BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI DAN WANPRESTASI 2.1 Pengertian dan Asas-asas yang berlaku dalam suatu Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Dalam dunia bisnis atau yang dijalankan dalam berbagai bentuk bisnis, baik untuk menjaga hubungan bisnis, maupun dalam memilih bentuk penyelesaian sengketa bisnis, perjanjian menjadi pegangan dan tolok ukurnya. Oleh karena itu, dalam membuat perjanjian untuk menjaga dan menyelesaikan sengketa haruslah didasarkan kepada ketentuan-ketentuan hukum, khususnya hukum perjanjian yang diatur dalam Buku ke III KUHPerdata, untuk menghindari tejadinya penyelesaian di dalam masalah hukum yang terkadang dapat melahirkan masalah hukum baru. 1 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing bersepakat akan mentaati apa yang terkandung dalam persetujuan itu.” 2 Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.” 3 Menurut Subekti, mengatakan bahwa, perjanjian adalah suatu peristiwa 1 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2003, Implementasi Ketentuan- ketentuan Hukum Perjanjian ke dalam Perancangan Kontrak, h. 27 2 Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar lkthasar Indonesi Edisi Ketiga, Jakarta, Balai Pustaka, hal. 458. 3 Sudarsono, 2007, Kamus Hukum, Jakarta, Rincka Cipta, hal. 36
33
Embed
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL ......BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI DAN WANPRESTASI 2.1 Pengertian dan Asas-asas yang berlaku dalam suatu Perjanjian
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN JUAL BELI DAN
WANPRESTASI
2.1 Pengertian dan Asas-asas yang berlaku dalam suatu Perjanjian
2.1.1 Pengertian Perjanjian
Dalam dunia bisnis atau yang dijalankan dalam berbagai bentuk bisnis,
baik untuk menjaga hubungan bisnis, maupun dalam memilih bentuk penyelesaian
sengketa bisnis, perjanjian menjadi pegangan dan tolok ukurnya. Oleh karena itu,
dalam membuat perjanjian untuk menjaga dan menyelesaikan sengketa haruslah
didasarkan kepada ketentuan-ketentuan hukum, khususnya hukum perjanjian yang
diatur dalam Buku ke III KUHPerdata, untuk menghindari tejadinya penyelesaian
di dalam masalah hukum yang terkadang dapat melahirkan masalah hukum baru.1
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, perjanjian adalah “persetujuan
tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing
bersepakat akan mentaati apa yang terkandung dalam persetujuan itu.”2
Kamus Hukum menjelaskan bahwa perjanjian adalah “persetujuan yang
dibuat oleh dua pihak atau lebih, tertulis maupun lisan, masing-masing sepakat
untuk mentaati isi persetujuan yang telah dibuat bersama.”3
Menurut Subekti, mengatakan bahwa, perjanjian adalah suatu peristiwa
1 I Ketut Artadi dan I Dewa Nyoman Rai Asmara Putra, 2003, Implementasi Ketentuan-ketentuan Hukum Perjanjian ke dalam Perancangan Kontrak, h. 27
2 Departemen Pendidikan Nasional, 2005, Kamus Besar lkthasar Indonesi Edisi Ketiga, Jakarta, Balai Pustaka, hal. 458.
3 Sudarsono, 2007, Kamus Hukum, Jakarta, Rincka Cipta, hal. 36
dimana seseorang berjanji kepada orang lain atau dua orang tersebut saling
berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal yang menimbulkan suatu perikatan
antara dua pihak yang membuatnya.4 Menurut Wirjono Prodjodikoro, perjanjian
adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam
mana suatu pihak berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak
melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.5
Menurut ketentuan pasal 1313 KUHPerdata berbunyi: “Perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap
satu orang atau lebih lainnya.” Ketentuan pasal ini sebenarnya kurang begitu
memuaskan karena ada beberapa kelemahan. Kelemahan-kelemahan tersebut
adalah seperti diuraikan berikut ini:
a. Hanya menyangkut sepihak saja. Hal ini diketahui dari perumusan "satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orangn atau lebih
lainnya". Kata keda "mengikatkan" sifatnya hanya datang dari satu pihak
saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu "saling
mengikatkan diri", selagi aria konsensus antara pihak-pihak.
b. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus. Dalam pengertian
"perbuatan" termasuk juga tindakan melak sanakan togas tanpa kuasa
(zaakwaameming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang
tidak mengandung suatu konsensus seharusnya dipakai kata "persetujuan".
c. Pengertian perjanjian terlalu luas. Pengertian perjanjian dalam pasal
tersebut di atas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan
4 Subekti, 1996, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Alumni, Bandung, h. 12 5 Wirjono Prodjodikoro, 1991, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu,
Sumur, Bandung, h. 7
perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga.
Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur
dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh
buku ke III KUHPerdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat
kebendaan, bukan perjanjian yang bersifat personal.
d. Tanpa menyebut tujuan. Dalam perumusan pasal itu tidak disebutkan
tujuan mengadakan pedanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri itu
tidak jelas untuk apa.6
Atas dasar alasan-alasan yang dikemukakan di atas, maka perlu
dirumuskan kembali apa yang dimaksud dengan perjanjian itu. Berdasarkan
alasan-alasan tersebut, maka "perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana
dua orang atau lebih saling mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam
lapangan harta kekayaan." Hukum ari istilah inggris "yang mengatur tentang
perjanjian itu disebut hukum perjanjian (law of contract). Perumusan ini erat
hubungannya dengan pembicaraan tentang syarat-syarat perjanjian yang diatur
dalam pasal 1320 KUHPerdata yang akan dibicarakan kemudian.
Suatu perikatan lahir karena undang-undang maupun karena kontrak atau
perjanjian. Karena itu sebenamya kontrak merupakan salah satu sumber dari
perikatan. Dalam tampilannya yang klasik, untuk istilah kontrak ini sering disebut
"perjanjian" sebagai terjemahan dari "agreement" dalam bahasa inggris atau
“overeenkomst” dalam bahasa Belanda. Di samping itu ada juga istilah yang
sepadan dengan istilah kontrak yaitu istilah "transaksi" yang merupakan
6 Abdulkadir Muhammad, 1982, Hukum Perikatan, Penerbit Alumni, Bandung, h. 77-79
terjemahan dari istilah inggris "transaction". Namun demikian, istilah kontrak
"contract" adalah yang paling modem, paling luas dan paling lazim digunakan
termasuk pemakaiannya dalam dunia bisnis. Dan hukum yang mengatur tentang
kontrak itu disebut dengan ”hukum kontrak”.
Selanjutnya ada juga yang memberikan pengertian, kontrak sebagai suatu
perjanjian atau serangkaian perjanjian dimana, hukum memberikan ganti rugi
terhadap wanprestasi dari kontrak tersebut, dan oleh hukum, pelaksanaan dari
kontrak tersebut dianggap merupakan suatu tugas yang harus dilaksanakan.7
Menurut Salim HS, Perjanjian adalah "hubungan hukum antara subjek
yang satu dengan subjek yang lain dalam bidang harta, kekayaan, dimana subjek
hukum yang satu berhak atas prestasi dan begitu juga, subjek hukum yang lain
berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah
disepakatinya.8
2.1.2 Asas-asas Perjanjian
Dalam hukum perjanjian, dikenal beberapa, asas penting terhadap suatu
perjanjian, yaitu sebagai berikut :
1. Asas kontrak sebagai hukum mengatur
Hukum mengatur (aanvullen recht, optional law) adalah peraturan-
peraturan hukum yang berlaku bagi subjek hukum, misalnya para pihak dalam
7 Munir Fuady, 2008, Pengantar Hukum Bisnis, menata bisnis modem di era global. PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, h.9-10
8 Salim MS, Hukum Kontrak, 2008, Teori & Teknik Penyusunan Kontrak, Jakarta, Sinar Grafika, h. 27.
suatu kontrak. Akan tetapi, ketentuan hukum seperti ini tidak mutlak berlakunya,
karena jika para pihak mengatur sebaliknya, maka yang berlaku adalah apa yang
diatur oleh para pihak tersebut. Jadi, peraturan yang bersifat hukum mengatur
dapat disampingi oleh para pihak. Pada prinsipnya hukum kontrak tersebut ke
dalam kategori hukum mengatur, yakni sebagian besar (meskipun tidak
selundinya) dari hukum kontrak atau perjanjian tersebut dapat disampingi oleh
para pihak dengan mengaturnya sendiri. Karena itu, hukum perjanjian ini disebut
sebagai hukum yang mempunyai sistem terbuka (open system). Sebagai lawan
dari hukum mengatur adalah apa yang dimaksud dengan "hukum memkasa"
(dwingend recht, mandatory law).
Dalam hal ini yang dimaksudkan oleh hukum memaksa adalah aturan
hukum yang berlaku secara memaksa, atau mutlak, dalam arti tidak dapat
disampingi oleh para pihak yang terlibat dalam suatu perjanjian.
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) ini merupakan
konsekuensi dari berlakunya asas kontrak sebagai hukum mengatur. Dalam hal ini
yang dimaksudkan dengan asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang
mengajarkan bahwa para pihak dalam suatu kontrak pada prinsipnya bebas untuk
membuat atau tidak membuat kontrak, demikian juga kebebasannya untuk
mengatur sendiri isi kontrak tersebut, bebas menentukan bentuk, macam dan isi
perjanjian, sepanjang tetap memenuhi syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur
dalam Pasal 1320 KUHPerdata tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan.
Asas kebebasan berkontrak ini dibatasi oleh rambu-rambu hukum sebagai
berikut:
a. Harus memenuhi syarat sebagai suatu kontrak
b. Tidak dilarang oleh undang-undang
c. Tidak bertentangan dengan kebiasaan yang berlaku
d. Harus dilaksanakan dengan itikad baik.
3. Asas Pacta Sunt Servanda
Istilah "pacta sunt servanda" berarti "janji itu mengikat". Yang dimaksudkan
adalah bahwa suatu kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para
pihak tersebut secara penuh sesuai isi kontrak tersebut. Istilah terkenalnya adalah
"my word is my bonds" atau sesuai dengan tampilan bahasa Indonesia bahwa jika
sapi dipegang talinya, jika manusia dipegang mulutnya". Mengikatnya secara
penuh atas kontrak yang dibuat oleh para pihak tersebut oleh hukum kekuatannya
dianggap sama saja dengan kekuatan mengikat dari suatu undang-undang. Karena
itu apabila suatu pihak dalam kontrak tidak menuruti kontrak yang telah dibuatnya,
oleh hukum disediakan ganti rugi atau bahkan pelaksanaan kontrak secara paksa.
4. Asas Konsensual
Yang dimaksud dengan asas konsensual dari suatu kontrak adalah bahwa jika
suatu kontrak telah dibuat, maka dia telah sah dan mengikat secara penuh, bahkan
pada prinsipnya persyaratan tertulis pun tidak disyaratkan oleh hukum, kecuali
untuk beberapa jenis kontrak tertentu, yang memang dipersyaratkan syarat tertulis.
Syarat tertulis tersebut misalnya dipersyaratkan untuk jenis kontrak berikut ini :
a. Kontrak perdamaian
b. Kontrak pertanggungan
c. Kontrak penghibahan
d. Kontrak jual beli tanah
5. Asas Obligator
Asas obligator adalah asas yang menentukan bahwa jika suatu kontrak telah
dibuat, maka para pihak telah terikat, tetapi keterikatannya itu hanya sebatas
timbulnya hak dan kewajiban semata-mata. Sedangkan prestasi belum dapat
dipaksakan karena kontrak kebendaan (zakelijke overeenkomst) belum terjadi. Jadi,
jika terhadap kontrak jual beli misalnya, maka dengan kontrak saja, hak milik
belum berpindah, jadi baru terjadi kontrak obligator saja. Hak milik baru
berpindah setelah adanya kontrak kebendaan tersebut atau yang sering disebut
juga dengan serah terima. Kontrak hukum Indonesia memberlakukan asas,
obligator ini karena hukum kontrak Indonesia berdasarkan pada Kitab Undang--
undang Hukum Perdata. Sungguh pun hukum adat tentang kontrak tidak
mengakui asas obligator karena hukum adat memberlakukan asas kontrak riil.
Artinya, suatu kontrak haruslah dibuat secara riil, dalam hal ini harus dibuat
secara "terang" dan "tunai". Dalam hal ini kontrak haruslah dilakukan di depan
pejabat tertentu, misalnya di depan penghulu adat atau ketua adat, yang sekaligus
juga dilakukan leveringnya. Jika hanya sekadar janji-janji saja, seperti dalam
sistem obligator, dalam hukum adat kontrak seperti itu tidak punya kekuatan sama
sekali.
6. Asas Kepribadian
Asas ini mempunyai arti, bahwa perjanjian hanya mengikat bagi para
pihak pembuatnya. Menurut Pasal 1315 Burgerlijk Wetboek pada umumnya tidak
seorangpun dapat mengikatkan dirinya atas nama sendiri atau meminta
ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri.
Unsur-unsur di dalam suatu perjanjian yang terdiri dari :
1. Essentialia adalah unsur-unsur pokok di dalam suatu persetujuan yang
mutlak harus ada, dan tanpa itu persetujuan tidak mungkin ada.
2. Naturalia adalah Unsur naturalia merupakan unsur yang dianggap telah
ada dalam perjanjian sekalipun para pihak tidak menentukan secara tegas
dalam perjanjian, seperti itikad baik para pihak dalam melaksanakan isi
perjanjian dimana undang-undang yang menentukan sebagai ketentuan
yang bersifat mengatur.
3. Accidentalia adalah unsur tambahan dalam persetujuan, dan undang-
undang tidak mengaturnya.9
2.2 Macam-macam Perjanjian
Suatu perjanjian, merupakan suatu peristiwa di mana seorang berjanji
kepada seorang lain, atau di mana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan
sesuatu. Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, menurut
Subekti, perjanjian-perjanjian itu dibagi dalam tiga macam, yaitu :
1. Perjanjian untuk memberikan/menyerahkan suatu barang, misalnya :
a) Perjanjian jual-beli
Suatu perjanjian bertimbal balik dalam mana pihak yang satu (si penjual)
berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedangkan pihak
yang lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri atas
sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik tersebut. Sedangkan
9 Munir Fuady, op. cit, h. 11
dilihat dalam Pengaturan tentang jual beli sebagai perjanjian di dapat pada
Bab kelima yang pada pasal 1457 KUHPerdata diartikan sebagai suatu
persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirimya untuk
menyerahkan suatu kebendaan dan pihak lain untuk membayar harga yan telah
dijanjikan.
b) Perjanjian Tukar-menukar
Dalam Pasal 1541 KUHPerdata menyatakan bahwa tukar menukar ialah
suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak mengikatkan dirinya untuk
saling memberikan suatu barang secara bertimbal balik, sebagai gantinya barang
lain. Sebagaimana dengan perjanjian jual beli, perjanjian ini juga bersifat
konsensual dan sudah mengikat pada saat tercapainya kata sepakat di antara para
pihak. Dan juga bersifat obligator, dalam arti ia belum memindahkan hak milik,
tetapi baru sebatas memberikan hak dan kewajiban.
Pada saat terjadinya levering lah baru secara yuridis, hak milik berpindah.
Objek tukar menukar dalam KUHPerdata adalah semua yang dapat diperjual
belikan, maka dapat menjadi objek tukar menukar. Terhadap hal ini juga dalam
KUHPerdata menyatakan bahwa semua pengaturan jual beli juga berlaku untuk
perjanjian tukar menukar. Lebih lanjut, ketentuan pasal 1545 KUHPerdata
mengatur tentang resiko yang berbunyi : “Jika suatu barang tertentu yang telah
dijanjikan untuk ditukar, musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka persetujuan
dianggap sebagai gugur dan siapa yang dari pihaknya telah memenuhi
persetujuan, dapat menuntut kembali barang yang ia telah berikan dalam tukar
menukar”.
c) Perjanjian Sewa-menyewa
Ketentuan KUHPerdata yang mengatur tentang sewa menyewa dapat
dilihat pada pasal 1548 yang berbunyi : “sewa menyewa adalah suatu perjanjian
dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada
yang lain kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan
pembayaran suatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi
pembayarannya”.
Sebagaimana halnya dengan perjanjian lainnya, sewa menyewa adalah
perjanjian konsensual yang artinya ia sudah sah dan mengikat pada detik
tercapainya sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya yaitu barang dan harga.
Penyerahan barang untuk dapat dinikmati oleh pihak penyewa diberikan oleh
yang menyewakan, dengan mana kewajiban penyewa adalah untuk membayar
harga. Penyerahan barang hanyalah untuk dipakai dan dinikmati.
d) Perjanjian Hibah (pemberian)
Suatu perjanjian dengan mana si penghibah (pemberi hibah) pada masa
hidupnya, dengan Cuma-Cuma dan tidak dapat ditarik kembali, menyerahkan
sesuatu barang guna keperluan si penerima hibah yang menerima penyerahan
tersebut. Pengaturan atas hibah didapat pada pasal 1666 sampai dengan pasal
1693 KUHPerdata. Menelaah dari pengertian tersebut di atas, dapat diketahui
bahwa perjanjian adalah bersifat sepihak, dikarenakan dalam perjanjian ini pihak
penerima hibah tidak perlu memberikan kontraprestasi sebagai imbalan kepada
pihak pengibah. Hibah sebagaimana perjanjian lainnya adalah bersifat obligator,
penyerahan hak milik baru akan terjadi jika telah terlaksananya “levering”, yang
untuk barang tetap dilakukan melalui akta notaris sedangkan untuk barang
bergerak tidak diperlukan formalitas ini, namun demi kepentingan para pihak
sangatlah dianjurkan melalui akta notaris, terutama jika bendanya bernilai tinggi.
Dan penting juga untuk memperhatikan bahwa dalam pelaksanaannya perjanjian
hibah tetap harus memperhatikan ketentuan serta tidak bertentangan dengan
undang-undang, ketertiban umum dan kesusilaan.
e) Perjanjian Pinjam Pakai
Perjanjian pinjam pakai adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu
memberikan suatu barang kepada pihak yang lainnya untuk dipakai dengan cuma-
cuma dengan syarat bahwa yang menerima barang ini setelah memakai atau
setelah lewat waktu tertentu akan mengembalikannya. Pengaturan dalam hal ini
terdapatm pada pasal 1794 KUHPerdata. Perjanjian pinjam pakai mensyaratkan
pihak yang meminjam pakai untuk mengembalikan barangnya dan
memperlakukan barangnya sebagaimana bapak rumah yang baik dan terhadap
objeknya ditentukan adalah setiap barang yang dapat dipakai oleh orang dan
mempunyai sifat tidak musnah karena pemakaian.
2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu adalah perjanjian untuk membuat sesuatu
lukisan, perjanjian perburuhan, perjanjian untuk membikin sebuah garansi dll
3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu, misalnya : perjanjian untuk tidak
mendirikan tembok, perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang
sejenis dengan kepunyaan seorang lain dll.10
Apabila di lihat menurut Burgerlijk Wetboek dikenal beberapa macam-
macam perjanjian diantaranya yaitu :
10 Subekti, 1994, Hukum Perjanjian, bagian hukum dari buku Pokok-pokok Hukum
Perdata, cetakan X, PT. Intermasa, Jakarta, h. 36
1) Perjanjian timbal balik (bilateral contract)
Perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang memberikan hak dan
kewajiban kepada kedua belah pihak. Perjanjian ini sering kita alami dalam
kehidupan bermasyarakat, seperti perjanjian yang disebutkan oleh Subekti di atas
yaitu perjanjian jual beli, perjanjian sewa-menyewa, perjanjian tukar-menukar,
dan sebagainya.
2) Perjanjian sepihak
Perjanjian yang memberikan kewajiban kepada satu pihak dan hak kepada
pihak lainnya, missal perjanjian hibah, hadiah. Pihak yang satu berkewajiban
menyerahkan benda yang menjadi obyek perikatan, dan pihak lainnya berhak
menerima benda yang diberikan itu.
3) Perjanjian cuma-cuma
Berdasarkan Pasal 1314 ayat (1) dijelaskan bahwa suatu persetujuan dibuat
dengan cuma-cuma atau atas beban dan pada ayat (2) dijelaskan bahwa suatu
persetujuan dengan cuma-cuma adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang
satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak lain tanpa menerima manfaat
bagi dirinya sendiri misal perjanjian pinjam pakai, perjanjian hibah.
4) Perjanjian Atas Beban
Berdasarkan Pasal 1314 ayat (3) Burgerlijk Wetboek disebutkan bahwa
suatu perjanjian atas beban adalah suatu perjanjian yang mewajibkan masing-
masing pihak memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu
artinya bahwa dalam perjanjian atas beban terhadap prestasi pihak yng satu selalu
terdapat kontra prestasi dari pihak yang lain.
5) Perjanjian Bernama
Perjanjian bernama adalah perjanjian yang mempunyai nama sendiri, yang
dikelompokkan sebagai perjanjian-perjanjian khusus, karena jumlahnya terbatas,
misalnya jual beli, sewa menyewa, tukar menukar, pertanggungan.
6) Perjanjian Tidak Bernama
Perjanjian tidak bernama ialah perjanjian yang tidak diatur dalam
KUHPerdata dan terdapat di dalam masyarakat dan tetapi jumlah perjanjian ini
disesuaikan dengan kebutuhan pihak-pihak yang mengadakannya, seperti
perjanjian kerja sama, perjanjian pemasaran dan perjanjian pengelolaan. Lahirnya
perjanjian ini berdasarkan asas kebebasan berkontrak.
7) Perjanjian Obligatoir
Perjanjian obligatoir adalah perjanjian dimana pihak-pihak sepakat,
mengikatkan diri untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain.
Menurut KUHPerdat perjanjian jual beli saja tidak mengakibatkan beralihnya hak
milik atas suatu benda dari penjual kepada pembeli. Fase ini baru merupakan
kesepakatan (konsensual) dan harus diikuti dengan perjanjian penyerahan
(perjanjian kebendaan).
8) Perjanjian Kebendaan (Zakelijk)
Perjanjian kebendaan adalah perjanjian dengan mana seorang
menyerahkan haknya atas suatu benda kepada pihak lain, yang membebankan
kewajiban (oblige) pihak itu menyerahkan benda tersebut kepada pihak lain
(levering, transfer). Penyerahannya itu sendiri merupakan perjanjian kebendaan.
Dalam hal perjanjian jual beli benda tetap, maka perjanjian jual belinya
disebutkan pula perjanjian jual beli sementara (voorlopig koopcontract). Untuk
perjanjian jual beli benda-benda bergerak maka perjanjian obligatoir dan
perjanjian kebendaannya jatuh bersamaan.
9) Perjanjian Konsensual adalah persesuaian kehendak untuk mengadakan
perikatan dimana diantara kedua belah pihak telah tercapai kesepakatan.
Menurut Burgerlijk Wetboek perjanjian ini sudah mempunyai kekuatan
mengikat ( vide Pasal 1338 Burgerlijk Wetboek).
10) Perjanjian Riil
Didalam Burgerlijk Wetboek ada juga perjanjian-perjanjian yang hanya
berlaku sesudah terjadi penyerahan barang, misalnya perjanjian penitipan barang
(vide Pasal 1694 Burgerlijk Wetboek), pinjam pakai (vide Pasal 1740 Burgerlijk
Wetboek).
11) Perjanjian Liberatoir ialah Perjanjian dimana para pihak membebaskan
diri dari kewajiban yang ada, misalnya pembebasan utang (kwijtschelding)
Pasal 1438 Burgerlijk Wetboek.
12) Perjanjian Pembuktian (Bewijsovereenkomst) ialah Perjanjian dimana para
pihak menentukan pembuktian mana yang berlaku diantara mereka.
13) Perjanjian Untung-untungan ialah Perjanjian yang objeknya ditentukan
kemudian, misalnya perjanjian asuransi Pasal 1774 Burgerlijk Wetboek.
14) Perjanjian Publik yaitu keluruhan perjanjian atau sebagian perjanjian yang
dikuasai oleh hukum publik, dimana salah satu pihak yang bertindak
adalah pemerintah dan pihak lainnya swasta. Keduanya terdapat hubungan
atasan dengan bawahan, (Subordinated) dan tidak berada dalam
kedudukan yang sama (Co-ordinated), misalnya perjanjian ikatan dinas.
15) Perjanjian Campuran (Contractus Sui Generis) yaitu Perjanjian campuran
ialah perjanjian yang mengandung berbagai unsur perjanjian, perjanjian
campuran itu ada berbagai paham, yaitu paham pertama mengatakan
bahwa perjanjian khusus diterapkan secara analogis sehingga setiap unsur
dari perjanjian khusus tetap ada (contractus kombinasi), dan paham kedua
mengatakan ketentuan-ketentuan yang dipakai adalah ketentuan-ketentuan
dari perjanjian yang paling menentukan (teori absorbsi).
2.3 Sahnya Perjanjian dan akibat hukum dari perjanjian yang sah
2.3.1 Sahnya Perjanjian
Berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang mengatakan bahwa
semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya, sehingga isi diakui oleh hukum (legall concluded
contract).
Menurut ketentuan pasal 1320 KUHPerdata, syarat-syarat sahnya perjanjian
adalah :
1) Ada persetujuan kehendak antara pihak-pihak yang membuat
perjanjian (consensus)
Yang dimaksud dengan persetujuan kehendak adalah kesepakatan, seia
sekata antara pihak-pihak mengenai pokok perjanjian yang dibuat itu. Pokok
perjanjian itu berupa obyek perjanjian dan syarat-syarat perjanjian. Apa yang
dikehendaki oleh pihak yang satu juga dikehendaki oleh pihak yang lain.11 Dalam
kesepakatan, dapat ditandai oleh penawaran dan penerimaan dengan cara :
a) Tertulis
Kesepakatan dengan cara tertulis, dapat dilakukan dengan akta otentik
ataupun akta di bawah tangan. Perbedaan khas dari akta otentik dengan akta
dibawah tangan terletak dalam beban pembuktiannya sebagaimana diatur dalam
pasal 1856 KUHPerdata, 163 HIR (asas Actori incubit probatio), yaitu: apabila
akta otentik dibantah kebenarannya oleh pihak lawan, maka pihak lawan harus
membuktikan kepalsuan dari akta itu; apabila akta dibawah tangan dibantah oleh
pihak lawan, maka yang mengajukan akta di bawah tangan sebagai bukti harus
membuktikan keaslian dari akta di bawah tangan tersebut. Oleh karena itu,
pembuktian akta otentik disebut pembuktian kepalsuan sedangkan pembuktian
akta di bawah tangan adalah pembuktian keaslian.
b) Lisan
Kesepakatan secara lisan banyak terjadi dalam pergaulan masyarakat
sederhana, serta merta, sering tidak disadari namun sudah terjadi kesepakatan,
misalnya dalam kegiatan berbelanja di toko, di pasar-pasar untuk kebutuhan
sehari-hari. Kesepakatan lisan menjadi selesai dengan dilakukan penyerahan dan
penerimaan suatu barang.
11 Abdulkadir Muhammad, op. cit, h.88
c) Secara diam-diam
Kesepakatan secara diam-diam, misalnya dalam berbelanja di swalayan,
mengambil barang, menyerahkan kepada kasir dan membayar harganya, naik