32 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM SISTEM PELAKSANAAN PIDANA DI INDONESIA A. Pengertian dan unsur Tindak Pidana 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit” perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dengan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri. Tindak pidana biasanya disamakan dengan delik, yang berasal dari bahasa latin yakni kata delictum. Delik tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai berikut : “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”. 32 Istilah tindak pidana sebagai terjamahan dari strafbaarfeit menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku seseorang. Hal-hal tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana. Mengenai kewajiban untuk berbuat tetapi tidak berbuat, yang di dalam undang- undang menentukan pada Pasal 164 KUHP, ketentuan dalam pasal ini mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib 32 https://kbbi.web.id/delik, diakses pada Sabtu 25 Mei 2019, pukul 12.55 WIB
39
Embed
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBEBASAN BERSYARAT …repository.unpas.ac.id/43104/7/G. BAB 2.pdf · 2019-09-09 · 32 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM SISTEM
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
32
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PEMBEBASAN BERSYARAT DALAM
SISTEM PELAKSANAAN PIDANA DI INDONESIA
A. Pengertian dan unsur Tindak Pidana
1. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana merupakan terjemahan dari “strafbaar feit”
perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan dengan mana
disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa
yang melanggar larangan tersebut. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
tidak terdapat penjelasan mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan
strafbaar feit itu sendiri. Tindak pidana biasanya disamakan dengan delik,
yang berasal dari bahasa latin yakni kata delictum.
Delik tercantum dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia sebagai
berikut : “Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena
merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana”.32
Istilah tindak pidana sebagai terjamahan dari strafbaarfeit
menunjukkan pengertian gerak-gerik tingkah laku seseorang. Hal-hal
tersebut terdapat juga seseorang untuk tidak berbuat, akan tetapi dengan
tidak berbuatnya dia, dia telah melakukan tindak pidana. Mengenai
kewajiban untuk berbuat tetapi tidak berbuat, yang di dalam undang-
undang menentukan pada Pasal 164 KUHP, ketentuan dalam pasal ini
mengharuskan seseorang untuk melaporkan kepada pihak yang berwajib
32 https://kbbi.web.id/delik, diakses pada Sabtu 25 Mei 2019, pukul 12.55 WIB
33
apabila akan timbul kejahatan, ternyata dia tidak melaporkan, maka ia
dapat dikenai sanksi. Seperti diketahui istilah strafbaarfeit telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia yang menimbulkan berbagai
arti, umpamanya saja dapat dikatakan sebagai perbuatan yang dapat atau
boleh dihukum, peristiwa pidana, perbuatan pidana, tindak pidana.
Konsep hukum indonesia terdapat beberapa perbedaan dalam
menyebutkan istilah tindak pidana. Ada yang menyebutkan istilah tindak
pidana tersebut sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana dan delik.
Sedangkan dalam bahasa Belanda istilah tindak pidana tersebut dengan
“strafbaarfeit” atau delict. Berikut ini pendapat beberapa sarjana mengenai
tindak pidana:
Menurut Roeslan Saleh, perbuatan pidana adalah perbuatan
yang bertentangan dengan tata ketertiban yang dikehendaki oleh
hukum. Menurut Wirjono Prodjodikoro, tindak pidana adalah
suatu perbuatan yang terhadap pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana. Sedangkan menurut Tresna, peristiwa pidana
itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia
yang bertentangan dengan undang-undang dan peraturan
perundang-undangan lain terhadap perbuatan mana diadakan
tindakan penghukuman.33
Kemudian dari beberapa pengertian tentang tindak pidana tersebut di
atas dapat disamakan dengan istilah tindak pidana, peristiwa pidana atau
delik. Mengenai arti strafbaarfeit perlu juga diketahui pendapat para
sarjana. Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana, yaitu:
“perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum, larangan mana disertai
33 Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban pidana, Aksara Baru, Jakarta,
2003, hlm. 53.
34
ancaman sanksi yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa larangan
tersebut”.34
Sementara perumusan strafbaarfeit Menurut Van Hamel, adalah
kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan
hukum yang patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Sedangkan,
menurut Simon strafbaarfeit adalah kelakuan atau hendeling yang
diancam dengan pidana yang bersifat melawan hukum yang berhubungan
dengan kesalahan oleh orang yang mampu bertanggungjawab.35
Berdasarkan pendapat diatas dapat dijelaskan bahwa didalam
perbuatan pidana didapatkan adanya suatu kejadian tertentu, serta adanya
orang-orang yang berbuat guna menimbulkan suatu akibat karena
melanggar peraturan perundang-undangan yang ada, atau dapat diartikan
pula tindak pidana merupakan perbuatan yang dipandang merugikan
masyarakat sehingga pelaku tindak pidana itu harus dikenakan sanksi
hukum yang berupa pidana.
2. Unsur-unsur Tindak Pidana
Menurut Lamintang, bahwa setiap tindak pidana dalam KUHP pada
umumnya dapat dijabarkan unsur-unsurnya menjadi dua macam, yaitu
unsur subyektif dan unsur obyektif. Unsur-unsur ”subyektif” adalah unsur-
unsur yang melekat pada diri si pelaku atau yang berhubungan dengan diri
si pelaku dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung
di dalam hatinya. Unsur ”obyektif” itu adalah unsur-unsur yang ada
34 C.S.T. Kansil dan Christine S.T. Kansil, Pokok-pokok Hukum Pidana, Pradnya Paramita,
Jakarta, 2004, hlm. 54.
35 Moeljatno, Asas-asas Hukum Pidana, Cet. 9, Rineka Cipta, Jakarta, 2015, hlm. 56.
35
hubungannya dengan keadaan-keadaan, yaitu keadaan-keadaan di mana
tindakan dari si pelaku itu harus dilakukan.36
Unsur-unsur tindak pidana yang diberikan beberapa tokoh memiliki
perbedaan, tetapi secara prinsip intinya sama. Adapun unsur-unsur tindak
pidana dapat dibedakan menjadi 2 (dua) segi yaitu :
a. Unsur Subyektif
Yaitu hal-hal yang melekat pada diri si pelaku atau berhubungan
dengan si pelaku, yang terpenting adalah yang bersangkutan
dengan batinnya. Unsur subyektif tindak pidana meliputi :
a) Kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa);
b) Niat atau maksud dengan segala bentuknya;
c) Ada atau tidaknya perencanaan;
b. Unsur Obyektif
Merupakan hal-hal yang berhubungan dengan keadaan lahiriah
yaitu dalam keadaan mana tindak pidana itu dilakukan dan berada
diluar batin si pelaku.
a) Memenuhi rumusan undang-undang
b) Sifat melawan hukum;
c) Kualitas si pelaku;
d) Kausalitas, yaitu yang berhubungan antara penyebab tindakan
dengan akibatnya.
36 P.A.F. Lamintang dan Franciscus Theojunior Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Di
Indonesia, PT Sinar Grafika, Jakarta, 2014, hlm. 179.
36
Pada dasarnya unsur tindak pidana tidak terlepas dari dua faktor yaitu
faktor yang ada dalam diri si pelaku itu sendiri dan faktor yang timbul dari
luar diri si pelaku atau faktor lingkungan.
3. Jenis-jenis Tindak Pidana
Menurut sistem KUHP, dibedakan antara Kejahatan terdapat dalam
Buku II dan Pelanggaran dimuat dalam Buku III. Kejahatan adalah
perbuatan yang bertentangan dengan keadilan meskipun peraturan
perundang-undangan tidak mengancamnya dengan pidana. Sedangkan
Pelanggaran atau tindak pidana undang-undang adalah perbuatan yang
oleh masyarakat baru dirasa sebagai tindak pidana karena ada peraturan
perundang-undangan yang mengaturnya. Menurut M.v.T (Memorie van
Toelichting) yang dikutip oleh Moeljatno, bahwa kejahatan adalah
“rechtsdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan yang meskipun tidak
ditentukan dalam undang-undang, sebagai perbuatan pidana, telah
dirasakan sebagi perbuatan yang bertentangan dengan tata hukum.
Sedangkan pelanggaran adalah “wetsdelicten” yaitu perbuatan-perbuatan
yang sifatnya melawan hukumnya baru dapat diketahui setelah ada
ketentuan yang menentukan demikian.37
Kitab Undang-undang Hukum Pidana, pembagian atas kejahatan dan
pelanggaran didasarkan pada berat ringannya pidana. Kejahatan terdapat
dalam Buku II, dan Pelanggaran diatur dalam Buku III. Ancaman pidana
37 Moeljatno, Op. Cit., 71.
37
dalam kejahatan relatif lebih berat daripada pelanggaran. Beberapa
perbedaan tersebut dapat dilihat dari :
a) Dalam hal percobaan, hanya kejahatan yang dapat dipidana,
sedangkan percobaan dalam pelanggaran tidak dipidana.
b) Hal pembantuan, pembantuan dalam hal melakukan tindak pidana
kejahatan dapat dipidana, dalam hal pembantuan melakukan tindak
pidana pelanggaran tidak dipidana.
c) Dalam hal penyertaan yang dilakukan terhadap tindak pidana
menggunakan alat percetakan hanya berlaku bagi kejahatan,
sedangkan dalam pelanggaran tidak berlaku.
d) Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia hanya
diberlakukan bagi setiap pegawai negeri yang di luar wilayah
hukum Indonesia melakukan kejahatan jabatan, dan bukan
pelanggaran jabatan.
e) Tenggang daluwarsa, baik untuk hak menentukan maupun hak
penjalanan pidana bagi pelanggaran adalah lebih pendek dari pada
kejahatan.
f) Dalam hal perbarengan perbuatan (concursus), system penjatuhan
pidana dalam concursus kejahatan menggunakan sistem absorbsi
yang diperberat, sedangkan dalam concursus pelanggaran
menggunakan sistem kumulasi murni.
Tindak pidana formil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan
menitik beratkan pada perbuatan yang dilarang. Jika seseorang telah
38
berbuat sesuai dengan rumusan delik maka orang itu telah melakukan
tindak pidana (delik), tidak dipermasalahkan bagaimana akibat dari
perbuatan itu. Contoh : Pasal 362 KUHP tentang Pencurian, yang
dirumuskan sebagai perbuatan yang berwujud, ‘mengambil barang’ tanpa
mempersoalkan akibat tertentu dari pengambilan barang tersebut.
Tindak pidana materiil adalah tindak pidana yang dirumuskan dengan
menitik beratkan pada akibat yang dilarang atau tidak dikehendaki. Tindak
pidana ini baru selesai jika akibatnya sudah terjadi sedangkan cara
melakukan perbuatan itu tidak dipermasalahkan. Contoh : Pasal 338
KUHP tentang Pembunuhan, yang dirumuskan sebagai perbuatan yang
‘mengakibatkan matinya’ orang lain.
Terdapat tindak pidana formil materiil yaitu terdapat dalam pasal 378
KUHP tentang penipuan dimana selain menitik beratkan pada perbuatan
yang dilarang yaitu memakai nama palsu atau keadaan yang palsu juga
menitik beratkan pada akibat untuk menghapuskan piutang atau membuat
hutang yang merupakan akibat yang dilarang.
Tindak pidana dolus adalah tindak pidana yang memuat unsur
kesengajaan dalam rumusannya. Contoh : Pasal 338 KUHP tentang
Pembunuhan (sengaja), dan Pasal 187 KUHP tentang kesengajaan
membakar atau menyebabkan peletusan atau banjir. Tindak pidana culpa
adalah tindak pidana yang memuat unsur kealpaan dalam perumusannya.
Contoh : Pasal 359 KUHP tentang kealpaan yang menyebabkan orang mati
atau luka.
39
Tindak pidana dalam bentuk pokok dirumuskan secara lengkap,
artinya semua unsur yang tercantum dalam rumusan pasalnya telah ditulis
secara lengkap dengan kata lain terkandung pengertian yurudis dari tindak
pidana tersebut, contoh Pasal 362 tentang pencurian. Sedangkan dalam
bentuk yang diperberat maupun yang diperingan menyebutkan kualifikasi
pasal dalam bentuk pokoknya, yang kemudian ditambahkan unsur yang
bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan.
Adanya faktor yang memberatkan maupun faktor yang meringankan,
maka ancaman pidana menjadi lebih berat maupun menjadi lebih ringan
daripada dalam pasal bentuk pokoknya. Contoh tindak pidana yang
diperberat : Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana (unsur yang
memperberat ialah adanya perencanaan terlebih dahulu), contoh tindak
pidana yang diperingan : Pasal 341 KUHP tentang pembunuhan yang
dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya yang baru lahir (unsur yang
memperingan yaitu terletak pada subyek hukumnya : seorang ibu).
B. Tinjauan Umum Pembebasan Bersyarat
1. Pengertian Pembebasan Bersyarat
Pengertian Pembebasan Bersyarat terdapat pada Pasal 43 Peraturan
Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 Tentang Perubahan Kedua Atas
Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 Tentang Syarat dan Tata
Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, yakni Pembebasan
bersyarat adalah proses pembinaan narapidana di luar Lembaga
Pemasyarakatan setelah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga)
40
masa pidananya dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut
minimal 9 (sembilan) bulan.
Pembebasan bersyarat tersebut merupakan bagian dari fungsi
Lembaga Pemasyarakatan, yang merupakan salah satu dari bagian sistem
peradilan pidana Indonesia, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan.38
Ketentuan mengenai pembebasan bersyarat di dalam peraturan
perundang-undangan Indonesia, pertama kalinya termuat dengan istilah
pelepasan bersyarat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP), dimana penyusunan KUHP dibuat berdasarkan Wetboek van
straftrecht voor Nederlandsch-Indie, yang Hukum Pidana itu sendiri.
Keberadaan ketentuan pelepasan bersyarat dalam Wetboek van
straftrecht voor Nederlandsch-Indie terpengaruh oleh sistem pidana
penjara di Inggris (progressive system), dimana rangka pengembalian
terpidana dengan baik ke masyarakat.39
Pengertian pelepasan bersyarat tidak secara tersurat dituliskan dalam
KUHP. Ketentuan pelepasan bersyarat dalam KUHP yang ditetapkan
dengan K.B. No.33 tanggal 15 Oktober 1955 yang berlaku di Indonesia
pada tanggal 1 Januari 1918 (vide Stb. 1917-497 jo 645).40 mengalami
perubahan melalui Stb. 1926-251 jo 486.29 Pada Pasal 15 lama ditentukan
38 Petrus Irwan Pandjaitan dan Wiwik Sri Widiarty, Pembaharuan pemikiran DR. Sahardjo
Mengenai Pemasyarakatan Narapidana, IHC, Jakarta, 2008, hlm. 23.
39 E.Y. Kanter dan S. R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya,
Storia Grafika, Cet. 3, Jakarta, 2002, hlm. 473.
40 Bambang Poernomo, Pelaksanaan Pidana Penjara Dengan Sistem Pemasyarakatan,
Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 87.
41
bahwa pelepasan bersyarat diterapkan kepada penjatuhan Pidana penjara
yang panjang.
Pelepasan bersyarat akan diberikan apabila tiga perempat dari
pidananya telah dijalani dalam penjara, yang sekurang-kurangnya harus
tiga tahun. Sedangkan pada Pasal 15 KUHP yang diubah dengan Stb 1926-
251 jo 486, yang merupakan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang
berlaku hingga sekarang, pelepasan bersyarat dapat diberikan kepada
terpidana yang telah menjalani 2/3 (dua per tiga) dari lamanya pidana
penjara yang dijatuhkan kepadanya, yang sekurangkurangnya harus 9
(sembilan) bulan, dimana ketentuan ini juga berlaku pada saat istilah
pembebasan bersyarat digunakan. Selanjutnya, dalam peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai pelepasan bersyarat, yaitu
KUHP dan Ordonansi Pelepasan Bersyarat. (Voorwaardelijke
Invrijheidsteeling) S. 1917-749, tidak terdapat ketentuan mengenai
bimbingan dan pembinaan terhadap terpidana yang menjalani pembebasan
bersyarat. Hal tersebut berbeda pada saat istilah pembebasan bersyarat
digunakan, yakni terdapat pengaturan mengenai bimbingan dan pembinaan
dalam ketentuan pembebasan bersyarat, yaitu dalam Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang menyatakan bahwa
terpidana yang menjalani pembebasan bersyarat wajib mengikuti
bimbingan yang diberikan oleh Balai Pemasyarakatan (BAPAS).
Berdasarkan dari tujuan daripada penjatuhan pidana selain pembalasan
kepada pelaku atas kejahatannya juga bermaksud mengamankan
42
masyarakat, dari kedua tujuan tersebut juga bermaksud untuk
mempersiapkan dan memberikan narapidana tersebut bekal saat
dikembalikan ke dalam masyarakat. Pembinaan narapidana yang
dilaksanakan berdasarkan system kemasyrakatan diharapkan mampuh
untuk mencapai tujuan-tujuan dari pemidanaan, untuk mewujudkan tujuan
tersebut salah satu upayanya adalah dengan pemberian pembebasan
bersyarat. Pelepasan bersyarat pada awalnya dikenal di dalam Wetboek
Van Strafrecht (WvS) Belanda, kemudian dirubah dengan Stb. 1926 No.
251 jo 486 yang merupakan kelanjutan dari Stb. 1917 No. 749 yang saat
ini dikenal sebagai Ordonnantie Op De Voorwaardelijke Invrjheids
Stelling.
2. Dasar Hukum Pembebasan Bersyarat
Hak untuk memperoleh pembebasan bersyarat bagi setiap narapidana
merupakan salah salah satu Hak yang dapat digunakan oleh Warga Binaan
sesuai aturan yang berlaku. Hak untuk mendapatkan pembebasan bersyarat
itu sendiri perlu mendapat jaminan atas pelaksanaannya. Berikut beberapa
peraturan yang mengatur mengenai pembebasan bersyarat di Indonesia,
yaitu :
1. Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Dasar 1945 menyatakan:
“Negara Indonesia adalah Negara Hukum.” Negara yang berdasarkan
atas hukum harus menjamin persamaan (equality) setiap individu,
termasuk kemerdekaan individu untuk menggunakan hak asasinya.
43
2. TAP MPR Nomor X/MPR/1998, yakni menciptakan ketertiban umum
dan keadilan serta perlindungan terhadap hak asasi manusia.
3. Pasal 15 dan Pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Pasal 15 KUHP:
1) Jika terpidana telah menjalani dua pertiga dari lamanya pidana
penjara yang dijatuhkan kepadanya, sekurang-kurangnya harus
sembilan bulan, maka ia dapat dikenakan pelepasan bersyarat. Jika
terpidana harus menjalani beberapa pidana berturut-turut, pidana itu
dianggap sebagai satu pidana.
2) Ketika memberikan pelepasan bersyarat, ditentukan pula suatu masa
percobaan, serta ditetapkan syarat-syarat yang harus dipenuhi selama
masa percobaan.
3) Masa percobaan itu lamanya sama dengan sisa waktu pidana penjara
yang belum dijalani, ditambah satu tahun. Jika terpidana ada dalam
tahanan yang sah, maka waktu itu tidak termasuk masa percobaan.
Pasal 15a KUHP:
1) Pelepasan bersyarat diberikan dengan syarat umum bahwa terpidana
tidak akan melakukan tindak pidana dan perbuatan lain yang tidak
baik.
2) Selain itu, juga boleh ditambahkan syarat-syarat khusus mengenai
kelakuan terpidana, asal saja tidak mengurangi kemerdekaan
beragama dan kemerdekaan berpolitik.
44
3) Yang diserahi mengawasi supaya segala syarat dipenuhi ialah
pejabat tersebut dalam pasal 14d ayat 1.
4) Agar supaya syarat-syarat dipenuhi, dapat diadakan pengawasan
khusus yang semata-mata harus bertujuan memberi bantuan kepada
terpidana.
5) Selama masa percobaan, syarat-syarat dapat diubah atau di hapus
atau dapat diadakan syarat-syarat khusus baru; begitu juga dapat
diadakan pengawasan khusus. Pengawasan khusus itu dapat
diserahkan kepada orang lain daripada orang yang semula diserahi.
6) Orang yang mendapat pelepasan bersyarat diberi surat pas yang
memuat syarat-syarat yang harus dipenuhinya. Jika hal-hal yang
tersebut dalam ayat di atas dijalankan, maka orang itu diberi surat
pas baru.
Pasal 15b KUHP:
1) Jika orang yang diberi pelepasan bersyarat selama masa percobaan
melakukan hal-hal yang melanggar syarat-syarat tersebut dalam surat
pasnya, maka pelepasan bersyarat dapat dicabut. Jika ada sangkaan
keras bahwa hal-hal di atas dilakukan, Menteri Kehakiman dapat
menghentikan pelepasan bersyarat tersebut untuk sementara waktu.
2) Waktu selama terpidasna dilepaskan bersyarat sampai menjalani
pidana lagi, tidak termasuk waktu pidananya.
3) Jika tiga bulan setelah masa percobaan habis, pelepasan bersyarat
tidak dapat dicabut kembali, kecuali jika sebelum waktu tiga bulan
45
lewat, terpidana dituntut karena melakukan tindak pidana pada masa
percobaan, dan tuntutan berakhir dengan putusan pidana yang
menjadi tetap. Pelepasan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu
tiga bulan bersyarat masih dapat dicabut dalam waktu tiga bulan
setelah putusan menjadi tetap berdasarkan pertimbangan bahwa
terpidana melakukan tindak pidana selama masa percobaan.
Pasal 16 KUHP:
1) Ketentuan pelepasan bersyarat ditetapkan oleh Menteri Kehakiman
atas usul atau setelah mendapat kabar dari pengurus penjara tempat
terpidana, dan setelah mendapat keterangan dari jaksa tempat asal
terpidana. Sebelum menentukan, harus ditanya dahulu pendapat
Dewan Reklasering Pusat, yang tugasnya diatur oleh Menteri
Kehakiman.
2) Ketentuan mencabut pelepasan bersyarat, begitu juga hal-hal yang
tersebut dalam pasal 15a ayat 5, ditetapkan oleh Menteri Kehakiman
atas usul atau setelah mendapat kabar dari jaksa tempat asal
terpidana. Sebelum memutus, harus ditanya dahulu pendapat Dewan
Reklasering Pusat.
3) Selama pelepasan masih dapat dicabut, maka atas perintah jaksa
tempat dimana dia berada, orang yang dilapaskan bersyarat orang
yang dilepaskan bersyarat dapat ditahan guna menjaga ketertiban
umum, jika ada sangkaan yang beralasan bahwa orang itu selama
masa percobaan telah berbuat hal-hal yang melanggar syarat-syarat
46
tersebut dalam surat pasnya. Jaksa harus segera memberitahukan
penahanan itu kepada Menteri Kehakiman.
4) Waktu penahanan paling lama enam puluh ahri. Jika penahanan
disusul dengan penghentian untuk sementara waktu atau pencabutan
pelepasan bersyarat, maka orang itu dianggap meneruskan menjalani
pidananya mulai dari tahanan.
4. Pasal 14 huruf K Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 Tentang
Pemasyarakatan. Salah satu hak narapidana yakni terdapat pada Pasal
14 huruf K, menyatakan: “mendapatkan pembebasan bersyarat” yang
kemudian Undang-Undang ini diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah.
5. Pasal 43A ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012
Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun
1999 Tentang Syarat Dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan
Pemasyarakatan. Pemberian Pembebasan Bersyarat untuk Narapidana
yang dipidana karena melakukan tindak pidana terorisme, narkotika dan
prekursor narkotika, psikotropika, korupsi, kejahatan terhadap
keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat, serta
kejahatan transnasional terorganisasi lainnya, selain harus memenuhi
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) juga harus
memenuhi persyaratan:
a. bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membantu
membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
47
b. telah menjalani sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) masa pidana,
dengan ketentuan 2/3 (dua per tiga) masa pidana tersebut paling
sedikit 9 (sembilan) bulan;
c. telah menjalani Asimilasi paling sedikit 1/2 (satu per dua) dari sisa
masa pidana yang wajib dijalani; dan telah menunjukkan kesadaran
dan penyesalan atas kesalahan yang menyebabkan dijatuhi pidana
dan menyatakan ikrar:
1) kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia secara
tertulis bagi Narapidana Warga Negara Indonesia, atau
2) tidak akan mengulangi perbuatan tindak pidana terorisme secara
tertulis bagi Narapidana Warga Negara Asing, yang dipidana
karena melakukan tindak pidana terorisme.
6. BAB V Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3
Tahun 2018 Tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi,