22 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL BELI TANAH DAN BANGUNAN DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM 2.1 Perjanjian 2.1.1 Pengertian dan Syarat Sahya Perjanjian Sebelum membahas lebih jauh mengenai pengikatan perjanjian jual beli, sebaiknya harus memahami terlebih dahulu mengenai makna dari perjanjian. Perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang Perikatan yang diatur dalam Pasal 1313 KUHPerdata. Berdasarkan Pasal tersebut yang dimaksud dengan perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih yang mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Menurut pendapat Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu berjanji untuk melakukan suatu hal. 14 Dari peristiwa hukum itu maka timbullah hubungan hukum yang mengakibatkan adanya suatu perikatan. Hubungan antara perikatan dan perjanjian yaitu perjanjian menerbitkan perikatan. Secara umum, suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau lebih, berdasarkan mana pihak 14 Subekti R., 1987, Hukum Perjanjian, Bina Cipta, Bandung, h.1.
21
Embed
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGIKATAN … II.pdfyang satu berhak untuk menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan ... c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian; d. Bebas
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
22
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI PENGIKATAN PERJANJIAN JUAL
BELI TANAH DAN BANGUNAN DAN PERBUATAN MELAWAN
HUKUM
2.1 Perjanjian
2.1.1 Pengertian dan Syarat Sahya Perjanjian
Sebelum membahas lebih jauh mengenai pengikatan perjanjian jual
beli, sebaiknya harus memahami terlebih dahulu mengenai makna dari
perjanjian. Perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata tentang Perikatan yang diatur dalam Pasal 1313
KUHPerdata. Berdasarkan Pasal tersebut yang dimaksud dengan
perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih yang
mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Menurut pendapat
Subekti, suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji
kepada orang lain atau dimana dua orang itu berjanji untuk melakukan
suatu hal.14
Dari peristiwa hukum itu maka timbullah hubungan hukum
yang mengakibatkan adanya suatu perikatan.
Hubungan antara perikatan dan perjanjian yaitu perjanjian
menerbitkan perikatan. Secara umum, suatu perikatan adalah suatu
perhubungan hukum antara dua orang atau lebih, berdasarkan mana pihak
14
Subekti R., 1987, Hukum Perjanjian, Bina Cipta, Bandung, h.1.
23
yang satu berhak untuk menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan
pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.15
Perikatan merupakan isi dari perjanjian yang sifatnya terbuka,
artinya isinya dapat ditentukan oleh para pihak dengan beberapa syarat
yang disetujui oleh kedua belah pihak yaitu dengan tidak bertentangan
dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan Undang-Undang. Dalam rangka
menciptakan keseimbangan dan memelihara hak-hak yang dimiliki oleh
para pihak sebelum perjanjian yang dibuat menjadi perikatan yang
mengikat bagi para pihak, adapun asas-asas umum yang menjadi pedoman
serta menjadi batas dalam mengatur dan membentuk perjanjian, asas-asas
umum tersebut diantaranya:
1. Asas Konsensualisme
Maksud dari asas konsensualisme ini adalah bahwa lahirnya perjanjian
ialah pada saat terjadinya kesepakatan.16
Apabila telah terjadi
kesepakatan antara para pihak maka lahirlah suatu perjanjian, walaupun
perjanjian itu belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa,
pada saat tercapainya kesepakatan oleh para pihak lahirlah hak dan
kewajiban yang berlaku bagi kedua belah pihak.
2. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak didasarkan atas Pasal 1338 ayat (1)
KUHPerdata, bahwa semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan
15
Ibid . 16
Ahmadi Miru, 2013, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak, Ed.1, Cet. 4, Rajawali
Pers,Jakarta,h.3.
24
Undang-Undang berlaku sebagai Undang-Undang bagi yang
membuatnya. Kebebasan berkontrak memberikan jaminan kebebasan
kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang
berkaitan dengan perjanjian, diantaranya:17
a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak;
b. Bebas dengan siapa ia akan melakukan perjanjian;
c. Bebas menentukan isi atau klausul perjanjian;
d. Bebas menentukan bentuk perjanjian;
e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan.
3. Asas Pacta Sun Servanda
Setiap orang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi
perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji
yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak
sebagaimana mengikatnya Undang-Undang.18
Hal ini diatur dalam
ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata semua persetujuan yang
dibuat sesuai dengan Undang-Undang berlaku sebagai Undang-Undang
bagi yang membuatnya.
4. Asas Itikad Baik
Ketentuan mengenai itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3)
KUHPerdata bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Walaupun itikad baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan
17
Ibid.
25
pada tahap praperjanjian, secara umum itikad baik harus selalu ada pada
setiap tahap perjanjian sehingga kepentingan pihak yang satu selalu
dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.19
Disamping adanya asas-asas perjanjian di atas, dalam sistem terbuka
yang terdapat dalam hukum perjanjian tetap harus tunduk pada ketentuan
Pasal 1320 KUHPerdata yang mengatur syarat-syarat sahnya suatu
perjanjian, yaitu:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian;
3. Mengenai suatu hal tertentu;
4. Suatu sebab yang halal;
Dua unsur pokok yang menyangkut subjek atau pihak yang
mengadakan perjanjian disebut dengan syarat subjektif. Unsur subjektif
mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang
berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian.
Dua unsur pokok lainnya berhubungan langsung dengan obyek perjanjian
yang disebut juga dengan syarat obyektif. Unsur obyektif meliputi obyek
yang diperjanjikan, dan causa dari obyek yang berupa prestasi yang
disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak
dilarang. Berikut penjelasan selengkapnya:
1) Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya
19
Ibid, h.7
26
Kesepakatan yang dimaksud dalam pasal ini adalah perseuaian
kehendak antara para pihak, yaitu bertemunya antara penawaran dan
penerimaan. Dengan kata lain, apa yang dikehendaki oleh pihak
yang satu dikehendaki oleh pihak yang lain. Kesepakatan ini bersifat
bebas, yang artinya benar-benar atas kemauan sukarela pihak-pihak,
tidak ada paksaan sama sekali dari pihak manapun sebagaimana
diatur dalam Pasal 1321 KUHPerdata. Kesepakatan tersebut dicapai
dengan beberapa cara baik secara tertulis maupun tidak tertulis.
Kesepakatan yang biasa dibuat oleh para pihak yaitu
kesepakatan yang dibuat secara tertulis dan secara lisan. Tujuan dari
pembuatan kesepakatan secara tertulis yaitu untuk memberikan
kepastian hukum bagi para pihak dan dapat dijadikan sebagai alat
bukti yang sempurna apabila timbul sengketa di kemudian hari.
2) Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
Kecakapan merupakan kemampuan menurut hukum untuk
melakukan perbuatan hukum (perjanjian). Berdasarkan Pasal 1330
KUHPerdata, yang tak cakap untuk membuat persetujuan adalah,
anak yang belum dewasa, orang yang ditaruh di bawah pengampuan,
perempuan yang telah kawin dalam hal yang ditentukan Undang-
Undang dan pada umumnya semua orang yang oleh Undang-Undang
dilarang untuk membuat persetujuan tertentu. Seseorang dikatakan
dewasa apabila umurnya telah mencapai umur 21 tahun atau sudah
27
kawin, walaupun belum 21 tahun. Orang yang berada ditaruh di
dalam pengampuan, yakni orang yang gila, kalap, atau bahkan dalam
hal tertentu juga orang yang boros.20
Seorang perempuan dalam yang
ditetapkan oleh Undang-Undang, yaitu perempuan yang sudah
menikah dan tidak didampingi oleh suaminya. Namun kini,
ketentuan ini sudah tidak berlaku lagi sehingga perempuan yang
bersuami pun dianggap telah cakap menurut hukum untuk membuat
perjanjian.
3) Suatu pokok persoalan tertentu
Suatu pokok persoalan tertentu merupakan syarat ketiga dari
sahnya suatu perjanjian yang perlu dipenuhi dalam suatu perjanjian
yang merupakan obyek perjanjian. Syarat bahwa suatu pokok
persoalan itu harus tertentu atau dapat ditentukan gunannya yaitu
untuk menentukan hak dan kewajiban kedua belah pihak, jika timbul
perselisihan dalam pelaksanaan perjanjian. Jika suatu pokok
persoalan tertentu tersebut kabur, maka suatu perjanjian tidak dapat
dilaksanakan, maka dianggap tidak ada obyek perjanjian. Akibat dari
tidak dipenuhinya syarat ini, maka suatu perjanjian itu batal demi
hukum (void, nietig).
Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1333 KUHPerdata,
yaitu “Suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu