BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI, NARAPIDANA, DAN PEMBEBASAN BERSYARAT 2.1. Tindak Pidana Korupsi 2.1.1. Tindak Pidana Di dalam keseharian dan di masyarakat, sering mendengar mengenai berbagai macam tindak pidana. Akan tetapi, tanpa disadari sebagai manusia kita belum mengerti arti dari istilah “tindak pidana” itu sendiri serta apa saja unsur – unsur dari tindak pidana. Untuk itu, sebelum memasuki pokok bahasan mengenai pengertian tindak pidana korupsi, perlu pemahaman mengenai istilah “tindak pidana” dan terdiri dari apa sajakah unsur – unsur dari suatu tindak pidana. Dalam bahasa Belanda, tindak pidana disebut dengan strafbaarfeit atau yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam strafwetboek adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana dan pelaku tersebut dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana. 1 Di Indonesia, tindak pidana disebut juga dengan “delik”. Kata “delik” berasal dari bahasa latin, yakni 1 Wirjono Prodjodikoro, op.cit, h. 59. 20
23
Embed
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA … II.pdf · keadaan yang didalam keadaan mana tindakan dari si pelaku harus dilakukan ... pidana khusus (tindak pidana di luar KUHP),
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
20
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI,
NARAPIDANA, DAN PEMBEBASAN BERSYARAT
2.1. Tindak Pidana Korupsi
2.1.1. Tindak Pidana
Di dalam keseharian dan di masyarakat, sering mendengar mengenai
berbagai macam tindak pidana. Akan tetapi, tanpa disadari sebagai manusia kita
belum mengerti arti dari istilah “tindak pidana” itu sendiri serta apa saja unsur –
unsur dari tindak pidana. Untuk itu, sebelum memasuki pokok bahasan mengenai
pengertian tindak pidana korupsi, perlu pemahaman mengenai istilah “tindak
pidana” dan terdiri dari apa sajakah unsur – unsur dari suatu tindak pidana.
Dalam bahasa Belanda, tindak pidana disebut dengan strafbaarfeit atau
yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam strafwetboek adalah suatu
perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukuman pidana dan pelaku tersebut
dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak pidana.1 Di Indonesia, tindak pidana
disebut juga dengan “delik”. Kata “delik” berasal dari bahasa latin, yakni
1 Wirjono Prodjodikoro, op.cit, h. 59.
20
21
delictum, sedangkan dalam bahasa Jerman dikenal dengan delict, dan dalam
bahasa Perancis disebut dengan delit.2
Seseorang yang melakukan suatu tindak pidana berarti menandakan orang
tersebut telah melakukan perbuatan melanggar hukum yang merupakan sifat dari
tindak pidana. Berbuat tindak pidana tanpa melanggar hukum adalah tidak
mungkin karena tindak pidana selalu identik dengan pelanggaran hukum serta
merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Ada
pepatah yang mengatakan “ dimana ada gula disitu ada semut,” jika diidentikan
dengan tindak pidana maka menjadi “dimana ada tindak pidana disitu pasti ada
pelanggaran hukum.” Tindak pidana adalah perilaku yang pada waktu tertentu
dalam konteks suatu budaya dianggap tidak dapat ditolerir dan harus diperbaiki
dengan mendayagunakan sarana – sarana yang disediakan oleh hukum pidana.3
Tindak pidana juga diartikan sebagai tindakan yang melanggar berbagai
kepentingan yang dilindungi oleh hukum, dan kepentingan tersebut terdiri dari
tiga jenis, yaitu kepentingan individu – individu, kepentingan masyarakat, dan
kepentingan Negara.4 Selain itu, tindak pidana diistilahkan sebagai “peristiwa
pidana” karena yang ditinjau adalah peristiwa (feit) dari sudut hukum pidana.5
2
Leden Marpaung, 2008, Asas – Teori – Praktik Hukum Pidana, Cet. IV, Sinar Grafika,
Jakarta, h. 7.
3 Jan Remmelink, 2003, Komentar atas Pasal – Pasal Terpenting dari Kitab Undang –
Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya Dalam Kitab Undang – Undang Hukum Pidana
Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, h. 61.
4 Wirjono Prodjodikoro, 2003, Tindak – Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Refika
Aditama, Bandung, h. 16.
5 Leden Marpaung, loc.cit.
22
Terkait dengan hal tersebut, walaupun para ahli hukum mempunyai
pendapat yang berbeda – beda mengenai tindak pidana, tetapi dari seluruh
pendapat mereka intinya hanyalah satu, yakni tindak pidana adalah suatu
perbuatan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh subjek tindak pidana dan oleh
karena perbuatan tersebut maka subjek tindak pidana harus dijatuhi pidana
sebagai ganjaran dari tindak pidana yang dilakukan. Mengetahui apa arti dari
istilah “tindak pidana” saja tidaklah cukup. Kita juga harus mencari tahu “unsur –
unsur tindak pidana”, oleh karena di setiap tindak pidana pasti ada unsur – unsur
tindak pidana. Unsur – unsur tindak pidana itulah yang akan membuktikan subjek
dari tindak pidana tersebut bersalah dan terbukti melakukan suatu tindak pidana
ataukah tidak. Sesuai dengan hal tersebut diperlukan pengetahuan tentang unsur –
unsur tindak pidana yang terdiri dari :
a. Kelakuan dan akibat (perbuatan);
b. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan;
c. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana;
d. Unsur melawan hukum yang objektif; dan
e. Unsur melawan hukum yang subjektif.6
Selanjutnya, ada yang menyebutkan terdapat tiga unsur dalam suatu delik/ tindak
pidana, yakni :
a. Unsur melawan hukum;
b. Unsur kesalahan; dan
6 Moeljatno, 2009, Asas – Asas Hukum Pidana. Cet VIII, Rineka Cipta, Jakarta, h. 69.
23
c. Unsur bahaya, gangguan, dan merugikan orang lain, pihak lain atau
masyarakat pada umumnya.7
Dalam dasar – dasar hukum pidana Indonesia, seseorang dapat dikatakan
telah melakukan tindak pidana apabila telah melanggar unsur pidana, antara lain
yaitu :
1) Unsur subyektif, adalah unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang
berhubungan dengan diri si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala
sesuatu yang terkandung di dalam hatinya. Unsur ini antara lain :
a. Kesengajaan atau kealpaan (dollus atau culpa);
b. Maksud atau voornemen pada suatu percobaan atau poging;
c. Macam-macam maksud atau oogmerk;
d. Merencanakan terlebih dahulu atau voordebachte raad; dan
e. Perasaan takut atau vrees.
2) Unsur obyektif, adalah unsur yang ada hubungannya dengan keadaan –
keadaan yang didalam keadaan mana tindakan dari si pelaku harus
dilakukan. Unsur ini antara lain :
a. Sifat melawan hukum; dan
b. Kausalitas (hubungan antar tindakan sebagai penyebab dengan
suatu kenyataan sebagai akibat) dari perilaku.8
Ada pula yang mengungkapkan mengenai unsur – unsur tindak pidana
meliputi :
a. Perbuatan manusia baik aktif maupun pasif;
b. Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan pidana oleh undang – undang;
c. Perbuatan itu dianggap melawan hukum;
d. Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan; dan
e. Pelakunya dapat dipertanggungjawabkan.9
7 Poernomo, 1981, Kriminologi Suatu Pengantar, Arena Ilmu, Bandung, h. 99.
8 Lamintang, 1997, Dasar – Dasar Untuk Mempelajari Hukum Pidana yang Berlaku di
Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 194.
9 Erdianto Effendi, 2011, Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar, Refika Aditama,
Bandung, h. 99.
24
Berdasarkan pernyataan di atas, keseluruhan inti dari unsur – unsur tindak
pidana tersebut adalah hanya terdiri dari dua unsur, yaitu :
a. Unsur subyektif : Unsur yang melekat pada diri si pelaku tindak pidana; dan
b. Unsur obyektif : Unsur yang melekat pada perbuatan pidana yang dilakukan
oleh pelaku tindak pidana tersebut.
2.1.2. Korupsi
Salah satu larangan yang dipastikan sama di setiap negara bahkan serupa
antara satu dengan yang lain adalah larangan untuk mengambil sesuatu yang
bukan menjadi hak milik kita sebagai manusia, yakni melakukan tindak pidana
korupsi. Sesungguhnya nama “korupsi” adalah nama yang sudah tidak asing lagi
terdengar ditelinga kita. Ibarat artis, korupsi seperti artis yang sedang naik daun di
negara kita yang tercinta ini, sangat populer dan mampu menyerang siapa saja
yang mendekatinya terutama dari kalangan pejabat – pejabat negara Republik
Indonesia. Sehingga siapapun yang melakukan tindak pidana tersebut seketika
menjadi terkenal dan termasyur baik di media massa maupun media sosial. Dalam
dunia musik, korupsi ibaratnya seperti “The Favorit Song”, yang lagunya
didengar terus atau diputar berulang – ulang kali oleh pendengarnya dan sama
halnya dengan tindak pidana korupsi yang tiada henti dilakukan oleh para pejabat
negeri ini. Pemberantasan Korupsi diatur dalam UU RI No. 31 Tahun 1999 yang
mengalami perubahan menjadi UU RI No. 20 Tahun 2001. Dahulu korupsi
bukanlah sebuah kejahatan dan belum ada aturan hukum yang mengaturnya, tetapi
dengan maraknya korupsi yang dilakukan serta banyaknya kerugian yang dialami
25
negara Indonesia, korupsi dikategorikan sebagai kejahatan dalam golongan tindak
pidana khusus (tindak pidana di luar KUHP), kemudian ada pula undang – undang
yang mengaturnya serta dibentuk juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Pengertian “korupsi” dari segi kata atau etimology berasal dari bahasa
Yunani (corruptio), yang artinya sebagai sesuatu yang busuk atau kerusakan
(damaged), yang diartikan lagi sebagai kerusakan dalam bidang keuangan. Dalam
Kamus Umum Bahasa Indonesia, korupsi ialah perbuatan yang buruk seperti
penggelapan uang, penerimaan uang sogok dan sebagainya.10
Istilah korupsi
dikenal juga dalam buku Negara Kertagama Majapahit, hal tersebut berarti
korupsi sudah ada sebelum negara Indonesia terbentuk. Masalah tindak pidana
korupsi ini sesungguhnya dapat dikaji melalui beberapa aspek baik dari aspek
politik, aspek ekonomi, dan aspek hukum. Dilihat dari aspek politik dan aspek
ekonomi, secara keseluruhan korupsi di Indonesia muncul lebih sering sebagai
masalah politik dari pada ekonomi. Ia menyentuh keabsahan (legitimasi)
pemerintah di mata generasi muda, kaum elite terdidik dan pegawai pada
umumnya. Korupsi mengurangi dukungan pada pemerintah dari kelompok elite di
tingkat provinsi dan kabupaten.11
Sedangkan pengkajian korupsi dari aspek
hukum atau yuridis berarti mengkaji dari sisi peraturan perundang – undangan,
yang menyebutkan istilah korupsi ada ketika terbentuk Peraturan Penguasa Militer
Nomor Prt/PM/06/1957 tentang Pemberantasan Korupsi pada tanggal 9 April
1957. Dalam peraturan tersebut, korupsi sebagai perbuatan – perbuatan yang
10
Andi Hamzah, 2012, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan
Internasional, Cet. V, Rajawali Pers, Jakarta, h. 5.
11
Mubyarto, 1980, Ilmu Ekonomi, Ilmu Sosial, dan Keadilan, Yayasan Agro Ekonomika,
Jakarta, h. 60.
26
merugikan keuangan dan perekonomian negara. Apabila dalam KUHP yang
merupakan konkordansi dari Wvs Belanda, ada beberapa pasal yang mengatur
yakni :
a. Pasal 415 mengenai Penggelapan oleh pegawai negeri;
b. Pasal 416 mengenai Penipuan;
c. Pasal 418 mengenai penyuapan;
d. Pasal 423, 425, dan 435 mengenai Penyalahgunaan wewenang atau jabatan
yang merugikan keuangan negara.
Pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang
menjadi Presiden RI atas pilihan langsung rakyat menggantikan Presiden
Megawati Periode 2004 s/d 2009 dan terpilih kembali menjadi Presiden RI untuk
kedua kalinya sampai dengan 2009 s/d 2014, menjadikan pemberantasan korupsi
sebagai program utama pemerintahannya dan diterbitkan undang – undang yang
berkaitan dengan pemberantasan tindak pidana korupsi antara lain :
a. UU RI No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Diundangkan tanggal 11 Agustus 2006;
b. UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak
Pidana Pencucian Uang. Diundangkan tanggal 22 Oktober 2010;
c. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan instruksi Presiden RI
No. 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi.
Upaya – upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan pemerintah orde baru
maupun orde reformasi belum menunjukan hasil yang signifikan karena pelaku
tindak pidana korupsi semakin berani serta pelakunya tetap sama terutama
27
dilakukan oleh oknum – oknum aparatur negara yang berkolusi dengan korporasi
hitam atau perorangan. Hebatnya korupsi sekarang ini telah
bermetamorfosis/berubah bentuk menyeramkan karena melahirkan korupsi
berjamaah, sistematis, terorganisir dan pelakunya punya modal besar dan
kekuasaan.12
There is enough for everybody’s need, but not enough for everybody’s
greed. Artinya dunia memberi kecukupan untuk memenuhi kebutuhan semua
orang, namun tidak cukup untuk kerakusan semua orang. Perbuatan korupsi pada
hakekatnya merupakan kerakusan karena itu para pelakunya adalah mereka yang
sehari – harinya telah memiliki kecukupan, sehingga latar belakang perbuatan
korupsinya bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan, melainkan untuk
memenuhi hasrat kemewahan.13
Dengan melakukan pengkajian serta menemukan jawaban dari yang dikaji, bahwa
sesungguhnya seseorang yang melakukan korupsi adalah bukan semata – mata
untuk memenuhi kebutuhan, tetapi untuk pemenuhan mereka yang memiliki sifat
rakus akan segalanya. Begitu juga dengan begitu banyaknya kasus korupsi yang
terjadi di negeri ini, yang dilakukan oleh para pejabatnya sendiri. Dilihat dari sisi
logika, kebutuhan apa saja yang tidak dapat dipenuhi oleh seseorang yang telah
menduduki posisi penting (pejabat negara) di negara ini. Kebutuhan seperti
membeli mobil, handphone, rumah, tanah, perhiasan dan lain sebagainya, secara
langsung dapat terpenuhi walaupun untuk itu harus didukung dengan kinerja yang
bagus sesuai dengan posisi yang didapat. Jika dilihat dari sisi etika, tentunya
pemerintah dalam merekrut orang – orang terpilih untuk menduduki posisi yang
12 S. Anwary, 2012, Perang Melawan Korupsi di Indonesia, Institut Pengkajian Masalah
– Masalah Politik dan Sosial Ekonomi, Jakarta, h. 3 – 4.
13
Antonius Sujata, 2000, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta, h.
148.
28
sangat penting tersebut adalah orang – orang yang memiliki etika yang baik dan
benar.
Pada kenyataannya, para pejabat tersebut tetap melakukan korupsi
sehingga membuktikan bahwa mereka tidak memiliki intelegentia yang
berlandaskan pada etika yang baik dan benar. Intelegentia adalah kesanggupan
seseorang untuk menimbang dan memberi keputusan.14
Jika intelegentia tersebut
berlandaskan pada etika yang baik dan juga benar, pastinya seorang pejabat
negara tidak hanya mementingkan hasrat ataupun keinginannya saja tetapi juga
sadar akan kewajibannya yang harus dijalankan terhadap negaranya sendiri. Jadi
seseorang yang tidak memiliki hal tersebut, tidak akan berpikir dua kali untuk
tidak melakukan korupsi sebab yang dipentingkan hanya kepuasan batin yang ada
pada dirinya dan tidak memikirkan apa akibat yang ditimbulkan berdasarkan
perbuatannya. Sehingga Intelegentia without good etic, it’s mean so badly.
Berbeda jauh dengan warga negara Indonesia yang memiliki tingkat
ekonomi rendah dan masih membutuhkan bantuan dari negara ini. Betapa
menderitanya nasib mereka hanya untuk memperoleh sesuap nasi demi keperluan
nutrisi tubuh, mereka harus bekerja keras banting tulang dan sungguh tidak
mungkin mereka berpikir jauh untuk membeli rumah, mobil, tanah, perhiasan, dan
sebagainya seperti yang dilakukan pelaku korupsi di Indonesia, terlebih lagi
dengan cara mengorbankan kepentingan negara. Tindak Pidana korupsi di
Indonesia seperti tidak ada habis – habisnya, semakin ditindak makin meluas
bahkan perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dalam jumlah
14 Wagiati Soetodjo, 2006, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, h. 17.
29
kasus, jumlah kerugian negara maupun kualitasnya. Akhir – akhir ini nampak
makin terpola dan sistematis, lingkupnya juga telah menyentuh keseluruh aspek
kehidupan masyarakat dan lintas batas negara. Atas dasar hal tersebut, korupsi
secara nasional disepakati tidak saja sebagai extraordinary crime tetapi juga
sebagai kejahatan transnasional.15
Berdasarkan keseluruhan hal yang sudah
diterangkan di atas, apabila membicarakan tentang korupsi memang akan
menemukan kenyataan semacam itu karena korupsi menyangkut segi – segi
moral, sifat dan keadaan yang busuk, jabatan dalam instansi atau aparatur
pemerintah, penyelewengan kekuasaan dalam jabatan karena pemberian, faktor
ekonomi dan politik, serta penempatan keluarga atau golongan ke dalam
kedinasan di bawah kekuasaan jabatannya dan dengan demikian korupsi dapat
diartikan sangat luas, yakni :
a. Korupsi : penyelewengan atau penggelapan (uang negara atau perusahaan
dan sebagainya) untuk kepentingan pribadi dan orang lain;
b. Korupsi : busuk, rusak, suka memakai barang atau uang yang
dipercayakan kepadanya, dapat disogok (melalui kekuasaannya untuk
kepentingan pribadi).16
2.1.3. Tindak Pidana yang Tergolong sebagai Korupsi
Sebenarnya tindakan sederhana dapat digolongkan sebagai tindak pidana
korupsi, contohnya seperti seorang Guru Sekolah Dasar yang mengambil sebagian