24 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara dua belah pihak atau antara 2 (dua) subyek yang dilakukan oleh masyarakat (manusia). Manusia merupakan mahkluk sosial (zoon politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab manusia hidup di dalam lingkungan masyarakat. Tujuan manusia hidup dalam masyarakat adalah berkumpul untuk memenuhi kebutuhan masing- masing. Dalam memenuhi kebutuhan itulah mereka melakukan perikatan- perikatan. Perikatan-perikatan tersebut timbul dari perjanjian, undang- undang dan sebagainya. Oleh karena itulah perjanjian merupakan salah satu bagian dari perikatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kartini Muljadi, beliau mengatakan bahwa perjanjian merupakan salah satu sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban yang dibebankan pada debitur dalam perjanjian, memberikan hak pada kreditur dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam perikatan yang lahir dari perjanjian. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian
23
Embed
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN ......24 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian Perjanjian Masalah perjanjian itu sebenarnya
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
24
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI
2.1 Perjanjian
2.1.1 Pengertian Perjanjian
Masalah perjanjian itu sebenarnya merupakan adanya ikatan antara
dua belah pihak atau antara 2 (dua) subyek yang dilakukan oleh
masyarakat (manusia). Manusia merupakan mahkluk sosial (zoon
politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab
manusia hidup di dalam lingkungan masyarakat. Tujuan manusia hidup
dalam masyarakat adalah berkumpul untuk memenuhi kebutuhan masing-
masing. Dalam memenuhi kebutuhan itulah mereka melakukan perikatan-
perikatan. Perikatan-perikatan tersebut timbul dari perjanjian, undang-
undang dan sebagainya. Oleh karena itulah perjanjian merupakan salah
satu bagian dari perikatan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kartini
Muljadi, beliau mengatakan bahwa perjanjian merupakan salah satu
sumber perikatan. Perjanjian melahirkan perikatan, yang menciptakan
kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian. Kewajiban
yang dibebankan pada debitur dalam perjanjian, memberikan hak pada
kreditur dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam
perikatan yang lahir dari perjanjian. Pelaksanaan prestasi dalam perjanjian
25
yang telah disepakati oleh para pihak dalam perjanjian adalah pelaksanaan
dari perikatan yang terbit dari perjanjian tersebut. 18
Mengenai perjanjian yang dikatakan oleh para sarjana, seperti yang
dikatakan oleh Subekti, beliau mendefinisikan perjanjian sebagai berikut :
“Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada orang
lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu
hal”.
Sedangkan menurut R. Wirjono Prodjodikoro, beliau
mendefinisikan perjanjian sebagai berikut :
“Perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antara
dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk
melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan suatu hal”.19
Berbeda dengan pendapat yang dimiliki oleh, Abdulkadir
Muhammad, beliau mendefinisikan perjanjian sebagai berikut :
“Perjanjian adalah suatu persetujuan dengan mana dua orang saling
mengikatkan diri untuk melaksanakan suatu hal dalam lapangan harta
kekayaan”. 20
18
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h. 91.
19 R. Wirjono Prodjodikoro, 1989, Asas-asas Hukum Perjanjian, Sumur Bandung, Cet. XI,
Jakarta, h. 9.
20
Abdulkadir Muhammad, 1990, Hukum Perikatan, Citra Aditya Bakti, Cet II, Bandung,
h. 78.
26
Selain itu, R. Setiawan, juga berpendapat mengenai perjanjian,
beliau mendefinisikan perjanjian sebagai berikut :
“Persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, di mana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang
atau lebih”.21
Dengan adanya rumusan yang saling melengkapi tersebut, maka dapat
dikatakatan bahwa pada dasarnya perjanjian dapat melahirkan perikatan yang
bersifat sepihak (di mana hanya satu pihak yang wajib berprestasi) dan perikatan
yang bertimbal balik (dengan kedua belah pihak saling berprestasi). Dengan
demikian dimungkinkan suatu perjanjian melahirkan lebih dari satu perikatan,
dengan kewajiban prestasi yang bertimbal balik. Debitur pada satu sisi menjadi
kreditur pada sisi yang lain pada saat yang bersamaan. Hal ini merupakan
karakteristik khusus dari perikatan yang lahir dari perjanjian. Pada perikatan yang
lahir dari undang-undang, hanya pada satu pihak yang menjadi debitur dan pihak
lain yang menjadi kreditur yang berhak atas pelaksanaan prestasi debitur.
1.1.2 Dasar Hukum Perjanjian
Berdasarkan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Buku III Bab II, perjanjian didefinisikan sebagai berikut :
21
Setiawan, R, 1994, Pokok-pokok Hukum Perikatan, Binacipta, Bandung, h.49.
27
“Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau
lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Dari rumusan ketentuan Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata di atas, Menurut J.Satrio perjanjian dapat mempunyai dua
arti, yaitu arti luas dan arti sempit, bahwa dalam arti luas suatu
perjanjian berarti setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum
sebagai yang dikehendaki oleh para pihak termasuk didalamnya
perkawinan, perjanjian kawin, dan lain-lain, sedangkan dalam arti
sempit bahwa perjanjian hanya ditujukan kepada hubungan-
hubungan hukum dalam lapangan hukum kekayaan saja, seperti
yang dimaksud oleh buku III kitab undang-undang hukum perdata.22
Jadi dari peristiwa ini, timbulah suatu hubungan hukum antara dua
orang atau lebih yang disebut perikatan yang di dalamnya terdapat
hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian adalah sumber
perikatan.
1.1.3 Syarat syarat sahnya perjanjian
Suatu perjanjian merupakan perbuatan hukum, yang artinya
perbuatan yang dapat dilaksanakan atas perbuatan hukum dan bukan
perbuatan hukum. Pada suatu ikatan perjanjian untuk mendapatkan suatu
22
J. Satrio, 1996, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung, h. 12.
28
akibat hukum, seharusnya dibuat dalam prosedur yang telah ditentukan
oleh undang-undang.
Menurut ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata, syarat sahnya suatu
perjanjian adalah :
1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
Hal ini dimaksudkan, bahwa para pihak hendak mengadakan suatu perjanjian,
harus terlebih dahulu bersepakat atau setuju mengenai hal-hal
yang pokok dari perjanjian yang akan diadakan itu. Kata sepakat
tidak sah apabila kata sepakat itu diberikan karena kekhilafan,
paksaan atau penipuan ( diatur dalam ketentuan Pasal 1321
KUH Perdata Buku III Bab II).
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Menurut ketentuan Pasal 1329 KUH Perdata Buku III Bab II yang
menyatakan bahwa :
“Setiap orang adalah cakap untuk membuat perjanjian, kecuali jka oleh
undang-undang tidak dinyatakan tak cakap”.
Menurut ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata Buku III Bab II, mereka yang
tidak cakap untuk membuat perjanjian ada tiga golongan, yakni :
1. Orang yang belum dewasa
2. Orang yang berada di bawah pengampuan
3. Orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang dan semua orang kepada siapa undang-
29
undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian
tertentu.
Akibat hukum dari ketidakcakapan ini adalah bahwa perjanjian
yang telah dibuat dapat dimintakan pembatalannnya kepada
hakim.
3. Adanya suatu hal tertentu
Adanya suatu hal tertentu adalah menyangkut objek perjanjian
harus jelas dan dapat ditentukan. Menurut ketentuan Pasal 1333
KUH Peradta Buku III Bab II, yang menyatakan bahwa :
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang
yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi
halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu
dikemudian hari dapat ditentukan atau dihitung”.
Ditinjau dari ketentuan Pasal 1332 KUH Perdata Buku III Bab
II, yang menyatakan bahwa :
“ Hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang dapat
menjadi pokok suatu perjanjian”.
Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 1334 ayat (1) KUH
Perdata Buku III Bab II, yang menyatakan bahwa :
“ Barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat
menjadi pokok suatu perjanjan”.
4. Adanya suatu sebab yang halal
30
Adanya suatu sebab (causa) yang halal ini adalah menyangkut isi
perjanjian yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum,
kesusilaan dan undang-undang (diatur dalam ketentuan Pasal
1337 KUH Perdata Buku III Bab II). Dengan demikian, undang-
undang tidak memperdulikan apa yang menjadi sebab orang
mengadakan suatu perjanjian. Yang diperhatika oleh undang-
undang adalah isi dari perjanjian tersebut yang menggambarkan
tujuan yang akan dicapai. Berdasarkan ketentuan pasal 1335
KUH Perdata Buku III Bab II, yang menyatakan bahwa :
“ Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena
sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempunyai
kekuatan”.
Dari ke 4 (empat) unsur tersebut selanjutnya, dalam doktrin ilmu hukum
yang berkembang, digolongkan ke dalam :
1. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak), yang mengadakan
perjanjian (unsur subyektif).
2. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek
perjanjian (unsur obyektif).
Apabila dua syarat yang pertama tidak dipenuhi (a dan b), maka perjanjian
dapat dibatlkan (syarat subyektif). Adapun apabila dua syarat terakhir tidak
dipenuhi (c dan d), maka perjanjian ini batal demi hukum (syarat obyektif).
Perjanjian yang batal demi hukum adalah perjanjian sejak semula batal dan tidak
mungkin menimbulkan akibat hukum bagi kedua belah pihak. Perjanjian yang
31
bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum adalah
batal demi hukum. Adapun perjanjian dapat dibatalkan, artinya salah satu pihak
mempunyai hak untuk meminta agar perjanjian itu dibatalkan.23
2.2 Jaminan
2.2.1 Pengertian jaminan
Untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia di masyarakat, manusia
memerlukan bahan-bahan (sandang, pangan, papan) serta memiliki
kepentingan satu sama lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk
itu mereka melakukan suatu perikatan perjanjian, salah satunya dengan
hutang piutang, tetapi di dalam hubungan hutang piutang sifatnya sepihak,
artinya pihak kreditur memberikan suatu piutang kepada pihak debitur.
Pada saat itu pihak debitur belum memiliki prestasi, untuk prestasinya
akan dilakukan setelah terjadinya perjanjian. Untuk itu dalam menjamin
serta membuat pihak kreditur yakin akan uangnya kembali, maka dari itu
dibutuhkannnya jaminan.
Menurut M. Bahsan jaminan adalah “ Segala sesuatu yang diterima
kreditur dan diserahkan debitur untuk menjamin suatu utang piutang dalam
masyarakat”.24
Sedangkan Hartono Hadisoeprapto berpendapat bahwa
jaminan adalah” Sesuatu yang diberikan kepada debitur untuk
23
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h. 93.
24
M. Bahsan, 2012, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, h. 7.
32
menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban yang
dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan”.
Dari rumusan jaminan di atas, bahwa pada intinya jaminan itu merupakan
suatu benda yang dijadikan tanggungan bagi sebuah perjanjian hutang piutang
antara pihak kreditur dan pihak debitur. Dalam KUH Perdata jaminan merupakan
hak kebendaan dan merupakan bagian dari hukum benda yang diatur dalam Buku
II KUH Perdata.
2.2.2 Dasar hukum jaminan
Untuk membedakan penggolongan hukum atas kebendaan milik
debitur maka dalam menentukan dasar hukum jaminan yang
ditinjau dari segi terjadinya, pada ketentuan KUH Perdata, dapat
digolongkan menjadi 2 (dua) macam, yakni:
1. Jaminan umum
Jaminan umum merupakan jaminan yang lahir karena ketentuan
Undang-Undang. Dasar hukum jaminan umum yakni diatur
dalam ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata Buku II Bab XIX,
yang menetapkan bahwa :
“Segala kebendaan si berutang, baik yang bergerak maupun
yang tak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan
ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala
perikatan perseorangan”.
Dari rumusan ketentuan pasal tersebut, dapat disimpulkan
bahwa kekayaan seseorang diajdikan “Jaminan” untuk semua
33
kewajibannnya, yakni semua hutangnya. Hal inilan oleh hukum
Jerman dinamakan Haftung.
2. Jaminan khusus
Jaminan Khusus merupakan jaminan yang lahir karena
diperjanjikan. Dasar hukum jaminan khusus diatur dalam
ketentuan Pasal 1133 dan Pasal 1134 KUH Perdata Buku II Bab
XIX, yang menetapkan bahwa :
“Hal untuk didahulukan di antara orang-orang berpiutang terbit
dari hak istimewa, dari gadai dan dari hipotik”. ( Pasal 1133
KUH Perdata)
“Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang
diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih
tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata
berdasarkan sifat piutangnya.
Gadai dan hipotik adalah lebih tinggi daripada hak istimewa,
kecuali dalam hal-hal dimana oleh undang-undang ditentukan
sebaliknya”. ( Pasal 1134 KUH Perdata).25
Dari uraian mengenai dasar hukum jaminan yang telah di uraikan
sebelumnya, pada dasarnya dalam jaminan umum apabila debitur wanprestasi
maka pihak kreditur dapat meminta pengandilan untuk untuk menyita dan
melelang seluruh harta debitur. Sedangkan kebanyakan orang lebih cenderung
memilih jaminan khusus, sebab dalam melaksanakan eksekusi terhadap benda
25
H. Salim, op.cit, h. 14.
34
jaminannya lebih mudah, sederhana dan cepat jika pihak debitur melakukan
wanprestasi serta dalam pemenuhan piutangnya, kreditur pada jaminan khusus
lebih didahulukan debandingkan dengan kreditur pada jaminan umum.
2.2.3 Jenis-jenis jaminan
Untuk menentukan sifat dari suatu jaminan, maka dari itu jenis
jaminan pada dasarnya dapat dibedakan menjadi 2 (dua) macam,
yakni :
1. Jaminan materiil (Kebendaan)
Jaminan materiil ( jaminan kebendaan) merupakan jaminan
yang berupa hak mutlak atas suatu benda yang mempunyai ciri-
ciri “kebendaan” dalam arti memberikan hak mendahului di
atas benda-benda tertentu, dapat dipertahankan terhadap siapa
pun, selalu mengikuti bendannya dan dapat dialihkan.
Jaminan kebendaan dapat dilakukan pembebanan dengan :
1. Gadai (pand)
Yang diatur dalam Bab XX Buku II KUH Perdata.
2. Hipotik
Yang diatur dalam Bab XXI Buku II KUH Perdata.
3. Credietverband
Yang diatur dalam Stb. 1908 Nomor 542 sebagaimana telah
diubah dengan Stb. 1937 Nomor 190.
4. Hak Tanggungan
35
Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1996.
5. Jaminan Fiducia
Sebagaimana yang diatur dalam ketentuan Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999.
2. Jaminan inmateriil (Perorangan)
Jaminan Inmateriil (jaminan perorangan) merupakan jaminan
yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan
tertentu, namun tidak memberikan hak mendahului atas benda-
benda tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur
tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya.
Adapun yang termasuk dalam jaminan perorangan, yakni
sebagai berikut :
1. Penanggung (borg) adalah orang lain yang dapat ditagih.
2. Tanggung-menanggung, yang serupa dengan tanggung
renteng.
3. Perjanjian garansi.
Dari kedua jenis jaminan tersebut, yang masih berlaku adalah gadai, hak
tanggungan, jaminan fiducia, borg, tanggung menanggung, dan perjanjian garansi,
sedangkan hipotik dan credietverband tidak berlaku lagi, karena telah dicabut
36
dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas
Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah.26
2.3 Gadai
2.3.1 Pengertian gadai
Sebagaimana yang telah diuraikan dalam uraian sebelumnya
mengenai jaminan, bahwa pada jaminan dapat dibedakan jaminan khusus
dengan jaminan umum dan jaminan kebendaan dengan jaminan
perorangan. Untuk jaminan kebendaan didalamnya terdapat gadai, fidusia,
hipotik dan hak tanggungan. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan
gadai, menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, gadai merupakan suatu
hak yang diperoleh kreditur atas suatu benda bergerak, yang diberikan
kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin
suatu utang, dan yang memberikan kewenangan kepada kreditur untuk
mendapatkan pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dari kreditur-
kreditur lainnya, terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut
dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya
mana harus didahulukan.27
Sedangkan menurut Wiryono Projodikoro gadai
merupakan sebagai sesuatu hak yang didapatkan si berpiutang atau orang
lain atas namanya untuk menjamin pembayaran hutang dan memberi hak
26
Salim, HS, 2014, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), Sinar Grafika, Jakarta, h. 112.
27
Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, 1981, Hukum Perdata: Hukum Benda, Liberty, Cet. IV,
Yogyakarta, h. 97.
37
kepada si berpiutang untuk dibayar lebih dahulu dari siberpiutang lain dari
uang pendapatan penjualan barang itu.28
Berdasarkan ketentuan Pasal 1150 KUH Perdata Buku II Bab XX,
bahwa gadai merupakan suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu
barang yang diserahkan oleh debitur yang dijadikan sebagai jaminan
pelunasan piutangnya dengan memberikan kewenangan kepada kreditur
mengambil pelunasan piutangnya dari barang yang dijadikan jaminan
secara didahulukan daripada kreditur lainnya.
Dari ketentuan Pasal 1150 KUH Perdata ini, dapat dilihat bahwa para
pihak yang terlibat dalam perjanjian gadai ada 2 (dua), yakni pihak pemberi gadai
(debitur) dan pihak penerima (pemegang) gadai (kreditur). Benda jaminan
dipegang oleh kreditur, maka ia disebut juga kreditur pemegang gadai. Tetapi
tidak tertutup kemungkinan bahwa atas persetujuan para pihak, benda gadai
dipegang oleh pihak III ( diatur dalam ketentuan Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata
Buku II Bab XX). Jika barang gadai dipegang oleh pihak III maka ia disebut
pihak III pemegang gadai.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dari ketentuan Pasal 1150
KUH Perdata ini, gadai dapat dikonstruksikan sebagai perjanjian accesoir, artinya
merupakan perjanjian tambahan terhadap perjanjian pokok, yaitu perjanjian
pinjam meminjam uang dengan jaminan benda bergerak.29
Tujuan dari perjanjian
28 R. Wirjono Prodjodikoro, op.cit, h. 19
38
ini adalah untuk menjaga jangan sampai pemberi gadai (debitur) lalai membayar
kembali uang pinjaman itu atau bunganya. Apabila pemberi gadai (debitur) lalai
dalam melaksnakan kewajibannya, barang yang telah dijaminkan oleh pemberi
gadai (debitur) kepada penerima gadai (kreditur) dapat dilakukan pelelangan
untuk melunasi hutang debitur.
2.3.2 Dasar hukum gadai
Berdasarkan pemaparan yang diuraikan sebelumnya mengenai
pengertian gadai, dalam melaksanakan kegiatan gadai haruslah
berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku. Adapun dasar
hukum gadai pada peraturan perundang-undangan berikut ini :
1. Pasal 1150 sampai dengan Pasal 1160 KUH Perdata Buku II
Bab XX tentang Gadai.
Pasal 1150 KUH Perdata mendefinisikan gadai sebagai suatu hak yang
diperoleh kreditur atas suatu berang yang diserahkan oleh debitur yang dijadikan
sebagai jaminan pelunasan piutangnya dengan memberikan kewenangan kepada
kreditur mengambil pelunasan piutangnya dari barang yang dijadikan jaminan
secara didahulukan daripada kreditur lainnya.30
Kemudian pada ketentuan Pasal
1151 KUH Perdata, untuk dapat membuktikan perjanjian pokok maka harus
dibuktikan dengan alat yang diperkenankan untuk membuktikan perjanjian gadai
29 Djaja S. Meliala, 2014, Hukum Perdata Dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung,
h. 129.
30
Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, 2000, Jaminan Fidusia, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 93.
39
tersebut. Namun demikian sesuai dengan Pasal 1152 ayat (1) KUH Perdata, dalam
penyerahan itu boleh ditunjukan pada pihak ketiga dengan syarat harus adanya
persetujuan bersama antara debitur dan kreditur. Penguasaan atas barang gadai
harus secara mutlak beralih dari pihak pemberi gadai, karena Pasal 1152 ayat (2)
KUH Perdata dengan tegas melarang atas penguasaan barang gadai oleh pemberi
gadai, apabila hal ini dilanggar maka gadai itu akan batal.31
Selanjutnya pada pasal 1153 KUH Perdata, dalam hal hak gadai atas
barang bergerak yang tak berwujud, kecuali surat tunjuk dan surat bawa, lahir
dengan pemberitahuan mengenai penggadaian itu kepada orang yang kepadanya
hak gadai itu harus dilaksanakan. Dan Orang ini dapat menuntut bukti tertulis
mengenai pemberitahuan itu, dan mengenai izin dari pemberian gadainya. Apabila
debitur tidak melaksanakan prestasinya, maka pada pasal 1154 KUH Perdata,
dalam hal ini kreditur tidak diperkenankan untuk mengalihkan barang gadai
tersebut untuk menjadi miliknya, dan segala hal yang bertentangan terhadap hal
tersebut batal.32
Dalam hal melakukan pelelangan dapat dilakukan secara terbuka di depan
umum sesuai dengan Pasal 1155 KUH Perdata, apabila para pihak telah
menyepakati untuk mengeksekusi tanpa perantaraan pengadilan, kreditur dapat
langsung meminta bantuan kantor lelang negara untuk menjual barang gadai. Dan
apabila pemberi gadai wanprestasi, maka sesuai Pasal 1156 KUH Perdata,
31
Ibid, h. 95.
32
Salim, HS, op.cit, h. 90.
40
pemegang gadai berhak untuk menjual barang yang digadaikan itu, dan kemudian
mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan barang itu, penjualan barang itu
dapat dilakukan dengan perantaraan sendiri dengan syarat ada persetujuan dari
pemberi gadai dengan perantaraan hakim. Dalam hal penjualan pihak penerima
gadai harus memberitahukan pihak pemberi gadai.
Kemudian pada Pasal 1157 KUH Perdata, dalam hal ini kreditur
bertanggung jawab atas kerugian atau susutnya barang gadai itu, sejauh hal itu
terjadi akibat kelalaiannya dan pemberi gadai wajib mengganti kepada penerima
gadai itu biaya yang berguna dan perlu dikeluarkan oleh penerima gadai untuk
penyelamatan barang gadai itu. Selanjutnya, sesuai dengan Pasal 1158 KUH
Perdata, apabila barang gadai tersebut mengahsilkan bunga, maka pihak penerima
gadai dapat memperhitungkan bunga tersebut, dan sebaliknya apabila benda gadai
itu tidak menghasilkan bunga maka bunga yang diperoleh penerima gadai
dikurangi dari jumlah pokok hutang. Namun apabila penerima gadai tidak
menyalahgunakan benda gadai selama berada pada kekuasaannya, maka sesuai
Pasal 1159 KUH Perdata pemberi gadai tidak dapat menuntut kembali barang itu
sebelum hutang dan segala yang telah dikeluarkan dalam penyelamatan barang
tersebut dilunasi. Untuk itu, apabila barang jaminan tersebut hanya dilunasi
sebagian, namun sebagian dari benda gadai tersebut diminta kembali walaupun
ada ahli warisnya, hal tersebut tidak dibenarkan, karena sesuai dengan Pasal 1160
41
KUH Perdata, barang yang digadaikan tidak dapat dibagi-bagi sebelum hutangnya
dilunasi sepenuhnya.33
2. Artikel 1196 vv, titel 19 Buku III NBW.
Yang berbunyi bahwa gadai adalah :
“Hak kebendaan atas barang bergerak untuk mengambil
pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan”. 34
Dalam mengadakan kegiatan gadai terhadap benda jaminan, maka harus
sesuai dengan ketentuan peraturan gadai tersebut. Apabila pelaksanaan kegiatan
gadai terhadap benda jaminan tidak sesuai dengan ketentuan tersebut, maka
dianggap tidak sah atau batal demi hukum.
2.3.3 Syarat-syarat perjanjian gadai
Dalam mengadakan perjanjian gadai, adapun syarat-syarat yang
harus dipenuhi agar suatu perjanjian yang dibuat antara pihak dapat dikatakan sah
di hadapan hukum, yakni harus memenuhi syarat-syarat subyektif suatu perjanjian
yang terjadi karena kesepakatan secara bebas diantara para pihak yang
mengadakan atau melangsukan perjanjian dan adanya kecakapan dari pihak-pihak
yang berjanji.35
Sedangkan pada syarat obyektif, sahnya perjanjian diatur dalam
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Bab II ketentuan Pasal 1332
sampai dengan Pasal 1334 mengenai keharusan adanya suatu hal tertentu dalam
33
Djaja S. Meliala, op.cit, h. 78.
34
H. Salim, loc.cit.
35 Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, op.cit, h. 94.
42
perjanjian dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Buku III Bab II ketentuan
Pasal 1335 sampai dengan Pasal 1337 mengenai kewajiban suatu sebab yang halal
dalam perjanjian yang dibuat oleh para pihak.
Untuk melaksanakan perjanjian gadai maka didalamnya harus memenuhi
unsur-unsur yang ada dalam perjanjian gadai adalah :
1. Adanya subjek gadai, yaitu kreditur (penerima gadai) dan debitur
(pemberi gadai).
2. Adanya objek gadai, yaitu benda bergerak, baik yang berwujud
maupun yang tidak berwujud.
3. Adanya kewenangan kreditur.
Maka dari itu dapat disimpulkan menurut ketentuan Pasal 1152 ayat (2)
KUH Perdata Buku II Bab XX, menyatakan bahwa Perjanjian gadai tidak sah, jika
benda gadai tetap berada di bawah kekuasaan debitur. Artinya bahwa, benda gadai
harus di tangan si penerima gadai (inbezitstelling) atau di tangan pihak III yang
disetujui oleh kedua belah pihak. Jika benda gadai keluar dari kekuasaan si
penerima (pemegang) gadai, maka perjanjian gadai menjadi tidak sah (hapus).
2.3.4 Subyek dan obyek gadai
Sebelum membahas mengenai prestasi yang harus dilaksnakan pada
suatu perjanjian, maka sebaiknya terlebih dahulu mengetahui siapa saja
yang dapat melaksanakan prestasi tersebut dan jenis benda apa saja yang
dapat dijadikan sebagai suatu jaminan dalam kegiatan gadai. Untuk
melaksanakan kegiatan gadai terdapat subyek gadai yang terdiri atas 2 (dua)
43
pihak, yakni pemberi gadai (pandgever) dan penerima gadai
(pandnemer).Pandgever, yang merupakan orang atau badan hukum yang
memberikan jaminan dalam bentuk benda bergerak selaku gadai kepada
penerima gadai untuk pinjaman uang yang diberikan kepadanya atau pihak
ketiga. Dari rumusan mengenai subyek gadai tersebut, adapun unsur-unsur
pemberi gadai, yakni :
1. Orang atau badan hukum
2. Memberikan jaminan berupa benda bergerak
3. Kepada penerima gadai
4. Adanya pinjaman uang
Selain itu dalam subyek gadai terdapat Penerima gadai (pandnemer) yang
merupakan orang atau badan hukum yang menerima gadai sebagai jaminan untuk
pinjaman uang yang diberikannya kepada pemberi gadai (pandgever). 36
Sedangkan pada obyek gadai terdiri atas benda bergerak. Benda bergerak
ini dibagi menjadi 2 (dua) macam, yakni benda bergerak berwujud dan tidak
berwujud. Benda bergerak berwujud merupakan benda yang dapat berpindah atau
dipindahkan. Yang termasuk dalam benda bergerak berwujud, yakni seperti emas,
arloji, handphone, sepeda motor dan lain-lain. Sedangkan benda bergerak tidak
36
H. Salim, op.cit, h. 36.
44
berwujud, yakni seperti piutang atas bawah, piutang atas tunjuk, hak memungut
hasil atas benda dan atas piutang.37
2.3.5 Hak dan kewajiban para pihak
Sejak terjadinya perjanjian gadai antara pihak pemberi gadai
dengan pihak penerima gadai, maka saat itulah timbul hak dan kewajiban
penerima gadai. Di dalam ketentuan pasal 1155 KUH Perdata Buku II Bab
XX, adapun hak dan kewajiban dari pemberi gadai, dapat dilihat sebagai
berikut :
Hak pemberi gadai :
1. Menerima uang gadai dari penerima gadai.
2. Berhak atas barang gadai, apabila hutang pokok, bunga, dan
biaya lainnya telah dilunasinya.
3. Berhak menuntut kepada pengadilan supaya barang gadai dijual
untuk melunasi hutang-hutangnya (diatur dalam ketentuan
Pasal 1156 KUH Perdata Buku II Bab XX).
Kewajiban pemberi gadai :
1. Menyerahkan barang gadai kepada penerima gadai.
2. Membayar pokok dan sewa modal kepada penerima gadai.
3. Membayar biaya yang dikeluarkan oleh penerima gadai untuk
menyelamatkan barang-barang gadai (diatur dalam ketentuan
Pasal 1157 KUH Perdata Buku II Bab XX).38
37 H. Salim,op.cit,h. 37.
45
Adapun hak dan kewajiban dari pemegang gadai, dapat dilihat
sebagai berikut :
Hak penerima gadai :
1. Menjual dengan kekuasaan sendiri (parate eksekusi)
2. Menjual barang gadai dengan perantaraan hakim (diatur dalam
ketentuan Pasal 1156 ayat (1) KUH Perdata Buku II Bab XX).
3. Mempunyai hak retensi (diatur dalam ketentuan Pasal 1159
KUH Perdata Buku II Bab XX).
4. Hak didahulukan pembayarannya (droit de preference)
Kewajiban penerima gadai :
1. Bertanggung jawab atas hilangnya atau berkurangnya nilai
barang gadai (diatur dalam ketentuan Pasal 1157 ayat (1) KUH
Perdata Buku II Bab XX).
2. Berkewajiban untuk memberitahukan pemberi gadai jika
barang gadai hendak dijual (diatur dalam ketentuan Pasal 1156
ayat (2) KUH Perdata Buku II Bab XX).
3. Bertanggung jawab terhadap hasil penjualan barang gadai
(diatur dalam ketentuan Pasal 1159 ayat (1) KUH Perdata Buku
II Bab XX).
38
H.Salim, op.cit, h. 48.
46
4. Mengembalikan barang gadai apabila utang pokok berikut
bunganya sudah dibayar lunas.39
Berdasarkan uraian mengenai hak dan kewajiban pemberi gadai dan
penerima gadai sebelumnya, apabila salah satu pihak tidak melaksanakan
prestasinya dengan baik , seperti misalnya pemberi gadai tidak membayar pokok
pinjaman dan sewa modalnya, maka jasa usaha gadai dapat memberikan somasi
kepada pemberi gadai agar dapat melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang
dijanjikan. Apabila somasi itu telah dilakukan selama 3 (tiga) kali dan tidak
diindahkannya, maka jasa usaha gadai dapat melakukan pelelangan terhadap
benda gadai. Sebaliknya apabila pihak jasa usaha gadai tidak melakukan
prestasinya seperti misalnya, tidak memberitahukan pihak pemberi gadai
mengenai habisnya batas waktu gadai dan langsung menjual barang gadai tanpa
melakukan pelelangan, maka pemberi gadai dapat menuntut pihak jasa usaha
gadai berdasarkan ketentuan Pasal 1156 KUH Perdata Buku II Bab XX.