18 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENENTUAN NASIB SENDIRI MENURUT HUKUM INTERNASIONAL 2.1. Penentuan Nasib Sendiri Sejak tumbangnya komunisme di Uni Soviet dan negara-negara sosialis lainnya di Eropa Timur pada akhir tahun 1990an, telah memberikan isyarat bagi berakhirnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur dan sekaligus telah berpengaruh terhadap hubungan antarnegara dan mempunyai dampak dalam tatanan hukum internasional. Namun, di pihak lain perubahan-perubahan yang cepat dan mendasar semacam itu juga telah menimbulkan fenomena-fenomena baru seperti timbulnya pertentangan etnis di banyak negara yang dapat memporak-porandakan kemerdekaan, kedaulatan dan keutuhan wilayah negara dan kemudian memicu terjadinya disintegrasi atau terpecah-pecahnya negara. 31 Hal itu terjadi pada negara bekas Uni Soviet yang kini telah terpecah- pecah menjadi 15 negara dengan personalitas hukum yang baru. Termasuk juga apa yang telah terjadi di bekas Negara Republik Demokrasi Sosialis Yugoslavia yang kini telah terpecah menjadi lima negara baru seperti Serbia dan Montenegro, Kroasia, Slovenia, Bosnia Herzegovina dan Macedonia, belum lagi yang terjadi di bekas Negara Cekoslovakia yang kemudian menjadi Republik Ceko dan Republik Slovakia. Kejadian-kejadian semacam ini sudah tentu bisa menimbulkan preseden yang sangat berbahaya bukan saja bagi perkembangan dan kelangsungan hidup 31 Sumaryo Suryokusumo, 2001, Praktek Diplomasi, Universitas Indonesia, Jakarta, h.64- 65.
28
Embed
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENENTUAN NASIB … II.pdf · internasional, seperti Kovenan ... penentuan nasib sendiri memungkinkan bagi rakyat di satuan ... penentuan nasib sendiri
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
18
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENENTUAN NASIB SENDIRI
MENURUT HUKUM INTERNASIONAL
2.1. Penentuan Nasib Sendiri
Sejak tumbangnya komunisme di Uni Soviet dan negara-negara sosialis
lainnya di Eropa Timur pada akhir tahun 1990an, telah memberikan isyarat bagi
berakhirnya Perang Dingin antara Blok Barat dan Blok Timur dan sekaligus telah
berpengaruh terhadap hubungan antarnegara dan mempunyai dampak dalam
tatanan hukum internasional. Namun, di pihak lain perubahan-perubahan yang
cepat dan mendasar semacam itu juga telah menimbulkan fenomena-fenomena
baru seperti timbulnya pertentangan etnis di banyak negara yang dapat
memporak-porandakan kemerdekaan, kedaulatan dan keutuhan wilayah negara
dan kemudian memicu terjadinya disintegrasi atau terpecah-pecahnya negara.31
Hal itu terjadi pada negara bekas Uni Soviet yang kini telah terpecah-
pecah menjadi 15 negara dengan personalitas hukum yang baru. Termasuk juga
apa yang telah terjadi di bekas Negara Republik Demokrasi Sosialis Yugoslavia
yang kini telah terpecah menjadi lima negara baru seperti Serbia dan Montenegro,
Kroasia, Slovenia, Bosnia Herzegovina dan Macedonia, belum lagi yang terjadi di
bekas Negara Cekoslovakia yang kemudian menjadi Republik Ceko dan Republik
Slovakia. Kejadian-kejadian semacam ini sudah tentu bisa menimbulkan preseden
yang sangat berbahaya bukan saja bagi perkembangan dan kelangsungan hidup
31
Sumaryo Suryokusumo, 2001, Praktek Diplomasi, Universitas Indonesia, Jakarta, h.64-
65.
19
negara, tetapi juga kemerdekaan (independence), kedaulatan (sovereignity) serta
yang terpenting lagi adalah keutuhan wilayah (territorial integrity) suatu negara.
Hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan suatu prinsip hukum
internasional yang dapat ditemukan sebagai norma dalam berbagai perjanjian
internasional, seperti Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (International
Covenant on Civil and Political Rights) yang memuat tentang Hak Asasi Manusia
(HAM) tertentu dan hak ini menyatakan bahwa semua negara (all states) atau
bangsa (peoples) mempunyai hak untuk membentuk sistem politiknya sendiri dan
memiliki aturan internalnya sendiri; secara bebas untuk mengejar pembangunan
ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri; dan untuk menggunakan sumber daya
alam mereka yang dianggap cocok. Hak untuk menentukan nasib sendiri adalah
hak dari suatu masyarakat kolektif tertentu seperti untuk menentukan masa depan
politik dan ekonominya sendiri dari suatu bangsa, tunduk pada kewajiban-
kewajiban menurut hukum internasional.32
Dalam berbagai literatur hukum internasional belum didefinisikan secara
jelas apa yang dimaksud dengan bangsa (peoples) dalam rangka menuntut
(claiming) hak untuk menentukan nasib sendiri. Terdapat banyak kontroversi dan
kebingungan dalam hal ruang lingkup (scope) dan penerapan dari hak ini.
Namun, demikian hak untuk menentukan nasib sendiri secara normatif
telah diatur dalam berbagai instrumen hukum internasional, antara lain, yaitu
Pasal 1 ayat (2) Piagam PBB yang menyatakan bahwa salah satu tujuan dari PBB
adalah untuk membangun hubungan baik antara bangsa-bangsa berdasarkan
32
H. Victor Conde, 1999, A Handbook of International Human Rights Terminology,
University of Nebraska Press, Nebraska, h.135.
20
kehormatan untuk prinsip kesamaan hak dan penentuan nasib sendiri dari rakyat.33
Pasal 1 ayat (1) Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (Internastional
Covenant on Civil and Political Rights) dan Kovenan Internasional Hak-hak
Ekonomi, Sosial dan Budaya (Internasional Covenant on Economic, Social and
Cultural Rights) menyatakan bahwa semua orang telah diberikan kebebasan untuk
menentukan status politik, perkembangan ekonomi, sosial dan kebudayaan.34
Dengan kata lain, setiap bangsa adalah bebas untuk membangun institusi politik,
membangun sumber daya ekonominya, dan untuk mengatur perubahan sosio-
kulturalnya sendiri, tanpa ada intervensi dari bangsa lain. Resolusi Majelis Umum
PBB Nomor 1514 (XV) 14 Desember 1960 tentang Deklarasi Pemberian
Kemerdekaan kepada bangsa dan negara terjajah; Resolusi Majelis Umum PBB
Nomor 2625 (XXV) 24 Oktober 1970 mengenai Deklarasi tentang Prinsip-prinsip
Hukum Internasional tentang Kerjasama dan Hubungan Bersahabat di antara
negara-negara dan hubungan bersahabat sesuai dengan Piagam PBB; Deklarasi
Wina Tahun 1993 yang mengkonfirmasi ulang dalam hubungannya dengan bagian
Pasal 1 dari Kovenan PBB tentang HAM.
Dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 1514/1960 dan Kovenan Hak-
hak SIpil dan Politik (ICCPR) memang tidak dibedakan antara “right to” dan
“right of self-determination”. Juga dalam praktek, keduanya digunakan secara
rancu. Sebenarnya terdapat dua jenis atau tingkatan penentuan nasib sendiri, yaitu
Right to self-determination dan Right of self-determination.35
33
Piagam PBB Pasal 1 ayat (2). 34
Kumbaro, Op.Cit, h.13. 35
Hassan Wirajuda, 1999, Hak Asasi Manusia Tanggung Jawab Negara Peran Institusi
Nasional dan Masyarakat, Komnas HAM, Jakarta, h.126-127.
21
2.1.1. Pengertian Right to Self-Determination
Merupakan hak yang bersifat sekali dan tidak dapat dipecah, untuk
membentuk suatu negara (Integrasi atau Asosiasi). Pelaksanaan “right to self-
determination” yang diwujudkan melalui kemerdekaan dalam rangka membentuk
atau mendirikan negara (state), baik untuk membebaskan diri dari penjajahan,
maupun untuk berintegrasi atau berasosiasi dengan negara yang lain. Hal itu
dilakukan hanya sekali dan untuk selamanya.36
2.1.2. Pengertian Right of Self-Determination
Hak menentukan nasib sendiri (right of self determination) diakui
sebagai suatu norma yang mengikat dalam masyarakat internasional dan telah
diakui menjadi prinsip dasar hukum internasional umum yang diterima yang
sering disebut dengan Jus Cogens.37
Prinsip ini membatasi kehendak bebas negara
dalam menangani masalah gerakan separatis yang terjadi di wilayahnya dengan
tetap mengacu pada kaidah hukum internasional yang mengancam validitas setiap
persetujuan-persetujuan ataupun aturan dan cara-cara yang ditempuh negara yang
bertentangan dengan hukum internasional, karena penentuan nasib sendiri diakui
oleh masyarakat Internasional sebagai HAM yang harus dihormati.38
Pengertian hak untuk menentukan nasib sendiri (the rights of self
determination) dapat dijelaskan dalam dua arti. Pertama dapat diartikan sebagai
hak dari suatu bangsa dalam sebuah negara untuk menentukan bentuk
pemerintahannya sendiri. Hak demikian sudah diakui dalam hukum internasional.
36
Sugeng Bahagijo dan Asmara Nababan, 1999, Hak Asasi Manusia dan Tanggung
Jawab Negara Peran Institusi Nasional dan Masyarakat, Jakarta, h.126-127. 37
Rafika Nur, Op.Cit, h.71. 38
Ibid.
22
Kedua, hak menentukan nasib sendiri dapat berarti sebagai hak dari
sekelompok orang atau bangsa untuk mendirikan sendiri suatu negara yang
merdeka. Konsep self determination ini menjadi perhatian serius oleh PBB ketika
pada tanggal 26 Juni 1945 Piagam PBB ditandatangani di SanFransisco.
Hak penentuan nasib sendiri (The Right of Self Determination) oleh
suatu bangsa pada prakteknya berawal dari Revolusi Amerika dan Revolusi
Perancis di abad ke delapan belas. Hak ini berkembang sejalan dengan
perkembangan politik dunia, permasalahan etnis, dan pemberontakan dari etnis di
Amerika dan Eropa.
Gagasan self determination yang dikemukakan oleh Presiden Wilson
dalam pidatonya di depan Kongres Amerika serikat pada tanggal 8 Januari 1918,
yang kemudian ditegaskan lagi dalam naskah Konvenan Liga Bangsa-bangsa
(LBB) yang diusulkan, yang antara lain menyebutkan:
The contracting powers unite guaranteeing...territorial readjustment...as many in the future become necessary by reason of change in the present social conditions and aspirations or present social and political relationship, pursuant to the principle of self determination.
39
Maksud dari gagasan tersebut sebenarnya adalah agar diberikan
kesempatan pasca perang dunia I berdasarkan asas demokrasi kepada golongan-
golongan minoritas di Eropa untuk menentukan nasibnya sendiri dengan
membentuk negara-negara merdeka yang tidak dimasukan dalam wilayah negara-
negara yang menang perang.
39
Sefriani, 2009, Hukum Internasional Suatu Pengantar, Rajawali Press, Jakarta, h.113.
23
2.2. Pengaturan Penentuan Nasib Sendiri
Dalam perkembangan selanjutnya, prinsip penentuan nasib sendiri telah
dimasukkan dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 55 Piagam PBB. Dengan
pencantuman prinsip tersebut sebagai aturan hukum internasional untuk
menyetujui prinsip tersebut. Dengan demikian, pasal 1 ayat (2) dan Pasal 55
Piagam PBB mengenai prinsip penentuan nasib sendiri merupakan ketentuan-
ketentuan dari suatu perjanjian internasional yang mengikat semua anggota
negaranya.
Hak menentukan nasib sendiri (the right to self-determination) untuk
pertama kali dirumuskan dalam Piagam PBB yang ditandatangani tanggal 26 Juni
1945. Prinsip penentuan nasib sendiri merupakan salah satu dari empat tujuan
PBB. Prinsip ini telah memainkan peran penting dalam pemberian kemerdekaan
kepada negara-negara jajahan, wilayah-wilayah perwalian dan negara-negara yang
tidak berpemerintahan sendiri yang lain.40
Prinsip penentuan nasib sendiri memungkinkan bagi rakyat di satuan
wilayah jajahan dapat menentukan secara bebas status politiknya sendiri.
Penentuan nasib sendiri semacam itu dapat menciptakan kemerdekaan, bergabung
dengan negara tetangga dan persekutuan secara bebas dengan suatu negara
merdeka atau status politik lainnya yang diputuskan secara bebas oleh rakyat yang
bersangkutan. Penentuan nasib sendiri juga mempunyai peranan dalam
hubungannya dengan pembentukan negara, mempertahankan kedaulatan dan
40
Malcolm N. Shaw, 1997, International Law, Third Edition, Grotius Publication,
Cambridge, England, h.177
24
kemerdekaan negara, dalam merumuskan kriteria untuk penyelesaian perselisihan
dan di bidang kedaulatan yang tetap dari negara terhadap sumber alam.41
Lebih dari 80 bangsa yang rakyatnya berada di bawah pemerintahan
kolonial telah bergabung ke dalam PBB sebagai negara-negara merdeka yang
berdaulat sejak organisasi dunia itu berdiri tahun 1945. Banyak wilayah lain yang
telah mencapai penentuan nasib sendiri melalui penggabungan politik dengan
negara-negara merdeka lainnya, atau melalui integrasi dengan negara-negara lain.
PBB telah memainkan peran yang sangat penting dalam perubahan bersejarah
tersebut dengan mendorong aspirasi bangsa-bangsa yang belum merdeka dan
dengan menetapkan tujuan dan standar guna meningkatkan pencapaian
kemerdekaan bagi mereka. PBB juga telah melakukan pengawasan terhadap
pemilihan umum yang membuka pintu menuju kemerdekaan.42
Instrumen-instrumen Hukum Internasional yang mengatur tentang hak
menentukan nasib sendiri untuk dapat merdeka dan bebas dari kekuasaan asing
antara lain sebagai berikut :
1. Piagam PBB
Meskipun Piagam PBB hanya sedikit memberikan pengaturan
tentang “self-determination,” akan tetapi Piagam PBB telah
memberikan beberapa doktrin mengenai hak penentuan nasib sendiri.
Prinsip-prinsip mengenai penentuan nasib sendiri dengan jelas
41
Tsani B. Maimoen S., 1997, Instrumen Internasional Pokok-Pokok Hak Asasi Manusia,
Obor Indonesia, Jakarta, h.261. 42
The United Nation, 2003, Basic Fact About The United Nations (Pengetahuan dasar
tentang Perserikatan Bangsa-Bangsa), United Nations Department of Public Information, New
York, h.290.
25
disebutkan adalah pertama kali pada Pasal 1 ayat (2) dan kemudian
pada Pasal 55 Piagam PBB.
Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa salah satu tujuan dari PBB
adalah untuk membangun hubungan baik antara bangsa-bangsa
berdasarkan kehormatan untuk prinsip kesamaan hak dan penentuan
nasib sendiri dari rakyat. Pasal 55 mendorong PBB untuk
meningkatkan standar kehidupan masyarakat dunia, mencari solusi
terhadap masalah kesehatan dan kebudayaan masyarakat dunia, serta
penghormatan universal terhadap Hak Asasi Manusia; “With a view to
the creation of conditions of stability and well-being which are
necessary for peaceful and friendly relations among nations based on
respect for the principle of equal rights and self determination of
peoples…”
Pengaturan Piagam PBB ini secara keseluruhan masih belum
lengkap dalam hal substansi dari self-determination. Penentuan nasib
sendiri dalam Piagam PBB hanya terkesan sebagai sebuah prinsip saja
dan bukan merupakan suatu hak yang dimiliki setiap bangsa di dunia.
Piagam PBB tidak mengatur bagaimana hak suatu bangsa yang belum
merdeka bisa mendapatkan kemerdekaannya.43
Oleh karena itu,
mengenai penentuan nasib sendiri diatur lebih lanjut dalam konvensi-
konvensi yang lahir berikutnya.
43
Thornberry P, 1993, The Democratic or Internal Aspect of Self-determination, dalam
Tomuscat, C. (ed), Modern Law of Self-determination, Martinus Nijhoff Publishers, h.108.
26
2. Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights) (DUHAM) (1948)
Menurut pokok-pokok hak asasi manusia dan kebebasan dasar,
termasuk cita-cita manusia yang bebas untuk menikmati kebebasan
sipil dan politik. Hal ini dapat dicapai salah satu dengan diciptakannya
kondisi dimana setiap orang dapat menikmati hak-hak sipil dan politik
yang diatur berdasarkan ketentuan-ketentuan internasional.
3. Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, Ekonomi, Sosial dan
Budaya (International Covenant of Civil and Political Rights,
Economic, Social and Cultural Rights) (ICCPR) (1966)
Menurut Pasal 1 ayat 1 dari Kovenan, semua orang telah diberikan
kebebasan untuk menentukan status politik, perkembangan ekonomi,
sosial dan kebudayaan. Dengan kata lain, setiap bangsa adalah bebas
untuk membangun institusi politik, membangun sumber daya
ekonominya, dan untuk mengatur perubahan sosio-kulturalnya sendiri,
tanpa ada intervensi dari bangsa lain. Meskipun demikian banyak
usulan dari sarjana hukum internasional bahwa hak suatu bangsa untuk
menentukan “status politik” harus dimasukkan dalam suatu pasal
tersendiri di dalam ICCPR dan serupa dengan itu, hak untuk
menentukan status ekonomi, sosial dan kebudayaan juga harus
dimasukkan dalam pasal tersendiri di dalam ICCPR.44
Suatu bangsa
44
Dajena Kumbaro, 2001, The Kosovo Crisis in an International Law Perspective; Self-
Determination, Territorial Integrity and The NATO Intervention, NATO Office of Information and
Press 2001, h.8.
27
atau negara yang tidak dapat menentukan sendiri status politiknya juga
tidak dapat menentukan hak ekonomi, sosial, dan kebudayaannya
sendiri dan sebaliknya.
2.3. Kasus-Kasus Penentuan Nasib Sendiri
2.3.1. Kemerdekaan Kosovo atas Serbia dalam Perspektif Hukum
Internasional
Sejak berakhirnya perang dingin, mayoritas konflik yang
terjadi di dunia muncul dalam bentuk pertentangan etnis,
agama dan konflik yang bersifat lokal. Secara faktual, tatanan
dunia dewasa ini ditandai dengan penghancuran suatu negara
nasional sebagai akibat dari perang sipil antar etnis.45
Hal
tersebut dibuktikan dengan kenyataan yang terjadi di belahan
Eropa Timur, antara lain, seperti yang terjadi di Republik
Federal Yugoslavia, yaitu terjadinya pemecahan negara
tersebut sebagai suatu kasus suksesi negara (state succession)
dan kemudian negara Yugoslavia yang baru hanya terdiri dari
Serbia dan Montenegro.
Pada hari Minggu, tanggal 17 Februari 2008, Parlemen
Kosovo secara unilateral mendeklarasikan kemerdekaannya
serta menetapkan Hashim Taci sebagai Perdana Menteri dan
Fatmir Sejdiu sebagai Presiden. Kemerdekaan secara sepihak
ini, kemudian menimbulkan polemik dan reaksi yang
45
John A. Macinnis, 2006, The Role of United Nations with respect to the Means for
Accomplishing the Maintenance and Restoration of Peace, 26 (1) Georgia Journal of International
and Comparative Law, h.2
28
bermacam-macam (pro dan kontra), bahkan menimbulkan
perpecahan di kalangan negara-negara yang duduk sebagai
anggota tetap Dewan Keamanan PBB, padahal, kesatuan sikap
sangat dibutuhkan untuk memutuskan status final dari Kosovo.
Di dalam negara Serbia, kemerdekaan Kosovo justru telah
menimbulkan masalah baru, yaitu timbulnya gejolak berupa
protes hingga aksi kekerasan yang menolak kemerdekaan
tersebut. Hal itu, misalnya, terjadi di wilayah yang didominasi
oleh etnis Serbia seperti di Mitrovica, di mana dua granat
tangan dilemparkan ke sebuah gedung pengadilan PBB dan
kemudian meledak. Sementara yang satunya dilemparkan ke
arah sebuah rumah misi Uni Eropa yang baru, tapi meleset.
Kemudian di Belgrade, para demonstran yang berkisar 1.000
orang telah melempari dengan batu dan merusak jendela-
jendela Kedutaan Besar Amerika.46
Kosovo yang merupakan provinsi Yugoslavia/Serbia itu
berpenduduk 2,1 juta, terdiri dari 90% etnis Albania yang
Muslim, 5,3% etnis Serbia yang Katholik Ortodoks, selebihnya
etnis Bosnia dan minoritas lan. Selama bertahun-tahun, etnis
Albania merasa didiskriminasi oleh Pemerintah Serbia di
Belgrade, menjadi sasaran kekerasan dan tindakan represif.
Perkembangan situasi ini mendorong terjadinya perang antara