29 BAB II TINJAUAN YURIDIS SANKSI PIDANA UANG PENGGANTI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN 2.1 Pengertian Implementasi Arti kata implementasi berasal dari bahasa inggris to implement yang berarti to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu), to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu). Van Meter dan Van Horn merumuskan proses implementasi sebagai : those actions by public or private individuals or group that are directed at the achievement of obyectives set forth in prior policy decitions (tindakan- tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan ada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan). 39 2.2 Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana adalah terjemahan paling umum untuk istilah strafbaar feit dalam bahasa belanda walaupun secara resmi tidak ada terjemahan resmi strafbaar feit. 40 Andi Zainal Abidin adalah salah seorang ahli hukum pidana indonesia yang tidak sepakat dengan penerjemahan strafbaar feit menjadi tindak pidana. 41 Ada pun alasannya sebagai berikut: 39 Solichin Abdul Wahab, 2004, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, h.65. 40 Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, PT Refika Aditama, Bandung, h. 96. 41 Ibid.
38
Embed
BAB II TINJAUAN YURIDIS SANKSI PIDANA UANG PENGGANTI DALAM … fileArti kata implementasi berasal dari bahasa inggris to implement yang ... strafbaar feit dalam bahasa belanda walaupun
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
29
BAB II
TINJAUAN YURIDIS SANKSI PIDANA UANG PENGGANTI
DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN
2.1 Pengertian Implementasi
Arti kata implementasi berasal dari bahasa inggris to implement yang
berarti to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk
melaksanakan sesuatu), to give practical effect to (menimbulkan dampak/akibat
terhadap sesuatu). Van Meter dan Van Horn merumuskan proses implementasi
sebagai : those actions by public or private individuals or group that are directed
at the achievement of obyectives set forth in prior policy decitions (tindakan-
tindakan yang dilakukan baik oleh individu-individu/pejabat-pejabat atau
kelompok-kelompok pemerintah atau swasta yang diarahkan ada tercapainya
tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam keputusan kebijaksanaan).39
2.2 Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana adalah terjemahan paling umum untuk istilah
strafbaar feit dalam bahasa belanda walaupun secara resmi tidak ada terjemahan
resmi strafbaar feit.40 Andi Zainal Abidin adalah salah seorang ahli hukum pidana
indonesia yang tidak sepakat dengan penerjemahan strafbaar feit menjadi tindak
pidana.41 Ada pun alasannya sebagai berikut:
39 Solichin Abdul Wahab, 2004, Analisis Kebijaksanaan dari Formulasi ke Implementasi
Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta, h.65. 40 Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, PT Refika Aditama,
Bandung, h. 96. 41 Ibid.
30
a. Tindak tidak mungkin dipidana, tetapi orang yang melakukanlah yang dapat dijatuhi pidana.
b. Ditinjau dari segi bahasa indonesia, tindak adalah kata benda dan pidana juga kata benda. Yang lazim ialah kata benda selalu diikuti kata sifat, misalnya kejahatan berat.
c. Istilah strafbaar feit sesungguhnya bersifat eliptis yang kalau diterjemahkan secara harfiah adalah peristiwa yang dapat dipidana, oleh Van Hatum bahwa sesungguhnya harus dirumuskan feit terzake van hetwelk een persoon stafbaar is yang berarti peristiwa yang menyebabkan seseorang dapat dipidana. Istilah criminal act lebih tepat, karena ia hanya menunjukkan sifat kriminalnya perbuatan.42
Keragaman pendapat diantara para sarjana hukum mengenai definisi
strafbaar feit telah melahirkan beberapa rumusan atau terjemahan mengenai
strafbaar feit itu sendiri, yaitu :
1. Perbuatan pidana
Moelyatno menerjemahkan istilah strafbaar feit dengan perbuatan pidana.
Menurut pendapat beliau istilah perbuatan pidana adalah perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi)
yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan
tersebut.43 Dapat diartikan demikian karena kata “perbuatan” lebih
menunjuk pada sikap yang diperlihatkan seseorang yang bersifat aktif
(melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang hukum), tetapi dapat juga
bersifat pasif (yaitu tidak berbuat sesuatu yang sebenarnya diharuskan oleh
hukum).44 Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai
42 Ibid, h. 97. 43 Moljatno, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Edisi Revisi, PT. Rineka
Cipta, Jakarta, h. 59. 44 Ibid.
31
pengertian perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan
hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.45
2. Peristiwa pidana
Istilah ini pertama kali dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro dalam
perundang-undangan formal indonesia, istilah “peristiwa pidana” pernah
digunakan secara resmi dalam UUD Sementara 1950, yaitu dalam Pasal 14
ayat (1) secara substansif,46 pengertian dari istilah “peristiwa pidana” lebih
menunjuk kepada suatu kejadian yang dapat ditimbulkan baik oleh
perbuatan manusia maupun oleh gejala alam. Oleh karena itu, dalam
percakapan sehari-hari sering didengar suatu ungkapan bahwa kejadian itu
merupakan peristiwa alam.47
3. Delik
Delik adalah suatu perbuatan aktif atau pasif, yang untuk delik materieel
diisyaratkan terjadinya akibat yang mempunyai hubungan kausal dengan
perbuatan, yang melawan hukum formil materieel, dan tidak adanya dasar
yang membenarkan perbuatan itu48.
45 Roeslan Saleh, 1981, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua
Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, h. 13. 46 Wirjono Prodjodikoro, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, h. 35. 47 Ibid. 48 Zainal Abidin Farid, 2010, Hukum Pidana 1, PT. Sinar Grafika, Jakarta, h. 222.
32
4. Tindak pidana
Pengertian tindak pidana, menurut simons adalah suatu tindakan atau
perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan
dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang
mampu bertanggung jawab.49
5. Perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum (Undang-Undang Darurat No. 2
Tahun 1951 tentang Perubahan Ordonantie tijdelijke byzondere straf
bepalingen S. 1948 -17 dan Undang-Undang R.1. (dahulu) No. 8 tahun
1948 Pasal 3.50
6. Hal yang diancam dengan hukum dan perbuatan-perbuatan yang dapat
dikenakan hukuman (Undang-undang Darurat No. 16 tahun 1951, tentang
Pendapat beberapa ahli mengenai tindak pidana yaitu :
a. Menurut Pompe, strafbaar feit secara teoritis dapat merumuskan sebagai
suatu pelanggaran norma (gangguan terhadap tertib hukum) yang dengan
sengaja ataupun dengan tidak sengaja telah dilakukan oleh seorang pelaku,
dimana penjatuhan hukuman terhadap pelaku tersebut adalah perlu demi
terpeliharanya tertib hukum dan terjaminnya kepentingan hukum.52
49 Ali Zaidan, 2015, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, PT. Sinar Grafika, Jakarta, h. 367. 50 Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, (selanjutnya disebut Sudarto
II), h. 39. 51 Ibid. 52 Lamintang, 1997, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h.
182.
33
b. Van Hamel merumuskan strafbaar feit itu sebagai suatu serangan atau
suatu ancaman terhadap hak-hak orang lain.53
c. Menurut Utrecht, strafbaar feit dengan istilah peristiwa pidana yang sering
juga ia sebut delik, karena peristiwa itu suatu perbuatan handelen atau
doen positif atau suatu melalaikan natalen-negatif, maupun akibatnya
(keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan atau melalaikan itu).54
Pendapat lain dikemukakan oleh Prof. Sudarto bahwa pembentuk undang-
undang sudah tetap dalam pemakaian istilah tindak pidana, dan beliau lebih
condong memakai istilah tindak pidana seperti yang telah dilakukan oleh
pembentuk undang-undang.55 Pendapat Prof. Sudarto diikuti oleh Teguh Prasetyo
karena pembentuk undang-undang sekarang selalu menggunakan istilah tindak
pidana sehingga istilah tindak pidana itu sudah mempunyai pengertian yang
dipahami oleh masyarakat.56
Setelah melihat berbagai definisi diatas, maka dapat diambil kesimpulan
bahwa yang disebut dengan tindak pidana adalah perbuatan yang oleh aturan
hukum dilarang dan diancam dengan pidana, dimana pengertian perbuatan disini
selain perbuatan yang bersifat aktif (melakukan sesuatu yang sebenarnya dilarang
oleh hukum) juga perbuatan yang bersifat pasif (tidak berbuat sesuatu yang
sebenarnya diharuskan oleh hukum).57
53 Ibid, h. 184. 54 Ibid, h. 185. 55 Teguh Prasetyo, 2013, Hukum Pidana Edisi Revisi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
49. 56 Ibid. 57 Ibid, h. 50.
34
Adapun unsur-unsur tindak pidana yang dapat dikemukakan menurut
pendapat para ahli, yaitu:
a. Menurut simons, unsur-unsur Strafbaar Feit adalah
1. Perbuatan manusia (positif atau negatif; berbuat atau tidak-berbuat
atau membiarkan).
2. Diancam dengan pidana.
3. Melawan hukum.
4. Dilakukan dengan kesalahan.
5. Oleh orang yang mampu bertanggung jawab.58
b. Loebby Loqman menyatakan bahwa unsur-unsur tindak pidana meliputi:
1. Perbuatan manusia baik aktif maupun pasif
2. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana pidana oleh undang-
undang.
3. Perbuatan itu dianggap melawan hukum.
4. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan.
5. Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.59
c. EY. Kanter dan SR. Sianturi, unsur-unsur tindak pidana adalah
1. Subjek.
2. Kesalahan.
3. Bersifat Melawan Hukum
4. Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undang-undang dan
terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana.
58 Sudarto II, Loc.Cit. 59 Loebby Loqman, 2010, Tentang Tindak Pidana dan Beberapa Hal Penting dalam Hukum
Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 13.
35
5. Waktu, tempat, dan keadaan.60
d. Van Hamel, unsur-unsur Starafbaar Feit adalah:
1. Perbuatan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang.
2. Melawan hukum.
3. Dilakukan dengan kesalahan dan
4. Patut dipidana.61
Kanter dan Sianturi menyatakan bahwa tindak pidana adalah suatu
tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau
diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan
hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang yang mampu
bertanggung jawab.
Menurut Loebby Loqman, terdapat tiga kemungkinan dalam perumusan
tindak pidana: pertama, tindak pidana dirumuskan baik nama maupun unsur-
unsurnya. Kedua, adalah tindak pidana yang hanya dirumuskan unsurnya saja, dan
ketiga, tindak pidana menyebutkan namanya saja tanpa menyebutkan unsur-
unsurnya.62 Bagi tindak pidana yang tidak menyebutkan unsur-unsurnya atau
tidak menyebut namanya, maka nama serta unsurnya dapat diketahui melalui
doktrin.63
Setelah mengetahui definisi dan pengertian yang lebih mendalam dari
tindak pidana itu sendiri, maka didalam tindak pidana tersebut terdapat unsur-
unsur tindak pidana, yaitu :
60 EY. Kanter dan R. Sianturi, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan
Penerapannya, Alumni, Bandung, h. 211 61 Sudarto II, Loc.Cit. 62 Loebby Loqman, Loc.Cit. 63 Loebby Loqman, Loc.Cit.
36
a. Unsur objektif
Unsur yang terdapat di luar si pelaku. Unsur-unsur yang ada
hubungannya dengan keadaan, yaitu dalam keadaan-keadaan dimana
tindakan-tindakan si pelaku itu harus dilakukan. Terdiri dari:
1) Sifat melanggar hukum.
2) Kualitas dari si pelaku.
Misalnya keadaan sebagai pegawai negeri di dalam kejahatan
jabatan menurut Pasal 415 KUHP atau keadaan sebagai pengurus
atau komisaris dari suatu perseroan terbatas di dalam kejahatan
menurut Pasal 398 KUHP.
3) Kausalitas
Yakni hubungan antara suatu tindakan sebagai penyebab dengan
suatu kenyataan sebagai akibat.
b. Unsur subyektif
Unsur yang terdapat atau melekat pada diri si pelaku, atau yang
dihubungkan dengan diri si pelaku dan termasuk di dalamnya segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya.
Unsur ini terdiri dari:
1) Kesengajaan atau ketidaksengajaan (dolus atau culpa).
2) Maksud pada suatu percobaan, seperti ditentukan dalam Pasal 53
ayat (1) KUHP.
3) Macam-macam maksud seperti terdapat dalam kejahatan-kejahatan
pencurian, penipuan, pemerasan, dan sebagainya.
37
4) Merencanakan terlebih dahulu, seperti tercantum dalam Pasal 340
KUHP, yaitu pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu.
5) Perasaan takut seperti terdapat di dalam Pasal 308 KUHP.
Pembahasan unsur tindak pidana ini terdapat dua masalah yang
menyebabkan perbedaan pendapat di kalangan sarjana hukum pidana. Salah satu
pihak berpendapat bahwa masalah ini merupakan unsur tindak pidana, di pihak
lain berpendapat bukanlah merupakan unsur tindak pidana, masalah tersebut
adalah:
a) Syarat tambahan suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana
(Bijkomende voor waarde straftbaarheid); contoh: Pasal 123, 164, dan
Pasal 531 KUHP.
b) Syarat dapat dituntutnya seseorang yang telah melakukan tindak
pidana(Voorwaarden van vervolg baarheid); contoh: Pasal 310, 315,
dan 284 KUHP.
Sebagian besar sarjana berpendapat, bahwa hal itu bukanlah merupakan
unsur tindak pidana, oleh karena itu syarat tersebut terdapat timbulnya kejadian
atau peristiwa. Ada pihak lain yang berpendapat ini merupakan unsur tindak
pidana, oleh karena itu jika syarat ini tidak dipenuhi maka perbuatan tersebut
tidak dapat dipidana. Menurut Prof. Moelyatno, S.H. unsur atau elemen perbuatan
pidana terdiri dari:
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan).
Misalnya pada Pasal 418 KUHP, jika syarat seorang PNS tidak
terpenuhi maka secara otomatis perbuatan pidana seperti yang
38
dimaksud pada pasal tersebut tidak mungkin ada, jadi dapat dikatakan
bahwa perbuatan pidana pada Pasal 418 KUHP ini ada jika pelakunya
adalah seorang PNS.
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan.
Misal pada Pasal 160 KUHP, ditentukan bahwa penghasutan itu harus
dilakukan di muka umum, jadi hal ini menentukan bahwa keadaan
yang harus menyertai perbuatan penghasutan tadi adalah dengan
dilakukan di muka umum.
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana.
Maksudnya adalah tanpa suatu keadaan tambahan tertentu seorang
terdakwa telah dapat dianggap melakukan perbuatan pidana yang dapat
dijatuhi pidana, tetapi dengan keadaan tambahan tadi ancaman
pidananya lalu diberatkan. Misalnya pada Pasal 351 ayat (1) KUHP
tentang penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua
tahun delapan bulan, tetapi jika penganiayaan tersebut menimbulkan
luka berat ancaman pidananya diberatkan menjadi lima tahun dan jika
menyebabkan kematian menjadi tujuh tahun.
d. Unsur melawan hukum yang obyektif.
Unsur melawan hukum yang menunjuk kepada keadaan lahir atau
objektif yang menyertai perbuatan.
e. Unsur melawan hukum yang subyektif.
Unsur melawan hukum terletak di dalam hati seseorang pelaku
kejahatan itu sendiri. Misalnya pada Pasal 362 KUHP, terdapat kalimat
39
“dengan maksud” kalimat ini menyatakan bahwa sifat melawan
hukumnya perbuatan tidak dinyatakan dari hal-hal lahir, tetapi
tergantung pada niat seseorang mengambil barang. Apabila niat
hatinya baik, contohnya mengambil barang untuk kemudian
dikembalikan pada pemiliknya, maka perbuatan tersebut tidak
dilarang. Sebaliknya jika niat hatinya jelek, yaitu mengambil barang
untuk dimiliki sendiri dengan tidak mengacuhkan pemiliknya menurut
hukum, maka hal itu dilarang dan masuk rumusan pencurian.64
Sehubungan dengan pengertian pidana itu, penjatuhan sanksi berupa
tindakan diterapkan di dalam hal-hal tertentu, dengan syarat-syarat yang
ditentukan ini terutama diterapkan kepada anak-anak, dan terhadap orang-orang
yang jiwanya terbelakang atau terganggu karena penyakit.
Tindakan-tindakan ini tidak dimaksudkan untuk menerapkan penderitaan,
melainkan bermaksud untuk memperbaiki, menyembuhkan dan mendidik orang-
orang tertentu guna melindungi masyarakat.65
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masalah tindakan ini penerapannya
hanya dalam batas-batas tertentu saja yang terlebih dahulu harus memenuhi
syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang terutama terhadap anak-anak
seperti yang diatur dalam pasal 45 KUHP dan terhadap orang-orang yang jiwanya
tumbuh dengan tidak sempurna atau karena terganggu kejiwaannya (sakit jiwa).
Sanksi yang berupa tindakan ini bertujuan untuk perlindungan masyarakat dan
pengobatan, perbaikan dan pendidikan. Jadi bukan untuk menambah penderitaan
64 Teguh Prasetyo, 2011, Op.Cit, h. 23. 65 Muladi dan Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, h. 24.
40
kepada yang bersangkutan, tetapi apabila tindakan itu masih menimbulkan
penderitaan, hal tersebut bukanlah tujuan utama dari pengenaan pidana/sanksi
tersebut.
Dasar patut dipidananya perbuatan, berkaitan erat dengan masalah sumber
hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan suatu perbuatan sebagai tindak
pidana atau bukan.66 Tindak pidana tersebut dalam KUHP tidak dirumuskan
secara tegas tetapi hanya menyebutkan unsur-unsur tindak pidananya saja, tetapi
dalam konsep hal tersebut telah dirumuskan atau diformulasikan, misalnya dalam
konsep KUHP yang menyatakan bahwa:
(1) Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan
sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan, perbuatan yang
dilarang dan diancam dengan pidana.
(2) Untuk dinyatakan sebagai tindak pidana, selain perbuatan tersebut dilarang
dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, harus juga bersifat
melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.
(3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada
alasan pembenar.
Penempatan kesadaran hukum masyarakat sebagai salah satu sifat
melawan hukum, yaitu hukum tak tertulis merupakan jembatan hukum agar
penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan dapat menjangkau
keadilan substantif atau keadilan materiil. Penempatan sifat melawan hukum
materiil tersebut juga untuk menjangkau keseimbangan dalam kehidupan
66 Barda Nawawi Arief, 2009, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Badan
Penerbit Undip, Semarang (Selanjutnya disebut Barda Nawawi Arief II), h. 49.
41
masyarakat, karena menurut Muladi tindak pidana merupakan gangguan terhadap
keseimbangan keselarasan dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang
mengakibatkan gangguan individual ataupun masyarakat.67
2.3 Jenis-Jenis Tindak Pidana
Di bawah ini akan disebut pelbagai pembagian jenis tindak pidana :
1. Kejahatan dan Pelanggaran.
KUHP menempatkan kejahatan di dalam Buku Kedua dan pelanggaran
dalam Buku Ketiga, tetapi tidak ada penjelasan mengenai mengenai apa yang
disebut kejahatan dan pelanggaran. Semuanya diserahkan kepada ilmu
pengetahuan untuk memberikan dasarnya, tetapi tampaknya tidak ada yang
sepenuhnya memuaskan.68
Dicoba membedakan bahwa kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik
hukum ialah perbuatan dipandang mutlak atau secara esensial bertentangan
dengan keadilan69, terlepas apakah perbuatan itu diancam pidana dalam suatu
undang-undang atau tidak, sekalipun tidak dirumuskan sebagai delik dalam
undang-undang, perbuatan ini benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai
perbuatan yang bertentangan dengan keadilan.70 Jenis perbuatan pidana ini
juga disebut mala in se, artinya perbuatan tersebut merupakan perbuatan jahat
karena sifat perbuatan tersebut memang jahat. misalnya : pembunuhan,
67 Muladi, Op.Cit, h. 61. 68 Teguh Prasetyo, Op.Cit, h. 58. 69 Jan Remmenlink, 2003, Hukum Pidana, Pt. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 67. 70 Mahrus Ali, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, h. 101.
42
pencurian.71 Sedangkan wetsdelict atau pelanggaran adalah perbuatan-
perbuatan yang oleh masyarakat baru disadari sebagai perbuatan pidana,
karena undang-undang merumuskannya sebagai delik. Perbuatan-perbuatan
ini dianggap sebagai tindak pidana oleh masyarakat oleh karena undang-
undang mengancam dengan sanksi pidana.72
Selain perbedaan kualitatif tersebut, jonkers sebagaimana dikutip zainal
abidin menyebut adanya perbedaan kuantitatif yang berdasarkan kriminologi,
yaitu pelanggaran dipandang tidak begitu berat daripada kejahatan. Pandangan
dari segi kriminologi tersebut bukanlah pandangan memori van Toelichting
yang membedakan delik hukum dan delik undang-undang73, tetapi pertama-
tama diperkuat dengan hal bahwa sanksi pelanggaran lebih ringan daripada
sanksi pembuat kejahatan. Kedua diperkuat dengan hal bahwa percobaan
untuk melakukan pelanggaran dan pembantuan dalam pelanggaran tidak
merupakan delik (Pasal 54 dan Pasal 60 KUHP).74
2. Delik Formil dan Delik Materiil
Atas dasar cara perumusannya, delik dibedakan antara delik formil dan
delik materiil. Delik formil menekankan pada dilarangnya perbuatan,
sedangkan delik materiil menekankan pada dilarangnya akibat dari
perbuatan.75 Contohnya adalah pembunuhan sebagai delik materiil, peristiwa
dianggap telah terjadi jika ada yang mati. Berbeda dengan pencurian yang
merupakan delik formil, peristiwa dianggap telah terjadi bukan pada apakah
71 Erdianto Effendi, Op.Cit, h. 100. 72 Mahrus Ali, Loc.Cit. 73 Zainal Abidin Farid, Op.Cit, h. 352. 74 Zainal Abidin Farid, Loc.Cit. 75 Erdianto Effendi, Op.Cit, h. 101.
43
suatu benda dimaksudkan untuk dipinjam atau dimiliki, proses pindahnya
suatu benda telah cukup membuat dianggap selesainya suatu tindak pidana
formil.76
3. Delik Comisi dan Delik Omisi
a. Delik comisi: terjadinya delik dengan melakukan perbuatan yang dilarang
oleh suatu peraturan hukum pidana.77
b. Delik omisi : terjadinya delik dengan tidak melakukan perbuatan, padahal
seharusnya melakukan perbuatan. Misalnya tidak menghadap sebagai
saksi di muka persidangan seperti yang tercantum dalam Pasal 522
KUHP.78
4. Delik dolus dan delik culpa
a. Delik dolus : delik yang memuat unsur kesengajaan, rumusan kesengajaan
itu mungkin dengan kata-kata yang tegas, seperti dengan sengaja atau
diketahuinya.79 misalnya : Pasal-pasal 162,197, 310, 338 KUHP.
b. Delik culpa : delik yang memuat kealpaan sebagai salah satu unsur.80
misalnya : Pasal-pasal 195, 359, 360 KUHP.
5. Delik tunggal dan delik berganda.
a. Delik tunggal : delik yang cukup dilakukan dengan perbuatan satu kali.
Delik ini dianggap telah terjadi dengan hanya dilakukan sekali perbuatan.
Misalnya: pencurian, penipuan dan pembunuhan.81
76 Erdianto Effendi, Loc.Cit. 77 Bambang Poernomo, 1982, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 95. 78 Ibid. 79 Teguh Prasetyo, Op.Cit, h. 60. 80 Sudarto II, Op.Cit, h. 58. 81 Mahrus Ali, Op.Cit, h. 102.
44
b. Delik berganda : delik yang untuk kualifikasinya baru terjadi apabila
dilakukan beberapa kali perbuatan. Misalnya: Pasal 480 KUHP yang
menentukan bahwa untuk dapat dikualifikasikan sebagai delik penadahan,
maka penadahan itu harus dilakukan dalam beberapa kali.82
6. Delik yang berlangsung terus dan delik yang tidak berlangsung terus.
a. Delik yang berlangsung terus : delik yang mempunyai ciri, bahwa keadaan
terlarang itu berlangsung terus, misalnya: delik merampas kemerdekaan
seseorang dalam Pasal 333 KUHP. Delik ini maksudnya selama orang
yang dirampas kemerdekaannya belum dilepas, maka selama itu pula
delik itu masih berlangsung terus menerus.83
b. Delik yang tidak berlangsung terus: delik yang memiliki ciri, bahwa
keadaan yang terlarang itu tidak berlangsung terus-menerus seperti
pencurian dan pembunuhan.84
7. Delik aduan dan Delik Biasa.
a. Delik aduan : delik yang penuntutannya hanya dilakukan jika ada
pengaduan dari pihak yang terkena atau yang dirugikan, misal penghinaan
atau pemeriksaan di sidang pengadilan tindak pidana pembalakan liar dan
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.
22. Orang perseorangan maupun korporasi yang dengan sengaja melakukan
intimidasi dan/atau ancaman terhadap keselamatan petugas yang
melakukan pencegahan dan pemberantasan pembalakan liar dan
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah.
Selain ketentuan tersebut di atas, khusus untuk pejabat yaitu orang yang
diperintahkan atau orang yang karena jabatannya memiliki kewenangan dengan
suatu tugas dan tanggung jawab tertentu, dalam Pasal 105 disebutkan bahwa:
Setiap pejabat yang:
1. Menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau penggunaan
kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan
kewenangannya;
53
2. Menerbitkan izin pemanfaatan hasil hutan kayu dan/atau izin penggunaan
kawasan hutan di dalam kawasan hutan yang tidak sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
3. Melindungi pelaku pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah;
4. Ikut serta atau membantu kegiatan pembalakan liar dan/atau penggunaan
kawasan hutan secara tidak sah;
5. Melakukan permufakatan untuk terjadinya pembalakan liar dan/atau
penggunaan kawasan hutan secara tidak sah;
6. Menerbitkan surat keterangan sahnya hasil hutan tanpa hak; dan/atau
7. dengan sengaja melakukan pembiaran dalam melaksanakan tugas sehingga
terjadi tindak pidana pembalakan liar dan/atau penggunaan kawasan hutan
secara tidak sah.
8. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 10 (sepuluh) tahun serta pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
54
2.5 Pengertian Sanksi Pidana Uang Pengganti dalam Tindak Pidana
Kehutanan.
Menurut M.W. Patti Peilohy91 istilah pembayaran uang pengganti kurang
begitu dikenal oleh masyarakat kita. Dalam penghidupan dan pergaulan
masyarakat lebih sering dikenal dengan penyebutan “uang ganti rugi” atau dengan
kata lain lebih sering dengan istilah uang ganti rugi dari pada istilah uang
pengganti. Masyarakat hukum adat masalah ganti rugi bukanlah sesuatu yang
baru, bahkan delik-delik adat masalah uang ganti rugi memegang peranan
sedemikian pentingnya sebagai salah satu usaha umtuk menyeimbangkan lagi
suatu keadaan seperti semula, jadi ganti rugi itu dihubungkan karena adanya
pelanggaran. Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa ganti rugi itu
menunjukkan adanya suatu ketidakseimbangan, yaitu ada perbuatan yang
menimbulkan kerugian dan kerugian ini perlu diseimbangkan lagi dan untuk
keseimbangan itu perlu dilakukan pergantian sebagai suatu reaksi. Jadi
ketidakseimbangan itu adalah karena adanya suatu perbuatan yang melanggar atau
suatu gangguan.
Ganti rugi itu berhubungan dengan adanya suatu gangguan dan gangguan
ini adalah karena suatu perbuatan melanggar, sehingga terjadi ketidakseimbangan
dan bentuk reaksi terhadap adanya ketidakseimbangan tersebut adalah adanya
ganti rugi. Adanya ganti rugi ini dapat mengembalikan ketidakseimbangan itu.
Dapat pula disimpulkan bahwa suatu ganti rugi itu berhubungan dengan
suatu perbuatan, baik perbuatan itu menganggu keseimbangan kebendaan maupun
91 M.W. Patti Peilohy, 1994, Antara Tuntutan Jaksa Penuntut Umum dan Putusan Hakim/Pengadilan Mengenai pembayaran Uang Penganti Bagian I, Dipajaya, Ujung Pandang, h. 7.
55
keadaan. Jadi dengan demikian menunjukkan bahwa suatu ganti rugi adalah reaksi
terhadap aksi dan aksi ini adalah perbuatan yang melanggar atau menganggu tadi.
Ganti rugi menunjuk pada penghukuman, yaitu karena ada yang terganggu, maka
yang menyebabakan ketidakseimbangan karena gangguan itu harus
menyeimbangkan lagi keadaan seperti semula, yaitu harus memberi ganti rugi.
Perkembangan masyarakat lebih lanjut bahkan yang eksterm ini
diwujudkan dalam nilai tukar, sehingga nampak pada hakekatnya uang selain
sebagai nilai tukar, juga berfungsi sebagai suatu “penutup” atau “perdamaian”,
yaitu dengan memberikan sejumlah uang pada yang dirugikan, yang bermakna
bahwa sesuatu yang sebelumnya adalah suatu kerugian kini telah ditutup,
didamaikan dengan memberikan jumlah uang dan uang ini berfungsi sebagai ganti
terhadap kerugian tersebut. Kalau konsep ini dikaitkan dengan pembayaran
penganti dalam perkara tindak pidana kehutanan, maka yang dirugikan adalah
negara sebagai akibat perbuatan tindak pidana kehutanan, dan harus
diseimbangkan lagi kerugian tersebut, yaitu pelakunya harus membayar sejumlah
uang sebanding dengan kerugian yang diderita negara akibat kerusakan hutan
yang ditimbulkannya.
Menurut Joko Prakoso92, tuntutan ganti kerugian ini timbul tidak dapat
dilepaskan dengan masalah lainnya, yaitu adanya perbuatan yang menyebabkan
terjadinya kerugian, yang dipihak lain menimbulkan kewajiban untuk
menggantikan kerugian tersebut. Dengan demikian kita berbicara tentang
tanggung jawab atas perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Salah satu hal
92 Joko Prakoso, 1998, Masalah Ganti Rugi dalam KUHP, Balai Pustaka, Jakarta, h. 10.
56
menonjol menyangkut masalah pemberian ganti kerugian ini adalah terdapat atau
tidaknya unsur kesalahan. Dengan demikian kepada pihak yang menyebabkan
kerugian itulah beban pertanggung jawaban diletakkan atau disandarkan.
Tentang masalah ganti rugi Oemar Seno Adji93 berpendapat bahwa
terdapat beberapa persoalan mengenai ganti rugi dalam perkara pidana ialah
disamping ganti rugi setelah herzeining ada ganti rugi yang bergandengan dengan
pemahaman yang bertentangan dengan hukum, serta ganti rugi yang diberikan
kepada mereka yang menjadi korban dari suatu pelanggaran hukum (victim of
crime atau beledigde party), maka kemungkinan untuk meminta ganti rugi dalam
proses pidana meliputi 3 hal, yaitu :
- Ganti rugi setelah herzeining
- Ganti rugi karena terdapat penahanan yang bertentangan dengan undang-
undang
- Ganti rugi yang diberikan kepada mereka yang termasuk ataupun menjadi
korban kejahatan.
Menurut Arief Gosita ganti kerugian adalah hasil interaksi antara
fenomena yang ada dan saling mempengaruhi. Jadi dalam rangka memahami
ganti rugi, maka harus dilakukan interaksi yang terlihat dalam adanya ganti
kerugian tersebut.94 Sahetapy berpendapat bahwa pembicaraan mengenai
93 Oemar Seno Adji, 2001, Herzening, Ganti Rugi, Suap dan Perkembangan Delik, Erlangga,
Jakarta, h. 80. 94 Arief Gosita, 1997, Viktimologi dan KUHAP, Akademika Pressindo, Jakarta, h. 23.
57
pemberian ganti rugi kepada korban kejahatan, ada kaitannya dengan disiplin ilmu
viktimologi, yaitu yang membahas permasalahan korban dari segala aspeknya.95
Patti Peilohy berpendapat bila dihubungkan dengan tindak pidana
kehutanan, dimana negara yang menderita kerugian, sehingga negara dari sudut
viktimologi adalah juga korban dan yang menyebabkan pelaku tindak pidana
kehutanan dituntut untuk memberikan suatu ganti kerugian yang menurut istilah
UU Nomor 18 Tahun 2013 adalah uang pengganti.96
Menurut Barda Nawawi Ariel97) perlindungan korban dalam proses pidana
tentunya tidak lepas dari perlindungan korban menurut ketentuan hukum positif
yang berlaku. Dalam hukum pidana positif yang berlaku saat ini, perlindungan
korban lebih banyak merupakan perlindunan abstrak atau perlindungan tidak
langsung. Dengan kata lain, sistem sanksi dan pertanggung jawaban pidananya
tidak tertuju pada perlindungan korban secara langsung dan kongkret, tetapi hanya
perlindungan korban secara tidak langsung dan abstrak.
Hukum pidana positif (materiil dan formil) memberi perhatian juga kepada
korban secara langsung. Antara lain terlihat dalam ketentuan-ketentuan berikut ini
:
1. Hakim menjatuhkan pidana bersyarat, yang menurut Pasal 14 c KUHP hakim
dapat menetapkan syarat khusus bagi terpidana “untuk mengganti” kerugian
(semua/sebagian) yang ditimbulkan dari tindak pidana. Jadi ganti rugi disini
seolah-olah berfungsi sebagai pengganti pidana pokok.
95 JE Sahetapy, 1997, Viktomologi Sebuah Bunga Rampai, Penerbit Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta, h. 21. 96 M.W.Patty Peilohy, Op.Cit, h. 54. 97 Barda Nawawi Arief, 1998, Perlindungan Korban Kejahatan Dalam Proses Peradilan
Pidana Jurnal Hukum Pidana dan Kriminologi Vol.I/No.1, h.16-17.
58
2. Pasal 8 sub d. UUTPE (UU No.7 Drt. 1955) memberi kemungkinan kepada
hakim untuk menjatuhkan sanksi “tindakan tata tertib” berupa “kewajiban
mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak”, “meniadakan apa yang dilakukan
tanpa hak”, dan “melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat”, yang
semuanya atas biaya terhukum.
3. Pasal 18 ayat 2 UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi) juga memberi peluang kepada hakim untuk menjatuhkan pidana
tambahan berupa pembayaran uang pengganti, yang jumlahnya maksimal
sama dengan harta benda yang diperoleh dari korupsi , Bab XIII (Pasal 98 -
101) KUHAP (UU No.8/1981) memberi kemungkinan penggabungan perkara
gugatan kerugian dalam perkara pidana,
4. Pasal 108 UU No. 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan
Perusakan Hutan juga mengatur pengenaan uang pengganti terhadap si Pelaku