38 BAB II TINJAUAN TENTANG PAJAK DAERAH DAN KAWASAN HIJAU Dalam Bab II ini akan diuraikan teori dan konsep yang terkait dengan Pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk obyek pajak pada jalur hijau dan kawasan limitasi di Kabupaten Badung Provinsi Bali. Keterkaitan antara landasan teori pada Bab I dengan teori pada Bab II ini adalah untuk menambah dan memperjelas serta mempertajam teori dan konsep dalam penulisan tesis ini, khususnya teori dan konsep yang digunakan untuk mencari jawaban dari masalah yang telah dirumuskan. Pembahasan dalam penulisan Bab II ini meliputi Teori Perpajakan, Konsep Pajak Daerah dan Kawasan Hijau yang sistematika pemaparannya sebagai berikut : 1. Pajak Dalam sub-bab ini diuraikan mengenai pengertian pajak, asas-asas dan syarat-syarat pemungutan pajak, fungsi pajak dan subyek serta obyek pajak. 2. Pajak Daerah Dalam sub-bab ini diuraikan mengenai pengertian pajak daerah, jenis-jenis pajak daerah, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai pajak daerah dan diakhiri dengan bahasan tentang kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Perpajakan. 3. Kawasan Jalur Hijau dan Limitasi
47
Embed
BAB II TINJAUAN TENTANG PAJAK DAERAH DAN KAWASAN … II Agus Wira...39 2.1 Pajak 2.1.1 Pengertian Pajak Ditinjau dari jumlah pendapatan yang diterima oleh negara, penerimaan pajak
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
38
BAB II
TINJAUAN TENTANG PAJAK DAERAH DAN KAWASAN HIJAU
Dalam Bab II ini akan diuraikan teori dan konsep yang terkait dengan
Pengaturan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk obyek pajak pada jalur hijau
dan kawasan limitasi di Kabupaten Badung Provinsi Bali. Keterkaitan antara
landasan teori pada Bab I dengan teori pada Bab II ini adalah untuk menambah
dan memperjelas serta mempertajam teori dan konsep dalam penulisan tesis ini,
khususnya teori dan konsep yang digunakan untuk mencari jawaban dari masalah
yang telah dirumuskan. Pembahasan dalam penulisan Bab II ini meliputi Teori
Perpajakan, Konsep Pajak Daerah dan Kawasan Hijau yang sistematika
pemaparannya sebagai berikut :
1. Pajak
Dalam sub-bab ini diuraikan mengenai pengertian pajak, asas-asas dan
syarat-syarat pemungutan pajak, fungsi pajak dan subyek serta obyek
pajak.
2. Pajak Daerah
Dalam sub-bab ini diuraikan mengenai pengertian pajak daerah, jenis-jenis
pajak daerah, Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebagai pajak daerah dan
diakhiri dengan bahasan tentang kewenangan Pemerintah Daerah dalam
Penyelenggaraan Perpajakan.
3. Kawasan Jalur Hijau dan Limitasi
39
2.1 Pajak
2.1.1 Pengertian Pajak
Ditinjau dari jumlah pendapatan yang diterima oleh negara, penerimaan
pajak merupakan penerimaan yang dominan dari seluruh penerimaan negara.
Banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, tetapi pada intinya
mempunyai maksud dan tujuan yang sama. Berikut ini adalah beberapa pengertian
mengenai pajak oleh para ahli, yaitu:
Banyak para ahli memberikan batasan tentang pajak, diantaranya
pengertian pajak yang dikemukakan oleh R. Santoso Brotodiharjo, pajak adalah
peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk public saving yang merupakan
sumber utama untuk membiayai public investment.52 Menurut Waluyo pengertian
Pajak adalah iuran masyarakat kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.53 Menurut Rochmat Soemitro pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara
berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa
timbal balik yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk
membayar pengeluaran umum.54 Pengertian ini kemudian disempurnakan
menjadi, pajak adalah peralihan kekayaan dari pihak rakyat kepada kas negara
untuk membiayai pengeluaran rutin dan “surplus”-nya digunakan untuk public
saving yang merupakan sumber utama untuk membiayai public investment.
52 Adrian Sutedi, 2011, Hukum Pajak, Penerbit Grafika, Jakarta, hal. 8. 53 Waluyo, 2009, Perpajakan Indonesia, Salemba Empat, Jakarta, hal. 2. 54 Siti, Resmi, 2009, Perpajakan: Teori dan Kasus, Edisi Kelima, Salemba Empat, Jakarta,
hal. 17.
40
Pengertian pajak menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007
tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (selanjutnya disebut UUKUP
Tahun 2007) adalah sebagai berikut;
“Pajak adalah kontribusi wajib pada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”. Berdasarkan pengertian pajak yang dikemukakan di atas, dapat
disimpulkan bahwa pajak memiliki unsur-unsur sebagai berikut:
1. luran dan rakyat kepada negara yang berhak memungut pajak hanyalah
negara. luran tersebut berupa uang (bukan barang).
2. Berdasarkan Undang-Undang Pajak dipungut berdasarkan atau dengan
kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.
3. Tanpa jasa timbal (kontraprestasi) dan negara yang secara langsung dapat
ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat di tunjukkan adanya
kontraprestasi individual oleh pemerintah.
4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga negara, yakni pengeluaran-
pengeIuaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
2.1.2 Asas-Asas dan Syarat-Syarat Pemungutan Pajak
2.1.2.1 Asas-Asas Pemungutan Pajak
Asas-asas pelaksanaan pemungutan pajak dapat dijumpai adanya beberapa
asas, yaitu: asas yuridis, asas ekonomis, asas umum dan merata, asas domisili,
asas sumber, asas kebangsaan, asas waktu, asas rentabilitas dan asas resiprositas.55
55 Rochmat Soemitro dan Dewi Kania Sugiharti, 2004, Asas Dan Dasar Perpajakan Jilid 1,
Rafika Aditama, Bandung, hal. 39
41
1. Asas Yuridis
Asas ini mensyaratkan bahwa pemungutan pajak harus berdasar
undang-undang, artinya pemungutan pajak tersebut harus terlebih dulu
mendapat persetujuan rakyat (melalui wakil-wakil rakyat). Di Indonesia
hal tersebut tertuang dalam Pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 yang berbunyi : “Segala pajak untuk
keperluan negara berdasarkan undang-undang”, yang setelah dilakukan
amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
1945 selanjutnya dicantumkan dalam Pasal 23 A, yang berbunyi : “Pajak
dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur
dengan Undang-Undang”.
2. Asas Ekonomi
Dalam asas ini disyaratkan bahwa pelaksanaan pemungutan pajak
harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Pajak harus dapat dibayar dari penghasilan rakyat dan tidak boleh
menghalangi usahanya dalam menuju ke kebahagiaan rakyat;
b. Pajak tidak boleh menghalang-halangi lancarnya usaha perdagangan
dan industri atau produksi;
c. Pajak tidak boleh bertentangan dengan atau merugikan kepentingan
umum.
Kepentingan umum jangan sampai dirugikan, misalnya bantuan
terhadap bencana alam menurut saluran-saluran tertentu yang dilakukan
oleh orang-orang atau badan dapat dianggap sebagai pengeluaran yang
42
dapat dipergunakan untuk mengurangi jumlah penghasilannya dalam
rangka menghitung penghasilan bersih.
3. Asas Umum dan Merata
Umum artinya adalah bahwa dalam asas ini menyatakan bahwa
pemungutan pajak harus dikenakan kepada semua orang (yang memenuhi
syarat) tanpa pandang bulu dan merata artinya tekanan beban pajaknya
sama (sesuai dengan kemampuan masing-masing Wajib Pajak).
4. Asas Domisili
Asas ini memberikan kewenangan kepada negara untuk memungut pajak
kepada wajib pajak (tax payer) yang bertempat tinggal di wilayahnya.
Dengan kata lain pemungutan pajak didasarkan atas tempat tinggal atau
domisili Wajib Pajak. Misalnya, apabila seorang Warga Negara Indonesia
(WNI) memperoleh penghasilan dari Indonesia dan dari luar Indonesia
maka pemerintah Indonesia berwenang memungut pajak kepada WNI
yang bersangkutan baik atas penghasilan yang diperoleh dari Indonesia
maupun dari luar tersebut.
5. Asas Sumber
Asas ini memberikan kewenangan kepada negara asal sumber pendapatan
yang diperoleh oleh wajib pajak. Dengan kata lain pemungutan pajak
didasarkan atas letak sumber pendapatan yang diperoleh tanpa
memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak. Misalnya, jika seorang Warga
Negara Asing (WNA) memperoleh penghasilan dari Indonesia, maka
berdasar atas asas ini pemerintah Indonesia berwenang memungut pajak
kepada WNA tersebut.
43
6. Asas Kebangsaan
Asas kebangsaan ini menghubungkan pengenaan pajak dengan kebangsaan
dari suatu negara sehingga pengenaan/pemungutan pajak didasarkan atas
kebangsaan Wajib Pajak. Asas ini mengandung dua arti yaitu :
a. Dalam arti aktif ; artinya negara berwenang memungut pajak kepada
semua warga negaranya dimana pun berada.
b. Dalam arti pasif ; artinya negara berwenang untuk memungut pajak
terhadap warga negara asing yang tinggal di wilayah negaranya.
7. Asas Waktu
Asas ini mensyaratkan bahwa pemungutan pajak harus dilakukan pada saat
Wajib Pajak dalam keadaan mampu membayar pajak. Misalnya,
memungut pajak pada saat rakyat menikmati panen atau saat wajib pajak
yang berstatus pegawai mendapat gaji, jangan memungut pajak saat rakyat
dalam keadaan paceklik.
8. Asas Rentabilitas
Asas ini mensyaratkan bahwa biaya pemungutan pajak tidak boleh lebih
besar dari pajaknya, atau dengan kata lain pemungutan pajak harus
memberikan hasil. Salah satu fungsi pajak adalah fungsi budgetair atau
fungsi keuangan, yaitu untuk mendapatkan keuangan yang sebesar-
besarnya bagi negara, sehingga jika pemungutan pajak akan merugikan
negara atau tidak menghasilkan, maka pemungutan pajak tidak perlu
dilakukan.
44
9. Asas Resiprositas
Asas ini menyatakan bahwa negara memberikan kebebasan subyektif
dengan syarat timbal balik. Misalnya, duta besar suatu negara yang berada
di Indonesia dapat dibebaskan membayar pajak tertentu dengan syarat
bahwa negara dari duta besar tersebut juga membebaskan duta besar
Indonesia di negara sahabat tersebut.
Berbeda dengan pendapat Rochmat Soemitro yang membagi asas-asas
pemungutan pajak menjadi 9 (sembilan) asas seperti yang dikemukakan di atas,
Mardiasmo membagi asas pemungutan pajak menjadi 3 (tiga) asas saja, yaitu:56
1. Asas domisili (asas tempat tinggal)
2. Asas sumber
3. Asas kebangsaan
2.1.2.2 Syarat-Syarat Pemungutan Pajak
Menurut Rochmat Soemitro, pemungutan pajak harus memenuhi syarat-
syarat yaitu syarat yuridis, syarat ekonomis, syarat finansial, dan syarat sosiologis,
yang diuraikan sebagai berikut:57
1. Syarat yuridis mengharuskan bahwa undang-undang pajak yang menjadi dasar
pelaksanaan perpajakan harus memberikan kepastian hukum, memberikan
keadilan, dan juga harus memberikan manfaat.
2. Syarat ekonomis mensyaratkan bahwa pemerintah dalam memungut pajak
harus benar-benar memperhatikan dampak ekonomi pada individu, jangan
sampai pajak merupakan beban bagi individu atau warga masyarakat.
Pajak Daerah merupakan salah satu pendapatan asli daerah yang
diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintah
dan pembangunan daerah untuk memajukan daerah tersebut, antara lain dapat
ditempuh suatu kebijaksanaan yang mewajibkan setiap orang untuk membayar
pajak sesuai dengan kewajibannya. Setiap daerah berhak mengurus rumah
tangganya sendiri (otonom). Pajak Daerah menurut Mardiasmo adalah pajak yang
dipungut oleh daerah berdasarkan peraturan pajak yang ditetapkan oleh daerah
(melalui Perda) untuk kepentingan pembiayaan rumah tangga pemerintah
daerah.59
Menurut Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 Perubahan atas Undang-
undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang
dimaksud dengan Pajak Daerah adalah :
“Iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah.” Apabila memperhatikan prinsip umum perpajakan yang baik dengan
bertitik tolak dengan pendapat Adam Smith dan ekonom-ekonom Inggris yang
lain, maka menurut Musgrave haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Penerimaan/pendapatan harus ditentukan dengan tepat; 2. Distribusi beban pajak harus adil artinya setiap orang harus dikenakan
pembayaran pajak sesuai dengan kemampuannya; 3. Yang menjadi masalah penting adalah bukan hanya pada titik mana pajak
tersebut harus dibebankan, tetapi oleh siapa pajak tersebut akhirnya harus ditanggung.
59 Mardiasmo, Op.Cit, hal. 62.
59
4. Pajak harus dipilih sedemikian rupa untuk meminimumkan terhadap keputusan perekonomian dalam hubungannya dengan pasar efisien.
5. Struktur pajak harus memudahkan penggunaan kebijakan fiscal untuk mencapai stabilitasi dan pertumbuhan ekonomi.
6. Sistem pajak harus menerapkan administrasi yang wajar dan tegas/pasti serta harus dipahami oleh wajib pajak.
7. Biaya administrasi dan biaya-biaya lain harus serendah mungkin jika dibandingkan dengan tujuan-tujuan lain.60 Untuk mempertahankan prinsip tersebut di atas, maka perpajakan daerah
harus memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara
penerimaan pajak harus lebih besar dari ongkos pemungutannya;
2. Relatif stabil, artinya penerimaan pajak tidak berfluktuasi terlalu besar,
kadang-kadang meningkat secara drastis dan ada kalanya menurun secara
tajam;
3. Basis pajaknya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan
(benefit) dan kemampuan untuk membayar (ability to pay).
Melihat definisi di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Pajak daerah
merupakan pajak dalam konteks daerah yang dapat dipungut oleh Pemerintah
Daerah dalam hal ini Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota. Diatur
berdasarkan Peraturan Daerah dan hasilnya untuk membiayai pembangunan
daerah. Dari segi kewenangan pemungutan pajak atas objek pajak daerah, pajak
daerah dibagi menjadi 2 (dua) yakni :
1. Pajak Daerah yang dipungut oleh provinsi
2. Pajak Daerah yang dipungut oleh Kabupaten /kota
60 Rochmat Soemitro, Op.Cit, hal. 15-16.
60
Perbedaan kewenangan pemungutan antara pajak yang dipungut oleh
pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota, yakni sebagai berikut :
1. Pajak provinsi kewenangan pemungutan terdapat pada Pemerintah Daerah
Provinsi, sedangkan untuk pajak kabupaten/kota kewenangan pemungutan
terdapat pada Pemerintah Daerah kabupaten/kota.
2. Objek pajak kabupaten/kota lebih luas dibandingkan dengan objek pajak
provinsi dan objek pajak kabupaten/kota masih dapat diperluas berdasarkan
peraturan pemerintah sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan yang
ada. Sedangkan pajak provinsi apabila ingin diperluas objeknya harus
melalui perubahan dalam undang-undang.
Perpajakan Daerah oleh K. J. Davey61 dapat diartikan sebagai berikut:
1. Pajak yang dipungut oleh Pemerintah Daerah dengan pengaturan dari daerah sendiri;
2. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan nasional tetapi penetapan tarifnya dilakukan oleh Pemerintah Daerah;
3. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh Pemerintah Daerah.
2.2.2 Jenis-Jenis Pajak Daerah
Kriteria Pajak daerah secara spesifik dapat diuraikan dalam 4 (empat) hal
yakni :
1. Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan pengaturan yang
dilaksanakan oleh daerah itu sendiri;
2. Pajak yang dipungut berdasarkan pengaturan dari pemerintah pusat tetapi
penetapan besarnya tarif pajak oleh pemerintah daerah;
3. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh pemerintah daerah itu
sendiri;
61 K. J. Davey, 1988, Pembiayaan Pemerintahan Daerah, Universitas Indonesia, Jakarta, hal. 39.
61
4. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat, tetapi
hasil pemungutannya diberikan kepada pemerintah daerah.
Pajak daerah di Indonesia dapat di golongkan berdasarkan tingkatan
Pemerintah Daerah, yaitu pajak daerah tingkat Provinsi dan pajak daerah tingkat
Kabupaten/Kota. Penggolongan pajak seperti tersebut di atas diatur dalam
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dalam Undang-
undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang Republik
Indonesia tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (Pasal 2 ayat (1) dan (2))
serta Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
Peraturan Pemerintah tersebut mengatur tentang obyek, subyek, dasar pengenaan
pajak dan ketentuan tarif dari pajak daerah yang berlaku, baik sebelum maupun
sesudah berlakunya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000.
Selanjutnya Pajak Daerah saat ini yang hak kewenangan pemungutnya
dapat diklasifikasikan menurut wilayah pemungutan pajak dapat dibagi menjadi :
1. Pajak Daerah Provinsi, yaitu pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah
provinsi, terdiri dari :
a. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
d. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan.
e. Pajak Rokok.
2. Pajak Daerah Kabupaten/Kota, yaitu pajak daerah yang dipungut oleh
pemerintah daerah Kabupaten/Kota, terdiri dari :
62
a. Pajak Hotel;
b. Pajak Restoran;
c. Pajak Reklame;
d. Pajak Hiburan;
e. Pajak Parkir;
f. Pajak Penerangan Jalan;
g. Pajak Pengambilan dan Pengelohan Bahan galian Golongan C;
h. Pajak Air Tanah;
i. Pajak Sarang Burung Walet;
j. Pajak Bumi dan Bangunan;
k. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Tarif pajak Provinsi yang berlaku dalam rangka keseragaman akan diatur
dalam suatu peraturan pemerintah. Sesuai dengan ketentuan dalam undang-
undang pajak daerah provinsi yang seragam ditentukan dalam suatu peraturan
pemerintah. Dalam hal ini, yang berlaku saat ini adalah Peraturan Pemerintah
Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
Sedangkan pajak daerah Kabupaten/Kota, khususnya yang menyangkut
masalah tarif pajak Kabupaten/Kota ditentukan dalam Peraturan Pemerintah
Nomor 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah dan perlakuannya sama dengan tarif
yang terdapat dalam Undang-undang pajak daerah. Tarif tersebut merupakan tarif
tertinggi yang dapat ditetapkan oleh pemerintah daerah Kabupaten/kota dalam
pemungutan pajak daerah.
63
2.2.3 Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagai Pajak
Daerah
2.2.3.1 Pajak Bumi dan Bangunan
1. Dasar Hukum
Dasar hukum Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1994.62
2. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan
Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di
bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman
(termasuk rawa-rawa, tambak, perairan) serta laut wilayah Republik
Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau
dilekatkan secara tetap pada tanah dan atau perairan.63
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dimaksud adalah pajak
yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh
keadaan objek yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. (Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1994). Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak
yang dikenakan terhadap objek pajak berupa bumi dan/atau bangunan.64
Sedangkan menurut Waluyo Pajak Bumi dan Bangunan adalah Pajak yang
bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh
keadaan Objek Pajak yaitu Bumi dan Bangunan, keadaan Subjek (siapa
62 Mardiasmo, Op.Cit, hal. 20. 63 Mardiasmo, Op.Cit, hal. 311. 64 Agus Setiawan dan Hardi, 2006, Perpajakan Bendaharawan Pemerintah, Rajawali,
Jakarta, hal. 125.
64
yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya jumlah pajak yang
terutang.65
Berdasarkan definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Pajak Bumi
dan Bangunan adalah pungutan pajak yang dikenakan terhadap bumi yang
meliputi tanah dan perairan pedalaman (termasuk rawa-rawa, tambak,
perairan) serta laut wilayah Republik Indonesia dan atau bangunan yang
meliputi konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada
tanah dan atau perairan.
3. Asas Pajak Bumi dan Bangunan
Berikut ini adalah asas-asas Pajak Bumi dan Bangunan:66
a. Memberikan kemudahan dan kesederhanaan
b. Adanya kepastian hukum
c. Mudah dimengerti dan adil
d. Menghindari pajak berganda
4. Termasuk Dalam Pengertian Bangunan
Berikut ini yang termasuk dalam pengertian bangunan baik
pendirian untuk perumahan tempat tinggal, tempat usaha, dan tempat yang
diusahakan lainnya menurut penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1994 adalah :
a. Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan komplek bangunan.
2) Diidang sosial, contoh : panti asuhan, tanah wakaf.
3) Di bidang kesehatan, contoh : rumah sakit pemerintah.
4) Di bidang pendidikan, contoh : sekolah/madrasah, pesantren.
5) Di bidang kebudayaan nasional, contoh : museum, candi.
b. Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis
dengan itu.
1) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman
nasional, tanah pengembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah
negara yang belum dibebani sesuatu hak dan lain-lain.
2) Tanah atau Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatic
atau konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik. Artinya bila
tanah/gedung perwakilan RI dinegara tertentu tidak dikenai PBB,
hal yang sama kita perlakukan terhadap tanah/gedung negara
tersebut yang ada disini.
70 Mardiasmo, Op.Cit, hal. 314.
69
3) Bangunan yang digunakan oleh perwakilan organisasi internasional
yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
c. Objek pajak yang digunakan oleh Negara untuk penyelenggaraan
pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut
dengan peraturan pemerintah.
d. Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
ditetapkan untuk masing-masing kabupaten/kota dengan besar setinggi-
tingginya Rp. 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah) untuk setiap wajib
pajak, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang
nilainya terbesar, sedangkan objek pajak lainnya tetap dikenakan secara
penuh tanpa dikurangi NJOPTKP.
9. Subjek Pajak
Berikut ini yang menjadi subjek pajak yaitu :71
a. Yang menjadi subjek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata
mempunyai suatu hak atas bumi, dan atau memperoleh manfaat atas
bumi, dan atau memiliki, menguasai, dan atau memperoleh manfaat atas
bangunan. Dengan demikian tanda pembayaran/pelunasan pajak bukan
merupakan bukti kepemilikan hak.
b. Subjek pajak sebagaimana dimaksud dalam no.1 yang dikenakan
kewajiban membayar pajak menjadi wajib pajak.
c. Dalam hal atas suatu objek belum jelas diketahui wajib pajaknya,
Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak sebagaimana
dimaksud dalam no.1 sebagai wajib pajak.
71 Mardiasmo, Op.Cit, hal. 316.
70
d. Subjek pajak yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam no.3 dapat
memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak
bahwa ia bukan wajib pajak terhadap objek pajak dimaksud.
e. Bila keterangan yang diajukan oleh wajib pajak dalam no.4 disetujui,
maka Direktorat Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai wajib
pajak sebagaimana dalam no.3 dalam jangka waktu satu bulan sejak
diterimanya surat keterangan dimaksud.
f. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur
Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai
alasan-alasannya.
g. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya
keterangan sebagaimana dalam no.4 Direktur Jenderal Pajak tidak
memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap
disetujui.
10. Tarif Pajak
Berdasarkan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 jo Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 1994 tarif pajak yang dikenakan atas objek pajak
adalah sebesar 0,5% (lima per sepuluh persen).
11. Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan
Dasar pengenaan PBB adalah “Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)”.
Besarnya Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) ditetapkan setiap tiga tahun oleh
Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jendral Pajak atas nama Mentri
Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Gubernur/Bupati/Walikota
(Pemerintah Daerah) setempat. Dasar perhitungan pajak adalah yang
71
ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Besarnya persentase ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.
NJOP ditentukan per wilayah berdasarkan keputusan Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak dengan terlebih dahulu memperhatikan :
a. Harga rata-rata diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara
wajar;
b. Perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis yang letaknya
berdekatan dan telah diketahui harga jualnya
c. Nilai perolehan baru
d. Penentuan nilai jual objek pengganti.
2.2.3.2 Pajak Bumi dan Bangunan sebagai Pajak Daerah
Pengalihan pengelolaan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(selanjutnya disebut BPHTB) dan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan
Perkotaan (selanjutnya disebut PBB-P2) dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah merupakan suatu bentuk tindak lanjut kebijakan otonomi daerah dan
desentralisasi fiskal. Bentuk kebijakan tersebut dituangkan ke dalam Undang-
undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
(selanjutnya disebut Undang-Undang PDRD). Hal ini adalah titik balik dalam
pengelolaan BPHTB dan pengelolaan PBB-P2. Dengan pengalihan ini maka
kegiatan proses pendataan, penilaian, penetapan, pengadministrasian,
pemungutan/penagihan dan pelayanan PBB-P2 akan diselenggarakan oleh
Pemerintah Daerah (Kabupaten/Kota).
72
Adanya kebijakan tersebut maka kegiatan proses pendataan, penilaian,
penetapan, pengadministrasian, pemungutan atau penagihan dan pelayanan PBB-
P2 akan diselenggarakan oleh pemerintah daerah. Sehingga dengan kebijakan
yang baru pemerintah daerah memperoleh pendapatan tambahan, yang awalnya
hanya menerima tujuh jenis pajak, setelah adanya pengalihan pemerintah daerah
menerima empat tambahan jenis pajak menjadi sebelas jenis pajak, empat
tambahan jenis pajak tersebut adalah pajak air tanah, pajak sarang burung walet,
PBB-P2, dan BPHTB.
Dalam pengalihan tersebut, penerimaan PBB-P2 akan sepenuhnya masuk
ke pemerintah Kabupaten/Kota sehingga diharapkan mampu meningkatkan
jumlah pendapatan daerah. Pada saat PBB dikelola oleh pemerintah pusat, PBB
masuk dalam akun dana bagi hasil, setelah dialihkan menjadi pajak daerah PBB
masuk dalam akun Pendapatan Asli Daerah. Ketika PBB dikelola oleh pemerintah
pusat, pemerintah Kabupaten/Kota hanya mendapatkan bagian sebesar 64,8%.
Setelah pengalihan ini semua pendapatan dari sektor PBB-P2 akan masuk ke
dalam kas pemerintah daerah.72 Pengalihan PBB-P2 tidak dilakukan secara
serentak oleh masing-masing daerah di Indonesia tergantung pada kesiapan
masing-masing daerah.
Tujuan Pengalihan pengelolaan PBB-P2 menjadi pajak daerah sesuai
dengan Undang-undang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah:
1. meningkatkan akuntabilitas penyelenggaraan otonomi daerah
2. memberikan peluang baru kepada daerah untuk mengenakan pungutan
baru (menambah jenis pajak daerah dan retribusi daerah),
72 www.pajak.go.id, diakses 26 Maret 2015.
73
3. memberikan kewenangan yang lebih besar dalam perpajakan dan retribusi
dengan memperluas basis pajak daerah,
4. memberikan kewenangan kepada daerah dalam penetapan tarif pajak
daerah, dan
5. menyerahkan fungsi pajak sebagai instrumen penganggaran dan
pengaturan pada daerah.
Ada beberapa alasan peralihan pengelolaan PBB-P2 kepada Pemerintah
Daerah, yaitu sebagai berikut.
1. Transparansi dan akuntabilitas dinilai akan dapat lebih diwujudkan jika
pengelolaan PBB diserahkan kepada masing-masing daerah otonom. Hal
ini pada gilirannya akan membawa iklim demokrasi yang lebih baik dan
berakar langsung pada persoalan-persoalan konkrit di daerah yang
bersangkutan. Mereka melihat bahwa pembiayaan kebutuhan daerah yang
sebagian besar dibiayai dana transfer dari pusat kurang mencerminkan
akuntabilitas dari pengenaan pajak daerah dan tidak memberikan insentif
bagi daerah untuk menggunakan anggaran secara efisien. Asumsinya jika
pembiayaan kebutuhan daerah dibiayai sebagian besar dari alokasi dana
pusat, maka otomatis kurang memberikan dorongan kepada daerah untuk
menggunakan dana tersebut bagi peningkatan pelayanan kepada
masyarakat. Selanjutnya bila derajat transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan pajak tersebut tinggi, maka kesadaran untuk membayar pajak
dan retribusi daerah atas pelayanan publik yang langsung mereka nikmati
juga makin tinggi. Bersamaan dengan itu pemerintah daerah akan
terdorong untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat karena setiap
74
pembebanan kepada masyarakat memerlukan peningkatan pelayanan
kepada masyarakat.
2. Objek pajak PBB-P2 dan BPHTB bersifat immobile, dalam arti tidak dapat
direlokasi ke daerah lainnya, sehingga lebih pantas apabila dijadikan pajak
daerah.
3. Objek PBB-P2 dan BPHTB tersebut lokasinya berada di suatu daerah
kabupaten/kota, dan aparat pemerintah daerah jelas lebih mengetahui dan
lebih memahami karakteristik dari objek dan subjeknya sehingga kecil
kemungkinan wajib pajak dapat menghindar dari kewajiban perpajakannya.
Pemerintah pusat lebih suka untuk mengalihkan PBB-P2 menjadi pajak
daerah didasarkan karena adanya beberapa kenyataan,73 antara lain sebagai
berikut.
1. Mayoritas negara maju menyerahkan urusan Pajak Properti (jika di
Indonesia adalah PBB) menjadi urusan pemerintah daerah.
2. Migas (minyak dan gas bumi) sudah tidak bisa lagi diandalkan sebagai
sumber pendapatan bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), mengingat Indonesia tidak lagi menjadi negara pengekspor
minyak bumi, sebaliknya kini sebagai negara yang mengimpor minyak
bumi. Akibatnya, sumber pendapatan bagi APBN bergeser dari penerimaan
migas kepada penerimaan pajak. Dengan demikian, pajak menempati posisi
strategis dalam APBN.
3. Reformasi birokrasi di tubuh Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) telah
berhasil membentuk Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama yang
73 Supriyanto, Heru, 2012, Peluang dan Tantangan Pengalihan PBB-P2 dan BPHTB,
Online, http://www.formasi.com/index.php?page=showartikel&id=9, diakses 26 Maret 2015.
75
merupakan peleburan dari KPP, Kantor Pelayanan PBB (KP PBB), Kantor
Pemeriksaan dan Penyidikan Pajak. Jika diamati, keberadaan PBB dengan
sejumlah permasalahan dan tidak diimbangi dengan jumlah
penerimaannya, memang bisa dirasakan mengganggu konsentrasi Ditjen
Pajak sebagai tulang punggung pemenuhan APBN, sehingga pembentukan
KPP Pratama ini merupakan cara cerdas membuat biaya pemungutan PBB
menjadi lebih efisien.
Berdasarkan Undang-Undang PDRD, maka sejak tanggal 1 Januari 2010
Pemerintah Kabupaten/Kota sudah diperbolehkan untuk menerima pengalihan
PBB-P2 dan BPHTB, atau paling lambat 31 Desember 2013. Berikut ini
merupakan ketentuan pengalihan PBB-P2:
1. Pengalihan PBB P2 hanya dapat dilakukan pada 1 Januari tahun
pengalihan;
2. Pengalihan PBB P2 sebelum tahun 2014 pemerintah daerah harus
memberitahu menteri keuangan dan menteri dalam negeri paling lambat
tanggal 30 Juni sebelum tahun pengalihan;
3. Penyampaian pemberitahuan dilampiri dengan peraturan daerah.
2.2.4 Kewenangan Pemerintah Daerah dalam Penyelenggaraan Perpajakan
Penerapan desentralisasi sistem perpajakan dalam bidang kebijakan fiscal
di samping kebijakan moneter, merupakan kebijakan yang tengah dilaksanakan
oleh banyak negara. Pajak berfungsi sebagai pengumpul dana untuk pelayanan
publik dan memperbaiki ketidaksempurnaan pasar sehingga tercipta efisiensi
ekonomi sektor publik. Pajak juga digunakan untuk alat redistribusi pendapatan
dan kekayaan.
76
Pajak dipungut oleh pemerintah pada setiap tingkatan, mulai dari
pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota. Pada
berbagai negara sebagian besar pajaknya dipungut oleh pemerintah pusat.
Sementara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota memungut
sebagian kecil dari jenis pajak tertentu saja. Perkembangan selanjutnya melalui
kebijakan desentralisasi sistem perpajakan, beberapa jenis pajak yang semula
dipungut oleh pemerintah pusat, dilimpahkan kewenangan pemungutannya
kepada pemerintah daerah, serta beberapa jenis pajak lainnya dibagihasilkan
antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Desentralisasi sistem perpajakan adalah pelimpahan kewenangan
pemajakan dan penggunaan dana bagi hasil pajak kepada pemerintah daerah.
Desentralisasi sistem perpajakan bertujuan agar daerah mampu mengurus dan
mengelola rumah tangganya sendiri secara mandiri, termasuk menyangkut
penyediaan sumber dana penyelenggaraan pemerintahan dari penerimaaan pajak.
Kebijakan desentralisasi sistem perpajakan yang termasuk dalam kebijakan
desentralisasi fiskal diterapkan di Indonesia mulai tahun 2001. Sebelumnya
selama 30 tahun lebih Indonesia merupakan salah satu negara yang sangat
sentralistik. Kebijakan ini tertuang dalam bentuk perundang-undangan yang
mengatur perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah, dan perundangan tentang pajak dan retribusi daerah. Perimbangan
keuangan mengatur tentang bagi hasil pajak dan sumber daya alam serta dana
transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Perundangan pajak dan
retribusi daerah mengatur jenis pajak yang menjadi kewenangan pemerintah
daerah untuk memungutnya.
77
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
menegaskan kewenangan yang menjadi urusan pemerintah daerah, terutama
pemerintah kabupaten/kota adalah pelayanan publik dasar. Kualitas pelayanan
publik ini terutama dalam penyediaan barang dan jasa untuk pelayanan dasar
seperti kesehatan, pendidikan serta sarana dan prasarana umum. Sementara
pemerintah pusat hanya menangani kewenangan dalam urusan politik luar negeri,
pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiscal nasional, dan agama.
Menurut Soemitro ditinjau dari aspek ekonomi, pajak merupakan
pemindahan sumber daya dari sektor privat/perusahaan ke sektor publik/negara
yang digunakan untuk membiayai keperluan negara.74 Sedangkan Adriani
menyatakan bahwa pajak adalah iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-
undang yang dapat dipaksakan dengan tidak menerima kontra prestasi langsung
yang dapat ditunjuk. Pajak merupakan penerimaan negara yang digunakan untuk
membiayai pengeluaran umum berhubungan dengan tugas negara dalam
menyelenggarakan pemerintahan.75
Sistem pemungutan pajak yang mudah dan didukung partisipasi
masyarakat dalam bentuk kepatuhan untuk membayar pajak, merupakan impian
setiap pemerintahan. Richard A. Musgrave yang turut mengembangkan fiscal
federalism theory mengemukakan prinsip yang luas dalam penyerahan kewenangan
pemungutan pajak dengan menggunakan kriteria keadilan dan efisiensi.76
Pemungutan pajak dari masyarakat harus bersifat adil. Asas Equity dalam
perpajakan mencakup dua aspek. Pertama, ability to pay principle di mana pajak
74Rahmat Soemitro, 1982, Pajak dan Pembangunan, Eresco, Bandung, hal.62. 75R. Santoso Brotodihardjo, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Pajak, Refika Aditama,
Bandung, hal. 56. 76 Richard A. Musgrave, 1993, Public Finance in Theory and Practice. Fifth Edition,
McGraw-Hill Book Company, USA, hal. 37.
78
dibebankan kepada pembayar pajak sesuai dengan kemampuan membayarnya.
Kedua, benefit principle di mana setiap pembayar pajak membayar pajak sejalan
dengan manfaat yang dinikmatinya dari kegiatan pemerintah.77
Pemungutan pajak merupakan kewenangan negara yang diamanahkan oleh
konstitusi, sebagaimana tertulis pada Pasal 23A UUD NRI 1945 Amandemen III
yang berbunyi: “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan
negara diatur dengan undang-undang.” Kebijakan pemungutan perpajakan
merupakan instrumen kebijakan fiskal yang ditetapkan pemerintah dalam
melakukan fungsi alokasi, distribusi, regulasi, dan stabilitasi.78
Ryaas Rasyid menyatakan bahwa untuk membebaskan pemerintah pusat
dari beban yang tidak perlu, dan untuk mendorong kemampuan prakarsa dan
kreativitas pemerintah daerah dan masyarakat daerah dalam mengejar
kesejahteraan, maka desentralisasi menjadi suatu keharusan. Termasuk dalam hal
ini adalah penyerahan sebagian kewenangan pemungutan perpajakan dari
pemerintah pusat kepada pemerintahan di bawahnya.79
Desentralisasi dapat diwujudkan dengan pelimpahan kewenangan kepada
tingkat pemerintahan di bawahnya untuk melakukan pembelanjaan dan
kewenangan untuk memungut pajak.80 Shah mengemukakan kerangka acuan
alternatif dalam penyerahan kewenangan pemungutan pajak menggunakan kriteria
efisiensi dalam administrasi pajak dan untuk memenuhi kebutuhan fiskal. Tingkat
pemerintahan yang memiliki informasi yang paling baik atas basis pajak, akan
77 Ibid. 78 Richard A. Musgrave dan Peggy B. Musgrave, 1989, Public Finance in Theory and
Practice, McGraw-Hill Inc, Singapore, hal. 79. 79 Ryaas Rasyid, 2005, ”Otonomi Daerah: Latar Belakang dan Masa Depannya,” dalam
Desentralisasi & Otonomi Daerah, Editor Syamsudin Haris. LIPI Press, Jakarta, hal. 54. 80 Siddik, Machfud, 2002, “Format Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat Dan Daerah
Yang Mengacu Pada Pencapaian Tujuan Nasional,” Makalah pada Seminar Nasional “Public Sector Scorecard”, Jakarta.
79
menjadi tingkat pemerintahan yang bertanggung jawab untuk mengenakan pajak
atas basis tersebut.81
Devano dan Rahayu mengemukaan tentang sistem perpajakan dalam arti
sebagai suatu kumpulan atau satu kesatuan terdiri dari: (1) hukum pajak (tax law)
yaitu peraturan yang mengatur hubungan hukum antara pemerintah sebagai
pemungut pajak dengan rakyat sebagai pembayar pajak, (2) kebijakan perpajakan
(tax policy) yaitu program pencapaian tujuan, nilai-nilai dan praktek-praktek yang
terarah dan (3) administrasi perpajakan (tax administration) yaitu tata cara atau
prosedur pengenaan dan pemungutan pajak.82
2.3 Kawasan Jalur Hijau dan Limitasi
Jalur Hijau yang dimaksud dalam Perda ini adalah Ruang Terbuka Hijau
yang berupa pertanian lahan basah (persawahan) yang dilestarikan keberadannya
secara berkelanjutan dengan tujuan untuk melestarikan lahan sawah beririgasi,
membatasi perkembangan suatu penggunaan lahan atau membatasi aktivitas satu
dengan aktivitas lainnya agar tidak saling mengganggu.
Sebaran Kawasan Jalur Hijau, ditetapkan dengan luas kurang lebih 2.776,3
ha (dua ribu tujuh ratus tujuh puluh enam koma tiga hektar) meliputi :
1. Kecamatan Petang dengan luas kurang lebih 300,7 ha (tiga ratus koma
tujuh hektar);
2. Kecamatan Abiansemal dengan luas kurang lebih 807,5 ha (delapan ratus
tujuh koma lima hektar);
81 A. Shah, 1994. “Intergovernmental Fiscal Relations in Indonesia,” Issue and Reform
Options. World Bank Discussion Paper, Washington DC. 82 Sony Devano dan Siti Kurnia Rahayu, 2006. Perpajakan: Konsep, Teori dan Isu,
Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal. 41.
80
3. Kecamatan Mengwi dengan luas kurang lebih 1.421,4 ha (seribu empat
ratus dua puluh satu koma empat hektar);
4. Kecamatan Kuta Utara dengan luas kurang lebih 236,5 ha (dua ratus tiga
puluh enam koma lima hektar); dan
5. Kecamatan Kuta dengan luas kurang lebih 10,1 ha (sepuluh koma satu
hektar).
Secara fisik jalur hijau dapat dibedakan menjadi jalur hijau alami yang
berupa habitat liar alami, kawasan lindung dan taman-taman nasional, maupun
jalur hijau non-alami atau binaan yang seperti taman, lapangan olah raga, dan
kebun bunga. Multi fungsi penting jalur hijau ini sangat lebar spektrumnya, yaitu
dari aspek fungsi ekologis, sosial/budaya, arsitektural, dan ekonomi. Secara
ekologis jalur hijau dapat meningkatkan kualitas air tanah, mencegah banjir,
mengurangi polusi udara, dan menurunkan suhu kota tropis yang panas terik.
Bentuk-bentuk jalur hijau perkotaan yang berfungsi ekologis antara lain seperti
sabuk hijau kota, taman hutan kota, taman botani, jalur sempadan sungai dan lain-
lain. Secara sosial-budaya keberadaan jalur hijau dapat memberikan fungsi
sebagai ruang interaksi sosial, sarana rekreasi, dan sebagai tetenger (landmark)
kota yang berbudaya. Bentuk jalur hijau yang berfungsi sosial-budaya antara lain
taman-taman kota, lapangan olah raga, kebun raya, TPU, dan sebagainya.
Secara arsitektural jalur hijau dapat meningkatkan nilai keindahan dan
kenyamanan kota melalui keberadaan taman-taman kota, kebun-kebun bunga, dan
jalur-jalur hijau di jalan-jalan di Kabupaten Badung. Sementara itu jalur hijau juga
dapat memiliki fungsi ekonomi, baik secara langsung seperti pengusahaan lahan-
lahan kosong menjadi lahan pertanian/perkebunan (urban agriculture) dan
81
pengembangan sarana wisata hijau perkotaan yang dapat mendatangkan
wisatawan.
Sementara itu secara struktur, bentuk dan susunan jalur hijau dapat
merupakan konfigurasi ekologis dan konfigurasi planologis. jalur hijau dengan
konfigurasi ekologis merupakan jalur hijau yang berbasis bentang alam seperti,
kawasan lindung, perbukitan, sempadan sungai, sempadan danau, pesisir dsb.
jalur hijau dengan konfigurasi planologis dapat berupa ruang-ruang yang dibentuk
mengikuti pola struktur kota seperti jalur hijau perumahan, jalur hijau kelurahan,
jalur hijau kecamatan, jalur hijau kota maupun taman-taman regional/nasional.
Sedangkan dari segi kepemilikan jalur hijau dapat berupa jalur hijau publik yang
dimiliki oleh umum dan terbuka bagi masyarakat luas, atau jalur hijau privat
(pribadi) yang berupa taman-taman yang berada pada lahan-lahan pribadi.
Dalam masalah Kabupaten Badung, jalur hijau merupakan bagian atau
salah satu sub-sistem dari sistem Kabupaten Badung secara keseluruhan. Jalur
hijau sengaja dibangun secara merata di seluruh wilayah Kabupaten untuk
memenuhi berbagai fungsi dasar yang secara umum dibedakan menjadi:
1. Fungsi bio-ekologis (fisik), yang memberi jaminan pengadaan jalur hijau
menjadi bagian dari sistem sirkulasi udara, pengatur iklim mikro, agar
sistem sirkulasi udara dan air secara alami dapat berlangsung lancar,
sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan, penyedia habitat
satwa, penyerap (pengolah) polutan media udara, air dan tanah, serta
penahan angin;
82
2. Fungsi sosial, ekonomi (produktif) dan budaya yang mampu
menggambarkan ekspresi budaya lokal, jalur hijau merupakan media
komunikasi warga kota, tempat rekreasi, tempat pendidikan, dan penelitian;
3. Ekosistem perkotaan; produsen oksigen, tanaman berbunga, berbuah dan
berdaun indah, serta bisa mejadi bagian dari usaha pertanian, kehutanan,
dan lain-lain;
4. Fungsi estetis, meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota
baik (dari skala mikro: halaman rumah, lingkungan permukiman, maupun
makro: lansekap kota secara keseluruhan).
Mampu menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga di Kabupaten
Badung. Juga bisa berekreasi secara aktif maupun pasif, seperti: bermain,
berolahraga, atau kegiatan sosialisasi lain, yang sekaligus menghasilkan
’keseimbangan kehidupan fisik dan psikis’. Dapat tercipta suasana serasi, dan
seimbang antara berbagai bangunan gedung, infrastruktur jalan dengan pepohonan
hutan kota, taman kota, taman kota pertanian dan perhutanan, taman gedung, jalur
hijau jalan, bantaran rel kereta api, serta jalur biru bantaran kali.
Manfaat jalur hijau di Kabupaten Badung secara langsung dan tidak
langsung, sebagian besar dihasilkan dari adanya fungsi ekologis, atau kondisi
’alami’ ini dapat dipertimbangkan sebagai pembentuk berbagai faktor.
Berlangsungnya fungsi ekologis alami dalam lingkungan perkotaan secara
seimbang dan lestari akan membentuk kota yang sehat dan manusiawi. Taman
tempat peletakan tanaman sebagai penghasil oksigen (O2) terbesar dan penyerap
karbon dioksida (CO2) dan zat pencemar udara lain, khusus di siang hari,
83
merupakan pembersih udara yang sangat efektif melalui mekanisme penyerapan
(absorbsi) dan penyerapan (adsorbsi) dalam proses fisiologis, yang terjadi
terutama pada daun, dan permukaan tumbuhan (batang, bunga, dan buah).
Adanya jalur hijau sebagai “paru-paru kota”, di Kabupaten Badung maka
dengan sendirinya akan terbentuk iklim yang sejuk dan nyaman. Kenyamanan ini
ditentukan oleh adanya saling keterkaitan antara faktor-faktor suhu udara,
kelembaban udara, cahaya, dan pergerakan angin. jalur hijau membantu sirkulasi
udara. Pada siang hari dengan adanya jalur hijau, maka secara alami udara panas
akan terdorong ke atas, dan sebaliknya pada malam hari, udara dingin akan turun
di bawah tajuk pepohonan. Pohon, adalah pelindung yang paling tepat dari terik
sinar matahari, di samping sebagai penahan angina kencang, peredam kebisingan
dan bencana alam lain, termasuk erosi tanah. Bila terjadi tiupan angin kencang di
‘atas’ kota tanpa tanaman, maka polusi udara akan menyebar lebih luas dan
kadarnya pun akan semakin meningkat.
Sementara itu yang dimaksud kawasan limitasi pada Peraturan Bupati
Badung Nomor 89 Tahun 2012 tentang Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan
Perdesaan dan Perkotaan Untuk Kondisi Tertentu Objek Pajak Pada Jalur Hijau
dan Kawasan Limitasi, yang mengacu pada Pasal 77 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah menyebutkan
bahwa Objek Pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan
dan Perkotaan adalah objek pajak yang:
a. digunakan oleh Pemerintah dan Daerah untuk penyelenggaraan pemerintahan;
b. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan;
84
c. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu;
d. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak;
e. digunakan oleh perwakilan diplomatik dan konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik; dan
f. digunakan oleh badan atau perwakilan lembaga internasional yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan.
Berdasarkan dengan hal tersebut diatas maka Bupati Badung membuat
Peraturan Bupati Badung Nomor 89 Tahun 2012 tentang Pengurangan Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan Untuk Kondisi Tertentu Objek
Pajak Pada Jalur Hijau dan Kawasan Limitasi menyatakan pengurangan Pajak
Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 diberikan sebesar 100 % (seratus persen) kepada Wajib Pajak atas Pajak yang