Gambar 2.4 Flowchart Proses Refining

(Sixta, 2006)

2.3.2 Secara Semikimia

2.3.2.1 Vapor-phase Pulping

Vapor-phase Pulping adalah proses dimana chip dimasak dengan cairan

pemasak. Free liquor dikeringkan dan terjadi dalam tekanan atmosfir fasa uap

(Biermann, 1996).

2.3.2.2 NSSC (Neutral Sulfite Semi Chemical)

Pada proses ini menggunakan cairan pemasak Na2CO3 dan Na2SO3, pH cairan

yaitu 7-10, waktu pemasakan 0,5-2 jam dan pada temperatur pemasakan 160-185oC.

residu lignin yang dihasilkan juga sedikit yakni sekitar 15-20 % sehingga kertas yang

dibuat dari pulp ini akan menjadi kaku. Pada proses ini juga dilakukan penambahan

antraquinon untuk meningkatkan kualitas pulp yang dihasilkan Penambahan bahan

kimia dilakukan pada kondisi temperatur rendah, waktu yang singkat, dan pada pH

yang rendah. Proses kimia pada proses ini digunakan dengan tujuan agar serat

Page 7: BAB II(2)

menjadi lebih halus, tetapi tidak mengurangi lignin seperti pada proses kimia secara

keseluruhan (Renta, 2010).

2.3.3 Proses Kimia

Pulp kimia yang dihasilkan merupakan hasil pemasakan dari kepingan kayu

dengan bahan kimia di dalam digester, dimana dalam proses ini panas yang diberikan

dan bahan kimia dapat mengurangi lignin, dan mengikat serat selulosa secara

bersama-sama tanpa adanya pengurangan serat selulosa. Dalam proses kimia ini

diperoleh yield 50 % dengan kadar lignin 3-5 % sehingga pulp yang dihasilkan

mempunyai kekuatan tarik yang tinggi. Dalam proses ini juga terjadi proses

bleaching yaitu proses pemucatan warna pulp sehingga dihasilkan pulp dengan

tingkat kecerahan yang tinggi (Renta, 2010).

2.3.3.1 Proses Soda

Proses soda umumnya digunakan untuk bahan baku dari limbah pertanian.

Merupakan proses pemasakan dengan metode proses basa. Larutan perebus yang

digunakan adalah NaOH (Harefa, 2012).

Proses ini hanya menggunakan soda kaustik sebagai larutan pemasak serpih.

Sifat pulp hasil pemasakan proses kimia dipengaruhi oleh beberapa kondisi

pemasakan yaitu konsentrasi larutan pemasak, perbandingan larutan pemasak

terhadap bahan baku, suhu pemasakan dan waktu pemasakan. Bertambahnya

konsentrasi larutan pemasak akan bertambah pula tingkat delignifikasi dan

pemisahan selulosa, sehingga rendemen dan kekuatan pulp menurun tetapi

kebutuhan larutan pemutih lebih sedikit.

Untuk proses soda, pemakaian natrium hidroksida berkisar antara 18-35% dari

berat kering. Proses penetrasi berlangsung pada semua arah serpih dengan kecepatan

yang sama. Hal ini disebabkan oleh sifat natrium hidroksida yang mudah menembus

dinding sel.

Proses alkali pada umumnya menggunakan suhu pemasakan maksimum 170oC.

Pemasakan pulp dengan suhu yang lebih tinggi mengakibatkan putusnya rantai

selulosa melalui reaksi hidrolisi alkali. Pada suhu 190oC – 196oC degradasi selulosa

terjadi dalam jumlah yang lebih besar dan hal ini menyebabkan penurunan viskositas

Page 8: BAB II(2)

pulp, tetapi kekuatan pulp tidak begitu berpengaruh. Penurunan sifat fisik pulp yang

besar terjadi pada suhu diatas 200oC, disebabkan proses pemasakan tidak selektif

terhadap lignin (Mulyati, 2004).

Proses ini sangat cocok digunakan untuk bahan baku non-kayu. Pada proses

soda lebih menguntungkan dari segi teknis dan ekonomis dibandingkan

menggunakan proses lain, karena tidak membuat limbah yang begitu berbahaya di

lingkungan sekitar (Harefa, 2012). Salah satu kelemahan dari proses soda adalah

delignifikasi yang rendah dibandingkan proses sulfat dan sulfit sehingga

menghasilkan rendemen pulp yang rendah. Delignifikasi umumnya terjadi pada akhir

pemasakan karena adanya penurunan konsentrasi larutan pemasak sebagai akibat

banyaknya alkali aktif yang dikonsumsi selama tahap awal pemasakan oleh lignin,

zat ekstraktif dan serat-serat selulosa (Mulyati, 2004).

2.3.3.2 Proses Sulfit

Proses ini menggunakan bahan kimia yang berbeda untuk menghilangkan

lignin. Seperti proses kraft, proses sulfit menghasilkan pulp yang lebih terang dan

mudah untuk dibleaching, tetapi lebih lemah. Proses sulfit dibuat pada beberapa

stage. Yield yang dihasilkan secara umum adalah antara 40-50%. Seperti proses

kraft, operasi ini memiliki kelemahan. Proses sulfit menghasilkan pulp yang lebih

terang sehingga mudah untuk diputihkan dan memproduksi yield yang lebih tinggi

pada proses pemutihan sehingga lebih mudah pada pengaplikasian pembuatan kertas

(Bajpai, 2005).

Pembuatan pulp proses sulfit yang pertama dilakukan dengan menambahkan

cairan kalsium hidrogen sulfit dan belerang dioksida dalam sistem bertekanan. Pada

dasarnya pembuatan pulp dengan proses sulfit dilakukan dengan modifikasi

pembaruan dan perbaikan teknik yang telah dilakukan. Proses sulfit dibuat untuk

menghasilkan pulp dengan selulosa yang murni. Proses ini menggunakan garam dan

cairan asam. Garam yang digunakan misalnya adalah sulfat (SO32-) atau bisulfit

(HSO32-). Pulp sulfit digunakan untuk membuat kertas, tisu, dan juga menambahkan

kekuatan pada kertas koran. Cairan pemasak yang digunakan adalah asam sulfit yang

dibuat dengan membakar sulfur menghasilkan sulfur dioksida, sulfur ini dapat

Page 9: BAB II(2)

menyerap air menghasilkan asam sulfit. Cairan pemasak disiapkan dengan

menambahkan ion hidroksida atau karbonat.

Beberapa keuntungan proses sulfit adalah :

1. Yield yang dihasilkan lebih besar daripada proses kraft

2. Pulpnya dapat menghasilkan turunan selulosa

3. Lebih mudah dioperasikan

4. Lebih mudah untuk diputihkan

Pulp sulfit biasanya sedikit lebih rusak jika dibandingkan dengan pulp hasil

kraft, sehingga produknya sedikit yang digunakan (Renta, 2010).

2.4 Pemilihan Proses Kraft pada Pembuatan Pulp

Proses kraft yang menggunakan natrium hidroksida (NaOH) dan natrium

sulfida (Na2S), adalah proses pembuatan pulp yang paling banyak digunakan pada

industri pulp dan kertas. Keuntungan dari penggunaan proses ini adalah bisa

digunakan untuk bahan softwood dan hardwood, dan memiliki efisiensi tinggi sekitar

97% (Tran dan Vakkilainnen, 2012).

Gambar 2.5 Proses Kraft

(Tran dan Vakkilainnen, 2012)

Produksi pulp menggunakan metode kraft dikembangkan oleh ahli kimia

Jerman, Dahl pada tahun 1979. Dahl mengemukakan bahwa selama konsumsi alkali,

natrium karbonat dapat bertukar dengan natrium sulfat dapat mengurangi belerang

pada penggunaan metode soda. Pulp yang lebih tinggi hasilnya diperoleh dari proses

kraft dan dengan sifat unggul pulp soda.

Page 10: BAB II(2)

Proses ini juga difokuskan pada pengoptimalan kondisi soda, menentukan

tingkat urutan pertama konstan selama delignifikasi massal, aktivasi energy dan efek

antrakuinon pada pulp menghasilkan bilangan kappa.

Proses kraft memiliki 3 fungsi, yaitu: meminimalisir dampak lingkungan

terhadap material buangan (black liquor) dari proses pembuatan pulp, mendaur ulang

proses kimia pembuatan pulp, yaitu NaOH dan Na2S, serta membantu penghasilan

uap dan power (Tran dan Esa, 2012).

Gambar 2.6 Kraft Recovery Process

(Tran dan Esa, 2012)

Beberapa keunggulan dalam proses kraft:

1. Pemilihan bahan kimia yang lebh sederhana

2. Bahan kimia yang ekonomis

3. Sifat pulp yang lebih baik

4. Penggunaan bahan pengelantang yang lebih efektif

5. Pengelantangan yang menghasilkan derajat putih yang tinggi

6. Delignifikasi yang tinggi

Proses kraft masih memiliki kelemahan antara lain:

1. Bau gas yang tidak enak

2. Kebutuhan bahan pengelantang yang tinggi

(Renta, 2010)

2.5 Aplikasi Pembuatan Pulp

“Biopulping Bambu Betung Menggunakan Jamur Pelapuk Putih”

Bambu merupakan salah satu bahan baku non kayu yang digunakan secara luas

untuk produksi pulp dan kertas di Asia. Bambu betung dan bambu kuning memiliki

Page 11: BAB II(2)

tingkat kesesuaian yang relatif baik sebagai bahan baku pulp berdasarkan analisis

morfologi serat dan sifat fisis-kimia dibandingkan dengan bambu tali, bambu

andong, bambu ampel dan bambu hitam. Ketika pembuatan pulp bambu secara

kimia, proses kraft umumnya lebih disukai daripada pulp proses soda. Delignifikasi

proses kraft memberikan hasil yang memuaskan serta menghasilkan rendemen dan

viskositas tinggi. Pendegradasian secara biologis bahan berlignoselulosa yang ramah

lingkungan makin ditekankan akhir-akhir ini

Jamur pelapuk putih mendapat perhatian penting digunakan dalam proses

industri yang memanfaatkan bahan berlignoselulosa karena kemampuannya efektif

dalam mendegradasi lignin. Selain itu jamur ini merupakan kelompok

basidiomycetes yang paling efektif dalam perlakuan biologis pada bahan

berlignoselulosa.

Serpih bambu yang telah diinkubasi dengan kedua jenis jamur sampai masa

inkubasi berakhir dianalisa dengan SEM dan dimasak dengan proses Kraft dengan

kondisi sebagai berikut: alkali aktif 20% terhadap BKO dan sulfiditas 15% terhadap

BKO (berat kering oven), L: W = 1:5 (L=berat serpih, W=larutan pemasak), lama

pemasakan 3 jam, pada suhu 170°C. Setelah dimasak, serpih direndam dalam air

dingin 1 L selama 24 jam untuk mengoptimalkan sisa-sisa bahan pemasak dalam

melunakkan serpih. Selanjutnya serpih dicuci sampai bebas alkali dan di-mixer untuk

menguraikan serat. Pada pulp hasil pemasakan proses kraft dengan kultur campur

dalam 2 waktu inkubasi ini dilakukan pengujian terhadap pulp yaitu rendemen

dengan metode gravimetri (Fatriasari, dkk., 2010).

Page 12: BAB II(2)

Gambar 2.7 Flowsheet Proses Biopuling Bambu Betung

(Fatriasari, dkk., 2010).