Page 1
6
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1 Klasifikasi Proses Pemesinan
Pahat yang bergerak relatif terhadap benda kerja akan menghasilkan
geramdan sementara itu permukaan benda kerja secara bertahap akan berbentuk
menjadi komponen yang dikehendaki. Untuk sementara,dapat diklasifikasikan dua
jenis pahat yaitu pahat bermata potong tunggal (single point cutting tools) dan pahat
bermata potong jamak (multiple points cutting tools).Gerak relatif dari pahat terhadap
benda kerja dapat dipisahkan menjadi dua macam komponen gerakan yaitu gerak
potong (cutting movement) dan gerak makan (feeding movement). Menurut jenis
kombinasi dari gerak potong dan gerak makan maka proses pemesinan
dikelompokkan menjadi tujuh macam proses berlainan, yaitu:
1. Proses membubut (Turning)
2. Proses menggurdi (Drilling)
3. Proses mengefreis (Milling)
4. Proses menggerinda rata (Surface Grinding)
5. Proses menggerinda silindris (Cylindrical Grinding)
6. Proses menyekrap (Shaping, Planning)
7. Proses menggergaji atau memarut (Sawing, Broaching)
Page 2
7
Gambar 2.1 Klasifikasi proses pemesinan menurut jenis gerakan relatif
pahat/perkakas
(http://desainmanufaktur.bayuwiro.net/index.php/2015/12/02/klasifikasi-mesin-
perkakas/)
Selain dari kalsifikasi menurut gerak relatif pahat terhadap benda kerja, yang
menghasilkan tujuh macam proses seperti diatas, secara lebih terperinci proses
pemesinan dapat diklasifikasikan menurut tujuan dan cara pengerjaan atau mesin
perkakas yang digunakan sebagaimana yang diperlihatkan pada tabel 2.1.
Page 3
8
Jenis Proses Mesin Perkakas yang digunakan
1. Membubut (Turning) Mesin bubut (Lathe)
2. Menggurdi (Drilling) Mesin Gurdi (Drilling Machine)
3. Menyekrap (Shaping, Planing) Mesin Sekrap (Shaping Machine)
dan Mesin Sekrap Meja (Planing
Machine)
4. Mengefreis (Milling) Mesin Freis (Milling Machine)
5. Menggergaji (Sawing) Mesin Gergaji (Sawing Machine)
6. Mengkoter/Melebarkan
lubang (Boring)
Mesin Koter (Boring Machine)
7. Memarut (Broaching) Mesin Parut / Mesin Broc (Broaching
Machine)
8. Menggerinda (Grinding) Mesin Gerinda (Grinding Machine)
9. Mengasah (Honing) Mesin Asah (Honing Machine)
10. Mengasah halus (Lapping) Mesin Asah Halus (Lapping Machine)
11. Mengasah Super Halus
(Super Finishing)
Mesin Asah Super Halus / Mesin Asah
Kaca
(Super/Mirror Finishing)
12. Mengkilapkan (Polishing & Buffer) Mesin Pengkilap (Polisher & Buffer)
Tabel 2.1 Klasifikasi proses pemesinan menurut jenis mesin perkakas yang
digunakan (Rochim, 1985)
Page 4
9
Tabel 2.1 tersebut menggambarkan jenis proses pemesinan dan mesin
perkakas yang biasanya digunakan untuk melakukannya. Beberapa jenis proses
mungkin dapat dilakukan pada satu mesin perkakas.
Misalnya, mesin bubut tidak selalu digunakan untuk membubut saja
melainkan dapat pula digunakan untuk menggurdi, memotong dan melebarkan lubang
(mengkoter) dengan cara menggantikan pahat yang sesuai, atau bahkan dapat
digunakan untuk mengefreis, menggerinda, atau mengasah halus pada mesin bubut
yang bersangkutan dapat dipasangkan peralatan tambahan (attaclments) yang khusus.
(Rochim, 1985).
2.2 Elemen Dasar Proses Pemesinan
Berdasarkan gambar teknik, dimana dinyatakan spesifikasi geometris suatu
komponen mesin, salah satu atau beberapa jenis proses pemesinan yang telah
disinggung diatas harus dipilih sebagai suatu proses atau urutan proses yang
digunakan untuk membuatnya. Bagi satu tingkatan proses, ukuran obyektif
ditentukan dan pahat membuang sebagian material benda kerja sampai ukuran
obyektif tersebut dicapai. Hal ini dapat dilaksanakn dengan caara menentukan
penampang geram (sebelum terpotong) dan selain itu setelah berbagai aspek
teknologi ditinjau, kecepatan buangan geram dipilih supaya waktu pemotongan sesuai
dengan yang dikehendaki. Situasi seperti ini timbul pada setiap perencanaan proses
pemesinan dengan demikian dapat dikemukakan lima elemen dasar proses
pemesinan, yaitu:
Page 5
10
1. Kecepatan potong (cutting speed) : 𝑣 (𝑚/𝑚𝑖𝑛)
2. Kecepatan makan (feeding speed) : 𝑣𝑓 (𝑚𝑚/𝑚𝑖𝑛)
3. Kedalaman potong (depth of cut) : 𝑎 (𝑚𝑚)
4. Waktu pemotongan (cutting time) : 𝑡𝑐 (𝑚𝑖𝑛)
5. Kecepatan penghasilan geram
(rate of metal removal) : 𝑍 ( 𝑐𝑚3/𝑚𝑖𝑛)
Elemen proses pemesinan tersebut dihitung berdasarkan dimensi benda kerja
dan/atau pahat serta besaran mesin perkakas. Besaran mesin perkakas yang dapat
diatur bermacam-macam tergantung dari jenis mesin perkakas. Oleh karena itu rumus
yang dipakai untuk menghitung setiap elemen proses pemesinan dapat berlainan.
Ditinjau dari proses pemesinan yang umum dikenal yaitu proses membubut. Dengan
memahami keadaan yang terjadi dalam proses membubut dapatlah hal itu dipakai
sebagai patokan untuk perbandingan dengan keadaan yang terjadi pada proses
pemesinan yang lain. (Rochim, 1985).
Page 6
11
2.3 Proses Membubut (Turning)
Gambar 2.2 Mesin bubut (Lathe)
(http://kedepankanpena.blogspot.co.id/2016/02/proses-membubut-turning.html)
Benda kerja dipegang oleh pencekam yang dipasangkan diujung poros utama,
lihat gambar 2.2. Dengan mengatur lengan pengatur yang terdapat pada sisi muka
kepala diam, putaran poros utama (n) dapat dipilih. Harga putaran poros utama
umumnya dibuat bertingkat, dengan aturan yang sudah distandarkan, misalnya: 630,
710, 800, 900, 1000, 1120, 1250, 1400, 1600, 1800, dan 2000 rpm. Untuk mesin
bubut dengan putaran motor variabel, ataupun dengan sistem transmisi variabel,
kecepatan poros utama tidak lagi bertingkat melainkan berkesinambungan (continue).
Pahat dipasangkan pada dudukan pahat dan kedalaman potong (a) diatur dengan
menggeserkan peluncur silang melalui roda pemutar (skala pada pemutar
Page 7
12
menunjukkan selisih harga diameter, dengan demikian kedalaman potong adalah
setengah harga tersebut). Pahat bergerak translasi bersama-sama dengan kereta dan
gerak makannya diatur dengan lengan pengatur pada rumah roda gigi. Gerak makan
(f) yang tersedia pada mesin bubut bermacam-macam dan menurut tingkatan yang
telah distandarkan, misalnya : ......, 0.1, 0.112, 0.125, 0.14, 0.16, ...... (mm/r).
Gambar 2.3 Proses Membubut
(http://kedepankanpena.blogspot.co.id/2016/02/proses-membubut-turning.html)
Elemen dasar dari proses membubut dapat diketahui atau dihitung dengan
menggunakan rumus yang dapat diturunkan dengan memperhatikan gambar 2.3.
Kondisi pemotongan ditentukan sebagai berikut:
Benda kerja : 𝑑𝑜 = diameter mula (mm)
𝑑𝑚 = diameter akhir (mm)
ℓ𝑡 = panjang pemesinan (mm)
Page 8
13
Pahat : 𝑘𝑟 = sudut potong utama (°)
Ɣ𝑜 = sudut geram (°)
Mesin bubut : a = kedalaman potong (mm)
f = gerak makan (mm/r)
n = putaran poros utama (r/min)
Elemen dasar dapat dihitung dengan rumus - rumus sebagai berikut :
1. Kecepatan potong : 𝑣 = 𝜋 . 𝑑 . 𝑛
1000 (m/min)................. (2.1)
Dimana, d = diameter rata – rata
= (𝑑𝑜 + 𝑑𝑚) / 2 = 𝑑𝑜 (mm)..................... (2.2)
2. Kecepatan makan : 𝑣𝑓 = f . n (mm/min).................... (2.3)
3. Waktu pemotongan : 𝑡𝑐 = ℓ𝑡 / 𝑣𝑓 (min)....................... (2.4)
4. Kecepatan penghasilan geram : 𝑍 = A . 𝑣
Dimana, A = penampang geram sebelum terpotong
A = f . a (𝑚𝑚2)............................................. (2.5)
Maka : 𝑍 = f . a . 𝑣 (𝑐𝑚3/𝑚𝑖𝑛)............... (2.6)
Page 9
14
Pada gambar 2.3 diperlihatkan sudut potong utama (𝑘𝑟 principal cutting edge
angle) yaitu merupakan sudut antara mata potong mayor (proyeksinya pada bidang
referensi) dengan kecepatan makan 𝑣𝑓. Besarnya sudut tersebut ditentukan oleh
geometri pahat dan cara pemasangan pahat pada mesin perkakas (orientasi
pemasangannya). Untuk harga a dan b yang tetap maka sudut ini menentukan
besarnya lebar pemotongan (b, width of cut) dan tebal geram sebelum terpotong (h,
underformed chip thickness) sebagai berikut :
1. Lebar pemotongan : b = a / sin 𝑘𝑟 (mm)................................ (2.7)
2. Tebal geram sebelum terpotong : h = f sin 𝑘𝑟 (mm)............. (2.8)
Dengan demikian penampang geram sebelum terpotong dapat dituliskan sebagai
berikut :
A = f . a = b . h
Perlu dicatat bahwa tebal geram sebelum terpotong (h) belum tentu sama
dengan tebal geram (ℎ𝑐 , chip thickness) dan hal ini antara lain dipengaruhi oleh sudut
geram (Ɣ𝑜), kecepatan potong dan material benda kerja. (Rochim, 1985).
Page 10
15
2.4 Material Pahat
Proses pembentukan geram dengan cara pemesinan berlangsung dengan cara
mempertemukan dua jenis material. Untuk menjamin kelangsungan proses ini maka
jelas diperlukan material pahat yang lebih unggul daripada material benda kerja.
Keunggulan tersebut dapat dicapai karena pahat dibuat dengan memperhatikan
berbagai segi yaitu :
1. Kekerasan : yang cukup tinggi melebihi kekerasan benda kerja tidak saja pada
temperature ruang melainkan juga pada temperature tinggi pada saat proses
pembentukan geram berlangsung.
2. Keuletan : yang cukup besar untuk menahan beban kejut yang terjadi sewaktu
pemesinan dengan innterupsi maupun sewaktu memotong benda kerja yang
mengandung partikel/bagian yang keras (hard spot).
3. Ketahanan beban kejut termal : diperlukan jika terjadi perubahan temperature
yang cukup besar secara berkala/periodik.
4. Sifat adhesi yang rendah : untuk mengurangi afinitas benda kerja terhadap
pahat, mengurangi laju keausan, serta penurunan gaya pemotongan.
5. Daya larut elemen/komponen material pahat yang rendah : dibutuhkan untuk
memperkecil laju keausan akibat mekanisme difusi.
Page 11
16
Kekerasan yang rendah dan daya adhesi yang tinggi tidak diinginkan sebab
mata potong akan terderfomasi, terjadi keausan tepi dan keausan kawah yang besar.
Keuletan yang rendah serta ketahanan beban kejut termal yang kecil mengakibaatkan
rusaknya mata potong maupun retak mikro yang menimbulkan keruskan fatal. Sifat –
sifat unggul seperti diatas memang perlu dipunyai oleh material pahat.
Akan tetapi tidak semua sifat tersebut dapat dipenuhi sepenuhnya secara
bertimbang. Pada umumnya kekerasan dan daya tahan termal yang dipertinggi selalu
diikuti penurunan keuletan. Berbagai penelitian dilakukan untuk mempertinggi
kekerasan dan menjaga supaya keuletan tidak terlalu rendah sehingga pahat tersebut
dapat digunakan pada kecepatan potong yang tinggi. Hal ini bisa dimaklumi karena
peninggian kecepatan potong berarti menaikkan produktifitas.
Gambar 2.4 Sejarah perkembangan material pahat ditinjau dari segi
kecepatan potong (Rochim, 1985).
Page 12
17
Gambar 2.5 Kekerasan berbagai jenis bahan pahat pada temperature kerja
yang tinggi (Hot Hardness) dan kekerasannya pada temperature
ruang setelah mengalami temperature kerja yang tinggi selama
beberapa saat (Recovery Hardness) (Rochim, 1985).
Pada mulanya untuk memotong baja digunakan baja karbon tinggi sebagai
bahan perkakas potong dimana kecepatan potong pada waktu itu hanya bisa mencapai
sekitar 10 m/menit. Berkat kemajuan teknologi, kecepatan potong ini dapat dinaikkan
sehingga mencapai sekitar 700 m/menit yaitu dengan menggunkan CBN (Cubic
Boron Nitride), lihat gambar 2.3. kecepatan potong yang tinggi tersebut dapat dicapai
berkat kekerasannya relatif tetap tinggi meskipun temperature kerjanya cukup tinggi.
Gambar 2.4a memperlihatkan “Hot Hardness” atau kekerasan pada temperature kerja
yang tinggi dari berbagai material pahat, sedangkan gambar 2.4b menunjukkan
“Recovery Hardness” yaitu kekerasan pada temperature ruang ssetelah material yang
bersangkutan mengalami temperature kerja yang tinggi selama beberapa saat.
Page 13
18
Dari gambar tersebut dapat disimpulkan hanya material dari jenis karbida dan
keramiklah yang tetap berfungsi dengan baik pada kecepatan potong atau temperature
kerja yang tinggi. (Rochim, 1985).
Urutan sifat keuletan pahat yang tinggi dari yang paling lunak tetapi ulet
sampai yang paling keras tetapi getas, yaitu :
1. Baja Karbon (High Carbon Steel ; Carbon Tool Steel (CTS))
2. HSS (High Speed Steels)
3. Paduan Cor Nonferro (Cast Nonferrous Alloys ; Cast Carbides)
4. Karbida (Cemented Carbide ; Hardmetals)
5. Keramik (Ceramics)
6. CBN (Cubic Boron Nitride), dan
7. Intan (Sintered Diamonds & Natural Diamonds).
2.5 HSS (High Speed Steels)
Pada tahun 1898 ditemukan jenis baja paduan tinggi dengan unsur padu krom
(Cr) dan tungsten/wolfram (W). Melalui proses penuangan (Molten Metalurgy)
kemudian diikuti pengerolan ataupun penempaan baja ini dibentuk menjadi batang,
silinder. Pada kondisi lunak (Annealed) bahan tersebut dapat diproses secara
pemesinan menjadi berbagai bentuk pahat potong.
Setelah proses laku panas dilaksanakan kekerasannya akan cukup tinggi
sehingga dapat digunakan untuk kecepatan potong yang tinggi (sampai dengan 3 kali
kecepatan potong untuk pahat CTS yang dikenal pada saat itu sekitar 10m/menit,
Page 14
19
sehingga dinamakan dengan “Baja kecepatan tinggi”, High Speed Steels). Apabila
pahat HSS telah aus maka pahat tersebut dapat diasah sehingga mata potongnya
menjadi tajam kembali. Karena sifat keuletan yang relatif baik maka sampai saat ini
berbagai jenis pahat HSS masih tetap digunakan.
Gambar 2.6 Pahat HSS (High Speed Steel)
(https://fjb.kaskus.co.id/product/57ef604432e2e6bd2b8b456d/pahat-bubut-
bohler--hss/)
Hot Hardness dan Recovery Hardness yang cukup tinggi pada HSS dapat
dicapai berkat adanya unsur paduan W, Cr, V, Mo dan Co. Pengaruh unsur – unsur
tersebut pada unsur dasar besi (Fe) dan karbon (C) adalah sebagai berikut :
1. Tungsten/Wolfram (W) :
Tungsten atau Wolfram dapat membentuk karbida yaitu paduan yang
sangat keras (𝐹𝑒4 𝑊2 C) yang menyebabkan kenaikan temperature
untuk hardening dan tempering. Dengan demikian hot hardness
dipertinggi.
Page 15
20
2. Chromium (Cr) :
Menaikkan hardenability dan hot hardness. Chrome merupakan
elemen pembentuk karbida, akan tetapi menaikkan sensitivitas
terhadap overheating.
3. Vanadium (V) :
Menurunkan sensitivitas terhadap overheating serta menghaluskan
besar butir. Vanadium juga merupakan elemen pembentuk karbida.
4. Molybdenum (Mo) :
Mempunyai efek yang sama seperti W akan tetapi lebih terasa (2% W
dapat digantikan oleh 1% Mo). Dengan menambah 0.4 – 0,9% Mo
dalam HSS dengan campuran utama W (W-HSS) dapat menghasilkan
HSS yang mampu dikeraskan di udara (Air Hardening Properties).
Selain itu, Mo-HSS lebih liat sehingga mampu menahan beban kejut.
Kejelekannya adalah lebih sensitif terhadap overheating (hangusnya
ujung – ujung yang runcing).
5. Cobalt (Co)
Bukan elemen pembentuk karbida ditambahkan dalam HSS untuk
menaikkan hot hardness dan tahanan keausan. Besar butuir menjadi
lebih halus sehingga ujung – ujung yang runcing tetap terpelihara
selama heat treatment pada temperature tinggi.
Page 16
21
HSS dikategorikan sebagai HSS konvensional dan HSS spesial masing – masing
dengan beberapa jenisnya seperti yang dilihatkan pada tabel 2.2 berikut :
Jenis HSS Standar AISI
Conventional Hss
- Molybdenum HSS
- Tungsten HSS
Special HSS
- Cobalt Added HSS
- High Vanadium HSS
- High Hardness Co HSS
- Cast HSS
- Powdered HSS
- Coated HSS
M1 ; M2 ; M7 ; M10
T1 ; T2
M33 ; M36 ; T4 ; T5 ; T6
M3-1 ; M3-2 ; M4 ; T15
M41 ; M42 ; M43 ; M44 ; M45 ; M46
American Iron and Steel Institute
Tabel 2.2 Klasifikasi pahat HSS menurut komposisinya (Rochim,1985)
2.5.1 HSS Konvensional
HSS konvensional jenis T (Paduan utama Tungsten/Wolfram)
terutama digunakan untuk pahat-pahat yang kecil. Jenis ini dapat dipanaskan
pada tungku elektrik.
Page 17
22
Bagi jenis M (paduan utama Molybdenum) memerlukan proses laku
panas dengan tungku kolam garam (salt bath furnance), untuk menghindari
terjadinya dekarburasi. Tungku tersebut terdiri atas 3 bagian yaitu :
1. Preheat salt (berisi KCL dan NaCl, pada temperature 740 −
875𝑂𝐶)
2. High heat salt (berisi 𝐵𝑎 𝐶𝑙2, pada temperature 1150 − 1200𝑂𝐶)
3. Quenching salt (berisi 𝐶𝑎 𝐶𝑙2, KCL, NaCl, pada temperature
550 − 660𝑂𝐶).
Treatment M-1 M-2 M-7 M-10 T-1 T-2
Forging
temperature
(℃)
1050-1150 1050-1150 1050-1150 1050-1150 1070-1170 1070-1170
Annealing
temperature
(℃)
820-870 870-900 820-870 820-870 870-900 820-870
Anneal
cooling
(℃/ℎ𝑜𝑢𝑟)
25 25 25 25 25 25
Anneal
hardness
(HB)
207-235 212-241 217-255 207-235 217-255 223-255
Page 18
23
Hardening
preheat
temperature
(℃)
730-840 730-840 730-840 730-840 820-870 820-870
High heat
temperature
(℃)
1170-1230 1180-1240 1170-1230 1170-1230 1260-1300 1260-1300
Quenching
temperature
(℃)
550-630 550-630 550-630 550-630 550-630 550-630
Tempering
temperature
(℃)
550-600 550-600 550-600 550-600 550-600 550-600
Temper
hardness
(Rc)
60-65 60-65 61-66 60-65 60-65 60-65
Tabel 2.3 Proses laku panas bagi HSS konvensional (Rochim, 1985)
Dalam high heat salt bath furnance 𝐵𝑎 𝐶𝑙2 teroksidir menjadi Ba O
yang dihilangkan secara periodik (untuk mencegah terjadinya dekarburasi
pahat HSS) dengan menambahkan silika (menjadi Ba silicate yang terapung)
atau menambahkan methychlorida (menjadi 𝐵𝑎 𝐶𝑙2, melepaskan 𝐻2 dan CO).
Page 19
24
HSS konvensional biasanya memerlukan dua kali tempering, bila
diperlukan setelah pengasahan dapat dilakukan tempering yang ketigauntuk
menghilangkan tegangan sisa (stress releiving) ataupun sebagai proses
penghitaman (black oxide) untuk mencegah korosi.
HSS memerlukan proses heat treatment yang cermat untuk
memperoleh pahat dengan kekerasan dan ketelitian yang dikehendaki. Hasil
proses laku panas tersebut adalah suatu mikrostruktur martensit dengan
partikel karbida – karbida yang tersebar (dispersed). Pada temperature tinggi
karbida cenderung larut bercampur dengan besi dan mencegah pertumbuhan
butir. Semakin tinggi temperature tempering terjadi penurunan kekerasan
sampai pada suatu temperature tertentu (560𝑂𝐶) akan timbul pengerasan.
Pengerasan kembali ini terjadi karena terbentuknya partikel-partikel
kecil karbida dalam martensit. Jika temperature tempering dinaikkan maka
terjadi pembesaran butir sehingga kekerasannya menurun. Bila hal ini terjadi
prosedur heat treatment perlu diulang. (Rochim, 1985).
Page 20
25
2.6 Geometri Pahat
Ketiga sudut pahat yaitu, sudut utama (K), sudut geram (ɣ), dan sudut miring
(λ) memegang peranan dalam proses pemesinan. Selain itu masi ada beberapa sudut
pahat yang mempunyai fungsi tertentu untuk menjamin kelancaran proses pemesinan.
Gerak potong dan gerak makan dapat dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan
jenis mesin perkakas yang digunakan., maka bentuk/rupa pahat potong dapat
berlainan. Karena fungsinya sama, yaitu sebagai alat unutk mengahasilkan geram,
maka karakteristik geometris setiap paat akan sama.
Mata potong pahat tebentuk karena perpotongan dua bidang pahat. Orientasi
kedua bidang yang berpotongan tersebut ditentukan oleh sudut yang terbentuk yang
dapat diukur pada bidang ketiga. Karena orientasi/posisi dari bidang ketiga relatif
terhadap kedua biidang pahat yang saling berpotongan dapat ditentukan sembarang,
maka arga sudut pahat akan bermacam-macam pula. Lihat gambar 2.6 orientasi dari
bidang 𝐴ɣ terahadap bidang 𝑃r dapat ditentukan dengan pasti melalui sudut ɣg yang
diukur pada bidang ketiga yang tegak lurus garis perpotongan 𝑃r, dengan 𝐴ɣ yaitu
bidang 𝑃g. Jika tidak melalui bidang 𝑃g ini, maka paling sedikit diperlukan 2 bidang
ketiga yang tidak saling berimpit dengan 2 harga sudut (misalnya ɣf dan ɣp) untuk
menetapkan orientasi 𝐴ɣ terhadap 𝑃r.
Page 21
26
Gambar 2.7 Orientasi pada bidang pahat (Rochim, 1985).
Pahat dibuat menurut desain tertentu yang menurutu rencana pahat tersebut
nantinya akan dipasang pada mesin perkakas dengan orientasi yang tertentu
sedemikian rupa seingga sumbu-sumbu referensi arah pemakaman berimpit dengan
sumbu-sumbu referensi mesin perkakas. Orientasi/posisi pahat pada mesin perkakas
yang sedemikian ini disebut dengan posisi paling lazim (Most Natural Position) atau
posisi nol (zero position). Dalam prakteknya, operator mesin perkakas dapat
memasang pahat menurut kehendaknya (dengan tujuan tertentu) yang menyebabkan
sumbu-sumbu referensi arah pemakanan tidak lagi berimpit dengan sumbu-sumbu
referensi mesin.
Akibatnya sudut aktif yang didefinisikan pada sistem referensi arah
pemakanan dapat berubah sehingga mempengaruhi kondisi pemotongan
(memperbaiki, atau mungkin memperburuk bila sala menempatkan pahat).
Meskipun pahat dipasang pada posisi paling lazim (posisi nol) ada
kemungkinan sudut efektif (sudut pahat yang aktif memotong) akan berbeda dengan
harga sudut yang telah didefinisikan dalam sistem referensi yang digunakan untuk
Page 22
27
mengukur/atau membuat geometri pahat (sistem referensi pahat atau sistem arah
pemakanan). Hal ini dipengarui oleh kondisi pemotongan yang dipilih dimana vektor
kecepatan makan mungkin menjadi relatif besar sehingga dalam praktek vektor
kecepatan potong (primary motion) tidak lagi dianggap berimpit dengan vektor
kecepatan resultan. (Rochim, 1985).
2.7 Elemen, Bidang, dan Mata Potong Pahat
Untuk mengenal bentuk geometrinya, pahat harus diamati secara sistematis.
Pertama-tama perlu dibedakan 3 hal pokok yaitu elemen, bidang aktif, dan mata
potong pahat, sehingga secara lebih terperinci bagian-bagiannya dapat didefinisikan.
Dengan mengetahui definisinya maka berbagai jenis pahat yang digunakan dalam
proses pemesinan dapat dikenal lebih baik. Cara pengenalan melalui definisi ini harus
dianut karena cara tersebut juga akan digunakan lebih jauh dalam menganalisa
geometri pahat. (Rochim, 1985).
Bagian-bagian pahat yang dapat didefiniskan adalah (lihat gambar 2.7 untuk
memperjelah lokasi sesungguhnya dari bagian yang dimaksud pada pahat bubut):
2.7.1 Elemen Pahat
1. Badan (Body) : bagian pahat yang dibentuk menjadi mata potong atau
tempat untuk sisipan pahat (dari karbida atau keramik).
Page 23
28
2. Pemegang (Shank) : bagian pahat untuk dipasangkan pada mesin
perkakas. Bila bagian ini tidak ada maka fungsinya diganti oleh lubang
pahat.
3. Lubang pahat (Tool Bore) : lubang pada pahat melalui mana pahat
dpaat dipasang pada poros utama atau poros pemegang dari mesin
perkakas.
4. Sumbu pahat (Tool Axis) : garis maya yang digunakan untuk
mendefinisikan geometri pahat. Umumnya merupakan garis tengah
dari pemegang atau ubang pahat.
5. Dasar (Base) : bidang rata pada pemegang untuk meletakkan pahat
sehingga mempermudah proses pembuatan, penguuran ataupun
pengasahan pahat. (Rochim, 1985).
2.7.2 Bidang Pahat
Merupakan permukaan aktif pahat. Setiap pahat mempunyai bidang
aktif ini sesuai dengan jumlah mata potongnya (tunggal atau jamak). Tiga
bidang aktif dari pahat adalah:
1. Bidang Geram (𝐴ɣ , Face) : bidang diatas dimana geram mengalir.
2. Bidang utama/Mayor (𝐴α , Principal/Mayor Flank) : bidang yang
menghadap permukaan transien dari benda kerja. Permukaan
transien benda kerja akan terpotong akibat gerakan pahat relatif
terhadap benda kerja.
Page 24
29
Karena adanya gaya pemotongan sebagian bidang utama akan
terdeformasi seingga bergesekan dengan permukaan transien
benda kerja.
3. Bidang bantu/Minor (𝐴α′ , Auxiliary/Minor Flank) : bagian yang
menghadap permukaan terpotong dari benda kerja. Karena adanya
pemotongan sebagian kecil bidang bantu akan terdeformasi dan
menggesek permukaan benda kerja yang tela dipotong/dikerjakan.
Dalam beberapa hal disesuaikan dengan kondisi pemotongan yang
khusus, pahat dibuat dengan bidang aktif yang bertingkat. Misalnya ada dua
bidang utama, maka bidang tersebut disebut sebagai bidang utama pertama
(𝐴α1) dan bidang utama kedua (𝐴α2) sesuai urutan lokasinya terhadap mata
potong dengan lebar yang tertentu (𝑏α1 , 𝑏α2 : mm). Demikian pula halnya
dengan bidang yang lain. (Rochim, 1985).
2.7.3 Mata Potong
Tepi dari bidang geram yang aktif memotong, ada 2 jenis mata potong
yaitu:
1. Mata Potong Utama/Mayor (S, εPrincipal/Mayor Cutting Edge) :
garis perpotongan antara bidang geram (𝐴ɣ) dengan bidang bantu
(𝐴α).
Page 25
30
2. Mata Potong Bantu/Minor (S’, Auxiliary/Minor Cutting Edge) :
garis pepotongan antara bidang geram (𝐴ɣ) dengan bidang bantu
(𝐴α′).
Mata potong utama bertemu dengan mata potong bantu pada pojok
pahat (Tool Corner). Untuk memperkuat pahat maka pojok pahat dibuat
melingkar dengan jari-jari tertentu, yaitu:
1. 𝑟𝜀 = radius pojok (corner radius/nose radius) : mm
Atau dipenggal sehingga pojok pahat berupa garis dengan panjang
tertentu, yaitu :
2. 𝑏𝜀 = panjang pemnggalan pojok (chamfered corner length) : mm
Radius pojok maupun panjang pemenggalan pojok selain memperkuat
pahat bersama-sama dengan kondisi pemotongan yang dipilih akan
menentukan kehalusan permukaan asil proses pemesinan.
Beberapa jenis pahat dapat dibedakan dua jenis yaitu pahat kanan
(Right hand) dan pahat kiri (Left hand). Perbedaan antara kedua jenis pahat
tersebut adalah terletak pada lokasi mata potong utama. Pahat kanan
mempunyai mata potong utama yang sesuai dengan lokasi ibu jari tangan
kanan bila tapak tangan kanan ditelungkupkan diatas pahat yang dimaksud
dengan sumbu pahat dan sumbu tapak tangan sejajar.
Page 26
31
Demikian pula halnya dengan pahat kiri, maka lokasi mata potong utamanya
sesuai dengan lokasi ibu jari tangan kiri. (Rochim, 1985).
Gambar 2.8 Bagian-bagian dari pahat bubut (Rochim, 1985).
2.8 Sistem Referensi Pahat
Untuk menganalisa geometri pahat diperlukan suatu sistem bidang referensi
pada mana sudut-sudut pahat dapat ditentukan harganya. Sistem referensi pahat
menggunakan 3 macam bidang yang saling berpotongan pada suatu titik pada mata
potong utama S. Titik tersebut dinamakan titik terpilih (O, Selected point on the
cutting edge) melalui nama orientasi bidang-bidang tersebut ditentukan, yaitu:
Page 27
32
1. Bidang Referensi (𝑃r, Tool Reference Plane) : bidang yang melalui titik
terpilih dan ditentukan tegak lurus terhadap vektor kecepatan potong
(primary motion).
2. Bidang Mata Potong (𝑃s, Tool Cutting Edge Plane): bidang yang
ditentukan berimpit atau menyinggung mata potong utama pada titik
terpilih dan tegak lurus bidang referensi 𝑃r.
3. a. Bidang Ortogonal (𝑃o, Tool Orthogonal Plane): bidang yang melalui
titik terpilih dan ditentukan tegak lurus dengan kedua bidang yang lain
yaitu bidang referensi 𝑃r dan bidang mata potong 𝑃s.
b. Bidang Normal (𝑃n, Cutting Edge Normal Plane): bidang yang
ditentukan tegak lurus terhadap mata potong utama atau garis
singgungnya pada titik terpilih.
Dari definisi ketiga bidang diatas maka sistem referensi pahat sebetulnya
dapat dipecah menjadi 2 macam yaitu: Sistem Orthogonal dengan ketiga bidang
saling tegak lurus (𝑃r, 𝑃s, dan 𝑃o) dan Sistem Normal dengan kedua bidang saling
tegak lurus (𝑃s dengan 𝑃r dan 𝑃ndengan 𝑃s) tetapi 𝑃n belum tentu tegak lurus dengan
𝑃r. Orientasi 𝑃n terhadap 𝑃r ditentukan oleh sudut miring (𝜆s, inclination angle). Bila
𝜆s = 0, maka 𝑃n ┴ 𝑃r dan sistem normal akan sama dengan sistem orthogonal.
Page 28
33
Gambar 2.9 Sistem Referensi Pahat (Rochim, 1985).
Ketiga bidang dalam sistem referensi pahat saling berpotongan sehingga
terbentuk sumbu-sumbu yang merupakan sistem koordinat tangan kanan (Right Hand
Coordinate System) yaitu:
1. Sumbu 𝑋o, perpotongan antara 𝑃s dengan 𝑃r,
2. Sumbu 𝑌o, perpotongan antara 𝑃s dengan 𝑃o, dan
3. Sumbu 𝑍o, perpotongan antara 𝑃r dengan 𝑃o, atau 𝑃n
Sumbu 𝑌o positif dalam arah berlawanan dengan arah kecepatan potong pahat relatif
terhadap benda kerja (atau searah dengan arah gaya potong pada pahat). Kedua
sumbu yang lain, 𝑋o dan 𝑍o berharga positif sesuai dengan kaidah tangan kanan (ibu
jari X, telunjuk Y, dan jari tengah Z). (Rochim, 1985).
Page 29
34
2.9 Optimisasi Geometri Pahat
Proses pemesinan enggunakan pahat sebagai perkakas potongnya dan
geometri dari pahat tersebut akan merupakan salah satu faktor terpenting yang
menentukan keberhasilan proses pemesinan. Geometri pahat harus dipilih dengan
tepat disesuaikan dengan kenis material benda kerja, material pahat, dan kondisi
pemotongan sehingga salah satu atau beberapa obyektif dapat tercapai. Berbagai
obyektif atau tujuan itu antara lain ialah, tingginya umur pahat, rendahnya gaya atau
daya pemotongan, halusnya permukaan dan ketelitian geometri produk. Seseorang
perencana proses haus mampu memilih pahat atau menentukan sudut-sudut pahat
yang cocok bagi suatu pekerjaan yang spesifik sehingga proses pemesinan dapat
dioptimumkan. (Rochim, 1985).
2.9.1 Sudut Bebas Orthogonal
Fungsi sudut bebas adalah untuk mengurangi gesekan antara bidang
utama 𝐴α dengan bidang transien dari benda kerja. Dengan demikian
temperature yang tinggi akibat gesekan akan dihindari supaya keausan tepi
(flank wear) tidak cepat terjadi, pemilihan harga sudut bebas ditentukan oleh
jenis benda kerja dan kondisi pemotongan. Gerak makan f akan menetukan
harga sudut bebas. Semakin besar harga gerak makan maka gaya pemotongan
akan semakin besar sehingga untuk memperkuat pahat diperlukan sudut
penampang 𝑆o yang benar, oleh sebab itu tepaksa sudut bebas αo diperkecil
(bila sudut geram Ɣ𝑜 tak boleh diubah).
Page 30
35
Umumnya untuk suatu harga gerak makan tertentu ada suatu harga
optimum bagi sudut bebas yang memberikan umur pahat tertinggi.
Gambar 2.9a menunjukkan umur pahat sebagai fungsi dari sudut bebas
αo. Dimulai dari harga yang kecil, umur pahat akan naik bila αo diperbesar
(karena gesekan diperkecil). Akan tetapi setelah mencapai harga tertentu
(optimum) umur pahat menurun kembali karena kecilnya sudut penampang
yang menghalangi proses perambatan panas. Gambar 2.9a juga menunjukkan
bahwa suatu harga sudut bebas, umur pahat akan menurun bila gerak makan f
diperbesar. Hal ini sesuai dengan menaiknya sudut gerak putar T yang akan
menurunkan sudut bebas kerja αoe. Sebagai petunjuk umum dalam pemesinan
benda kerja pahat, harga sudut bebas αo dipilih sesuai dengan gerak makan,
yaitu: Bila : f < 0,2 mm/putaran, maka αo = 12𝑜
Bila : f > 0,2 mm/putaran, maka αo = 8𝑜
Karena pengaruh deformasi akibat gaya makan yang tinggi, maka
harga sudut bebas tersebut dapat diperkecil sedikit bila material benda kerja
sangat keras, atau diperbesar bila benda kerja relatif lunak. (Rochim, 1985).
Page 31
36
Gambar 2.10 Umur pahat T sebagai fungsi dari sudut bebas orthogonal
𝛂𝐨 (Rochim, 1985).
2.9.2 Sudut Potong Utama, (𝑲𝐫)
Sudut potong utama mempunyai peran antara lain:
1. Menentukan lebar dan tebal geram sebelum terpotong ( b
dan h),
2. Menentukan panjang mata potong yang aktif atau panjang
kontak antara geram dengan bidang geram pahat, dan
3. Menentukan besarnya gaya radial 𝐹x.
Untuk kedalaman potong a dan gerak makan f yang tetap. Maka
dengan meperkecil sudut potong utama akan menentukan tebal geram
sebelum terpotong h dan menaikkan lebar geram b sebagai berikut:
h = f sin 𝐾r, dan b = a/ sin 𝐾r.
Page 32
37
Tebal geram h yang kecil secara langsung akan menurunkan
temperature pemotongan, sedangkan lebar geram b yang besar akan
mempercepat proses perambatan panas pada pahat sehingga temperature pahat
akan relatif rendah.
Dengan demikian umur pahat akan lebih tinggi atau dengan kata lain
kecepatan potong dapat lebih dipertinggi untuk menaikkan kecepatan
produksi. Akan tetapi pemaaian sudut potong utama yang kecil tidak selalu
menguntungkan sebab akan menaikkan gaya radial 𝐹x. Gaya radial yang besar
mungkin menyebabkan lenturan yang terlalu besar ataupun getaran (Chatter)
sehingga menurunkan ketelitian geometris produk dan hasil pemotongan
terlalu kasar.
Tergantung pada kekakuan (Stiffness) benda kerja dan pahat serta
metoda pencekaman benda kerja serta sudut akhir/geometri benda kerja, maka
operator mesin dapat memilih pahat dengan sudut 𝐾r yang cocok atau dengan
mengubah sudut penempatan datar G sehingga sudut kerja 𝐾re dapat diubah
sampai mendapat harga yang optimum. (Rochim, 1985).
Page 33
38
Gambar 2.11 Pengaruh sudut 𝑲𝐫 terhadap gaya radial 𝑭𝐱 (Rochim,
1985).
2.10 Kerusakan dan Keausan Pahat
Dalam prakteknya umur pahat tidak hanya dipengaruhi oleh geometri pahat
saja melainkan juga oleh semua faktor yang berkaitan dengan proses pemesinan yaitu
antara lain jenis material benda kerja dan pahat, kondisi pemotongan (kecepatan
potong, kedalaman potong, dan gerak makan), cairan pendingin dan jenis proses
pemesinan.
Page 34
39
Dalam berbagai situasi seperti ini proses pemesinan tidak akan berlangsung
terus sebagaimana yang dikehendaki karena makin lama pahat akan menunjukkan
tanda-tanda yang menjurus pada kegagalan proses pemesinan.
Kerusakan atau keausan pahat akan terjadi dan penyebabnya harus diketahui
untuk menentukan tindakan koreksi seingga dalam proses pemesinan selanjutnya
umur pahat akan relatif lebih tinggi. (Rochim, 1985).
Pahat
Benda kerja
VB (mm)
HSS Baja dan besi tuang 0.3 – 0.8
Karbida Baja 0.2 – 0.6
Karbida Besi tuang dan non ferrous 0.4 – 0.6
Keramik Baja dan besi tuang 0.3
Tabel 2.4: Batas keausan tepi kritis pada pahat (Rochim, 1985)
2.10.1 Bidang aktif pahat yang mengalami kerusakan/keausan
Selama proses pembentukan geram berlangsung, pahat dapat
mengalami kegagalan dari fungsinya yang normal karena berbagai sebab
antara lain :
1. Keausan yang secara bertahap membesar (tumbuh) pada bidang
aktif.
Page 35
40
2. Retak yang menjalar sehingga menimbulkan patahan pada mata
potong pahat.
3. Deformasi plastis yang akan mengubah bentuk/geometri pahat.
Jenis kerusakan yang terakhir diatas jelas disebabkan ole tekanan dan
temperature yang tinggi pada bidang aktif pahat dimana kekerasan dan
kekuatan material pahat akan turun bersama dengan naiknya temperature.
Keretakan dan terutama keausan disebabkan oleh berbagai faktor.
Keausan dapat terjadi pada bidang geram (𝐴ɣ) dan atau pada bidang utama
(𝐴α) dari pahat. Karena bentuk dan letaknya yang spesifik, keausan pada
bidang geram disebut dengan keausan kawah (reater wear) dan keausan pada
bidang utama/mayor dinamakan sebagai keausan tepi (flank wear).
Gambar 2.12 Keausan kawah dan keausan tepi
(http://wesunarkd.blogspot.co.id/2015/12/keausan-dan-umur-pahat.html)
Page 36
41
Kerusakan tepi dapat ddiukur dengan menggunakan mikroskop,
dimana bidang mata potong Ps diatur sehingga tegak lurus dengan sumbu
optis. Dalam hal ini besarnya keausan tepi dapat diketahui dengan mengukur
panjang VB (mm), yaitu jarak antara mata potong sebelum terjadi keausan
(mata potong didekatnya dipakai sebagai referensi) sampai kegaris rata-rata
bekas keausan pada bidang utama. Sedangkan keausan kawah hanya dapat
diukur dengan mudah dengan memakai alat ukur kekasaran permukaan.
Untuk itu jarum/sensor alat ukur digeserkan pada bidang geram
dengan sumbu penggeseran diatur sehingga sejajar bidang geram. Dari grafik
profil permukaan yang diperoleh dapat diukur jarak/kedalaman yang paling
besar yang menyatakan harga KT (mm). (Rochim, 1985).
Gambar 2.13 Keausan tepi berdasarkan standar ISO 3685 : 1993
(http://ejournal.undip.ac.id/index.php/rotasi)
Page 37
42
kedalaman maksimum itulah kedalaman keausan kawah yang
dinyatakan dengan KT (mm).
Keausan tepi menurut ISO 3685 terdapat 3 daerah penting, antara lain:
1. Daerah N: merupakan kedalaman potong dibagi empat.
2. Daerah C: merupakan daerah nose radius
3. Daerah B: merupakan kedalaman potong dikurangi daerah C dan
daerah N.
Penyebab keausan dapat merupakan satu faktor ataupun gabungan dari
beberapa faktor. Faktor-faktor penyebab keausan antara lain proses: abrasive,
kimiawi, adhesi, difusi, oksidasi, deformasi plastik, keretakan, dan kelelahan.
(Nugroho, dkk, 2010).
2.10.2 Mekanisme Keausan Tepi Pahat
Umur pahat dipengaruhi oleh beberapa faktor: geometri pahat,
material pahat, benda kerja, kondisi pemotongan dan cairan pendingin.
Dengan kondisi seperti ini proses permesinan tidak akan berlangsung terus-
menerus seperti yang dikehendaki karena pahat makin lama akan menjurus
kepada kegagalan proses permesinan. (Nugroho, dkk, 2010).
Page 38
43
Berdasarkan hasil-hasil penelitian mengenai keausan kerusakan pahat
dapat disimpulkan bahwa penyebab keausan dan kerusakan pahat dapat
merupakan suatu faktor yang dominan atau gabungan dari beberapa faktor
yang tertentu. Faktor-faktor penyebab tersebut antara lain adalah:
1. Proses Abrasif
2. Proses Kimiawi
3. Proses Adhesi
4. Proses Difusi
5. Proses Oksidasi
6. Proses Deformasi Plastis
7. Proses Keretakan dan Kelelahan
2.11 Umur Pahat
Umur pahat merupakan seluruh waktu pemotongan (tc) sehingga dicapai batas
keausan yang telah ditetapkan (VB maks = 0,8 mm). Pertumbuhan keausan pahat
pada kecepatan potong yang berbeda sampai batas kritis keausan pahat HSS. Bahwa
dengan meningkatnya kecepatan potong (Vc) maka keausan pahat akan meningkat
juga dan umur pahat akan menurun. Keausan pahat akan tumbuh dan membesar
dengan bertambahnya waktu pemotongan sampai pada suatu saat pahat yang
bersangkutan dianggap tidak dapat dipergunakan lagi karena telah ada tanda-tanda
tertentu yang menunjukkan bahwa umur pahat telah habis.
Page 39
44
Pada dasarnya dimensi keausan menentukan batas umur pahat, dengan
demikian kecepatan pertumbuhan keausan menentukan laju saat berakhirnya masa
guna pahat. Pertumbuhan keausan tepi pada umumnya mengetahui bentuk
sebagaimana gambar hubungan waktu dengan panjang keausan tepi, yaitu dengan
mulai pertumbuhan yang relatif cepat sesaat setelah pahat digunakan, diikuti
pertumbuhan yang linier setaraf dengan bertambahnya waktu pemotongan, dan
setelah batas tertentu pertumbuhan akan kembali cepat kembali.
Saat dimana pertumbuhan cepat pada keausan tepi pahat timbul kedua kalinya
itu dianggap sebagai batas umur pahat, dan dalam hal ini terjadi pada harga keausan
tepi (VB) yang relatife sama untuk kecepatan potong yang berbeda. Sampai batas ini
keausan tepi dapat dianggap sebagai fungsi pangkat (power function) dari waktu
pemotongan (tc) dan bila digambarkan pada skala dobel logaritma mereka
mempunyai hubungan linier.
Gambar 2.14 Pertumbuhan keausan tepi untuk gerak makan tertentu
dan kecepatan potong yang berbeda
(http://ejournal.undip.ac.id/index.php/rotasi)
Page 40
45
Gambar tersebut menentukan pertumbuhan keausan yang moderat yang akan
dialami oleh suatu jenis pahat pada kondisi pemotongan yang dianggap moderat bagi
pahat yang bersangkutan. (Nugroho, dkk, 2010).
2.12 Baja
Baja merupakan salah satu jenis logam yang banyak digunakan dengan unsur
karbon sebagai salah satu dasar campurannya. Di samping itu baja juga mengandung
unsur-unsur lain seperti sulfur (S), fosfor (P), silikon (Si), mangan (Mn), dan
sebagainya yang jumlahnya dibatasi. Sifat baja pada umumnya sangat dipengaruhi
oleh prosentase karbon dan struktur mikro. Struktur mikro pada baja karbon
dipengaruhi oleh perlakuan panas dan komposisi baja. Karbon dengan unsur
campuran lain dalam baja membentuk karbid yang dapat menambah kekerasan, tahan
gores dan tahan suhu baja. Perbedaan prosentase karbon dalam campuran logam baja
karbon menjadi salah satu cara mengklasifikasikan baja. Berdasarkan kandungan
karbon, baja dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
1. Baja karbon rendah
Baja kabon rendah (low carbon steel) mengandung karbon dalam
campuran baja karbon kurang dari 0,3%. Baja ini bukan baja yang keras
karena kandungan karbonnya yang rendah kurang dari 0,3%C. Baja karbon
rendah tidak dapat dikeraskan karena kandungan karbonnya tidak cukup untuk
membentuk struktur martensit.
Page 41
46
Gambar 2.15 Baja karbon rendah
(http://an-tika.blogspot.co.id/2012/04/baja-karbon-pengetahuan-bahan-4.html)
2. Baja karbon menengah
Baja karbon sedang (medium carbon steel) mengandung karbon
0,3%C – 0,6%C dan dengan kandungan karbonnya memungkinkan baja untuk
dikeraskan sebagian dengan perlakuan panas (heat treatment) yang sesuai.
Baja karbon sedang lebih keras serta lebih lebih kuat dibandingkan dengan
baja karbon rendah.
Gambar 2.16 Baja karbon menengah
(http://an-tika.blogspot.co.id/2012/04/baja-karbon-pengetahuan-bahan-4.html)
Page 42
47
3. Baja karbon tinggi
Baja karbon tinggi (High Carbon Steel) mengandung 0,6%C – 1,5%C
dan memiliki kekerasan tinggi namun keuletannya lebih rendah, hampir tidak
dapat diketahui jarak tegangan lumernya terhadap tegangan proporsional pada
grafik tegangan regangan. Berkebalikan dengan baja karbon rendah,
pengerasan dengan perlakuan panas pada baja karbon tinggi tidak
memberikan hasil yang optimal dikarenakan terlalu banyaknya martensit
sehingga membuat baja menjadi getas.
Gambar 2.17 Baja karbon tinggi
(https://ardonblog.wordpress.com/2016/09/27/jenis-jenis-baja/)
2.13 Baja ST42
Merupakan baja karbon rendah, kadar karbon sampai 0,25%, sangat luas
pemakaiannya, sebagai baja konstruksi umum, untuk baja profil rangka bangunan,
baja tulangan beton, rangka kendaraan, mur, baut, pelat, pipa, dll. Strukturnya terdiri
dari ferrit dan sedikit perlite, sehingga baja ini kekuatannya relatif rendah, lunak
namun keuletannya tinggi, mudah dibentuk dan dimachining.
Page 43
48
Baja ini dapat dikeraskan (kecuali dengan pengerasan permukaan). Ada juga
yang membagi kelompok ini, yang kadar karbonnya sangat rendah, kurang dari
0,15% sebagai dead mild steel, yang biasanya digunakan untuk baja lembaran, besi
beton, besi strip, dll. (www.scribd.com/doc/94530623/Lapres-Metalurgi-Bismillah-
Bener).
Menurut kekuatannya: St37, St42, St50, dst. (Standar DIN Jerman).
St XX
Kekuatan dalam kg/𝑚𝑚2
Baja (Steel)
Contoh: ST37 = Baja dengan kekuatan 37 kg/𝑚𝑚2.
(https://www.slideshare.net/adikrisnawan/blower?from_action=save)
Dalam banyak standar nasional, baja untuk keperluan struktur umum
ditentukan berdasarkan kekuatan tarik minimum yang dibutuhkan. Tabel 2.4
menunjukkan spesifikasi standar baja untuk keperluan struktur umum, menurut empat
standar nasional. Misalnya, material dengan sebutan DIN 17000 St 42 ini setara
dengan BS 4360 Grade 43A.
Page 44
49
Kedua bahan tersebut diharapkan memiliki kekuatan tarik minimum
maksimal 410-490 (Average of 420-430) Mpa. Gambar 42 atau 43 dalam penunjukan
St 42 dan 43A oleh karena itu mewakili 1/10 dari kekuatan tarik minimum yang
diijinkan. (Nyangasi, Materials for Machine Part)
DIN 1700
BS3 4360
Grade
ASTM4
A283-78
Grade
JIS
G3101-
G3125
Tensile
Strength
Mpa
C % P% S%
St 34 - A283 B SS 34 330-410 <= 0.17 <= 0.06 <= 0.05
St 37 - A283 B - 360-440 <= 0.17 <= 0.05 <= 0.05
St 42 43A A283 B SM 41 410-490 <= 0.25 <= 0.05 <= 0.05
St 50 50C A573Gr70 SM 50 490-590 0.25 <= 0.08 <= 0.05
St 50-3 - A633GrE SS 33 510-610 <= 0.22 <= 0.45 <= 0.45
St 60 - - - 590-700 0.4 <= 0.05 <= 0.05
St 70 - - - 685-830 0.5 <= 0.05 <= 0.05
1. DIN (German Industrial Standards)
2. BS (British Standards)
3. ASTM (American Standard for the Testing of Materials)
4. JIS (Japanese Industrial Standards)
Tabel 2.5 Standar Nasional Baja untuk keperluan struktural umum (Nyangasi,
Materials for Machine Part)