BAB II TINJUAN PUSTAKA 2.1. Ekobiologi Kakao 2.1.1. Kesesuaian Lahan Kakao Menurut Muray dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan khusus untuk dapat berproduksi secara baik. Lingkungan alami kakao adalah hutan hujan tropis. Di daerah itu suhu udara tahunan tinggi dengan variasi kecil, curah hujan tahunan tinggi dengan musim kemarau pendek, kelembapan udara tinggi, dan intensitas cahaya matahari rendah. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan bahwa seperti tanaman pertanian lainnya, kakao dapat berproduksi tinggi dan menguntungkan jika diusahakan pada lingkungan yang sesuai. Faktor lahan mempunyai andil yang cukup besar dalam mendukung tingkat produktivitas kakao. 1. Iklim Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), sebaran curah hujan lebih berpengaruh terhadap produksi kakao dibandingkan dengan jumlah curah hujan yang tinggi. Jumlah curah hujan mempengaruhi pola pertunasan kakao (flush). Curah hujan yang tinggi dan sebaran yang tidak merata akan berpengaruh terhadap flush dan berakibat terhadap produksi kakao. Pertumbuhan dan produksi kakao banyak ditentukan oleh ketersediaan air sehingga kakao dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat yang jumlah curah hujannya relatif sedikit tetapi merata sepanjang tahun. 2. Tanah dan Topografi Ackenhorah dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), menjelaskan bahwa keasaman (pH) tanah yang baik untuk kakao adalah netral atau berkisar 5,6-6,8. Sifat ini khusus berlaku untuk tanah atas (top soil), sedangkan pada tanah bawah (subsoil) keasaman tanah sebaiknya netral, agak asam, atau agak basah. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi,
13
Embed
BAB II TINJUAN PUSTAKA - eprints.ung.ac.ideprints.ung.ac.id/6255/5/2012-2-54211-613408014-bab2...Suhu udara harian idealnya sekitar 28ºC, sehingga semakin tinggi tempat semakin rendah
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
2.1. Ekobiologi Kakao
2.1.1. Kesesuaian Lahan Kakao
Menurut Muray dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004),
kakao merupakan tanaman tahunan yang memerlukan lingkungan khusus untuk
dapat berproduksi secara baik. Lingkungan alami kakao adalah hutan hujan tropis.
Di daerah itu suhu udara tahunan tinggi dengan variasi kecil, curah hujan tahunan
tinggi dengan musim kemarau pendek, kelembapan udara tinggi, dan intensitas
cahaya matahari rendah.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan bahwa
seperti tanaman pertanian lainnya, kakao dapat berproduksi tinggi dan
menguntungkan jika diusahakan pada lingkungan yang sesuai. Faktor lahan
mempunyai andil yang cukup besar dalam mendukung tingkat produktivitas
kakao.
1. Iklim
Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), sebaran curah
hujan lebih berpengaruh terhadap produksi kakao dibandingkan dengan jumlah
curah hujan yang tinggi. Jumlah curah hujan mempengaruhi pola pertunasan
kakao (flush). Curah hujan yang tinggi dan sebaran yang tidak merata akan
berpengaruh terhadap flush dan berakibat terhadap produksi kakao. Pertumbuhan
dan produksi kakao banyak ditentukan oleh ketersediaan air sehingga kakao dapat
tumbuh dan berproduksi dengan baik di tempat yang jumlah curah hujannya
relatif sedikit tetapi merata sepanjang tahun.
2. Tanah dan Topografi
Ackenhorah dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004),
menjelaskan bahwa keasaman (pH) tanah yang baik untuk kakao adalah netral
atau berkisar 5,6-6,8. Sifat ini khusus berlaku untuk tanah atas (top soil),
sedangkan pada tanah bawah (subsoil) keasaman tanah sebaiknya netral, agak
asam, atau agak basah. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004)
menjelaskan, tanaman kakao membutuhkan tanah berkadar bahan organik tinggi,
yaitu di atas 3%. Kakao tumbuh baik pada lahan datar atau kemiringan tanah
kurang dari 15%. Suhu udara harian idealnya sekitar 28ºC, sehingga semakin
tinggi tempat semakin rendah tingkat kesesuaiannya.
2.1.2. Morfologi Tanaman Kakao
1. Batang dan Cabang
Hall dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004)
menjelaskan bahwa, jika dibudidayakan di kebun, tinggi tanaman umur tiga tahun
mencapai 1,8 – 3,0 meter dan pada umur 12 tahun dapat mencapai 4,50 – 7,0
meter. Tanaman kakao bersifat dimorfisme, artinya mempunyai dua bentuk tunas
vegetatif. Tunas yang arah pertumbuhannya ke atas disebut dengan tunas ortotrop
atau tunas air (wiwilan atau chupon), sedangkan tunas yang arah pertumbuhannya
ke samping disebut dengan plagiotrop (cabang kipas atau fan). Tanaman kakao
asal biji, setelah mencapai tinggi 0,9 – 1,5 meter akan berhenti tumbuh dan
membentuk jorket (jorquette). Jorket adalah tempat percabangan dari pola
percabangan ortotrop ke plagiotrop dan khas hanya pada tanaman kakao. Pada
tanaman kakao dewasa sepanjang batang pokok tumbuh wiwilan atau tunas
air/chupon.
2. Daun
Hall dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004)
menjelaskan, sama dengan sifat percabangannya, daun kakao juga bersifat
dimorfisme. Pada tunas ortotrop, tangkai daunnya panjang, yaitu 7,5-10 cm
sedangkan pada tunas plagiotrop panjang tangkai daunnya hanya sekitar 2,5 cm
serta tangkai daun bentuknya silinder dan bersisik halus, bergantung pada tipenya.
Bentuk helai daun bulat memanjang (oblongus) ujung daun meruncing
(acuminatus) dan pangkal daun runcing (acutus). Susunan daun tulang menyirip
dan tulang daun menonjol ke permukaan bawah helai daun. Tepi daun rata, daging
daun tipis tetapi kuat seperti perkamen. Warna daun dewasa hijau tua bergantung
pada kultivarnya. Panjang daun dewasa 30 cm dan lebarnya 10 cm. Permukaan
daun licin dan mengkilap.
3. Akar
Kakao adalah tanaman dengan surface root feeder, artinya sebagian besar
akar lateralnya mendatar berkembang dekat permukaan tanah, yaitu pada
kedalaman tanah (jeluk) 0-30 cm. Menurut Himme dalam Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao Indonesia (2004), 56 % akar lateral tumbuh pada jeluk 0-10 cm, 26 %
pada jeluk 11-20 cm, 14% pada jeluk 21-30 cm, dan hanya 4 % tumbuh pada
jeluk di atas 30 cm dari permukaan tanah. Jangkauan jelajah akar lateral
dinyatakan jauh di luar proyeksi tajuk. Ujungnya membentuk cabang-cabang kecil
yang susunannya ruwet.
4. Bunga
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, bunga
tumbuh dan berkembang dari bekas ketiak daun pada batang dan cabang. Tempat
tumbuh bunga tersebut semakin lama semakin membesar dan menebal atau biasa
disebut dengan bantalan bunga (cushioll). Bunga kakao berwarna putih, ungu atau
kemerahan. Warna yang kuat terdapat pada benang sari dan daun mahkota.
Tangkai bunga kecil tetapi panjang (1-1,5 cm). Daun mahkota panjangnya 6-8
mm, terdiri atas dua bagian. Bagian pangkal berbentuk seperti kuku binatang
(claw) dan bisanya terdapat dua garis merah. Bagian ujungnya berupa lembaran
tipis, fleksibel, dan berwarna putih.
Gambar 1. Bantalan bunga atau buah kakao
5. Buah dan Biji
Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), buah yang
ketika muda berwarna hijau atau hijau agak putih jika sudah masak akan berwarna
kuning. Sementara itu, buah yang ketika muda berwarna merah, setelah masak
berwarna jingga (orange). Kulit buah memiliki 10 alur dalam dan dangkal yang
letaknya berselang-seling. Pada tipe criollo dan trinitario alur kelihatan jelas. Kulit
buahnya tebal tetapi lunak dan permukaannya kasar. Sebaliknya, pada tipe
forasero, permukaan kulit buah pada umumnya halus (rata), kulitnya tipis. Buah
akan masak setelah berumur enam bulan. Pada saat itu ukurannya beragam, dari
panjang 10 hingga 30 cm, pada kultivar dan faktor-faktor lingkungan selama
perkembangan buah.
2.1.3. Fisiologi Tanaman Kakao
1. Fotosintesis
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan bahwa,
pada dasarnya kakao adalah tanaman yang suka naungan (shade loving tree).
Ketika tanaman masih muda, intensitas naungan yang diberikan cukup tinggi,
selanjutnya dikurangi secara bertahap seiring dengan semakin tuanya tanaman
atau bergantung pada berbagai faktor tumbuh yang tersedia. Tanaman penaung
berperan sebagai penyangga (buffer) terhadap pengaruh jelek dari faktor
lingkungan yang tidak dalam kondisi optimal, seperti kesuburan tanah rendah
serta musim kemarau yang tegas dan panjang. Laju fotosintesis optimum
berlangsung pada intensitas cahaya sekitar 70 %.
2. Perkembangan Akar
Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), pada awal
perkembangan benih, akar tunggang tumbuh cepat dari panjang 1 cm pada umur
satu minggu, mencapai 16-18 cm pada umur satu bulan, dan 25 cm pada umur tiga
bulan. Setelah itu laju pertumbuhannya menurun dan untuk mencapai panjang 50
cm memerlukan waktu dua tahun. Kedalaman akar tunggang menembus tanah
dipengaruhi keadaan air tanah dan struktur tanah. Pada tanah yang dalam dan
berdrainase baik, akar kakao dewasa mencapai kedalaman 1,0 – 1,5 m.
Pertumbuhan akar kakao sangat peka pada hambatan, baik berupa batu, lapisan
keras, maupun air tanah. Apabila selama pertumbuhan, akar menjumpai batu, akar
tunggang akan membelah diri menjadi dua dan masing-masing tumbuh geosentris
(mengarah ke dalam tanah). Apabila batu yang dijumpai terlalu besar, sebagian
akar lateral mengambil alaih fungsi akar tunggang dengan tumbuh ke bawah.
Apabila permukaan air tanah yang dijumpai, akar tunggang tidak berkembang
sama sekali.
3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembungaan Kakao
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan,
pembungaan tanaman kakao sangat dipengaruhi oleh faktor dalam (internal) dan
faktor lingkungan (iklim). Pada lokasi tertentu, pembungaan sangat terhambat
oleh musim kemarau atau oleh suhu dingin. Namun, di lokasi yang curah
hujannya merata sepanjang tahun serta fluktuasi suhunya kecil, tanaman akan
berbunga sepanjang tahun.
2.2. Penyakit Busuk Buah (Phytophthora palmivora)
2.2.1. Kerusakan
Berdasarkan data dari CABI- Biocontrol News and Information dalam
Ramlan (2010), di Indonesia, penyakit busuk buah kakao yang disebabkan oleh
Phytophthora palmivora menyebabkan kerugian yang cukup berarti terutama di
daerah yang beriklim basah. Di Jawa Tengah kerugian dapat mencapai 49,8 %,
Jawa Timur 46,43 %, Jawa Barat 42,30 %.
Opoku et al., dalam Ramlan (2010) menjelaskan bahwa, meskipun
pathogen ini menyerang seluruh bagian tanaman, tetapi kerusakan paling besar
adalah karena busuk buah, kanker batang, dan layu pada bibit. Selain itu
Anderson dan Guest dalam Ramlan (2010) juga menjelaskan bahwa, kehilangan
hasil karena busuk buah, kanker batang, dan layu pada bibit dapat mencapai 39 %.
Di Ghana kehilangan buah karena Phytophthora palmivora megakarya berkisar
antara 60-100 % dan akibatnya banyak petani mengabaikan tanamannya atau
tidak melakukan pengendalian, dan sebagian petani telah mengganti tanaman
kakaonya dengan tanaman lain.
Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, serangan
penyakit pada buah muda akan menyebabkan busuk. Terjadinya serangan
penyakit hanya berlangsung selama beberapa hari hingga menyebabkan buah
rusak dan tidak bisa dipanen. Serangan pada buah dewasa menimbulkan
kerusakan pada biji, tetapi buah masih bisa dipanen, walaupun kualitas biji kakao
tidak bagus.
Rocha dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004)
menjelaskan bahwa kerugian yang ditimbulkan akibat serangan penyakit sangat
bervariasi. Di Kamerun, penyakit ini menurunkan 20-80 % produksi buah kakao.
Di Costa Rica, prkiraan berkurang sebanyak 50 %, di Brasil 15-30 % di Meksiko
80 % dab di Ghana 10-15 %. Selanjutnya Holdenes dalam Pusat Penelitian Kopi
dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, di Papua Nugini kehilangan produksi
buah kakao menunjukkan rata-rata 17 % dengan kisaran 5-39 %. Browke (Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, di Samoa Barat
kehilangan produksi sebesar 60-80 % pada tahun-tahun yang sangat basah dengan
curah hujan yang selalu tinggi, lebih dari 2000 mm. Menurut Brown dalam Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), di kepulauan Solomon kerugian
dapat mencapai 25 % selama periode panen.
Besarnya kerugian akibat busuk buah di Indonesia juga laporkan oleh
beberapa peneliti. Sumomarto dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia
(2004) menjelaskan, persentase busuk buah di kebun kedondong dan ngobo (Jawa
Tengah) sebesar 49,8 % dan 32,6 %. Situmorang dan Suyatno dalam Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan di kebun Kelatakan
(Jawa Timur) kehilangan hasil sebesar 45,5 %. Selanjutnya Sukamto dan Sardjono
dalam Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004) menjelaskan, kerugian
di Jati Rono (jawa timur) 41,9 %, Sukamto dalam Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia (2004), menjelaska, di kebun Glenmore (jawa Timur) 52,99 %.
Dan menurut Pawirosoemardjo dan Purwantara dalam Pusat Penelitian Kopi dan
Kakao Indonesia (2004), kerugian di kebun Bunisari Jawa Barat sebesar 42,30 %.
2.2.2. Bioekologi Patogen
Alexopoulus dan Mims dalam Ramlan (2010) menjelaskan bahwa,
Phytophthora termasuk family Pythiaceae, ordo Peronosporales, kelas Oomycetes.
Phytophthora palmivora merupakan cendawan heterotalik, tidak menghasilkan
stadium seksual dalam medium buatan. Miselium tidak bersepta dan mengandung
banyak inti diploid. Hifa tidak berwarna, mempunyai cabang yang banyak, agak
keras, sinosis, kadang-kadang bersepta, berdiameter antara 5 – 8 μ. Pada jaringan
tanaman, pertumbuhan hifa biasanya interseluler dan membentuk haustorium di
dalam sel inang. Phytophthora palmivora dilaporkan dapat membentuk
sporangium pada buah kakao dengan kisaran kelembaban nisbi udara 70-90 %,
namun tidak pernah 100 %. Menurut Duniway dalam Ramlan (2010), meskipun
kondisi lingkungan tidak menguntungkan, misalnya kelembaban udara rendah,
radiasi sinar matahari dan temperature ekstrim, sporangium masih dapat
terbentuk, memencar dan menginfeksi.
Menurut Purwantara dalam Ramlan (2010), faktor yang berperan untuk
terjadinya infeksi adalah kebasahan permukaan buah kakao dan kelembaban nisbi
udara (RH) yang tinggi sekitar 95 %. Hal ini didukung dari penelitian sebelumnya
bahwa pelepasan, perkecambahan, dan infeksi zoospore terjadi apabila tersedia air
bebas. Air bebas dapat terjadi karena ada hujan atau kondensasi uap air jenuh
akibat penurunan suhu yang berlangsung secara mendadak.
2.2.3. Diagnosis (Cara Pengamatan)
Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (2004), pengamatan
penyakit ini bisa dilakukan dilapangan dengan melihat gejala serangan khusus.
Penyakit ini menyerang buah kakao yang masih muda sampai dewasa. Tetapi
persentase serangan lebih banyak pada buah yang sudah dewasa. Buah yang
terinfeksi menunjukkan gejala terjadi pembusukan disertai bercak cokelat
kehitaman dengan batas yang tegas. Serangan biasanya dimulai dari ujung atau
pangkal buah. Perkembangan bercak cokelat cukup cepat, sehingga dalam waktu
beberapa hari seluruh permukaan buah menjadi busk, basah dan berwarna cokelat
kehitaman. Pada kondisi lembab pada permukaan buah akan muncul serbuk
berwarna putih. Serbuk ini adalah spora yang seringkali bercampur dengan jamur
sekunder/jamur lain.
Menurut Hidayana et al., (2002), buah yang terserang nampak bercak
bercak coklat kehitaman, biasanya dimulai dari pangkal, tengah atau ujung buah.
Apabila keadaan kebun lembab, maka bercak tersebut akan meluas dengan cepat
ke seluruh permukaan buah, sehingga menjadi busuk, kehitaman dan apabila
ditekan dengan jari terasa lembek dan basah.
Guest dalam Ramlan (2010) menjelaskan, gejala penyakit yang paling
menyolok adalah busuk pada buah atau buah hitam. Bercak pada buah mulai kecil
seperti spot-spot yang kotor dan tebal pada bagian buah dimana saja pada setiap
fase perkembangan buah. Bercak berkembang dengan cepat menutupi jaringan
internal dan seluruh permukaan buah, termasuk biji. Menurut Jackson dan Wright
dalam Ramlan (2010), buah yang terinfeksi akan menjadi busuk total dalam
waktu 2 minggu. Bowers et al., dalam Ramlan (2010) menjelaska, pathogen
menyerang jaringan internal buah dan menyebabkan biji kakao berkerut dan
berubah warna, buah-buah yang sakit akhirnya menjadi hitam dan mumi.
Selanjutnya menurut Sukamto dan Pujiastuti dalam Ramlan (2010),
pathogen dapat masuk ke dalam buah dan menyebabkan biji menjadi busuk dan
menurunkan kualitasnya (Gambar 2).
Gambar 2. Gejala Serangan Penyakit Busuk Buah Kakao Oleh Phytophthora
Palmivora. Sumber : PUSLITKOKA
2.2.4. Penyebab Penyakit
Menurut Semangun dalam Ramlan (2010), penyakit busuk buah kakao
merupakan penyakit paling penting pada pertanaman kakao di seluruh dunia.
Browers et al., dalam Ramlan (2010) menjelaskan, penyakit ini disebabkan olen
cendawan pathogen Phytophthora spp. Studi taksonomi menunjukkan bahwa
Phytophthora yang menyerang tanaman kakao terdiri dari beberapa spesies antara