Top Banner
1 BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum Pidana 1.1.1. Politik Hukum Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata recht dan politiek. Istilah ini seyogianya tidak dirancukan dengan istilah yang muncul belakang, politiekrecht atau hukum politik, yang dikemukakan Hence van Maarseveen karena keduanya memiliki konotasi yang berbeda. Istilah politiekrecht berkaitan dengan istilah lain yang dikemukakan Hence van Maarseveen untuk mengganti istilah hukum tata negara. 1 Kata recht dalam bahasa Indonesia berarti hukum. Kata hukum sendiri berasal dari bahasa Arab hukm (kata jamaknya ahkam), yang berarti putusan (judgement, verdict, decision), ketetapan (provision), perintah (comand), pemerintahan (goverment), kekuasaan (authority, power), hukuman (sentence) dan lain-lain. 2 Politik hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum antara lain: yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Terdapatnya kata 1 Sri Soemantri, 2001. Undang-Undang Dasar 1945, Kedudukan dan Artinya dalam Kehidupan Bernegara, Dalam Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.19. 2 Ibid. 108
106

BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

Aug 24, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

1

BAB II

TINJAUAN UMUM

1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum Pidana

1.1.1. Politik Hukum

Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa

Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari

dua kata recht dan politiek. Istilah ini seyogianya tidak dirancukan dengan istilah yang

muncul belakang, politiekrecht atau hukum politik, yang dikemukakan Hence van

Maarseveen karena keduanya memiliki konotasi yang berbeda. Istilah politiekrecht

berkaitan dengan istilah lain yang dikemukakan Hence van Maarseveen untuk

mengganti istilah hukum tata negara.1

Kata recht dalam bahasa Indonesia berarti hukum. Kata hukum sendiri berasal

dari bahasa Arab hukm (kata jamaknya ahkam), yang berarti putusan (judgement,

verdict, decision), ketetapan (provision), perintah (comand), pemerintahan

(goverment), kekuasaan (authority, power), hukuman (sentence) dan lain-lain.2 Politik

hukum adalah kebijakan dasar penyelenggara negara dalam bidang hukum antara lain:

yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku

di masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan. Terdapatnya kata

1 Sri Soemantri, 2001. Undang-Undang Dasar 1945, Kedudukan dan Artinya dalam Kehidupan

Bernegara, Dalam Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2004, Dasar-Dasar Politik Hukum, Raja

Grafindo Persada, Jakarta, hlm.19. 2 Ibid.

108

Page 2: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

2

kebijakan ini berkaitan dengan adanya strategi yang sistematis, terinci dan mendasar.

Dalam merumuskan dan menetapkan hukum yang telah dan akan dilakukan, politik

hukum menyerahkan otoritas legislasi kepada penyelenggara negara, tetapi dengan

tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Keseluruhannya ditujukan

untuk mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.3

Kamus bahasa Belanda yang ditulis oleh van der Tas, kata Politiek mengandung

arti beleid.4 Kata beleid sendiri dalam bahasa Indonesia berarti kebijakan (policy).

Berdasarkan pengertian tersebut dapat dikatakan bahwa politik hukum secara singkat

berarti kebijakan hukum. Dengan kata lain, politik hukum adalah rangkaian konsep dan

asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan,

kepemimpinan dan cara bertindak dalam bidang hukum.

Penjelasan pengertian politik hukum secara etimologis seperti yang diuraikan

di atas tentu tidak memuaskan, karena masih begitu sederhana dan dapat

membingungkan serta merancukan pemahaman tentang apa itu politik hukum. Oleh

karena itu perlu kiranya disajikan definisi politik hukum oleh para ahli hukum,

diantaranya:

Padmo Wahyono dalam bukunya “Indonesia Negara Berdasarkan atas Hukum”

mendefinisikan politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk

maupun isi dari hukum yang akan dibentuk. Definisi ini masih bersifat abstrak dan

3 Imam Syaukani dan A. Ahsin Tohari, 2010. Dasar-dasar Politik Hukum, P.T. Raja Grafindo

Persada, Jakarta, hlm.32. 4 Ibid.

Page 3: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

3

kemudian dilengkapi dengan sebuah artikelnya di majalah Forum Keadilan yang

berjudul: “Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-Undangan”. Dalam artikel

tersebut Padmo Wahjono mengatakan bahwa politik hukum adalah kebijakan

penyelenggara negara tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan

sesuatu. Dalam hal ini kebijakan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum,

penerapan hukum, dan penegakannya sendiri.5

Definisi yang dikemukakan diatas, disimpulkan kembali oleh Padmo Wahjono

yaitu: politik hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat mendasar

dalam menentukan arah, bentuk maupun isi dari hukum yang akan dibentuk dan

tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dengan demikian,

politik hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa

datang (ius constituendum).6

Teuku Mohammad Radhie dalam sebuah tulisannya berjudul Pembaharuan

dan Politik Hukum dalam rangka Pembangunan Nasional mendefinisikan politik

hukum sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa negara mengenai hukum yang

berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.7

Pernyataan mengenai hukuman yang berlaku di wilayahnya mengandung pengertian

hukum yang berlaku pada saat ini (ius constitutum) dan mengenai arah perkembangan

hukum yang dibangun mengandung pengertian hukum yang berlaku di masa yang

5 Padmo Wahjono, 1986. Indonesia Negara Berdasarkan Atas Hukum, Cet II, Ghalia Indonesia,

Jakarta, hlm. 160. 6 Ibid. 7 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op.,Cit, hlm. 27

Page 4: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

4

akan datang (ius constituendum). Dengan demikian, berbeda dengan definisi politik

hukum yang dikemukakan Padmo Wahjono, yang lebih mengarah pada hukum yang

bersifat ius constituendum, definisi politik hukum yang dirumuskan oleh Radhie

tampaknya memiliki dua wajah yang saling berkaitan dan berkelanjutan, yaitu ius

constitutum dan ius constituendum.

Soedarto (Ketua Perancang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana),

mengemukakan politik hukum adalah: kebijakan dari negara melalui badan-badan

negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki,

yang diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam

masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.8 Pada bukunya yang lain yang

berjudul Hukum dan Hukum Pidana dijelaskan, Politik hukum adalah usaha untuk

mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada

suatu waktu.9

Pengertian politik hukum yang dikemukakan Soedarto di atas mencakup

pengertian yang sangat luas. Pernyataan mengekspresikan apa yang terkandung dalam

masyarakat bisa ditafsirkan sangat luas sekali dan dapat memasukkan pengertian di

luar hukum, yakni politik ekonomi, sosial, budaya, dan Hankam. Sedangkan

pernyataan untuk mencapai apa yang dicita-citakan memberikan pengertian bahwa

politik hukum berkaitan dengan hukum yang dicita-citakan (ius constituendum).

8 Soedarto, 1979. Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum, dalam Hukum dan Keadilan

No. 5 Tahun ke-VII, Januari-Februari, hlm, 15-16; Soedarto, 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan

Masyarakat Kajian terhadap Hukum Pidana, Sinar Baru, Bandung, hlm,20 9 Soedarto, 1986. Hukum dan Hukum Pidana. Alumni, Bandung, hlm. 151

Page 5: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

5

Soedarto tidak hanya membahas mengenai pada kurun waktu apa hukum yang

diterapkan (ius constituendum), tetapi tampaknya sudah pula menyinggung kerangka

pikir macam apa yang harus digunakan ketika menyusun sebuah produk hukum.

Satjipto Rahardjo mendefinisikan politik hukum sebagai aktivitas memilih dan

cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam

masyarakat.10 Sebagai seseorang yang mendalami sosiologi hukum, Satjipto Rahardjo

lebih menitik beratkan definisi politik hukumnya dengan menggunakan pendekatan

secara sosiologis. Hal tersebut bisa dilihat dari pernyataan bahwa politik hukum

digunakan untuk mencapai tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.

Satjipto Rahardjo menyatakan terdapat beberapa pertanyaan mendasar yang

muncul dalam studi politik hukum, yaitu: (1) tujuan apa yang hendak dicapai dengan

sistem hukum yang ada; (2) cara-cara apa dan yang mana, yang dirasa paling baik untuk

bisa dipakai mencapai tujuan tersebut; (3) kapan waktunya hukum itu perlu diubah dan

melalui cara-cara bagaimana perubahan itu sebaiknya dilakukan; dan (4) dapatkah

dirumuskan suatu pola yang baku dan mapan, yang bisa membantu kita memutuskan

proses pemilihan tujuan serta cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut secara baik.11

Sunaryati Hartono dalam bukunya Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum

Nasional, sebenarnya tidak pernah menjelaskan secara ekplisit pengertian politik

hukum. Hal tersebut bukan berarti bahwa ia tidak mempedulikan keberadaan politik

hukum dari sisi praktisnya. Dalam hal ini, ia melihat politik hukum sebagai sebuah alat

10 Satjipto Rahardjo, 1991. Ilmu Hukum. Cet. III, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 352 11 Ibid, hlm. 352

Page 6: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

6

(tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk

menciptakan sistem hukum nasional yang dikehendaki dan dengan sistem hukum

nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia.12 Pernyataan “menciptakan

sistem hukum nasional yang dikehendaki” mengisyaratkan bahwa kerangka kerja

politik hukum menurut Sunaryati Hartono lebih menitik beratkan pada dimensi hukum

yang berlaku di masa yang akan datang atau ius constituendum.

Definisi politik hukum berikutnya dikemukakan oleh Abdul Hakim Garuda

Nusantara, dalam sebuah makalahnya berjudul: Politik Hukum Nasional, yang

disampaikan pada Kerja Latihan Bantuan Hukum (Kalabahu). Menurut Garuda

Nusantara, Politik Hukum Nasional secara harfiah dapat diartikan sebagai kebijakan

hukum (legal policy) yang hendak diterapkan atau dilaksanakan secara nasional oleh

suatu pemerintahan negara tertentu.13

Politik hukum Nasional bisa meliputi: (1) pelaksanaan ketentuan hukum yang

telah ada secara konsisten; (2) pembangunan hukum yang pada intinya adalah

pembaharuan terhadap ketentuan hukum yang telah ada dan yang dianggap usang, dan

penciptaan ketentuan hukum baru yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan

perkembangan yang terjadi dalam masyarakat; (3) penegasan fungsi lembaga penegak

atau pelaksana hukum dan pembinaan anggotanya; (4) meningkatkan kesadaran hukum

masyarakat menurut persepsi kelompok elit pengambil kebijakan.14

12 C.F.G. Sunaryati Hartono, 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional.

Alumni, Bandung, hlm.1. 13 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op.,Cit, hlm. 31 14 Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op.,Cit, hlm. 31

Page 7: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

7

Definisi politik hukum dari Garuda Nusantara ini merupakan definisi politik

hukum yang paling komprehensif di antara definisi-definisi politik hukum yang

dipaparkan diatas. Hal ini dikarenakan penjelasan yang disampaikan mengenai wilayah

kerja Politik Hukum sangat jelas, yang meliputi: pertama, teritorial berlakunya politik

hukum dan kedua, proses pembaharuan dan pembuatan hukum, yang mengarah pada

sikap kritis terhadap hukum yang berdimensi ius constitutum dan menciptakan hukum

yang berdimensi ius constituendum. Lebih dari itu, Garuda Nusantara juga

menekankan pada pentingnya penegasan fungsi lembaga dan pembinaan para penegak

hukum, suatu hal yang tidak disinggung oleh para ahli hukum sebelumnya.

Berbagai definisi Politik hukum dari para sarjana diatas, dapat dielaborasi dan

dirumuskan dalam suatu pengertian politik hukum yaitu: kebijakan dasar

penyelenggara negara dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang

bersumber dari nilai-nilai kehidupan masyarakat untuk mencapai tujuan negara yang

dicita-citakan. Kata kebijakan berkaitan dengan adanya suatu strategi yang sistematis,

terinci dan mendasar. Dalam merumuskan dan menetapkan hukum yang telah dan akan

dilakukan, politik hukum menyerahkan otoritas-otoritas legislasi kepada

penyelenggara negara, tetapi dengan tetap memperhatikan nilai-nilai yang berlaku di

masyarakat dalam rangka mencapai tujuan negara yang dicita-citakan.

1.1.2. Politik Hukum Pidana

Sebagai bagian dari politik hukum, politik hukum pidana mengandung arti

bagaimana mengusahakan atau membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan

Page 8: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

8

yang baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Peraturan perundang-

undangan yang baik harus mengakomodasi tujuan hukum yang diinginkan yaitu

adanya kepastian hukum, rasa keadilan dan bermanfaat dalam kehidupan masyarakat.

Politik hukum pidana merupakan suatu cara yang dipilih untuk melakukan

pembaharuan di bidang hukum pidana yang dalam hal ini berkaitan dengan euthanasia.

Pengaturan tentang euthanasia dalam KUHP di Indonesia belum

mencerminkan adanya kejelasan rumusan yang pasti mengenai euthanasia. Tidak ada

satu Pasalpun dalam KUHP yang menyebutkan euthanasia. Pasal-Pasal dalam KUHP

yang dapat dikaitkan dengan euthanasia adalah Pasal-Pasal yang mengatur tentang

kejahatan terhadap nyawa dan tubuh. Diperlukan suatu kebijakan formulasi dalam

pembentukan (penormaan) aturan hukum tentang euthanasia untuk menjamin

kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan.

Mengutip pendapat Sutherland and Cressey, menyebutkan empat karakteristik

hukum pidana, yaitu:

There are four characteristic of criminal law:

1. It is assumed by political authority. The state assumes the role of plaintiff

or the party bringing forth charges. Murder, for example, is no longer just

an offense against a person, but against the state. In fact, the state prohibits

individual revenge in such matters, perpetrators must pay their debt to

society, not to the individual wronged (Ini diasumsikan oleh otoritas politik.

Negara mengasumsikan peran penggugat atau pihak yang mengajukan

tuntutan. Pembunuhan, misalnya, tidak lagi hanya pelanggaran terhadap

seseorang, tetapi melawan negara. Bahkan, negara melarang balas dendam

individu dalam hal-hal seperti itu, pelaku harus membayar utang mereka

kepada masyarakat, bukan kepada individu yang dirugikan).

2. It must be specific, defining both the offense as well as the proscribed

punishment. (harus spesifik, mendefinisikan baik pelanggaran maupun

hukuman yang dilarang.)

Page 9: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

9

3. The law is uniformly applied. That is, equal punishment and fairness to all,

irrespective of social position, is intended (Hukum diterapkan secara

seragam. Artinya, hukuman yang setara dan keadilanbagi semua orang,

terlepas dari posisi sosialnya, dimaksudkan)

4. The law contains penal sanctions enforced by punishment administered by the

state.15 (Undang-undang mengandung sanksi pidana yang ditegakkan dengan

hukuman yang dikelola oleh Negara).

Mengutip pendapat A. Mulder didalam buku Bahan Bacaan Politik karangan

Barda Nawawi, politik hukum pidana (Strafrechtpolitiek) ialah garis untuk

menentukan:

1. Seberapa jauh ketentuan-ketentuan pidana yang berlaku perlu diubah atau

diperbaharui.

2. Apa yang dapat diperbuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana.

3. Cara bagaimana penyidikan, penuntutan, peradilan, dan pelaksanaan pidana

harus dilaksanakan.16

Mengkaji pendapat yang disampaikan oleh A. Mulder tersebut diatas, urgensi

pembentukan peraturan tentang euthanasia sangat mendesak. Berdasarkan pada

pengalaman empiris dalam masyarakat, ternyata tanpa disadari praktek euthanasia

pasif maupun aktif sudah terjadi. Dalam KUHP, tidak ada satu Pasalpun yang

mengatur euthanasia, sehingga sangat diperlukan pengaturannya.

Kebijakan hukum pidana (penal policy) menurut pendapat Marc Ancel: “both

a science and art, of which the practical purposes ultimately are to anable the positive

rules better formulated and to guide not only the legislator who has to draft criminal

15 Hagan, Frank E., 1986. Introduction to Criminology (Theories, Methods, and Criminal

Behavior). Nelson – Hall. Chicago.p.12 16 Barda Nawawi Arief, 1992. Bahan Bacaan Politik Hukum Pidana, Pasca Sarjana Universitas

Indonesia. Jakarta, hlm. 7.

Page 10: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

10

subtitles, but the court by which they are applied and the prison administration which

gives practical effect to the court decision”.17 (suatu ilmu sekaligus seni yang pada

akhirnya mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif

dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberi pedoman tidak hanya kepada

pembuat undang-undang tetapi juga kepada pengadilan yang menerapkan undang-

undang dan kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan).

Politik hukum pidana bertujuan untuk memformulasi pembentukan peraturan

perundang-undangan tentang euthanasia dalam hukum positif. Politik hukum sebagai

dasar untuk merumuskan kembali kebijakan formulasi tentang euthanasia oleh

pembentuk undang-undang, lembaga peradilan yang menerapkan undang-undang dan

kepada penyelenggara atau pelaksana putusan pengadilan serta aparat penegak hukum.

1.2. Ruang Lingkup dan Esensi Euthanasia

1.2.1. Pengertian Euthanasia

Istilah euthanasia berasal dari bahasa Yunani, yaitu: “Eu-Thanatos”. “Eu”

artinya baik dan “Thanatos” artinya mati. Jadi euthanasia dapat diartikan sebagai

“kematian yang senang dan wajar”.18 John Suryadi dan S. Koencoro mengemukakan

bahwa menurut arti bahasa euthanasia itu adalah obat untuk mati dengan tenang.19

17 Marc Ancel, 1965. Social Defence A Modern Approach Problem, Reuledge & Kegan Paul,

London, p. 209. 18 Imron Halimy, 1990, Euthanasia, Ramadani, Solo, hlm.35. 19 John Suryadu dan S. Koencoro, 1986, Kamus Lengkap Populer, Indah, Jakarta, hlm.112.

Page 11: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

11

Euthanasia menurut Ahmad Ramli dan K. St. Pamuncah, berarti mati suci tanpa

derita.20

Kartono Muhammad secara harfiyah memberikan definisi euthanasia berarti

mati secara baik.21 Dalam pengertian medis, euthanasia menurut Kartono Muhammad

adalah membantu mempercepat kematian seseorang agar terbebas dari penderitaan.22

Anton M. Moeliono memberikan definisi tentang euthanasia yaitu: tindakan

mengakhiri dengan sengaja kehidupan mahluk (orang atau pun hewan piaraan) yang

sakit berat atau luka parah dengan kematian yang tenang dan mudah atas dasar

perikemanusiaan.23

Berdasarkan berbagai pengertian euthanasia seperti yang dikemukakan diatas,

dapat diambil intisari bahwa euthanasia adalah usaha, tindakan dan bantuan yang

dilakukan oleh seorang dokter kepada seseorang untuk dengan sengaja mempercepat

kematian seseorang tersebut yang menurut perkiraannya sudah hampir mendekati

kematian, dengan tujuan untuk meringankan atau membebaskannya dari penderitaan

yang dialaminya.24

Berbagai definisi yang dikemukakan diatas tersebut, menurut penulis belum

lengkap karena tidak mencakup tindakan euthanasia aktif atau sikap pasif (diam) dari

20 Ahmad Ramli dan K.St. Pamuncah, 1986, Kamus Kedokteran, Jambatan, Jakarta, hlm. 68. 21 Kartono Muhammad, Euthanasia, dalam Kompas, Edisi 6 Mei 1989. 22 Ibid 23 Anton, M. Moeliono, et.al, 1989, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm

237. 24 H.Ahmad Wardi Muslich, 2014, Euthanasia Menurut Pandangan Hukum Positif dan Hukum

Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm.13

Page 12: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

12

dokter untuk membiarkan saja dan tidak melakukan tindakan apapun. Definisi yang

dikemukakan oleh Euthanasia Study Group dari Ikatan Dokter Balanda dan

menjadikan batasan konseptual, yakni: Euthanasia adalah dengan sengaja tidak

melakukan sesuatu (nalaten) untuk memperpanjang hidup seorang pasien atau sengaja

melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien dan

semua ini dilakukan khusus untuk kepentingan pasien itu sendiri.25

Definisi dari ikatan dokter Belanda tersebut diatas menggambarkan bahwa

euthanasia bukan hanya tindakan mengakhiri hidup seorang pasien yang sangat

menderita saja, melainkan juga sikap diam, tidak melakukan upaya untuk

memperpanjang hidupnya dan membiarkannya mati tanpa upaya pengobatan. Definisi

euthanasia tersebut, mencakup tiga kemungkinan, yaitu:

a. Memperbolehkan (membiarkan) seseorang mati,

b. Kematian karena belas kasihan, dan

c. Mencabut nyawa seseorang karena belas kasihan.26

Memperbolehkan seseorang mati, mengandung pengertian tentang adanya

kenyataan bahwa segala macam usaha penyembuhan terhadap penyakit seseorang,

sudah tidak ada manfaatnya lagi. Secara medis usaha penyembuhan tersebut

mempunyai prognose negatif atau tidak menunjukkan hasil yang positif. Dalam situasi

tertentu, pemaksaan terhadap upaya pengobatan yang sudah tidak bermakna tersebut

justru mengakibatkan bertambahnya penderitaan pasien. Dalam kondisi tersebut,

25 Ibid. 26 Ibid.

Page 13: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

13

sebaiknya pasien dibiarkan meninggal dengan caranya sendiri tanpa campur tangan

orang lain dengan tenang dan damai.

Kematian karena belas kasihan, mempunyai pemahaman yang berkaitan

dengan suatu tindakan yang secara langsung dan disengaja untuk mengakhiri

kehidupan seseorang yang didasarkan atas izin atau permintaan pasien tersebut. Hal ini

disebabkan oleh kondisi penderita yang sudah tidak tahan lagi menanggung rasa sakit

yang demikian berat.

Mencabut nyawa seseorang karena belas kasihan, merupakan suatu tindakan

yang langsung untuk menghentikan kehidupan pasien tanpa izinnya. Tindakan ini

didasarkan atas asumsi bahwa kehidupan si pasien selanjutnya tidak ada artinya lagi.

Tentu saja ada perbedaan antara peristiwa ini dengan kematian karena kasihan, yaitu

bahwa dalam peristiwa yang terakhir ini tindakan dilakukan tanpa izin dan persetujuan

si pasien.

1.2.2. Sejarah Euthanasia

a. Euthanasia Jaman Dahulu

Perbuatan euthanasia telah banyak dilakukan sejak jaman dahulu dan banyak

memperoleh dukungan oleh tokoh-tokoh besar dalam sejarah, seperti Plato, yang

mendukung tindakan bunuh diri yang dilakukan oleh orang-orang pada masa itu, untuk

mengakhiri penderitaan dari penyakit yang dialaminya. Aristoteles telah membenarkan

tindakan infanticide, yaitu membunuh anak yang berpenyakit dari lahir dan tidak dapat

hidup menjadi manusia yang perkasa. Phytagoras dan kawan-kawan menyokong

Page 14: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

14

perlakuan pembunuhan pada orang-orang yang lemah mental dan moral.27 Berdasarkan

laporan, euthanasia juga pernah terjadi di India dan Sardinia. Bahkan dalam perang

dunia ke dua, Hitler memerintahkan untuk membunuh orang-orang sakit yang tidak

mungkin disembuhkan dan bayi-bayi yang lahir dengan cacat bawaan.28

Hipokrates pertama kali menggunakan istilah euthanasia pada Sumpah

Hipokrates yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut antara lain berbunyi:

“saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada

siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu.” Kenyataan praktek-praktek euthanasia

jaman dahulu kala dapat ditemukan, misalnya di India pernah dipraktekkan suatu

kebiasaan untuk melemparkan orang-orang tua ke dalam sungai Gangga dan di

Sardinia orang tua dipukul hingga mati oleh anak laki-laki tertuanya di jaman purba.29

b. Euthanasia Pada Masa Setelah Perang Dunia

Setelah dunia menyaksikan kekejaman Nazi dalam melakukan kejahatan

euthanasia, pada era tahun 1940 dan 1950 maka berkuranglah dukungan terhadap

euthanasia, terlebih-lebih lagi terhadap tindakan euthanasia yang dilakukan secara

tidak sukarela ataupun karena disebabkan oleh cacat genetika. Uruguay mencantumkan

kebebasan praktek euthanasia dalam undang-undang yang telah berlaku sejak tahun

1933. Di beberapa negara Eropa, praktek euthanasia bukan lagi kejahatan kecuali di

Norwegia yang sejak tahun 1902 memperlakukannya sebagai kejahatan khusus.

27 Ibid. 28 Imron Halimy, 1990, Euthanasia, Ramdani, Solo, hlm.35. 29 Ibid.

Page 15: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

15

Bunuh diri atau membiarkan dirinya dibunuh di Amerika Serikat, adalah

melanggar hukum. Satu-satunya negara yang dapat melakukan tindakan euthanasia

bagi para anggotanya adalah Belanda. Anggota yang telah diterima dengan persyaratan

tertentu dapat meminta tindakan euthanasia atas dirinya. Ada beberapa anggota warga

Amerika Serikat yang menjadi anggotanya. Dalam praktek medis, biasanya tidak

dilakukan euthanasia aktif, akan tetapi mungkin ada praktek-praktek medis yang dapat

digolongkan kedalam euthanasia pasif.

c. Euthanasia dalam Dunia Modern

Sejak abad ke-19, euthanasia telah memicu timbulnya perdebatan dan

pergerakan di wilayah Amerika Utara dan di Eropa. Pada tahun 1828 undang-undang

anti euthanasia mulai diberlakukan di negara bagian New York, yang pada beberapa

tahun kemudian diberlakukan pula di beberapa negara bagian yang lain. Setelah masa

perang saudara, beberapa advokat dan beberapa dokter mendukung diberlakukannya

euthanasia secara sukarela.

Kelompok-kelompok pendukung euthanasia mulanya terbentuk di Inggris pada

tahun 1935 dan di Amerika pada tahun 1938 yang memberikan dukungannya pada

pelaksanaan euthanasia agresif, walaupun demikian perjuangan untuk melegalkan

euthanasia tidak berhasil di golkan di Amerika maupun Inggris. Pada tahun 1937,

euthanasia atas anjuran dokter dilegalkan di Swiss sepanjang yang bersangkutan tidak

memperoleh keuntungan daripadanya.

Page 16: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

16

Periode waktu yang sama, pengadilan di Amerika menolak beberapa

permohonan dari pasien yang sakit parah dan beberapa orang tua yang memiliki anak

cacat yang mengajukan permohonan euthanasia oleh dokter sebagai bentuk

“pembunuhan berdasarkan belas kasihan”. Pada tahun 1939, pasukan Nazi Jerman

melakukan suatu tindakan kontroversial dalam suatu “program” euthanasia terhadap

anak-anak dibawah umur 3 tahun yang menderita keterbelakangan mental, cacat tubuh,

ataupun gangguan lainnya yang menjadikan hidup mereka tidak berguna. Program ini

dikenal dengan nama Aksi T4 atau “Action T4” yang pada masa berikutnya

diberlakukan juga terhadap anak-anak usia diatas 3 tahun dan para orang jompo atau

lansia.30

Jenis kematian euthanasia ini, menarik perhatian dunia setelah

dilangsungkannya konfrensi Hukum Se-Dunia, yang diselenggarakan oleh World

Peace Through Law Center di Manila (Filipina), tanggal 22 dan 23 Agustus 1977.

Dalam konfrensi Hukum Se-Dunia tersebut, telah diadakan Sidang Peradilan Semu

(Sidang Tiruan), mengenai hak manusia untuk mati atau the right to die yang

melibatkan dokter-dokter dan tokoh-tokoh dibidang hukum dari berbagai dunia

sehingga masalah euthanasia ini mendapat perhatian luas.31

1.2.3. Konsep Kematian dan Hubungannya dengan Euthanasia

Peristiwa mati bagi seorang manusia merupakan suatu yang cepat atau lambat

pasti terjadi. Kematian akan menimbulkan perubahan status dan situasi, baik bagi

30 Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Op.,Cit, hlm. 10. 31 Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Op.,Cit, hlm. 10.

Page 17: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

17

dirinya, keluarganya, maupun lingkungannya. Berkaitan dengan masalah kematian,

jika dilihat dari cara terjadinya dalam dunia ilmu pengetahuan membedakannya

menjadi tiga jenis kematian, yaitu:

1. orthothanasia, yaitu kematian yang terjadi karena suatu proses alamiah;

2. dysthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi secara tidak wajar; dan

3. euthanasia, yaitu suatu kematian yang terjadi dengan pertolongan atau tidak

dengan pertolongan dokter.32

Kematian itu sendiri bagi orang kebanyakan jarang sekali dipermasalahkan,

karena dianggap sudah sangat mudah dan jelas dapat dilihat, namun bagi seseorang

yang karena tugasnya diharuskan berhubungan dengan persoalan kematian manusia,

seperti tenaga medis, batasan hidup ini sangat penting. Dikenal beberapa istilah tentang

mati, yaitu: mati somatis, mati suri, mati seluler, mati serebral dan mati batang otak.

Mati somatis, yang juga disebut dengan mati klinis terjadi akibat berhentinya

fungsi ketiga sistem penunjang kehidupan yang menetap atau reversible. Ketiga sistem

penunjang kehidupan tersebut, antara lain: pertama susunan syaraf pusat atau secara

umum disebutnya otak, kedua sistem kardiovaskuler yang terdiri dari jantung dan

pembuluh darah dan yang ketiga sistem pernafasan. Istilah kematian somatis atau mati

klinis inilah yang sering diistilahkan oleh masyarakat pada umunya untuk menyatakan

bahwa seseorang sudah mati.

32 Loc.,Cit

Page 18: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

18

Seseorang yang berada dalam keadaan mati somatis, secara klinis tidak

ditemukan lagi adanya reflex-refleks. Hasil pemeriksaan electro Encephalography

sudah tidak ada lagi gelombang atau garis menjadi mendatar, nadi tidak teraba, denyut

jantung tidak terdengar, tidak ada gerak pernafasan dan suara nafas tidak terdengar

pada pemeriksaan auskultasi. Akan tetapi, dengan ditemukannya alat artificial

respiration (respirator) maka kriteria kematian klinis kurang dipercaya karena jantung

yang berhenti segera dapat digerakkan lagi dengan massage atau pukulan. Dengan

adanya teknologi yang canggih, apa yang menurut ukuran pada masa lalu seharusnya

orang sudah dikatakan mati, kini ia dapat bertahan hidup walaupun hanya secara

vegetative. Dengan demikian kriteria kematian klinis sudah dianggap usang dan tidak

relevan dengan kualitas hidup dalam pengertian sekarang.33

Mati suri atau apparent death, yaitu terhentinya sistem penunjang kehidupan

yang ditentukan dengan alat kedokteran sederhana, namun bila diperiksa dengan

peralatan kedokteran yang canggih masih dapat dibuktikan bahwa ketiga sistem

tersebut masih berfungsi. Mati suri sering ditemukan pada kasus keracunan obat tidur,

tersengat aliran listrik dan tenggelam.

Mati seluler atau juga disebut mati molekuler yaitu kematian organ atau

jaringan tubuh yang timbul beberapa saat setelah kematian somatik. Daya tahan hidup

dari masing-masing organ atau jaringan ternyata berbeda-beda, sehingga terjadinya

kematian seluler pada setiap organ atau jaringan juga tidak bersamaan. Mati serebral,

33 Petrus Yoyo Karyadi, 2001, Euthanasiadalam Perspektif Hak Asasi Manusia, Media Presindo,

Yogyakarta, hlm. 20.

Page 19: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

19

yaitu kematian yang disebabkan karena terjadinya kerusakan yang menetap pada kedua

hemisfer yaitu bagian kanan dan kiri dari otak, kecuali batang otak dan serebelum atau

otak kecil, sedangkan kedua sistem penunjang kehidupan yang lainnya yaitu sistem

pernafasan dan sistem kardiovaskuler masih berfungsi dengan bantuan alat. Mati

batang otak, yaitu kematian yang terjadi dikarenakan adanya kerusakan seluruh neuron

intrakranial yang menetap, termasuk batang otak dan serebelum. Dengan diketahuinya

mati batang otak, maka dapat dikatakan seseorang secara keseluruhan tidak dapat

dinyatakan hidup lagi.

Saat-saat paling kritis dalam kehidupan seseorang adalah akhir dari kehidupan

tersebut. Dulu banyak pengarang termenung, ketakutan, akan dikuburkan hidup-hidup,

karena kematian yang sebenarnya belum terjadi namun sudah dikubur. Untuk itu ada

peti jenasah yang dilengkapi dengan berbagai peralatan untuk memberi tahu orang-

orang bahwa dirinya masih hidup, misalnya bel atau bahkan selang udara untuk

bernafas. Kamar jenasah mula-mula digunakan untuk mengamati jenasah, agar dapat

dipastikan bahwa orangnya sungguh-sungguh mati.34

Sehubungan dengan mati, dari sisi filsafat, seperti dikatakan oleh Drijarkara,

bahwa jiwa tidak terdiam di badan seperti jangkrik dalam bumbung.35 Dengan

demikian kita sulit akan melihat sebetulnya dibagian tubuh manusia yang mana jiwa,

kalau diidentikkan dengan nyawa, itu berada dalam tubuh manusia. Menurut Ibn Sina,

34 Thomas A. Shanon, 1995. Pengantar Bioetika, Diterjemahkan oleh K. Bartens, PT. Ikrar

Mandiri Abadi, Jakarta, hlm.56. 35 Drijarkara,1978. Filsafat Manusia,Yayasan Kanisius, Yogyakarta, hlm 95.

Page 20: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

20

seperti ditulis oleh Harun Nasution, jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri

dan mempunyai wujud yang terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap

kali ada badan, yang sesuai dan dapat menerima jiwa, lahir di dunia ini.36

Pada tahun 1968 suatu panitia ad-hoc dari Fakultas Kedokteran Harvard,

menyatakan bahwa secara medis seseorang baru dianggap mati kalau memenuhi

kriteria sebagai berikut:

1. Unreceptivity and unresponsiveness (kehilangan daya tanggap/reaksi),

2. No spontaneous movements or breathing (tanpa gerak spontan dan nafas),

3. No reflexes (tanpa refleks),

4. A flat electroencephalogram/EEG (kerusakan otak).37

Untuk menentukan kematian seseorang diperlukan kriteria diagnostik yang

benar berdasarkan konsep diagnostik yang dapat dipertanggungjawabkan secara

ilmiah. Kriteria diagnostik pertama yang dibuat oleh para ahli dibidang kedokteran

adalah berdasarkan konsep “permanent of heart beating and respiration is death”.

Setelah ditemukannya alat yang dapat mempertahankan fungsi paru-paru dan jantung

berupa respirator, maka disusunlah kriteria baru berdasarkan pada konsep “brain death

is death”. Terakhir, konsep diagnostik tersebut disempurnakan menjadi “brain stem

death is death”.

Menurut Soerarjo Darsono, direktur Rumah Sakit Dr. Kariadi, Semarang bila

dilihat dari saat terjadinya kematian, akan terdapat istilah somatic death dan biological

36 Harun Nasution, 1973. Falsafat dan Mistisme dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta, hlm. 37. 37 Petrus Yoyo Kariadi, Op.,Cit, hlm.22

Page 21: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

21

death.38 Untuk menjelaskan kedua istilah tersebut, dapat dilihat pada bagan sebagai

berikut:

Gambar

Garis Kehidupan & Garis Kematian

A D

Garis hidup

Fungsi animal

Fungsi Vegetatif

Somatic - Level Mati Suri

B 1 2 3 4 5

Garis Mati C

Biological – Level Biological – Death

Penjelasan:

- Suatu siklus dalam kehidupan manusia, pasti akan mengalami suatu kematian. Oleh

karena itu, mempunyai apa yang disebut sebagai “garis hidup” dan “garis mati”.

Setiap orang yang masih hidup mempunyai fungsi kehidupan yang dinamakan

“fungsi animal” dan “fungsi vegetatif”. Fungsi animal adalah bahwa setiap orang

yang hidup itu mempunyai fungsi sebagaimana yang dimiliki oleh binatang, misalnya

dapat berjalan, berpindah kesana-kesini, dan lain sebagainya. Sedangkan yang

dimaksud fungsi vegetatif adalah semua fungsi yang dimiliki oleh tumbuh-tumbuhan.

Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa manusia adalah mahluk yang paling

sempurna dan tinggi derajatnya dibandingkan dengan binatang dan tumbuh-

tumbuhan.

- Garis hidup yang dilukiskan pada gambar diatas, makin lama makin menurun,

sedangkan garis mati makin lama makin naik. Apabila ditelusuri pada garis hidup,

maka pada suatu saat akan sampai pada suatu titik, dimana fungsi animal dan fungsi

38 Petrus Yoyo Kariadi, Op.,Cit, hlm.22

Som

atic

Dea

th

Page 22: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

22

vegetatif sudah tidak menunjukkan aktivitasnya lagi (titik A). Kemudian, pada batas

waktu tertentu garis hidup ini akan bertemu dengan garis mati (titik B).

- Pada saat pertemuan antara garis hidup dan garis mati akan terjadi somatic death,

yakni kematian secara badaniah saja. Pada saat ini orang belum dapat dikatakan mati

yang benar-benar, karena masih dimungkinkan dengan timbulnya gejala-gejala hidup

lagi, walaupun kemungkinannya sangat kecil sekali. Tanda-tanda somatic death

adalah sebagai berikut:

1. livor mortis (lebam mayat);

2. rigor mortis (kaku mayat); dan

3. argor mortis (warna/dingin mayat).

Tanda-tanda ini hanya bersifat badaniah saja.

- Sejak terjadi somatic death ini, tanda-tanda kehidupan hampir tidak tampak lagi.

Begitu sebaliknya, tanda-tanda kematian semakin besar. Oleh karena itu, pada

gambar di atas setelah melalui titik B, maka garis hidup dilukiskan dengan titik-titik,

sedangkan garis mati dilukiskan dengan garis sempurna.

- Perkembangan selanjutnya, setelah terjadinya somatic death, kita harus menunggu

sampai kurang lebih dua jam untuk menentukan secara pasti kematian seseorang.

Pada saat inilah dapat dimungkinkan terjadinya apa yang disebut sebagai “mati suri”.

Jadi mati suri ini akan terjadi selama waktu antara somatic death dan biological

death. Sehubungan dengan hal ini, maka jika terjadi kematian di rumah sakit, setelah

dokter menyatakan mati (somatic death), keluarga orang yang meninggal tersebut

tidak diperkenankan langsung membawanya pulang ke rumah, tetapi harus

menunggu sampai kurang lebih selama dua jam. Selama dua jam ini, apabila tidak

ada kejadian yang disebut sebagai mati suri maka terjadilah gejala-gejala cel

degeneration dengan tanda-tanda sebagai berikut:

1. discoloration (terjadinya perubahan warna),

2. softening (jaringan menjadi lunak), dan

3. rotting (terjadinya pembusukan).

- Sesudah itu baru terjadi suatu kematian yang benar-benar mati, baik jasmaniah

maupun rohanianya dan ini dikenal dengan istilah medis sebagai biological death

atau kematian secara biologis (titik C).

- Biological death ini terjadi pada saat bertemunya garis hidup dengan biological level.

Pada saat garis hidup sampai kepada titik C, bersamaan itu pula, garis mati akan

sampai pada titik D, yang disertai gejala-gejala cel degeneration seperti disebutkan

di atas. Jarak serta waktu yang ditempuh dari titik B ke titik C, adalah sama dengan

jarak antara titik B ke titik D, dan memakan waktu yang sama pula, yaitu kurang

lebih selama dua jam.39

39 Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, 1984, Euthanasia, Hak Asasi Manusia dan

Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.

Page 23: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

23

Kebutuhan akan definisi baru tentang kematian berkembang sebagai akibat

langsung daripada makin meningkatnya kemampuan profesi medis untuk

mempertahankan tanda-tanda kehidupan seseorang yang jantungnya terlihat terus

berdetak, tetapi otaknya telah tidak berfungsi secara permanen, karena adanya

kerusakan parah yang permanen. Sehubungan dengan persoalan ini, timbul bermacam-

macam pendapat, baik yang bersifat juridis, moral maupun medis.

Pernyataan Ikatan Dokter Indonesia tentang mati:

1. Mati adalah proses yang berlangsung secara berangsur. Tiap sel dalam tubuh

manusia mempunyai daya tahan yang berbeda-beda terhadap adanya oksigen

dan oleh karenanya, mempunyai saat kematian yang berbeda pula.

2. Bagi dokter, kepentingan bukan terletak pada tiap butir sel tersebut, tetapi pada

kepentingan manusia itu sebagai kesatuan yang utuh.

3. a. dalam tubuh manusia, ada tiga organ penting yang selalu dilihat dalam

penentuan kematian seseorang, yaitu jantung, paru-paru dan otak (khususnya

batang otak).

b. diantara ketiga organ tersebut, kerusakan permanen pada batang otak tidak

dapat dinyatakan hidup lagi.

4. Definisi mati, seseorang dinyatakan mati bilamana:

a. Fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti atau

irreversible, atau

b. Bila terbukti telah terjadi kematian batang otak.

5. Untuk tujuan transplantasi organ, penentuan mati didasarkan pada mati batang

otak. Sebelum dilakukan pengambilan organ, semua tindakan medis diteruskan

agar organ tetap baik.

6. Sadar bahwa pernyataan tentang kematian ini akan mempunyai implikasi

hukum dan implikasi teknis lapangan, maka dengan ini Ikatan Dokter Indonesia

mengajukan usul perubahan dan penambahan terhadap PP. No. 18 tahun 1981,

terutama yang berkenaan dengan definisi seperti yang tercantum dalam Pasal 1

ayat 9 dari Peraturan Pemerintah tersebut.

7. Pada situasi dan keadaan penderita belum mati, tetapi tindakan terapeutik/

paliatif tidak ada gunanya lagi, sehingga bertentangan dengan tujuan ilmu

kedokteran, maka tindakan terapeutik/paliatif dapat dihentikan. Penghentian

Page 24: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

24

tindakan terapeutik/paliatif di atas, sebaiknya dikonsultasikan dengan sedikit-

dikitnya seorang dokter lain.40

Ikatan Dokter Indonesia merumuskan bahwa seseorang dinyatakan mati

apabila: fungsi spontan pernafasan dan jantung telah berhenti secara pasti, berarti

irreversible atau apabila terbukti telah terjadi kematian batang otak. Pernyataan

tersebut dibuktikan dengan pemeriksaan penunjang, seperti Elektro Kardiogram atau

EKG dan Elektro Ensepalogram atau EEG. Upaya mengembalikan berfungsinya

jantung dan pernafasan ini, yang sering disebut resusitasi dalam kejadian ini tidak

memberikan banyak arti lagi.41 Upaya resusitasi darurat dapat diakhiri apabila terjadi

hal berikut:

1. Sesudah resusitasi paling sedikit setengah sampai dengan satu jam terbukti

tidak ada lagi nadi pada normotermia tanpa resusitasi jantung paru;

2. Ada tanda-tanda klinis mati otak;

3. Garis datar pada EKG selama paling sedikit 30 menit meskipun telah dilakukan

resusitasi dan pengobatan optimal; dan

4. Penolong terlalu lelah sehingga tidak dapat melanjutkan resusitasi.

Menurut hemat penulis, kriteria seseorang dapat dikategorikan mati adalah

sudah menunjukkan gejala-gejala organ vital yang secara permanen dinyatakan sudah

tidak berfungsi secara normal seperti jantung, paru-paru dan otak. Pada saat itulah

40 Tercantum dalam lampiran SK PB IDI No. 231/PB/A.4/07/90. 41 Samil Ratna Suprapti, 2001. Etika kedokteran Indonesia. Yayasan Bina Pustaka Sarwono

Prawiraharjo, Jakarta.hlm. 93.

Page 25: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

25

seseorang dapat dinyatakan sudah mati, terlebih apabila mengalami kerusakan batang

otak yang parah permanen.

1.2.4. Jenis-jenis Euthanasia

Menurut M. Yusuf Hanafiah, ditinjau dari pelaksanaannya, euthanasia ada dua

macam yaitu: euthanasia pasif dan euthanasia aktif. Euthanasia pasif merupakan

perbuatan menghentikan atau mencabut segala tindakan atau pengobatan yang perlu

untuk mempertahankan hidup manusia. Sedangkan euthanasia aktif merupakan

perbuatan yang dilakukan secara medik melalui intervensi aktif seorang dokter dengan

tujuan untuk mengakhiri hidup manusia.

Euthanasia aktif masih dapat dibagi menjadi dua yaitu: euthanasia aktif

langsung atau direct dan euthanasia aktif tidak langsung atau indirect. Pada euthanasia

aktif langsung tindakan medis dilakukan secara terarah yang diperhitungkan akan

mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup pasien, tindakan semacam ini

dikenal juga dengan istilah mercy killing. Euthanasia aktif tidak langsung merupakan

tindakan dimana dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan medik untuk

meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya resiko tindakan tersebut

yaitu dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.

Ditinjau dari permintaan, euthanasia dibagi menjadi:

1. Euthanasia voluntir atau euthanasia sukarela yaitu euthanasia atas permintaan

pasien dan permintaan tersebut dilakukan secara sadar dan berulang-ulang.

2. Euthanasia involuntir atau euthanasia tidak atas permintaan, misalnya pada

pasien yang sudah tidak sadar, permintaan datang dari keluarganya.

Page 26: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

26

Dua macam pembagian tersebut diatas dapat digabungkan, dengan demikian

dapat dikenal euthanasia pasif voluntir, pasif involuntir, aktif voluntir dan aktif

involuntir.42

Antara euthanasia pasif dan euthanasia aktif, seolah-olah ada perbedaan,

dimana pada euthanasia pasif dokter membiarkan pasien meninggal, sedangkan pada

euthanasia yang aktif dokter bisa dituduh melakukan pembunuhan. Namun dalam hal

membiarkan meninggal dan membunuh, menurut James F. Childress, secara moral

tidak ada bedanya.43 Memang dapat saja orang berpendapat bahwa euthanasia aktif

“lebih salah” dibandingkan euthanasia yang pasif, namun kenyataannya pasien

tersebut sama-sama meninggal akibat dari suatu keadaan dimana seorang dokter atau

pelayan kesehatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu.

Senada dengan Childress, Bonnie Steinbock berpendapat tidak ada bedanya

antara penghentian perawatan untuk memperpanjang hidup dengan terminasi

kehidupan seorang manusia secara sengaja oleh orang lain.44 Berarti menurutnya antara

euthanasia aktif dan euthanasia pasif adalah sama. Selain euthanasia, Leenen, seperti

yang dikutip oleh Danny Wiradharma, menyebut ada keadaan yang mirip tindakan

euthanasia, tetapi bukan euthanasia, dan keadaan ini disebutnya sebagai Pseudo-

euthanasia atau euthanasia semu, yang dirinci menjadi empat keadaan:

42 M.Yusuf Hanafiah, Amri Amir, 1999, Etika Kedokteran & Hukum Kesehatan, EGC, Jakarta,

hlm. 207-208. 43 James F. Childress,1989, Prioritas-prioritas dalam Etika Biomedis, Penerbit Kanisius,

Yogyakarta, hlm. 31-33. 44 Bonnie Steinbock, 2001, Terminasi Kehidupan dengan Sengaja dalam Etika Terapan II, sebuah

pendekatan multi cultural, Editor: Larry May, Shari Collins-Chobanian dan Kai Wong, Penyunting

Imron Rosyidi, Zahra Nihayati, Cet I, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta. Hlm. 334-335.

Page 27: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

27

1. Mati Batang Otak, pasien mengalami kehidupan vegetatif, hidup seperti

tumbuh-tumbuhan, karena memperoleh tindakan suportif dengan bantuan

mesin,

2. Keadaan darurat yang tidak dapat diatasi. Karena keterbatasan fasilitas

pelayanan kesehatan yang ada, misalnya kejadian-kejadian luar biasa seperti

bencana alam,

3. Penghentian tindakan/perawatan medis yang tidak ada gunanya lagi

berdasarkan kriteria ilmu kedokteran, dan

4. Penolakan perawatan medis.45

Penghentian tindakan/perawatan medis yang tidak ada gunanya lagi

berdasarkan kriteria ilmu kedokteran bukanlah euthanasia semu, tetapi memang itulah

yang disebut dengan euthanasia pasif. Hal ini memang masih dapat diperdebatkan.

Dalam hal keadaan darurat yang tidak dapat diatasi, Robert T. Francoeur mengatakan:

One of the most perplexing and disturbing problems of medical ethics is that of making

dicisions about who should receive medical treatment when only a few of those needing

treatment can be accommodated.46 (Terjemahan bebas: salah satu masalah etika medis

yang paling membingungkan dan mengganggu adalah membuat keputusan tentang

siapa yang harus menerima perawatan medis bila hanya sedikit dari mereka yang

memerlukan perawatan dapat diakomodasi).

Menjadi suatu renungan bagi dokter apabila harus mengambil suatu keputusan

cepat dalam situasi membingungkan dan mengganggu, dimana banyak sekali penderita

yang harus ditolong namun tenaga dan fasilitas sangat sedikit. Secara etis dokter akan

mengedepankan logika, mana yang masih dapat ditolong akan segera ditolong, tetapi

45 Danny Wiradharma, 1996. Penuntun Kuliah Hukum Kedokteran, Bina Rupa Aksara, Jakarta,

hlm. 134-135. 46 Robert T. Francoeur, 1983. Biomedical Ethics, A Guide to Decisions Making, John Wiley

&Sons Inc. New York, hlm. 63.

Page 28: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

28

bagi penderita yang kemungkinan hidupnya sangat kecil akan ditinggalkan untuk

menolong penderita yang lain.

Seorang pasien dapat menolak secara tegas dengan sadar untuk menjalani

perawatan medis dan dia mengetahui bahwa hal ini akan memperpendek atau

mengakhiri hidupnya dan dengan penolakan tersebut ia membuat sebuah codicil atau

pernyataan tertulis tangan, maka hal seperti ini ada yang menyebutnya sebagai auto

euthanasia dan pada dasarnya ini merupakan euthanasia pasif atas permintaan.

Kondisi seorang pasien yang menderita suatu penyakit kanker pada stadium

yang masih dini, pengobatannya dapat dengan menggunakan cara pembedahan atau

operasi karena masih operable. Apabila proses persiapan operasinya tertunda, dapat

karena pemeriksaan penunjang yang terlalu lama, atau antri karena banyaknya pasien

yang akan dioperasi, maka dapat terjadi keterlambatan dan kankernya sudah tidak

dapat dioperasi lagi atau dikatakan sudah menjadi keadaan yang nonoperable. Apabila

hal ini terjadi, maka dapat dianggap ada kelalaian oleh dokternya.

Kartono Muhammad, menyatakan definisi tentang euthanasia dengan membagi

dalam lima kelompok yaitu:

1. Euthanasia pasif, mempercepat kematian dengan cara menolak

memberikan/mengambil tindakan pertolongan biasa, atau menghentikan

pertolongan biasa yang sedang berlangsung.

2. Eutanasia aktif, mengambil tindakan secara aktif, baik langsung maupun tidak

langsung yang mengakibatkan kematian.

3. Euthanasia sukarela, mempercepat kematian atas persetujuan atau permintaan

pasien.

4. Eutanasia tidak sukarela, mempercepat kematian tanpa permintaan atau

persetujuan pasien, sering disebut juga sebagai mercy killing.

Page 29: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

29

5. Euthanasia non volountary, mempercepat kematian sesuai dengan keinginan

pasien yang disampaikan oleh atau melalui pihak ketiga, atau atas keputusan

pemerintah.47

Penolakan perawatan oleh pasien atau keluarganya karena alasan biaya dan

ternyata dokternya mengijinkan, dapat saja terjadi kematian pasien tersebut

dirumahnya dan kejadian ini dapat dianggap sebagai suatu pembiaran seseorang dalam

keadaan bahaya dan dapat terjadi kematian. Menurut Fletcher tindakan euthanasia

dapat dilakukan melalui beberapa cara seperti berikut:

1. Langsung dan sukarela, cara ini memberi jalan kematian yang dipilih pasien,

tindakan ini dianggap sebagai bunuh diri,

2. Sukarela tetapi tidak langsung, cara ini dikerjakan dengan jalan pasien

diberitahu bahwa harapan untuk hidup kecil sekali sehingga pasien ini berusaha

agar ada orang lain yang dapat mengakhiri penderitaan dan hidupnya,

3. Langsung tetapi tidak sukarela, cara ini dilakukan tanpa sepengetahuan pasien,

misalnya dengan memberikan dosis letal pada anak yang lahir cacat, dan

4. Tidak langsung dan tidak sukarela, cara ini merupakan euthanasia pasif yang

mendekati moral.48

Menurut pandangan penulis, jenis euthanasia non volountary yang paling tepat

dijadikan dasar konsepsi terhadap definisi euthanasia karena euthanasia non

volountary bertujuan untuk mempercepat kematian sesuai dengan keinginan pasien

yang disampaikan oleh pasien sendiri atau melalui pihak ketiga (keluarga) atau atas

keputusan pemerintah, dalam hal ini putusan pengadilan.

47 Kartono Muhamad, Op.Cit, hlm. 19 48 Fletcher, dalam Eddy O.S. Hiariej, Op.,Cit, hlm. 38.

Page 30: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

30

1.3. Pengertian Pidana dan Sanksi Pidana

1.3.1. Pengertian Pidana

Penggunaan istilah pidana itu sendiri diartikan sebagai sanksi pidana, selain

istilah-istilah yang lainnya yaitu, hukuman, penghukuman, pemidanaan, penjatuhan

hukuman, pemberian pidana, dan hukuman pidana. Moeljatno menyatakan, istiah

hukuman yang berasal dari “straf” dan istilah “dihukum” yang berasal dari “wordt

gestraf” merupakan istilah yang konvensional. Beliau tidak setuju dengan istilah-is-

tilah itu dan menggunakan istilah yang inkonvensional, yaitu pidana untuk

menggantikan kata “straf” dan diancam dengan pidana untuk menggantikan kata

“wordt gestraf”. Menurut Moeljatno, kalau “straf” diartikan “hukuman”, maka

“strafrecht” seharusnya diartikan sebagai “hukum hukuman”.49

Istilah “hukuman” yang merupakan istilah umum dan konvensional dapat

mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat berkonotasi

dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering digunakan dalam

bidang hukum, tetapi juga dalam istilah sehari-hari di bidang pendidikan, moral, agama

dan sebagainya.50 Oleh karena “pidana” merupakan istilah yang lebih khusus, maka

perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat menunjukkan ciri-ciri

atau sifat-sifatnya yang khas.

Sudarto memberikan pengertian pidana sebagai penderitaan yang sengaja

dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat

49 Muladi dan Barda Nawawi Arief II, Op.,Cit, hlm. 1. 50 Muladi dan Barda Nawawi Arief II, Op.,Cit, hlm. 2

Page 31: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

31

tertentu.51 Sedangkan Roeslan Saleh mengartikan pidana sebagai reaksi atas delik, dan

ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pelaku delik

itu.52 Dalam kamus “Black's Law Dictionary” dinyatakan bahwa punishment adalah:

any fine, or penalty or confinement inflicted upon a person by authority of the law and

the judgement and sentence of a court, for some crime or offence committed by him, or

for his omission of a duty enjoined by law.53

(setiap denda atau hukuman yang dijatuhkan pada seseorang melalui sebuah kekuasaan

suatu hukum dan vonis serta putusan sebuah pengadilan bagi kejahatan atau

pelanggaran yang dilakukan olehnya, atau karena kelalaiannya terhadap suatu

kewajiban yang dibebankan oleh aturan hukum).

Berdasarkan pengertian pidana di atas dapatlah disimpulkan bahwa pidana

mengandung unsur-unsur dan ciri-ciri, yaitu; (1) pidana itu pada hakikatnya merupakan

suatu pengenaan penderitaan atau nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak

menyenangkan; (2) pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang

mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang); dan (3) pidana itu dikenakan kepada

seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang; dan (4) pidana

itu merupakan pernyataan pencelaan oleh negara atas diri seseorang karena telah

melanggar hukum.54

51 Sudarto,Op.,Cit, hlm. 109-110. 52 Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia, Aksara Baru, Jakarta, dalam Mahrus Ali, Op.,Cit,

hlm. 186 53 Henry Campbell Black, Op.,Cit, hlm. 111 54 Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 186

Page 32: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

32

1.3.2. Sanksi Pidana dan Tindakan

Sanksi diartikan sebagai tanggungan, tindakan, hukuman untuk memaksa orang

menepati perjanjian atau menaati ketentuan undang-undang. Sanksi juga berarti bagian

dari (aturan) hukum yang dirancang secara khusus untuk memberikan pengamanan

bagi penegakan hukum dengan mengenakan sebuah ganjaran atau hukuman bagi

seseorang yang melanggar aturan hukum itu, atau memberikan suatu hadiah bagi yang

mematuhinya. Jadi, sanksi itu sendiri tidak selalu berkonotasi negatif. Tindakan

diartikan sebagai pemberian suatu hukuman yang sifatnya tidak menderitakan, tetapi

mendidik, mengayomi. Tindakan ini dimaksudkan untuk mengamankan masyarakat

dan memperbaiki pembuat, seperti pendidikan paksa, pengobatan paksa, memasukkan

ke dalam rumah sakit, dan lainnya.

Berdasarkan dua arti kata di atas, sanksi tindakan adalah suatu sanksi yang

bersifat antisipatif bukan reaktif terhadap pelaku tindak pidana yang berbasis pada

filsafat determinisme dalam ragam bentuk sanksi yang dinamis (open system) dan

spesifikasi nonpenderitaan atau perampasan kemerdekaan, dengan tujuan untuk

memulihkan keadaan tertentu bagi pelaku maupun korban baik perseorangan, badan

hukum publik maupun perdata.55

Sanksi tindakan dalam KUHP memiliki beberapa jenis, yaitu:

a. penempatan di rumah sakit jiwa bagi orang yang tidak dapat dipertanggung

jawabkan karena jiwanya cacat dalam tubuhnya atau terganggu pe-nyakit.56

b. bagi anak yang belum berumur 16 tahun melakukan tindak pidana, hakim dapat

mengenakan tindakan berupa:

55 Andi Hamzah,Op.,Cit. 56 Pasal 44 ayat (2) KUHP.

Page 33: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

33

1) mengembalikan kepada orang tuanya, walinya atau pemeliharanya, atau;

2) memerintahkan agar anak tersebut diserahkan kepada pemerintah;

3) dalam hal ini yang ke-2, anak tersebut dimasukkan dalam rumah

pendidikan negara yang penyelenggaraannya diatur dalam Peraturan

Pendidikan Paksa (Dwangopvoedingregeling, Stb. 1916 No.741);

4) penempatan di tempat bekerja Negara bagi penganggur yang malas bekerja

dan tidak mempunyai mata pencaharian, serta mengganggu ketertiban

umum dengan melakukan pengemisan, bergelandangan atau perbuatan

asosial. (Stb. 1936 No. 160)57

Sanksi pidana diartikan sebagai suatu nestapa atau penderitaan yang ditimpakan

kepada seseorang yang bersalah melakukan perbuatan yang dilarang oleh hukum

pidana, dengan adanya sanksi tersebut diharapkan orang tidak akan melakukan tindak

pidana. Pengertian tentang sanksi pidana menurut Herbert L. Packer dalam bukunya

The Limits of Criminal Sanction adalah:

Criminal punishment means simply any particular disposition or the range or

permissible disposition that the law authorizes (or appears to authorize) in cases

of person who have been judged through the distinctive processes of the criminal

law to be guilty of crime.58

Black's Law Dictionary Henry Campbell Black memberikan pengertian sanksi

pidana sebagai punishment attached to conviction at crimes such fines, probation and

57 Di samping ketentuan yang terdapat dalam KUHP, sesungguhnya sanksi tindakan juga diatur

dalam peraturan perundang-undangan di luar KUHP, yaitu Pasal 8 UU Drt Tahun 1955, yang berupa

penempatan perusahaan si terhukum di bawah pengampuan untuk selama waktu tertentu (3 tahun untuk

kejahatan TPE dan 2 tahun untuk pelanggaran TPE); (1) pembayaran uang jaminan selama waktu

tertentu; (2) pembayaran sejumlah uang menurut taksiran yang diperoleh dari tindak pidana yang

dilakukan; (3) kewajiban melakukan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan

tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya

si terhukum sekadar hakim tidak menentukan lain. 58 Herbert L. Packer, Op.Cit, hlm. 35

Page 34: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

34

sentences.59 (suatu pidana yang dijatuhkan untuk menghukum suatu penjahat

(kejahatan) seperti dengan pidana denda, pidana pengawasan dan pidana penjara).

Berdasarkan deskripsi pengertian sanksi pidana di atas dapat disimpulkan, bahwa pada

dasarnya sanksi pidana merupakan suatu pengenaan suatu derita kepada seseorang

yang dinyatakan bersalah melakukan suatu kejahatan (perbuatan pidana) melalui suatu

rangkaian proses peradilan oleh kekuasaan (hukum) yang secara khusus diberikan

untuk hal itu, yang dengan pengenaan sanksi pidana tersebut diharapkan orang tidak

melakukan tindak pidana lagi.

Jenis-jenis pidana tercantum di dalam Pasal 10 KUHP. Jenis-jenis pidana ini

berlaku juga bagi delik yang tercantum di luar KUHP, kecuali ketentuan undang-

undang itu menyimpang.60 Jenis-jenisnya dibedakan antara pidana pokok dan pidana

tambahan. Pidana pokok terdiri dari: pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan,

pidana denda, dan pidana tutupan.61 Sedangkan pidana tambahan terdiri dari:

pencabutan hak-hak tertentu, perampasan barang tertentu, dan pengumuman putusan

hakim. Pidana tambahan hanya dijatuhkan jika pidana pokok dijatuhkan, kecuali dalam

hal tertentu.

Pertama adalah pidana pokok yang terdiri dari lima jenis pidana. Pertama,

pidana mati. Pidana mati adalah salah satu jenis pidana yang paling tua, setua umat

manusia. Pidana mati juga merupakan bentuk pidana yang paling menarik dikaji oleh

59 Henry Campbell Black, Op.Cit., hlm. 337 60 Pasal 103 KUHP. 61 Pidana tutupan merupakan jenis pidana berdasarkan KUHP terjemahan BPHN berdasarkan

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946.

Page 35: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

35

para ahli karena memiliki nilai kontradiksi atau pertentangan yang tinggi antara yang

setuju dengan yang tidak setuju. Kalau di negara lain satu persatu menghapus pidana

mati, maka sebaliknya yang terjadi di Indonesia.62 Semakin banyak delik yang diancam

dengan pidana mati.

Delik yang diancam pidana mati dalam KUHP ada 9 buah, yaitu sebagai

berikut:

1. Pasal 104 KUHP (makar terhadap presiden dan wakil presiden).

2. Pasal 111 ayat (2) KUHP (membujuk negara asing untuk bermusuhan atau

berperang, jika permusuhan itu dilakukan atau berperang).

3. Pasal 124 ayat (1) KUHP (membantu musuh waktu perang).

4. Pasal 124 ayat (3) KUHP (menyebabkan atau memudahkan atau menganjurkan

huru hara).

5. Pasal 140 ayat (1) KUHP (makar terhadap raja atau presiden atau kepala negara

sahabat yang direncanakan atau berakibat maut).

6. Pasal 340 KUHP (pembunuhan berencana).63

7. Pasal 365 ayat (1) KUHP (pencurian dengan kekerasan yang mengakibatkan

luka berat atau mati).

62 Beberapa Negara telah mencabut pidana mati seperti Brazil Tahun 1979, Republik

FederasiJermanTahun 1949, KolumbiaTahun 1919, Kosta Rika Tahun 1882, Denmark Tahun 1978,

Dominika tahun 1924, Ekuadortahun 1897, Fiji tahun 1979, Firlandia tahun 1972, Honduras tahun 1965,

Luvemburg tahun 1979, Norwegia tahun 1979, Australia tahun 1968, Portugal tahun 1977, Uruguay

tahun 1907, Venezuela tahun 1863, Eslandia tahun 1928, Swedia tahun 1973, Swiss tahun 1973. Andi

Hamzah, Asas...Op.Cit. him. 179-180. 63 Khusus untuk pidana mati terhadap pembunuhan berencana sebagaimana tercantum dalam

Pasal 340 KUHP, uraian lengkap tentang hal itu, Lihat J.E Sahetapy, Suatu Studi...Op.Cit, hlm. 279-336.

Page 36: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

36

8. Pasal 444 KUHP (pembajakan di laut, di pesisir dan di sungai yang meng-

akibatkan kematian).

9. Pasal 479k ayat (2) dan Pasal 479o ayat (2) KUHP. (kejahatan penerbangan dan

kejahatan terhadap sarana/prasarana penerbangan).

Kedua, pidana penjara. Pidana penjara adalah berupa pembatasan kebebasan

bergerak dari seorang terpidana yang dilakukan dengan menempatkan orang tersebut

di dalam sebuah Lembaga Pemasyarakatan (LP) yang menyebabkan orang tersebut

harus mentaati semua peraturan tata tertib bagi mereka yang telah melanggar.64 Pidana

penjara adalah jenis pidana yang dikenal juga dengan istilah pidana pencabutan

kemerdekaan atau pidana kehilangan kemerdekaan, pidana penjara juga dikenal

dengan sebutan pidana pemasyarakatan.

Pidana penjara dewasa ini merupakan jenis utama dan umum dari pidana

kehilangan kemerdekaan. Pada jaman dahulu, pidana penjara tidak dikenal dalam

sistem hukum di Indonesia (hukum adat), yang dikenal adalah pidana pembuangan,

pidana badan berupa pemotongan anggota badan, atau dicambuk, pidana mati dan

pidana denda atau berupa pembayaran ganti kerugian.65 Pidana penjara dalam KUHP

bervariasi dari pidana penjara sementara minimal 1 hari sampai pidana penjara seumur

hidup. Pidana penjara seumur hidup hanya tercantum dimana ada ancaman pidana mati

(pidana mati atau seumur hidup atau pidana dua puluh tahun).

64 P.A.F. Lamintang, 1986. Hukum Panitensir Indonesia, Aremico, Bandung, hlm. 58. 65 Barda Nawawi Arief, 2000. Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan

Pidana Penjara, (Cetakan Ketiga), Badan Penerbit UNDIP, Semarang.hlm, 37.

Page 37: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

37

Ketiga, pidana kurungan. Pidana kurungan pada dasarnya mempunyai dua

tujuan. Pertama, sebagai custodia hunesta untuk delik yang tidak menyangkut

kejahatan kesusilaan, yaitu delik-delik culpa dan beberapa delik dolus, seperti Pasal

182 KUHP tentang perkelahian satu lawan satu dan Pasal 396 KUHP tentang pailit

sederhana. Kedua Pasal tersebut diancam dengan pidana penjara. Kedua, sebagai

custodia simplex, yaitu suatu perampasan kemerdekaan untuk delik pelanggaran.66

Pidana kurungan tidak dijatuhkan terhadap delik dolus, kecuali dalam Pasal 483

dan Pasal 484 KUHP tentang unsur sengaja dan culpa. Sebaliknya terdapat pidana

penjara pada delik culpa, alternatif dari pidana kurungan yang dalam satu Pasal juga

terdapat unsur sengaja dan culpa, seperti dalam Pasal 293 KUHP.67 Pidana kurungan

hakikatnya lebih ringan daripada pidana penjara dalam hal penentuan masa hukuman

kepada seseorang. Hal ini sesuai dengan stelsel pidana dalam Pasal 10 KUHP, dimana

pidana kurungan menempati urutan ketiga di bawah pidana mati dan pidana penjara.

Stelsel tersebut menggambarkan bahwa pidana yang urutannya lebih tinggi memiliki

hukuman yang lebih berat dibandingkan dengan stelsel pidana yang berada di

bawahnya.

Salah satu contoh mengenai pidana kurungan adalah Pasal 359 KUHP. Pasal

tersebut menyatakan bahwa Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya)

menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun

atau pidana kurungan paling lama satu tahun. Demikian halnya dengan Pasal 483

66 Andi Hamzah, Op.Cit., hlm. 183. 67 Andi Hamzah, Op.Cit., hlm.184

Page 38: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

38

KUHP yang menyatakan: barangsiapa menerbitkan sesuatu tulisan atau sesuatu gambar

yangkarena sifatnya dapat diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun

empat bulan atau pidana kurungan paling lama satu tahun atau denda paling banyak

tiga ratus rupiah.

Mengkaji pendeknya jangka waktu pidana kurungan dibandingkan dengan

pidana penjara, dapat menarik kesimpulan bahwa pembuat undang-undang

memandang pidana kurungan lebih ringan dari pada pidana penjara. Terdapat dua

perbedaan antara pidana kurungan dengan pidana penjara. Pertama, dalam hal

pelaksanaan pidana. Terpidana yang dijatuhi pidana kurungan tidak dapat dipindahkan

ke tempat lain di luar tempat ia berdiam pada waktu menjalankan pidana, kecuali kalau

Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atas permintaan terpidana membolehkan

menjalani pidananya di daerah lain.68 Dalam pidana penjara terpidana dapat

dipindahkan ke tempat (LP) lain di luar tempat tinggal atau tempat kediamannya.69

Kedua, pekerjaan yang dibebankan kepada terpidana yang dijatuhi pidana kurungan

lebih ringan daripada terpidana yang dijatuhi pidana penjara.70

Keempat, pidana denda. Pidana denda adalah jenis pidana yang dikenal secara

luas di dunia, dan bahkan di Indonesia. Pidana ini diketahui sejak zaman Majapahit

dikenal sebagai pidana ganti kerugian. Menurut Andi Hamzah, pidana denda

merupakan bentuk pidana tertua, lebih tua daripada pidana penjara, mungkin setua

68 Pasal 21 KUHP. 69 Muhammad Taufik Makarao, Op.Cit. hlm. 157. 70 Pasal 19 ayat (2) KUHP.

Page 39: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

39

pidana mati.71 Pidana denda dijatuhkan terhadap delik-delik ringan, berupa

pelanggaran atau kejahatan ringan. Dengan pemahaman ini, pidana denda adalah satu-

satunya pidana yang dapat dipikul oleh orang lain selain terpidana.

Pidana denda diatur dalam Pasal 30 dan Pasal 31KUHP.

Pasal 30 KUHP menyatakan:

(1) Pidana denda paling sedikit tiga rupiah tujuh puluh lima sen;

(2) Jika pidana denda tidak dibayar, ia diganti dengan pidana kurungan;

(3) Lamanya pidana kurungan pengganti paling sedikit satu hari dan paling lama

enam bulan;

(4) Dalam putusan hakim lamanya pidana kurungan pengganti ditetapkan de-

mikian: jika pidana dendanya tujuh rupiah lima puluh sen atau kurang, dihitung

satu hari: jika lebih dari tujuh rupiah lima puluh sen dihitung paling banyak satu

hari, demikian pula sisanya yang tidak cukup tujuh rupiah lima puluh sen;

(5) Jika ada pemberatan pidana denda, disebabkan karena ada perbarengan atau

pengulangan, atau karena ketentuan Pasal 52, maka pidana kurungan pengganti

paling lama delapan bulan;

(6) Pidana kurungan pengganti sekali-kali tidak boleh lebih dari delapan bulan".

Pasal 31 KUHP menyatakan:

(1) Terpidana dapat menjalani pidana kurungan pengganti tanpa menunggu batas

waktu pembayaran denda.

(2) Ia selalu berwenang membebaskan dirinya dari pidana kurungan pengganti

dengan membayar dendanya.

(3) Pembayaran sebagian dari pidana denda, baik sebelum maupun sesudah dan

mulai menjalani pidana kurungan pengganti, membebaskan terpidana dari

sebagian pidana kurungan yang seimbang dengan bagian yang dibayarnya.

Kelima, pidana tutupan. Pidana tutupan merupakan jenis pidana yang tercantum

dalam KUHP sebagai pidana pokok berdasarkan UU No. 20 Tahun 1946.

Pasal 2 UU No. 20 Tahun 1946 menyatakan:

71 Andi Hamzah, Op.Cit, hlm. 189.

Page 40: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

40

(1) Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan

hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim

boleh menjatuhkan hukuman tutupan.

(2) Peraturan dalam ayat (1) tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan

kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi

adalah sedemikian rupa, sehingga hakim berpendapat, bahwa hukuman penjara

lebih pada tempatnya.

Andi Hamzah menyatakan bahwa pidana tutupan disediakan bagi para politisi

yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya.72 Namun

demikian, dalam praktik peradilan dewasa ini tidak pernah ketentuan tentang pidana

tutupan diterapkan. Hal ini karena biasanya, hakim terikat dengan ketentuan hukum

yang ada di mana ketentuan hukum yang mengatur tentang pelanggaran yang dilakukan

oleh seseorang tidak menyebutkan sanksi yang dikenakan adalah pidana tutupan.73

Kedua adalah pidana tambahan yang terdiri dari tiga jenis. Pertama, pencabutan

hak-hak tertentu. Pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak tertentu tidak berarti

hak-hak terpidana dapat dicabut.74 Pencabutan tersebut tidak meliputi pencabutan hak-

hak kehidupan dan juga hak-hak sipil dan hak-hak ketatanegaraan. Pencabutan hak-

72 Andi Hamzah, 1983, Suatu Tinjauan Ringkas Sistem Pemidanaan di Indonesia, Akademika

Pressindo, Jakarta, hlm. 46. 73 Muhammad Taufik Makarao, Op.Cit, hlm. 154. 74 Dari segi sejarahnya pidana pencabutan hak-hak tertentu ini ditemukan dalam hukum Romawi.

Misalnya infamia (hilangnya sejumlah hak istimewa sebagai warga Romawi atau hilangnya

kehormatan), deminutioexistimationis fpengurangan kehormatan) yang dijatuhkan terhadap perbuatan

melakukan pekerjaan-pekerjaan tidak terhormat, termasuk pada pelanggaran kontrak, dan juga

berhubungan dengan vonis terhadap sejumlah kejahatan tertentu. Cirinya adalah bahwa hukuman

demikian tidak dijatuhkan melainkan berlaku berlaku secara otomatis dan sejauh mungkin berupaya

mewujudkan restitutio in integrum yangterkadang berarti seumur hidup. Hukuman ini berwujud

pencabutan keseluruhan hak privat maupun hak publik terpidana. Sering juga berhubungan dengan delik

yang dilakukan, namun semata-mata dimaksudkan untuk merendahkan kehormatan pelaku pelanggaran

bersalah melakukan pelanggaran hukum tersebut dan menempatkannya sebagai warga kelas bawah. van

Remmelink, Hukum Pidana; Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Undang-Undang Hukum

Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 492 : 93.

Page 41: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

41

hak tertentu itu adalah suatu pidana di bidang kehormatan dengan melalui dua cara,

yaitu (1) tidak bersifat otomatis, tetapi harus ditetapkan dengan putusan hakim; dan (2)

tidak berlaku selama hidup, tetapi menurut jangka waktu menurut undang-undang

dengan suatu putusan hakim.75

Pasal 35 KUHP menyatakan hak-hak tertentu yang dapat dicabut, yaitu:

1. Hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu;

2. Hak untuk memasuki angkatan bersenjata;

3. Hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan

umum;

4. Hak menjadi penasihat atau pengurus menurut hukum, hak menjadi wali

pengawas, pengampu atau pengampu pengawas, atas orang-orang yang bukan

anak sendiri;

5. Hak menjalankan kekuasaan bapak, menjalankan perwakilan atau pengampuan

atas anak sendiri;

6. Hak menjalankan pencaharian tertentu.

Kedua, perampasan barang-barang tertentu. Pidana tambahan ini merupakan

pidana kekayaan, seperti juga halnya dengan pidana denda. Ada dua macam barang

yang dapat dirampas, yaitu barang-barang yang didapat karena kejahatan, dan barang-

barang yang dengan sengaja digunakan dalam melakukan kejahatan. Dalam hal ini

berlaku ketentuan umum, yaitu haruslah kepunyaan terpidana, kecuali terhadap

kejahatan mata uang, dimana pidana perampasan menjadi imperatif.

Pasal 39 KUHP menyatakan:

(1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dari kejahatan atau sengaja

dipergunakan untuk melakukan kejahatan, dapat dirampas.

(2) Dalam hal pemidanaan karena kejahatan yang tidak dilakukan dengan sengaja,

atau karena pelanggaran, dapat juga dirampas seperti di atas, tetapi hanya dalam

hal yang ditentukan dalam undang-undang.

75 Andi Hamzah, Op.Cit, hlm. 192.

Page 42: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

42

(3) Perampasan dapat juga dilakukan terhadap orang yang bersalah yang oleh

Hakim diserahkan kepada Pemerintah, tetapi hanya atas barang-barang yang

disita.

Ketiga, pengumuman putusan hakim. Dalam Pasal 43 KUHP ditentukan bahwa

apabila hakim memerintahkan supaya diumumkan berdasarkan kitab undang-undang

ini atau aturan umum yang lain, maka harus ditetapkan pula bagaimana cara

melaksanakan perintah atas biaya terpidana. Menurut Andi Hamzah, kalau

diperhatikan delik-delik yang dapat dijatuhi tambahan berupa pengumuman putusan

hakim, maka dapat disimpulkan bahwa tujuan pidana tambahan ini adalah agar

masyarakat waspada terhadap kejahatan-kejahatan seperti penggelapan, perbuatan

curang dan lainnya.76

1.3.3. Perbedaan antara Sanksi Pidana dan Sanksi Tindakan

Sanksi pidana bersumber dari ide dasar, mengapa diadakan pemidanaan?

Sedangkan sanksi tindakan bertolak dari dari ide dasar untuk apa diadakan

pemidanaan? Sanksi pidana pada dasarnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan,

sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku perbuatan tersebut.

Jika fokus sanksi pidana tertuju pada perbuatan salah seorang lewat pengenaan

penderitaan (agar yang bersangkutan menjadi jera), maka fokus sanksi tindakan terarah

pada upaya memberi pertolongan agar pelaku berubah.77 Dengan demikian, sanksi

pidana lebih menekankan unsur pembalasan (pengimbalan). la merupakan penderitaan

76 Andi Hamzah, 1985, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, dari Retribusi ke Reformasi,

Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 53 77 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2005. Politik Hukum Pidana; Kajian Kebijakan

Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, hlm. 88.

Page 43: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

43

yang sengaja dibebankan kepada si pelanggar. Sedangkan sanksi tindakan bersumber

dari ide dasar perlindungan masyarakat dan pembinaan atau perawatan si pelanggar.78

Sanksi pidana bertujuan memberi penderitaan istimewa kepada pelanggar

supaya ia merasakan akibat perbuatannya, dan merupakan bentuk pernyataan

pencelaan terhadap perbuatan si pelaku. Sedangkan sanksi tindakan tujuannya lebih

bersifat mendidik. Jika ditinjau dari sudut teori-teori pemidanaan, maka sanksi

tindakan merupakan sanksi yang tidak membalas. la semata-mata ditujukan pada

prevensi khusus, yakni melindungi masyarakat dari ancaman yang dapat merugikan

kepetingannya.

Perbedaan orientasi dasar dari dua jenis sanksi tersebut sebenarnya memiliki

kaitan pula dengan paham filsafat yang memayunginya, yakni filsafat indeterminisme

sebagai sumber sanksi pidana dan filsafat determinisme sebagai sumber sanksi

tindakan. Sebagaimana diketahui, asumsi dasar filsafat indeterminisme adalah

sejatinya manusia memiliki kehendak bebas, termasuk ketika ia melakukan kejahatan.

Karenanya sebagai konsekuensi pilihan bebasnya, maka setiap pemidanaan harus

diarahkan pada pencelaan moral dan pengenaan penderitaan bagi pelaku.79

Determinisme bertolak dari asumsi bahwa keadaan hidup dan perilaku manusia,

baik sebagai perorangan maupun sebagai kelompok masyarakat, ditentukan oleh

faktor-faktor fisik, geografis, biologis, psikologis, sosiologis, ekonomis, dan

78 Sudarto, 1973. Hukum Pidana I (Jilid 1 A), Badan Penyediaan Kuliah FH UNDIP, Semarang,

hlm. 7. 79 Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, Op.Cit.,hlm. 89.

Page 44: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

44

keagamaan yang ada. Perilaku jahat seseorang ataupun masyarakat ditentukan oleh

berbagai faktor itu, dan karenanya setiap pemidanaan hanya dapat dibenarkan dengan

maksud merehabilitasi pelaku, atau, kejahatan sebenarnya merupakan manifestasi dari

keadaan jiwa seseorang yang abnormal.80 Dengan demikian, si pelaku tidak dapat

dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana.

Perbedaan ide dasar antara sanksi pidana dan sanksi tindakan seperti tersebut

di atas, dapat pula ditemukan dalam teori-teori tentang tujuan pemidanaan. Substansi

teori absolut ataupun teori relatif sesungguhnya berkisar pada perbedaan hakikat ide

dasar sanksi pidana dan sanksi tindakan. Teori absolut (teori retributif), misalnya,

memandang bahwa pemidanaan merupakan pembalasan atas kesalahan yang telah

dilakukan. Jadi berorientasi pada perbuatan dan terletak pada terjadinya kejahatan itu

sendiri. Teori retributif mencari pendasaran pemidanaan dengan memandang ke masa

lampau (backward looking), yakni memusatkan argumennya pada tindakan kejahatan

yang telah dilakukan. Menurut teori ini, pemidanaan diberikan karena si pelaku harus

menerima sanksi itu demi karugian yang sudah diakibatkan. Karenanya teori ini disebut

juga sebagai teori proporsionalitas. Demi alasan itu, pemidanaan dibenarkan secara

moral.81

Teori relatif (teori tujuan), berporos pada tiga tujuan pemidanaan, yaitu

preventif, deterrence, dan reformatif. Tujuan prevention dalam pemidanaan adalah

untuk melindungi masyarakat, dengan menempatkan pelaku kejahatan terpisah dari

80 Sudarto, Op.,Cit, hlm. 89-90. 81 Sudarto, Op.,Cit, hlm. 90-91.

Page 45: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

45

masyarakat. Tujuan menakuti atau deterrence dalam pemidanaan tidak lain agar timbul

rasa takut untuk melakukan kejahatan. 82 Teori relatif memandang, pemidanaan bukan

sebagai pembalasan atas kesalahan si pelaku, tetapi sebagai sarana mencapi tujuan

yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan. Dari teori ini

muncul tujuan pemidanaan sebagai sarana pencegahan, baik pencegahan khusus yang

ditujukan pada si pelaku maupun pencegahan umum yang ditujukan pada masyarakat.83

1.4. Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana Terkait Euthanasia

1.4.1. Pengertian Melawan Hukum

Wedderechtelijk merupakan bahasa Belanda yang mempunyai padanan kata

dengan melawan hukum, yang menunjukkan sifat tidak sah suatu tindakan atau suatu

maksud. Penggunaan kata Wedderechtelijk oleh pembentuk undang-undang untuk

menunjukkan sifat tidak sah suatu tindakan itu dijumpai dalam rumusan-rumusan delik

dalam Pasal KUHP seperti Pasal 167 ayat (1), 179,180 dan Pasal 190.84

Pasal 167 ayat (1) KUHP:

Barangsiapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup

yang dipakai orang lain dengan melawan hukum atau berada di situ dengan

melawan hukum, dan atas permintaan yang berhak atau suruhannya tidak pergi

dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau

pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 179 KUHP:

82 M. Sholeduddin, Op.,Cit. hlm. 40-41. 83 Ibid 84 Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 141.

Page 46: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

46

Barangsiapa dengan sengaja menodai kuburan atau dengan sengaja dan melawan

hukum menghancurkan atau merusak tanda peringatan di tempat kuburan, diancam

dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan.

Pasal 180 KUHP:

Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum menggali atau mengambil

jenazah atau memindahkan atau mengangkut jenasah yang sudah digali atau

diambil, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau

pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.

Pasal 190 KUHP:

Barangsiapa pada waktu ada, atau akan ada banjir, dengan sengaja dan melawan

hukum menyembunyikan atau membikin tak dapat dipakai bahan-bahan untuk

tanggul atau perkakas-perkakas atau menggagalkan usaha untuk membetulkan

tanggul-tanggul atau bangunan-bangunan pengairan, atau merintangi usaha untuk

mencegah atau menahan banjir, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh

tahun.

Sedangkan penggunaan kata wederrechtelijk untuk menunjukkan sifat tidak sah suatu

maksud dapat dijumpai antara lain dalam rumusan-rumusan delik dalam Pasal KUHP

seperti Pasal 328, 339, 362 dan Pasal 389.85

Pasal 328 KUHP:

Barangsiapa membawa pergi seseorang dari tempat kediamannya atau tempat

tinggalnya sementara dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara

melawan hukum di bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau untuk

menempatkan dia dalam keadaan sengsara, diancam karena penculikan dengan

pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Pasal 339 KUHP:

85 Lamintang, 1984, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, dalam Mahrus Ali, 2011, Dasar-

Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 141.

Page 47: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

47

Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu perbuatan pidana,

yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah

pelaksanaannya, atau untuk melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari

pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan

barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara

seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Pasal 362 KUHP:

Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan

orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena

pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling

banyak sembilan ratus rupiah.

Pasal 389 KUHP:

Barangsiapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain

secara melawan hukum, menghancurkan, memindahkan, membuang atau

membikin tak dapat dipakai sesuatu yang digunakan untuk menentukan batas

pekarangan, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.

Para ahli hukum pidana memberikan pengertian melawan hukum dalam makna

yang beragam. Bemmelen mengartikan melawan hukum dengan dua pengertian, yaitu

sebagai bertentangan dengan ketelitian yang pantas dalam pergaulan masyarakat

mengenai orang lain atau barang dan bertentangan dengan kewajiban yang ditetapkan

oleh undang-undang.86 Hazewinkel el-Suringa mengartikan melawan hukum dengan

86 Van Bemmelen, 1984. Hukum Pidana Hukum Pidana Material Bagian Umum, dalam Mahrus

Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 141.

Page 48: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

48

tiga makna, yaitu tanpa hak atau wewenang sendiri, bertentangan dengan hak orang

lain dan bertentangan dengan hukum objektif.87

Kata hukum dalam frase melawan hukum dalam Memorie van Toelichting

(MvT) atau sejarah pembentukan KUHP di Belanda tidak ditemukan. Jika merujuk

pada postulat contra legem facit qui id facit quod lex prohibit; in fraudem vero qui,

salvis verbis legis, sententiam ejus circumuenit, maka dapat diartikan bahwa seseorang

dinyatakan melawan hukum ketika perbuatan yang dilakukan adalah suatu perbuatan

yang dilarang oleh hukum.88

Van Hamel mencoba menjelaskan apakah yang dimaksudkan dengan kata

hukum dalam frase melawan hukum sebagai berikut:

Gelijk is opgemerkt, wordt in vele artikelen van het starfwetboek het

deliktsbestanddeel der onrechtmatigheid uitgedrukt door het wederrechtelijk,

gebruikt ten aan zien of van de handeling........... Tegenover elkaar zijn dan gesteld

twee verklaringen. 1. De positieve: wederrechtelijk beduit, in strijd met het recht

(objectief, b.v Simons Leerb. 191 v.) of met krenking van eens anders recht

(subjectief, b.v Noyon); de negatieve: wederrechtelijk beduit, niet steunend op het

recht (objectief) of zonder bevoegdheid (subjectief, b.v H.R.).89

(Seperti telah dinyatakan, banyak Pasal dalam kitab undang-undang hukum pidana,

unsur-unsur delik tentang melawan hukum dinyatakan dengan istilah melawan

hukum yang digunakan terhadap kelakuan..............Jadi ada dua keterangan yang

berseberangan. 1. Positif: melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum

(objektif, seperti ajaran Simons dalam bukunya halaman 191) atau merusak hak

orang lain (subyektif, seperti Noyon); Negatif, melawan hukum berarti tidak

berdasarkan hukum (objektif) atau tanpa kewenangan (subyektif seperti Mahkamah

Agung).

87 Ibid. 88 Eddy O.S Hiariej, 2014. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pustaka, Yogyakarta,

hlm. 190. 89 G.A van Hamel, 1913. Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlanssche Strafrecht, Derde Druk,

De Erven F. Bohn Haarlem & Gebr. Belinfante’s-gravenhage.p.270.

Page 49: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

49

Pengertian melawan hukum itu sendiri, dikemukakan oleh Simons sebagai

berikut:

Welke is de beteekenis, die in hier aangegeven bepalingen aan de uitdrukking

wederrechtelijk moet worden toegekend? Terwijl naar veler meening die term niet

anders beteekent dan zonder eigen recht, schijnt mij alleen eene opvatting

aannemrlijk, welke voor het bestaan van de wederrechtelijkheid vordert, dat er is

gehandeld in strijd met het recht. Zonder recht is iets anders dan tegen het recht

en de uitdrukking wederrechtelijk wijst ontegenzeggelijk oplaatstbedoelde

beteekenis. Het recht, waartegen handeling gericht is, behoeftniet te zijn een

subjectief recht, maar ook zijn het recht in het algemeen. Of het een of het ander

geval is, zal afhangen van den aard van het strafbare feit, bij welks omschrijving

de wetgever dien term gebruikt.90

(Apa arti yang harus diberikan mengenai istilah melawan hukum dalam ketentuan-

ketentuan ini? Sedangkan menurut pandangan orang banyak istilah tersebut tidak

lain dari pada tanpa hak sendiri. Menurut pendapat saya, hanya ada satu pandangan

yang dapat diterima mengenai adanya melawan hukum bahwa ada kelakuan yang

bertentangan dengan hukum. Tanpa hukum mempunyai arti yang lain dari pada

bertentangan dengan hukum, dan istilah melawan hukum menunjuk hanya pada arti

yang terakhir. Hukum yang dituju oleh perbuatan tersebut tidak harus suatu hak

yang subjektif tetapi juga dapat merupakan suatu hak pada umumnya. Mana yang

benar, tergantung pada sifat perbuatan pidana dan tergantung pada rumusan

pembentuk undang-undang untuk istilah tersebut).

Melanjuti pendapatnya Simon menyatakan:

..............terwijl die beantwoording naar onngeschreven regelen den grondslag van

het positieve recht geheel wankel maakt. Wel mag worden erkend, dat eene

handeling, die onder een verbiedend rechtsvoorschrift valt, daarom niet

onvoorwaardelijk wederrechtelijk is, doch de niet-wederrechtelijkheid mag slechts

worden aangenomen, indien in het positieve recht de grondslag te vinden is voor

eene uitzondering op de algemeenheid der verbodsbepaling. ................. dat waar

het onregelmatig karakter twijfelachtig is schuldig verklaring niet kan volgen, acht

ik niet juist, in verband met de door mij gevolgde opvatting, dat de

wederrechtelijkheid voortvloeit uit de omstandigheid, dat de wederrechtelijkheid

voortvloeit uit de omstandigheid, dat de handeling met het verbodsvoorschrift in

strijd is en slechts wegvalt, indien eene uitzonderingop dat voorschrift aanwijsbaar

is.91

90 D. Simons, 1937. Leerboek van Het Nederlandsche Strafrecht, Eerste Deel, Zesde Druk, P.

Noordhoof, N.V.-Groningen-Batavia. 91 Ibid, hlm, 275

Page 50: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

50

(..............sementara jawaban-jawaban yang didasarkan pada hukum yang tidak

tertulis menggoncangkan dasar-dasar hukum positif. Meskipun diakui bahwa tidak

perlu perbuatan yang mencocoki rumusan delik adalah bersifat melawan hukum,

akan tetapi pengecualian yang demikian hanya boleh diterima apabila mempunyai

dasar-dasar dalam hukum positif itu sendiri..................dalam hal ada keraguan

tentang ketidak beraturan karakter, tidak dapat diikuti dengan pernyataan salah,

saya tidak sependapat dengan itu, sehubungan dengan pandangan yang saya ikuti

bahwa sifat melawan hukum berasal dari keadaan bahwa perbuatan bertentangan

dengan larangan tertulis dan hanya hapus bilamana dapat ditunjuk suatu

pengecualian terhadap ketentuan tersebut).

Berdasarkan apa yang dikemukakan oleh Van Hamel dan Simons paling tidak

ada tiga pengertian hukum dalam frase melawan hukum. Pertama, hukum dalam

pengertian objectief recht yang dikemukakan Simons yakni hukum dalam pengertian

hukum tertulis dan menolak hukum tidak tertulis. Kedua, hukum dalam pengertian

subjectief recht seperti yang dikemukakan oleh Noyon. Artinya, melawan hak

seseorang. Ketiga, pengertian hukum dalam frase melawan hukum diartikan sebagai

tanpa kewenangan.

Pandangan Simons terkait pengertian hukum semata hanyalah hukum tertulis

atau undang-undang ditentang oleh Noyon dan Langemeijer sebagai berikut:

Nu laat zich reeds aantonds voorop stellen, dat de eerste opvatting en taalkundig

en systematisch het sterkst staat. ”Wederrechtelijk” wijst in de richting van een

botsing met, niet van enkel gemis aan steun in het recht, maar dan ook van een

botsing met het recht zonder onderscheid, ongeacht of het geschreven of

ongestchrevenis en of het aan iemand op het achterwege blijven van het betreffende

gedrag een subjectief recht verleent in den technisch jusrisdischen trouwens nog

weinig vaststaanden zin. Ook ligt het apriori meer voor de hand om te

veronderstellen dat de wetgever de strafbaar heid van eenig gedrag daarvan laat

afhangen, of het met het objectieve recht al dan niet in sttrijd komt, dan dat hij

ofwel die strafbaarheid reeds zou laten intreden wanner geen subjectief recht

bestaat om zich aldus te gedragen ofwel eerstdan wanneer bahalve op strijd met

Page 51: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

51

het objectieve recht ook op inbreuk in het subjectieve recht van een ander valt te

wijzen.92

(Dari dulu sudah kelihatan bahwa pendapat pertama adalah yang terkuat baik

menurut tata bahasa sistematis. ”Melawan Hukum” menunjuk pada bertentangan

dengan bukan hanya kehilangan dukungan dalam hukum, tetapi juga bertentangan

dengan hukum tanpa membeda-bedakan apakah tertulis ataukah tidak tertulis dan

apakah pada seseorang karena tidak adanya kelakuan itu lalu demikian suatu hal

subjektif dalam arti teknis juridis. Juga secara apriori lebih gampang menduga

bahwa pembentuk undang-undang menggantungkan dapat dipidananya suatu

kelakuan yaitu bertentangan atau tidak dengan dengan hukum obyektif yang

melanggar hak subjektif orang lain).

Pendapat Noyon dan Langemeijer mendapat sokongon dari Pompe yang secara

tegas menyatakan:

Intussen is de term wederrechtelijk thans in de wettelijke omschrijving van

verscheidene strafbare feiten opgenomen. De vraag doet zich nu voor, wat deze

term in de wet betekent. Dit is geen vraag van algemene rechstheoretische aard,

maar van interpretatie der wet. Het is niet moelijk een algemeen antwoord op deze

vraag te geven. Wederrechtelijk betekent: in strijd met het recht.93

(istilah melawan hukum banyak dipakai dalam rumusan delik. Apa arti istilah ini

dalam undang-undang. Ini bukan soal teori hukum umum tetapi interpretasi

undang-undang. Tidak sukar untuk memberi jawaban umum atas pertanyaan ini.

Bahwa melawan hukum berarti: bertentangan dengan hukum).

Pompe melanjutkan pendapatnya, ”Wederrechtelijk betekent: in strijd met het

recht, hetgeen ruimer is dan: in strij met de wet. Behalve wettelijke voorschriften

komen hier ongeschreven regelen in annmerking”94 (melawan hukum berarti:

bertentangan dengan hukum, tidak hanya sebatas: bertentangan dengan undang-

undang. Selain dari peraturan perundang-undangan tertulis, harus diperhatikan aturan-

92 T.J Noyon & G.E. Lengemeijer, 1947. Het Wetboek Van Strafrecht, Vijfde Druk, Eerste Deel

Inleiding Boek I, S. Gouda Quint-D. Brouwer En Zoon, Uitgevers Het Huis De Grabbe-Arnhem. 93 W.P.J. Pompe, 1959. Hanboek Van Het Nederlandse strafrecht , Vijfde Herziene Druk, N.V.

Uitgever-Maatschappij W.E.J. Tjeenk Willink, Zwolle, p. 103-104 94 Ibid.

Page 52: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

52

aturan tidak tertulis). Demikian juga menurut van Bemmelen dan van Hatum yang

menyebutkan: ”In deze geschiedenis vind ik geen aanwijzing dat de betekenis van

wederrechtelijk niet beperkt zou zijn tot: in strijd met het geschreven recht”95 (dalam

sejarah saya tidak menemukan bahwa arti dari melawan hukum itu tidak terbatas pada

bertentangan dengan hukum tertulis).

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat dikelompokkan pengertian hukum

dalam frase melawan hukum meliputi empat pengertian, yaitu: pertama: hukum tertulis

atau objectief recht. Kedua, subjectief recht atau hak seseorang. Ketiga, tanpa

kekuasaan atau tanpa kewenangan. Hal ini berdasarkan Putusan Hoge Raad 18

Desember 1911 W. Nr. 9263. Keempat, hukum tidak tertulis. Dalam konteks hukum di

Indonesia termasuk dalam hukum tidak tertulis adalah hukum adat norma-norma

lainnya yang terkandung dalam masyarakat.

Komariah Emong Supardjadja dalam disertasinya menjelaskan arti melawan

hukum dalam hukum perdata dengan menyandingkan ketentuan Pasal 1382 Code Civil

Perancis, Pasal 1401 Burgerlijk Wetboek Belanda dan Pasal 1365 KUH Perdata. Secara

tegas Pasal 1382 Code Civil Perancis menentukan: ”tour fait quencongue de L’homme,

quil cause un dommage, oblige celui pa la faute duquel il est arrive, a le reparer”.

Sementara dalam Pasal 1401 Burgerlijk Wetboek Belanda disebutkan ”Elke on

Rechtmatige daad, waardoor aan een Ander schade wordt toegebracht, stelt dengene

door wiens sculd die schade veoorzaakt is in de verplicgting om dezelft te goeden”.

95 J.M.van Bemmelen En W.F.C. van Hattum, Op.Cit,hlm.224.

Page 53: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

53

Pasal 1365 KUH Perdata Indonesia menentukan: ”tiap perbuatan melanggar hukum

yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya

menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”96

Menyandingkan ketiga peraturan tersebut di atas, terlihat bahwa teks Belanda

berisikan ketentuan onrechtmatige daad yang tidak ada dalam Pasal 1382 Code Civil

Perancis. Pembentuk undang-undang di Belanda yang sengaja merubah perkataan

”..........tout fair quelconque de L’homme.....” yang sama artinya dengan

wederrechtelijk dengan perkataan onrechtmatige daad, untuk menegaskan bahwa tidak

setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada seseorang adalah melawan

hukum.97

Penulis sependapat dengan apa yang dikemukakan oleh Noyon, Langemeijer

dan Pompe, yang menyatakan dengan jelas bahwa melawan hukum tidak hanya

terbatas pada perbuatan yang bertentangan/melawan hukum dalam suatu peraturan

perundang-undangan tertulis, tetapi juga bertentangan dengan peraturan-peraturan

yang tidak tertulis. Jika dikaitkan dengan euthanasia, maka tidak ada perbuatan yang

dikategorikan melawan hukum baik dalam peraturan perundang-undangan tertulis

maupun peraturan tidak tertulis. Euthanasia pada hakekatnya merupakan suatu proses

mempercepat kematian yang diinginkan oleh pasien yang mengalami sakit kronis

(terminal) yang sudah dalam kondisi menuju kematian.

96 E. Utrecht, 1960. hukum Pidana I, dalam Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana,

Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 143. 97 Mahrus Ali, Op.,Cit, hlm.144

Page 54: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

54

Tindakan euthanasia secara umum dibagi dalam dua kelompok yaitu euthansia

aktif dan euthanasia pasif. Euthanasia pasif merupakan perbuatan yang dilakukan

pasien atau keluarga pasien untuk menghentikan segala jenis pengobatan yang sedang

berlangsung karena memandang penyakit yang diderita pasien sudah tidak dapat

diobati dan disembuhkan. Euthanasia aktif umumnya selalu berkaitan dengan suatu

penyakit yang parah, dengan tindakan aktif yang dilakukan yang bertujuan untuk

mengurangi penderitaan pasien dengan resiko kehidupannya diperbaiki. Jadi perbuatan

euthanasia bukan merupakan perbuatan melawan hukum, yang bertentangan dengan

hukum atau perbuatan yang tergolong anti sosial, baik euthanasia pasif maupun

euthanasia aktif.

1.4.2. Sifat Melawan Hukum dalam Perbuatan Pidana

Kedudukan sifat melawan hukum dalam hukum pidana mempunyai ciri

tersendiri. Telah terjadi kesepahaman secara umum di kalangan para ahli hukum pidana

dalam melihat sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan perbuatan pidana.

Bersifat melawan hukum mutlak untuk setiap perbuatan pidana. Andi Zainal Abidin

mengatakan bahwa salah satu unsur esensial delik adalah sifat melawan hukum

(Wederrechtelijkheid) yang dinyatakan dengan tegas atau tidak di dalam suatu Pasal

undang-undang pidana, karena alangkah janggalnya kalau seseorang dipidana ketika

melakukan perbuatan yang tidak melawan hukum.98

98 Andi Zainal Abidin Farid,2007, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta,

hlm, 47.

Page 55: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

55

Roeslan Saleh menyatakan memidana sesuatu yang tidak melawan hukum tidak

ada artinya.99 Berdasarkan dua pendapat tersebut dapat kiranya disimpulkan bahwa

untuk dapat dikatakan seseorang melakukan perbuatan pidana, maka terhadap

perbuatan tersebut haruslah bersifat melawan hukum.

1.4.2.1. Sifat Melawan Hukum Umum

Melawan hukum sebagai elemen perbuatan pidana dapat dikatakan sebagai sifat

melawan hukum umum atau generale wederrechtelijkheid. Sifat melawan hukum ini

adalah syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sebagaimana definisi perbuatan

pidana oleh Ch.J. Enschede sebagai, ”een menselijke gedraging die valt binnen de

grenzen van delictsomsschrijving, wederrechtelijk is en aan schuld te wijten”

(perbuatan pidana adalah suatu perbuatan manusia yang termasuk dalam rumusan

delik, melawan hukum, dan kesalahan yang dapat dicelakan padanya).100

Melawan hukum sebagai syarat umum perbuatan pidana tersimpul dalam

pernyataan van Hamel, ”De onrechtmatigheid van het delik is een bestanddeelen van

het algemeen begrip............De strafwetgever stelt dit bestanddeel meestal niet, maar

hij veronderstelt het altijd.101 (sifat melawan hukum dari suatu perbuatan pidana adalah

bagian dari suatu pengertian yang umum..........Pembuat undang-undang pidana tidak

pernah menyatakan bagian ini tetapi selalu merupakan dugaan).

99 Roeslan Saleh 1987, Sifat Melawan Hukum dari Perbuatan Pidana, Aksara Baru, Jakarta,

hlm. 1. 100 Ch. J. Enschede, 2002, Beginselen van Strafrecht, Kluwer, Deventer, hlm.156. 101 G.A. van Hamel, Op.Cit, hlm.263-264.

Page 56: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

56

Ketentuan KUHP yang berlaku sekarang adakalanya perkataan melawan

hukum dirumuskan secara tegas dan eksplisit di dalam rumusan delik dan adakalanya

tidak dirumuskan secara tegas dan eksplisit. Memperhatikan rumusan yang terdapat

dalam Pasal yang paling mendekati tindakan euthanasia yaitu Pasal 344 KUHP,

kalimat melawan hukum tidak dirumuskan secara tegas dan ekplisit. Hal ini memiliki

arti ruang lingkup rumusan delik dalam Pasal 344 KUHP sangat luas. Apabila kalimat

melawan hukum dirumuskan dan dicantumkan secara tegas dalam rumusan delik, hal

demikian memiliki arti penting untuk memberikan perlindungan atau jaminan tidak

dipidananya orang yang berhak atau berwenang melakukan perbuatan-perbuatan

sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang.102

Schaffmeister berpendapat, ditambahkannya perkataan melawan hukum

sebagai salah satu unsur dalam rumusan delik dimaksudkan untuk membatasi ruang

lingkup rumusan delik yang dibuat terlalu luas. Hanya jika suatu perilaku yang secara

formal dapat dirumuskan dalam ruang lingkup rumusan delik, namun secara umum

sebenarnya bukan merupakan perbuatan pidana, maka syarat melawan hukum

dijadikan satu bagian dari rumusan delik.103 Konsekuensinya adalah pencantuman

melawan hukum dalam rumusan delik menyebabkan jaksa penuntut umum harus

membuktikan unsur tersebut.

102 Tongat, 2008. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, UMM

Press, Malang, hlm.211. 103 Chairul Huda, 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Tiada Pertanggung

jawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Kencana, Jakarta, hlm. 50.

Page 57: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

57

Perkataan melawan hukum jika tidak disebutkan atau dicantumkan secara tegas

dan eksplisit dalam rumusan delik, maka unsur melawan hukum tersebut tidak perlu

dibuktikan. Unsur melawan hukumnya perbuatan itu secara otomatis telah terbukti

dengan telah terbuktinya perbuatan yang dilarang.104 Dengan perkataan lain, walaupun

kata melawan hukum tidak disebutkan dalam rumusan delik, maka secara diam-diam

sifat melawan hukum tersebut telah ada dalam suatu delik.105 Merampas nyawa orang

lain yang terdapat dalam rumusan Pasal 344 KUHP merupakan unsur melawan hukum

yang secara otomatis telah terbukti dengan telah terbuktinya perbuatan yang dilarang

yaitu merampas nyawa orang lain.

1.4.2.2. Sifat Melawan Hukum Khusus

Sifat melawan hukum khusus atau speciale wederrechtelijkheid, biasanya kata

melawan hukum dicantumkan dalam rumusan delik. Dengan demikian sifat melawan

hukum merupakan syarat tertulis untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Sebenarnya

penyebutan kata melawan hukum secara eksplisit dalam rumusan delik merujuk pada

ilmu hukum Jerman yang diajarkan sejumlah pakar antara lain, Zevenbergen dan

pengikutnya di Belanda, Simons. Menurut pandangan ini, melawan hukum hanya

merupakan unsur delik sepanjang disebutkan dengan tegas dalam peraturan perundang-

undangan.

Sebagai misalnya Pasal 372 KUHP, ”Barangsiapa dengan sengaja dan melawan

hukum mengaku sebagai milik sendiri barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian

104 Tonggat, Op.Cit, hlm. 214. 105 Chairul Huda, Op.Cit, hlm.52

Page 58: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

58

adalah kepunyaan orang lain, tetapi barang yang ada dalam kekuasaannya bukan hasil

kejahatan, diancam karena penggelapan dengan pidana penjara paling lama empat

tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.

Dalam Pasal tersebut kata-kata melawan hukum disebut secara ekspresiv verbis.

Konsekuensi lebih lanjut melawan hukum merupakan unsur delik yang harus

dibuktikan. Mengenai hal ini Hazewinkel Suringa menyatakan:

Bij die delicten, waarin als element wederrechtelijk voorkomt, is de delictsinhoud

dus niet verwerkelijkt, als de gedraging blijkt een rechtmatige te zijn. Dit effect nu

kan de toestemming van de betrokkeneteweeg brengen. In tal van

delictsomschrijvingen werd de factor wederrechtelijk opgenomen om te

voorkomen, dat iemand, die krachtens een eigen recht handelde, onder de worden

van de strafwet zou vallen.106

(pada delik-delik yang mencantumkan melawan hukum sebagai unsur, maka isi

dari delik itu tidak terwujud jika kelakuan itu ternyata sesuatu yang menurut

hukum. Akibat demikian ini dapat ditimbulkan oleh persetujuan dari orang yang

bersangkutan. Dalam banyak rumusan-rumusan delik faktor melawan hukum itu

dimasukkan untuk mencegah, bahwa seseorang yang berbuat berdasarkan haknya

sendiri berbuat akan termasuk dalam lingkup rumusan undang-undang).

Van Bemmelen dan van Hattum, menyatakan: ”Bij delicten waarbij de

wederrechtelijkheid in de delictsomschrijving is opgenomen is ieder het er over eens

dat bij twijfel dit bestaddel dus niet is bewezen zodat vrijspraak moet volgen”.107

(Terhadap delik-delik yang sifat melawan hukum dalam rumusan delik dan unsur-

unsur lain tidak terbukti, terdakwa dibebaskan). Oleh karena itu Schaffmeister

berpendapat bahwa melawan hukum tidak perlu disebut dalam rumusan delik

sebagaimana pernyataannya, ”Daarom hoefde de wetgever in zijn visie niet steeds de

106 Hazewinkel Suringa, 1953. Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse Stafrecht, H.D.

TjeenkWillink &Zoon N.V.-Harleem. 107 Ibid, hlm.197

Page 59: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

59

wederrechtelijkheid en de verwijtbaarheid in de wetteks op te nemen: het zijn algemene

vorrwaarden van strafbaarheid.....108 (Karena itu pembuat Undang-Undang menurut

pendapat saya, tidak perlu selalu mencantumkan sifat melawan hukum dan kesalahan

dalam teks undang-undang: hal itu merupakan syarat umum bagi sifat dapat

dipidananya suatu perbuatan).

Sifat melawan hukum seperti yang dikemukakan oleh Schaffmeister seperti

diatas, dapat disimpulkan dengan argumentasi bahwa: pertama: melawan hukum

adalah syarat umum dapat dipidananya suatu perbuatan sehingga tidak perlu

dimasukkan dalam rumusan delik. Kedua: jika melawan hukum dimasukkan ke dalam

rumusan delik, maka akan memberikan pekerjaan tambahan kepada penuntut umum

untuk membuktikannya di pengadilan. Ketiga: merujuk pada pengertian kata hukum

dalam frase melawan hukum di atas, jika kata-kata melawan hukum dimasukkan dalam

rumusan delik, penafsirannya terlampau luas sehingga bertentangan dengan prinsip lex

certa (ketentuan pidana harus jelas) dan lex stricta (ketentuan pidana harus ditafsirkan

secara ketat) sebagai prinsip-prinsip yang terkandung dalam asas legalitas.

1.4.2.3. Sifat Melawan Hukum Formil

Menurut doktrin hukum pidana, ajaran sifat melawan hukum dapat dibagi

menjadi dua, yaitu: sifat melawan hukum formil dan sifat melawan hukum materiil.

Sifat melawan hukum formil adalah suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan

108 Komariah Emong Supardjadja, Op.Cit, hlm. 24.

Page 60: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

60

hukum, apabila perbuatan itu diancam pidana dan dirumuskan sebagai suatu delik

dalam undang-undang.109

Moeljatno menyatakan bahwa suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan

hukum apabila perbuatan tersebut telah mencocoki larangan undang-undang.110 Jadi

menurut pemikiran ini suatu perbuatan tidak bisa dianggap bersifat melawan hukum

apabila perbuatan tersebut tidak secara eksplisit dirumuskan dalam undang-undang

sebagai perbuatan pidana, sekalipun perbuatan tersebut sangat merugikan masyarakat.

Ukuran untuk menentukan apakah suatu perbuatan itu bersifat melawan hukum atau

tidak adalah undang-undang.

Mencermati pernyataan suatu perbuatan bersifat melawan hukum jika secara

eksplisit dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan sebagai perbuatan

melawan hukum. Dikaitkan dengan euthanasia, perbuatan yang dilakukan adalah

untuk meringankan penderitaan pasien yang mengalami sakit parah pada tahap akhir

yang mengakibatkan kematian pasien. Peraturan perundang-undangan tidak ada

mengatur tentang euthanasia. Perbuatan euthanasia jika dikaji dari KUHP, yang paling

mendekati terdapat dalam rumusan Pasal 344 KUHP yang menyatakan: barangsiapa

merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan

dengan kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.

Dalam rumusan Pasal tersebut, jelas dinyatakan bahwa setiap orang yang merampas

109 Sudarto, 1975. Hukum Pidana Jilid 1 A-B, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Semarang, hlm. 62. 110 Moeljatno, Op.,Cit, hlm.140.

Page 61: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

61

nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri adalah perbuatan yang bersifat

melawan hukum formil.

Salah satu penganut ajaran sifat melawan hukum formil adalah Simons. Dia

mengatakan bahwa untuk dapat dipidana maka perbuatan yang dilakukan harus

dicakup oleh uraian undang-undang, sesuai dengan isi delik berdasarkan ketentuan

pidana di dalam undang-undang. Dalam hal terjadi demikian, maka pada umumnya

tidaklah lagi tepat untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang sifat melawan

hukum bilamana suatu perbuatan memenuhi rumusan delik, sehingga telah ada sifat

melawan hukum.111

Terdapat dua pemahaman dalam ajaran sifat melawan hukum formil, yaitu:

pertama, dalam ajaran sifat melawan hukum formil, suatu perbuatan dikatakan bersifat

melawan hukum, ketika perbuatan tersebut sudah dirumuskan dalam undang-undang

sebagai perbuatan yang diancam pidana. Menurut ajaran ini, perbuatan yang dianggap

bersifat melawan hukum hanyalah perbuatan-perbuatan yang secara formil telah

dirumuskan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana.

Kedua, hal yang dapat menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan

hanyalah undang-undang. Sekalipun suatu perbuatan secara materiil (nilai-nilai yang

hidup dalam masyarakat) tidak dianggap sebagai perbuatan yang bersifat melawan

hukum, dalam arti perbuatan tersebut tidak dianggap sebagai perbuatan yang

bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, tetapi apabila secara

111 A. Zainal Abidin Farid, Op.,Cit. hlm.242-243.

Page 62: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

62

formil tidak dirumuskan dalam undang-undang sebagai perbuatan pidana yang

dilarang, maka perbuatan tersebut secara formil tetap dianggap sebagai perbuatan yang

bersifat melawan hukum. Dengan demikian, sifat melawan hukumnya perbuatan yang

telah dirumuskaan dalam undang-undang hanya dapat dihapuskan oleh undang-

undang.112

Sifat melawan hukum formil direfleksikan dengan dianutnya asas legalitas

formal yang diatur dalam ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP, yang di dalam

perkembangannya telah melahirkan berbagai kritik. Salah satu kritik tajam yang

muncul berkenaan dengan berlakunya ketentuan Pasal 1 tersebut adalah, bahwa

ketentuan Pasal tersebut seringkali menjadi sarana berlindung bagi para pelaku tindak

pidana. Dengan berdalih bahwa belum ada ketentuan tertulis yang mengatur, mereka

seringkali lepas dari jeratan hukum pidana, sekalipun perbuatan tersebut sangat

merugikan dan menelantarkan rasa keadilan masyarakat.

Ajaran sifat melawan hukum formil hakikatnya tidak seiring dengan nilai-nilai

yang berkembang dalam masyarakat. Ajaran ini mengandung kelemahan yang cukup

mendasar, sebab tidak setiap perbuatan yang memenuhi rumusan delik dalam undang-

undang senantiasa bersifat melawan hukum, karena mungkin ada hal-hal yang

menghilangkan sifat melawan hukumnya perbuatan itu.

112 Tongat, Op.,Cit. hlm. 196.

Page 63: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

63

1.4.2.4. Sifat Melawan Hukum Materiel

Sifat melawan hukum materiel atau materieel wederrechtelijkheid terdapat dua

pandangan. Pertama, sifat melawan hukum materiel dilihat dari sudut perbuatannya.

Hal ini mengandung arti perbuatan yang melanggar atau membahayakan kepentingan

hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-undang dalam rumusan delik

tertentu. Biasanya sifat melawan hukum materiil ini dengan sendirinya melekat pada

delik-delik yang dirumuskan secara meteriel. Kedua, sifat melawan hukum materiel

dilihat dari sudut sumber hukumnya. Hal ini mengandung makna bertentangan dengan

hukum tidak tertulis atau hukum yang hidup dalam masyarakat, asas-asas kepatutan

atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial dalam masyarakat.113

Sifat melawan hukum materiel dalam hukum pidana sebenarnya berasal dari

Jerman dengan salah satu tokohnya adalah Von Liszt, yang secara tegas menyatakan

bahwa setiap perbuatan yang anti sosial adalah wederrechtelijk.114 Hal ini juga jelas

tersurat dalam pernyataan van Bemmelen dan van Hattum sebagai berikut:

Het spreekt welhaast van zelf dan onzen wetgever de materiele

wederrechtelijkheidsleer allerminst voor ogen heeft gestaan en dat we voor deze

leer in de wet derhalve geen aanknopingspunten kunnen vinden. Immers in 1875

werd ongeschreven recht in Nederland nauwelijks geduld. Voor onze vraag blijkt

dit duiderlijk uit de geschiedenid van het woord wederrechtelijk in het

strafwetboek.115

(Terhadap pembentuk undang-undang kita, ajaran sifat melawan hukum meteriil

tidak dipikirkan, maka untuk ajaran ini dalam undang-undang tidak ada ketentuan

tersebut. Bahkan di tahun 1875, hukum tidak tertulis hampir tidak dibolehkan di

113 Barda Nawawi Arief, 2005. Masalah Kodifikasi, Unifikasi dan Konsep Ajaran Sifat Melawan

Hukum Material dalam RUU KUHP, Focus Group Discussion terhadap RUU KUHP, Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 25 Juni 2005, hlm. 8. 114 E. Utrecht, 1960. Hukum Pidana I, Penerbitan Universitas, Bandung, hlm.270. 115 J.M Bemellen En W.F.C. van Hattum, Op.,Cit, hlm. 222-223

Page 64: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

64

Belanda. Pertanyaan bagi kita, ternyata jelas dari sejarah istilah melawan hukum

dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana ditemukan dalam banyak Pasal).

Menurut pendapat Hazewinkel Suringa: in Duitsland bestaat een stroming, die

aan deze zogenaamde meterile wederrechtelijkheid een plaats wil inruimen; die dus

aan een gedraging, welke formeel en delict oplevert, formeel wederrechtelijke is......116

(Di Jerman ada aliran sifat melawan hukum materiil; kelakuan yang secara formil

merupakan suatu delik secara hukum adalah bersifat melawan hukum). Kemudian Vos

mengemukakan pendapatnya: ”De leer der materiele wederrechtelijkheid vindt men

voornamelijk door, duitse schrijvers ontwikkeld. Zo noemt Von Liszt een handeling

wederrechtelijk, als zij anti-sociaal is117 (Ajaran sifat melawan hukum materiel

dikemukakan oleh seorang penulis Jerman. Dia adalah Von Liszt yang menyatakan

kelakuan yang melawan hukum adalah anti sosial).

Ajaran sifat melawan hukum materiil berpandangan bahwa sifat melawan

hukumnya perbuatan itu tidak hanya didasarkan pada undang-undang saja atau hukum

tertulis saja, tetapi harus juga didasarkan pada asas-asas hukum yang tidak tertulis.

Menurut ajaran ini, sifat melawan hukumnya perbuatan yang nyata-nyata diatur dalam

undang-undang dapat hapus baik karena ketentuan undang-undang maupun aturan-

aturan yang tidak tertulis. Oleh karena itu, melawan hukum berarti bertentangan

dengan undang-undang maupun hukum tidak tertulis atau nilai-nilai yang hidup dalam

masyarakat yaitu tata susila, nilai kepatutan, nilai moral, dan nilai agama. Suatu

116 Hazewinkel Suringa, Op.,Cit. hlm.192 117 H.B. Vos, Op.,Cit, hlm. 133.

Page 65: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

65

perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum apabila perbuatan tersebut bertentangan

dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat.118

Suatu perbuatan dikatakan telah memenuhi unsur melawan hukum materiel,

apabila perbutan itu merupakan pelanggaran terhadap norma kesopanan yang lazim

atau kepatutan yang hidup dalam masyarakat.119 Setiap perbuatan yang dianggap atau

dipandang tercela oleh masyarakat merupakan perbuatan melawan hukum secara

materiel. Bagi orang Indonesia belum pernah pada saat itu bahwa hukum dan undang-

undang dipandang sama. Pandangan ini sebenarnya merupakan reaksi terhadap

pendapat yang menyatakan bahwa hukum adalah undang-undang.

Moeljatno menyatakan pikiran bahwa hukum adalah undang-undang belum

pernah dialami. Bahkan sebaliknya, hampir semua hukum Indonesia asli adalah hukum

yang tidak tertulis. Peraturan-peraturan hukum pidana sebagian besar telah dimuat di

dalam KUHP dan perundang-undangan yang lain, maka pandangan tentang hukum dan

sifat melawan hukum materiel di atas, hanya mempunyai arti dalam perkecualian

perbuatan yang meskipun masuk dalam rumusan undang-undang itu tidak merupakan

perbuatan pidana. Biasanya itu yang dinamakan fungsi negatif dari sifat melawan

hukum materiil.120

118 Sudarto, Op.,Cit, hlm.63 119 Muladi (Ketua Tim), 2003. Pengkajian tentang Asas-Asas Pidana Indonesia dalam

Perkembangan Masyarakat Masa Kini dan Mendatang. Badan Pembinaan Hukum Nasional

Departemen Hukum dan HAM RI, Jakarta, hlm.43. 120 Moeljatno, Op.,Cit. hlm.143

Page 66: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

66

Penjelasan Moeljatno di atas mengisyaratkan bahwa di dalam ajaran sifat

melawan hukum materiel terkandung dua jenis sifat melawan hukum materiel, yaitu

sifat melawan hukum meteriel dalam fungsinya yang negatif dan sifat melawan hukum

materiil dalam fungsinya yang positif. Ajaran melawan hukum materiil dalam

fungsinya yang negatif berpandangan, bahwa hal-hal atau nilai-nilai yang berada di

luar undang-undang hanya diakui kemungkinannya sebagai hal yang dapat menghapus

atau menegatifkan melawan hukumnya perbuatan yang memenuhi rumusan undang-

undang. Artinya, terhadap suatu perbuatan yang secara formil dirumuskan dalam

undang-undang dapat hapus atau hilang sifat melawan hukumnya karena nilai-nilai

yang hidup dalam masyarakat. Jadi, dalam fungsi yang menegatifkan atau menghapus

sifat melawan hukumnya perbuatan yang secara formal telah dirumuskan dalam

undang-undang itulah nilai-nilai atau hal-hal yang berada di luar undang-undang

diakui. Misalnya dapat dilihat pada Pasal 283 ayat (1) KUHP mengenai dilarangnya

memperlihatkan alat pencegah kehamilan atau alat kontrasepsi seperti kondom kepada

seseorang yang belum cukup umur.121

Ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang positif memiliki

pandangan yang berseberangan dengan ajaran sifat melawan hukum materiil dalam

fungsinya yang negatif. Menurutnya, sumber hukum materiil atau hal-hal di luar

undang-undang dapat digunakan untuk menyatakan atau mempositifkan bahwa suatu

perbuatan tetap dipandang sebagai tindak pidana atau perbuatan melawan hukum

121 Tonggat, Op.,Cit. hlm.200-201

Page 67: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

67

walaupun menurut undang-undang tidak merupakan tindak pidana.122 Dengan

pengertian yang sama dapat dikatakan bahwa perbuatan itu tidak dilarang oleh undang-

undang, tetapi oleh masyarakat perbuatan itu dianggap keliru.123 Ajaran sifat melawan

hukum materiil dalam fungsinya yang positif, dengan demikian, mengakui hal-hal yang

berada di luar undang-undang, yaitu nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat atau

hukum tidak tertulis sebagai sumber hukum positif.

Ajaran sifat melawan hukum, dalam fungsinya yang negatif maupun yang

positif mengandung dua pemahaman, yaitu: Pertama, sifat melawan hukumnya

perbuatan itu tidak hanya didasarkan pada nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat atau

hukum tidak tertulis (living law). Suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum

apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang atau bertentangan

dengan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Kedua, pengakuan terhadap nilai-nilai

yang hidup dalam masyarakat sebagai dasar untuk menentukan sifat melawan

hukumnya perbuatan tersebut baik dalam fungsinya yang negatif maupun yang positif.

Pada fungsi negatif, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat hanya diakui sebagai hal

yang dapat menegatifkan atau menghapus sifat melawan hukumnya perbuatan.

Sedangkan pada fungsi yang positif, nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat diakui

sebagai sumber hukum positif, dalam arti sekalipun suatu perbuatan tidak

diformulasikan secara positif dalam peraturan perundang-undangan sebagai suatu

122 Barda Nawawi Arief, 2005, Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian

Perbandingan, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 28. 123 Molejatno, Op.,Cit, hlm.144.

Page 68: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

68

tindak pidana, tetapi apabila perbuatan itu bertentangan dengan nilai-nilai yang hidup

dalam masyarakat, maka perbuatan itu berdasarkan nilai-nilai yang hidup tadi dapat

dipositifkan sebagai perbuatan pidana.124

Ajaran sifat melawan hukum dalam hukum pidana Indonesia yang diakui

eksistensinya oleh para ahli hukum pidana adalah ajaran sifat melawan hukum materiil

dalam fungsinya yang negatif. Loebby Loqman mengatakan bahwa melawan hukum

secara materiil haruslah dipergunakan secara negatif, ini berarti bahwa apabila terdapat

suatu perbuatan nyata-nyata merupakan hal yang melawan hukum secara formil,

sedangkan di dalam masyarakat perbuatan tersebut tidak tercela, jadi secara materiil

tidak melawan hukum, maka perbuatan tersebut seyogianya tidak dijatuhi pidana.125

Sudarto juga mengatakan bahwa ajaran sifat melawan hukum materiil yang dianut di

Indonesia adalah ajaran sifat melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif.126

Pendapat Loebby Loqman dan Sudarto tersebut di atas sama dengan pendapat

ahli hukum pidana Belanda seperti Vos dan Hulsman yang menyatakan bahwa belum

tentu kalau semua perbuatan yang mencocoki larangan undang-undang bersifat

melawan hukum. Bagi mereka ini yang dinamakan hukum bukanlah undang-undang

saja, karena selain undang-undang ada juga hukum yang tidak tertulis berupa norma-

norma atau kenyataan-kenyataan yang berlaku di masyarakat, meskipun Hulsman tidak

124 Tongat, Op.,Cit, hlm.202-203. 125 Loebby Loqman, 1991, Beberapa Ikhwal di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Datacom, Jakarta, hlm. 31. 126 Sudarto, Op.,Cit, hlm. 66.

Page 69: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

69

secara nyata menyatakan hal tersebut sebagai hukum tidak tertulis sebagai salah satu

ciri dari pengertian perbuatan melawan hukum materiil.

Pentingnya memperhatikan norma-norma atau kenyataan-kenyataan yang

berlaku di masyarakat merupakan tujuan hukum yang diharapkan selain kepastian

hukum, keadilan dan kemanfaaatan. Tindakan euthanasia yang bertujuan untuk

mendapatkan kematian yang tenang tanpa rasa sakit akibat menderita penyakit yang

berkepanjangan dan tidak tertahankan merupakan suatu hal yang perlu mendapatkan

pertimbangan berdasarkan nilai kepatutan, nilai moral, nilai agama dan tentunya nilai

kemanusiaan.

Pandangan penulis dalam menganalisis tindakan euthanasia ini, berpedoman

kepada tindakan melawan hukum materiil dalam fungsinya yang negatif. Mencermati

peraturan perundang-undangan yang paling mendekati euthanasia adalah berdasarkan

Pasal 344 KUHP, yang menyatakan: barang siapa merampas nyawa orang lain atas

permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam

dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Ini berarti terdapat suatu perbuatan

merampas nyawa orang lain yang nyata-nyata merupakan hal yang melawan hukum

secara formil, namun di dalam masyarakat perbuatan tersebut tidak tercela karena

dilakukan berdasarkan pertimbangan kemanusiaan yang beradab jadi secara materiil

tidak melawan hukum, maka perbuatan tersebut seyogianya tidak dijatuhi pidana.

Page 70: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

70

1.4.3. Alasan-Alasan Penghapus Sifat Melawan Hukum Suatu Perbuatan

Alasan penghapus sifat melawan hukumnya suatu perbuatan merupakan alasan-

alasan yang menyebabkan suatu perbuatan walaupun telah memenuhi isi rumusan

undang-undang mengenai suatu tindak pidana, tetapi kemudian karena alasan-alasan

tersebut, perbuatan itu menjadi dibenarkan. Dalam hal ini sifat melawan hukum yang

ada pada perbuatan tersebut menjadi hilang karena adanya alasan-alasan tadi.127

Fletcher menyatakan, yang pada intinya bahwa dalam alasan pembenar,

perbuatan pelaku telah memenuhi ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam

undang-undang, namun masih dipertanyakan apakah perbuatan tersebut dapat

dibenarkan ataukah tidak; dalam alasan pemaaf, perbuatan tersebut salah, akan tetapi

masih dipertanyakan, apakah pelaku dapat dipertanggungjawabkan ataukah tidak.

Alasan pembenar membicarakan tentang kebenaran dari suatu perbuatan; alasan

pemaaf mempertanyakan apakah pelakunya dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya yang salah.128

Pendapat yang dikemukakan Fletcher sangatlah erat kaitannya dengan elemen-

elemen perbuatan pidana yang terdiri dari memenuhi unsur delik, melawan hukum dan

dapat dicela. Elemen memenuhi unsur delik identik dengan perbuatan pidana itu

sendiri, sedangkan gabungan elemen melawan hukum dan elemen dapat dicela

melahirkan pertanggungjawaban pidana. Dalam kaitannya dengan alasan penghapus

pidana yang pada hakikatnya adalah alasan penghapus pertanggungjawaban pidana,

127 Mahrus Ali, Op.,Cit, hlm.151 128 Eddy, O.S. Hiariej, Op.,Cit, hlm. 209.

Page 71: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

71

dapat disimpulkan bahwa alasan pembenar menghapuskan elemen melawan hukumnya

perbuatan, sedangkan alasan pemaaf menghapuskan elemen dapat dicelanya pelaku.

Alasan tidak dapat dipertanggungjawabkan pidana kepada pelaku dalam

Memorie van Toelichting dibedakan menjadi dua. Pertama, alasan yang berada di

dalam diri pelaku (inwendige orrzakken van ontoerekenbaarheid) sebagaimana yang

terdapat dalam Pasal 44 KUHP perihal kemampuan bertanggung jawab yang

dirumuskan secara negatif. Kedua, alasan yang berada di luar diri pelaku (uitwendige

oorzaken van ontoerekenbaarheid)129 Sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 48

sampai dengan Pasal 51 KUHP.

Alasan-alasan penghapus pidana dibedakan menjadi alasan pembenar, alasan

pemaaf, alasan yang ada pada diri pelaku, alasan yang ada di luar diri pelaku. Terdapat

pembagian alasan penghapus pidana yang lainnya, yaitu: alasan penghapus pidana

umum dan alasan penghapus pidana khusus. Alasan penghapus pidana yang umum

adalah alasan penghapus pidana yang terdapat baik di dalam KUHP maupun di luar

KUHP. Sedangkan alasan penghapus pidana yang khusus yaitu alasan penghapus

pidana yang hanya berlaku untuk delik-delik tertentu saja.130

Alasan penghapus pidana dalam konteks alasan pembenar dan alasan pemaaf

memiliki arti penting dalam kaitannya dengan tindakan euthanasia. Tindakan dokter

129 Marcus Priyo Gunarto, 2014, Alasan Penghapus Pidana, Alasan Pengahpus Penuntutan dan

Gugurnya Menjalani Pidana, Makalah pada Pelatihan Hukum Pidana dan Kriminologi yang

Diselenggarakan atas kerjasama Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada dengan Masyarakat Hukum

Pidana dan Kriminologi Indonesia, Yogyakarta, 23-27 Februari 2014, hlm.1 130 Eddy O.S. Hiariej, Op.,Cit, hlm. 210.

Page 72: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

72

yang membantu euthanasia kepada seorang pasien yang dinyatakan sudah tidak dapat

tertolong dan menderita kesakitan yang tidak tertahankan dalam jangka waktu yang

tidak menentu. Apakah terdapat alasan pembenar dari tindakan dokter tersebut untuk

melakukan euthanasia, ataukah alasan pemaaf yang terdapat dalam diri seorang dokter

yang tidak sampai hati melihat kondisi pasien yang kesakitan dan berdasarkan ilmu

pengetahuan yang dimiliki, si pasien tersebut sudah tidak mungkin dapat disembuhkan.

Menurut hemat penulis, seorang dokter yang melakukan tindakan euthanasia

tidak dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana, karena dalam perbuatannya

terdapat alasan pemaaf. Terdapatnya alasan pemaaf dalam euthanasia karena

sebenarnya dokter tidak secara langsung bertujuan untuk merampas nyawa orang lain,

tetapi untuk mengurangi penderitaan akibat rasa sakit yang tidak tertahankan yang

dialami pasien dengan memberikan obat bius penghilang rasa sakit yang berdampak

pada kelangsungan hidup pasien. Hati nurani seorang dokter tidak akan sampai hati

membiarkan pasien mengalami penderitaan yang luar biasa akibat penyakitnya serta

ada desakan dari pasien dan keluarga pasien secara terus menerus dan berulang-ulang

untuk memohon agar dokter membantu mengakhiri kehidupan si pasien dengan cara

cepat dan mudah berdasarkan harkat dan martabat kemanusiaan.

Alasan penghapus pidana dalam konteks alasan pembenar dan alasan pemaaf

ini juga memiliki arti penting terhadap delik penyertaan dalam euthanasia. Jika dua

orang atau lebih dokter dan perawat melakukan suatu perbuatan euthanasia dan salah

seorang baik dokter ataupun tenaga perawat dilepaskan dari tanggungjawab pidana

Page 73: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

73

karena terdapat alasan pembenar, maka semua pelaku peserta lainnya juga harus

dibebaskan. Sebaliknya, jika dua orang atau lebih melakukan suatu perbuatan

euthanasia dan salah seorang dilepaskan dari tanggungjawab pidana karena

terpenuhinya alasan pemaaf pada dirinya, maka tidak serta merta pelaku lainnya juga

dilepaskan karena alasan pemaaf. Ini berarti bahwa alasan pemaaf lebih bersifat

individual yang hanya berlaku pada diri individu pelaku.

1.5. Pertanggungjawaban Pidana Terkait Tindakan Euthanasia

1.5.1. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pengertian perbuatan pidana tidak termasuk pengertian pertanggungjawaban

pidana. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan diancamnya perbuatan

dengan suatu ancaman pidana. Apakah orang yang melakukan perbuatan kemudian

dijatuhi pidana, tergantung kepada apakah dalam melakukan perbuatan itu orang

tersebut memiliki kesalahan.131 Dengan demikian, membicarakan pertanggungjawaban

pidana mau tidak mau harus didahului dengan penjelasan tentang perbuatan pidana.

Sebab seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu

ia melakukan perbuatan pidana. Dirasakan tidak adil apabila tiba-tiba seseorang harus

bertanggung jawab atas suatu tindakan, sedang ia sendiri tidak melakukan tindakan

tersebut.132

131Moejatno, 2008. Asas-Asas Hukum Pidana, Cetakan Kedelapan, Rineka Cipta, Jakarta, hlm

165. 132Roeslan Saleh, 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana; Dua Pengertian

Dasar dalam Hukum Pidana, Cetakan Ketiga, Aksara Baru, Jakarta, hlm. 20-23.

Page 74: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

74

Konsep pertanggungjawaban dalam hukum pidana merupakan konsep sentral

yang dikenal dengan ajaran kesalahan. Dalam bahasa latin ajaran kesalahan dikenal

dengan sebutan mens rea. Doktrin mens rea dilandaskan pada suatu perbuatan tidak

mengakibatkan seseorang bersalah kecuali jika pikiran orang itu jahat. Dalam bahasa

Inggris doktrin tersebut dirumuskan dengan an act does not make a person guilty,

unless the mind is legally blameworthy. Berdasar hal tersebut, ada dua syarat yang

harus dipenuhi untuk dapat memidana seseorang, yaitu ada perbuatan lahiriah yang

terlarang/perbuatan pidana (actus reus), dan ada sikap batin jahat/tercela (mens rea).133

Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang

objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi

syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana

adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat dipidannya pembuat adalah asas

kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan dipidana jika ia

mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan pidana tersebut. Kapan seseorang

dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana.134

Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak

pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah

tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah

ada tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada

133 Hanafi, 1999. Reformasi Sistem Pertanggungjawaban Pidana, Jurnal Hukum, Vol. 6 No. 11

Tahun 1999, hlm. 27. 134 Roeslan Saleh, Op.Cit, hlm. 75.

Page 75: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

75

hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk

bereaksi terhadap pelanggaran atas ‘kesepakatan menolak’ suatu perbuatan tertentu.135

Sudarto menyatakan bahwa dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila

orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat

melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam

undang-undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat

penjatuhan pidana. Untuk pemidanaan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan

pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah.

Orang tersebut harus dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari

sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang

tersebut.136

Kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana

seseorang. Tanpa kesalahan, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada.

Makanya tidak heran jika dalam hukum pidana dikenal asas “tiada pidana tanpa

kesalahan” (geen straf zander schuld). Asas kesalahan ini merupakan asas yang

fundamental dalam hukum pidana.

Seseorang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana apabila dalam diri

seseorang tersebut terdapat sikap bathin yang jahat/tercela (mensrea) serta adanya

perbuatan lahiriah yang terlarang/perbuatan pidana (actus reus). Jika dilihat dari

135 Chairul Huda, 2006. Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada Pertang-

gungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Cetakan Kedua, Kencana, Jakarta, hlm. 68. 136Sudarto, 1988. Hukum Pidana I, Badan Penyediaan Bahan-Bahan Kuliah, FH UNDIP,

Semarang, hlm. 85.

Page 76: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

76

tujuannya dengan mengkaitkan perbuatan euthanasia, sebenarnya tidak ada keinginan

atau niat jahat dokter untuk membunuh pasien. Tujuan dari euthanasia adalah untuk

mempercepat proses kematian dengan cara yang mudah dan tenang berdasarkan

kemanusiaan. Hal yang penting yang tidak boleh dihilangkan untuk dapat memidana

seseorang dokter yang melakukan euthanasia adalah adanya kesalahan. Tanpa

kesalahan, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada.

1.5.2. Hubungan Kesalahan dengan Pertanggungjawaban Pidana

Terdapat berbagai macam pengertian kesalahan yang disampaikan oleh para

ahli hukum pidana, tetapi secara umum pengertian yang dikemukakan mengarah pada

dua jenis kesalahan, yaitu: kesalahan psikologis dan kesalahan normatif. Kesalahan

psikologis tidak dijelaskan lebih jauh karena kurang memberikan jawaban yang

memuaskan khususnya terhadap penjatuhan pidana bagi orang yang melakukan

perbuatan pidana sehingga akan dijelaskan lebih lanjut pengertian mengenai kesalahan

dalam pengertian yang normatif.

Kesalahan adalah dapat dicelanya pembuat tindak pidana karena dilihat dari

segi masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan

perbuatan tersebut.137 Orang dapat dikatakan mempunyai kesalahan, jika dia pada

waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat dapat dicela

karenanya, yaitu kenapa melakukan perbuatan yang merugikan masyarakat padahal

137 Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm. 77.

Page 77: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

77

mampu untuk mengetahui makna perbuatan tersebut, dan karenanya dapat bahkan

harus menghindari perbuatan demikian.138

Seorang dokter yang melakukan euthanasia tidak dapat dianggap melakukan

kesalahan. Tindakan euthanasia yang dilakukan dokter berdasarkan pada kepentingan

terbaik bagi si pasien dan keluarga pasien yang sudah tidak mempunyai harapan untuk

sembuh dan pasien mengalami kesakitan yang tidak tertahankan serta adanya

permintaan untuk mengakhiri kehidupan pasien secara terus-menerus yang

disampaikan oleh pasien atau keluarga pasien. Dokter tidak mempunyai pilihan untuk

berbuat lain selain melakukan tindakan euthanasia. Perbuatan yang dilakukan oleh

dokter tersebut dalam pandangan keluarga pasien bukan merupakan perbuatan tercela,

karena berdasarkan atas permintaan.

Pengertian kesalahan secara psikologis menitik beratkan pada keadaan batin

(psychis) yang tertentu dari si pembuat dan hubungan antara keadaan batin tersebut

dengan perbuatannya sedemikian rupa. Pembuat dapat dipertanggungjawabkan atas

perbuatannya, tidak diikuti karena menimbulkan persoalan dalam praktik hukum yang

dipicu oleh ketiadaan unsur “dengan sengaja” atau “karena kealpaan” dalam rumusan

tindak pidana.139

KUHP yang berlaku saat ini, tindak pidana pelanggaran tidak memuat unsur

“dengan sengaja” atau “karena kealpaan”. Oleh sebab itu, praktik hukum sempat

138 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 169. 139 Tongat, 2008. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia dalam Perspektif Pembaharuan, UMM

Press, Malang, hlm. 222.

Page 78: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

78

diliputi pertanyaan sekitar apakah tidak dirumuskannya unsur “dengan sengaja” atau

“karena kealpaan” dalam pelanggaran, menyebabkan pembuatnya tetap dipidana,

sekalipun tidak ada salah satu dari kedua bentuk kesalahan tersebut. Persoalan ini

timbul dan menyebabkan adanya keragu-raguan atas kemampuan teori kesalahan

psikologis untuk menjelaskan masalah kesalahan.140

Persoalan itulah yang menyebabkan mengapa teori kesalahan normatif

dijadikan dasar untuk menentukan masalah kesalahan. Dalam pengertian kesalahan

normatif di atas, terdapat tiga komponen utama yang perlu dijelaskan, yaitu dapat

dicela, dilihat dari segi masyarakat, dan dapat berbuat lain. Pertama adalah “dapat

dicela.” Dapat dicela di sini mempunyai dua pengertian, yaitu: pertama, dapat dicela

berarti dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana. kedua, dapat dicela berarti

dapat dijatuhi pidana. Arti yang pertama, kesalahan diberi makna dalam hubungannya

dengan fungsi preventif hukum pidana. Kata ‘dapat’ di sini menunjukkan bahwa celaan

atau pertanggungjawaban pidana itu hilang, jika pembuat mempunyai alasan

penghapus kesalahan. Dalam arti yang kedua, kesalahan diberi makna dalam

hubungannya dengan fungsi represif hukum pidana. Kata ‘dapat’ dalam hal ini

menunjukkan bahwa celaan atau penjatuhan pidana tidak harus dilakukan hakim.

Hakim dapat saja hanya mengenakan tindakan, sekalipun tindak pidana terbukti

dan terdakwa bersalah melakukannya. Selain itu, dapat saja celaan atau penjatuhan

pidana tidak dilakukan, jika hakim memutuskan untuk memberi pengampunan. Dalam

140 Chairul Huda, Op.Cit, hlm. 73.

Page 79: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

79

keputusannya, hakim dapat saja menyatakan seseorang terbukti melakukan tindak

pidana dengan kesalahan, tetapi tidak menjatuhkan pidana terhadapnya.141

Kedua adalah “dilihat dari segi masyarakat”. Roeslan Saleh mengatakan bahwa

komponen tersebut merupakan penegasan penilaian normatif terhadap kesalahan. Pada

subjek hukum manusia, ada tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam

keadaan senyatanya batin terdakwa, tetapi tergantung pada batin itu, apakah dipernilai

ada ataukah tidak ada kesalahan.142 Jadi, titik tekannya terletak pada penilaian normatif

terhadap keadaan batin pembuat dan hubungan antara keadaan batin tersebut dengan

tindak pidananya, sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatannya itu.143

Singkatnya, yang dinilai bukan pada keadaan batin orang itu, tetapi bagaimana hakim

mempernilai keadaan batinnya dan menilai fakta-fakta yang ada.144

Sepanjang terhadap subjek hukum manusia, pengertian kesalahan yang

normatif berpangkal tolak pada penilaian hukum terhadap psikologis pembuat. Bukan

psikologinya yang penting, tetapi penilaian normatif terhadap keadaan psikologis

pembuat, ketika melakukan tindak pidana. Pengertian kesalahan yang normatif di

dalamnya mengandung pengertian psikologis.145 Sebenarnya penilaian berdasarkan

norma-norma hukum pidana di sini, ditujukan atas perbuatan, pembuatnya dan

hubungan antara keduanya. Pada subjek manusia, hubungan antara pembuat dan

141 Ibid., hlm. 75. 142 Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm. 77. 143 Roeslan Saleh, 1994, Masih Saja tentang Kesalahan, Karya Dunia Fikir, Jakarta, hlm. 55. 144 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 175. 145 Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm. 54.

Page 80: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

80

perbuatannya, lebih banyak dipusatkan pada hubungan antara keadaan batin pembuat

dan tindak pidananya. Dari situ, dapat disimpulkan bahwa “dilihat dari segi

masyarakat”, pembuatnya dapat dicela karena telah melakukan tindak pidana.146

Ketiga adalah “dapat berbuat lain”, maksudnya adalah selalu terbuka bagi

pembuat untuk menghindari terjadinya tindak pidana, dalam arti sebenarnya pembuat

dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan tindak pidana. Inti pengertian kesalahan

justru terletak pada penilaian hukum terhadap kenyataan bahwa pembuat dapat berbuat

lain. Ketiadaan kemungkinan pembuat dapat berbuat lain, selain melakukan tindak

pidana, menyebabkannya dapat dilepaskan dari keadaan bersalah.147 Oleh karena itu,

ada kesalahan jika kelakuan tidak sesuai dengan norma yang harus diterapkan.148

Kesalahan normatif merupakan dasar dapat dipertanggungjawabkan perbuatan.

Seorang dokter yang melakukan kewajibannya untuk berusaha menyembuhkan

pasiennya bukan merupakan suatu kesalahan. Dokter berdasarkan keahliannya akan

berusaha semaksimal mungkin untuk menyembuhkan penyakit yang diderita oleh

pasiennya. Apabila penyakit yang diderita pasien terlalu parah, dan sudah tidak dapat

disembuhkan, kondisi pasien sangat kesakitan dalam jangka waktu lama secara terus

menerus. Melihat kondisi seperti ini, dalam pandangan hukum perbuatan dokter yang

menghentikan pengobatan karena sudah tidak berpotensi lagi, bukan merupakan

perbuatan yang dapat dicela. Penghentian pengobatan oleh dokter termasuk euthanasia

146 Chairul Huda, Op.Cit., hlm. 76. 147 Chairul Huda, Op.Cit., hlm. 76. 148 Roeslan Saleh, Op.Cit. hlm. 110

Page 81: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

81

pasif, namun tindakan dokter tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana

karena terdapat alasan penghapus kesalahan.

1.5.3. Perkembangan Sistem Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban dalam hukum pidana mengalami perkembangan sejak

diakuinya korporasi sebagai subjek hukum pidana di samping manusia. Manakala

korporasi juga diakui sebagai subjek hukum di samping manusia, maka konsep

pertanggungjawaban pidana pun harus “diciptakan” agar korporasi juga dapat dijatuhi

pidana ketika terbukti melakukan tindak pidana.

Secara teoretis terdapat tiga teori atau sistem pertanggungjawaban pidana pada

subjek hukum korporasi, yaitu: teori identifikasi, teori strict liability dan teori vicarious

liability. Ketiga teori pertanggungjawaban pidana tersebut hakikatnya merupakan

respon terhadap eksistensi korporasi yang dewasa ini diakui sebagai subjek hukum

dalam hukum pidana.

1. Teori Identifikasi

Dalam rangka mempertanggungjawabkan korporasi secara pidana, di negara

Anglo Saxon seperti di Inggris dikenal konsep direct corporate criminal liability atau

pertanggungungjawaban pidana korporasi secara langsung. Menurut doktrin ini,

korporasi dapat melakukan sejumlah delik secara langsung melalui orang-orang yang

sangat berhubungan erat dengan korporasi dan dipandang sebagai korporasi itu sendiri.

Dalam keadaan demikian, mereka tidak sebagai pengganti dan oleh karena itu,

Page 82: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

82

pertanggungjawaban korporasi tidak bersifat pertanggungjawaban pribadi.149 Teori ini

dikenal dengan nama teori identiflkasi.

Teori identifikasi pada dasarnya mengakui bahwa tindakan dari anggota

tertentu dari korporasi, selama tindakan itu berkaitan dengan korporasi, dianggap

sebagai tindakan dari korporasi itu sendiri.150 Teori ini juga berpandangan bahwa agen

tertentu dalam sebuah korporasi dianggap sebagai “directing mind” atau “alter ego”.

Actus reus dan mens rea para individu itu kemudian dikaitkan dengan korporasi. Jika

individu diberi kewenangan untuk bertindak atas nama dan selama menjalankan bisnis

korporasi, maka mens rea para individu itu merupakan mens rea korporasi.151

Rumah sakit sebagai korporasi juga dapat dikenakan pertanggungjawaban

pidana apabila orang-orang yang bekerja atas nama rumah sakit tersebut melakukan

kesalahan dalam melaksanakan tugasnya. Korporasi mempunyai sifat yang mandiri

dalam hal pertanggungjawaban pidana sehingga tidak dapat disamakan dengan model

pentanggungjawaban pengganti (vicarious liability). Perbedaan ini bisa dilihat pada

pertimbangan putusan pengadilan dalam memutus kasus Tesco Supermarket Ltd vs

Nattrass, yaitu:

A living person as a mind which can have knowledge or intention or be negligent

and he has hand to carry out his intention. A corporation has none of these; it must

act through living persons, through not always one and the same person then the

person who act is not speaking or acting for the company. There is no question to

the company being vicarious liability. He is not acting as a servant,

149 Barda Nawawi Arief, 2002, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada,

Jakarta, hlm. 154. 150 Hanafi, Op.Cit., hlm. 35. 151 Dwidja Priyino, 2004, Kebijakan Legislatif tentang Sistem Pertanggungjawaban Korporasi

di Indonesia, Utomo, Bandung, hlm. 89.

Page 83: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

83

representatives, agent or delegate. He is a body of the company, or one could say,

he hears and speaks through the person of the company, within the appropriate

sphere, and his mind is the mind of the company. If it is a guilty mind then that

guilt is the guilt of the company.”152

(Orang yang hidup sebagai pikiran yang dapat memiliki pengetahuan atau niat atau

lalai dan dia memiliki tangan untuk melaksanakan niatnya. Sebuah perusahaan

tidak memilikinya; ia harus bertindak melalui orang yang hidup, tidak selalu

melalui satu orang yang sama maka per orang yang bertindak tidak berbicara atau

bertindak untuk perusahaan. Tidak ada pertanyaan bagi perusahaan yang menjadi

tanggung jawab perwakilan. Dia tidak bertindak sebagai pelayan, perwakilan, agen

atau delegasi. Dia adalah badan perusahaan, atau dapat dikatakan, dia mendengar

dan berbicara melalui orang perusahaan, dalam lingkup yang sesuai, dan

pikirannya adalah pikiran perusahaan. Jika itu adalah pikiran yang bersalah maka

kesalahan itu adalah kesalahan perusahaan).

Tindakan yang dilakukan individu pada dasarnya bukan mewakili korporasi,

tetapi dianggap sebagai tindakan korporasi itu sendiri. Ketika individu melakukan

suatu kesalahan, maka kesalahan itu pada dasarnya adalah kesalahan korporasi. Jadi,

individu identik dengan korporasi. Muncul pertanyaan, siapa yang dimaksud identik

dengan korporasi? Jawabannya adalah direkturlah yang identik dengan korporasi,

sehingga dikatakan bahwa tindakan direktur merupakan tindakan dari korporasi, asal

saja tindakan tersebut masih dalam ruang lingkup pekerjaannya dan demi keuntungan

korporasi.153

Korporasi dalam banyak hal juga disamakan dengan tubuh manusia. Korporasi

memiliki otak dan pusat syaraf yang mengendalikan apa yang dilakukannya. la

memiliki tangan yang memegang alat dan bertindak sesuai dengan arahan dari pusat

syaraf. Beberapa orang di lingkungan korporasi itu hanyalah karyawan dan agen yang

152 Richard Card, 1984, Introduction to Criminal Law, Tenth Edition, Butterworths, London, hlm.

123. 153 Hanafi, Op.Cit., hlm. 36.

Page 84: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

84

tidak lebih dari tangan dalam melakukan pekerjaannya dan tidak dapat dikatakan

sebagai sikap batin atau kehendak perusahaan. Pada pihak lain, direktur dan manajer

mewakili sikap batin yang mengarahkan dan mewakili kehendak perusahaan serta

mengendalikan apa yang dilakukan. Sikap batin direktur dan manajer ini merupakan

sikap batin dari korporasi.154

Terhadap kasus-kasus di mana undang-undang mensyaratkan kesalahan

seseorang dalam pertanggungjawaban di bidang perdata, maka kesalahan direktur

adalah kesalahan korporasi. Begitu juga dalam bidang hukum pidana, dalam kasus-

kasus di mana undang-undang mensyaratkan kesalahan dalam suatu perbuatan pidana,

maka kesalahan direktur dipandang sebagai kesalahan dari korporasi itu sendiri.

Demikian pula dalam tindakan direktur rumah sakit, tindakan direktur tersebut

merupakan tindakan rumah sakit. Dengan demikian, untuk tujuan hukum,

Direktur/pejabat senior adalah orang yang mengendalikan rumahsakit baik sendiri

maupun bersama-sama pejabat senior lainnya, ia mewakili sikap batin dan kehendak

korporasi, dan ia dibedakan dari mereka yang semata-mata sebagai pegawai dan agen

korporasi yang harus melaksanakan petunjuk-petunjuk dari pejabat senior.

2. Teori Strict Liability

Strict liability, diartikan sebagai suatu perbuatan pidana dengan tidak

mensyaratkan adanya kesalahan pada diri pelaku terhadap satu atau lebih dari actus

154 Dwidja Priyatno, Op.Cit., hlm. 91.

Page 85: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

85

reus.155 Strict liability merupakan pertanggungjawaban tanpa kesalahan (liability

without fault), yang dalam hal ini si pelaku perbuatan pidana sudah dapat dipidana jika

ia telah melakukan perbuatan yang dilarang sebagaimana yang telah dirumuskan dalam

undang-undang tanpa melihat lebih jauh sikap batin si pelaku.

Pengertian di atas merupakan pengertian yang lazim diterima di dalam doktrin

hukum pidana, tanpa mempersoalkan apakah pengertian tersebut masih relevan

dipakai. Sebab dalam pengertian itu, dalam perbuatan pidana yang bersifat strict

liability, hanya dibutuhkan dugaan atau pengetahuan dari pelaku (terdakwa), sudah

cukup menuntut pertanggungjawaban pidana dari padanya. Jadi tidak dipersoalkan

adanya mens rea, karena unsur pokok strict liability adalah actus reus (perbuatan),

sehingga yang harus dibuktikan adalah actus reus (perbuatan), bukan mens rea

(kesalahan).156

Pengertian strict liability apabila dikaji dari kesalahan normatif yang

dikemukakan sebelumnya, maka konsekuensinya akan berlainan. Kesalahan normatif

pada intinya menyatakan bahwa kesalahan ada jika kelakuan tidak sesuai dengan

norma. Kesalahan dipandang ada sepanjang norma hukum menentukan bahwa

pembuatnya dapat dicela karena melakukan tindak pidana.157 Kesalahan dalam konteks

155 Sesungguhnya konsep strict liability merupakan konsep yang ada dalam sistem hukum

Common Law. Pada mulanya sistem pertanggungjawaban tersebut diterapkan dalam kasus-kasus

perdata. Namun dalam perkembangannya, konsep strict liability juga diterapkan pada kasus-kasus

pidana tertentu yang dianggap membahayakan sosial, seperti narkotika, pelanggaran lalu lintas,

makanan, dan lain-lain. Lihat Sue Titus Reid, 1995, Criminal Law, Third Edition, Englenood Cliffs,

New Jersey, USA, hlm. 414. 156 Hanafi, 1997, Strict Liability dan Vicarious Liability dalam Hukum Pidana, Lembaga

Penelitian, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 63-64. 157 Chairul Huda, Op.Cit, hlm. 83.

Page 86: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

86

ini diartikan sebagai dapat dicelanya pembuat tindak pidana, karena dilihat dari segi

masyarakat sebenarnya dia dapat berbuat lain jika tidak ingin melakukan perbuatan

tersebut.158

Sebagai suatu pengertian yang normatif, kesalahan merupakan masalah

penilaian yang dilakukan berdasarkan sistem norma. Sistem norma yang menjadi

patron penilaian tentang kesalahan diorientasikan terhadap fungsi dan sistem norma

tersebut. Kesalahan berarti pembuat (seseorang atau badan hukum) telah berbuat

bertentangan dengan yang diharapkan. Pembuat telah berbuat bertentangan dengan

harapan masyarakat. Hukum sebenarnya mengharapkan kepadanya untuk dapat

berbuat lain, selain tindak pidana. Dilakukannya tindak pidana pembuatnya dikatakan

bersalah karena telah berbuat berbeda dari yang diharapkan masyarakat. Padahal pada

dirinya selalu terbuka kemungkinan untuk dapat berbuat lain, jika tidak ingin

melakukan tindak pidana tersebut.159

Konsep strict liability berdasarkan teori kesalahan normatif tidak dianggap

sebagai bentuk pengecualian dari konsep tiada pidana tanpa kesalahan, tetapi sebagai

bentuk pertanggungjawaban pidana berdasar kesalahan. Oleh karena itu, teori ini

menolak pandangan Schaffmeister yang menganggap digunakannya strict liability

sebagai penyimpangan atas asas “tiada pidana tanpa kesalahan”. Selain itu, teori ini

berbeda dengan pendapat Barda Nawawi Arief yang memandang strict liability sebagai

158 Roeslan Saleh,Op.Cit, hlm. 77. 159 Chairul Huda, Op.Cit, hlm. 54.

Page 87: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

87

pengecualian berlakunya asas “tiada pidana tanpa kesalahan”.160 Pada strict liability

pembuatnya tetap diliputi kesalahan; kesalahan dalam pengertian normatif.161

Strict liability sering juga dikatakan sebagai “the nature of strict liability

offences is that they are crimes which do not require any mens rea with regard to at

least one element of their “actus reus” (pada dasanya, konsep pertanggungjawaban

mutlak merupakan suatu bentuk pelanggaran/kejahatan yang di dalamnya tidak

mensyaratkan adanya unsur kesalahan, tetapi hanya disyaratkan adanya suatu

perbuatan).162 Sehubungan dengan hal ini Romli Atmasasmita menyatakan, hukum

Inggris selain menganut asas “actus nonfacit reum nisi mens sit rea” (a harmful act

without a blameworthy mental state is not punishable), juga menganut prinsip

pertanggungjawaban pidana mutlak tanpa harus membuktikan ada atau tidak adanya

unsur kesalahan pada si pelaku perbuatan pidana. Prinsip pertanggungjawaban pidana

tersebut dikenal sebagai strict liability crimes.163

Prinsip pertanggungjawaban pidana mutlak (strict liability) menurut hukum

pidana Inggris hanya diberlakukan terhadap perkara pelanggaran ringan, yaitu

pelanggaran terhadap ketertiban urnum atau kesejahteraan umum. Termasuk kedalam

kategori pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas adalah sebagai berikut:

a. Pelanggaran terhadap tata tertib pengadilan.

b. Pencemaran nama baik seseorang.

160 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 108. 161 Chairul Huda, Op.Cit., hlm. 84. 162 Barda Nawawi Arief I, Op. Cit., hlm. 28. 163 Romli Atmasasmita, 2000. Perbandingan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, hlm. 76.

Page 88: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

88

c. Mengganggu ketertiban masyarakat.164 Akan tetapi, kebanyakan strict liability

terdapat pada delik-delik yang diatur dalam undang-undang (statutory offences;

regulatory offences, mala prohibita) yang pada umumnya merupakan delik

kesejahteraan umum. Termasuk regulatory offences adalah penjualan makanan

dan minuman atau obat-obatan yang membahayakan, penggunaan gambar

dagang yang menyesatkan dan pelanggaran lalu lintas.165

Romli Atmasasmita juga mengatakan bahwa pembentuk undang-undang telah

menetapkan bila aturan tentang strict liability crimes dapat diberlakukan sebagai

berikut:

a. Kejahatan yang dilakukan bukan kejahatan berat.

b. Ancaman hukuman yang berlaku adalah ringan.

c. Syarat adanya mens rea akan menghambat tujuan perundang-undangan.

d. Kejahatan yang dilakukan secara langsung merupakan paksaan terhadap hak-

hak orang lain.

e. Menurut undang-undang yang berlaku mens rea secara kasuistik tidak

diperlukan.166

Contoh kasus berkaitan dengan penerapan strict liability adalah kasus Prince

yang intinya sebagai berikut:

Prince dituduh menarik dari kekuasaan orang tua seorang gadis berumur 16 tahun

tanpa izin orang tuanya (melanggar Pasal 55 Offences Againtst the Person Act

1861 yang diperbarui dengan Pasal 20 Sexual Offences Act 1956). Di muka sidang

Prince mengemukakan alasan, bahwa ia memang mengetahui gadis itu di bawah

kekuasaan orang tuanya, tetapi ia mengira/berkeyakinan bahwa gadis itu berumur

18 tahun, berdasarkan juga pengakuan gadis itu kepada Prince. Pengadilan

berpendapat bahwa terhadap perbuatan “menarik gadis dari kekuasaan orang tua”

harus tetap membuktikan adanya kesengajaan, tetapi terhadap “usia gadis

tersebut”, yaitu 16 tahun tidak harus membuktikan karena undang-undang tidak

mensyaratkan pengetahuan terhadap umur dari gadis itu. Prince tetap dipidana.167

164 Ibid. 165 Barda Nawawi Arief, Op.Cit., hlm. 29. 166 Romli Atmasasmita, Op.Cit, hlm. 78. 167 Hanafi, Op.Cit, hlm. 74.

Page 89: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

89

Contoh kasus pidana lainnya adalah kasus Alphaceel Ltd vs Woodward (1972),

yaitu:

Sebuah perusahaan dihukum oleh pengadilan tingkat pertama dengan tuduhan

sebagai penyebab terpolusinya air sungai. Terdakwa menentang tuduhan itu

dengan mengatakan bahwa jaksa harus membuktikan adanya kesengajaan,

kealpaan atau kesembronoan dari terdakwa. House of Lord menolak argumen

terdakwa dan tetap menjatuhkan hukuman kepada terdakwa.168

Adapun kriteria penerapan strict liability dalam perkara pidana pada prinsipnya

tidak bersifat generalisasi. Jadi tidak terhadap semua tindak pidana boleh diterapkan.

Akan tetapi bercorak khusus, yaitu:

1. Ketentuan undang-undang sendiri menentukan atau paling tidak undang-

undang sendiri cenderung menuntut strict liability.

2. Penerapannya hanya ditentukan terhadap tindak pidana yang bersifat larangan

khusus atau tertentu.

Penerapan strict liability sangat erat kaitannya dengan ketentuan tertentu dan

terbatas. Agar lebih jelas apa yang menjadi landasan penerapan strict liability, dapat

dikemukakan beberapa patokan antara lain:

1) Tidak berlaku umum terhadap semua jenis tindak pidana, tetapi sangat terbatas

dan tertentu, terutama mengenai kejahatan anti sosial atau yang membahayakan

sosial.

2) Perbuatan itu benar-benar bersifat melawan hukum yang sangat bertentangan

dengan kehati-hatian yang diwajibkan hukum dan kepatutan.

3) Perbuatan itu dilarang dengan keras oleh undang-undang karena dikategorikan

sebagai aktivitas atau kegiatan yang sangat potensial mengandung bahaya

kepada kesehatan, keselamatan, dan moral bublik.

4) Perbuatan atau aktivitas tersebut secara keseluruhan dilakukan dengan cara

tidak melakukan pencegahan yang sangat wajar.169

168 Hanafi, Op.Cit, hlm. 75. 169 Hanafi, Op.Cit, hlm. 77

Page 90: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

90

Berkaitan dengan konsep pertanggungjawaban mutlak (strict liability)

sebagaimana diuraikan di atas, ada pertanyaan mendasar setelah memahami ciri-ciri

dan syarat-syarat tertentu untuk adanya pertanggungjawaban mutlak ini, yaitu apakah

memang konsep ini sesuai jika diterapkan untuk kejahatan korporasi mengingat

pertanggungjawaban mutlak (strict liability) ini hanya diterapkan khusus untuk

kejahatan ringan dan bersifat statutory offences, dan perbuatan tersebut termasuk dalam

kategori mala prohibita, bukan mala in se, sedangkan kejahatan korporasi itu sendiri

termasuk dalam jenis kejahatan yang bersifat serius (serious crime)

Penerapan konsep pertanggungjawaban mulak (strict liability) tidak sesuai atau

bertolak belakang dengan karakteristik kejahatan korporasi yang termasuk dalam

kategori serious crime, sedangkan konsep pertanggungjawaban mutlak tersebut

“hanya” untuk jenis kejahatan yang sifatnya ringan seperti pelanggaran lalu lintas,

penghinaan pengadilan yang sifatnya berupa pelanggaran. Pijakan yuridis yang

dibangun untuk menuntut korporasi atas konsep pertanggungjawaban mutlak tidak kuat

dan tidak beralasan.

3. Teori Vicarious Liability

Negara-negara Anglo Saxon dan Anglo American dikenal pula konsep

pertanggungjawaban pidana yang disebut vicarious liability, yaitu the legal

responsibility of one person for wrongful acts of another, as for example, when the acts

are done witihin scope of employment (suatu konsep pertanggungjawaban seseorang

Page 91: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

91

atas kesalahan yang dilakukan orang lain, seperti tindakan yang dilakukan yang masih

berada dalam ruang lingkup pekerjaannya).170

Vicarious liability diartikan oleh Henry Black sebagai indirect legal

responsibility, the liability of an employer for the acts of an employee, of a principle

for torts and contracts of an agent (pertanggungjawaban pengganti adalah

pertanggungjawaban hukum secara tidak langsung, pertanggungjawaban majikan atas

tindakan dari pekerja; atau pertanggungjawaban prinsipal terhadap tindakan agen

dalam suatu kontrak).171 Berdasarkan pengertian ini vicarious liability adalah

pertanggungjawaban menurut hukum seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan

orang lain. Kedua orang tersebut harus mempunyai hubungan, yaitu hubungan atasan

dan bawahan atau hubungan majikan dan buruh atau hubungan pekerjaan. Perbuatan

yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus masih dalam rung lingkup pekerjaannya.

Secara singkat pertanggungjawaban ini disebut pertanggungjawaban pengganti.

Vicarious liability mensyaratkan mens rea menjadi syarat utama yang harus

dipenuhi untuk memidana seseorang yang melakukan perbuatan pidana. Dengan kata

lain, harus dibuktikan terlebih dahulu bahwa seseorang telah melakukan suatu

kesalahan, sehingga ia patut dipidana atas kesalahannya itu. Selain itu, harus ada

hubungan kerja antara pelaku dengan orang lain yang harus mempertanggungjawabkan

perbuatan pidana yang dilakukan, misalnya antara majikan dan buruh, dan perbuatan

170 Barda Nawawi Arief I, Op.Cit, hlm. 33. 171 Henry Campbell Black, Op.,Cit, hlm. 1404.

Page 92: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

92

pidana tersebut masih dalam ruang lingkup pekerjaannya. Yang terakhir inilah yang

kemudian disebut dengan prinsip delegasi.

Prinsip delegasi pada dasarnya berkaitan dengan pemberian izin kepada

seseorang untuk mengelola suatu usaha. Si pemegang izin tidak menjalankan langsung

usaha tersebut, tetapi ia memberikan kepercayaan (mendelegasikan) secara penuh

kepada seorang manager untuk mengelola korporasi tersebut. Jika manager itu

melakukan perbuatan melawan hukum, maka si pemegang izin (pemberi delegasi)

bertanggung jawab atas perbuatan manager itu. Sebaliknya, apabila tidak terdapat

pendelegasian maka pemberi delegasi tidak bertanggung jawab atas perbuatan

melawan hukum manager tersebut. Contoh kasus yang menarik mengenai tidak

terdapat pendelegasian ini dapat dikemukakan sebagai berikut:

Izin pembukaan sebuah restoran yang menyediakan minuman beralkohol hanya

dapat dijual kepada seseorang yang memesan makanan. Pelayan menjual minuman

itu kepada seseorang yang tidak memesan makanan. Pemegang izin didakwa

melanggar Pasal 22 (1) Licensing Act 1961, atas dasar pengetahuannya menjual

minuman beralkohol. Pemegang izin tidak mengetahui mengenai tindakan pelayan

tersebut. Jaksa mengabaikan pembelaan tersebut. Mahkamah Agung menerima

pembelaan pemegang izin, sehingga majikan tidak dipidana.172

Terdapat dua syarat penting yang harus dipenuhi untuk dapat menerapkan suatu

perbuatan pidana berdasarkan teori vicarious liablitiy, yaitu:

1. Harus terdapat suatu hubungan, seperti hubungan pekerjaan antara majikan

dengan pekerja.

172 Hanafi, Op.Cit., hlm. 92-94.

Page 93: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

93

2. Perbuatan pidana yang dilakukan oleh pekerja tersebut harus berkaitan atau

masih dalam ruang lingkup pekerjaannya.

Teori vicarious liability jika dihubungkan dengan kejahatan korporasi,

merupakan suatu upaya untuk menjerat korporasi atas tindak pidana yang dilakukan

oleh pegawainya. Pembebanan pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada

atasan (direktur) atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh bawahan dalam sebuah

struktur organisasi korporasi, dikarenakan perbuatan yang dilakukan oleh bawahan

tersebut adalah untuk kepentingan korporasi itu sendiri, sehingga dengan sendirinya

pertanggungjawaban tersebut dibebankan kepada atasan (direktur) yang dalam hal ini

bertindak untuk dan atas nama korporasi. Keuntungan yang diperoleh dari hasil

kejahatan yang dilakukan oleh bawahan pada dasarnya akan kembali dan merupakan

keuntungan dari korporasi. Alangkah tidak adil jika yang dibebani

pertanggungjawaban adalah bawahan atas kesalahan yang dia lakukan, sedangkan dia

sendiri bekerja untuk kepentingan korporasi, dan keuntungan yang diperoleh tidak

dimiliki olehnya, tetapi dimiliki oleh korporasi.

Pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada atasan (direktur) atas dasar

pertanggungjawaban pengganti (vicarious liability) dimaksudkan untuk mencegah atau

paling tidak meminimalisir tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi melalui

pengurusnya. Hal ini karena korporasi memainkan peranan penting dalam segala aspek

kehidupan, dan tidak jarang korporasi mempunyai peranan yang sangat besar bagi

terjadinya kejahatan-kejahatan yang menimbulkan korban dan kerugian yang sangat

besar bagi masyarakat. Dengan adanya pembebanan pertanggungjawaban pidana

Page 94: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

94

kepada atasan (direktur) yang merupakan kepanjangan tangan korporasi atas perbuatan

pidana yang dilakukan oleh bawahan, diharapkan korporasi (melalui

pengurus/direktur) dapat lebih berhati-hati di dalam menjalankan aktivitasnya,

khususnya yang bersinggungan langsung dengan kepentingan masyarakat luas.

Aktivitas korporasi tidak hanya memikirkan bagaimana memperoleh

keuntungan yang sebanyak-banyaknya, tetapi lebih jauh juga memikirkan atau

mengkaji kemungkinan-kemungkinan negatif yang akan timbul akibat aktivitasnya itu,

yang tidak jarang menimbulkan kerugian yang sangat besar baik dibidang ekonomi,

sosial dan lain sebagainya.

1.5.4. Kemampuan Bertanggungjawab

Kemampuan bertanggung jawab dapat diartikan sebagai kondisi batin yang

normal atau sehat dan mampunyai akal seseorang dalam membeda-bedakan hal-hal

yang baik dan yang buruk.173 Atau dengan kata lain, mampu untuk menginsyafi sifat

melawan hukumnya suatu perbuatan dan sesuai dengan keinsyafan itu mampu untuk

menentukan kehendaknya.174 Jadi, paling tidak ada dua faktor untuk menentukan

adanya kemampuan bertanggung jawab, yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal,

yaitu dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak

diperbolehkan. Sedangkan kehendak, yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya

dengan keinsyafan atas sesuatu yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan.

173 M. Abdul Kholiq, 2002, Buku Pedoman Kuliah Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas

Islam Indonesia, Yogyakarta, hlm. 129. 174 Roeslan Saleh, Op.Cit, hlm. 80.

Page 95: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

95

Keadaan batin yang normal atau sehat ditentukan oleh faktor akal pembuat.

Akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan perbuatan yang

tidak boleh dilakukan. Kemampuan pembuat untuk membeda-bedakan perbuatan yang

boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan, menyebabkan yang bersangkutan dapat

dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, ketika melakukan tindak pidana. Dapat

dipertanggungjawabkan karena akalnya yang sehat dapat membimbing kehendaknya

untuk menyesuaikan dengan yang ditentukan oleh hukum. Padanya diharapkan untuk

selalu berbuat sesuai dengan yang ditentukan hukum.175

Pembuat dapat dipertanggungjawabkan dalam hal ini berarti pembuat

memenuhi syarat untuk dipertanggungjawabkan. Mengingat asas ‘tiada

pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan’ maka pembuat dapat

dipertanggungjawabkan jika mempunyai kesalahan. Keadaan batin pembuat yang

normal atau akalnya dapat membeda-bedakan perbuatan yang boleh dilakukan dan

yang tidak boleh dilakukan, atau mampu bertanggung jawab, merupakan sesuatu yang

berada di luar pengertian kesalahan. Mampu bertanggung jawab adalah syarat

kesalahan, sehingga bukan merupakan bagian dari kesalahan itu sendiri. Oleh karena

itu, terhadap subjek hukum manusia mampu bertanggung jawab merupakan unsur

pertanggungjawaban pidana, sekaligus sebagai syarat kesalahan.176

Andi Zainal Abidin mengatakan bahwa kebanyakan undang-undang

merumuskan syarat kesalahan secara negatif. KUHP di seluruh dunia pada umumnya

175 Chairul Huda, Op.Cit, hlm. 89. 176 Ibid.

Page 96: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

96

tidak mengatur tentang kemampuan bertanggung jawab. Yang diatur ialah

kebalikannya, yaitu ketidakmampuan bertanggung jawab.177 Demikian halnya dengan

ketentuan Pasal 44 KUHP yang berbunyi:

(1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungkan

padanya, karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena

penyakit, tidak dipidana.

(2) Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya

karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka

Hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit

jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

Pasal ini menentukan bahwa pelaku perbuatan pidana baru bisa dianggap tidak

mampu bertanggung jawab atas perbuatannya, apabila dalam dirinya terjadi salah satu

di antara dua hal, yaitu sebagai berikut:

1. Jiwa pelaku mengalami cacat mental sejak pertumbuhannya, hingga akalnya

menjadi kurang sempurna untuk membedakan antara yang baik dan yang buruk.

Contohnya adalah orang idiot yang melakukan perbuatan pidana.

2. Jiwa pelaku mengalami gangguan kenormalan yang disebabkan oleh suatu

penyakit, hingga akalnya menjadi kurang berfungsi secara sempurna atau

kurang optimal untuk membedakan hal-hal yang baik dan yang buruk.

Contohnya adalah orang gila atau orang yang berpenyakit epilepsi yang

melakukan perbuatan pidana.178

Rancangan KUHP (RKUHP) tahun 2018, menyatakan kemampuan

bertanggung jawab tidak hanya dua hal sebagaimana dalam KUHP, tetapi diperluas

ruang lingkupnya.

Pasal 42 RKUHP 2018 menyatakan:

177 Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana I, Cetakan Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm. 260.

Lihat juga Roeslan Saleh, Op.Cit., hlm. 82. 178 M. Abdul Kholiq AF, Op.Cit, hlm. 130.

Page 97: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

97

Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana menderita disabilitas

mental dan/atau disabilitas intelektual tidak dapat dimintai

pertanggungjawaban dan tidak dapat dijatuhi pidana, tetapi dapat dikenai

tindakan.

Pasal 43 RKUHP 2018 menyatakan:

Setiap Orang yang pada waktu melakukan Tindak Pidana kurang dapat dimintai

pertanggungjawaban karena menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, retardasi

mental, atau disabilitas mental lainnya dapat dikurangipidananya dan dikenai

tindakan.

Pasal 42 konsep RKUHP di atas menentukan bahwa tidak dapat dipertang-

gungjawabkan seseorang dalam hukum pidana ditandai oleh adanya disabilitas mental

dan/atau disabilitas intelektual. Gangguan jiwa, penyakit jiwa, retardasi mental, atau

disabilitas mental lainnya juga menjadi pertanda orang kurang mampu bertanggung

jawab, sebagaimana diatur dalam Pasal 43 RKUHP. Chairul Huda mengatakan bahwa

tidak jelas betul batas antara tidak dan kurang dapat dipertanggungjawabkan itu. Kapan

gangguan jiwa, penyakit jiwa, dan retardasi mental mengakibatkan pembuatnya tidak

dapat atau kurang dapat dipertanggungjawabkan, tidak dengan mudah menentukannya.

Padahal konsekuensinya sangat berlainan.179

Tidak dapat dipertanggungjawabkan mengakibatkan tidak dapat dijatuhi

pidana. Berarti, ketika ditemukan tanda seseorang tidak mampu bertanggung jawab dan

179 Chairul Huda, Op.Cit., hlm. 96.

Page 98: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

98

karenanya dipandang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana, maka

proses pertanggungjawabannya berhenti sampai di sini. Orang itu hanya dapat

dikenakan tindakan, tetapi tidak dapat dikenakan pidana. Tidak pula perlu diperiksa

apakah ada salah satu bentuk kesalahan dan alasan penghapus kesalahan dalam dirinya.

Sementara itu, kurang dapat dipertanggungjawabkan hanya berakibat pengurangan

pidana, tetapi tidak dimaksudkan untuk menghapuskan pidana. Persoalan lainnya,

apakah terhadap orang yang kurang mampu dapat dipertanggungjawabkan itu, proses

hukumnya diteruskan hingga diselidiki mengenai bentuk kesalahan dan ketiadaan

alasan penghapus kesalahan.180

Tindakan dokter dalam euthanasia tergolong perbuatan yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan, karena menurut penulis walaupun kriteria yang terdapat

dalam Pasal 44 KUHP tidak terpenuhi tetapi keadaan batin seorang dokter saat itu

dalam kondisi yang tidak normal. Keadaan batin seorang dokter pasti akan terganggu

saat melihat kondisi pasien yang memprihatinkan dengan keadaan amat kesakitan

dalam jangka waktu yang tidak menentu. Desakan untuk mengakhiri hidup pasien terus

disampaikan oleh pasien sendiri atau melalui keluarganya sehingga dokter tidak

memiliki kehendak yang bebas untuk memilih berbuat lain selain euthanasia. Dalam

hal inilah dokter dikatakan tidak mempunyai kemampuan bertanggungjawab.

180 Ibid.

Page 99: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

99

1.5.5. Kesengajaan dan Kealpaan Kaitannya dengan Euthanasia

1.5.5.1. Pengertian Kesengajaan dan Bentuk-Bentuknya

Wetboek van Srafrecht tahun 1908 mengartikan kesengajaan sebagai kehendak

untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang atau

diharuskan oleh undang-undang.181 Sedangkan menurut Memorie van Toelichting

kesengajaan sama dengan “willens en wetens”atau diketahui atau dikehendaki.182

Satochid Kartanegara berpendapat bahwa yang dimaksud “willens en wetens” adalah

seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sengaja harus menghendaki

(willen) perbuatan itu serta harus menginsyafi atau mengerti (weten) akan akibat dari

perbuatan itu.183

Sehubungan dengan hubungan batin antara si pembuat dan perbuatannya yang

berisi menghendaki dan mengetahui, maka dalam ilmu hukum pidana terdapat dua

teori, yaitu teori kehendak yang dikemukakan oleh Von Hippel dalam “Die Grenze von

Vorsatz und Fahrlassigkeil”1903 dan teori membayangkan yang dikemukakan oleh

Frank dalam “Festcshrift Gieszen”1907. Teori kehendak menyatakan bahwa kehendak

membuat suatu tindakan dan kehendak menimbulkan suatu akibat karena tindakan itu.

Dengan demikian, “sengaja” adalah apabila akibat suatu tindakan dikehendaki, apabila

akibat itu menjadi maksud benar-benar dari tindakan yang dilakukan tersebut.

181 D. Schaffmeister, N. Keijzer, PH. Sutorius, 1995, Hukum Pidana, Editor Penerjemah, J.E

Sahetapy, Liberty, Yogyakarta, hlm. 87. 182 E Utrecht, 1986, Hukum Pidana I, PustakaTinta Emas, Surabaya, hlm. 300. 183 Satochid Kartanegara, TanpaTahun, Hukum Pidana, Bagian Satu, Hukum Pidana, Bagian

Dua, Balai Lektur Mahasiwa, Jakarta, hlm. 291.

Page 100: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

100

Teori membayangkan adalah manusia hanya dapat menghendaki suatu

tindakan, manusia tidak mungkin menghendaki suatu akibat, manusia hanya dapat

menginginkan, mengharapkan atau membayangkan kemungkinan adanya suatu akibat.

Rumus Frank berbunyi: “sengaja apabila suatu akibat yang ditimbulkan karena suatu

tindakan dan oleh sebab itu tindakan yang bersangkutan dilakukan sesuai dengan

bayangan yang lebih dahulu telah dibuat tersebut.”184

Kesengajaan yang merupakan corak sikap batin yang menunjukkan tingkatan

atau bentuk kesengajaan dibagi menjadi tiga, yaitu kesengajaan sebagai maksud (opzet

als oogmerk), kesengajaan sebagai kemungkinan (opzet bij mogelijkheidswustzijri),

dan kesengajaan sebagai kepastian (opzet bij noodzakelijkheids). Kesengajaan sebagai

maksud mengandung unsur willes en wetens, yaitu bahwa pelaku mengetahui dan

menghendaki akibat dan perbuatannya; arti maksud disini adalah maksud untuk

menimbulkan akibat tertentu. Kesengajaan sebagai kepastian adalah dapat diukur dari

perbuatan yang sudah mengerti dan menduga bagaimana akibat perbuatannya atau hal-

hal mana nanti akan turut serta mempengaruhi akibat perbuatannya. Pembuat sudah

mengetahui akibat yang akan terjadi jika ia melakukan suatu perbuatan pidana.

Sedangkan kesengajaan sebagai kemungkinan terjadi apabila pelaku memandang

akibat dari apa yang akan dilakukannya tidak sebagai hal yang niscaya terjadi,

melainkan sekedar sebagai suatu kemungkinan yang pasti.

184 Dwidja Priyatno, Op.Cit.,hlm. 44.

Page 101: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

101

Secara teoretis terdapat dua bentuk kesengajaan (dolus), yaitu dolus malus dan

dolus eventualis. Dolus malus hakikatnya merupakan inti dari gabungan dari teori

pengetahuan (voorstelling theorie) dan teori kehendak (wilstheorie). Menurut teori

pengetahuan seseorang sudah dapat dikatakan sengaja melakukan perbuatan pidana

jika saat berbuat orang tersebut mengetahui atau menyadari bahwa perbuatannya itu

merupakan perbuatan yang dilarang oleh hukum.185 Teori ini menitik beratkan pada

apa yang dikehendaki atau yang dibayangkan oleh pelaku pada saat melakukan

perbuatan pidana.186 Sedangkan teori kehendak menyatakan, bahwa seseorang

dianggap sengaja melakukan suatu perbuatan pidana apabila orang itu menghendaki

dilakukannya perbuatan itu. Dalam konteks ini, kesengajaan merupakan kehendak

yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan seperti yang dirumuskan dalam undang-

undang.187

Dolus eventualis adalah sengaja yang bersifat kemungkinan. Dikatakan

demikian karena pelaku yang bersangkutan pada waktu ia melakukan perbuatan untuk

menimbulkan suatu akibat yang dilarang oleh undang-undang telah menyadari

kemungkinan akan timbulnya suatu akibat lain dari akibat yang memang ia kehendaki.

Jika kemungkinan yang ia sadari itu kemudian menjadi kenyataan, terhadap kenyataan

tersebut ia katakan mempunyai suatu kesengajaan.188

185 M. Adul Kholiq, Op.Cit, hlm. 133. 186 Sudarto, Diktat Hukum Pidana Jilid A-B, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang,

1975, hlm. 16. 187 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 186. 188 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, Sinar Baru, Bandung, 1984, hlm. 301.

Page 102: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

102

Van Bemmelan mengatakan bahwa yang dinamakan dolus eventualis adalah

kesengajaan bersyarat yang bertolak dari kemungkinan, dalam arti tidak pernah lebih

banyak dikehendaki kemungkinan matinya orang lain itu misalnya. Seseorang yang

menghendaki kemungkinan matinya orang lain, tidak dapat dikatakan bahwa ia

menghendaki supaya orang itu mati. Tetapi, jika seseorang melakukan suatu perbuatan

dengan kesadaran bahwa perbuatannya akan dapat menyebabkan matinya orang lain,

hal itu menunjukkan bahwa ia memang menghendaki kematian orang itu.189

Berdasarkan uraian mengenai dolus eventualis di atas dapat disimpulkan bahwa

pelaku tindak pidana menyadari bahwa perbuatannya itu sangat mungkin akan

menimbulkan terjadinya akibat tertentu yang dilarang hukum. Namun meski ia

menyadari hal itu, sikap yang muncul pada dirinya bukannya menjauhi perbuatan itu,

melainkan justru tetap melakukannya dengan berpandangan bahwa kalaupun akibat

tertentu yang dilarang hukum akan terjadi, ya apa boleh buat. Dalam hubungan inilah,

dolus eventualis juga disebut dengan inklauf nehmen theorie atau teori apa boleh

buat.190 Hal ini serupa dengan tindakan seorang dokter yang mencabut alat bantu

pernafasan (repirator), seorang pasien yang dinyatakan sudah tidak dapat disembuhkan

lagi penyakitnya. Dokter yang mencabut respirator tersebut mengetahui pasien tidak

akan bertahan lama dan akan segera mengalami kematian.

189 Leden Marpaung, 2005, Asas-Teori-Praktik Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Sinar Grafika,

Jakarta, hlm. 18. 190 Tongat, Op.Cit, hlm. 247.

Page 103: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

103

1.5.5.2. Pengertian Kealpaan dan Bentuk-Bentuknya

KUHP tidak memberikan penjelasan tentang pengertian kealpaan (culpa),

sehingga secara formal tidak ada penjelasan mengenai apa yang dimaksud dengan

kealpaan. Oleh karena itu, pengertian kealpaan harus dicari dalam pendapat para ahli

hukum pidana dan dijadikan sebagai dasar untuk membatasi apa itu kealpaan. Terdapat

beberapa istilah yang digunakan untuk menunjuk pada kata ‘kealpaan’, seperti

recklessness, neglience, sembrono, dan teledor.191

Simons menyatakan pada umumnya kealpaan itu terdiri atas dua bagian, yaitu

tidak berhati-hati melakukan suatu perbuatan, di samping dapat menduga akibatnya.

Namun, meskipun suatu perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin juga

terjadi kealpaan yang berbuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin

akan timbul suatu akibat yang dilarang undang-undang. Kealpaan terjadi apabila

seseorang tetap melakukan perbuatan itu meskipun ia telah mengetahui atau menduga

akibatnya. Dapat diduganya akibat itu lebih dahulu oleh pelaku adalah suatu syarat

mutlak. Suatu akibat yang tidak dapat diduga lebih dahulu tidak dapat

dipertanggungjawabkan kepadanya sebagai kealpaan.192

Moeljatno mengatakan bahwa kealpaan adalah suatu struktur yang sangat

gecompliceerd, yang di satu sisi mengarah pada kekeliruan dalam perbuatan seseorang

secara lahiriah, dan di sisi lain mengarah pada keadaan batin orang itu. Dengan

pengertian demikian, maka di dalam kealpaan (culpa) terkandung makna kesalahan

191 Tongat, Op.Cit, hlm. 276. 192 Leden Marpaung, Op.Cit., hlm. 25.

Page 104: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

104

dalam arti luas yang bukan berupa kesengajaan. Terdapat perbedaan antara

kesengajaan dan kealpaan, di mana dalam kesengajaan terdapat suatu sifat positif, yaitu

adanya kehendak dan persetujuan pelaku untuk melakukan suatu perbuatan yang

dilarang. Sedangkan dalam kealpaan sifat positif ini tidak ditemukan.193

Berdasarkan pengertian kealpaan di atas dapat disimpulkan bahwa dikatakan

culpa jika keadaan batin pelaku perbuatan pidana bersifat ceroboh, teledor, atau kurang

hati-hati sehingga perbuatan dan akibat yang dilarang oleh hukum terjadi. Jadi dalam

kealpaan ini, pada diri pelaku sama sekali memang tidak ada niat kesengajaan sedikit

pun untuk melakukan suatu perbuatan pidana yang dilarang hukum. Meskipun

demikian, ia tetap patut dipersalahkan atas terjadinya perbuatan dan akibat yang

dilarang hukum itu karena sikapnya yang ceroboh tersebut. Hal ini dikarenakan nilai-

nilai kepatutan yang ada dalam kehidupan masyarakat mengharuskan agar setiap orang

memiliki sikap hati-hati dalam bertindak.

Modderman menyatakan terdapat dua bentuk kealpaan (culpa), yaitu kealpaan

yang disadari (bewuste culpa) dan kealpaan yang tidak disadari (onbewuste culpa). Dia

mengatakan bahwa corak kealpaan yang paling ringan adalah orang menggunakan

pelanggaran hukum dengan tidak diinsyafi sama sekali. Dia tidak tahu, tidak berfikir

dengan panjang atau tidak bijaksana. Tetapi corak kealpaan yang lebih berat adalah

yang dinamakan dengan bewuste shuld, yaitu kalau pada waktu berbuat kemungkinan

menimbulkan akibat yang dilarang itu telah diinsyafi, tetapi karena kepandaiannya atau

193 Moeljatno, Op.Cit., hlm. 217.

Page 105: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

105

diadakannya tindakan-tindakan yang mencegahnya, kemungkinan itu diharapkan tidak

akan timbul.194

Bentuk kealpaan yang disadari (bewuste culpa) adalah pelaku dapat menyadari

tentang apa yang dilakukan beserta akibatnya, tetapi ia percaya dan berharap bahwa

akibat buruk itu tidak akan terjadi.195 Pelaku telah membayangkan atau menduga akan

timbulnya suatu akibat, tetapi walaupun ia berusaha untuk mencegah, akibat itu terjadi

juga.196 Sedangkan dalam kealpaan yang tidak disadari (onbewuste culpa) pelaku tidak

membayangkan atau menduga akan timbulnya suatu akibat yang dilarang dan diancam

pidana oleh undang-undang, padahal ia seharusnya memperhitungkan akan timbulnya

akibat itu.197 la tidak memperhitungkan adanya kemungkinan akan timbulnya akibat

yang dilarang dan diancam pidana.

Berkaitan dengan penjelasan mengenai kealpaan yang disadari (bewuste culpa),

perlu dikemukakan bahwa selintas bentuk kealpaan yang disadari ini mirip atau hampir

sama dengan dolus eventualis. Memang, terdapat persamaan antara bewuste culpa dan

dolus eventualis, yaitu pelaku perbuatan pidana baik pada bewuste culpa maupun dolus

eventualis sejak semula sama-sama telah memiliki kesadaran atau pikiran bahwa

perbuatannya sangat mungkin dapat menimbulkan akibat tertentu yang dilarang

hukum.198 Namun demikian, antara bewuste culpa dan dolus eventualis memiliki

194 Ibid., hlm. 227. 195 Tongat, Op.Cit., hlm. 289. 196 Leden Marpaung, Op.Cit, hlm. 26 197 Ibid. 198 M. Abdul Kholiq, Op.Cit., hlm. 139.

Page 106: BAB II TINJAUAN UMUM 1.1. Politik Hukum dan Politik Hukum ... · yang akan, sedang dan yang telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai

106

perbedaan, yaitu pada tindak lanjut dan sikap pelaku terhadap akibat yang dilarang

hukum yang benar-benar terjadi. Dalam bewuste culpa sikap pelaku perbuatan pidana

terhadap akibat yang terjadi adalah menyesalinya. Hal ini karena sebenarnya ia tetap

ingin menghindari kemungkinan terjadinya akibat. Sedangkan dalam dolus eventualis

sikap pelaku perbuatan pidana terhadap akibat yang terjadi adalah apa boleh buat,

dalam arti tidak ada penyesalan pada diri pelaku.199

Sejak awal, dokter berusaha untuk menyembuhkan penyakit pasiennya. Dokter

akan berusaha sekuat tenaga dengan menerapkan ilmu pengetahuan kedokteran untuk

menyembuhkan pasien-pasiennya. Namun, apabila penyakit pasien sudah kritis dan

tidak dapat tertolong lagi maka dokter akan menghentikan perawatan dan pengobatan

yang sia-sia tersebut. Pihak keluarga sudah kehabisan dana untuk biaya pengobatan di

rumah sakit, sehingga menginginkan agar dirawat di rumah. Dokter sengaja

menghentikan pengobatannya dan mengetahui apabila dibiarkan dirawat di rumah

maka dalam waktu yang tidak lama, si pasien akan meninggal dunia. Walaupun dokter

sudah berusaha menyembuhkan pasien, namun pasien tetap meninggal akibat

penyakitnya. Hal ini merupakan bentuk kealpaan yang disadari.

199 Ibid., hlm. 140.