BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN KELALAIAN 2.1 Pertanggungjawaban Pidana 2.1.1 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan teorekenbaarheid atau criminal responbility yang menjurus kepada pemidanaan pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. 1 Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadi suatu tindakan yang terlarang (diharuskan), seseorang akan dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindakan- tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum untuk itu. Dilihat dari “mampu bertanggung jawab” yang dapat dipertanggungjawabkan. 2 Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri 1 Amir Ilyas, op.cit, h. 67 2 Amir Ilyas, op.cit, h. 69 22
25
Embed
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN ... II.pdf · pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan demikian, pengkajian dilakukan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
22
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN
KELALAIAN
2.1 Pertanggungjawaban Pidana
2.1.1 Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana dalam istilah asing disebut dengan
teorekenbaarheid atau criminal responbility yang menjurus kepada pemidanaan
pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seorang terdakwa atau tersangka
dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau
tidak.1Pertanggungjawaban pidana menjurus kepada pemidanaan petindak, jika telah
melakukan suatu tindak pidana dan memenuhi unsur-unsurnya yang telah ditentukan
dalam undang-undang. Dilihat dari sudut terjadi suatu tindakan yang terlarang
(diharuskan), seseorang akan dimintai pertanggungjawaban pidana atas tindakan-
tindakan tersebut apabila tindakan tersebut bersifat melawan hukum untuk itu. Dilihat
dari “mampu bertanggung jawab” yang dapat dipertanggungjawabkan.2
Pertanggungjawaban pidana pertama-tama merupakan keadaan yang ada pada diri
1 Amir Ilyas, op.cit, h. 67
2 Amir Ilyas, op.cit, h. 69
22
23
pembuat tersebut dengan perbuatan dan sanksi yang sepatutnya dijatuhkan. Dengan
demikian, pengkajian dilakukan dua arah.3
1. Pertanggungjawaban pidana ditempatkan dalam konteks sebagai syarat-
syarat faktual (conditioning facts) dari pemidanaan, karenanya
mengembangkan aspek preventif.
2. Pertanggungjawaban pidana merupakan akibat hukum (legal
consequences) dari keberadaan syarat faktual tersebut, sehingga
merupakan bagian dari aspek represif hukum pidana.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap
tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya yang dipertanggungjawabkan orang itu
adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan demikan, terjadinya
pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan oleh
seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan suatu mekanisme
yang dibangun oleh hukum pidana untuk mereaksi terhadap pelanggaran atas
„kesepakatan menolak‟ suatu pebuatan tertentu4.
Dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dalam buku ke
satu (1) dalam Pasal 36 menyatakan bahwa:
“Pertanggungjawaban pidana adalah diteruskannya celaan yang objektif yang ada
pada tindak pidana dan secara subjektif kepada seseorang yang memenuhi syarat
untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatannya itu”.
3Chairul Huda, 2013, “Dari ‘Tiada Pidana Tanpa Kesalahan’ Menuju Kepada ‘Tiada
Pertanggungjawaban Tanpa Kesalahan”‟, Kencana, Jakarta, h. 66
4Ibid, h. 70
24
Bahwa adanya suatu pertanggungjawaban pidana adalah didasari atas
adanya kesalahan atau perbuatan pidana yang tercantum terlebih dahulu didalam
suatu perundang-undangan hal ini berdasarkan berlakunya asas legalitas.
Simons berpendapat bahwa “kesalahan adalah adanya keadaan psikis yang
tertentu pada orang yang melakukan perbuatan pidana dan adanya hubungan antara
keadaan tersebut dengan perbuatan yang dilakukan yang sedimikian rupa, hingga
orang itu dapat dicela karena melakukan perbuatan tadi.5
Bahwa untuk adanya kesalahan harus dipikirkan dua hal disamping
melakukan perbuatan pidana yaitu:
1. Adanya keadaan psikis (batin) yang tertentu.
2. Adanya hubungan yang tertentu antara keadaan batin tersebut dengan
perbuatan yang dilakukan hingga menimbulkan celaan tadi.6
Dengan demikian bahwa untuk adanya kesalahan, terdakwa harus:
a. Melakukan perbuatan pidana (sifat melawan hukum)
b. Diatas umur tertentu mampu bertanggungjawab.
c. Mempunyai suatu bentuk kesalahan yang berupa kesengajaan atau kealpaan.
d. Tidak adanya alasan pemaaf.
5 Moeljatno, 2009, Asas-Asas Hukum Pidana, Renika Cipta, Jakarta, h. 171
6Ibid.
25
Berdasarkan hal tersebut maka diketahui bahwa seseorang dapat
dipetanggungjawabkan perbuatannya apabila telah memenuhi unsur-unsur kesalahan
tersebut.
2.1.2 Kemampuan Bertanggungjawab
Setiap orang dipandang sehat jiwanya dan karena hal tersebut maka setiap
orang juga mampu bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan namun apabila
kesehatan jiwanya diragukan maka akan diperiksa oleh psikater, psikiater yang akan
menentukan atau yang dapat mengetahui apakah jiwanya sehat atau tidak.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak dijelaskan secara jelas
mengenai apa yang dimaksud dengan kemampuan bertanggungjawab, namun dalam
Pasal 44 KUHP ayat (1) dan ayat (2) diatur mengenai ketidakmampuan
bertanggungjawab, yang menyatakan bahwa:
“(1) Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat
dalam tubuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena
penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana”.
“(2) Jika ternyata bahwa perbuatan tidak dapat dipertanggungjawabkan
padanya disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau
terganggu karena penyakit , maka Hakim dapat memerintahkan supaya
orang itu dimasukkan ke dalam rumah sakit jiwa, paling lama satu
tahun sebagai waktu percobaan”.7
7Moeljatno, 2012, Kitab Undang Undang Hukum Pidana, Bumi Aksara, Jakarta, h. 21
26
Berdasarkan ketentuan Pasal 44 KUHP bahwa jika seseorang jiwanya cacat
atau terganggu maka seseorang yang melakukan suatu perbuatan pidana tidak dapat
dimintai pertanggungjawaban atau adanya kemampuan untuk bertanggungjawab.
Pasal ini menentukan bahwa pelaku perbuatan pidana baru bisa dianggap
tidak mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, apabila dalam dirinya terjadi
salah satu diantara dua hal, yaitu sebagai berikut.
1. Jiwa pelaku mengalami cacat mental sejak pertumbuhannya, hingga
akalnya menjadi kurang sempurna untuk membedakan antara yang baik
dan yang buruk
2. Jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan oleh suatu
penyakit, hingga akalnya menjadi kurang berfungsi secara sempurna atau
kurang optimal untuk membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk.8
Menurut G.A van Hamel menyatakan bahwa yang dimaksudkan dengan
toerekeningsvatbaarheid (kemampuan bertanggungjawab) adalah suatu keadaan
normalitas psikis dan kemahiran, yang membawa tiga macam kemampuan
(kecakapan) yaitu:
1. Mampu untuk dapat mengerti makna dan akibat sungguh-sungguh dari
perbuatan sendiri;
2. Mampu menginsyafi bahwa perbuatan-perbuatan itu bertentangan dengan
ketertiban masyarakat;
8Mahrus Ali, 2012, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, h. 172
27
3. Mampu menentukan kehendak berbuat.9
Selanjutnya menurut D. Simons memberikan pendapatnya bahwa mampu