Page 1
5
TINJAUAN PUSTAKA
Asam Lemak Laurat
Asam laurat atau asam dodekanoat adalah asam lemak jenuh berantai
sedang (middle-chained fatty acid, MCFA) yang tersusun dari 12 atom C. Sumber
utama asam lemak ini adalah minyak kelapa, yang dapat mengandung 50% asam
laurat, serta minyak inti sawit (palm kernel oil). Sumber lain adalah susu sapi.
Asam laurat memiliki titik lebur 44°C dan titik didih 225°C sehingga pada suhu
ruang berwujud padatan berwarna putih, dan mudah mencair jika dipanaskan.
Rumus kimia: CH3(CH2)10COOH, berat molekul 200,3 g.mol-1. Asam-asam
lemak rantai pendek memiliki kemampuan kelarutan dalam pelarut air, semakin
panjang rantai asam-asam lemak maka kelarutannya dalam air semakin
berkurang. Asam kaprilat pada 30 oC mempunyai nilai kelarutan 1, yang artinya 1
gram asam kaprilat dapat larut dalam setiap 100 g air pada suhu 30 oC. Sedangkan
asam stearat mempunyai nilai kelarutan sekitar 0,00034 pada suhu 30 o
Sifat fisikokimia asam laurat banyak dimanfaatkan oleh industri yang
menghasilkan produk personal care dan farmasi, misalnya pada industri
C
(Ketaren, 2005). Sifat kelarutan tersebut digunakan sebagai dasar untuk
memisahkan berbagai asam lemak yang tidak jenuh, yaitu dengan proses
kristalisasi.
shampo.
Natrium laurilsulfat adalah turunan yang paling sering dipakai dalam industri
sabun dan shampoo, sedangkan pada industri kosmetik, asam laurat ini berfungsi
sebagai pengental, pelembab dan pelembut. Asam laurat atau asam lemak berantai
menengah berbeda dengan asam lemak berantai panjang yang memiliki molekul
lebih besar. Sifat-sifat metabolisme asam lemak rantai menengah jauh lebih
mudah dicerna dan diserap usus dan dibawa ke hati untuk diubah menjadi energi.
Itu karena asam lemak rantai menengah memiliki molekul ukuran lebih kecil
sehingga cepat menghasilkan energi untuk tubuh.
Asam laurat banyak terdapat pada minyak kelapa yang telah dikenal sejak
4000 tahun yang lalu sebagai minyak kesehatan dalam obat-obatan Ayurvedic.
Penelitian terakhir menyebutkan kandungan minyak dan lemak dalam minyak
kelapa, yaitu asam lemak rantai sedang (MCFA) dan monogliserida dari asam
lemak tersebut, memiliki sifat anti mikroba dan mirip dengan kandungan asam
Page 2
6
lemak dalam air susu ibu (ASI) (Kabara, 1983; Jensen et al., 1992; Jensen, 1996;
Kolezko et al., 1992). Asam lemak jenuh pada minyak kelapa didominasi oleh
asam lemak laurat yang memiliki rantai karbon 12, sehingga minyak kelapa sering
juga disebut minyak laurat. Asam lemak jenuh rantai menengah inilah yang
membuat minyak kelapa murni bermanfaat bagi kesehatan.
Minyak kelapa berdasarkan kandungan asam lemak digolongkan ke dalam
minyak asam laurat (Ketaren, 2005), karena kandungan asam lauratnya paling
besar jika dibandingkan asam lemak lainnya. Komposisi asam lemak minyak
kelapa dapat dilihat pada Tabel 1. Dari Tabel tersebut dapat dilihat bahwa asam
lemak jenuh minyak kelapa lebih kurang 90 persen. Minyak kelapa mengandung
84 persen trigliserida dengan tiga molekul asam lemak jenuh, 12 persen
trigliserida dengan dua asam lemak jenuh dan 4 persen trigliserida dengan satu
asam lemak jenuh.
Tabel 1 Komposisi Asam lemak Minyak Kelapa Asam Lemak Rumus Kimia Jumlah (%) Asam lemak jenuh: Asam kaproat C5 H11 0,0 – 0,8 COOH Asam kaprilat C7 H17 5,5 – 9,5 COOH Asam Kaprat C9 H19 4,5 – 9,5 COOH Asam Laurat C11 H23 44,0 – 52,0 COOH Asam miristat C13 H27 13,0 – 19,0 COOH Asam palmitat C15 H31 7,5 – 10,5 COOH Asam stearat C17 H35 1,0 – 3,0 COOH Asam arachidat C19 H39 0,0 – 0,4 COOH Asam lemak tidak jenuh:
Asam palmitoleat C15 H29 0,0 – 1,3 COOH Asam oleat C17 H33 5,0 – 8,0 COOH Asam linoleat C17 H31 1,5 – 2,5 COOH
Sumber: Thieme (1968) Di dalam
Ketaren (2005)
Sumber asam laurat lain adalah minyak inti sawit (PKO). Minyak inti
sawit adalah minyak berwarna putih kekuning-kuningan yang diperoleh dari
proses ekstraksi inti buah tanaman Elaeis guineensis Jacq (SNI 01-0003-1992),
sedangkan Crude Palm Oil (CPO) didapatkan dari ekstraksi daging sawit. Bagian
buah kelapa sawit dapat dilihat pada Gambar 1. Kedua jenis minyak tersebut akan
diolah lebih lanjut menjadi beberapa produk turunannya seperti Refined Bleached
Page 3
7
and Deodorized Palm Oil (RBDPO), RBDPKO, minyak goreng, minyak makan,
margarine, shortening dan lain sebagainya.
Gambar 1 Bagian-bagian buah kelapa sawit (FAO, 2006)
Minyak inti sawit mengandung berbagai komponen asam lemak.
Komposisi trigliserida yang mendominasi minyak inti sawit adalah trilaurin, yaitu
trigliserida dengan tiga asam laurat sebagai ester asam lemaknya. Minyak inti
sawit memiliki kandungan asam laurat yang tinggi dan kisaran titik leleh yang
sempit, sedangkan minyak sawit mentah hanya memiliki sedikit kandungan asam
laurat dan kisaran titik leleh yang luas. Minyak sawit mengandung asam lemak
jenuh asam palmitat (C16) sekitar (40-46%), kandungan asam lemak tidak jenuh
yaitu asam oleat (C 18:1) sekitar (39-45%) dan asam linoleat (7-11%), sedangkan
pada minyak inti sawit didominasi oleh asam laurat (46-52 %), asam miristat (14-
17%), dan asam oleat (13-19%). Kandungan asam lemak dalam kedua jenis
minyak tersebut secara keseluruhan dapat dilihat pada Tabel 2.
Page 4
8
Tabel 2 Komposisi asam lemak minyak sawit dan minyak inti sawit
Asam Lemak Minyak kelapa sawit (%) Minyak inti sawit (%)
Asam kaprilat - 3 – 4 Asam kaproat - 3 – 7 Asam laurat - 46 – 52 Asam miristat 1.1 – 2.5 14 – 17 Asam palmitat 40 – 46 6.5 – 9 Asam stearat 3.6 – 4.7 1 – 2.5 Asam oleat 39 – 45 13 – 19 Asam linoleat 7 – 11 0.5 – 2
Sumber : Eckey (1995)
Minyak inti sawit memiliki kemiripan sifat dan komposisi asam lemak
dengan minyak kelapa, sehingga dalam penggunaannya dapat bersifat sebagai
bahan subtitusi. PKO dan minyak kelapa sering digunakan oleh industri oleokimia
sebagai bahan baku untuk menghasilkan produk surfaktan dan emulsifier.
Kandungan asam laurat yang cukup tinggi pada minyak inti sawit menjadi salah
satu kelebihan karena asam lemak ini memiliki khasiat bagi kesehatan tubuh.
Pengolahan minyak dari kelapa sawit ini akan mengalami peningkatan
seiring dengan semakin tingginya permintaan pasar dan majunya teknologi
rekayasa pengolahan minyak. Teknologi tersebut diharapkan dapat menghasilkan
produk yang dapat diaplikasikan di berbagai aspek industri pengolahan serta dapat
bersaing dengan produk minyak nabati lainnya di pasar dalam negeri maupun
internasional.
Gliserol
Gliserol, disebut juga gliserin, adalah suatu larutan kental yang memiliki
rasa manis, tidak berwarna, tidak memiliki bau, dan bersifat higroskopis. Gliserol
merupakan gula alkohol dan mempunyai tiga gugus hidroksil yang bersifat
hidrofilik sehingga dapat larut dalam air. Oleh karena itu, larutan kental ini
banyak digunakan sebagai pelembab pada kosmetik. Rumus kimia gliserol adalah
C3H8O3 dengan nama kimia propane-1,2,3-triol. Gliserol memiliki berat molekul
92. 10, massa jenis 1,261 g/cm3, titik didih 290o
C, dan viskositas 1.5 Pa.s
(Wikipedia, 2006). Struktur molekul gliserol bisa dilihat pada Gambar 2.
Page 5
9
Gambar 2 Struktur molekul gliserol
Gliserol dapat digunakan sebagai bahan dasar untuk pembuatan
monogliserida, digliserida, dan trigliserida melalui proses reaksi gliserolisis,
esterifikasi atau inesterifikasi secara kimia atau enzimatis. Bila suatu radikal asam
lemak berkaitan dengan gliserol maka akan terbentuk suatu monogliserida. Reaksi
asam lemak dan gliserol dapat dilihat pada Gambar 3. Trigliserida akan terbentuk
bila tiga asam lemak beresterifikasi dengan satu molekul gliserol (Winarno,
2002). Penggunaan gliserol akan menyebabkan reaksi keseimbangan menuju ke
arah kanan reaksi esterifikasi sehingga menghasilkan produk MAG yang cukup
tinggi (Fischer, 1998).
O
H2C-OH O H2C-O-C-R
HC-OH + HO-C-R HC-OH + H1
2
H
O
2C-OH H2
Gliserol Asam lemak Monoasilgliserol air
C-OH
Gambar 3 Reaksi esterifikasi satu molekul asam lemak dengan satu gliserol
(Winarno, 2002)
Monoasilgliserol
Monoasilgliserol atau MAG tersusun atas sebuah asam lemak dan dua
gugus hidroksil bebas yang menempel pada sebuah molekul gliserol. Bagian asam
lemaknya atau rantai asil lemaknya bersifat lipofilik dan dapat bercampur dengan
bahan-bahan yang berlemak, sedangkan grup hidroksilnya bersifat hidrofilik dapat
bercampur dengan air (O’Brien, 1998). MAG adalah emulsifier yang paling
Page 6
10
banyak digunakan dalam pangan, farmasi, dan industri kosmetik (Bornscheuer,
1995). MAG dan turunannya sebanyak 75% digunakan sebagai emulsifier pangan
di dunia dan di Amerika Serikat sekitar 100 juta kilogram digunakan per tahunnya
(Sagalowicz, 2006; Birnbaum, 1981 di dalam Chetpattananondh et al.., 2008).
Menurut Li dan Ward (1993) di dalam
Bornscheuer (2005), MAG juga
bermanfaat untuk kesehatan, misalnya MAG yang mengandung n-3-PUFA seperti
EPA dan DHA positif mencegah kerusakan cardiovascular, dan
monopentadecanoglycerol digunakan sebagai bahan tambahan perawatan rambut.
Struktur molekul MAG dapat dilihat pada Gambar 4.
H2
H C OH
C O C R1
H2
Gambar 4 Monoasilgliserol
C OH
Pada skala industri, MAG telah banyak diproduksi dengan menggunakan
metode gliserolisis kimia minyak/lemak dan gliserol. Reaksi gliserolisis kimia ini
dilakukan pada suhu tinggi (220 – 250o C) menggunakan katalis basa inorganik
dalam atmosfer gas nitrogen. Penggunaan suhu tinggi memiliki
Gliserolisis kimia komersial biasanya menghasilkan 30-60% MAG, 35-50%
DAG, 1-20% TAG, 1-10% asam lemak bebas dan logam garam basa (Damstrup
et al., 2006). Menurut WHO dan arahan EU, MAG dan DAG dari asam lemak
disyaratkan mengandung kurang lebih 70% MDAG, 30% MAG, dan maksimum
gliserol 7% (Damstrup et al., 2006). Untuk menghasilkan produk MAG dengan
kemurnian tinggi (90-95%), MAG sering dimurnikan dari campuran
kesetimbangan dengan distilasi.
beberapa
kelemahan, seperti warna gelap, rasa terbakar, dan mengkonsumsi energi yang
banyak.
Gliserolisis dengan katalis enzim lipase lebih banyak digunakan beberapa
tahun belakangan, hal ini dikarenakan teknologi yang digunakan lebih baik
dengan menggunakan suhu lebih rendah. Suhu yang lebih rendah dibawah 80o C
O
Page 7
11
membuat produksi MAG yang sensitif terhadap panas dengan asam lemak tidak
jenuh rantai panjang lebih mudah, dimana jika dilakukan dengan proses kimia
sulit dilakukan. MAG dari gliserolisis kimia menjadi bahan atau senyawa
potensial bagi industri dengan fungsional yang lebih baik atau profil nutrisi asam
lemak yang lebih sehat (Damstrup et al., 2005).
Reaksi gliserolisis enzimatis pada suhu rendah memiliki kelemahan karena
mengandung tiga fase, yaitu fase hidrofobik minyak, fase gliserol hidrofilik, dn
fase enzim padat. Karena enzim memiliki karakteristik hidrofilik, gliserol sering
mengikat partikel enzim dan membuat akses molekul minyak ke partikel enzim
menjadi sulit. Hal ini menyebabkan rendemen MAG menjadi relatif rendah dan
waktu reaksi tidak praktis dari sudut pandang industri.
Tabel 3 Kandungan MAG setelah reaksi gliserolisis dalam berbagai pelarut
Pelarut Kandungan MAG
Tidak menggunakan pelarut 0.0 + 0.00 Kloroform 0.0 + 0.00 n-Heptan 1.1 + 0.02 n-Heksan 1.4 + 0.03 Iso-oktan 1.5 + 0.17 Asetonitril 2.0 + 0.07 Toluen 2.9 + 0.20 2- Butanon 5.4 + 0.10 Aseton 11.5 + 0.73 Isopropanol 18.0 + 0.31 Etanol 21.0 + 0.18 3-Pentanon 29.4 + 0.26 Tert-Pentanol 64.9 + 1.12 Tert-Butanol 83.6 + 0.14
Sumber: Damstrup et al. (2005)
Pengunaan pelarut yang cocok pada sistem akan memperbaiki
bercampurnya substrat sehingga sistem akan homogen dan meningkatkan
konversi substrat, waktu reaksi, dan distribusi produk membentuk MAG
(Damstrup et al., 2005). Pelarut seperti n-heksan, n-heptan, dioksan, asetonitril,
aseton, isooktan, 2-metil-2 propanol (tert-butanol), 2-metil-2 butanol (tert-
pentanol), atau campuran beberapa pelarut akan berguna untuk reaksi
inesterifikasi lipase. Data pada Tabel 3 menunjukkan kandungan MAG setelah
reaksi gliserolisis dalam beberapa pelarut dengan kondisi reaksi: rasio
Page 8
12
gliserol/minyak, 5:1; waktu reaksi 150 menit; suhu 50o
MAG terdiri dari beberapa jenis, salah satu diantaranya adalah gliserol
monolaurat atau monolaurin adalah senyawa multifungsi dengan sifat sebagai
emulsifier dan antimikroba (Cotton dan Marshall, 1997). Monolaurin terbentuk
dari reaksi antara gliserol dan asam laurat. Keistemewaan dari monolaurin lainnya
adalah dapat menghambat sel vegetative Bacillus cereus (Cotton et al., 1997).
Penelitian-penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa monolaurin dapat
menghambat aktivitas Listeria monocytogenes, B. stearothermophilus dan B.
subtilis (Kabara, 1983).
C; pelarut 50 ml/10 g
minyak; dosis enzim 30% (w/w minyak).
Transesterifikasi
Pembuatan MAG dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa metode
seperti esterifikasi langsung, reaksi gliserolisis, serta dapat dilakukan secara
enzimatis maupun kimia. Esterifikasi merupakan reaksi antara asam karboksilat
dan alkohol untuk membentuk ester. Reaksi esterifikasi kimia sederhana dapat
dilakukan pada suhu tinggi tanpa menggunakan katalis dan pada suhu yang lebih
rendah dilakukan dengan katalis.
Reaksi esterifikasi langsung terjadi antara ester asam lemak dengan gliserol
dan dilakukan pada suhu tinggi dan waktu yang cukup lama dengan bantuan
katalis asam. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi sangat dihindari karena akan
terjadi reaksi sekunder yaitu polimerisasi gliserol, dehidratasi gliserol dengan
pembentukan akrolein. Air yang merupakan hasil samping dari reaksi esterifikasi
ini harus dijerap dengan menggunakan zat kimia tertentu agar reaksi tidak
reversible. Pada metode gliserolisis, lemak/ minyak dalam bentuk trigliserida
direaksikan dengan gliserol dan ditambahkan katalis kimia kemudian dipanaskan
pada suhu yang tidak terlalu tinggi (± 1200
Metode pembuatan MAG secara enzimatis dilakukan pada suhu yang lebih
rendah dibandingkan dengan metode kimia dikarenakan enzim yang digunakan
memiliki karakteristik kerja yang spefisik pada suhu tertentu. Tahapan reaksi
C) atau tergantung tingkat kereaktifan
katalis yang digunakan (Banu et al., 1983).
Page 9
13
transesterisfikasi antara gliserol dan minyak atau lemak (reaksi gliserolisis) dapat
dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 5 Reaksi esterisfikasi antara gliserol dan minyak atau lemak (reaksi
gliserolisis). (Monteiro et al. 2003)
Reaksi inesterifikasi ini dapat terjadi secara acak maupun terarah. Secara
umum reaksi inesterifikasi dapat terjadi secara batch, semi-continously, atau
continously. Reaksi ini akan berjalan dengan empat tahapan, yaitu: perlakuan awal
minyak, penambahan katalis, terjadi reaksi, dan deaktivasi enzim. Reaksi terjadi
secara acak mengikuti hukum keseimbangan hingga menghasilkan komposisi
MAG, DAG, dan TAG tertentu.
Penggunaan katalis dalam reaksi inseterifikasi akan berpengaruh terhadap
peningkatan laju reaksi yang terjadi. Katalis yang digunakan dalam reaksi
inesterifikasi dapat berupa katalis kimia maupuan katalis enzimatis. Kedua jenis
katalis ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penggunaan katalis kimia lebih
banyak dilakukan, karena katalis kimia memiliki kelebihan antara lain mudah
penanganannya, harganya yang murah, mudah dipisahkan, dan dapat digunakan
dalam konsentrasi yang relatif rendah. Namun penggunaan katalis kimia pun
memiliki kekurangan antara lain terjadinya variasi produk yang beragam karena
gugus asil terdistribusi dengan acak. Menurut Bornscheuer (1995), produk hasil
sintesis secara kimiawi memiliki rendemen yang rendah, warna yang gelap, dan
flavor yang kurang baik.
Page 10
14
Penggunaan katalis enzimatis mulai dilirik untuk memperbaiki kekurangan
yang terdapat pada penggunaan katalis kimia. Katalis enzimatis memiliki
keunggulan antara lain produk yang dihasilkan tidak memiliki keragaman besar.
Hal ini dikarenakan penggunaan enzim lipase memiliki kespesifikan tertentu
artinya enzim ini akan memotong ikatan antara gliserol dan asam lemak pada titik
tertentu (Elizabeth dan Boyle, 1997). Sintesis MAG enzimatis dapat dilakukan
dengan hidrolisis, esterifikasi asam lemak, transesterifikasi ester asam lemak dan
gliserolisis minyak atau lemak dengan katalis lipase. Kelemahan metode
enzimatis ini adalah harga enzim yang relatif mahal dan bersifat labil. Namun,
dengan berkembangnya teknologi enzim imobil, enzim dapat digunakan ulang
sampai beberapa kali sehingga mengurangi biaya keseluruhan. Sifat labil enzim
dapat diatasi dengan berkembangnya teknik enzimologi mikroakueus dimana
stabilitas enzim dapat ditingkatkan (Hariyadi, 1996). Mikroakueus adalah kondisi
lingkungan reaksi dengan konsentrasi air terbatas, yaitu tidak lebih dari 0.1% v/v.
Kondisi ini akan mempermudah reaksi sintesis produk, isolasi produk, dan
pemakaian ulang enzim. Kondisi mikroakueus dapat diterapkan dengan
menggunakan pelarut organik sebagai pengganti air dalam reaksi. Kehadiran air
dalam campuran reaksi dapat membentuk asam lemak bebas yang tidak
diinginkan (Damstrup et al., 2005)
Damstrup et al. (2005) telah melakukan penelitian memproduksi MAG
secara enzimatis dengan reaksi gliserolisis menggunakan pelarut organik yang
sesuai. Beberapa pelarut murni dan campuran digunakan dalam sistem reaksi
batch yang menggunakan 5.26 g gliserol, 10 g minyak bunga matahari, 50 ml
pelarut, 3 g Novozym® 435 lipase, suhu reaksi 50o C, selama 150 menit. Dari 13
pelarut yang diuji tert-butanol dan tert-pentanol adalah pelarut murni yang cocok
untuk reaksi gliserolisis cepat dengan menghasilkan kandungan MAG 68-82%.
Pada tahun berikutnya, Damstrup et al. (2006) melakukan penelitian kembali
dengan memproduksi MAG secara gliserolisis enzimatis dalam pelarut tert-
pentanol dengan optimasi menggunakan RSM (Response Surface Methodology).
Bahan yang digunakan adalah 10 g minyak bunga matahari, berbagai rasio
substrat, dan berbagai jumlah pelarut dalam sistem pada suhu 50o C, serta
dilakukan dalam berbagai waktu reaksi. Parameter proses yang diteliti adalah
Page 11
15
dosis enzim, waktu reaksi, rasio substrat gliserol/minyak, dan jumlah pelarut.
Parameter yang paling signifikan dalam pengujian untuk menghasilkan MAG
adalah dosis enzim dan waktu reaksi. Kondisi optimal yang menghasilkan
rendemen MAG tinggi adalah dosis enzim 18 % (w/w minyak); rasio
gliserol/minyak 7:1 (mol/mol); jumlah pelarut 500 ml (v/w minyak)dan waktu
reaksi 115 menit. Kandungan MAG yang dihasilkan adalah 76%.
Monteiro et al. (2003) melakukan penelitian reaksi esterifikasi enzimatis
dengan substrat asam laurat dan gliserol (rasio molar 1:5) dalam sistem
homogenus dengan katalis enzim Lipozyme IM. Aktivitas enzim Lipozyme IM
adalah 5-6 BAUN/g (Batch Acidolysis Units Novo). Pelarut yang digunakan
adalah n-heksan dan tert-butanol (1:1 v/v). Hasil reaksi pada sistem homogenus n-
heksan/tert butanol (1:1 v/v) lebih baik karena produk yang dihasilkan adalah
monolaurin dengan sedikit sekali dilaurin. Sedangkan pada reaksi menggunakan
pelarut heksan saja, produk yang dihasilkan adalah campuran monolaurin dan
dilaurin. Hal ini berarti penggunaan campuran pelarut tert butanol dan heksan (1:1
v/v) dapat meminimalisir terjadinya migrasi asil. Sistem pelarut menjadi lebih
polar dari heksan murni menyebabkan pengambilan air dari medium sehingga
mencegah terjadinya inaktivasi enzim dan meningkatkan konversi substrat
menjadi produk yang diinginkan. Konversi asam laurat menjadi monolaurin
dianalisis menggunakan GC dengan waktu retensi 22 menit sebesar 65% selama 8
jam reaksi.
Haryati et al. (2007, tidak dipubilkasikan) melakukan penelitian reaksi
esterifikasi dilakukan dengan mereaksikan substrat yaitu asam lemak laurat dan
gliserol. Asam lemak laurat dan gliserol direaksikan dalam tabung erlenmeyer
sebanyak 1:5 (mol/mol substrat), ditambah campuran pelarut heksan 250 ml dan
tertier butanol 190 ml, kemudian diagitasi menggunakan orbital shaker dengan
kecepatan 200 rpm. Reaksi dilakukan pada suhu 50o C. Setelah suhu reaksi yang
diinginkan dalam rotary shaker tercapai, ditambahkan enzim lipase dengan
perbandingan 5% (w/w minyak). Reaksi dibiarkan berjalan hingga 55 jam.
Kemudian produk dari enzim dipisahkan dengan cara disaring, kemudian filtrat
disentrifuse untuk memisahkan dari pelarut. Setelah itu di fraksinasi 16-18 jam
Page 12
16
pada suhu 7o
Suhu dan waktu reaksi merupakan faktor penting dalam reaksi esterifikasi.
Suhu dan waktu reaksi dijadikan sebagai parameter dalam penelitian ini.
Pemilihan suhu reaksi 50
C. Pemisahan endapan yang merupakan produk hasil fraksinasi
kemudian dilakukan dengan cara penyaringan.
o
Tabel 4 Perbandingan kondisi reaksi esterifikasi menggunakan enzim lipase
C dalam reaksi esterifikasi enzimatis telah banyak
dilakukan oleh beberapa peneliti seperti ditunjukkan pada Tabel 4. Sedangkan
pemilihan waktu reaksi 55 jam adalah berdasarkan hasil penelitian terdahulu pada
sintesis monolaurin (Haryati et al., 2007, tidak dipublikasikan).
Parameter Kitu
(2000) Arbianti et al. (2008)
Nuraeni (2008)
Damstrup, et al. (2006)
Watanabe, et al. (2003)
Substrat 10 g DALMS: 14 g gliserol
Asam laurat: gliserol 3:3
DALMS: gliserol 2:3 (mol/mol)
Sunflower oil: gliserol 1:7 (mol/mol)
Minyak kaya DAG: gliserol 2:1
Jumlah Enzim 1,2 g Sumber lipase biji wijen 90% dari berat substrat
4 % (w/w dari total substrat)
18% (w/w oil)
5% (bk)
Kondisi reaksi Shaker 200 rpm, suhu 60o
Suhu 53
C, 4 jam
o Shaker 250 rpm, suhu 50
C, 18 jam o
Suhu 50
C, 5 jam
o Suhu 50 C, 115 menit
o C, 7 hari
Kromatogram GC untuk standar 1-monolaurin menunjukkan puncak
dengan waktu retensi 11,074 menit (Luas Area 9,32068%) dan 11,709 ( Luas
Area 90,67392%). Adanya dua puncak pada standar tersebut kemungkinan
dikarenakan oleh bentuk isomernya. Berdasarkan waktu retensi puncak standar,
Haryati (2007, tidak dipublikasikan) menyimpulkan bahwa produk yang
dihasilkan pada kromatogram GC dengan waktu retensi 11,162;11,973; 12,210,
dan 12,536 menit dengan luas area total adalah 73,69194 % adalah monolaurin,
sedangkan pada puncak dengan waktu retensi 18,723 DAG dengan luas area
1,54413% (Gambar 6). Menurut Widiyarti dan Hanafi (2008) dilaporkan bahwa
Page 13
17
hasil analisis LC-MS terhadap diester yang diperkirakan dilaurin, menghasilkan
kromatogram dengan puncak dominan pada waktu retensi 17,8 menit.
Gambar 6 Kromatogram GC untuk sintesis monolaurin dengan reaksi
esterifikasi enzimatis secara batch (Haryati et al., 2007, tidak dipublikasikan)
Enzim Lipase
Lipase (triasilgliserol ester hidrolase, EC. 3.1.1.3) adalah enzim yang
memilki kemampuan mensintesis minyak atau lemak. Lipase juga mengkatalisis
hidrolisis triasilgliserol pada interfase minyak dalam air dan akan membentuk
ikatan ester pada lingkungan dengan kondisi sedikit air. Reaksi yang mungkin
terjadi pada kondisi lingkungan tersebut adalah esterifikasi, transesterifikasi,
polimerisasi, laktonisasi (Divakar dan Manohar, 2007). Lipase sebagai katalis
dapat diperoleh dari berbagai organisme seperti tanaman, hewan, dan
mikroorganisme. Lipase komersial yang tersedia saat ini terutama diperoleh dari
mikroorganisme seperti bakteri, kapang, dan khamir. Pada umumnya lipase dari
Waktu Retensi (menit)
Res
pon
Det
ekto
r
Page 14
18
hewan dan tumbuhan memiliki stabilitas termal yang lebih rendah daripada lipase
mikrobial, sehingga industri lebih banyak menggunakan lipase dari
mikroorganisme. Mikroorganisme penghasil lipase dari bakteri antara lain P.
Flourescens, S. Carnosus, B. Stearothermophillus, C. Viscocum. Lipase yang
berasal dari kapang adalah A. Niger, R. Miehei, R. Delemar. Sedangkan lipase dari
khamir dapat diperoleh dari C. Cylindriceae, C. Auriculariae, C. Curvata, dan
Hansenula aromala (Borgstrom et al., 1984).
Beberapa jenis lipase yang dapat mengkatalisis reaksi esterifikasi adalah R.
Miehei, A. Niger, R. Delemar, G. Candidum, P. Camembertii, R. Arrhizus, C.
Antartica, Pseudomonas sp., C. Viscosum. Lipase-lipase tersebut telah diteliti
dapat menghasilkan MAG sebagai produk utama pada beberapa jenis substrat
(Bornscheuer, 1995). Novozym®
Reaksi yang dikatalisis oleh enzim lipase berlangsung pada sisi aktif enzim.
Menurut Brady et al. (1990) di dalam Hariyadi (1995), sisi aktif lipase terdiri dari
trio residu asam amino yaitu Ser-Asp-His. Dalam struktur enzim, sisi aktif ini
tersembunyi di balik suatu tutup, yaitu polipeptida yang sering disebut lid enzim.
Secara fisiologis lid enzim tersebut berfungsi untuk mencegah kerusakan
proteolitik asam-asam amino sisi aktif, yang akan berdampak negatif terhadap
aktivitas enzim. Lid bersifat fleksibel dan pada waktu membuka menyebabkan
substrat dapat mencapai sisi aktif enzim. Lid mengandung residu triptofan (Trp)
yang bersifat nonpolar. Pada saat enzim inaktif, sisi aktif lipase masih berada
dalam keadaan tertutup karena lid berinteraksi dengan residu hidrofobik di sekitar
inti katalitik. Keberadaan lingkungan hidrofobik (nonpolar) di sekitar enzim akan
memberikan kesempatan bagi lid untuk membuka, karena adanya interaksi antara
area nonpolar lid dengan lingkungan hidrofobik. Perubahan struktur yang
435 yang disuplai oleh Novozymes A/S
(Bagsvaerd, Denmark) adalah lipase komersial yang berasal dari C. Antartica
yang diproduksi submerged fermentation rekayasa genetik dari mikroorganisme
Aspergillus oryzae dan diabsorbsi dalam macroporous resin (Damstrup et al.,
2006). Candida antartica termasuk kedalam kelompok enzim yang
selektifitasnya tidak signifikan dan mengkatalisis reaksi gliserol pada tiga posisi
(Gunstone et al., 1997).
Page 15
19
menyebabkan terbukanya sisi aktif ini, menyebabkan substrat mudah untuk
berafinitas dengan sisi aktif lipase, sehingga terjadi proses katalisis.
Stabilitas Enzim Lipase Imobil
Stabilitas enzim dapat diartikan sebagai kestabilan aktivitas enzim selama
penyimpanan dan penggunaan enzim tersebut,serta kestabilan terhadap senyawa
yang bersifat merusak seperti pelarut tertentu (asam,basa) dan oleh pengaruh suhu
atau pH ekstrim. Stabilitas merupakan sifat penting yang harus dimiliki oleh
enzim dalam aplikasinya sebagai biokatalis. Pasa prinsipnya, ada dua cara yang
dapat ditempuh untuk memperoleh enzim yang mempunyai stabilitas tinggi yaitu:
(1) menggunakan enzim yang memiliki stabilitas ekstrim alami; (2)
mengusahakan peningkatan stabilitas enzim yang secara alami tidak/ kurang
stabil. Peningkatan stabilitas dapat ditempuh melalui: (a) imobilisasi enzim; (b)
modifikasi kimia; dan (c) protein engineering (Janecek, 1993). Lipase merupakan
enzim yang memiliki peran yang penting dalam bioteknologi modern. Banyak
industri yang telah mengaplikasikan penggunaan enzim sebagai biokatalis. Lipase
terkenal memiliki aktivitas yang tinggi dalam reaksi hidrolisis dan dalam kimia
sintesis. Lipase dapat berperan sebagai biokatalis untuk reaksi hidrolisis,
esterifikasi, alkoholisis, asidolisis atau aminolisis. Candida dan Rhizopus yang
merupakan organisme yang paling sering dipakai sebagai sumber sintesis
penghasil lipase (Pandey et al., 1999).
Enzim Lipase akan mengkatalis reaksi pada interfase, dan untuk
menghasilkan kecepatan reaksi yang tinggi, maka area interfase antara reaktan dan
fase enzim yang lebih hidrofilik dibutuhkan. Hal ini dapat dicapai dengan
produksi dispersi lipase yang baik dalam fase organik misalnya dengan
menggunakan surfaktan atau dengan mengimobilisasi enzim pada partikel
pendukung macroporous. Imobilisasi lipase biasanya dipilih untuk proses
inesterifikasi (Rozendaal, 1997). Imobilisasi lipase akan memperbaiki stabilitas,
pemisahan produk, dan pemisahan enzim dari reaksi untuk digunakan kembali
(Nawani et al., 2006).
Penggunaan enzim lipase dalam reaksi esterifikasi untuk menghasilkan
MAG sudah banyak dilakukan dan memberikan hasil yang jauh lebih baik
Page 16
20
daripada dengan katalis kimia. Hanya saja secara ekonomis penggunaan katalis
enzim lipase lebih mahal. Untuk mengatasi masalah ini enzim lipase digunakan
pada fase imobil sehingga dapat digunakan berulang-ulang dan memungkinkan
untuk diaplikasikan pada proses circulated packed bed reactor. Dengan
perkembangan teknologi peneliti dari Novozymes A/S, Bagsvaerd, Denmark telah
berhasil memproduksi Novozyme®
Enzim lipase imobil menjadi pilihan dalam reaksi untuk mencapai
kecepatan reaksi inesterifikasi. Enzim imobil dilakukan dengan cara
mengadsorpsi enzim ke dalam partikel macroporous dengan interaksi ionik atau
hidrofobik, karena protein tidak dapat larut dalam reaksi campuran. Partikel
macroporous harus memiliki area yang cukup pada permukaan dalam untuk
mengadsorpsi sejumlah lipase dan area permukaan bahan sekitar 10-100 m
435 yang diklaim sebagai enzim yang
harganya terjangkau. Lipase imobil ini kemudian dikomersialisasikan untuk
memenuhi kebutuhan produksi komoditas minyak dan lemak.
2
Enzim imobil yang digunakan pada penelitian ini adalah Novozyme
/g
yang normal digunakan. Diameter rata-rata pori partikel pendukung > 100 nM
banyak dipilih. Kemudian asal bahan kimia permukaan partikel juga penting
diperhatikan. ® 435.
Novozyme® 435 dibeli dari Novozymes A/S (Bagsvaerd, Denmark) adalah lipase
komersial yang berasal dari C. Antartica yang diproduksi rekayasa genetik dengan
submerged fermentation dari mikroorganisme Aspergillus oryzae dan diadsorbsi
dalam macroporous resin (Damstrup et al., 2006). Novozyme®
Novozyme
435 adalah
katalis yang stabil pada suhu tinggi dan pelarut organik. Bisa digunakan pada
operasi reaksi batch dan column tapi khususnya cocok digunakan untuk fixed-bed
reactor. ® 435 digunakan sebagai esterase untuk memproduksi spesifik
ester seperti yang digunakan di industri kosmetik pada suhu proses rendah. Enzim
ini juga digunakan dalam re-sintesis lemak dari gliserol dan asam lemak dimana
asam lemak spesifik dimasukkan. Dengan mengoperasikan pada suhu relatif
rendah (60-70o C), pembentukan produk samping dapat diminimumkan dan akan
mengurangi biaya pemurnian (Anonim, 2009a).
Page 17
21
Stabilitas enzim merupakan parameter penting dalam reaksi, hal ini
dikarenakan harga enzim yang mahal. Oleh karena itu recovery dan penggunaan
kembali (re-use) dari reaksi sangat dibutuhkan. Kehilangan aktivitas enzim
selama reaksi inesterifikasi dikarenakan dua faktor, yaitu inaktivase enzim lipase
dan kontaminasi dari komponen minor dalam reaktan. Kontaminasi reaktan dapat
dicegah dengan cara penyaringan reaktan secara hati-hati, sedangkan ketahanan
enzim pada suhu tinggi adalah syarat mutlak sebagai katalis.
Nawani, et al. (2006) telah melakukan penelitian tentang imobilisasi
enzim dan stabilitas lipase dari enzim thermofilik yang berasal dari Bacillus sp.
Beberapa uji dilakukan untuk melihat stabilitas dari enzim imobil antara lain uji
kestabilan enzim pada suhu tinggi. Enzim yang diuji adalah enzim dalam aqueous,
diimobilisasi, dan dimobilisasi dengan cross linked pada suhu 0-80o
C.
Gambar 7 Pengaruh suhu pada enzim aqueous, imobil, dan imobil cross link
(Nawani et al., 2006)
Data pada Gambar 7, .menunjukkan bahwa enzim imobil lebih stabil pada
reaksi suhu tinggi. Kemudian dilakukan juga uji stabilitas enzim dalam siklus
yang circulated packed bed reactor. Metode pengujian mengacu pada
Sigurgisladottir et al. (1993), yaitu enzim yang diimobilisasi dengan Silica dan
HP 20 diuji dalam 25 siklus masing-masing selama 30 menit. Pada setiap siklus, 2
ml campuran reaksi mengandung substrat ditambahkan enzim imobil dan
diinkubasi selama 30 menit dengan shaker yang kontinyu pada suhu 60o C.
Kemudian di sentrifuse dan supernatan diukur absorpsinya pada 420 nm.
Endapan dicuci dengan 0,05 M buffer fosfat (pH 8.0) dan digunakan dalam siklus
berikutnya dengan prosedur yang sama. Hasil pengujian penggunaan enzim dalam
siklus kontinyu dapat dilihat pada Tabel 5.
Page 18
22
Tabel 5 Retensi aktivitas lipase dalam penyangga padat pada siklus yang berbeda
No Padatan
penyangga Sisa Aktivitas Enzim (%)
5 siklus 10 siklus 15 siklus 20 siklus 25 siklus 1 HP 20 100 93 86 79 71 2 Silica 100 89 78 58 46
(Sigurgisladottir et al., 1993)
Berdasarkan Tabel di atas, Lipase dalam penyangga padat (imobil) pada
siklus 10 kali belum mengalami penurunan aktivitas enzim yang signifikan.
Menurut penelitian Fernandez-Lorente, et al. (2001) Lipase imobil yang berikatan
hidrofobik dapat digunakan dalam 10 kali reaksi esterifikasi tanpa penurunan
yang signifikan sebagai biokatalis. Yang et al. (2006) melaporkan bahwa stabilitas
enzim pada operasi reaksi gilserolisis minyak bunga matahari secara kontinyu
aktivitas lipase (novozyme 435) cukup stabil selama 31 hari reaksi (Gambar 8).
Tidak terdeteksi asam lemak bebas setelah 15 hari reaksi. Tidak ada penurunan
aktivitas lipase hingga hari terakhir reaksi.
Gambar 8 Stabilitas reaksi kontinyu Novozyme®
gliserolisis minyak bunga matahari. Kondisi reaksi: 435 mengkatalisis
gliserol/minyak 3.5:1 (mol/mol), suhu 40 C, waktu tinggal 40 menit, dan tert butyl alcohol/minyak 2:1 (w/w) (Yang et al., 2006) Yang et al. (2003), melakukan penelitian penggunaan ulang Novozyme®
435 dengan recovery lipase pada reaksi esterifikasi dan menggunakan kembali
enzim hasil recovery pada percobaan selanjutnya. Seperti terlihat pada gambar 8,
tidak ada penurunan yang signifikan pada aktivitas enzim setelah beberapa reaksi
Page 19
23
batch. Sekitar 90% dari aktivitas enzim (selama pembentukan MAG)
dipertahankan setelah 14 kali reaksi (Gambar 9).
Gambar 9 Kandungan MAG vs jumlah reaksi batch pada penelitian penggunaan kembali Novozyme®
reaksi sama (Yang et al., 2003) 435 dengan kondisi