1 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA TERHADAP PENGANGKATAN ANAK I. Peradilan Agama di Indonesia a. Sejarah Pengadilan Agama Peradilan Agama telah ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh semenjak zaman penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar sejarah peradilan, Peradilan Agama sudah ada sejak abad ke 16. Dalam sejarah yang dibukukan oleh Departemen Agama yang berjudul Seabad Peradailan Agama di Indonesia, tanggal 19 Januari 1882 ditetapkan sebagai hari jadinya, yaitu berbarengan dengan diundangkannya ordonantie staatblad 1882-152 tentang Peradilan Agama di pulau Jawa-Madura, setelah di keluarkannya telah mengubah susunan dan status Peradilan Agama. Wewenang pengadilan agama yang disebut dengan preisterraacf tetap daIam bidang perkawinan dan kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan agama yang telah ada sebelumnya, dan hukum Islam sebagai pegangannya. Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya ditaati dan dilaksanakanan dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal 29 Desember 1989, Peradilan Agama belum pernah memiliki undang-undang tersendiri tentang susunan, Kekuasan dan Acara, melainkan
40
Embed
BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEWENANGAN …repository.unpas.ac.id/40111/1/G. BAB II.pdf1 BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA TERHADAP PENGANGKATAN ANAK I. Peradilan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB II
TINJAUAN UMUM MENGENAI KEWENANGAN PENGADILAN
AGAMA TERHADAP PENGANGKATAN ANAK
I. Peradilan Agama di Indonesia
a. Sejarah Pengadilan Agama
Peradilan Agama telah ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh
semenjak zaman penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar sejarah
peradilan, Peradilan Agama sudah ada sejak abad ke 16. Dalam sejarah yang
dibukukan oleh Departemen Agama yang berjudul Seabad Peradailan Agama
di Indonesia, tanggal 19 Januari 1882 ditetapkan sebagai hari jadinya, yaitu
berbarengan dengan diundangkannya ordonantie staatblad 1882-152 tentang
Peradilan Agama di pulau Jawa-Madura, setelah di keluarkannya telah
mengubah susunan dan status Peradilan Agama. Wewenang pengadilan
agama yang disebut dengan preisterraacf tetap daIam bidang perkawinan dan
kewarisan, serta pengakuan dan pengukuhan akan keberadaan pengadilan
agama yang telah ada sebelumnya, dan hukum Islam sebagai pegangannya.
Selama itu hingga sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya
ditaati dan dilaksanakanan dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya
Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama pada tanggal
29 Desember 1989, Peradilan Agama belum pernah memiliki undang-undang
tersendiri tentang susunan, Kekuasan dan Acara, melainkan
2
terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak
merupakan kesatuan, lagi tidak pula seragam.
Kekuasaannya kadang kala berbenturan dengan Peradilan Umum
karena memang disengaja dibuat tidak jelas oleh pemerintah jajahan, sebab
pemerintah jajahan sejak semula memang khawatir terhadap hukum Islam
lantaran Hukum Islma itu, di samping bertentangan dengan agama mereka,
juga merupakan hukum yang sebagian besar dianut oleh bangsa Indonesia.
Memberikan hak hidup kepada hukum Islam sama artinya dengan
memberikan peluang hidup terhadap hukum bangsa Indonesia.
Setelah lama Indonesia merdeka, bangsa Indonesia berangsur sadar
untuk membuang jauh politil kolonial itu dengan di keluarkannya peraturan
perundang-undangan sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh Peradilan
Agama untuk memberikan kepastian, ketika hakim memutuskan suatu
perkaran atau menetapkan suata permohonan yang sedang ditanganinya.
Berlakunya Staatsblad 1937 Nomor 116 telah mengurangi kompentensi
Pengadilan Agama di Jawa dan Madura daIam bidang perselisihan harta
benda, yang berarti masalah wakaf dan waris harus diserahkan kepada
Pengadilan Negeri. Mereka (Pemerintah Kolonial Belanda) berdalih, bahwa
dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, hukum Islam tidak mendalam
pengaruhnya pada aturan-aturan kewarisan dalam keluarga Jawa dan Madura
serta di tempat-tempat lain di seluruh Indonesia.
Pada tanggal 3 Januari 1946 dengan Keputusan Pemerintah Nomor
lJSD dibentuk Kementrian Agama, kemudian dengan Penetapan Pemerintah
3
tanggal 25 Maret 1946 Nomor 5/SD semua urusan mengenai Mahkamah
Islam Tinggi dipindahkan dari Kementrian Kehakiman ke dalam Kementrian
Agama. Langkah ini memungkinkan konsolidasi bagi seluruh administrasi
lembaga-lembaga Islam dalam sebuah wadah yang besifat nasional.
Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1946 menunjukkan dengan
jelas maksud-maksud untuk mempersatukan administrasi nikah, Talak dan
Rujuk di seluruh wilayah Indonesia di bawah pengawasan Kementrian
Agama.
Usaha untuk menghapuskan Pengadilan Agama masih terus
berlangsung sampai dengan keluarnya Undang-undang Nomor 19 Tahun
1948 dan Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951 tentang Tindakan
Sementara untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan dan
Acara Pengadilan-pengadilan Sipil, antara lain mengandung ketentuan pokok
bahwa peradilan agama merupakan bagian tersendiri dati peradilan swapraja
dan peradilan adat tidak turut terhapus dan kelanjutannya diatur dengan
peraturan pemerintah. Proses keluarnya peraturan pemerintah inilah yang
mengalami banyak hambatan, sehingga dapat keluar setelah berjalan tujuh
tahun dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 1957.
Dengan keluarnya Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, maka kedudukan
Peradilan Agama mulai tampak jelas dalam sistem peradilan di Indonesia.
Undang-undang ini menegaskan prinsip-prinsip sebagai berikut:
4
1. Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan ketuhanan Yang Maha
Esa";
2. Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata
Usaha Negara;
3. Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi;
4. Badan-badan yang melaksanakan peradilan secara organisatoris,
administratif, dan finansial ada di bawah masing-masing departemen yang
bersangkutan;
5. Susunan kekuasaan serta acara dari badan peradilan itu masing-masing
diatur dalam undang-undang tersendiri.
Hal ini dengan sendirinya memberikan landasan yang kokoh bagi
kemandirian Peradilan Agama, dan memberikan status yang sarma dengan
peradilan-peradilan lainnya di Indonesia.
Lahirnya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
memperkokoh keberadaan pengadilan agama. Di dalam undang-undang ini
tidak ada ketentuan yang bertentangan dengan ajaran Islam Pasa1 2 ayat (1)
undang-undang ini semakin memperteguh pelaksanaan ajaran Islam (Hukum
Islam).1
Suasana cerah kembali mewarnai perkembangan Peradilan Agama di
Indonesia dengan keluarnya Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
1 Peradilan Agama di Indonesia ,
https://id.wikipedia.org/wiki/Peradilan_agama_di_Indonesia, diunggah pada tanggal 17
April 2018, pukul 17.12 wib.
5
Peradilan Agama yang telah memberikan landasan untuk mewujudkan
Peradilan Agama yang mandiri, sederajat dan memantapkan serta
mensejajarkan kedudukan Peradilan Agama dengan lingkungan peradilan
lainnya.
b. Pengertian dan Dasar Hukum Pengadilan Agama
Peradilan Agama adalah salah satu dari Peradilan Negara Indonesia
yang sah, yang bersifat Peradilan Khusus, yang berwenang dalam jenis
perkara perdata Islam tertentu, bagi orang-orang Islam di Indonesia.2
Pengadilan agama adalah sebutan (titelateur) resmi bagi salah satu
diantara empat lingkungan peradilan negara atau kekuasaan kehakiman yang
sah di Indonesia sebagaimana Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4
Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Pengadilan Agama juga salah
satu diantara tiga peradilan khusus di Indonesia. Dua peradilan khusus
lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan
peradilan khusus karena Pengadilan Agama mengadili perkara-perkara
tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu (yang beragama Islam).3
Peradilan Agama hanya berwenang dibidang perdata tertentu saja,
tidak dalam bidang pidana dan juga hanya untuk orang-orang beragama Islam
di Indonesia. Dalam perkara-perkara perdata Islam tertentu saja, Undang-
Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama dalam Pasal 1 ayat
2 Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, PT Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005, hlm. 5-6. 3 Ibid, hlm. 5.
6
(1) menyatakan Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang
beragama Islam.
Pengadilan Agama sebagai pengadilan tingkat pertama ialah
pengadilan yang bertindak menerima, memeriksa, dan memutus setiap
permohonan atau gugatan pada tahap paling awal dan paling bawah.
Pengadilan Agama bertindak sebagai peradilan sehari hari menampung pada
tahap awal dan memutus atau mengadili pada tahap awal segala perkara yang
diajukan masyarakat mencari keadilan. Tidak boleh mengajukan suatu
permohonan atau gugatan langsung ke Pengadilan Tinggi Agama. Semua
jenis perkara terlebih dahulu mesti melalui Pengadilan Agama dalam
kedudukan hierarki sebagai pengadilan tingkat pertama. Terhadap semua
permohonan atau gugat perkara yang diajukan kepadanya dalam kedudukan
sebagai instansi pengadilan tingkat pertama, harus menerima, memeriksa, dan
memutusnya, dilarang menolak untuk menerima, memeriksa, dan memutus
perkara yang diajukan kepada nya dengan dalih apapun. Hal ini ditegas kan
dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman, yang bunyinya :
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum
tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan
mengadilinya.
7
c. Asas Umum Lembaga Pengadilan Agama
1. Asas Bebas Merdeka
Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka
untuk menyelengarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara hukum Republik
Indonesia.
2. Asas Sebagai Pelaksana Kekuasaan Kehakiman
Penyelenggara kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berbeda di bawah Peadilan
Umum, lingkungan Peradilan Militer, lingkungn Peradilan Tata Usaha
Negara, lingkungan Peradilan Agama dan oleh sebuah Mahkamah
Konstitusi. Semua peradilan di seluruh wilayah Negara Republik
Indonesia adalah Peradilan Negara dan ditetapkan dengan undang-undang
dan Peradilan Negara menerapkan hukum dan keadilan.
3. Asas Ketuhanan Peradilan Agama
Peradilan Agama dalam menerapkan hukumnya selalu berpedoman
pada sumber hukum Agama Islam, sehingga pembuataan putusan ataupun
penetapan harus dimulai dengan kalimat Basmallah yang diikuti dengan
irah-irah ”Demi Keadilan Yang Berdasarkan Ketuhannan Yang Maha
Esa”
4. Asas Fleksibelitas
Pemeriksaan perkara dilingkungan Peradilan Agama harus
dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Asas ini diatur dalam
8
Pasal 57 ayat (3) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 jo Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama dan Pasal 4 ayat
(2), Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman.
5. Asas Non Ekstra Yudisial
Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar
kekuasaan kehakiman dilarang kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut
dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Sehingga
setiap orang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud
akan dipidana.
6. Asas Legalitas
Peradilan Agama mengadili menurut hukum dengan tidak
memebeda-bedakan orang. Asas ini diatur di dalam Pasal 3 ayat (2), Pasal
5 ayat (2), Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman perubahan atas (yang selanjutnya disebut jo) Pasal
2 Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama. pada
asasnya Peradilan Agama mengadili menurut hukum agama Islam dengan
tidak membeda-bedakan orang, sehingga hak asasi yang berkenaan dengan
persamaan hak dan derajat setiap orang di muka persidangan Pengadilan
Agama tidak terabaikan. Asas legalitas dapat dimaknai sebaai hak
perlindungan hukum dan sekaligus sebagai hak persamaan hukum.
Adapun asas yang lebih dikhususkan tentang kewenangan Pengadilan
Agama,
9
7. Asas Personalitas Ke-Islaman
Yang tunduk dan yang dapat ditundukan dan yang dapat ditundukan
kepada kekuasaan Peradilan Agama, hanya mereka yang mengaku dirinya
beragama Islam. Asas personalitas ke-Islaman diatur dalam Undang-
Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang perubahan atas Undang-Undang
Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
Ketentuan-ketentuan asas personalitas ke-Islaman yang melekat pada
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006 tentang Peradilan Agama adalah:
a) Para pihak yang bersengketa harus sama-sama beragama Islam
b) Perkara perdata yang disengketakan mengenai perkawinan,waris,
wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shodaqoh, dan ekonomi syariah.
c) Hubungan hukum yang melandasi berdasarkan hukum Islam, oleh
karena itu cara penyelesaiannya berdasarkan hukum Islam.
8. Asas Istilah (Upaya Perdamaian)
Upaya perdamaian diatur dalam Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan jo Pasal 31 Peraturan Pemerintah Nomor
9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tentang
perkawinan jo Pasal 65 dan Pasal 82 (1 dan 2) Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 yang tidak diubah dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 Tentang Peradilan Agama jo. Pasal 115 Kompilasi Hukum Islam jo.
Pasal 16 (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman.
10
Islam menyuruh untuk menyelesaikan setiapperselisihan dengan
melalui pendekatan “Ishlah”. Karena itu, tepat bagi para hakim peradilan
agama untuk menjalankn fungsi “mendamaikan”, sebab bagaimanapun
adilnya suatu putusan, pasti lebih cantik dan lebih adil hasil putusan itu
berupa perdamaian.
d. Kewenangan Pengadilan Agama
Tiap-tiap peradilan di Indonesia sudah mendapatkan tugas dan
kewenangannya dalam memeriksa, memutus dan menyelesaikan setiap
perkara atau permohonan yang di ajukan kepada Badan Peradilan, yang
dimaksud adalah Badan Peradilan yang diakui secara resmi di Indonesia yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata
Usaha. Semua tentang kewenangan tersebut telah ditetapkan oleh Mahkamah
Agung dan Badan Peradilan di bawahnya, sebagaimana telah dinyatakan
dalam Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Kekuasaan Kehakiman.
Adapun kewenangan Peradilan Agama dapat dibagi menjadi 2 (dua)
kewenangan yaitu:
a. Kewenangan Relatif (Relative Competensi)
Kewenangan relatif yaitu kewenangan mengadili suatu perkara yang
menyangkut wilayah atau daerah hukum (yurisdiksi), ataupun diartikan
sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam
pebedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama
tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan Agama Muara Enim
11
dengan Pengadilan Agama Baturaja.4 Hal inipun dikaitkan dengan tempat
tinggal pihak-pihak yang berperkara. Ketentuan umum menentukan
gugatan diajukan kepada pengadilan yang mewilayahi tempat tinggal