Page 1
23
BAB II
TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN KREDIT, WANPRESTASI, DAN
HAK TANGGUNGAN
2.1 Perjanjian Kredit
2.1.1 Pengertian Perjanjian Kredit
Perjanjian adalah suatu peristiwa di mana dua orang atau
dua pihak saling berjanji untuk melakukan suatu hal atau suatu
pesetujuan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing
bersepakat akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.
Pengertian perjanjian menurut ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata diatur pada Buku ke III pasal 1313 KUHPerdata
yang menyebutkan bahwa suatu perjanjian adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih dengan mengikatkan dirinya
terhadap satu orang atau lebih. Jadi suatu perjanjian paling sedikit
harus ada dua pihak sebagai subjek hukum, dimana masing-masing
pihak sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam suatu hal tertentu
yang berupa menyerahkan sesuatu, maupun tidak berbuat sesuatu.
Perjanjian juga diartikan sebagai suatu hubungan antar dasar
hukum kekayaan antara dua pihak atau lebih dimana pihak satu
berkewajiban memberi suatu prestasi atas nama pihak yang lain
mempunyai hak terhadap prestasi itu.19
19
H.Mashudi dan Moch. Chidir Ali,2001, Pengertian-Pengertian Elementer Hukum
Perjanjian Perdata, Cet. II, CV. Mandar Maju, Bandung, h.35.
Page 2
24
Menurut Subekti Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana
seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu
berjanji untuk melaksanakan suatu hal.20
Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa Latin,
Credere, yang berarti kepercayaan. Hal ini menunjukkan bahwa
yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada debitur
adalah kepercayaan.21
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
pengertian kredit adalah pinjaman uang dengan pembayaran
pengembalian secara mengangsur atau pinjaman hingga batas
jumlah tertentu yang diizinkan oleh bank atau badan lain.
Dalam Pasal 1 butir 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun
1998 perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan merumuskan bahwa kredit merupakan penyediaan uang
atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Berdasarkan pengertian di atas menunjukkan bahwa prestasi
yang wajib dilakukan oleh debitur atas kredit yang diberikan
kepadanya adalah tidak semata-mata melunasi utangnya tetapi juga
disertai dengan bunga sesuai dengan perjanjian yang telah
disepakati sebelumnya.
20
Subekti, 1995, Aneka Perjanjian, Alumni,Bandung,(selanjutnya disebut Subekti II),h.1. 21
Hermansyah,op.cit, h. 57.
Page 3
25
Perjanjian kredit merupakan hubungan hukum kontraktual
antara bank dan pihak lain berdasarkan atas sepakat, dimana bank
menyerahkan uang atau tagihan dan mewajibkan pihak lain untuk
mengembalikannya dengan jangka waktu tertentu disertai
pemberian bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan.
Perjanjian kredit pada hakikatnya adalah perjanjian pinjam
meminjam sebagaimana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata. R. Subekti berpendapat dalam bentuk apapun juga
pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakikatnya
yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana
diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1754
sampai dengan Pasal 1769.
Ketentuan Pasal 1754 berbunyi :
“Perjanjian pinjam mengganti adalah persetujuan dengan
mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu
jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian,
dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini mengembalikan
sejumlah yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula”.
Pendapat yang sama dikemukakan Marhainis Abdul Hay
menyatakan bahwa perjanjian kredit adalah identik dengan
perjanjian pinjam mengganti dan dikuasai oleh ketentuan bab XIII
Buku III KUHPerdata.22
Berbeda halnya dengan Mariam Darus Badrulzaman yang
berpendapat bahwa perjanjian kredit bank adalah “perjanjian
22
Marhainis Abdul Hay,1975,Hukum Perbankan di Indonesia,PT. Pradnya Paramita,
Jakarta, h.67.
Page 4
26
pendahuluan” (voorovereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian
pendahuluan ini merupakan hasil pemufakatan antara pemberi dan
penerima pinjaman mengenai hubungan-hubungan keduanya.
“Penyerahan uangnya” sendiri, adalah bersifat riil. Pada saat
penyerahan uang dilakukan barulah berlaku ketentuan yang
dituangkan dalam model perjanjian kredit pada kedua belah pihak.23
Jadi dapat dikatakan perjanjian kredit adalah perjanjian
pokok (prinsipil) yang bersifat riil. Sebagai perjanjian prinsipil,
maka perjanjian jaminan adalah assessor-nya. Ada dan berakhirnya
perjanjian jaminan bergantung pada perjanjian pokok. Arti riil ialah
bahwa terjanjinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan
uang oleh bank kepada nasabah debitur.24
Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan
menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Dalam
praktik di perbankan bentuk perjanjiannya telah disediakan oleh
pihak bank sebagai kreditur sedangkan debitur hanya mempelajari
dan memahaminya dengan baik. Perjanjian yang demikian itu biasa
disebut dengan perjanjian baku (standard contract), dimana dalam
perjanjian tersebut pihak debitur hanya dalam posisi menerima atau
menolak tanpa ada kemungkinan untuk melakukan negosiasi atau
tawar-menawar. Apabila menerima debitur akan bersedia
23
Mariam Darus Badrulzaman,1991,Perjanjian Kredit Bank,PT. Citra Aditya
Bakti,Bandung,h.32. 24
Hermansyah, loc.cit.
Page 5
27
menandatanganinya dan sebaliknya jika menolak debitur tidak perlu
menandatanganinya.
Pada perjanjian kredit terdapat hak dan kewajiban masing-
masing pihak, termasuk jangka waktu serta bunga yang ditetapkan
oleh bank, serta diatur mengenai sanksi apabila debitur tidak
memenuhi prestasinya dalam perjanjian kredit tersebut.25
2.1.2 Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Kredit
Berdasarkan Pasal 1313 KUHPerdata disebutkan bahwa
perjanjian adalah suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih
mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih. Hal ini
merupakan peristiwa yang menimbulkan suatu hubungan hukum
antara orang-orang yang membuatnya sehingga dari perjanjian
tersebut nantinya akan menimbulkan suatu perikatan.
Suatu perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang
mengadakan perjanjian itu sendiri atau dengan kata lain tidak
mengikat pihak lainnya. Perjanjian hanya meletakkan hak-hak dan
kewajiban-kewajiban antara para pihak yang membuatnya. Para
pihak dalam perjanjian kredit pada dasarnya hanya dua, yaitu pihak
kreditur yaitu bank dan pihak debiturnya adalah nasabah. Menurut
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1992 Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan menyatakan
bahwa Bank merupakan badan usaha yang menghimpun dana dari
25
Kasmir,2003,Bank & Lembaga Keuangan Lainnya,Edisi Keenam,PT RajaGrafindo
Persada, Jakarta, h.93.
Page 6
28
masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Kemudian
Nasabah menurut Undang-Undang Perbankan merupakan pihak
yang menggunakan jasa bank, nasabah penyimpanan adalah
nasabah yang menempatkan dananya di bank dalam bentuk
simpanan berdasarkan perjanjian bank dengan nasabah yang
bersangkutan, dan nasabah debitur adalah nasabah yang
memperoleh fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip
syariah atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan perjanjian
bank dengan nasabah yang bersangkutan.
Adapun pihak-pihak yang ada dalam perjanjian kredit adalah
sebagai berikut :
a. Kreditur (pemberi kredit) dalam perjanjian kredit adalah
Bank atau lembaga pembiayaan yaitu pihak yang
memberikan pinjaman kepada debitur.
b. Debitur (penerima kredit) yaitu pihak yang meminjam
atau menerima pinjaman dari kredit baik itu individu
ataupun badan hukum.
2.1.3 Syarat-Syarat Sahnya Perjanjian Kredit
Perjanjian yang sah merupakan perjanjian yang memenuhi
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang, sehingga
mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Menurut Pasal 1320
Page 7
29
KUHPerdata syarat sah perjanjian meliputi dua hal, yaitu syarat
subjektif dan syarat objektif yaitu :
1) Syarat Subjektif
Syarat subjektif adalah syarat yang berkaitan
dengan subjek perjanjian. Syarat subjektif perjanjian
meliputi, antara lain :
a. Adanya kesepakatan kedua belah pihak.
Dalam suatu perjanjian harus ada kesepakatan
antara para pihak, yaitu persesuaian pernyataan
kehendak antara kedua belah pihak, tidak ada
paksaan dan lainnya. Dengan diberlakukannya kata
sepakat mengadakan perjanjian, maka berarti kedua
pihak haruslah mempunyai kebebasan berkehendak.
Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena
merupakan awal terjadinya perjanjian.
b. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Kecakapan disini berarti kemampuan kedua
belah pihak untuk melakukan perbuatan hukum.
Orang yang cakap atau wenang adalah orang
dewasa (berumur 21 tahun atau sudah menikah).
Page 8
30
2) Syarat Objektif
Syarat objektif adalah syarat yang berkaitan dengan
objek perjanjian. Syart objektif perjanjian meliputi,
antara lain :
a. Suatu hal tertentu
Suatu hal tertentu di sini berbicara tentang
obyek perjanjian. Setiap perjanjian harus
mempunyai objek tertentu, objek perjanjian yang
dimaksud terdapat di dalam Pasal 1332 sampai
dengan Pasal 1334 KUHPerdata, yaitu yang
pertama adalah tentang objek yang akan ada
(kecuali warisan) asalkan dapat ditentukan jenis dan
dapat dihitung. Yang kedua adalah objek yang dapat
diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan
untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek
perjanjian).
b. Suatu sebab yang halal
Dalam suatu perjanjian diperlukan adanya sebab
yang halal artinya ada sebab-sebab hukum yang
menjadi dasar perjanjian yang tidak dilarang oleh
peraturan, keamanan, dan ketertiban umum dan
sebagainya. Undang-undang tidak memberikan
pengertian mengenai “sebab” (oorzaak,causa).
Page 9
31
Menurut Abdulkadir Muhammad, sebab adalah
suatu yang menyebabkan orang membuat
perjanjian, yang mendorong orang membuat
perjanjian. Tetapi yang dimaksud cauza yang halal
dalam Pasal 1320 KUHPerdata bukanlah sebab
dalam arti yang menyebabkan atau yang mendorong
orang membuat perjanjian, melainkan sebab dalam
arti “isi perjanjian itu sendiri” yang menggambarkan
tujuan yang akan dicapai oleh para pihak.26
Menurut R. Subekti, menyatakan bahwa berdasarkan
undang-undang dan peraturan, syarat suatu perjanjian sangat
diperlukan dan ditentukan oleh berbagai keadaan yang ditentukan
berdasarkan hukum, seperti syarat sahnya suatu perjanjian kejelasan
benda atau perbuatan yang diperjanjikan serta mereka dalam kedaan
cakap untuk melakukan persetujuan atau perjanjian menurut
ketentuan-ketentuan yang berlaku seperti keadaan senyatanya dari
pihak yang melakukan perjanjian yang merupakan kondisi objek
obyektif, bahwa mereka diakui secara hukum dan memenuhi aturan
serta norma lainnya sesuai dengan norma agama, norma adat, dan
norma susila lainnya yang berlaku dimana perjanjian itu
dilakukan.27
Perjanjian kredit bank antara pihak kreditur dan pihak
debitur harus memenuhi syarat-syarat perjanjian sebagaimana
terdapat didalam Pasal 1320 KUHPerdata yaitu : adanya
kesepakatan kedua belah pihak, kecakapan untuk membuat suatu
perikatan, suatu hal tertentu, dan suatu sebab yang halal.
26
Abdulkadir Muhammad,1990, Hukum Perikatan,Cet. II, PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, (selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad II), h.94. 27
Subekti II,op.cit, h.98.
Page 10
32
2.1.4 Asas-Asas Perjanjian Kredit
Dalam hukum perjanjian, terdapat beberapa asas penting
yang merupakan dasar dalam pelaksanaan perjanjian. Sama halnya
juga dalam perjanjian kredit, dimana asas-asas ini merupakan
pedoman dari masing-masing pihak dalam mencapai tujuannya,
adapun asas yang dijadikan tonggak hukum perjanjian dalam sistem
hukum perbankan yaitu :
1. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme, artinya bahwa suatu
perikatan itu terjadi (ada) sejak saat tercapainya kata
sepakat antara para pihak. Dengan kata lain bahwa
perikatan itu sudah sah dan mempunyai akibat hukum
sejak saat tercapainya kata sepakat antara para pihak
mengenai pokok perikatan.28
Berdasarkan Pasal 1320 Ayat (1) KUHPerdata,
dinyatakan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian
adalah kesepakatan kedua belah pihak. Artinya bahwa
perikatan pada umumnya tidak diadakan secara formal,
tetapi cukup dengan adanya kesepakatan para pihak.
Kesepakatan tersebut dapat dibuat dalam bentuk lisan
maupun dituangkan dalam bentuk tulisan berupa akta,
jika dikehendaki sebagai alat bukti. Perjanjian yang
28
Salim H.S,2001,Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW),Cet. I, Sinar Grafika, Jakarta,
h.78.
Page 11
33
dibuat secara lisan didasarkan pada asas bahwa “manusia
itu dapat dipegang multnya”, artinya dapat dipercaya
dengan kata-kata yang diucapkannya.
2. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas pacta sunt servanda,29
berhubungan dengan
akibat dari perjanjian. Pasal 1338 KUHPerdata
menyebutkan:
- Semua Persetujuan yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
- Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik
kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau
karena alasan-alasan yang oleh undang-undang
dinyatakan cukup untuk itu.
- Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan
dengan iktikad baik.
Dari ketentuan tersebut terkandung beberapa
istilah. Pertama istilah “semua perjanjian” berarti bahwa
pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa
perjanjian dimaksud bukanlah semata-mata perjanjian
bernama. Kedua, istilah “secara sah”, artinya bahwa
pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa
pembuatan perjanjian harus memenuhi persyaratan yang
telah ditentukan dan bersifat mengikat sebagai undang-
undang terhadap para pihak sehingga terealisasi asas
kepasatian hukum. Ketiga, istilah “iktikad baik”, hal ini
29
Ibid,h.158.
Page 12
34
berarti member perlindungan hukum pada debitur dan
kedudukan antara kreditur dan debitur menjadi
seimbang. Ini merupakan realisasi dari asas
keseimbangan.
3. Asas Kebebasan Berkontrak
Kebebasan berkontrak (freedom of making
contract), adalah salah satu asas yang sangat penting
didalam hukum perjanjian. Kebebasan ini adalah
perwujudan dari kehendak bebas, pancaran, dan hak
asasi manusia.
Menurut Salim H.S, bahwa asas kebebasan
berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan
kepada para pihak untuk, membuat atau tidak membuat
perjanjian, mengadakan perjanjian dengan siapapun, dan
menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan
persyaratannya, serta menentukan bentuk perjanjian, yaitu
tertulis atau lisan.30
Namun demikian menurut Abdulkadir
Muhammad, berpendapat bahwa kebebasan berkontrak
tersebut tetap dibatasi oleh tiga hal, yaitu : tidak dilarang
oleh undang-undang, tidak bertentangan dengan
kesusilaan, dan tidak bertentangan dengan ketertiban
30
Ibid.
Page 13
35
umum.31
Dalam Pasal 1338 KUHPerdata menyatakan
bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Ketentuan ini dapat saja tidak diikuti jika para pihak
menghendaki cara-cara tersendiri, tetapi apabila tidak
ditentukan lain maka ketentuan undang-undang yang
tetap berlaku.
2.1.5 Persetujuan Pemberian Kredit
Ketentuan pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor
10 Tahun 1998 merupakan dasar atau landasan bagi bank dalam
menyalurkan kreditnya kepada nasabah debitur. Lebih dari itu,
karena pemberian kredit merupakan salah satu fungsi utama dari
bank, maka dalam dalam ketentuan tersebut juga mengandung dan
menerapkan prinsip kehatia-hatian sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan pasal 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan. Maka dari itu untuk mencegah terjandinya kredit
bermasalah dikemudian, penilaian suatu bank untuk memberikan
persetujuan terhadap suatu permohonan kredit dilakukan dengan
berpedoman kepada formula 4P dan Formula 5C. 32
31
Abdulkadir Muhammad II,op.cit,h.84. 32
Hermansyah,loc.cit..
Page 14
36
a. Formula 4 P dapat diuraikan sebagai berikut:
1) Personality. Dalam hal ini pihak bank mencari data
secara lengkap mengenai kepribadian si pemohon
kredit, anatara lain mengenai riwayat hidupnya,
pengalamannya dalam beruaha, pergaulan dalam
masyarakat, dan lain-lain. Hal ini diperlukan untuk
menetukan persetujuan kredit yang diajukan oleh
pemohon kredit.
2) Purpose. Selain mengenai kepribadian (personality)
dari pemohon kredit, bank juga harus mencari data
tentang tujuan atau penggunaan kredit tersebut sesuai
line of business kredit bank yang bersangkutan.
3) Prospect. Dalam hal ini bank harus melakukan
analisis secara cermat dan mendalam tentang bentuk
usaha yang akan dilakukan oleh pemohon kredit.
Misalnya apakah usaha yang dijalankanoleh
pemohon kredit mempunyai prospek di kemudian
hari ditinjau dari aspek ekonomi dan kebutuhan
masyarakat.
4) Payment. Bahwa dalam penyaluran kredit, bank
harus mengetahui dengan jelas mengenai
kemampuan dari pemohon kredit untuk melunasi
Page 15
37
utang kredit dalam jumlah dan jangka waktu yang
ditentukan.
b. Mengenai Formula 5 C dapat diuraikan sebagai berikut :
1) Character. Bahwa calon nasabah debitur memiliki
watak, moral, dan sifat-sifat pribadi yang baik.
Penilaian terhadap karakter ini dilakukan untuk
mengetahui tingkat kejujuran, integritas, dan
kemauan dari caon nasabah debitur untuk memenuhi
kewajiban dan menjalankan usahanya. Informasi ini
dapat diperoleh oleh bank melalui riwayat hidup,
riwayat usaha, dan informasi dari usaha-usaha yang
sejenis.
2) Capacity. Yang dimaksud dengan capacity dalam
hal ini adalah kemampuan calon nasabah debitur
untuk mengelola kegiatan usahanya dan mampu
melihat prospektif masa depan, sehingga usahanya
akan dapat berjalan dengan baik dan memberikan
keuntungan, yang menjamin bahwa ia mampu
melunasi utang kreditnya dalam jumlah dan jangka
waktu yang telah ditentukan. Pengukuran
kemampuan ini dapat dilakukan dengan berbagai
pendekatan, misalnya pendekatan materiel, yaitu
melakukan pendekatan terhadap keadaan neraca,
Page 16
38
laporan rugi laba, dan arus kas (cash flow) usaha
dari beberapa tahun terakhir. Melalui pendekatan ini,
tentu dapat diketahui pula mengenai tingkat
solvabilitas, likuiditas, dan rentabilitas usaha serta
tingkat riskonya. Pada umumnya yang menilai
capacity seseorang didasarkan pada pengalamannya
dalam dunia bisnis yang dihubungkan dengan
pendidikan dari calon nasabah debitur, serta
kemampuan dan keunggulan perusahaan dalam
melakukan persaingan usaha dengan persaingan
lainnya.
3) Capital. Dalam hal ini bank harus terlebih dahulu
melakukan penelitian terhadap modal yang dimiliki
oleh pemohon kredit. Penyelidikan ini tidaklah
semata-mata didasarkan pada besar kecilnya modal,
akan tetapi lebih difokuskan kepada bagaimana
distribusi modal ditempatkan oleh pengusaha
tersebut, sehingga segala sumber yang telah ada
dapat berjalan secara efektif.
4) Collateral. Merupakan jaminan untuk persetujuan
pemberian kredit yang merupakan sarana pengaman
(back up) atas risiko yang mungkin terjadi atas
wanprestasinya nasabah debitur di kemudian hari,
Page 17
39
misalnya terjadi kredit macet. Jaminan ini
diharapkan mampu melunasi sisa hutang kredit baik
utang pokok maupun bunganya.
5) Condition of economic. Dalam pemberian kredit
oleh bank, kondisi ekonomi secara umum dan
kondisi sector usaha permohonan kredit perlu
memperoleh perhartian dari bank untuk
memperkecul resiko yang mungkin terjadi yang
diakibatkan oleh kondisi ekonomi tersebut.
Berkaitan dengan prinsip pemberian kredit diatas, pada
dasarnya pemberian kredit oleh bank kepada nasabah debitur
berpedoman kepada dua prinsip, yaitu :
a. Prinsip kepercayaan. Dalam hal ini dapat dikatakan
bahwa pemberian kredit oleh bank kepada nasabah
debitur selalu didasarkan kepada kepercayaan. Bank
mempunyai kepercayaan bahwa kredit yang
diberikannya bermanfaat bagi nasabah debitur sesuai
dengan peruntukannya, dan terutama sekali bank percaya
nasabah debitur yang bersangkutan mampu melunasi
hutang kredit beserta bunga dalam jangka waktu yang
telah ditentukan.
b. Prinsip kehati-hatian (prudential principle). Bank
dalam menjalankan kegiatan usahanya, termasuk
Page 18
40
pemberian kredit kepada nasabah debitur harus selalu
berpedoman dan menerapkan prinsip kehati-hatian.
Prinsip ini antara lain diwujudkan dalam bentuk
penerapan secara konsisten berdasarkan itikad baik
terhadap semua persyaratan dan peraturan perundang-
undangan yang terkait dengan pemberian kredit oleh
bank yang bersangkutan.
Untuk memperoleh kredit seorang debitur harus melakuan
beberapa tahapan, yaitu tahap pengajuan aplikasi kredit sampai
dengan tahap penerimaan kredit. Tahapan-tahapan tersebut
merupakan suatu proses baku yang berlaku bagi setiap debitur yang
membutuhkan kredit bank.
Proses pemberian kredit oleh bank secara umum akan
dijelaskan sebagai berikut ini.
1. Pengajuan Permohonan/Aplikasi Kredit
Bahwa untuk memperoleh kredit dari bank, maka
tahap pertama yang dilakukan adalah mengajukan
permohonan atau aplikasi kredit kepada bank yang
bersangkutan. Permohonan atau aplikasi kredit tersebut
harus dilampiri dengan dokumen-dokumen yang
dipersyaratkan.
Page 19
41
Dalam pengajuan permohonan atau aplikasi
kredit oleh perusahaan sekurang-kurangnya memuat hal-
hal sebagai berikut :
a. Profil perusahaan beserta pengurusnya.
b. Tujuan dan manfaat kredit.
c. Besarnya kredit dan jangka waktu pelunasan
kredit.
d. Cara pengembalian kreditr
e. Agunan atau jaminan kredit.
Permohonan/aplikasi kredit tersebut
dilampirkan dengan dokumen-dokumen
pendukung yang dipersyaratkan, yaitu :
a. Akta pendirian perusahaan.
b. Identitas (KTP) para pengurus.
c. Tanda daftar perusahaan (TDP).
d. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
e. Neraca dan laporan rugi laba tiga tahun
terakhir.
f. Fotocopy sertifikat yang dijadikan jaminan.
Sedangkan untuk permohonan/aplikasi kredit
bagi perseorangan adalah sebagai berikut :
a. Mengisi aplikasi kredit yang telah disediakan
oleh Bank.
Page 20
42
b. Tujuan dan manfaat kredit.
c. Besarnya kredit dan jangka waktu pelunasan
kredit.
d. Cara pengembalian kredit.
e. Agunan atau jaminan kredit (kalau
diperlukan)
Permohonan/aplikasi kredit tersebut
dilengkapi dengan melampirkan semua dokumen
pendukung yang dipersyaratkan, yaitu :
a. Fotocopy identitas (KTP) yang bersangkutan.
b. Kartu Keluarga (KK).
c. Slip gaji yang bersangkutan.
2. Penelitian Berkas Kredit
Setelah permohonan/aplikasi kredit tersebut
diterima oleh bank, maka bank akan melakukan
penelitian secara mendalam dan mendetail terhadap
berkas aplikasi kredit yang diajukan. Apabila dari hasil
penelitian yang dilakukan itu, bank berpendapat bahwa
berkas aplikasi tersebut telah lengkap dan memenuhi
syarat, maka bank akan melakukan tahap selanjutnya
yaitu penilaian kelayakan kredit.
Adapun apabila ternyata berkas aplikasi kredit yang
diajukan belum lengkap dan belum memenuhi
Page 21
43
persyaratan yang ditentukan, maka bank akan meminta
kepada pemohon kredit untuk melengkapinya.
3. Penilaian Kelayakan Kredit (Study Kelayakan
Kredit)
Dalam tahap penilaian kelayakan kredit ini, banyak
aspek yang akan dinilai, yaitu :
a. Aspek Hukum. Yang dimaksud dengan aspek
hukum disini adalah penilaian terhadap keaslian
dan keabsahan dokumen-dokumen yang
diajukan oleh pemohon kredit. Penilaian
terhadap dokumen-dokumen tersebut dilakukan
peleh pejabat atau lembaga yang berwenang
untuk itu.
b. Aspek pasar dan pemasaran. Dalam aspek ini
yang akan dinilai adalah prospek usaha yang
dijalankan oleh pemohon kredit untuk masa
sekarang dan akan datang.
c. Aspek keuangan. Dalam aspek ini yang dinilai
dengan menggunakan analisis keuangan adalah
aspek keuangan perusahaan yang dilihat dari
laporan keuangan yang termuat dalam neraca
dan laporan laba rugi yang dilampirkan dalam
aplikasi kredit.
Page 22
44
d. Aspek teknis/operasional. Selain aspek-aspek
sebagaimana telah dikemukakan diatas, aspek
lain yang juga dilakukan penilaian adalah aspek
teknis atau operasional dari perusahaan yang
mengajukan aplikasi kredit, misalnya mengenai
lokasi tempat usaha, kondisi gedung, beserta
sarana dan prasarana pendukung lainnya.
e. Aspek manajemen. Penilaian aspek manajemen
ini dalah untuk menilai pengalaman dari
perusahaan yang memohon kredit dalam
mengelola kegiatan usahanya., termasuk sumber
daya manusia yang mendukung kegiatan usahan
tersebut.
f. Aspek sosial ekonomi. Untuk melakukan
penilaian terhadap dampak dari kegiatan usaha
yang dijalankan oleh perusahaan yang memohon
kredit khususnya bagi masyarakat baik secara
ekonomis maupun sosial.
g. Aspek AMDAL. Penilaian terhadap aspek
AMDAL ini sangat penting karena merupakan
salah satu persyaratan pokok untuk
beroperasinya suatu perusahaan. Oleh karena
kegiatan usaha yang dijalankan oleh suatu
Page 23
45
perusahaan pasti mempunyai dampak terhadap
lingkungan baik darat, air, dan udara.
4. Keputusan Atas Permohonan Kredit
Adanya Keputusan yaitu berarti berkenaan dengan
wewenang yang dipegang oleh pejabat bank yang berhak
untuk memberikan keputusan berupa menolak atau
menyetujui permohonan kredit yang diajukan oleh
debitur. Setiap keputusan permohonan kredit harus
memperhatikan syarat-syarat berdasarkan analisis kredit.
Keputusan atas permohonan kredit terdiri atas :
a. Persetujuan Permohonan Kredit
Yaitu Keputusan Bank untuk menyetujui atau
mengabulkan permohonan kredit dari calon
debitur.
b. Penolakan Permohonan Kredit
Yaitu Keputusan Bank untuk tidak mengabulkan
permohonan kredit karena Bank menganggap
betdasarkan analisis kredit tidak memenuhi
persyaratan.
5. Pencairan Fasilitas Kredit
Apabila Bank sudah menyetujui permohonan kredit
yang diajukan calon debitur, maka selanjutnya ketahap
pencairan kredit, dimana debitur akan melakukan
Page 24
46
pengikatan kredit terlebih dahulu yang disertai dengan
penyerahan jaminan berupa Sertifikat Hak Tanggungan.
Jika pengikatan sudah dilakukan, kemudian debitur
dapat menarik dana sesuai dengan jumlah kredit yang
diberikan oleh Bank.
6. Pembayaran Fasilitas Kredit
Pembayaran Fasilitas Kredit adalah dipenuhinya
semua kewajiban utang dari debitur terhadap Bank
berdasarkan perjanjian kredit yang berakibat hapusnya
perikatan perjanjian kredit.
2.2 Wanprestasi
2.2.1 Pengertian Wanprestasi
Setiap perjanjian yang dibuat oleh para pihak, masing-
masing pihak diwajibkan untuk memenuhi segala apa yang menjadi
isi dari perjanjian tersebut. Dalam perbuatan perjanjian maka akan
melahirkan hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak yang ikut
serta dalam membuat perjanjian. Dengan dibuatnya perjanjian,
maka pihak yang mengadakan perjanjian secara sukarela
mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu, atau
tidak berbuat sesuatu guna kepentingan masing masing pihak. Jika
dalam suatu perjanjian yang telah disepakati bersama, tetapi salah
Page 25
47
satu pihak lalai memenuhi kewajibannya maka dapat menimbulkan
wanprestasi.
Wanprestasi atau dikenal dengan istilah ingkar janji, yaitu
dimana debitur tidak dapat memenuhi suatu prestasinya. Kata
wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang berarti prestasi buruk.
Menurut Pasal 1234 KUHPerdata wujud prestasi ada tiga yaitu :
1. Memberikan Sesuatu, pengertian memberikan sesuatu menurut
Pasal 1235 ayat (1) KUHPerdata adalah menyerahkan
kekuasaan nyata atas suatu benda secara yuridis. Contoh : Sewa-
menyewa, jual-beli, hutang-piutang.
2. Untuk berbuat sesuatu, terdapat didalam Pasal 1239
KUHPerdata berarti melakukan suatu perbuatan yang telah
ditetapkan dalam perikatan. Contoh: Membuat patung.
3. Untuk tidak berbuat sesuatu, terdapat didalam Pasal 1239
KUHPerdata berarti tidak melakukan perbuatan seperti apa yang
telah diperjanjikan.
Jadi Wanprestasi dapat diartikan sebagai tidak terlaksananya
prestasi karena kesalahan debitur baik karena kesengajaan atau
kelalaian. Dasar Hukum Wanprestasi yaitu :
Pasal 1238 KUHPerdata :
Debitur dinyatakan Ialai dengan surat perintah, atau dengan
akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri,
yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai
dengan lewatnya waktu yang ditentukan.
Page 26
48
Pasal 1243 KUHPerdata :
Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak
dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur,
walaupun telah dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi
perikatan itu, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau
dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam waktu
yang melampaui waktu yang telah ditentukan
Pada dasarnya debitur dikatakan wanprestasi apabila :
1. Tidak memenuhi prestasi sama sekali.
2. Terlambat memenuhi prestasi.
3. Memenuhi prestasi secara tidak baik.
Menurut J. Satrio Wanprestasi adalah dimana kreditur tidak
memperoleh apa yang diperjanjikan oleh pihak lawan dan debitur
tidak melaksanakan kewajiban prestasinya atau tidak melaksanakan
sebagaimana mestinya.33
Wanprestasi menurut Handri Raharjo adalah suatu keadaan
yang menunjukkan debitur tidak berprestasi (tidak melaksanakan
kewajibannya) dan dia dapat dipermasalahkan. Tidak dipenuhinya
kewajiban debitur tersebut dapat terjadi karena dua hal yaitu:
1. Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan ataupun
karena kelalaian.
2. Karena keadaan memaksa (force majour), di luar kemampuan
debitur.34
33
J.Satrio,1995,Hukum Perikatan (Hukum yang lahir dari Perjanjian),PT. Citra Aditya
Bakti,Bandung, h.314. 34
Handry Raharjo,2009,Hukum Perjanjian di Indonesia,Pustaka Yustisia,Yogyakarta,h.79.
Page 27
49
Kemudian A. Ridwan Halim mengatakan bahwa
wanprestasi adalah kelalaian suatu pihak dalam memenuhi
kewajibannya terhadap pihak lain yang seharusnya ditunaikannya
berdasarkan perikatan yang telah dibuat.35
Dengan demikian wanprestasi terjadi apabila tidak
dipenuhinya sesuatu yang telah diwajibkan sebagaimana apa yang
telah ditetapkan dalam perjanjian, termasuk lalai dalam
memenuhinya. Sesuatu yang dikategorikan lalai adalah :
1. Tidak memenuhi kewajiban sama sekali.
2. Terlamat memenuhi kewajibannya.
3. Memenuhinya tetapi tidak seperti apa yang telah diperjanjikan.
Wanprestasi yang tidak dilakukan oleh salah satu pihak
mempunyai akibat hukum bagi pihak lainnya, oleh karena itu sangat
penting untuk memperhatikan sejak kapan seseorang itu dikatakan
wanprestasi. Sehingga perlu diperhatikan isi dari perjanjian yang
telah disepakati dan ditandatangani bersama, beserta tenggang
waktu yang telah ditentukan untuk pemenuhan prestasi.
Jika dalam perjanjian ditentukan batas waktu, maka
pemenuhan prestasi harus dilakukan sebelum batas waktu tersebut
lewat, jika lewat dari batas waktu yang ditentukan makan pihak
bersangkutan akan dilakukan peringatan agar memenuhinya.
35
A. Ridwan Halim,1982,Hukum Dalam Tanya Jawab,Gahlia Indonesia, Jakarta,h.158.
Page 28
50
2.2.2 Faktor-Faktor Penyebab Wanprestasi
Suatu perjanjian dapat berjalan normal sebagaimana apa
yang telah diperjanjikan, apabila pihak-pihak yang terlibat
didalamnya melaksanakan kewajiban yang sudah ditetapkan dalam
perjanjian. Tetapi, pada waktu tertentu yang tidak dapat diduga oleh
para pihak, muncul suatu keadaan yang tidak diinginkan, sehingga
perjanjian yang sudah ditetapkan sebagaimana mestinya tidak dapat
berjalan dengan baik. Menurut Abdulkadir Muhammad faktor yang
menjadi penyebab terjadinya wanprestasi adalah
a. Faktor dari luar
Menurut Abdulkadir Muhammad, faktor dari luar adalah
peristiwa yang tidak diharapkan terjadi dan tidak dapat diduga
akan terjadi ketika perjanjian dibuat.
b. Faktor dari dalam diri pihak
Abdulkadir Muhammad menerangkan faktor dari dalam diri
para pihak merupakan kesalahan yang timbul dari diri para
pihak, baik kesalahan tersebut yang dilakukan dengan sengaja
ataupun karena kelalaian pihak itu sendiri, dan para pihak itu
sendiri, dan para pihak sebelumnya telah mengetahui akibat
yang timbul dari perbuatannya tersebut.36
Dalam ranah perbankan debitur yang tidak dapat
melaksanakan kewajibannya sebagaimana yang telah diperjanjikan
36
Abdulkadir Muhammad,1992,Perjanjian Baku Dalam Praktek Perusahaan
Dagang,PT.Citra Aditya Bakti,Bandung ,(selanjutnya disebut Abdulkadir Muhammad III),h.12.
Page 29
51
dalam perjanjian kredit dapat dikatakan wanprestasi. Walaupun
pihak bank atau kreditur sebelumnya telah menganalisis secara rinci
calon debiturnya, tetapi tetap saja wanprestasi bisa terjadi. Adanya
hal-hal yang tidak dapat diduga sebelumnya oleh pihak kreditur
yang menyebabkan debitur tidak dapat membayar tunggakan kredit
yang diwajibkan padanya. Adapun faktor-faktor yang
mempengaruhi debitur melakukan wanprestasi antara lain :
1. Penyalahgunaan kredit. Hal ini terjadi pada debitur yang tidak
menggunakan fasilitas kredit yang diberikan oleh bank
sebagaimana mestinya sesuai dengan tujuan utama yang tertera
pada perjanjian kredit.
2. Debitur memiliki itikad tidak baik. Dalam perjanjian kredit
debitur yang meminjam kredit kepada pihak bank seharusnya
dapat membayar pinjamannya tepat pada waktunya sesuai apa
yang telah diperjanjikan dalam akad kredit. Tetapi ada sebagian
debitur yang dengan sengaja mencoba menghindar bahkan hal
terburuknya mencoba melarikan diri untuk lepas dari tanggung
jawabnya untukmembayar kredit.
3. Kegagalan usaha debitur. Adanya ketidakmampuan debitur
dalam mengelola usahanya, sehingga produksi yang dihasilkan
mengalami keterlambatan. Jika hal ini terus berlarut-larut pada
usaha debitur, maka akan menjurus pada kerugian sehingga
akan mempengaruhi pembayaran angsuran. Apabila hal
Page 30
52
tersebut berlangsung dalam waktu lama dan terus menerus,
maka akan mengakibatkan tidak terpenuhinya prestasi oleh
debitur kepada kreditur dan selanjutnya menjadi wanprestasi.
4. Debitur mendapat musibah. Dalam hal ini terjadi hal yang tidak
diduga sama sekali oleh pihak debitur dan kreditur, dimana
debitur atau salah satu anggota keluarganya mengalami
musibah baik dari faktor alam maupun berasal dari faktor
manusia itu sendiri, yang akan membutuhkan biaya yang besar,
sehingga debitur akan lebih mengutamakan kepentingan
tersebut, daripada membayar angsuran kreditnya.
2.3 Hak Tanggungan
2.3.1. Pengertian Hak Tanggungan
Hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan
kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.37
Pengertian
Hak Tanggungan menurut ketentuan Pasal 1 Butir 1 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah, adalah : "Hak
Tanggungan atas tanah beserta benda - benda yang berkaitan
dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah
hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
37
Adrian Sutedi,op.cit,h. 7.
Page 31
53
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut
benda -benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu,
untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada Kreditur tertentu terhadap Kreditur - Kreditur
lain". Berdasarkan rumusan Pasal 1 Butir 1 Undang-Undang Hak
Tanggungan tersebut dapat diketahui bahwa pada dasarnya suatu
Hak Tanggungan adalah suatu bentuk jaminan pelunasan utang,
dengan hak mendahului, dengan obyek jaminannya berupa Hak -
hak atas tanah yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok - Pokok Agraria.
Menurut Kamus Bahasa Indonesia, tanggungan diartikan
sebagai barang yang dijadikan jaminan. Sedangkan jaminan itu
sandiri artinya tanggungan atas pinjaman yang diterima.
Menurut E. Liliawati Muljono, yang dimaksud dengan Hak
Tanggungan adalah Hak Jaminan yang dibebankan pada hak atas
tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agrana
berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu-
kesatuan dengan tanah itu untuk pelunasan hutang tertentu, yang
memberikan kcdudukan yang diutamakan kepada Kreditur tertentu
terhadap Kreditur yang lain.38
Sedangkan St. Remy Sjahdeni menyatakan bahwa UUHT
memberikan definisi yaitu Hak Tanggungan atas tanah beserta
38
E. Liliawati Muljono,2003,Tinjauan Yuridis Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 Tentang
Hak Tanggungan Dalam Kaitannya Dengan Pemberian Kredit Oleh Perbankan.Harwarindo,
Jakarta, h.2.
Page 32
54
benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut
Hak Tanggungan.39
Dari pengertian tersebut diatas, maka unsur-unsur yang
terkandung dalam pengertian hak tanggungan meliputi antara lain :
a. Hak jaminan yang dibebankan hak atas tanah.
b. Hak atas tanah berikut atau tidak berikut benda-benda
lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.
c. Untuk pelunasan utang tertentu.
d. Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lainnya.40
Hak Tanggungan merupakan perjanjian yang accesoir,
artinya di samping adanya perjanjian pokok yang berwujud
perjanjian pinjam meminjam uang. Karena merupakan perjanjian
yang accesoir, maka adanya tergantung perjanjian pokok, dengan
cirri-ciri dan sifat antara lain :
a. Memberikan kedudukan yang diutamakan (preferent)
kepada krediturnya. Hal ini berarti bahwa kreditur
pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk
didahulukan di dalam mendapatkan pelunasan atas
piutangnya daripada kreditur-kreditur lainnya atas hasil
penjualan benda yang dibebani Hak Tanggungan
tersebut.
39
Remy Sjahdeni, 1999, Hak Tanggungan. Asas-asas. Ketentuan-ketentuan Pokok dan
Masalah yang Dihadapi oleh Perbankan, Alumni, Bandung, h.10. 40
Salim H.S,op.cit,h.115.
Page 33
55
b. Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapapun objek
tersebut berada. Artinya benda-benda yang dijadikan
objek Hak Tanggungan itu tetap terbeban Hak
Tanggungan walau ditangan siapa pun benda itu berada.
Jadi meskipun hak atas tanag yang menjadi objek Hak
Tanggungan tersebut telah beralih atau berpindah-pindah
kepada orang lain, namun hak tanggungan yang ada
tetap melekat pada objek tersebut dan tetap mempunyai
kekuatan mengikat.41
c. Memenuhi asas spesialitas dan publisitas
Asas spesialiatas maksudnya benda yang dibebani hak
tanggungan itu harus ditunjuk secara khusus. Dalam
Akta pemberian Hak Tanggungan harus disebutkan
secara jelas dan tegas mengenai benda yang di bebani
itu berupa apa, dimana letaknya, berapa luasnya, apa
batas-batasnya, dan apa bukti pemiliknya. Adapun asas
publisitas artinya hal pembebanan hak tanggungan
tersebut harus dapat diketahui oleh umum, untuk itu
terhadap Akta Pemberian Hak Tanggungan harus
didaftarkan.
41
Remy Sjahdeni,op.cit, h. 383.
Page 34
56
d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, artinya dapat
dieksekusi seperti putusan hakim yang telah berkekuatan
hukum tetap dan pasti.42
2.3.2. Asas-Asas Hak Tanggungan
Hak Tanggungan sebagai satu-satunya lembaga hak jaminan
atas tanah untuk pelunasan utang tertentu berdasarkan Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan mempunyai
beberapa asas yaitu sebagai berikut :
a. Droit de preference, yaitu memberikan kedudukan yang
diutamakan atau mendahului kepada pemegangnya
(Pasal 1 angka 1 dan Pasal 20 Ayat 1 Undang-Undang
Hak Tanggungan).
b. Tidak dapat dibagi-bagi atau ondeelbaarheid (Pasal 2
Ayat 1 UUHT).
c. Dapat dibebankan pada hak atas tanah, yaitu :
- Hak atas tanah yang telah ada (Pasal 2 Ayat 2
UUHT).
- Hak atas tanah yang lain berikut benda-benda yang
berkaitan dengan tanah tersebut (Pasal 4 Ayat 4
UUHT).
42
Boedi Harsono, 1997,Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelakasanaanya, Cet. VII, Djambatan,Jakarta,h.15.
Page 35
57
- Hak atas tanah berikut benda-benda yang berkaitan
dengan tanah yang telah ada atau aka nada atau
untuk dikemudian hari (Pasal 4 Aayat 4 UUHT).
d. Sifat perjanjian adalah tambahan (accessories).
e. Dapat dijadikan jaminan utang yang baru (Pasal 3 Ayat 1
UUHT) dan lebih dari satu utang (Pasal 3 Ayat 2
UUHT).
f. Droit de suit, yang selalu mengikuti objek yang dijamin
dalam tangan siapapun benda itu berada (Pasal 7
UUHT).
g. Tidak dapat diletakkan sita oleh pengadilan.
h. Hanya dapat dibebankan atas tanah tertentu (Pasal 8,
Pasal 11 Ayat 1 UUHT).
i. Publisitas, yaitu ada kewajiban untuk mendaftarkan
(Pasal 13 UUHT).
j. Pelaksanaan eksekusinya mudah dan pasti.
k. Dapat dibebankan dengan disertai janji tertentu (Pasal 11
Ayat 2 UUHT).
l. Objek tidak boleh diperjanjikan untuk dimiliki
pemegang hak tanggungan jika pemberi hak tanggungan
cidera janji.
Page 36
58
2.3.3. Objek Hak Tanggungan
Undang-Undang Pokok Agraria mengenal hak jaminan atas
tanah, yang dinamakan Hak Tanggungan. Menurut UUPA, Hak
Tanggungan itu dibebankan diatas tanah hak milik (Pasal 25), Hak
Guna Usaha (Pasal 33), dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39).
Menurut Pasal 51 UUPA, Hak Tanggungan akan diatur dengan
undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996
tentang Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang
berkaitan dengan tanah, hal tersebut terwujudlah suatu hukum
jaminan nasional, seperti yang diamanatkan di dalam Pasal 51
UUPA tersebut.
Berdasarkan Undang-Undang Hak Tanggungan, objek yang
dapat dibebani dengan Hak Tanggungan adalah hak-hak atas tanah
beserta benda-benda yang berkaitan denngan tanah. Dalam Pasal 4
Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut dijelaskan bahwa hak
atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah sebagai
berikut : a) Hak Milik, b) Hak Guna Usaha, c) Hak Guna Bangunan,
d) Hak Pakai atas Tanah Negara, yang menurut ketentuan yang
berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindah
tangankan, e) Hak Hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan
hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik
pemegang hak atas tanah. Dalam hal ini pembebanannya harus
Page 37
59
dengan tegas dinyatakan dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan
yang bersangkutan.
Pada prinsipya objek Hak Tanggungan adalah hak-hak atas
tanah yang memenuhi dua persyaratan, yaitu wajib didaftarkan
(untuk memenuhi syarat publisitas) dan dapat dipindahtangankan
untuk memudahkan pelaksanaan pembayaran utang yang dijamin
pelunasannya.
2.3.4. Subjek Hak Tanggungan
Dalam Hak Tanggungan juga terdapat subjek hukum yang
menjadi hak tanggungan yang terkait dengan perjanjian pemberi
Hak Tanggungan. Didalam suatu perjanjian hak tanggungan ada dua
pihak yang mengikatkan diri, yaitu sebagai berikut :
1. Pemberi Hak Tanggungan, yaitu orang atau pihak yang
menjaminkan objek hak tanggungan.
2. Pemegang Hak Tanggungan, adalah orang perorangan
atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak
yang berpiutang.
Yang dapat menjadi subjek Hak Tanggungan selain Warga
Negara Indonesia, dengan ditetapkannya Hak Pakai atas Tanah
Negara sebagai objek hak tanggungan, bagi Warga Negara Asing
juga dimungkinkan untuk dapat menjadi subjek hak tanggungan,
apabila memenuhi syarat.
Page 38
60
Jika hak pakai itu oleh Warga Negara Asing yang mana Hak
Pakai itu menurut Undang-Undang Hak Tanggungan juga dapat
menjadi objek Hak Tanggungan, ada persyaratan untuk menjadi
subjek hak pakai yang harus dipenuhi. Demikian juga kalau Warga
Negara Asing tersebut mengajukan permohonan kredit dengan Hak
Pakai atas Tanah Negara sebagai jaminan harus memenuhi
persyaratan antara lain :
2. Sudah tinggal di Indonesia dalam waktu tertentu.
3. Mempunyai usaha di Indonesia.
4. Kredit itu dipergunakan untuk kepentingan
pembangunan di wilayah Negara Republik Indonesia. 43
Dalam kaitannya dengan kedudukan selaku kreditur,
Undang-Undang Hak Tanggungan menegaskan bahwa seorang
Warga Negara Asing maupun badan hukum asing juga dapat
menjadi pemegang Hak Tanggungan, karena hak tanggungan tidak
ada kaitannya dengan pemilikan objeknya secara serta merta.
2.3.5. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
Dalam penjelasan umum angka 7 dan penjelasan Pasal 15
ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dinyatakan bahwa
pemberian hak tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh Pemberi
Hak Tanggungan dengan cara hadir dihadapan PPAT. Hanya
apabila karena suatu sebab tidak dapat hadir sendiri di hadapan
43
Adrian Sutedi, op.cit,h. 54.
Page 39
61
PPAT, ia wajib menunjuk pihak lain sebagai kuasany, dengan Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (disingkat SKMHT) yang
berbentuk akta otentik.
Pembuatan SKMHT selain oleh Notaris juga ditugaskan
kepada PPAT, karena PPAT ini yang keberadaanya sampai pada
wilayah Kecamatan dalam rangka pemerataan pelayanan di bidang
pertanahan. Isi SKMHT tersebut harus memenuhi persyaratan
sebagai berikut:
1. Tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan
hukum lain dari pada membebankan Hak Tanggungan.
2. Tidak memuat kuasa substitusi
3. Mencantumkann secara jelas objek Hak Tanggungan,
jumlah utang, dan nama serta identitas krediturnya,
nama dan identitas debitur apabila debitur bukan
pemberi hak tanggungan.44
Kewenangan PPAT membuat SKMHT selain tercantum
dalam Pasal 15 ayat (1) juga berdasarkan penjelasan umum angka 7
yang antara lain menyatakan bahwa :
1. PPAT adalah pejabat umum yang berwenang membuat
akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam
rangka pembebanan hak atas tanah, yang bentuk
aktanya ditetapkan, sebagai bukti dilakukannya
44
Ibid,h.61.
Page 40
62
perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak
didalam daerah kerjanya masing-masing. Sebagai
pejabat umum tersebut akta-akta yang dibuat oleh
PPAT merupakan akta otentik
2. Pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak
Tanggungan selain kepada Notaris, ditugaskan juga
kepada PPAT yang keberadaanya sampai pada wilayah
kecamatan untuk memudahakan pelayanan kepada
pihak-pihak yang memerlukan.
Dengan demikian, jika Notaris berwenang membuat
SKMHT untuk tanah-tanah diseluruh wilayah Indonesia, maka
PPAT hanya boleh membuat SKMHT untuk tanah-tanah yang
berada di dalam wilayah jabatannya. Surat kuasa tersebut harus
diberikan langsung oleh pemeberi hak tanggungan dan wajib
memenuhi persyaratan mengenai muatannya sebagaimana
ditetapkan dalam Pasal 15 ayat (1) tersebut. Jika SKMHT tidak
dibuat sendiri oleh pemberi hak tanggungan atau tidak memenuhi
persyaratan tersebut diatas, maka Surat Kuasa yang bersangkutan
batal demi hukum, artinya Surat Kuasa itu tidak dapat digunakan
sebagai dasar pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
Didalam Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
terdapat dua aspek yang harus diperhatikan, yakni sebagai berikut.
1. Pembatasan Isi/Muatan dalam SKMHT
Page 41
63
UUHT secara tegas membatasi isi atau muatan
dari SKMHT, yaitu hanya membuat perbuatan hukum
membebankan hak tanggungan. Jadi tidak boleh
membuat kuasa-kuasa memlakukan perbuatan hukum
lain yang bermaksud mendukung tercapainya maksud
pemberian jaminan yang bersangkutan misalnya, tidak
memuat kuasa menjual, menyewakan objek Hak
Tanggungan, memperpanjang hak atas tanah atau untuk
mengurus perpanjangan sertifikat, mengurus balik
naman dan sebagainya.
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
(SKMHT) tidak boleh memuat kuasa substitusi yaitu
penggantian penerima kuasa melalui pengadilan. Namun
jika penerima kuasa memberikan kuasa kepada pihak
lain dalam rangka penugasan untuk bertindak
mewakilinya misalnya, Direksi Bank menugaskan
pelakasanaan kuasa yang diterimanya kepada Kepala
Cabangnya atau pihak lain, maka ini bukan merupakan
substitusi (Penjelasan Pasal 15 ayat (1) huruf b).
2. Pembatasan Jangka Waktu
Guna mencegah berlarut-larutnya pemeberian
kuasa dan terjadinya penyalahgunaan serta demi
tercapainya kepastian hukum, maka berlakunya SKMHT
Page 42
64
dibatasi jangka waktunya Untuk hak atas tanah yang
sudah terdaftar, wajib diikuti dengan pembuatan APHT
selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan,
sedangkan terhadap hak atas tanah yang belum terdaftar
harus dipenuhi dalam waktu 3 (tiga) bulan.