1 BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum Pidana 1.1.1. Politik Hukum Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata recht dan politiek. Istilah ini seyogianya tidak dirancukan dengan istilah yang muncul belakang, politiekrecht atau hukum politik, yang dikemukakan Hence van Maarseveen karena keduanya memiliki konotasi yang berbeda. Istilah politiekrecht berkaitan dengan istilah lain yang dikemukakan Hence van Maarseveen untuk mengganti istilah hukum tata negara. 1 Kata recht dalam bahasa Indonesia berarti hukum. Kata hukum sendiri berasal dari bahasa Arab hukm (kata jamaknya ahkam), yang berarti putusan (judgement, verdict, decision), ketetapan (provision), perintah (comand), pemerintahan (goverment), kekuasaan (authority, power), hukuman (sentence) dan lain-lain. 2 Politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum antara lain: yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Terdapatnya kata 1 Sri Soemantri, 2001. Undang-Undang Dasar 1945, Kedudukan dan Artinya dalam Kehidupan Bernegara, Dalam Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.19. 2 Ibid. 108
106
Embed
BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB II
TINJAUAN UMUM
1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum Pidana
1.1.1. Politik Hukum
Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa
Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari
dua kata recht dan politiek. Istilah ini seyogianya tidak dirancukan dengan istilah yang
muncul belakang, politiekrecht atau hukum politik, yang dikemukakan Hence van
Maarseveen karena keduanya memiliki konotasi yang berbeda. Istilah politiekrecht
berkaitan dengan istilah lain yang dikemukakan Hence van Maarseveen untuk
mengganti istilah hukum tata negara.1
Kata recht dalam bahasa Indonesia berarti hukum. Kata hukum sendiri berasal
dari bahasa Arab hukm (kata jamaknya ahkam), yang berarti putusan (judgement,
verdict, decision), ketetapan (provision), perintah (comand), pemerintahan
(goverment), kekuasaan (authority, power), hukuman (sentence) dan lain-lain.2 Politik
hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum antara lain:
yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku
di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Terdapatnya kata
1 Sri Soemantri, 2001. Undang-Undang Dasar 1945, Kedudukan dan Artinya dalam Kehidupan
Bernegara, Dalam Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, hlm.19. 2 Ibid.
108
2
kebijakan ini berkaitan dengan adanya strategi yang sistematis, terinci dan mendasar.
Dalam merumuskan dan menetapkan hukum yang telah dan akan dilakukan, politik
hukum menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara negara, tetapi dengan
tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Keseluruhannya ditujukan
untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.3
Kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh van der Tas, kata Politiek mengandung
arti beleid.4 Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan (policy).
Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa politik hukum secara singkat
berarti kebijakan hukum. Dengan kata lain, politik hukum adalah rangkaian konsep dan
asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,
kepemimpinan dan cara bertindak dalam bidang hukum.
Penjelasan pengertian politik hukum secara etimologis seperti yang diuraikan
di atas tentu tidak memuaskan, karena masih begitu sederhana dan dapat
membingungkan serta merancukan pemahaman tentang apa itu politik hukum. Oleh
karena itu perlu kiranya disajikan definisi politik hukum oleh para ahli hukum,
diantaranya:
Padmo Wahyono dalam bukunya “Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum”
mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk
maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Definisi ini masih bersifat abstrak dan
3 Imam Syaukani dan A. Ahsin Tohari, 2010. Dasar-dasar Politik Hukum, P.T. Raja Grafindo
Persada, Jakarta, hlm.32. 4 Ibid.
3
kemudian dilengkapi dengan sebuah artikelnya di majalah Forum Keadilan yang
berjudul: “Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan”. Dalam artikel
tersebut Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan
penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan
sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum,
penerapan hukum, dan penegakannya sendiri.5
Definisi yang dikemukakan diatas, disimpulkan kembali oleh Padmo Wahjono
yaitu: politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat mendasar
dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan
tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dengan demikian,
politik hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa
datang (ius constituendum).6
Teuku Mohammad Radhie dalam sebuah tulisannya berjudul Pembaharuan
dan Politik Hukum dalam rangka Pembangunan Nasional mendefinisikan politik
hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang
berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.7
Pernyataan mengenai hukuman yang berlaku di wilayahnya mengandung pengertian
hukum yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) dan mengenai arah perkembangan
hukum yang dibangun mengandung pengertian hukum yang berlaku di masa yang
5 Padmo Wahjono, 1986. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet II, Ghalia Indonesia,
Jakarta, hlm. 160. 6 Ibid. 7 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op.,Cit, hlm. 27
4
akan datang (ius constituendum). Dengan demikian, berbeda dengan definisi politik
hukum yang dikemukakan Padmo Wahjono, yang lebih mengarah pada hukum yang
bersifat ius constituendum, definisi politik hukum yang dirumuskan oleh Radhie
tampaknya memiliki dua wajah yang saling berkaitan dan berkelanjutan, yaitu ius
constitutum dan ius constituendum.
Soedarto (Ketua Perancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),
mengemukakan politik hukum adalah: kebijakan dari negara melalui badan-badan
negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki,
yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.8 Pada bukunya yang lain yang
berjudul Hukum dan Hukum Pidana dijelaskan, Politik hukum adalah usaha untuk
mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada
suatu waktu.9
Pengertian politik hukum yang dikemukakan Soedarto di atas mencakup
pengertian yang sangat luas. Pernyataan mengekspresikan apa yang terkandung dalam
masyarakat bisa ditafsirkan sangat luas sekali dan dapat memasukkan pengertian di
luar hukum, yakni politik ekonomi, sosial, budaya, dan Hankam. Sedangkan
pernyataan untuk mencapai apa yang dicita-citakan memberikan pengertian bahwa
politik hukum berkaitan dengan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).
8 Soedarto, 1979. Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum, dalam Hukum dan Keadilan
No. 5 Tahun ke-VII, Januari-Februari, hlm, 15-16; Soedarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan
Masyarakat Kajian terhadap Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, hlm,20 9 Soedarto, 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni, Bandung, hlm. 151
5
Soedarto tidak hanya membahas mengenai pada kurun waktu apa hukum yang
diterapkan (ius constituendum), tetapi tampaknya sudah pula menyinggung kerangka
pikir macam apa yang harus digunakan ketika menyusun sebuah produk hukum.
Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan
cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam
masyarakat.10 Sebagai seseorang yang mendalami sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo
lebih menitik beratkan definisi politik hukumnya dengan menggunakan pendekatan
secara sosiologis. Hal tersebut bisa dilihat dari pernyataan bahwa politik hukum
digunakan untuk mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.
Satjipto Rahardjo menyatakan terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang
muncul dalam studi politik hukum, yaitu: (1) tujuan apa yang hendak dicapai dengan
sistem hukum yang ada; (2) cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk
bisa dipakai mencapai tujuan tersebut; (3) kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan
melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan; dan (4) dapatkah
dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang bisa membantu kita memutuskan
proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik.11
Sunaryati Hartono dalam bukunya Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum
Nasional, sebenarnya tidak pernah menjelaskan secara ekplisit pengertian politik
hukum. Hal tersebut bukan berarti bahwa ia tidak mempedulikan keberadaan politik
hukum dari sisi praktisnya. Dalam hal ini, ia melihat politik hukum sebagai sebuah alat
10 Satjipto Rahardjo, 1991. Ilmu Hukum. Cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 352 11 Ibid, hlm. 352
6
(tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk
menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum
nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia.12 Pernyataan “menciptakan
sistem hukum nasional yang dikehendaki” mengisyaratkan bahwa kerangka kerja
politik hukum menurut Sunaryati Hartono lebih menitik beratkan pada dimensi hukum
yang berlaku di masa yang akan datang atau ius constituendum.
Definisi politik hukum berikutnya dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda
Nusantara, dalam sebuah makalahnya berjudul: Politik Hukum Nasional, yang
disampaikan pada Kerja Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu). Menurut Garuda
Nusantara, Politik Hukum Nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan
hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh
suatu pemerintahan negara tertentu.13
Politik hukum Nasional bisa meliputi: (1) pelaksanaan ketentuan hukum yang
telah ada secara konsisten; (2) pembangunan hukum yang pada intinya adalah
pembaharuan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan
penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan
perkembangan yang terjadi dalam masyarakat; (3) penegasan fungsi lembaga penegak
atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya; (4) meningkatkan kesadaran hukum
masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan.14
12 C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional.
Alumni, Bandung, hlm.1. 13 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op.,Cit, hlm. 31 14 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op.,Cit, hlm. 31
7
Definisi politik hukum dari Garuda Nusantara ini merupakan definisi politik
hukum yang paling komprehensif di antara definisi-definisi politik hukum yang
dipaparkan diatas. Hal ini dikarenakan penjelasan yang disampaikan mengenai wilayah
kerja Politik Hukum sangat jelas, yang meliputi: pertama, teritorial berlakunya politik
hukum dan kedua, proses pembaharuan dan pembuatan hukum, yang mengarah pada
sikap kritis terhadap hukum yang berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum
yang berdimensi ius constituendum. Lebih dari itu, Garuda Nusantara juga
menekankan pada pentingnya penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak
hukum, suatu hal yang tidak disinggung oleh para ahli hukum sebelumnya.
Berbagai definisi Politik hukum dari para sarjana diatas, dapat dielaborasi dan
dirumuskan dalam suatu pengertian politik hukum yaitu: kebijakan dasar
penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang
bersumber dari nilai-nilai kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang
dicita-citakan. Kata kebijakan berkaitan dengan adanya suatu strategi yang sistematis,
terinci dan mendasar. Dalam merumuskan dan menetapkan hukum yang telah dan akan
dilakukan, politik hukum menyerahkan otoritas-otoritas legislasi kepada
penyelenggara negara, tetapi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat dalam rangka mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.
1.1.2. Politik Hukum Pidana
Sebagai bagian dari politik hukum, politik hukum pidana mengandung arti
bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan
8
yang baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Peraturan perundang-
undangan yang baik harus mengakomodasi tujuan hukum yang diinginkan yaitu
adanya kepastian hukum, rasa keadilan dan bermanfaat dalam kehidupan masyarakat.
Politik hukum pidana merupakan suatu cara yang dipilih untuk melakukan
pembaharuan di bidang hukum pidana yang dalam hal ini berkaitan dengan euthanasia.
Pengaturan tentang euthanasia dalam KUHP di Indonesia belum
mencerminkan adanya kejelasan rumusan yang pasti mengenai euthanasia. Tidak ada
satu Pasalpun dalam KUHP yang menyebutkan euthanasia. Pasal-Pasal dalam KUHP
yang dapat dikaitkan dengan euthanasia adalah Pasal-Pasal yang mengatur tentang
kejahatan terhadap nyawa dan tubuh. Diperlukan suatu kebijakan formulasi dalam
pembentukan (penormaan) aturan hukum tentang euthanasia untuk menjamin
kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.
Mengutip pendapat Sutherland and Cressey, menyebutkan empat karakteristik
hukum pidana, yaitu:
There are four characteristic of criminal law:
1. It is assumed by political authority. The state assumes the role of plaintiff
or the party bringing forth charges. Murder, for example, is no longer just
an offense against a person, but against the state. In fact, the state prohibits
individual revenge in such matters, perpetrators must pay their debt to
society, not to the individual wronged (Ini diasumsikan oleh otoritas politik.
Negara mengasumsikan peran penggugat atau pihak yang mengajukan
tuntutan. Pembunuhan, misalnya, tidak lagi hanya pelanggaran terhadap
seseorang, tetapi melawan negara. Bahkan, negara melarang balas dendam
individu dalam hal-hal seperti itu, pelaku harus membayar utang mereka
kepada masyarakat, bukan kepada individu yang dirugikan).
2. It must be specific, defining both the offense as well as the proscribed
punishment. (harus spesifik, mendefinisikan baik pelanggaran maupun
hukuman yang dilarang.)
9
3. The law is uniformly applied. That is, equal punishment and fairness to all,
irrespective of social position, is intended (Hukum diterapkan secara
seragam. Artinya, hukuman yang setara dan keadilanbagi semua orang,
terlepas dari posisi sosialnya, dimaksudkan)
4. The law contains penal sanctions enforced by punishment administered by the
state.15 (Undang-undang mengandung sanksi pidana yang ditegakkan dengan
hukuman yang dikelola oleh Negara).
Mengutip pendapat A. Mulder didalam buku Bahan Bacaan Politik karangan
Barda Nawawi, politik hukum pidana (Strafrechtpolitiek) ialah garis untuk
menentukan:
1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau
diperbaharui.
2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.
3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana
harus dilaksanakan.16
Mengkaji pendapat yang disampaikan oleh A. Mulder tersebut diatas, urgensi
pembentukan peraturan tentang euthanasia sangat mendesak. Berdasarkan pada
pengalaman empiris dalam masyarakat, ternyata tanpa disadari praktek euthanasia
pasif maupun aktif sudah terjadi. Dalam KUHP, tidak ada satu Pasalpun yang
mengatur euthanasia, sehingga sangat diperlukan pengaturannya.
Kebijakan hukum pidana (penal policy) menurut pendapat Marc Ancel: “both
a science and art, of which the practical purposes ultimately are to anable the positive
rules better formulated and to guide not only the legislator who has to draft criminal
15 Hagan, Frank E., 1986. Introduction to Criminology (Theories, Methods, and Criminal
Behavior). Nelson – Hall. Chicago.p.12 16 Barda Nawawi Arief, 1992. Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana, Pasca Sarjana Universitas
Indonesia. Jakarta, hlm. 7.
10
subtitles, but the court by which they are applied and the prison administration which
gives practical effect to the court decision”.17 (suatu ilmu sekaligus seni yang pada
akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif
dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada
pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-
undang dan kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan).
Politik hukum pidana bertujuan untuk memformulasi pembentukan peraturan
perundang-undangan tentang euthanasia dalam hukum positif. Politik hukum sebagai
dasar untuk merumuskan kembali kebijakan formulasi tentang euthanasia oleh
pembentuk undang-undang, lembaga peradilan yang menerapkan undang-undang dan
kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan serta aparat penegak hukum.
1.2. Ruang Lingkup dan Esensi Euthanasia
1.2.1. Pengertian Euthanasia
Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu: “Eu-Thanatos”. “Eu”
artinya baik dan “Thanatos” artinya mati. Jadi euthanasia dapat diartikan sebagai
“kematian yang senang dan wajar”.18 John Suryadi dan S. Koencoro mengemukakan
bahwa menurut arti bahasa euthanasia itu adalah obat untuk mati dengan tenang.19
17 Marc Ancel, 1965. Social Defence A Modern Approach Problem, Reuledge & Kegan Paul,
London, p. 209. 18 Imron Halimy, 1990, Euthanasia, Ramadani, Solo, hlm.35. 19 John Suryadu dan S. Koencoro, 1986, Kamus Lengkap Populer, Indah, Jakarta, hlm.112.
11
Euthanasia menurut Ahmad Ramli dan K. St. Pamuncah, berarti mati suci tanpa
derita.20
Kartono Muhammad secara harfiyah memberikan definisi euthanasia berarti
mati secara baik.21 Dalam pengertian medis, euthanasia menurut Kartono Muhammad
adalah membantu mempercepat kematian seseorang agar terbebas dari penderitaan.22
Anton M. Moeliono memberikan definisi tentang euthanasia yaitu: tindakan
mengakhiri dengan sengaja kehidupan mahluk (orang atau pun hewan piaraan) yang
sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar
perikemanusiaan.23
Berdasarkan berbagai pengertian euthanasia seperti yang dikemukakan diatas,
dapat diambil intisari bahwa euthanasia adalah usaha, tindakan dan bantuan yang
dilakukan oleh seorang dokter kepada seseorang untuk dengan sengaja mempercepat
kematian seseorang tersebut yang menurut perkiraannya sudah hampir mendekati
kematian, dengan tujuan untuk meringankan atau membebaskannya dari penderitaan
yang dialaminya.24
Berbagai definisi yang dikemukakan diatas tersebut, menurut penulis belum
lengkap karena tidak mencakup tindakan euthanasia aktif atau sikap pasif (diam) dari
20 Ahmad Ramli dan K.St. Pamuncah, 1986, Kamus Kedokteran, Jambatan, Jakarta, hlm. 68. 21 Kartono Muhammad, Euthanasia, dalam Kompas, Edisi 6 Mei 1989. 22 Ibid 23 Anton, M. Moeliono, et.al, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm
237. 24 H.Ahmad Wardi Muslich, 2014, Euthanasia Menurut Pandangan Hukum Positif dan Hukum
Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.13
12
dokter untuk membiarkan saja dan tidak melakukan tindakan apapun. Definisi yang
dikemukakan oleh Euthanasia Study Group dari Ikatan Dokter Balanda dan
menjadikan batasan konseptual, yakni: Euthanasia adalah dengan sengaja tidak
melakukan sesuatu (nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja
melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien dan
semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri.25
Definisi dari ikatan dokter Belanda tersebut diatas menggambarkan bahwa
euthanasia bukan hanya tindakan mengakhiri hidup seorang pasien yang sangat
menderita saja, melainkan juga sikap diam, tidak melakukan upaya untuk
memperpanjang hidupnya dan membiarkannya mati tanpa upaya pengobatan. Definisi
euthanasia tersebut, mencakup tiga kemungkinan, yaitu:
a. Memperbolehkan (membiarkan) seseorang mati,
b. Kematian karena belas kasihan, dan
c. Mencabut nyawa seseorang karena belas kasihan.26
Memperbolehkan seseorang mati, mengandung pengertian tentang adanya
kenyataan bahwa segala macam usaha penyembuhan terhadap penyakit seseorang,
sudah tidak ada manfaatnya lagi. Secara medis usaha penyembuhan tersebut
mempunyai prognose negatif atau tidak menunjukkan hasil yang positif. Dalam situasi
tertentu, pemaksaan terhadap upaya pengobatan yang sudah tidak bermakna tersebut
justru mengakibatkan bertambahnya penderitaan pasien. Dalam kondisi tersebut,
25 Ibid. 26 Ibid.
13
sebaiknya pasien dibiarkan meninggal dengan caranya sendiri tanpa campur tangan
orang lain dengan tenang dan damai.
Kematian karena belas kasihan, mempunyai pemahaman yang berkaitan
dengan suatu tindakan yang secara langsung dan disengaja untuk mengakhiri
kehidupan seseorang yang didasarkan atas izin atau permintaan pasien tersebut. Hal ini
disebabkan oleh kondisi penderita yang sudah tidak tahan lagi menanggung rasa sakit
yang demikian berat.
Mencabut nyawa seseorang karena belas kasihan, merupakan suatu tindakan
yang langsung untuk menghentikan kehidupan pasien tanpa izinnya. Tindakan ini
didasarkan atas asumsi bahwa kehidupan si pasien selanjutnya tidak ada artinya lagi.
Tentu saja ada perbedaan antara peristiwa ini dengan kematian karena kasihan, yaitu
bahwa dalam peristiwa yang terakhir ini tindakan dilakukan tanpa izin dan persetujuan
si pasien.
1.2.2. Sejarah Euthanasia
a. Euthanasia Jaman Dahulu
Perbuatan euthanasia telah banyak dilakukan sejak jaman dahulu dan banyak
memperoleh dukungan oleh tokoh-tokoh besar dalam sejarah, seperti Plato, yang
mendukung tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang pada masa itu, untuk
mengakhiri penderitaan dari penyakit yang dialaminya. Aristoteles telah membenarkan
tindakan infanticide, yaitu membunuh anak yang berpenyakit dari lahir dan tidak dapat
hidup menjadi manusia yang perkasa. Phytagoras dan kawan-kawan menyokong
14
perlakuan pembunuhan pada orang-orang yang lemah mental dan moral.27 Berdasarkan
laporan, euthanasia juga pernah terjadi di India dan Sardinia. Bahkan dalam perang
dunia ke dua, Hitler memerintahkan untuk membunuh orang-orang sakit yang tidak
mungkin disembuhkan dan bayi-bayi yang lahir dengan cacat bawaan.28
Hipokrates pertama kali menggunakan istilah euthanasia pada Sumpah
Hipokrates yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut antara lain berbunyi:
“saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada
siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu.” Kenyataan praktek-praktek euthanasia
jaman dahulu kala dapat ditemukan, misalnya di India pernah dipraktekkan suatu
kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga dan di
Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di jaman purba.29
b. Euthanasia Pada Masa Setelah Perang Dunia
Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan
euthanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap
euthanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan euthanasia yang dilakukan secara
tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika. Uruguay mencantumkan
kebebasan praktek euthanasia dalam undang-undang yang telah berlaku sejak tahun
1933. Di beberapa negara Eropa, praktek euthanasia bukan lagi kejahatan kecuali di
Norwegia yang sejak tahun 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.
1) mengembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, atau;
2) memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada pemerintah;
3) dalam hal ini yang ke-2, anak tersebut dimasukkan dalam rumah
pendidikan negara yang penyelenggaraannya diatur dalam Peraturan
Pendidikan Paksa (Dwangopvoedingregeling, Stb. 1916 No.741);
4) penempatan di tempat bekerja Negara bagi penganggur yang malas bekerja
dan tidak mempunyai mata pencaharian, serta mengganggu ketertiban
umum dengan melakukan pengemisan, bergelandangan atau perbuatan
asosial. (Stb. 1936 No. 160)57
Sanksi pidana diartikan sebagai suatu nestapa atau penderitaan yang ditimpakan
kepada seseorang yang bersalah melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum
pidana, dengan adanya sanksi tersebut diharapkan orang tidak akan melakukan tindak
pidana. Pengertian tentang sanksi pidana menurut Herbert L. Packer dalam bukunya
The Limits of Criminal Sanction adalah:
Criminal punishment means simply any particular disposition or the range or
permissible disposition that the law authorizes (or appears to authorize) in cases
of person who have been judged through the distinctive processes of the criminal
law to be guilty of crime.58
Black's Law Dictionary Henry Campbell Black memberikan pengertian sanksi
pidana sebagai punishment attached to conviction at crimes such fines, probation and
57 Di samping ketentuan yang terdapat dalam KUHP, sesungguhnya sanksi tindakan juga diatur
dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP, yaitu Pasal 8 UU Drt Tahun 1955, yang berupa
penempatan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan untuk selama waktu tertentu (3 tahun untuk
kejahatan TPE dan 2 tahun untuk pelanggaran TPE); (1) pembayaran uang jaminan selama waktu
tertentu; (2) pembayaran sejumlah uang menurut taksiran yang diperoleh dari tindak pidana yang
dilakukan; (3) kewajiban melakukan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan
tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya
si terhukum sekadar hakim tidak menentukan lain. 58 Herbert L. Packer, Op.Cit, hlm. 35
34
sentences.59 (suatu pidana yang dijatuhkan untuk menghukum suatu penjahat
(kejahatan) seperti dengan pidana denda, pidana pengawasan dan pidana penjara).
Berdasarkan deskripsi pengertian sanksi pidana di atas dapat disimpulkan, bahwa pada
dasarnya sanksi pidana merupakan suatu pengenaan suatu derita kepada seseorang
yang dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan (perbuatan pidana) melalui suatu
rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan (hukum) yang secara khusus diberikan
untuk hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak
melakukan tindak pidana lagi.
Jenis-jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Jenis-jenis pidana ini
berlaku juga bagi delik yang tercantum di luar KUHP, kecuali ketentuan undang-
undang itu menyimpang.60 Jenis-jenisnya dibedakan antara pidana pokok dan pidana
tambahan. Pidana pokok terdiri dari: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan,
pidana denda, dan pidana tutupan.61 Sedangkan pidana tambahan terdiri dari:
pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan
hakim. Pidana tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan, kecuali dalam
hal tertentu.
Pertama adalah pidana pokok yang terdiri dari lima jenis pidana. Pertama,
pidana mati. Pidana mati adalah salah satu jenis pidana yang paling tua, setua umat
manusia. Pidana mati juga merupakan bentuk pidana yang paling menarik dikaji oleh
59 Henry Campbell Black, Op.Cit., hlm. 337 60 Pasal 103 KUHP. 61 Pidana tutupan merupakan jenis pidana berdasarkan KUHP terjemahan BPHN berdasarkan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946.
35
para ahli karena memiliki nilai kontradiksi atau pertentangan yang tinggi antara yang
setuju dengan yang tidak setuju. Kalau di negara lain satu persatu menghapus pidana
mati, maka sebaliknya yang terjadi di Indonesia.62 Semakin banyak delik yang diancam
dengan pidana mati.
Delik yang diancam pidana mati dalam KUHP ada 9 buah, yaitu sebagai
berikut:
1. Pasal 104 KUHP (makar terhadap presiden dan wakil presiden).
2. Pasal 111 ayat (2) KUHP (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau
berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau berperang).
3. Pasal 124 ayat (1) KUHP (membantu musuh waktu perang).
4. Pasal 124 ayat (3) KUHP (menyebabkan atau memudahkan atau menganjurkan
huru hara).
5. Pasal 140 ayat (1) KUHP (makar terhadap raja atau presiden atau kepala negara
sahabat yang direncanakan atau berakibat maut).
6. Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana).63
7. Pasal 365 ayat (1) KUHP (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan
luka berat atau mati).
62 Beberapa Negara telah mencabut pidana mati seperti Brazil Tahun 1979, Republik
FederasiJermanTahun 1949, KolumbiaTahun 1919, Kosta Rika Tahun 1882, Denmark Tahun 1978,
Dominika tahun 1924, Ekuadortahun 1897, Fiji tahun 1979, Firlandia tahun 1972, Honduras tahun 1965,
Luvemburg tahun 1979, Norwegia tahun 1979, Australia tahun 1968, Portugal tahun 1977, Uruguay
tahun 1907, Venezuela tahun 1863, Eslandia tahun 1928, Swedia tahun 1973, Swiss tahun 1973. Andi
Hamzah, Asas...Op.Cit. him. 179-180. 63 Khusus untuk pidana mati terhadap pembunuhan berencana sebagaimana tercantum dalam
Pasal 340 KUHP, uraian lengkap tentang hal itu, Lihat J.E Sahetapy, Suatu Studi...Op.Cit, hlm. 279-336.
36
8. Pasal 444 KUHP (pembajakan di laut, di pesisir dan di sungai yang meng-
akibatkan kematian).
9. Pasal 479k ayat (2) dan Pasal 479o ayat (2) KUHP. (kejahatan penerbangan dan
kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan).
Kedua, pidana penjara. Pidana penjara adalah berupa pembatasan kebebasan
bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menempatkan orang tersebut
di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang menyebabkan orang tersebut
harus mentaati semua peraturan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar.64 Pidana
penjara adalah jenis pidana yang dikenal juga dengan istilah pidana pencabutan
kemerdekaan atau pidana kehilangan kemerdekaan, pidana penjara juga dikenal
dengan sebutan pidana pemasyarakatan.
Pidana penjara dewasa ini merupakan jenis utama dan umum dari pidana
kehilangan kemerdekaan. Pada jaman dahulu, pidana penjara tidak dikenal dalam
sistem hukum di Indonesia (hukum adat), yang dikenal adalah pidana pembuangan,
pidana badan berupa pemotongan anggota badan, atau dicambuk, pidana mati dan
pidana denda atau berupa pembayaran ganti kerugian.65 Pidana penjara dalam KUHP
bervariasi dari pidana penjara sementara minimal 1 hari sampai pidana penjara seumur
hidup. Pidana penjara seumur hidup hanya tercantum dimana ada ancaman pidana mati
(pidana mati atau seumur hidup atau pidana dua puluh tahun).
64 P.A.F. Lamintang, 1986. Hukum Panitensir Indonesia, Aremico, Bandung, hlm. 58. 65 Barda Nawawi Arief, 2000. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan
Pidana Penjara, (Cetakan Ketiga), Badan Penerbit UNDIP, Semarang.hlm, 37.
37
Ketiga, pidana kurungan. Pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua
tujuan. Pertama, sebagai custodia hunesta untuk delik yang tidak menyangkut
kejahatan kesusilaan, yaitu delik-delik culpa dan beberapa delik dolus, seperti Pasal
182 KUHP tentang perkelahian satu lawan satu dan Pasal 396 KUHP tentang pailit
sederhana. Kedua Pasal tersebut diancam dengan pidana penjara. Kedua, sebagai
custodia simplex, yaitu suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran.66
Pidana kurungan tidak dijatuhkan terhadap delik dolus, kecuali dalam Pasal 483
dan Pasal 484 KUHP tentang unsur sengaja dan culpa. Sebaliknya terdapat pidana
penjara pada delik culpa, alternatif dari pidana kurungan yang dalam satu Pasal juga
terdapat unsur sengaja dan culpa, seperti dalam Pasal 293 KUHP.67 Pidana kurungan
hakikatnya lebih ringan daripada pidana penjara dalam hal penentuan masa hukuman
kepada seseorang. Hal ini sesuai dengan stelsel pidana dalam Pasal 10 KUHP, dimana
pidana kurungan menempati urutan ketiga di bawah pidana mati dan pidana penjara.
Stelsel tersebut menggambarkan bahwa pidana yang urutannya lebih tinggi memiliki
hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan stelsel pidana yang berada di
bawahnya.
Salah satu contoh mengenai pidana kurungan adalah Pasal 359 KUHP. Pasal
tersebut menyatakan bahwa Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya)
menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Demikian halnya dengan Pasal 483
pidana mati.71 Pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa
pelanggaran atau kejahatan ringan. Dengan pemahaman ini, pidana denda adalah satu-
satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana.
Pidana denda diatur dalam Pasal 30 dan Pasal 31KUHP.
Pasal 30 KUHP menyatakan:
(1) Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen;
(2) Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan;
(3) Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama
enam bulan;
(4) Dalam putusan hakim lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan de-
mikian: jika pidana dendanya tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang, dihitung
satu hari: jika lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu
hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen;
(5) Jika ada pemberatan pidana denda, disebabkan karena ada perbarengan atau
pengulangan, atau karena ketentuan Pasal 52, maka pidana kurungan pengganti
paling lama delapan bulan;
(6) Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan".
Pasal 31 KUHP menyatakan:
(1) Terpidana dapat menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas
waktu pembayaran denda.
(2) Ia selalu berwenang membebaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti
dengan membayar dendanya.
(3) Pembayaran sebagian dari pidana denda, baik sebelum maupun sesudah dan
mulai menjalani pidana kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari
sebagian pidana kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.
Kelima, pidana tutupan. Pidana tutupan merupakan jenis pidana yang tercantum
dalam KUHP sebagai pidana pokok berdasarkan UU No. 20 Tahun 1946.
Pasal 2 UU No. 20 Tahun 1946 menyatakan:
71 Andi Hamzah, Op.Cit, hlm. 189.
40
(1) Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan
hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim
boleh menjatuhkan hukuman tutupan.
(2) Peraturan dalam ayat (1) tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan
kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi
adalah sedemikian rupa, sehingga hakim berpendapat, bahwa hukuman penjara
lebih pada tempatnya.
Andi Hamzah menyatakan bahwa pidana tutupan disediakan bagi para politisi
yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya.72 Namun
demikian, dalam praktik peradilan dewasa ini tidak pernah ketentuan tentang pidana
tutupan diterapkan. Hal ini karena biasanya, hakim terikat dengan ketentuan hukum
yang ada di mana ketentuan hukum yang mengatur tentang pelanggaran yang dilakukan
oleh seseorang tidak menyebutkan sanksi yang dikenakan adalah pidana tutupan.73
Kedua adalah pidana tambahan yang terdiri dari tiga jenis. Pertama, pencabutan
hak-hak tertentu. Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti
hak-hak terpidana dapat dicabut.74 Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak-
hak kehidupan dan juga hak-hak sipil dan hak-hak ketatanegaraan. Pencabutan hak-
72 Andi Hamzah, 1983, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Akademika
Pressindo, Jakarta, hlm. 46. 73 Muhammad Taufik Makarao, Op.Cit, hlm. 154. 74 Dari segi sejarahnya pidana pencabutan hak-hak tertentu ini ditemukan dalam hukum Romawi.
Misalnya infamia (hilangnya sejumlah hak istimewa sebagai warga Romawi atau hilangnya
kehormatan), deminutioexistimationis fpengurangan kehormatan) yang dijatuhkan terhadap perbuatan
melakukan pekerjaan-pekerjaan tidak terhormat, termasuk pada pelanggaran kontrak, dan juga
berhubungan dengan vonis terhadap sejumlah kejahatan tertentu. Cirinya adalah bahwa hukuman
demikian tidak dijatuhkan melainkan berlaku berlaku secara otomatis dan sejauh mungkin berupaya
mewujudkan restitutio in integrum yangterkadang berarti seumur hidup. Hukuman ini berwujud
pencabutan keseluruhan hak privat maupun hak publik terpidana. Sering juga berhubungan dengan delik
yang dilakukan, namun semata-mata dimaksudkan untuk merendahkan kehormatan pelaku pelanggaran
bersalah melakukan pelanggaran hukum tersebut dan menempatkannya sebagai warga kelas bawah. van
Remmelink, Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Undang-Undang Hukum
Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 492 : 93.
41
hak tertentu itu adalah suatu pidana di bidang kehormatan dengan melalui dua cara,
yaitu (1) tidak bersifat otomatis, tetapi harus ditetapkan dengan putusan hakim; dan (2)
tidak berlaku selama hidup, tetapi menurut jangka waktu menurut undang-undang
dengan suatu putusan hakim.75
Pasal 35 KUHP menyatakan hak-hak tertentu yang dapat dicabut, yaitu:
1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;
2. Hak untuk memasuki angkatan bersenjata;
3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan
umum;
4. Hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali
pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang-orang yang bukan
anak sendiri;
5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwakilan atau pengampuan
atas anak sendiri;
6. Hak menjalankan pencaharian tertentu.
Kedua, perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini merupakan
pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana denda. Ada dua macam barang
yang dapat dirampas, yaitu barang-barang yang didapat karena kejahatan, dan barang-
barang yang dengan sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan. Dalam hal ini
berlaku ketentuan umum, yaitu haruslah kepunyaan terpidana, kecuali terhadap
kejahatan mata uang, dimana pidana perampasan menjadi imperatif.
Pasal 39 KUHP menyatakan:
(1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja
dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.
(2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja,
atau karena pelanggaran, dapat juga dirampas seperti di atas, tetapi hanya dalam
hal yang ditentukan dalam undang-undang.
75 Andi Hamzah, Op.Cit, hlm. 192.
42
(3) Perampasan dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah yang oleh
Hakim diserahkan kepada Pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang
disita.
Ketiga, pengumuman putusan hakim. Dalam Pasal 43 KUHP ditentukan bahwa
apabila hakim memerintahkan supaya diumumkan berdasarkan kitab undang-undang
ini atau aturan umum yang lain, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara
melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Menurut Andi Hamzah, kalau
diperhatikan delik-delik yang dapat dijatuhi tambahan berupa pengumuman putusan
hakim, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pidana tambahan ini adalah agar
masyarakat waspada terhadap kejahatan-kejahatan seperti penggelapan, perbuatan
curang dan lainnya.76
1.3.3. Perbedaan antara Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan
Sanksi pidana bersumber dari ide dasar, mengapa diadakan pemidanaan?
Sedangkan sanksi tindakan bertolak dari dari ide dasar untuk apa diadakan
pemidanaan? Sanksi pidana pada dasarnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan,
sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut.
Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan
penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera), maka fokus sanksi tindakan terarah
pada upaya memberi pertolongan agar pelaku berubah.77 Dengan demikian, sanksi
pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). la merupakan penderitaan
76 Andi Hamzah, 1985, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi,
Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 53 77 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2005. Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 88.
43
yang sengaja dibebankan kepada si pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber
dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pelanggar.78
Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa kepada pelanggar
supaya ia merasakan akibat perbuatannya, dan merupakan bentuk pernyataan
pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih
bersifat mendidik. Jika ditinjau dari sudut teori-teori pemidanaan, maka sanksi
tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. la semata-mata ditujukan pada
prevensi khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan
kepetingannya.
Perbedaan orientasi dasar dari dua jenis sanksi tersebut sebenarnya memiliki
kaitan pula dengan paham filsafat yang memayunginya, yakni filsafat indeterminisme
sebagai sumber sanksi pidana dan filsafat determinisme sebagai sumber sanksi
tindakan. Sebagaimana diketahui, asumsi dasar filsafat indeterminisme adalah
sejatinya manusia memiliki kehendak bebas, termasuk ketika ia melakukan kejahatan.
Karenanya sebagai konsekuensi pilihan bebasnya, maka setiap pemidanaan harus
diarahkan pada pencelaan moral dan pengenaan penderitaan bagi pelaku.79
Determinisme bertolak dari asumsi bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia,
baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok masyarakat, ditentukan oleh
faktor-faktor fisik, geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis, dan
78 Sudarto, 1973. Hukum Pidana I (Jilid 1 A), Badan Penyediaan Kuliah FH UNDIP, Semarang,
hlm. 7. 79 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit.,hlm. 89.
44
keagamaan yang ada. Perilaku jahat seseorang ataupun masyarakat ditentukan oleh
berbagai faktor itu, dan karenanya setiap pemidanaan hanya dapat dibenarkan dengan
maksud merehabilitasi pelaku, atau, kejahatan sebenarnya merupakan manifestasi dari
keadaan jiwa seseorang yang abnormal.80 Dengan demikian, si pelaku tidak dapat
dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana.
Perbedaan ide dasar antara sanksi pidana dan sanksi tindakan seperti tersebut
di atas, dapat pula ditemukan dalam teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Substansi
teori absolut ataupun teori relatif sesungguhnya berkisar pada perbedaan hakikat ide
dasar sanksi pidana dan sanksi tindakan. Teori absolut (teori retributif), misalnya,
memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah
dilakukan. Jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu
sendiri. Teori retributif mencari pendasaran pemidanaan dengan memandang ke masa
lampau (backward looking), yakni memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan
yang telah dilakukan. Menurut teori ini, pemidanaan diberikan karena si pelaku harus
menerima sanksi itu demi karugian yang sudah diakibatkan. Karenanya teori ini disebut
juga sebagai teori proporsionalitas. Demi alasan itu, pemidanaan dibenarkan secara
moral.81
Teori relatif (teori tujuan), berporos pada tiga tujuan pemidanaan, yaitu
preventif, deterrence, dan reformatif. Tujuan prevention dalam pemidanaan adalah
untuk melindungi masyarakat, dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari
(..............sementara jawaban-jawaban yang didasarkan pada hukum yang tidak
tertulis menggoncangkan dasar-dasar hukum positif. Meskipun diakui bahwa tidak
perlu perbuatan yang mencocoki rumusan delik adalah bersifat melawan hukum,
akan tetapi pengecualian yang demikian hanya boleh diterima apabila mempunyai
dasar-dasar dalam hukum positif itu sendiri..................dalam hal ada keraguan
tentang ketidak beraturan karakter, tidak dapat diikuti dengan pernyataan salah,
saya tidak sependapat dengan itu, sehubungan dengan pandangan yang saya ikuti
bahwa sifat melawan hukum berasal dari keadaan bahwa perbuatan bertentangan
dengan larangan tertulis dan hanya hapus bilamana dapat ditunjuk suatu
pengecualian terhadap ketentuan tersebut).
Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Van Hamel dan Simons paling tidak
ada tiga pengertian hukum dalam frase melawan hukum. Pertama, hukum dalam
pengertian objectief recht yang dikemukakan Simons yakni hukum dalam pengertian
hukum tertulis dan menolak hukum tidak tertulis. Kedua, hukum dalam pengertian
subjectief recht seperti yang dikemukakan oleh Noyon. Artinya, melawan hak
seseorang. Ketiga, pengertian hukum dalam frase melawan hukum diartikan sebagai
tanpa kewenangan.
Pandangan Simons terkait pengertian hukum semata hanyalah hukum tertulis
atau undang-undang ditentang oleh Noyon dan Langemeijer sebagai berikut:
Nu laat zich reeds aantonds voorop stellen, dat de eerste opvatting en taalkundig
en systematisch het sterkst staat. ”Wederrechtelijk” wijst in de richting van een
botsing met, niet van enkel gemis aan steun in het recht, maar dan ook van een
botsing met het recht zonder onderscheid, ongeacht of het geschreven of
ongestchrevenis en of het aan iemand op het achterwege blijven van het betreffende
gedrag een subjectief recht verleent in den technisch jusrisdischen trouwens nog
weinig vaststaanden zin. Ook ligt het apriori meer voor de hand om te
veronderstellen dat de wetgever de strafbaar heid van eenig gedrag daarvan laat
afhangen, of het met het objectieve recht al dan niet in sttrijd komt, dan dat hij
ofwel die strafbaarheid reeds zou laten intreden wanner geen subjectief recht
bestaat om zich aldus te gedragen ofwel eerstdan wanneer bahalve op strijd met
51
het objectieve recht ook op inbreuk in het subjectieve recht van een ander valt te
wijzen.92
(Dari dulu sudah kelihatan bahwa pendapat pertama adalah yang terkuat baik
menurut tata bahasa sistematis. ”Melawan Hukum” menunjuk pada bertentangan
dengan bukan hanya kehilangan dukungan dalam hukum, tetapi juga bertentangan
dengan hukum tanpa membeda-bedakan apakah tertulis ataukah tidak tertulis dan
apakah pada seseorang karena tidak adanya kelakuan itu lalu demikian suatu hal
subjektif dalam arti teknis juridis. Juga secara apriori lebih gampang menduga
bahwa pembentuk undang-undang menggantungkan dapat dipidananya suatu
kelakuan yaitu bertentangan atau tidak dengan dengan hukum obyektif yang
melanggar hak subjektif orang lain).
Pendapat Noyon dan Langemeijer mendapat sokongon dari Pompe yang secara
tegas menyatakan:
Intussen is de term wederrechtelijk thans in de wettelijke omschrijving van
verscheidene strafbare feiten opgenomen. De vraag doet zich nu voor, wat deze
term in de wet betekent. Dit is geen vraag van algemene rechstheoretische aard,
maar van interpretatie der wet. Het is niet moelijk een algemeen antwoord op deze
vraag te geven. Wederrechtelijk betekent: in strijd met het recht.93
(istilah melawan hukum banyak dipakai dalam rumusan delik. Apa arti istilah ini
dalam undang-undang. Ini bukan soal teori hukum umum tetapi interpretasi
undang-undang. Tidak sukar untuk memberi jawaban umum atas pertanyaan ini.
Bahwa melawan hukum berarti: bertentangan dengan hukum).
Pompe melanjutkan pendapatnya, ”Wederrechtelijk betekent: in strijd met het
recht, hetgeen ruimer is dan: in strij met de wet. Behalve wettelijke voorschriften
komen hier ongeschreven regelen in annmerking”94 (melawan hukum berarti:
bertentangan dengan hukum, tidak hanya sebatas: bertentangan dengan undang-
undang. Selain dari peraturan perundang-undangan tertulis, harus diperhatikan aturan-
92 T.J Noyon & G.E. Lengemeijer, 1947. Het Wetboek Van Strafrecht, Vijfde Druk, Eerste Deel
Inleiding Boek I, S. Gouda Quint-D. Brouwer En Zoon, Uitgevers Het Huis De Grabbe-Arnhem. 93 W.P.J. Pompe, 1959. Hanboek Van Het Nederlandse strafrecht , Vijfde Herziene Druk, N.V.
Uitgever-Maatschappij W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, p. 103-104 94 Ibid.
52
aturan tidak tertulis). Demikian juga menurut van Bemmelen dan van Hatum yang
menyebutkan: ”In deze geschiedenis vind ik geen aanwijzing dat de betekenis van
wederrechtelijk niet beperkt zou zijn tot: in strijd met het geschreven recht”95 (dalam
sejarah saya tidak menemukan bahwa arti dari melawan hukum itu tidak terbatas pada
bertentangan dengan hukum tertulis).
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dikelompokkan pengertian hukum
dalam frase melawan hukum meliputi empat pengertian, yaitu: pertama: hukum tertulis
atau objectief recht. Kedua, subjectief recht atau hak seseorang. Ketiga, tanpa
kekuasaan atau tanpa kewenangan. Hal ini berdasarkan Putusan Hoge Raad 18
Desember 1911 W. Nr. 9263. Keempat, hukum tidak tertulis. Dalam konteks hukum di
Indonesia termasuk dalam hukum tidak tertulis adalah hukum adat norma-norma
lainnya yang terkandung dalam masyarakat.
Komariah Emong Supardjadja dalam disertasinya menjelaskan arti melawan
hukum dalam hukum perdata dengan menyandingkan ketentuan Pasal 1382 Code Civil
Perancis, Pasal 1401 Burgerlijk Wetboek Belanda dan Pasal 1365 KUH Perdata. Secara
tegas Pasal 1382 Code Civil Perancis menentukan: ”tour fait quencongue de L’homme,
quil cause un dommage, oblige celui pa la faute duquel il est arrive, a le reparer”.
Sementara dalam Pasal 1401 Burgerlijk Wetboek Belanda disebutkan ”Elke on
Rechtmatige daad, waardoor aan een Ander schade wordt toegebracht, stelt dengene
door wiens sculd die schade veoorzaakt is in de verplicgting om dezelft te goeden”.
95 J.M.van Bemmelen En W.F.C. van Hattum, Op.Cit,hlm.224.
53
Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia menentukan: ”tiap perbuatan melanggar hukum
yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”96
Menyandingkan ketiga peraturan tersebut di atas, terlihat bahwa teks Belanda
berisikan ketentuan onrechtmatige daad yang tidak ada dalam Pasal 1382 Code Civil
Perancis. Pembentuk undang-undang di Belanda yang sengaja merubah perkataan
”..........tout fair quelconque de L’homme.....” yang sama artinya dengan
wederrechtelijk dengan perkataan onrechtmatige daad, untuk menegaskan bahwa tidak
setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada seseorang adalah melawan
hukum.97
Penulis sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Noyon, Langemeijer
dan Pompe, yang menyatakan dengan jelas bahwa melawan hukum tidak hanya
terbatas pada perbuatan yang bertentangan/melawan hukum dalam suatu peraturan
perundang-undangan tertulis, tetapi juga bertentangan dengan peraturan-peraturan
yang tidak tertulis. Jika dikaitkan dengan euthanasia, maka tidak ada perbuatan yang
dikategorikan melawan hukum baik dalam peraturan perundang-undangan tertulis
maupun peraturan tidak tertulis. Euthanasia pada hakekatnya merupakan suatu proses
mempercepat kematian yang diinginkan oleh pasien yang mengalami sakit kronis
(terminal) yang sudah dalam kondisi menuju kematian.
96 E. Utrecht, 1960. hukum Pidana I, dalam Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana,
Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 143. 97 Mahrus Ali, Op.,Cit, hlm.144
54
Tindakan euthanasia secara umum dibagi dalam dua kelompok yaitu euthansia
aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia pasif merupakan perbuatan yang dilakukan
pasien atau keluarga pasien untuk menghentikan segala jenis pengobatan yang sedang
berlangsung karena memandang penyakit yang diderita pasien sudah tidak dapat
diobati dan disembuhkan. Euthanasia aktif umumnya selalu berkaitan dengan suatu
penyakit yang parah, dengan tindakan aktif yang dilakukan yang bertujuan untuk
mengurangi penderitaan pasien dengan resiko kehidupannya diperbaiki. Jadi perbuatan
euthanasia bukan merupakan perbuatan melawan hukum, yang bertentangan dengan
hukum atau perbuatan yang tergolong anti sosial, baik euthanasia pasif maupun
euthanasia aktif.
1.4.2. Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana
Kedudukan sifat melawan hukum dalam hukum pidana mempunyai ciri
tersendiri. Telah terjadi kesepahaman secara umum di kalangan para ahli hukum pidana
dalam melihat sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan perbuatan pidana.
Bersifat melawan hukum mutlak untuk setiap perbuatan pidana. Andi Zainal Abidin
mengatakan bahwa salah satu unsur esensial delik adalah sifat melawan hukum
(Wederrechtelijkheid) yang dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu Pasal
undang-undang pidana, karena alangkah janggalnya kalau seseorang dipidana ketika
melakukan perbuatan yang tidak melawan hukum.98
98 Andi Zainal Abidin Farid,2007, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,
hlm, 47.
55
Roeslan Saleh menyatakan memidana sesuatu yang tidak melawan hukum tidak
ada artinya.99 Berdasarkan dua pendapat tersebut dapat kiranya disimpulkan bahwa
untuk dapat dikatakan seseorang melakukan perbuatan pidana, maka terhadap
perbuatan tersebut haruslah bersifat melawan hukum.
1.4.2.1. Sifat Melawan Hukum Umum
Melawan hukum sebagai elemen perbuatan pidana dapat dikatakan sebagai sifat
melawan hukum umum atau generale wederrechtelijkheid. Sifat melawan hukum ini
adalah syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan
pidana oleh Ch.J. Enschede sebagai, ”een menselijke gedraging die valt binnen de
grenzen van delictsomsschrijving, wederrechtelijk is en aan schuld te wijten”
(perbuatan pidana adalah suatu perbuatan manusia yang termasuk dalam rumusan
delik, melawan hukum, dan kesalahan yang dapat dicelakan padanya).100
Melawan hukum sebagai syarat umum perbuatan pidana tersimpul dalam
pernyataan van Hamel, ”De onrechtmatigheid van het delik is een bestanddeelen van
het algemeen begrip............De strafwetgever stelt dit bestanddeel meestal niet, maar
hij veronderstelt het altijd.101 (sifat melawan hukum dari suatu perbuatan pidana adalah
bagian dari suatu pengertian yang umum..........Pembuat undang-undang pidana tidak
pernah menyatakan bagian ini tetapi selalu merupakan dugaan).
99 Roeslan Saleh 1987, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta,
hlm. 1. 100 Ch. J. Enschede, 2002, Beginselen van Strafrecht, Kluwer, Deventer, hlm.156. 101 G.A. van Hamel, Op.Cit, hlm.263-264.
56
Ketentuan KUHP yang berlaku sekarang adakalanya perkataan melawan
hukum dirumuskan secara tegas dan eksplisit di dalam rumusan delik dan adakalanya
tidak dirumuskan secara tegas dan eksplisit. Memperhatikan rumusan yang terdapat
dalam Pasal yang paling mendekati tindakan euthanasia yaitu Pasal 344 KUHP,
kalimat melawan hukum tidak dirumuskan secara tegas dan ekplisit. Hal ini memiliki
arti ruang lingkup rumusan delik dalam Pasal 344 KUHP sangat luas. Apabila kalimat
melawan hukum dirumuskan dan dicantumkan secara tegas dalam rumusan delik, hal
demikian memiliki arti penting untuk memberikan perlindungan atau jaminan tidak
dipidananya orang yang berhak atau berwenang melakukan perbuatan-perbuatan
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.102
Schaffmeister berpendapat, ditambahkannya perkataan melawan hukum
sebagai salah satu unsur dalam rumusan delik dimaksudkan untuk membatasi ruang
lingkup rumusan delik yang dibuat terlalu luas. Hanya jika suatu perilaku yang secara
formal dapat dirumuskan dalam ruang lingkup rumusan delik, namun secara umum
sebenarnya bukan merupakan perbuatan pidana, maka syarat melawan hukum
dijadikan satu bagian dari rumusan delik.103 Konsekuensinya adalah pencantuman
melawan hukum dalam rumusan delik menyebabkan jaksa penuntut umum harus
membuktikan unsur tersebut.
102 Tongat, 2008. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, UMM
Press, Malang, hlm.211. 103 Chairul Huda, 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada Pertanggung
jawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, hlm. 50.
57
Perkataan melawan hukum jika tidak disebutkan atau dicantumkan secara tegas
dan eksplisit dalam rumusan delik, maka unsur melawan hukum tersebut tidak perlu
dibuktikan. Unsur melawan hukumnya perbuatan itu secara otomatis telah terbukti
dengan telah terbuktinya perbuatan yang dilarang.104 Dengan perkataan lain, walaupun
kata melawan hukum tidak disebutkan dalam rumusan delik, maka secara diam-diam
sifat melawan hukum tersebut telah ada dalam suatu delik.105 Merampas nyawa orang
lain yang terdapat dalam rumusan Pasal 344 KUHP merupakan unsur melawan hukum
yang secara otomatis telah terbukti dengan telah terbuktinya perbuatan yang dilarang
yaitu merampas nyawa orang lain.
1.4.2.2. Sifat Melawan Hukum Khusus
Sifat melawan hukum khusus atau speciale wederrechtelijkheid, biasanya kata
melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian sifat melawan
hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Sebenarnya
penyebutan kata melawan hukum secara eksplisit dalam rumusan delik merujuk pada
ilmu hukum Jerman yang diajarkan sejumlah pakar antara lain, Zevenbergen dan
pengikutnya di Belanda, Simons. Menurut pandangan ini, melawan hukum hanya
merupakan unsur delik sepanjang disebutkan dengan tegas dalam peraturan perundang-
undangan.
Sebagai misalnya Pasal 372 KUHP, ”Barangsiapa dengan sengaja dan melawan
hukum mengaku sebagai milik sendiri barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian
wederrechtelijkheid en de verwijtbaarheid in de wetteks op te nemen: het zijn algemene
vorrwaarden van strafbaarheid.....108 (Karena itu pembuat Undang-Undang menurut
pendapat saya, tidak perlu selalu mencantumkan sifat melawan hukum dan kesalahan
dalam teks undang-undang: hal itu merupakan syarat umum bagi sifat dapat
dipidananya suatu perbuatan).
Sifat melawan hukum seperti yang dikemukakan oleh Schaffmeister seperti
diatas, dapat disimpulkan dengan argumentasi bahwa: pertama: melawan hukum
adalah syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sehingga tidak perlu
dimasukkan dalam rumusan delik. Kedua: jika melawan hukum dimasukkan ke dalam
rumusan delik, maka akan memberikan pekerjaan tambahan kepada penuntut umum
untuk membuktikannya di pengadilan. Ketiga: merujuk pada pengertian kata hukum
dalam frase melawan hukum di atas, jika kata-kata melawan hukum dimasukkan dalam
rumusan delik, penafsirannya terlampau luas sehingga bertentangan dengan prinsip lex
certa (ketentuan pidana harus jelas) dan lex stricta (ketentuan pidana harus ditafsirkan
secara ketat) sebagai prinsip-prinsip yang terkandung dalam asas legalitas.
1.4.2.3. Sifat Melawan Hukum Formil
Menurut doktrin hukum pidana, ajaran sifat melawan hukum dapat dibagi
menjadi dua, yaitu: sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil.
Sifat melawan hukum formil adalah suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan
108 Komariah Emong Supardjadja, Op.Cit, hlm. 24.
60
hukum, apabila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik
dalam undang-undang.109
Moeljatno menyatakan bahwa suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan
hukum apabila perbuatan tersebut telah mencocoki larangan undang-undang.110 Jadi
menurut pemikiran ini suatu perbuatan tidak bisa dianggap bersifat melawan hukum
apabila perbuatan tersebut tidak secara eksplisit dirumuskan dalam undang-undang
sebagai perbuatan pidana, sekalipun perbuatan tersebut sangat merugikan masyarakat.
Ukuran untuk menentukan apakah suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum atau
tidak adalah undang-undang.
Mencermati pernyataan suatu perbuatan bersifat melawan hukum jika secara
eksplisit dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan sebagai perbuatan
melawan hukum. Dikaitkan dengan euthanasia, perbuatan yang dilakukan adalah
untuk meringankan penderitaan pasien yang mengalami sakit parah pada tahap akhir
yang mengakibatkan kematian pasien. Peraturan perundang-undangan tidak ada
mengatur tentang euthanasia. Perbuatan euthanasia jika dikaji dari KUHP, yang paling
mendekati terdapat dalam rumusan Pasal 344 KUHP yang menyatakan: barangsiapa
merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan
dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Dalam rumusan Pasal tersebut, jelas dinyatakan bahwa setiap orang yang merampas
109 Sudarto, 1975. Hukum Pidana Jilid 1 A-B, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Semarang, hlm. 62. 110 Moeljatno, Op.,Cit, hlm.140.
61
nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri adalah perbuatan yang bersifat
melawan hukum formil.
Salah satu penganut ajaran sifat melawan hukum formil adalah Simons. Dia
mengatakan bahwa untuk dapat dipidana maka perbuatan yang dilakukan harus
dicakup oleh uraian undang-undang, sesuai dengan isi delik berdasarkan ketentuan
pidana di dalam undang-undang. Dalam hal terjadi demikian, maka pada umumnya
tidaklah lagi tepat untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang sifat melawan
hukum bilamana suatu perbuatan memenuhi rumusan delik, sehingga telah ada sifat
melawan hukum.111
Terdapat dua pemahaman dalam ajaran sifat melawan hukum formil, yaitu:
pertama, dalam ajaran sifat melawan hukum formil, suatu perbuatan dikatakan bersifat
melawan hukum, ketika perbuatan tersebut sudah dirumuskan dalam undang-undang
sebagai perbuatan yang diancam pidana. Menurut ajaran ini, perbuatan yang dianggap
bersifat melawan hukum hanyalah perbuatan-perbuatan yang secara formil telah
dirumuskan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana.
Kedua, hal yang dapat menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan
hanyalah undang-undang. Sekalipun suatu perbuatan secara materiil (nilai-nilai yang
hidup dalam masyarakat) tidak dianggap sebagai perbuatan yang bersifat melawan
hukum, dalam arti perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan yang
bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, tetapi apabila secara
111 A. Zainal Abidin Farid, Op.,Cit. hlm.242-243.
62
formil tidak dirumuskan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana yang
dilarang, maka perbuatan tersebut secara formil tetap dianggap sebagai perbuatan yang
bersifat melawan hukum. Dengan demikian, sifat melawan hukumnya perbuatan yang
telah dirumuskaan dalam undang-undang hanya dapat dihapuskan oleh undang-
undang.112
Sifat melawan hukum formil direfleksikan dengan dianutnya asas legalitas
formal yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang di dalam
perkembangannya telah melahirkan berbagai kritik. Salah satu kritik tajam yang
muncul berkenaan dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 tersebut adalah, bahwa
ketentuan Pasal tersebut seringkali menjadi sarana berlindung bagi para pelaku tindak
pidana. Dengan berdalih bahwa belum ada ketentuan tertulis yang mengatur, mereka
seringkali lepas dari jeratan hukum pidana, sekalipun perbuatan tersebut sangat
merugikan dan menelantarkan rasa keadilan masyarakat.
Ajaran sifat melawan hukum formil hakikatnya tidak seiring dengan nilai-nilai
yang berkembang dalam masyarakat. Ajaran ini mengandung kelemahan yang cukup
mendasar, sebab tidak setiap perbuatan yang memenuhi rumusan delik dalam undang-
undang senantiasa bersifat melawan hukum, karena mungkin ada hal-hal yang
menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu.
112 Tongat, Op.,Cit. hlm. 196.
63
1.4.2.4. Sifat Melawan Hukum Materiel
Sifat melawan hukum materiel atau materieel wederrechtelijkheid terdapat dua
pandangan. Pertama, sifat melawan hukum materiel dilihat dari sudut perbuatannya.
Hal ini mengandung arti perbuatan yang melanggar atau membahayakan kepentingan
hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik
tertentu. Biasanya sifat melawan hukum materiil ini dengan sendirinya melekat pada
delik-delik yang dirumuskan secara meteriel. Kedua, sifat melawan hukum materiel
dilihat dari sudut sumber hukumnya. Hal ini mengandung makna bertentangan dengan
hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas kepatutan
atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial dalam masyarakat.113
Sifat melawan hukum materiel dalam hukum pidana sebenarnya berasal dari
Jerman dengan salah satu tokohnya adalah Von Liszt, yang secara tegas menyatakan
bahwa setiap perbuatan yang anti sosial adalah wederrechtelijk.114 Hal ini juga jelas
tersurat dalam pernyataan van Bemmelen dan van Hattum sebagai berikut:
Het spreekt welhaast van zelf dan onzen wetgever de materiele
wederrechtelijkheidsleer allerminst voor ogen heeft gestaan en dat we voor deze
leer in de wet derhalve geen aanknopingspunten kunnen vinden. Immers in 1875
werd ongeschreven recht in Nederland nauwelijks geduld. Voor onze vraag blijkt
dit duiderlijk uit de geschiedenid van het woord wederrechtelijk in het
strafwetboek.115
(Terhadap pembentuk undang-undang kita, ajaran sifat melawan hukum meteriil
tidak dipikirkan, maka untuk ajaran ini dalam undang-undang tidak ada ketentuan
tersebut. Bahkan di tahun 1875, hukum tidak tertulis hampir tidak dibolehkan di
113 Barda Nawawi Arief, 2005. Masalah Kodifikasi, Unifikasi dan Konsep Ajaran Sifat Melawan
Hukum Material dalam RUU KUHP, Focus Group Discussion terhadap RUU KUHP, Fakultas Hukum
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 25 Juni 2005, hlm. 8. 114 E. Utrecht, 1960. Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas, Bandung, hlm.270. 115 J.M Bemellen En W.F.C. van Hattum, Op.,Cit, hlm. 222-223
64
Belanda. Pertanyaan bagi kita, ternyata jelas dari sejarah istilah melawan hukum
dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditemukan dalam banyak Pasal).
Menurut pendapat Hazewinkel Suringa: in Duitsland bestaat een stroming, die
aan deze zogenaamde meterile wederrechtelijkheid een plaats wil inruimen; die dus
aan een gedraging, welke formeel en delict oplevert, formeel wederrechtelijke is......116
(Di Jerman ada aliran sifat melawan hukum materiil; kelakuan yang secara formil
merupakan suatu delik secara hukum adalah bersifat melawan hukum). Kemudian Vos
mengemukakan pendapatnya: ”De leer der materiele wederrechtelijkheid vindt men
voornamelijk door, duitse schrijvers ontwikkeld. Zo noemt Von Liszt een handeling
wederrechtelijk, als zij anti-sociaal is117 (Ajaran sifat melawan hukum materiel
dikemukakan oleh seorang penulis Jerman. Dia adalah Von Liszt yang menyatakan
kelakuan yang melawan hukum adalah anti sosial).
Ajaran sifat melawan hukum materiil berpandangan bahwa sifat melawan
hukumnya perbuatan itu tidak hanya didasarkan pada undang-undang saja atau hukum
tertulis saja, tetapi harus juga didasarkan pada asas-asas hukum yang tidak tertulis.
Menurut ajaran ini, sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata diatur dalam
undang-undang dapat hapus baik karena ketentuan undang-undang maupun aturan-
aturan yang tidak tertulis. Oleh karena itu, melawan hukum berarti bertentangan
dengan undang-undang maupun hukum tidak tertulis atau nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat yaitu tata susila, nilai kepatutan, nilai moral, dan nilai agama. Suatu
Tahun 1999, hlm. 27. 134 Roeslan Saleh, Op.Cit, hlm. 75.
75
hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk
bereaksi terhadap pelanggaran atas ‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu.135
Sudarto menyatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila
orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat
melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam
undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat
penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan
pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah.
Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari
sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang
tersebut.136
Kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana
seseorang. Tanpa kesalahan, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada.
Makanya tidak heran jika dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa
kesalahan” (geen straf zander schuld). Asas kesalahan ini merupakan asas yang
fundamental dalam hukum pidana.
Seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila dalam diri
seseorang tersebut terdapat sikap bathin yang jahat/tercela (mensrea) serta adanya
perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus). Jika dilihat dari
135 Chairul Huda, 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertang-
gungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, hlm. 68. 136Sudarto, 1988. Hukum Pidana I, Badan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah, FH UNDIP,
Semarang, hlm. 85.
76
tujuannya dengan mengkaitkan perbuatan euthanasia, sebenarnya tidak ada keinginan
atau niat jahat dokter untuk membunuh pasien. Tujuan dari euthanasia adalah untuk
mempercepat proses kematian dengan cara yang mudah dan tenang berdasarkan
kemanusiaan. Hal yang penting yang tidak boleh dihilangkan untuk dapat memidana
seseorang dokter yang melakukan euthanasia adalah adanya kesalahan. Tanpa
kesalahan, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada.
1.5.2. Hubungan Kesalahan dengan Pertanggungjawaban Pidana
Terdapat berbagai macam pengertian kesalahan yang disampaikan oleh para
ahli hukum pidana, tetapi secara umum pengertian yang dikemukakan mengarah pada
dua jenis kesalahan, yaitu: kesalahan psikologis dan kesalahan normatif. Kesalahan
psikologis tidak dijelaskan lebih jauh karena kurang memberikan jawaban yang
memuaskan khususnya terhadap penjatuhan pidana bagi orang yang melakukan
perbuatan pidana sehingga akan dijelaskan lebih lanjut pengertian mengenai kesalahan
dalam pengertian yang normatif.
Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dilihat dari
segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan
perbuatan tersebut.137 Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada
waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela
karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal
137 Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm. 77.
77
mampu untuk mengetahui makna perbuatan tersebut, dan karenanya dapat bahkan
harus menghindari perbuatan demikian.138
Seorang dokter yang melakukan euthanasia tidak dapat dianggap melakukan
kesalahan. Tindakan euthanasia yang dilakukan dokter berdasarkan pada kepentingan
terbaik bagi si pasien dan keluarga pasien yang sudah tidak mempunyai harapan untuk
sembuh dan pasien mengalami kesakitan yang tidak tertahankan serta adanya
permintaan untuk mengakhiri kehidupan pasien secara terus-menerus yang
disampaikan oleh pasien atau keluarga pasien. Dokter tidak mempunyai pilihan untuk
berbuat lain selain melakukan tindakan euthanasia. Perbuatan yang dilakukan oleh
dokter tersebut dalam pandangan keluarga pasien bukan merupakan perbuatan tercela,
karena berdasarkan atas permintaan.
Pengertian kesalahan secara psikologis menitik beratkan pada keadaan batin
(psychis) yang tertentu dari si pembuat dan hubungan antara keadaan batin tersebut
dengan perbuatannya sedemikian rupa. Pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas
perbuatannya, tidak diikuti karena menimbulkan persoalan dalam praktik hukum yang
dipicu oleh ketiadaan unsur “dengan sengaja” atau “karena kealpaan” dalam rumusan
tindak pidana.139
KUHP yang berlaku saat ini, tindak pidana pelanggaran tidak memuat unsur
“dengan sengaja” atau “karena kealpaan”. Oleh sebab itu, praktik hukum sempat
138 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 169. 139 Tongat, 2008. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, UMM
Press, Malang, hlm. 222.
78
diliputi pertanyaan sekitar apakah tidak dirumuskannya unsur “dengan sengaja” atau
“karena kealpaan” dalam pelanggaran, menyebabkan pembuatnya tetap dipidana,
sekalipun tidak ada salah satu dari kedua bentuk kesalahan tersebut. Persoalan ini
timbul dan menyebabkan adanya keragu-raguan atas kemampuan teori kesalahan
psikologis untuk menjelaskan masalah kesalahan.140
Persoalan itulah yang menyebabkan mengapa teori kesalahan normatif
dijadikan dasar untuk menentukan masalah kesalahan. Dalam pengertian kesalahan
normatif di atas, terdapat tiga komponen utama yang perlu dijelaskan, yaitu dapat
dicela, dilihat dari segi masyarakat, dan dapat berbuat lain. Pertama adalah “dapat
dicela.” Dapat dicela di sini mempunyai dua pengertian, yaitu: pertama, dapat dicela
berarti dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. kedua, dapat dicela berarti
dapat dijatuhi pidana. Arti yang pertama, kesalahan diberi makna dalam hubungannya
dengan fungsi preventif hukum pidana. Kata ‘dapat’ di sini menunjukkan bahwa celaan
atau pertanggungjawaban pidana itu hilang, jika pembuat mempunyai alasan
penghapus kesalahan. Dalam arti yang kedua, kesalahan diberi makna dalam
hubungannya dengan fungsi represif hukum pidana. Kata ‘dapat’ dalam hal ini
menunjukkan bahwa celaan atau penjatuhan pidana tidak harus dilakukan hakim.
Hakim dapat saja hanya mengenakan tindakan, sekalipun tindak pidana terbukti
dan terdakwa bersalah melakukannya. Selain itu, dapat saja celaan atau penjatuhan
pidana tidak dilakukan, jika hakim memutuskan untuk memberi pengampunan. Dalam
140 Chairul Huda, Op.Cit, hlm. 73.
79
keputusannya, hakim dapat saja menyatakan seseorang terbukti melakukan tindak
pidana dengan kesalahan, tetapi tidak menjatuhkan pidana terhadapnya.141
Kedua adalah “dilihat dari segi masyarakat”. Roeslan Saleh mengatakan bahwa
komponen tersebut merupakan penegasan penilaian normatif terhadap kesalahan. Pada
subjek hukum manusia, ada tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam
keadaan senyatanya batin terdakwa, tetapi tergantung pada batin itu, apakah dipernilai
ada ataukah tidak ada kesalahan.142 Jadi, titik tekannya terletak pada penilaian normatif
terhadap keadaan batin pembuat dan hubungan antara keadaan batin tersebut dengan
tindak pidananya, sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatannya itu.143
Singkatnya, yang dinilai bukan pada keadaan batin orang itu, tetapi bagaimana hakim
mempernilai keadaan batinnya dan menilai fakta-fakta yang ada.144
Sepanjang terhadap subjek hukum manusia, pengertian kesalahan yang
normatif berpangkal tolak pada penilaian hukum terhadap psikologis pembuat. Bukan
psikologinya yang penting, tetapi penilaian normatif terhadap keadaan psikologis
pembuat, ketika melakukan tindak pidana. Pengertian kesalahan yang normatif di
dalamnya mengandung pengertian psikologis.145 Sebenarnya penilaian berdasarkan
norma-norma hukum pidana di sini, ditujukan atas perbuatan, pembuatnya dan
hubungan antara keduanya. Pada subjek manusia, hubungan antara pembuat dan
141 Ibid., hlm. 75. 142 Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm. 77. 143 Roeslan Saleh, 1994, Masih Saja tentang Kesalahan, Karya Dunia Fikir, Jakarta, hlm. 55. 144 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 175. 145 Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm. 54.
80
perbuatannya, lebih banyak dipusatkan pada hubungan antara keadaan batin pembuat
dan tindak pidananya. Dari situ, dapat disimpulkan bahwa “dilihat dari segi
masyarakat”, pembuatnya dapat dicela karena telah melakukan tindak pidana.146
Ketiga adalah “dapat berbuat lain”, maksudnya adalah selalu terbuka bagi
pembuat untuk menghindari terjadinya tindak pidana, dalam arti sebenarnya pembuat
dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan tindak pidana. Inti pengertian kesalahan
justru terletak pada penilaian hukum terhadap kenyataan bahwa pembuat dapat berbuat
lain. Ketiadaan kemungkinan pembuat dapat berbuat lain, selain melakukan tindak
pidana, menyebabkannya dapat dilepaskan dari keadaan bersalah.147 Oleh karena itu,
ada kesalahan jika kelakuan tidak sesuai dengan norma yang harus diterapkan.148
Kesalahan normatif merupakan dasar dapat dipertanggungjawabkan perbuatan.
Seorang dokter yang melakukan kewajibannya untuk berusaha menyembuhkan
pasiennya bukan merupakan suatu kesalahan. Dokter berdasarkan keahliannya akan
berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan penyakit yang diderita oleh
pasiennya. Apabila penyakit yang diderita pasien terlalu parah, dan sudah tidak dapat
disembuhkan, kondisi pasien sangat kesakitan dalam jangka waktu lama secara terus
menerus. Melihat kondisi seperti ini, dalam pandangan hukum perbuatan dokter yang
menghentikan pengobatan karena sudah tidak berpotensi lagi, bukan merupakan
perbuatan yang dapat dicela. Penghentian pengobatan oleh dokter termasuk euthanasia
Berkaitan dengan konsep pertanggungjawaban mutlak (strict liability)
sebagaimana diuraikan di atas, ada pertanyaan mendasar setelah memahami ciri-ciri
dan syarat-syarat tertentu untuk adanya pertanggungjawaban mutlak ini, yaitu apakah
memang konsep ini sesuai jika diterapkan untuk kejahatan korporasi mengingat
pertanggungjawaban mutlak (strict liability) ini hanya diterapkan khusus untuk
kejahatan ringan dan bersifat statutory offences, dan perbuatan tersebut termasuk dalam
kategori mala prohibita, bukan mala in se, sedangkan kejahatan korporasi itu sendiri
termasuk dalam jenis kejahatan yang bersifat serius (serious crime)
Penerapan konsep pertanggungjawaban mulak (strict liability) tidak sesuai atau
bertolak belakang dengan karakteristik kejahatan korporasi yang termasuk dalam
kategori serious crime, sedangkan konsep pertanggungjawaban mutlak tersebut
“hanya” untuk jenis kejahatan yang sifatnya ringan seperti pelanggaran lalu lintas,
penghinaan pengadilan yang sifatnya berupa pelanggaran. Pijakan yuridis yang
dibangun untuk menuntut korporasi atas konsep pertanggungjawaban mutlak tidak kuat
dan tidak beralasan.
3. Teori Vicarious Liability
Negara-negara Anglo Saxon dan Anglo American dikenal pula konsep
pertanggungjawaban pidana yang disebut vicarious liability, yaitu the legal
responsibility of one person for wrongful acts of another, as for example, when the acts
are done witihin scope of employment (suatu konsep pertanggungjawaban seseorang
91
atas kesalahan yang dilakukan orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih
berada dalam ruang lingkup pekerjaannya).170
Vicarious liability diartikan oleh Henry Black sebagai indirect legal
responsibility, the liability of an employer for the acts of an employee, of a principle
for torts and contracts of an agent (pertanggungjawaban pengganti adalah
pertanggungjawaban hukum secara tidak langsung, pertanggungjawaban majikan atas
tindakan dari pekerja; atau pertanggungjawaban prinsipal terhadap tindakan agen
dalam suatu kontrak).171 Berdasarkan pengertian ini vicarious liability adalah
pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan
orang lain. Kedua orang tersebut harus mempunyai hubungan, yaitu hubungan atasan
dan bawahan atau hubungan majikan dan buruh atau hubungan pekerjaan. Perbuatan
yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus masih dalam rung lingkup pekerjaannya.
Secara singkat pertanggungjawaban ini disebut pertanggungjawaban pengganti.
Vicarious liability mensyaratkan mens rea menjadi syarat utama yang harus
dipenuhi untuk memidana seseorang yang melakukan perbuatan pidana. Dengan kata
lain, harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa seseorang telah melakukan suatu
kesalahan, sehingga ia patut dipidana atas kesalahannya itu. Selain itu, harus ada
hubungan kerja antara pelaku dengan orang lain yang harus mempertanggungjawabkan
perbuatan pidana yang dilakukan, misalnya antara majikan dan buruh, dan perbuatan
170 Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, hlm. 33. 171 Henry Campbell Black, Op.,Cit, hlm. 1404.
92
pidana tersebut masih dalam ruang lingkup pekerjaannya. Yang terakhir inilah yang
kemudian disebut dengan prinsip delegasi.
Prinsip delegasi pada dasarnya berkaitan dengan pemberian izin kepada
seseorang untuk mengelola suatu usaha. Si pemegang izin tidak menjalankan langsung
usaha tersebut, tetapi ia memberikan kepercayaan (mendelegasikan) secara penuh
kepada seorang manager untuk mengelola korporasi tersebut. Jika manager itu
melakukan perbuatan melawan hukum, maka si pemegang izin (pemberi delegasi)
bertanggung jawab atas perbuatan manager itu. Sebaliknya, apabila tidak terdapat
pendelegasian maka pemberi delegasi tidak bertanggung jawab atas perbuatan
melawan hukum manager tersebut. Contoh kasus yang menarik mengenai tidak
terdapat pendelegasian ini dapat dikemukakan sebagai berikut:
Izin pembukaan sebuah restoran yang menyediakan minuman beralkohol hanya
dapat dijual kepada seseorang yang memesan makanan. Pelayan menjual minuman
itu kepada seseorang yang tidak memesan makanan. Pemegang izin didakwa
melanggar Pasal 22 (1) Licensing Act 1961, atas dasar pengetahuannya menjual
minuman beralkohol. Pemegang izin tidak mengetahui mengenai tindakan pelayan
tersebut. Jaksa mengabaikan pembelaan tersebut. Mahkamah Agung menerima
pembelaan pemegang izin, sehingga majikan tidak dipidana.172
Terdapat dua syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan suatu
perbuatan pidana berdasarkan teori vicarious liablitiy, yaitu:
1. Harus terdapat suatu hubungan, seperti hubungan pekerjaan antara majikan
dengan pekerja.
172 Hanafi, Op.Cit., hlm. 92-94.
93
2. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus berkaitan atau
masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.
Teori vicarious liability jika dihubungkan dengan kejahatan korporasi,
merupakan suatu upaya untuk menjerat korporasi atas tindak pidana yang dilakukan
oleh pegawainya. Pembebanan pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada
atasan (direktur) atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh bawahan dalam sebuah
struktur organisasi korporasi, dikarenakan perbuatan yang dilakukan oleh bawahan
tersebut adalah untuk kepentingan korporasi itu sendiri, sehingga dengan sendirinya
pertanggungjawaban tersebut dibebankan kepada atasan (direktur) yang dalam hal ini
bertindak untuk dan atas nama korporasi. Keuntungan yang diperoleh dari hasil
kejahatan yang dilakukan oleh bawahan pada dasarnya akan kembali dan merupakan
keuntungan dari korporasi. Alangkah tidak adil jika yang dibebani
pertanggungjawaban adalah bawahan atas kesalahan yang dia lakukan, sedangkan dia
sendiri bekerja untuk kepentingan korporasi, dan keuntungan yang diperoleh tidak
dimiliki olehnya, tetapi dimiliki oleh korporasi.
Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada atasan (direktur) atas dasar
pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dimaksudkan untuk mencegah atau
paling tidak meminimalisir tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi melalui
pengurusnya. Hal ini karena korporasi memainkan peranan penting dalam segala aspek
kehidupan, dan tidak jarang korporasi mempunyai peranan yang sangat besar bagi
terjadinya kejahatan-kejahatan yang menimbulkan korban dan kerugian yang sangat
besar bagi masyarakat. Dengan adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana
94
kepada atasan (direktur) yang merupakan kepanjangan tangan korporasi atas perbuatan
pidana yang dilakukan oleh bawahan, diharapkan korporasi (melalui
pengurus/direktur) dapat lebih berhati-hati di dalam menjalankan aktivitasnya,
khususnya yang bersinggungan langsung dengan kepentingan masyarakat luas.
Aktivitas korporasi tidak hanya memikirkan bagaimana memperoleh
keuntungan yang sebanyak-banyaknya, tetapi lebih jauh juga memikirkan atau
mengkaji kemungkinan-kemungkinan negatif yang akan timbul akibat aktivitasnya itu,
yang tidak jarang menimbulkan kerugian yang sangat besar baik dibidang ekonomi,
sosial dan lain sebagainya.
1.5.4. Kemampuan Bertanggungjawab
Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang
normal atau sehat dan mampunyai akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal
yang baik dan yang buruk.173 Atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi sifat
melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk
menentukan kehendaknya.174 Jadi, paling tidak ada dua faktor untuk menentukan
adanya kemampuan bertanggung jawab, yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal,
yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak
diperbolehkan. Sedangkan kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya
dengan keinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.
173 M. Abdul Kholiq, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas
Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 129. 174 Roeslan Saleh, Op.Cit, hlm. 80.
95
Keadaan batin yang normal atau sehat ditentukan oleh faktor akal pembuat.
Akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan perbuatan yang
tidak boleh dilakukan. Kemampuan pembuat untuk membeda-bedakan perbuatan yang
boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, menyebabkan yang bersangkutan dapat
dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, ketika melakukan tindak pidana. Dapat
dipertanggungjawabkan karena akalnya yang sehat dapat membimbing kehendaknya
untuk menyesuaikan dengan yang ditentukan oleh hukum. Padanya diharapkan untuk
selalu berbuat sesuai dengan yang ditentukan hukum.175
Pembuat dapat dipertanggungjawabkan dalam hal ini berarti pembuat
memenuhi syarat untuk dipertanggungjawabkan. Mengingat asas ‘tiada
pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan’ maka pembuat dapat
dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. Keadaan batin pembuat yang
normal atau akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan
yang tidak boleh dilakukan, atau mampu bertanggung jawab, merupakan sesuatu yang
berada di luar pengertian kesalahan. Mampu bertanggung jawab adalah syarat
kesalahan, sehingga bukan merupakan bagian dari kesalahan itu sendiri. Oleh karena
itu, terhadap subjek hukum manusia mampu bertanggung jawab merupakan unsur
pertanggungjawaban pidana, sekaligus sebagai syarat kesalahan.176
Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa kebanyakan undang-undang
merumuskan syarat kesalahan secara negatif. KUHP di seluruh dunia pada umumnya
175 Chairul Huda, Op.Cit, hlm. 89. 176 Ibid.
96
tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab. Yang diatur ialah
kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggung jawab.177 Demikian halnya dengan
ketentuan Pasal 44 KUHP yang berbunyi:
(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan
padanya, karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena
penyakit, tidak dipidana.
(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya
karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka
Hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit
jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.
Pasal ini menentukan bahwa pelaku perbuatan pidana baru bisa dianggap tidak
mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, apabila dalam dirinya terjadi salah satu
di antara dua hal, yaitu sebagai berikut:
1. Jiwa pelaku mengalami cacat mental sejak pertumbuhannya, hingga akalnya
menjadi kurang sempurna untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk.
Contohnya adalah orang idiot yang melakukan perbuatan pidana.
2. Jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan oleh suatu
penyakit, hingga akalnya menjadi kurang berfungsi secara sempurna atau
kurang optimal untuk membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk.
Contohnya adalah orang gila atau orang yang berpenyakit epilepsi yang
melakukan perbuatan pidana.178
Rancangan KUHP (RKUHP) tahun 2018, menyatakan kemampuan
bertanggung jawab tidak hanya dua hal sebagaimana dalam KUHP, tetapi diperluas
ruang lingkupnya.
Pasal 42 RKUHP 2018 menyatakan:
177 Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 260.
Lihat juga Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm. 82. 178 M. Abdul Kholiq AF, Op.Cit, hlm. 130.
97
Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menderita disabilitas
mental dan/atau disabilitas intelektual tidak dapat dimintai
pertanggungjawaban dan tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai
tindakan.
Pasal 43 RKUHP 2018 menyatakan:
Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana kurang dapat dimintai
pertanggungjawaban karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, retardasi
mental, atau disabilitas mental lainnya dapat dikurangipidananya dan dikenai
tindakan.
Pasal 42 konsep RKUHP di atas menentukan bahwa tidak dapat dipertang-
gungjawabkan seseorang dalam hukum pidana ditandai oleh adanya disabilitas mental
dan/atau disabilitas intelektual. Gangguan jiwa, penyakit jiwa, retardasi mental, atau
disabilitas mental lainnya juga menjadi pertanda orang kurang mampu bertanggung
jawab, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 RKUHP. Chairul Huda mengatakan bahwa
tidak jelas betul batas antara tidak dan kurang dapat dipertanggungjawabkan itu. Kapan
gangguan jiwa, penyakit jiwa, dan retardasi mental mengakibatkan pembuatnya tidak
dapat atau kurang dapat dipertanggungjawabkan, tidak dengan mudah menentukannya.
Padahal konsekuensinya sangat berlainan.179
Tidak dapat dipertanggungjawabkan mengakibatkan tidak dapat dijatuhi
pidana. Berarti, ketika ditemukan tanda seseorang tidak mampu bertanggung jawab dan
179 Chairul Huda, Op.Cit., hlm. 96.
98
karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, maka
proses pertanggungjawabannya berhenti sampai di sini. Orang itu hanya dapat
dikenakan tindakan, tetapi tidak dapat dikenakan pidana. Tidak pula perlu diperiksa
apakah ada salah satu bentuk kesalahan dan alasan penghapus kesalahan dalam dirinya.
Sementara itu, kurang dapat dipertanggungjawabkan hanya berakibat pengurangan
pidana, tetapi tidak dimaksudkan untuk menghapuskan pidana. Persoalan lainnya,
apakah terhadap orang yang kurang mampu dapat dipertanggungjawabkan itu, proses
hukumnya diteruskan hingga diselidiki mengenai bentuk kesalahan dan ketiadaan
alasan penghapus kesalahan.180
Tindakan dokter dalam euthanasia tergolong perbuatan yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan, karena menurut penulis walaupun kriteria yang terdapat
dalam Pasal 44 KUHP tidak terpenuhi tetapi keadaan batin seorang dokter saat itu
dalam kondisi yang tidak normal. Keadaan batin seorang dokter pasti akan terganggu
saat melihat kondisi pasien yang memprihatinkan dengan keadaan amat kesakitan
dalam jangka waktu yang tidak menentu. Desakan untuk mengakhiri hidup pasien terus
disampaikan oleh pasien sendiri atau melalui keluarganya sehingga dokter tidak
memiliki kehendak yang bebas untuk memilih berbuat lain selain euthanasia. Dalam
hal inilah dokter dikatakan tidak mempunyai kemampuan bertanggungjawab.
180 Ibid.
99
1.5.5. Kesengajaan dan Kealpaan Kaitannya dengan Euthanasia
1.5.5.1. Pengertian Kesengajaan dan Bentuk-Bentuknya
Wetboek van Srafrecht tahun 1908 mengartikan kesengajaan sebagai kehendak
untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau
diharuskan oleh undang-undang.181 Sedangkan menurut Memorie van Toelichting
kesengajaan sama dengan “willens en wetens”atau diketahui atau dikehendaki.182
Satochid Kartanegara berpendapat bahwa yang dimaksud “willens en wetens” adalah
seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki
(willen) perbuatan itu serta harus menginsyafi atau mengerti (weten) akan akibat dari
perbuatan itu.183
Sehubungan dengan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang
berisi menghendaki dan mengetahui, maka dalam ilmu hukum pidana terdapat dua
teori, yaitu teori kehendak yang dikemukakan oleh Von Hippel dalam “Die Grenze von
Vorsatz und Fahrlassigkeil”1903 dan teori membayangkan yang dikemukakan oleh
Frank dalam “Festcshrift Gieszen”1907. Teori kehendak menyatakan bahwa kehendak
membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat karena tindakan itu.
Dengan demikian, “sengaja” adalah apabila akibat suatu tindakan dikehendaki, apabila
akibat itu menjadi maksud benar-benar dari tindakan yang dilakukan tersebut.
181 D. Schaffmeister, N. Keijzer, PH. Sutorius, 1995, Hukum Pidana, Editor Penerjemah, J.E
Sahetapy, Liberty, Yogyakarta, hlm. 87. 182 E Utrecht, 1986, Hukum Pidana I, PustakaTinta Emas, Surabaya, hlm. 300. 183 Satochid Kartanegara, TanpaTahun, Hukum Pidana, Bagian Satu, Hukum Pidana, Bagian
Dua, Balai Lektur Mahasiwa, Jakarta, hlm. 291.
100
Teori membayangkan adalah manusia hanya dapat menghendaki suatu
tindakan, manusia tidak mungkin menghendaki suatu akibat, manusia hanya dapat
menginginkan, mengharapkan atau membayangkan kemungkinan adanya suatu akibat.
Rumus Frank berbunyi: “sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu
tindakan dan oleh sebab itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan
bayangan yang lebih dahulu telah dibuat tersebut.”184
Kesengajaan yang merupakan corak sikap batin yang menunjukkan tingkatan
atau bentuk kesengajaan dibagi menjadi tiga, yaitu kesengajaan sebagai maksud (opzet
als oogmerk), kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidswustzijri),
dan kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij noodzakelijkheids). Kesengajaan sebagai
maksud mengandung unsur willes en wetens, yaitu bahwa pelaku mengetahui dan
menghendaki akibat dan perbuatannya; arti maksud disini adalah maksud untuk
menimbulkan akibat tertentu. Kesengajaan sebagai kepastian adalah dapat diukur dari
perbuatan yang sudah mengerti dan menduga bagaimana akibat perbuatannya atau hal-
hal mana nanti akan turut serta mempengaruhi akibat perbuatannya. Pembuat sudah
mengetahui akibat yang akan terjadi jika ia melakukan suatu perbuatan pidana.
Sedangkan kesengajaan sebagai kemungkinan terjadi apabila pelaku memandang
akibat dari apa yang akan dilakukannya tidak sebagai hal yang niscaya terjadi,
melainkan sekedar sebagai suatu kemungkinan yang pasti.
184 Dwidja Priyatno, Op.Cit.,hlm. 44.
101
Secara teoretis terdapat dua bentuk kesengajaan (dolus), yaitu dolus malus dan
dolus eventualis. Dolus malus hakikatnya merupakan inti dari gabungan dari teori
pengetahuan (voorstelling theorie) dan teori kehendak (wilstheorie). Menurut teori
pengetahuan seseorang sudah dapat dikatakan sengaja melakukan perbuatan pidana
jika saat berbuat orang tersebut mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya itu
merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum.185 Teori ini menitik beratkan pada
apa yang dikehendaki atau yang dibayangkan oleh pelaku pada saat melakukan
perbuatan pidana.186 Sedangkan teori kehendak menyatakan, bahwa seseorang
dianggap sengaja melakukan suatu perbuatan pidana apabila orang itu menghendaki
dilakukannya perbuatan itu. Dalam konteks ini, kesengajaan merupakan kehendak
yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti yang dirumuskan dalam undang-
undang.187
Dolus eventualis adalah sengaja yang bersifat kemungkinan. Dikatakan
demikian karena pelaku yang bersangkutan pada waktu ia melakukan perbuatan untuk
menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari
kemungkinan akan timbulnya suatu akibat lain dari akibat yang memang ia kehendaki.
Jika kemungkinan yang ia sadari itu kemudian menjadi kenyataan, terhadap kenyataan
tersebut ia katakan mempunyai suatu kesengajaan.188
185 M. Adul Kholiq, Op.Cit, hlm. 133. 186 Sudarto, Diktat Hukum Pidana Jilid A-B, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,
1975, hlm. 16. 187 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 186. 188 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm. 301.
102
Van Bemmelan mengatakan bahwa yang dinamakan dolus eventualis adalah
kesengajaan bersyarat yang bertolak dari kemungkinan, dalam arti tidak pernah lebih
banyak dikehendaki kemungkinan matinya orang lain itu misalnya. Seseorang yang
menghendaki kemungkinan matinya orang lain, tidak dapat dikatakan bahwa ia
menghendaki supaya orang itu mati. Tetapi, jika seseorang melakukan suatu perbuatan
dengan kesadaran bahwa perbuatannya akan dapat menyebabkan matinya orang lain,
hal itu menunjukkan bahwa ia memang menghendaki kematian orang itu.189
Berdasarkan uraian mengenai dolus eventualis di atas dapat disimpulkan bahwa
pelaku tindak pidana menyadari bahwa perbuatannya itu sangat mungkin akan
menimbulkan terjadinya akibat tertentu yang dilarang hukum. Namun meski ia
menyadari hal itu, sikap yang muncul pada dirinya bukannya menjauhi perbuatan itu,
melainkan justru tetap melakukannya dengan berpandangan bahwa kalaupun akibat
tertentu yang dilarang hukum akan terjadi, ya apa boleh buat. Dalam hubungan inilah,
dolus eventualis juga disebut dengan inklauf nehmen theorie atau teori apa boleh
buat.190 Hal ini serupa dengan tindakan seorang dokter yang mencabut alat bantu
pernafasan (repirator), seorang pasien yang dinyatakan sudah tidak dapat disembuhkan
lagi penyakitnya. Dokter yang mencabut respirator tersebut mengetahui pasien tidak
akan bertahan lama dan akan segera mengalami kematian.