BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Defenisi Trauma Capitis adalah cedera kepala yang menyebabkan kerusakan pada kulit kepala, tulang tengkorak dan pada otak. Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer maupun permanen B. Etiologi Cidera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain :Benda tajam, Trauma benda tajam dapat menyebabkan cidera setempat ;Benda tumpul, dapat menyebabkan cidera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/kekuatan diteruskan kepada otak Penyebab lain 1. kecelakaan lalulintas 2. Jatuh 3. Pukulan 4. Kejatuhan benda 5. Kecelakaan kerja / industry
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Defenisi
Trauma Capitis adalah cedera kepala yang menyebabkan kerusakan pada
kulit kepala, tulang tengkorak dan pada otak.
Trauma kapitis adalah trauma mekanik terhadap kepala baik secara
langsung ataupun tidak langsung yang menyebabkan gangguan fungsi
neurologi yaitu gangguan fisik, kognitif, fungsi psikososial baik temporer
maupun permanen
B. Etiologi
Cidera kepala dapat disebabkan oleh dua hal antara lain :Benda tajam,
Trauma benda tajam dapat menyebabkan cidera setempat ;Benda tumpul,
dapat menyebabkan cidera seluruh kerusakan terjadi ketika energi/kekuatan
diteruskan kepada otak
Penyebab lain
1. kecelakaan lalulintas
2. Jatuh
3. Pukulan
4. Kejatuhan benda
5. Kecelakaan kerja / industry
6. Cidera lahir
7. luka tembak
Mekanisme cidera kepala :
1. Ekselerasi :Ketika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang
diam.Contoh : akibat pukulan lemparan.
2. Deselerasi :Akibat kepala membentur benda yang tidak bergerak.Contoh :
kepala membentur aspal.
3. Deforinitas :Dihubungkan dengan perubahan bentuk atau gangguan
integritas bagian tubuh yang dipengaruhi oleh kekuatan pada tengkorak.
Berdasarkan berat ringannya :
1. Cidera kepala ringan → G C S : 13 – 15
2. Cidera kepala sedang → G C S : 9 – 12
3. Cidera kepala berat → G C S : 3 – 8
Penyebab terbesar cedera kepala adalah kecelakaan kendaraan
bermotor.jatuh dan terpeleset.Biomekanika cedera kepala ringan yang utama
adalah akibat efek ekselarasi/deselerasi atau rotasi dan putaran. Efek
ekselerasi/deselerasi akan menyebabkan kontusi jaringan otak akibat benturan
dengan tulang tengkorak, terutama di bagian frontal dan frontal temperol.
Gaya benturan yag menyebar dapat menyebabkan cedera aksonal difus
(diffuse axonal injury) atau cedera coup-contra.coup.
C. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu
cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada
kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh
benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses
akselerasi-deselerasi gerakan kepala.
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan
pada permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa
kerusakan pada duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di
bawah area benturan disebut lesi kontusio “coup”, di seberang area benturan
tidak terdapat gaya kompresi, sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi,
maka lesi tersebut dinamakan lesi kontusio “countercoup”. Kepala tidak
selalu mengalami akselerasi linear, bahkan akselerasi yang sering dialami oleh
kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi rotatorik. Bagaimana caranya
terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk dijelaskan secara
terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan rotatorik
terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi
kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan
countercoup.
Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang
tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (countrecoup).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan
dan iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya
merusak otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa
jam setelah cedera awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan
ini berespon dalam pola tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan
berubahnya kompartemen intrasel dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini
adalah dilepaskannya glutamin secara berlebihan, kelainan aliran kalsium,
produksi laktat, dan perubahan pompa natrium pada dinding sel yang berperan
dalam terjadinya kerusakan tambahan dan pembengkakan jaringan otak.
Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung dari menit ke menit
pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen, dan
sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera
mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume
darah sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah
tertentu dalam otak.
D. Tanda dan Gejala
a. Commotio Cerebri
1. Tidak sadar selama kurang atau sama dengan 10 menit.
2. Mual dan muntah
3. Nyeri kepala (pusing)
4. Nadi, suhu, TD menurun atau normal
b. Contosio Cerebri
1. Tidak sadar lebih dari 10 menit
2. Amnesia anterograde
3. Mual dan muntah
4. Penurunan tingkat kesadaran
5. Gejala neurologi, seperti parese
6. LP berdarah
c. Laserasio Serebri
1. Jaringan robek akibat fragmen taham
2. Pingsan maupun tidak sadar selama berhari-hari/berbulan-bulan
3. Kelumpuhan anggota gerak
4. Kelumpuhan saraf otak
E. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik
a. X-ray Tengkorak
Peralatan diagnostik yang digunakan untuk mendeteksi fraktur dari dasar
tengkorak atau rongga tengkorak. CT scan lebih dipilih bila dicurigai
terjadi fraktur karena CT scan bisa mengidentifikasi fraktur dan adanya
kontusio atau perdarahan. X-Ray tengkorak dapat digunakan bila CT scan
tidak ada.
b. CT-Scan
Penemuan awal computed tomography scanner ( CT Scan ) penting dalam
memperkirakan prognosa cedera kepala berat. Suatu CT scan yang normal
pada waktu masuk dirawat pada penderita-penderita cedera kepala berat
berhubungan dengan mortalitas yang lebih rendah dan penyembuhan
fungsional yang lebih baik bila dibandingkan dengan penderita-penderita
yang mempunyai CT scan abnormal. Hal di atas tidaklah berarti bahwa
semua penderita dengan CT scan yang relatif normal akan menjadi lebih
baik, selanjutnya mungkin terjadi peningkata TIK dan dapat berkembang
lesi baru pada 40% dari penderita. Di samping itu pemeriksaan CT scan
tidak sensitif untuk lesi di batang otak karena kecilnya struktur area yang
cedera dan dekatnya struktur tersebut dengan tulang di sekitarnya. Lesi
seperti ini sering berhubungan dengan outcome yang buruk.
c. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Magnetic Resonance Imaging (MRI) juga sangat berguna di dalam menilai
prognosa. MRI mampu menunjukkan lesi di substantia albadan batang
otak yang sering luput pada pemeriksaan CT Scan. Ditemukan bahwa
penderita dengan lesi yang luas pada hemisfer, atau terdapat lesi batang
otak pada pemeriksaan MRI, mempunyai prognosa yang buruk untuk
pemulihan kesadaran, walaupun hasil pemeriksaan CT Scan awal normal
dan tekanan intrakranial terkontrol baik. Pemeriksaan Proton Magnetic
Resonance Spectroscopy (MRS) menambah dimensi baru pada MRI dan
telah terbukti merupakan metode yang sensitif untuk mendeteksi Cedera
Akson Difus (CAD). Mayoritas penderita dengan cedera kepala ringan
sebagaimana halnya dengan penderita cedera kepala yang lebih berat, pada
pemeriksaan MRS ditemukan adanya CAD di korpus kalosum dan
substantia alba. Kepentingan yang nyata dari MRS di dalam menjajaki
prognosa cedera kepala berat masih harus ditentukan, tetapi hasilnya
sampai saat ini dapat menolong menjelaskan berlangsungnya defisit
neurologik dan gangguan kognitif pada penderita cedera kepala ringan.
F. Komplikasi
1. Jangka pendek
a. Hematoma epidural
Letak epidural yaitu antara tulang tengkorak dan duramater. Terjadi
akibat pecahnya arteri meningea media atau cabang-cabangnya.
Gejalanya yaitu setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau
hanya nyeri kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya
tetapi beberapa jam kemudian timbul gejala-gejala yang bersifat
progresif seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi
melambat, tekanan darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-
mula miosis, lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap
refleks cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi
tentorial. Kejadiannya biasanya akut (minimal 24jam sampai dengan
3x24 jam) dengan adanya lucid interval, peningkatan TIK dan gejala
lateralisasi berupa hemiparese Pada pemeriksaan kepala mungkin pada
salah satu sisi kepala didapati hematoma subkutan. Pemeriksaan
neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil melebar. Pada sisi
kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-tanda kerusakan
traktus piramidalis, misal: hemiparesis, reflex tendon meninggi dan
refleks patologik positif. Pemeriksaan CT-Scan menunjukkan ada
bagian hiperdens yang bikonveks dan LCS biasanya jernih.
Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan
pengikatan pembuluh darah.
b. Hematom subdural
Letak subdural yaitu di bawah duramater. Terjadi akibat pecahnya
bridging vein, gabungan robekan bridging veins dan laserasi piamater
serta arachnoid dari kortex cerebri. Gejala subakut mirip epidural
hematom, timbul dalam 3 hari pertama dan gejala kronis timbul 3
minggu atau berbulan-bulan setelah trauma. Pada pemeriksaan CT-
Scan setelah hari ke 3 yang kemudian diulang 2 minggu kemudian
terdapat bagian hipodens yang berbentuk cresent di antara tabula
interna dan parenkim otak (bagian dalam mengikuti kontur otak dan
bagian luar sesuai lengkung tulang tengkorak). Juga terlihat bagian
isodens dari midline yang bergeser. Operasi sebaiknya segera
dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam otak (dekompresi) dengan
melakukan evakuasi hematom. Penanganan subdural hematom akut
terdiri dari trepanasidekompresi.
c. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal,
terbanyak pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat
trauma kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-
kecil saja. Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari
kematian, perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan
gliosis dan kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi
neurologik sesuai dengan fungsi bagian otak yang terkena.
d. Perdarahan Subarachnoid
Perdarahan di dalam rongga subarachnoid akibat robeknya pembuluh
darah dan permukaan otak, hampir selalu ada pada cedera kepala yang
hebat. Tanda dan gejala : Nyeri kepala; Penurunan kesadaran ;
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama …x… makas hambatan
mobilisasi fisik teratasi dengan
Kriteria Hasil: · Pasien dapat mempertahankan mobilitas fisik seperti yang
tunjukkan dengan tidak adanya kontraktur, Tidak terjadi peningkatan TIK
Intervensi: ·
1. Lakukan latihan pasif sedini mungkin
R/: Mempertahankan mobilitas sendi dan tonus otot. ·
2. Beri footboard/penyangga kaki
R/: Mempertahankan posisi ekstremitas ·
3. Pertahankan posisi tangan, lengan, kaki dan tungkai
R/: Posisi ekstremitas yang kurang tepat akan terjadi dislokasi ·
4. Kolaborasi fisioterapi
R/: Tindakan fisioterapi dapat mencegah kontraktur
6. Perubahan pola eliminasi urine : inkontinensia atau retensi urine b.d
terganggunya saraf kontrol.
Tujuan setelah diberikan tindakan keperawatan selama …x… maka pola
eleminasi kembali dalam keadaan normal dengan
Kriteria Hasil :Pasien dapat mengontrol pengeluaran urine
Intervensi:
1. Kaji pola berkemih
R/: Menentukan tindakan ·
2. Catat intake dan output
R/: Mengetahui balance cairan ·
3. Pasang kateter kondom
R/: Mencegah infeksi
7. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d kurang mampu menelan.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan …x… maka gangguan nutrisi
kurang dari kebutuhan teratasi dengan
Kriteria Hasil : Berat badan normal, Mengkonsumsi semua makanan yang
disajikan. · Terbebas dari malnutrisi.
Intervensi :
1. Kaji kemampuan makan dan menelan.
R/: Membantu dalam menentukan jenis makanan dan mencegah
terjadinya aspirasi ·
2. Dengarkan suara peristaltik usus
R/: Membantu menentukan respon dari pemberian makanan dan
adanya hiperperistaltik kemungkinan adanya komplikasi ileus. ·
3. Berikan rasa nyaman saat makan, seperti posisi semi fowler/fowler.
R/: Mencegah adanya regurgitasi dan aspirasi ·
4. Berikan makanan dalam porsi kecil tapi sering dan dalam keadaan
hangat.
R/: Meningkatkan nafsu makan. ·
5. Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian vitamin.
R/: Vitamin membantu meningkatkan nafsu makan dan mencegah
malnutrisi
8. Gangguan citra tubuh dan perubahan peran b.d kurang berfugsinya proses
berpikir
Tujuan : setelah diberika tindakan keperawatan …x… maka gannguan citra tubuh
teratasi dengan
Kriteria Hasil :Membuat pernyataan tentang body image · Mengekspresikan
penerimaan body image · Menggunakan sumber-sumber yang tersedia untuk
mendapatkan informasi dan dukungan.
Intervensi :
1. Kaji persamaan dan persepsi pasien tentang kurang berfungsinya proses
berfikir dan ketidakmampuan mobilitas fisik.
R/: Menentukan tindakan keperawatan yang tepat. ·
2. Bantu pasien dalam mengekspresikan perasaan perubahan bod image
R/: Meningkatkan proses penerimaan diri. ·
3. Dengarkan ungkapan pasien untuk menolak/menyangkal perubahan body
image.
R/: Mengurangi rasa keterasingan terhadap perubahan body image. ·
4. Hargai pemecahan masalah yang konstruktif untuk meningkatkan rasa
penerimaan diri.
R/: Memberikan dukungan untuk meningkatkan body image.
9. . Defisit perawatan diri b.d kesulitan dalam mobilitas fisik dan gangguan
kognitif. Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama …x… makas
defisist perawatan diri teratasi denan
Kriteria Hasil :Kebutuhan hygiene, nutrisi, eliminasi pasien terpenuhi. · Pasien
dapat merawat diri sesuai dengan kemampuan pasien.
Intervensi :
1. Bantu perawatan diri pasien sesuai dengan kebutuhan pasien.
R/: Kebutuhan pasien akan pemenuhan perawatan diri terpenuhi. ·
2. Kaji kemampuan pasien dalam merawat diri.
R/: Menentukan asuhan keperawatan yang tepat. ·
3. Libatkan keluarga dalam pemenuhan kebutuhan perawatan diri bila sudah
sembuh.
R/: Meningkatkan peran keluarga
10. Gangguan komunikasi verbal b.d aphasia
Tujuan : setelah diberikan tindakan keperawatan selama …x… maka gangguan
komunikasi verbal teratasi dengan
Kriteria Hasil : mampu berkomunikasi secara verbal
Intervensi :
1. Kaji kemampuan pasien dalam komunikasi verbal
R/: Menentukan intervensi selanjutnya ·
2. Beri kesempatan pada pasien untuk menngungkapkan kebutuhannya
R/: Agar pasien terpenuhi kebutuhannya. ·
3. Anjurkan pasien untuk mengungkapkan kebutuhannya dengan bahasa
isyarat.
R/: Kebutuhan pasien untuk berlatih bicara pendek dan singkat. ·
4. Ajarkan pasien untuk berlatih bicara pendek dan singkat.
R/: Kalimat pendek dan singkat tidak membuat pasien lelah dan bingung.
j.
11 :Kerusakan integritas kulit b.d kesulitan dalam mobilitas fisik
Tujuan setelah diberikan tindakan keperawatan selama …x… maka tidak terjadi
kerusakan integritas kulit dengan
Kriteria Hasil :Tidak terjadi kerusakan kulit, decubitus
Intervensi :
1. Kaji keadaan kulit pasien.
R/: Menentukan askep yang tepat.
2. Beri posisi tidur miring kiri-terlentang kanan tiap 2 jam.
R/: Penekanan yang terlalu lama pada salah satu lokasi kulit akan
menimbulkan nekrose
3. Lakukan massage pada lokasi kulit yang terjadi penekanan
R/: Meningkatkan sirkulasi darah
4. Jaga alat tenun tempat tidur pasuen kering dan tidak terlipat.
R/: Kain basah dan berlipat akan menimbulkan kerusakan pada kulit.
12. Resiko tinggi injuri b.d adanya kejang, kebingungan.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan keperawatan selama …x… maka tidak injuri
tidak terjadi dengan
Kriteri Hasil : Trauma fisik tidak terjadi , Terjaganya batas kesadaran fungsi
motorik
Intervensi :
1. Jangan tinggalkan pasien sendiri saat kejang
R/: Secepatnya mengambil tindakan yang tepat dan menentukan asuhan
keperawatan ·
2. Perhatikan lingkungan
R/: Cegah terjadinya trauma ·
3. Longgarkan pakaian yang sempit terutama bagian leher.
R/: Memperlancar jalan napas. ·
4. Tidak boleh diikat selama kejang.
R/: Mengurangi ketegangan ·
5. Beri posisi yang tepat (kepala dimiringkan)
R/: Membantu pembukaan jalan napas. ·
6. Gunakan bantal tipis di kepala
R/: Membantu mengurangi tekanan intrakranial
7. Disorientasikan kembali keadaan pasien dan berikan istirahat pada pasien.
R/: Melatih kemampuan berfikir, memelihara fungsi mental dan orientasi
terhadap kenyataan.
Daftar Pustaka
Carpenito - Moyet, Lynda Juall. 2013. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC
Darwis, Aprisal. 2014. Konsep Dasar Trauma Kepala (Trauma Kapitis). (http://www.abcmedika.com/2014/02/konsep-dasar-trauma-kepala-trauma.html) di akses pada tangal 15 mei 2014
Dongues, Marilyn E, dkk. 2000. Rencana Asuah Keperawatan : Pedoman Untukperencanaan Dan Pendokumentasian Perawtan Pasie. Jakarta : EGC
Ilyas, Kamal Kharrazi 2011 Gambaran Glasgow Coma Scale Pada Pasien Trauma Kapitis Di RSUP H. Adam Malik Medan Pada Tahun 2009 (http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/21501) diakses pada tanggal 15 mei 2014
Prince, Sylivia A & Wilson, Lorraine M. 2013. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Peyakit. Jakarta : EGC
Smeltzer, Suzanne C& Bare, Brenda G. 2002. Buku Ajar Eperawtan Medikal Bedah. Jakarta : EGC
Wilkinson, Judith M, & Ahern, Nancy R. 2011. Buku Saku Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC