Page 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam Bab II ini, penulis akan memaparkan kerangka teori yang
mendasari sistematika berfikir dalam penilisan tesis ini. Dimulai dari
pengertian tindak pidana korupsi itu sendiri, pengertian sifat melawan
hukum, teori pengambilan keputusan oleh hakim, hingga beberapa
teori dasar dalam hukum. Semua teori yang dikemukakan dalam bab II
ini sebagai landasan dalam menganalisa permasalahan hukum yang
terjadi sebagai akibat munculnya putusan Nomor : 003/PUU-IV/2006.
A. Tindak Pidana Korupsi.
Secara etimologis kata “Tindak Pidana Korupsi” berasal dari kata
“Tindak Pidana” dan “Korupsi”. Istilah “Tindak Pidana”merupakan
istilah teknis-yuridis dari kata bahasa Belanda “Stafbaar feit”. Stafbaar
feit sendiri memiliki banyak arti. Dalam bukunya yang berjudul Azas-
Azas Hukum Pidana, Moeljatno mengutip pendapat Somin mengenai
Stafbaar feit sebagai berikut :1
Strafbaar feit adalah kelakuan (handeling) yang diancam dengan
pidana, yang bersifat melawan hukum, yang berhubungan
dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu
bertanggungjawab.
1 Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: PT Rineka Cipta,2000, Hal 120.
Page 2
Van Hamel berpendapat lain, Van Hamel merumuskan strafbaar
feit adalah kelakuan orang (menslijke gedraging) yang dirumuskan
dalam wet, yang bersifat melawan hukum, yang patut dipidana (straf
waardig) dan dilakukan dengan kesalahan.
Pembentuk undang-undang tidak mengadopsi mentah-mentah
istilah strafbaar feit, jika diadopsi mentah-mentah istilah dan makna
strafbaar feit sebagaimana dikemukakan oleh Simon dan Van Hamel
di atas, maka istilah tersebut baru dapat dipakai setelah ada penetapan
putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap. Karena untuk
mengetahui orang bersalah atau tidak, melawan hukum atau tidak,
dapat dipertanggungjawabkan atau tidak harus melalui suatu proses
penyelesaian perkara pidana berdasarkan hukum pidana formil yang
berlaku.
Menurut Moeljatno yang menggunakan istilah “perbuatan
pidana”, memberi makna perbuatan pidana adalah “perbuatan yang
dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman
(sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar
larangan tersebut”, dengan demikian maka makna perbuatan pidana
yang dikemukakan oleh Moljatno berbeda dengan makna istilah
strafbaar feit seperti yang dikemukakan oleh Simons dan Van Hamel di
atas, perbuatan pidana hanya menunjuk kepada sifatnya perbuatan saja,
yaitu sifat dilarang dengan ancaman dengan pidana kalau dilanggar.
Apakah yang melanggar itu benar-benar dipidana seperti yang sudah
diancamkan, ini tergantung kepada keadaan batinnya dan hubungan
batinnya dengan perbuatan itu, yaitu dengan kesalahannya. Jadi
perbuatan pidana dipisahkan dari pertanggung-jawaban pidana
dipisahkan dari kesalahan. Lain halnya dengan strafbaar feit disitu
Page 3
dicakup pengertian perbuatan pidana dan kesalahan. Dengan demikian
makna istilah perbuatan pidana yang dikemukakan oleh Moeljatno
bukanlah merupakan salinan dari strafbaar feit.
Makna istilah “perbuatan pidana” yang dikemukakan Moeljatno
di atas masih terkesan bersifat pasif, baru merupakan perbuatan yang
berada dalam dimensi rumusan peraturan pidana belum keluar menjadi
perbuatan nyata yang dilakukan orang. Wiryono Projodikoro
menggunakan istilah “tindak pidana”, dan memaknai tindak pidana
dengan arti “suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan
hukuman pidana”.2
Dasar patut dipidananya perbuatan, berkaitan erat dengan
masalah sumber hukum atau landasan legalitas untuk menyatakan
suatu perbuatan sebagai tindak pidana atau bukan.3
Penempatan sifat melawan hukum materiel tersebut juga untuk
menjangkau keseimbangan dalam kehidupan masyarakat, karena
menurut Muladi tindak pidana merupakan gangguan terhadap
keseimbangan, keselarasan dan keserasian dalam kehidupan
masyarakat yang mengakibatkan gangguan individual ataupun
masyarakat.4
Selanjutnya menurut bahasa atau etimologis, kata korupsi berasal
dari bahasa latin corruptio atau corruptus, dan dalam bahasa Latin
yang lebih tua dipakai istilah corrumpere. Dari bahasa Latin itulah
turun ke berbagai bahasa bangsa-bangsa di Eropa, seperti Inggris:
2 Wiryono, Projodikoro, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, cetakan kedua, Bandung:
PT Eresco, 1989, Hal 232. 3 Barda Nawawi Arief, Perkembangan Sistem Pemidanaan di Indonesia, Semarang: Badan
Penerbit Undip, 2009, Hal 49 4 Muladi , Lembaga Pidana Bersyarat, Bandung: Alumni, 2002, Hal 61
Page 4
corruption, corrupt; Perancis: corruption; dan Belanda: corruptive
atau korruptie, yang kemudian turun ke dalam bahasa Indonesia
menjadi korupsi. Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan
dari kesucian.5
Black’s Law Dictionary mengartikan korupsi sebagai perbuatan
yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan
yang tidak resmi dengan hak-hak dari pihak lain secara salah
menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu
keuntungan untuk dirinya sendiri atau orang lain.6
KPHA Tjandra Sridjaja Pradjonggo, menyebutkan tiga model korupsi:7
Dalam cara pandang sosiologis maka korupsi di Indonesia dapat dibagi
dalam tiga model.
1. Pertama, corruption by need, artinya korupsi yang membuat
orang harus korupsi; apabila tidak korupsi atau melakukan
penyimpangan maka tidak dapat hidup.
2. Kedua, corruption by greed artinya korupsi yang memang karena
serakah yaitu sekalipun secara ekonomi cukup, tetapi tetap saja
korupsi.
3. Ketiga, corruption by chance, artinya korupsi terjadi karena
adanya kesempatan.
5 Andi Hamzah (I),Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 1991, hal.7. 6 Rohim, Modus Operandi Tindak Pidana Korupsi, Depok: Pena Multi Media, 2008, hal. 2.
7 KPHA. Tjandra Sridjaja Pradjonggo, Sifat Melawan hukum Dalam Tindak Pidana
Korupsi, Jakarta ; Indonesia lawyer Club, 2010, hal 12.
Page 5
Dalam bukunya yang berjudul Strategi Pencegahan dan
Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi, Chaerudin mengutip
pendapat Klitgaard sebagai berikut, korupsi ada apabila seorang secara
tidak sah meletakkan kepentingan pribadi diaras kepentingan
masyarakat dan sesuatu yang dipercayakan kepadanya untuk
dilaksanakan. Korupsi muncul dalam berbagai bentuk dan dapat
bervariasi dari yang kecil sampai monumental. Korupsi dapat
melibatkan penyalahgunaan perangkat kebijaksanaan, ketentuan tarip
dan perkreditan, kebijakan sistem irigasi dan perumahan, pengakan
hukum dan peraturan berkaitan dengan keselamatan umum,
pelaksanaan kontrak dan pelunasan pinjaman atau melibatkan
proseduryang sederhana. Hal ini dapat terjadipada sektor swasta atau
sektor publik dan sering terjadi dalam kedua sektor tersebut secara
simultan. Hal itu dapat jarang atau meluas terjadinya, pada sejumlah
negara yang sedang berkembang, korupsi telah menjadi sistemik.
Korupsi dapat melibatkan janji, ancaman atau keduanya, dapat dimulai
oleh seorang pegawai negeri atau masyarakat yang berkepentingan,
dapat mencakup perbuatan melakukan atau tidak melakukan, dapat
melibatkan pekerjaan yang tidak sah maupun yang sah, dapat didalam
atau diluar organisasi publik. Batas-batas korupsi sangat sulit
didefinisikan dan tergantung pada hukum lokal dan adat kebiasaan.
Tugas pertama dari analisis kebijakan adalah untuk mengelompokkan
tipe-tipe kebiasaan korupsi dan tidak sah dalam situasi yang nyata dan
melihat pada contoh-contoh yang konkrit.8
Lebih lajut Robert Klitgaard, merumuskan korupsi sebagai
tingkah laku yang menyimpang dari tugas – tugas resmi sebuah jabatan
8 Chaerudin, Ahmad Syaiful Dinar & Syarif Fadillah, Strategi Pencegahan & Penegakan
Hukum Tindak Pidana Korupsi. Bandung : PT Refika Aditama, 2008, Hal. 4.
Page 6
negara karena keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi
(perorangan, keluarga dekat, kelompak sendiri) atau melanggar aturan
– aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi.9
Syed Hussein Alatas memaknai pengertian korupsi dengan
menmberikan benang merah yang menghubungkan dalam aktifitas
korupsi, yaitu subordinasi kepentingan umum dibawah kepentingan
tujuan-tujuan pribadi yang mencakup pelanggaran norma-norma,
tugas, dan kesejahteraan umum, dibarengi dengan kerahasiaan,
pengkhianatan, penipuan dan kemasabodohan yang luar biasa akan
akibat-akibat yang diderita oleh masyarakat. Dengan kata lain, menurut
Alatas korupsi adalah penyalah gunaan amanah untuk kepentingan
pribadi.10
Selanjutnya alatas juga mengembangkan tujuh tipelogi korupsi antara
lain.:11
1. Korupsi Transaktif, yaitu korupsi yang terjadi atas kesepakatan
diantara seorang donor dengan resipen untuk kepentingan kedua
belah pihak.
2. Korupsi Ekstortif, yaitu korupsi yang melibatkan penekanan dan
pemaksaan untuk menghindari bahaya bagi mereka yang terlibat
atau orang-orang yang dekat dengan pelaku korupsi.
9 Robert Klitgaard, Membasmi Korupsi, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2007, hal 31.
10 Alatas, Syed Hussein, Corption : Its Nature, Causes and Consequences, Aldershot,
Brookfield, Vt: Avebury. 1999, Hal. 7 11
Ibid, hal 8.
Page 7
3. Korupsi Investif, yaiutu korupsi yang berawal dari tawaran yang
merupakan investasi untukmengantisipasi adanya keuntungan
dimasa depan.
4. Korupsi Nepotistik, yaitu korupsi yang terjadi karena perlakuan
khusus baik dalam pengangkatan kantor publik maupun
pemberian proye-proyek bagi keluarga dekat.
5. Korupsi Otogenik, yaitu korupsi yang terjadi ketika seorang
pejabat mendapat keuntungan karena memiliki pengetahuan
sebagai orang dalam tentang berbagai kebijakan publik yang
seharusnya dirahasiakan.
6. `Korupsi Supportif, yaitu perlindungan atau penguatan yang
menjadi intrik kekuasaan dan bahkan kekerasan.
7. Korupsi Defensif, yaitu korupsi yang dilakukan dalam rangka
mempertahankan diri dari pemerasan.
Vito Tanzi menemukakan bahwa korupsi adalah perilaku yang
tidak mematuhi prinsip, dilakukan oleh peroranga disektor swasta atau
pejabat publik, keputusan yang dibuat berdasarka hubungan pribadi
atau keluarga akan menimbulkan korupsi,termasuk juga konflik
kepentingan dan nepotisme.12
Samuel P. Huntington mengemukakan bahwa korupsi adalah
penyakit demokrasi dan modernitas. Pernyataan ini minyiratkan,
sebelum system negara demokrasi ada, korupsi belum meretas luas,
atau belum disebut sebagai korupsi.13
Huntington juga menambahkan
12
Tanzi, Vito, Corrption, Givernmental Activities, and Markets, IMF Working Paper,
Agustus 1994. 13
Indriati,Etty, Pola Dan Akar Korupsi, PT Gramedia, Jakarta, 2014, hal.1-2
Page 8
bahwa korupsi adalah perilaku menyimpang dari public official atau
para pagawai dari norma-norma yang diterima dan dianut oleh
masyarakat dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan-keuntungan
pribadi.14
Secara yuridis formal pengertian Tindak Pidana Korupsi terdapat
dalam Bab II tentang Tindak Pidana Korupsi, Pasal 2 sampai dengan
20, Bab III tentang Tindak Pidana lain yang berkaitan dengan Tindak
Pidana Korupsi, Pasal 21 sampai dengan 24 UUPTPK.15
Dalam Udang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang sebagimana
diubah dan ditambag dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi memberikan batasan
agar dapat memahami rumusan delik. Dalam memahami rumusan delik
maka dapat dikelompokan sebagai berikut :16
1. Kelompok delik yang dapat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara (pasal 2,3 Undang-undang Nimor 31
Tahun 1999).
2. Kelompok delik penyuapan, baik aktif (yang menyuap) maupun
pasif (yang meneruma suap) (pasal 5,11,12,12B Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001)
3. Kelompok delik penggelapan (pasal 8,10 Undang-udang Nomor
20 Tahun 2001)
14
Ibid, 3 15
Mulyadi, Lilik, Tindak Pidana Korupsi (Tinjauan Khusus Terhadap Proses Penyidikan ,
Penuntutan, Peradilan Serta Upaya Hukumnya Menurut UU No. 31 Tahun 1999), , PT Citra
Aditya Bakti, 2000, hal. 17 16
Chaerudin, Ahmad Syaiful Dinar & Syarif Fadillah, Strategi Pencegahan & Penegakan
Hukum Tindak Pidana Korupsi. Bandung : PT Refika Aditama, 2008, Hal. 4.
Page 9
4. Kelopok delik pemerasan dalam jabatan (pasal 12e, dan f
Undang-undang nomor 20 Tahun 2001)
5. Kelompok delik yang berkaitan dengan pemborosan, leveraasir,
dan rekatan (pasal 7 Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001)
B. Sifat Melawan Hukum.
Dalam bahasa Belanda melawan hukum merupakan padanan kata
"wederrechtelijk" yang menunjukkan sifat tidak sah suatu tindakan
atau suatu maksud. Penggunaan kata "wederrechtelijk" oleh
pembentuk undang-undang untuk menunjukkan sifat tidak sah suatu
tindakan itu dijumpai dalam rumusan-rumusan delik dalam pasal
KUHPseperti pasal167 ayat (1), 179,180, dan Pasal 190. Sedangkan
penggunaan kata "wederrechtelijk" untuk menunjukkan sifat tidak sah
suatu maksud dapat dijumpai antara lain dalam rumusan-rumusan delik
dalam Pasal KUHP seperti pasal 328, 339, 362 dan pasal 389.17
Para ahli hukum pidana memberikan pengertian melawan hukum
dalam makna yang beragam. Bemmelen mengartikan melawan hukum
dengan dua pengertian, yaitu "sebagai bertentangan dengan ketelitian
yang pantas dalam pergaulan masyarakat mengenai orang lain atau
17
Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, Bandung, : Sinar Baru, 1984, hal 332
Page 10
barang, dan bertentangan dengan kewajiban yang ditetapkan oleh
undang-undang"18
Dalam bukunya, Teguh Prasetyo mengutip beberapa pendapat
para ahli mengenai pengertian melawan hukum antara lain:19
a) Simon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum
pada umumnya.
b) Noyon: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hak
subjektif orang lain.
c) Pompe: Melawan hukum berarti bertentangan dengan hukum
dengan pengertian yang lebih luas, bukan hanya bertentangan
dengan undang-undang tetapi juga dengan hukum yang tidak
tertulis.
d) Van hannel: Melawan hukum adalah onrechmatig atau tanpa hak/
wewenang.
e) Hoge raad: Dari arrest-arrest-nya dapat disimpulkan, menurut
HR melawan hukum adalah tanpa hak atau tanpa kewenangan.
(arrest 18-12-1911 W 9263).
f) Lamintang: Berpendapat, perbedaan diantara pakar tersebut
antara lain disebabkan karena dalam bahasa Belanda recht dapat
berarti hukum” dan dapat berarti “hak.” Ia mengatakan, dalam
bahasa Indonesia kata wederrechtelijk itu berarti “secara tidak
sah” yang dapat meliputi pengertian “bertentangan dengan
18
Van Bemmelen, Hukum Pidana Hukum Pidana Material Bagian Umum, Jakarta :
Binacipta, 1984, hal 149-150 19
Prasetyo, Teguh dan Abdul Hakim Barkatullah.. Politik Hukum Pidana Kajian Kebijakan
Kriminalisasai dan Deskriminalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hal 31-32.
Page 11
hukum objektif” dan “bertentangan dengan hak orang lain atau
hukum subjektif”
Menurut Prof. Satochid Kertanegara dalam kumpulan kuliah
hukum pidana bgian kesatu, menyatakan bahwa wederrechtelijk
sebetulnya sama artinya dengan onrechmatig dalam lapangan hukum
perdata. Alasan untuk menyamakan arti wederrechtelijk dengan arti
onrechmatig dalam hukum perdata ini disandarkan pada paham
kemasayarakatan yaitukepatutan yang harus diindahkan dalam
pergaulan masyarakat. Penganut wederrechtelijk materiil (melawan
hukum dalam arti materiil) memilih Arrest Cohen Lindenbaum ini
sebagai sandaran untuk menafsirkan pengertian wederrechtelijk.20
Prof. Oemar Senoaji, SH, dalam bukunya yang berjudul KUHAP
Sekarang, menjelaskan pengertian melawan hukum meliputi
perbuatan-perbuatan yang bertentangan dengan norma kesopanan yang
lazim atau yang bertentangan dengan keharusan atau kepatutan dalam
pergaulan hidup untuk bertindak terhadap orang lain, barangnya
maupun haknya. Sebagai unsur dari suatu tindak pidana dalam
beberapa hal, kata “melawan hukum” (wederrechtelijk) oleh kalangan
ahli hukum diartikan bertentangan dengan kesopanan yang lazim ada
dalam pergaulan masyarakat (in strijd met de zorgvuldigheid de in het
maatschappelijk verkeer betaamt). 21
20
Kertanegara, Satochid, Kumpulan Kuliah Hukum Pidana Bgian Kesatu, Jakarta : Balai
Lektur Mahasisiwa, 2004, hal 431-432. 21
Senoaji, Oemar, KUHAP Sekarang, terbitan, Jakarta : Erlangga, 1985, hal 179,
Page 12
Ajaran sifat melawan hukum memiliki kedudukan yyang penting
dalam hukum pidana diamping asas Legalitas. Ajaran ini terdiri dari
ajaran sifat melawan hukum yang formil dan materiil.22
1. Sifat melawan hukum formil terjadi karena memenuhi rumusan
delik undang-undang. Sigat melawan hukum formal merupakan
syarat untuk dapat dipidananya suatu perbuatan. Ajaran sifat
melawan hukum formal adalah apabila suatu perbuatan telah
memenuhi semua unsur yang termuat dalam rumusan tindak
pidana, perbuatan tersebut adalah tindak pidana. Jika ada alasan-
alasan pembenar maka alasan-alasan tersebut harus juga
disebutkan secara tegas dalam undang-undang.
2. Sifat melawan hukum materiil merupakan suatu perbuatan
melawan hukum yang tidak hanya terdapat di dalam undang-
undang (yang tertulis), tetapi harus dilihat berlakunya asas-asas
hukum yang tidak tertulis juga. Sifat melawan hukum itu dapat
dihapuskan berdasar ketentuan undang-undang maupun aturan-
aturan yang tidak tertulis.
Menurut Moeljatno ada perbedaan antara pandangan yang formal
dengan pandangan yang materiil, maka perbedannya yaitu : 23
1. Mengakui adanya pengecualiaan / penghapusan dari sifat
melawan hukumnya perbuatan menurut hukum yang tertulis dan
yang tidak tertulis, sedangkan pandangan yang formal hanya
mengakui pengecualian yang tersebut dalam undang-undang
saja, misalnya Pasal 44 KUHP, mengenai kurang sempurnanya
22
Prasetyo, Teguh. & Abdul hakim Barkatullah, Politik Hukum Pidana kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2005, Hal. 34-35 23
Moeljatno , Asas-asas Hukum Pidana, Jakarta : Rineka Cipta, 2002, hal. 134
Page 13
akal seseorang atau karena sakit berubah akal, Pasal 48 KUHP,
mengenai over macht, 49 KUHP, mengenai pembelaan terpaksa
(noodweer); dan
2. Sifat melawan hukum adalah unsur mutlak dari tiap-tiap
perbuatan pidana, juga bagi yang dalam rumusannya tidak
menyebut unsur-unsur tersebut, sedang bagi pandangan yang
formal, sifat tersebut tidak selalu menjadi unsur daripada
perbuatan pidana. Hanya jika dalam rumusan delik disebutkan
dengan nyata-nyata, barulah menjadi unsur delik
Berdasarkan Yuriprudensi Mahkamah Agung Republik
Indonesia telah dimungkinkan penggunaan sifat melawan hukum
materiil dalam fungsinya yang negatif. Rangkuman Yurisprudensi
Mahkamah Agung Republik Indonesia yang menunjuk pada Putusan
Mahkamah Agung tanggal 27 Mei 1972, Nomor 72 K/Kr/1970, bahwa
“Meskipun yang dituduhkan adalah suatu delik formil, namun Hakim
secara materiil harus memperhatikan juga keadaan terdakwa atas dasar
mana ia tak dapat dihukum atau materieele wederrechttelijkheid.24
Dihadapkan pada keberadaan asas legalitas, maka sesungguhnya
hanya secara melawan hukum dalam pengertian formil yang dapat
diterima. Sifat melawan hukum dengan demikian dalam pengertian
materiil bertentangan dengan asas legalitas. Penerapan fungsi negatif
sifat melawan hukum materiil sesungguhnya juga tidak sejalan dengan
asas legalitas yang tersurat dalam Pasal 1ayat (1) KUHP.
Penerimaannya semata-mata didasarkan oleh doktrin dan kemudian
diikuti oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung, sedangkan fungsi positif
24
KPHA. Tjandra Sridjaja Pradjonggo, op cit hal 61.
Page 14
dari sifat melawan hukum materiil masih belum sepenuhnya dapat
diterima dalam penegakan hukum di Indonesia. Pikiran-pikiran kearah
penerapan fungsi positif dari sifat melawan hukum materiil telah
muncul, namun tampaknya masih banyak penolakan, termasuk oleh
Mahkamah Konstitusi dalam Konteks UU Tindak Pidana Korupsi.
Dasar pikiran perlunya penerapan fungsi positif dari sifat melawan
hukum materiil di antaranya munculnya multipologi korupsi.25
Dalam undang-undang tindak pidana korupsi, kata melawan
hukum diartikan sebagai melawan hukum formil dan melawan hukum
materiel. Suatu perbuatan dikatakan bersifat melawan hukum formil
apabila perbuatan itu diancam pidana dan dirurnuskan sebagai suatu
delik dalam undang-undang.26
C. Teori Pengambilan Keputusan Oleh Hakim.
1. Pengertian Pertimbangan Hakim
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting
dalam menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang
mengandung keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian
hukum, di samping itu juga mengandung manfaat bagi para pihak yang
bersangkutan sehingga pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan
teliti, baik, dan cermat. Apabila pertimbangan hakim tidak teliti, baik,
dan cermat, maka putusan hakim yang berasal dari pertimbangan
25
Ibid. Hal 62. 26
Sudarto, Hukum Pidana jilid I A-B, Semarang : Fakultas Hukum Universitas Diponegoro,
1975, hal 62
Page 15
hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi/Mahkamah
Agung27
Teori dasar pertimbangan hakim, yaitu putusan hakim yang baik,
dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan 4 kriteria
dasar pertanyaan (the four way test) berupa28
:
1. Benarkah putusanku ini?
2. Jujurkah aku dalam mengambil putusan ini?
3. Adilkah bagi pihak-pihak putusanini?
4. Bermanfaatkah putusanku ini?
Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan
adanya pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu kan digunakan
sebagai bahan pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian
merupakan tahap yang paling penting dalam pemeriksaan di
persidangan. Pembuktian bertujuan untuk memperoleh kepastian
bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi, guna
mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim tidak dapat
menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa
peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan
kebenaranya, sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para
pihak.29
Selain itu, pada hakikatnya pertimbangan hakim
hendaknya juga memuat tentang hal-hal sebagai berikut :
27
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata pada Pengadilan Agama, cetakan ke-5,
Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2004, hal.140 28
Mulyadi, Lilik, Kekuasaan Kehakiman, Surabaya, Bina Ilmu, 2007, hal 136. 29
Ibid hal.141
Page 16
a) Pokok persoalan dan hal-hal yang diakui atau dalil-dalil
yang tidak disangkal.
b) Adanya analisis secara yuridis terhadap putusan segala
aspek menyangkut semua fakta/hal-hal yang terbukti dalam
persidangan.
c) Adanya semua bagian dari petitum Penggugat harus
dipertimbangkan/diadili secara satu demi satu sehingga
hakim dapat menarik kesimpulan tentang terbukti/tidaknya
dan dapat dikabulkan/tidaknya tuntutan tersebut dalam
amar putusan.
2. Dasar Pertimbangan Hakim
Dasar hakim dalam menjatuhkan putusan pengadilan perlu
didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan
sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang
dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai
kepastian hukum kehakiman, di mana hakim merupakan aparat
penegak hukum melalui putusannya dapat menjadi tolak ukur
tercapainya suatu kepastian hukum.
Pokok kekuasaan kehakiman diatur dalam Undang-undang Dasar
1945 Bab IX Pasal 24 dan Pasal 25 serta di dalam Undang-undang
Nomor 48 tahun 2009. Undang-undang Dasar 1945 menjamin adanya
sesuatu kekuasaan kehakiman yang bebas. Hal ini tegas dicantumkan
dalam Pasal 24 terutama dalam penjelasan Pasal 24 ayat 1 dan
penjelasan Pasal 1 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009, yaitu kekuasaan
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
Page 17
berdasarkan pancasila dan Undang-undang Negara Republik Indonesia
tahun 1945 demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia.30
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka
dalam ketentuan ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan
kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan ekstra
yudisial, kecuali hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-undang
Dasar 1945. Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial
bersifat tidak mutlak karena tugas hakim alah menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan
rasa keadilan rakyat Indonesia. Kemudian Pasal 24 ayat (2)
menegaskan bahwa: kekuasan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara,
dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.31
Kebebasan hakim perlu pula dipaparkan posisi hakim yang tidak
memihak (impartial jugde) Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009.
Istilah tidak memihak di sini haruslah tidak harfiah, karena dalam
menjatuhkan putusannya hakim harus memihak yang benar. Dalam hal
ini tidak diartikan tidak berat sebelah dalam pertimbangan dan
penilaiannya. Lebih tapatnya perumusan UU No. 48 Tahun 2009 Pasal
5 ayat (1): “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang”.32
30
Ibid, hal 142 31
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, Jakarta, Rineka Cipta, 1996 ,hal. 94 32
Ibid, hal. 95
Page 18
Pada prinsipnya hakim hanyalah menerima setiap perkara yang
diajukan kepadanya untuk diselesaikan dan hal ini berarti telah ada
suatu peristiwa atau kejadian ataupun persengketaan yang timbul,
kemudian peristiwa, kejadian dan persengketaan itu dibawa ke hadapan
hakim agar supaya hakim menentukan hukum yang berlaku atas
peristiwa dan persengketaan itu.
Peristiwa atau kejadian ataupun persengketaan yang diajukan
para pihak terlebih dahulu harus dikonstatir oleh hakim. Konstatering
peristiwa atau kejadian menurut Mertokusumo berarti melihat,
mengakui atau membenarkan telah terjadinya peristiwa yang diajukan
tersebut, akan tetapi untuk sampai kepada konstateringnya itu harus
mempunyai kepastian. Hakim harus pasti akan konstateringnya,
sehingga konstateringnya tidak sekadar dugaan atau kesimpulan yang
dangkal atau gegabah saja. Hakim haruslah menggunakan sarana-
sarana atau alat untuk memastikan tentang peristiwa yang
bersangkutan. Jadi mengonstatir peristiwa, kecuali melihat atau
membenarkan telah terjadinya peristiwa atau telah menganggap telah
terbuktinya peristiwa tersebut, maka diakui sebagal peristiwa yang
benar-benar terjadi. Hal yang harus dikonstatir adalah peristiwa, tetapi
untuk sampai pada konstatering harus melakukan pembuktian lebih
dahulu. Kegiatan yang dilakukan hakim dalam fase pertama ini
semata-mata bersifat logis.33
33
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum: Suatu Pengantar, Ed. Ke-3, Yogyakarta:
Liberti, 1988, hal. 87.
Page 19
Lebih lanjut Sudikno Mertokusumo dalam bukunya menuliskan,
menentukan kebenaran suatu peristiwa, Kattsoff (1989: 180-189)
mengemukakan beberapa teori, yaitu:34
a) Teori Koherensi (Coherence Theory) yang pada prinsipnya
menyatakan bahwa makna suatu pernyataan (proposisi)
cenderung benar jika makna suatu pernyataan tersebut dalam
keadaan saling berhubungan dengan makna pernyataan-
pernyataan yang lain yang benar, atau dengan kata lain makna
suatu pernyataan saling berhubungan dengan pengalaman yang
ada. Ukuran derajat kebenaran menurut teori ini ialah “derajat
keadaan saling berhubungan.” Jikalau keadaan saling
berhubungan dengan semua kenyataan, itulah yang dimaksud
dengan kebenaran mutlak;
b) Teori Korespondensi (Corresponsdence Theory), teori ini
menyatakan bahwa suatu pernyataan benar jika makna
pernyataan itu sungguh-sungguh sesuai dengan faktanya;
c) Teori Empiris, yang memandang bahwa kebenaran adalah
berdasarkan pengalaman-pengalaman indriawi manusia. Makna
suatu pernyataan bersifat meramalkan atau hipotesis, kalau
ramalan makna suatu pernyataan terpenuhi, maka itulah
kebenaran;
d) Teori Pragmatis, yang memandang bahwa kebenaran itu adalah
jika makna suatu pernyataan berdasarkan konsekuensi yang
ditimbulkan atau kebenaran merupakan gagasan yang berguna
atau dapat dilaksanakan di dalam suatu situasi.
34
Ibid., hal. 88
Page 20
Jika hakim telah berhasil mengonstatir peristiwa, yaitu dengan
membenarkan suatu peristiwa, maka peristiwa yang benar tersebut
dikualifikasi ke dalam aturan hukum. Dalam hal ini Mertokusumo,
menjelaskan bahwa mengualifikasikan berarti menilai peristiwa yang
telah dianggap terbukti itu termasuk hubungan hukum apa atau yang
mana, dengan perkataan lain menemukan hukumnya bagi peristiwa
yang telah dikonstatir. Dalam menemukan hukumnya hakim
melakukan penerapan hukum (rechts toepassing) terhadap
peristiwanya. Dicarikan dan peraturan hukum yang ada, ketentuan-
ketentuan yang dapat diterapkan pada peristiwa yang bersangkutan.35
D. Teori Hukum
1. Aliran Hukum Alam.
Aliran hukum alam, bisa dibilang sebagai sebuah paradigma
yang paling tua sekaligus serta paling besar pengaruhnya bagi
perkembangan ilmu hukum sampai hari ini. Teori-teori hukum yang
dikembangkan setelah periode hukum alam, sesungguhnya merupakan
perkembangan atau penyempurnaan saja dari paradigma hukum alam.
Dalam teori hukum alam, hukum sebagai nilai yang universal dan
selalu hidup di sanubari orang, masyarakat maupun negara. Hal ini
disebabkan karena hukum niscaya harus tunduk pada batasan-batasan
moral yang menjadi guideline bagi hukum itu sendiri.
Bahkan disebutkaan bahwa di atas sistem hukum positif negara,
ada sebuah sistem hukum yang lebih tinggi (lex divina), bersifat
ketuhanan yang berdasarkan atas akal budi hukum alam itu sendiri, jadi
35
Ibid hal.88
Page 21
hukum alam lebih superior dari hukum negara. Hal ini terjadi karena
adanya keabsahan dari norma-norma yang bukan makna dari tindakan-
tindakan kemauan manusia. Karena itu nilai-nilai yang mereka bentuk
adalah sama sekali tidak sewenang-wenang (arbitrariy), subjektif atau
relatif.36
Hukum alam tampil sebagai suatu hukum dari akal budi
(reason) manusia dan menyalurkan hasrat penyelidikan tentang
tindakan kemauan dari seseorng yang menampilkan diri (bertindak)
sebagai legislator moral atau hukum.37
Kekuatan utama dari paradigma ini tidak hanya bertumpu pada
nilai moralitas semata, namun juga berorientasi pada pencapaaian nilai-
nilai keadilan bagi masyarakat. Para pemikir hukum paradigma hukum
alam, berkeyakinan bahwa keadilan merupakan sebuh esensial
(essential value) dari hukum, bahkan sering diidentikkan sebagai
sebuah nilai yang tunggal dan menyatu. Hukum memiliki banyak
tujuan dalam dirinya, karena hukum tidak hanya berfungsi sebgai
sebuah alat untuk menegakkan keadilan (as a tool), namun juga
berfungsi sebagai “cermin” rasa keadilan dan kedaulatan rakyat suatu
negara.38
Pada abad ke-8 sebelum Masehi, aliran hukum alam dalam
pemikiran di zaman Romawi dimunculkan oleh pemikir-pemikir yang
dipengaruhi oleh pikiran-pikiran yang berkembang di Yunani, terutama
oleh pikiran Socrates, Plato, dan Aristoteles. Salah satu tokoh Romawi
yang banyak mengemukakan pemikirannya tentang hukum alam
adalah Cicero, seorang yuris dan seorang negarawan. Cicero
36
Sidartha, B.Arief, Hukum dan Logika, Bandung: PT Alumni, 2000, hal.35 37
Ibid.,hal.35 38
MD, Moh.Mahfud, Bahan Kuliah Politik Hukum, Yogyakarta : Program Pascasarjana UII,
2009, hal.12.
Page 22
mengajarkan konsep tentang a true law (hukum yang benar) yang
disesuaikannya dengan right reason (penalaran yang benar), serta
sesuai dengan alam, dan yang menyebar diantara kemanusiaan dan
sifat immutable danenternal. Hukum apapun harus bersumber dari true
law itu. Pada kesempatan lain Cicero mengatakan bahwa, kita lahir
untuk keadilan. Dan hukum tidaklah didasarkan pada opini, tetapi
pada man’s very nature. Selain Cicero sebagai salah seorang tokoh
pemikir zaman Romawi tersebut, maka salah satu pemikir terkenal
adalah Gaius. Gaius membedakan antara ius civile dan ius gentium. Ius
Civile adalah hukum yang bersifat khusus pada suatu negara tertentu,
sedangkan ius gentium adalah hukum yang berlaku universal yang
bersumber pada akal pemikiran manusia.39
Kedua zaman itu, Yunani dan Romawi mempunyai perbedaan
yang konkret mengenai pandangan terhadap hukum. Menurut pendapat
Achmad Ali, pemikiran Yunani tentang hukum lebih bersifat teoritis
dan filosofis, sedangkan pemikiran Romawi lebih menitikberatkan
pada hal-hal yang praktis dan berkaitan dengan hukum positif.40
Perkembangan hukum alam mengalami kemunduran disekitar
abad ke-16 dan muncul kembali pada abad ke-19, oleh seorang bangsa
Jerman yang bernama Rudolf Stammler. Stammler memberikan
pokok-pokok pikirannya mengenai hukum alam sebagai berikut: 41
a. Semua hukum positif merupakan usaha menuju pada hukum
yang adil;
39
Ali, Zainuddin, Filsafat Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2009, hal.49 40
Ali, Achmad, Menguak Tabir Hukum: Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis,
Jakarta:Gunung Agung, 2002, hal.258. 41
Lihat, Rudolf Stammler, dalam Achmad Ali, Ibid.,hal.262
Page 23
b. Hukum alam berusaha membuat suatu metode rasional yang
dapat digunakan untuk menentukan kebenaran yang relatif dari
hukum dalam setiap situasi.
c. Metode itu diharapkan menjadi pemandu jika hukum itu gagal
dalam ujian dan membawanya lebih dekat pada tujuannya.
Pada prinsipnya hukum alam bukanlah sesuatu aturan jenis
hukum, melainkan merupakan kumpulan ide atau gagasan yang keluar
dari pendapat para ahli hukum, kemudian diberikan sebuah lebel yang
bernama hukum alam. Hal ini sejalan dengan pandangan Satjipto
Rahardjo42
yang mengatakan bahwa istilah hukum alam ini
didatangkan dalam berbagai artinya oleh berbagai kalangan dan pada
masa yang berbeda-beda pula. Dengan demikian, hakikat hukum alam
merupakan hukum yaang berlaku universal dan abadi. Sebab menurut
Friedman, sejarah hukum alam adalah absolute justice (keadilan yang
mutlak) di samping kegagalan manusia dalam mencari keadilan.
Pengertian hukum alam berubah-ubah sesuai dengan perubahan pola
pikir masyarakat dan keadan politik di zaman itu.43
Pendapat Friedmann di atas, sejalan dengan pendapat Dias yang
mengatakan bahwa, hukum alam itu adalah :
a) Ideal-ideal yang menurut perkembangan hukum dan
pelaksanaannya;
42
Ali, Zainuddin, Ibid., hal. 53
43
Friedmann, dalam Rasyidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Bandung:Citra Aditya
Bakti, 1996, hal.49
Page 24
b) Dasar dalam hukum yang bersifat moral, yang menjaga jangan
sampai terjadi suatu pemisahan secara total antara yang ada
sekarang dan yang seharusnya;
c) Metode untuk menemukan hukum yang sempurna;
d) Isi dari hukum yang sempurna, yang dapat didiskusikan melalui
akal;
e) Kondisi yang harus ada bagi kehadiran hukum dalam
masyarakat.
Selain Friedmann dan Dias yang merupakan penggagas aliran
hukum alam, juga ada Thomas Aquinas, seorang filsuf yang terkenal
melalui bukunya Summa Theologica dan De Regimen Principum.
Pemikiran yang dikemukakan oleh Thomas Aquinas mengenai hukum
alam banyak mempengaruhi gereja bahkan menjadi dasar pemikiran
gereja hingga saat ini. Thomas Aquinas membagi hukum ke dalam
empat golongan, yaitu :44
a. Lex Aeterna, merupakan rasio Tuhan sendiri yang mengtaur
segala hal dan bersumber dari segala hukum. Rasio ini yang tidak
dapat ditangkap oleh panca indra manusia.
b. Lex Divina, bagian dari Rasio Tuhan yang ditangkap oleh
manusia berdasarkan waktu yang diterimanya.
c. Lex Naturalis, inilah yang merupakan hukum alam, yaitu
penjelmaan dari lex aeterna di dalam rasio manusia.
44
Thomas Aquinas, dalam Rasyidi,Lili, Ibid., hal.50.
Page 25
d. Lex Positivis, hukum yang berlaku merupakan pelaksanaan dari
hukum alam oleh manusia berhubungan dengan syarat khusus
yang dipengaruhi oleh keadaan dunia.
2. Aliran Hukum Positif.
Aliran hukum positif lahir sebagai sebuah antitesa dari teori
hukum alam. Aliran hukum positif memandang perlu memisahkan
secara tegas antara hukum dan moral (antara hukum yang berlaku dan
hukum yang seharusnya,das Sein dan das Sollen). Dalam kacamata
positivis, tiada hukum lain kecuali perintah penguasa (law is a
command of the lawgivers). Bahkan bagian dari Aliran Hukum Positif
yang dikenal dengan nama Legisme, berpendapat lebih tegas bahwa
hukum itu identik dengan undang-undang.45
Dalam pandangan positivisme yuridis, hukum hanya berlaku,
oleh karena hukum itu mendapat bentuk positifnya dari suatu instansi
yang berwenang. Menurut positivisme yuridis ini pertimbangan-
pertimbangan teoretis dan metafisis tidak diperbolehkan, positivisme
yuridis merupakan suatu ajaran ilmiah tentang hukum.46
Dalam aliran positivisme hukum, dikenal adanya dua subaliran, yaitu:
a) Aliran Hukum positif yang analitis dari John Austin atau yang
dikenal sebagai analytical jurisprudence.
45
Darmodiharjo, Darji dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995, hal. 113-114 46
Huijbers, Theo, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Yogyakarta : Kansius, 1986,
hal. 128-129
Page 26
Aliran hukum positif yang analitis mengartikan hukum
sebagai a command of the lawgiver (perintah dari pembentuk
undang-undang atau penguasa), yaitu suatu perintah dari mereka
yang memegang kekuasaan tertinggi atau yang memegang
kedaulatan. Hukum dianggap sebagai suatu sistem yang logis,
tetap dan bersifat tertutup (closed logical system .47
Artinya
peraturan dapat dideduksikan dari undang-undang yang berlaku
tanpa perlu meminta bimbingan dari norma sosial, politik dan
moral.48
Jadi hukum sepenuhnya dipisahkan dari keadilan dan,
(didasarkan tidak atas gagasan-gagasan tentang yang baik dan
buruk), didasarkan atas kekuasaan yang lebih tinggi.49
Ajaran-
ajaran Austin sama sekali tidak menyangkut kebaikan atau
keburukan-keburukan hukum, oleh karena penilaian tersebut
dianggapnya sebagai persolan yang berbeda diluar bidang
hukum. Walaupun Austin mengakui adanya hukum moral atau
hukum alam yang mempengaruhi warga-warga masyarakat, akan
tetapi hal itu secara yuridis tidak penting bagi hukum.50
Hukum positif atau hukum yang disebut sebenarnya, yang
masih ada, mempunyai ciri empat unsur, yakni perintah, sanksi,
kewajiban dan kedaulatan.51
Sehingga apabila hukum tidak
47
Rasjidi, Lili dan Ira Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, Bandung : Mandar Maju, , 2007,
hal. Op.cit.,hal. 56 48
Salman, Otje dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali, Bandung : Refika Aditama, 2007, hal. 80-81 49
W. Friedmann, Legal Theory, diterjemahkan menjadi Teori dan Filsafat Hukum oleh
Muhammad Arifin, Jakarta : CV. Rajawali, , 1990, Susunan I, Op.cit.,hal.149 50
Soekanto, Soejono, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1997, hal.31 51
W. Friedmann, Op.cit., hal. 150
Page 27
memenuhi keempat unsur itu, maka tidak dapat disebut sebagai
hukum positif, hal itu hanya dapat disebut sebagai moral positif.
Keterkaitan keempat unsur hukum positif tersebut dijelaskan
oleh Soerjono Soekanto,52
sebagai berikut, hukum merupakan
hasil dari perintah-perintah yang artinya adalah bahwa ada satu
pihak yang menghendaki supaya pihak lain melakukan sesuatu,
atau tidak melakukan sesuatu. Kemudian pihak yang diperintah
akan mengalami penderitaan apabila perintah tersebut tidak
dijalankan, dan penderitaan tersebut merupakan sanksi.
Selanjutnya, suatu perintah diduga merupakan pembedaan
kewajiban kepada pihak lain, hal mana terlaksana apabila yang
memberi perintah adalah pihak yang memegang kedaulatan.
Kedaulatan itu dapat dimiliki oleh seseorang atau sekelompok
orang (a souvereign person, or a souvereign body of persons).53
Hans Kelsen, dalam bukunya general theory of law and
state, mendukung pendapat Austin yang menyatakan setiap
hukum atau peraturan merupakan suatu perintah. Atau lebih
tepatnya hukum atau peraturan merupakan suatu spesies perintah.
Lebih jauh Hans Kelsen menjelaskan pendapat Austin ini yaitu
“perintah adalah suatu pernyataan kehendak seseorang dalam
bentuk keharusan (imperatif) bahwa seseorang yang lain harus
berbuat menurut suatu cara tertentu individu yang objeknya
adalah perbuatan dari seorang individu lainnya. Lebih lanjut
Kelsen menjelaskan bahwa seseorang individu terutama mungkin
memberi bentuk imperatif kepada kehendaknya ketika dia
memiliki, atau percaya diri memiliki, kekuasaan tertentu atas
52
Soekanto, Loc.cit. 53
Rasjidi, Lili dan Ira Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum…, Op.cit.,hal.57
Page 28
individu lain, ketika dia berada, atau mengira dirinya berada
dalam posisi untuk mengharuskan kepatuhan. Perintah baru bisa
disebut norma jika ia mengikat individu yang dituju oleh perintah
itu, dan jika individu ini harus melakukan apa yang diharuskan
oleh perintah tersebut, …A command is a norm only if it is
binding upon the individual to whom it is directed, only if this
individual ought to do what the command requires.54
Kelsen tidak sepakat dengan Austin dengan menyatakan
bahwa tidak setiap perintah yang dikeluarkan oleh seseorang
yang memiliki kekuasaan lebih tinggi mempunyai sifat mengikat.
Kelsen mencontohkan perintah seorang bandit kepada seseorang
untuk menyerahkan uangnya tidaklah mengikat, walaupun dalam
kenyataannya bandit tersebut mampu untuk memaksakan
kehendaknya. Suatu perintah mengikat, bukan disebabkan
individu yang memerintah mempunyai kekuasaan nyata yang
lebih tinggi, tetapi perintah itu mengikat oleh karena individu
tersebut diberi wewenang atau diberi kekuasaan untuk
mengeluarkan perintah-perintah yang bersifat mengikat. Individu
hanya berwenang atau berkuasa jika suatu tatanan normatif, yang
dianggap mengikat, memberikan kapasitas ini kepadanya, yakni
memberikan kompetensi untuk menerbitkan perintah-perintah
yang mengikat. Hal ini sebagaimana dinyatakan oleh Kelsen55
,
”A command is binding, not because the individual
commanding has an actual superiority in power, but
because he is “authorized” or “empowered” to issue
54
Hans Kelsen, General Theory of Law and State, New York, Russel and Russel, 1973,hlm.
Op.cit.,hal.31
55
Ibid.,hal.31-32
Page 29
commands of a binding nature. And he is “authorized” or
“empowered” only if a normative order, wich is
presupposed to be binding, confers on him this capacity,
the competence to issue binding commands.”
Penekanan pada perintah dan sanksi ditentang oleh teori-
teori yang mempertahankan ketidaktergantungan hukum dari
kekuasaan dan perintah, terutama oleh mazhab sejarah dari Von
Savigny dan sociological jurisprudence dari Eugen Ehrlich.
Soejono Soekanto56
sebagai salah seorang penganut aliran
hukum sosiologis, mengemukakan kelemahan dari
ajaran analytical jurisprudence dari Austin dengan menyatakan
bahwa suatu sistem hukum tidak mungkin untuk sepenuhnya
bersifat tertutup. Sistem yang tertutup secara mutlak akan
menyulitkan dan menghalang-halangi penyesuaian kaidah-kaidah
hukum terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam
masyarakat, perubahan-perubahan mana disebabkan oleh
timbulnya kebutuhan-kebutuhan baru (yang kemudian
menghasilkan kepentingan-kepentingan baru). Lagi pula suatu
sistem hukum tak akan mungkin hidup lama apabila tidak
mendapat dukungan sosial yang luas.
Pada abad ke-20 pikiran-pikiran Austin tentang hukum
dikembangkan lebih lanjut oleh H.L.A. Hart yang tertuang dalam
bukunya The Concept Of Law. Hart menguraikan tentang ciri-ciri
pengertian positivisme pada ilmu hukum dewasan ini sebagai
berikut:57
56
Soekanto, Loc.cit. 57
Rasjidi, Lili, dan Ira Rasjidi, Pengantar Filsafat…Op.cit.,hlm.58-59 (lihat juga Lili
Rasjidi dalam Dasar-Dasar Filsafat Hukum. hal 57-58)
Page 30
1. Hukum merupakan perintah dari manusia (command of human
being);
2. Tidak ada hubungan mutlak/penting antara hukum disatu
pihak dengan moral dipihak lain, atau antara hukum yang
berlaku dengan hukum yang seharusnya;
3. Analisis terhadap konsepsi hukum dinilai penting untuk
dilakukan dan harus dibedakan dari studi yang historis
(mengenai sebab-musabab dan sumber-sumber hukum)
maupun sosiologis (mengenai hubungan hukum dengan gejala
sosial lainnya), dan harus dibedakan pula dari penilaian yang
bersifat kritis (baik yang didasarkan moral, tujuan sosial,
fungsi hukum dan lain-lainnya).
4. Pengertian bahwa sistem hukum merupakan sistem yang
logis, tetap dan bersifat tertutup, dan didalamnya keputusan-
keputusan hukum yang benar/tepat biasanya dapat diperoleh
dengan alat-alat logika dari peraturan-peraturan hukum yang
telah ditentukan sebelumnya tanpa memperhatikan tujuan-
tujuan sosial, politik dan ukuran-ukuran moral.
5. Bahwa pertimbangan-pertimbangan moral tidak dapat dibuat
atau dipertahankan sebagai pernyataan kenyataan yang harus
dibuktikan dengan argumentasi-argumentasi rasional,
pembuktian atau percobaan (pengujian).
b) Aliran Hukum Positif yang Murni, yang dipelopori dan
dikembangkan oleh Hans Kelsen, yang dikenal dengan teori
hukum murni (pure theory of law).
Page 31
Menurut Hans Kelsen, hukum harus dibersihkan dari
anasir-anasir yang non-yuridis, seperti unsursosiologis, politis,
historis, bahkan etis. Pemikiran inilah yang dikenal dengan Teori
Hukum Murni (Reine Rechtlehre) dari Hans Kelsen. Jadi hukum
adalah suatuSollenskategorie (kategori keharusan/ideal),
bukanSeinskategorie (kategori faktual). Hukum adalah suatu
keharusan yang mengatur tingkah laku manusia sebagai makhluk
rasional. Dalam hal ini yang dipersoalkan oleh hukum bukanlah
“bagaimana hukum itu seharusnya” (what the law ought to be),
tetapi “apa hukumnya” (what the law is). Dengan demikian,
walaupun hukum itu Sollenskategorie, yang dipakai adalah
hukum positif (Ius Constitutum), bukan yang dicita-citakan (Ius
Constituendum). 58
Pikiran-pikiran Hans Kelsen mengenai hukum dapat
dikelompokkan atas empat hal, yaitu:
1. Ilmu Hukum adalah Ilmu Normatif;
Dari uraian Hans Kelsen dalam bukunya general
theory of law and state terlihat bahwa ia menekankan segi
normatif dari hukum dari berbagai pembahasannya. Kelsen
berusaha mencari suatu pengertian hukum yang murni.
Untuk itu menurutnya hukum perlu diselidiki sebagai hukum
terlepas dari pandangan-pandangan diluar hukum seperti
psikologis, sosiologis, etika, politik, sejarah dan lain
sebagainya. Menurut Kelsen hukum berada dalam
dunia sollen ”keharusan” bukan dalam
58
Darmodiharjo, Darji, dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Apa dan Bagaimana
Filsafat Hukum Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995, hal. 114-115.
Page 32
duniasein “kenyataan”. Bila hal ini terjadi, maka seharusnya
hal itu terjadi pula. Nyatalah dalam rumusan prinsip ini
bahwa relasi antara hal ini dan hal itu bersifat normatif.
Artinya kalau hal ini terjadi belum tentu hal itu terjadi pula,
tetapi seharusnya hal itu terjadi.
Bila dikaitkan dengan bidang hukum maka suatu
kelakuan yang melawan hukum, harusnya disusul dengan
hukuman, sekalipun pada kenyataannya tidak selalu begitu.
Oleh sebab sanksi yang dikenakan pada seseorang yang
melanggar hukum tergantung dari penentuan oleh instansi-
instansi negara, maka norma hukum, yang disusun untuk
masyarakat umum, pertama-pertama harus dipandang
sebagai imperatif bagi negara. Dari norma hukum sebagai
imperatif bagi negara semua kewajiban individual dapat
diturunkan.59
Tegasnya ilmu pengetahuan hukum adalah
suatu hirarki mengenai hubungan normatif, bukan suatu
hubungan sebab akibat, seperti ilmu alam. Oleh karena itu
objek tunggalnya adalah menentukan apa yang dapat
diketahui secara teoritis tentang tiap jenis hukum pada tiap
waktu dan dalam tiap keadaan.60
Kelsen menyebutnya
sebagai teori yuristik (juristic theory) yang bisa juga disebut
sebagai teori normatif (normative theory).
Teori yuristik menunjukkan hukum sebagai sistem
norma yang valid. Objeknya adalah norma (norma umum
59
Huijbert, Theo, Op.cit.,hal.157 60
W. Friedmann, Op.cit.,hal.170
Page 33
maupun norma khusus). Teori yuristik hanya
mempertimbangkan fakta-fakta yang ditentukan oleh norma-
norma dengan satu cara atau cara lain. Oleh karena itu,
pernyataan-pernyataan yang digunakan oleh teori ini dalam
mendeskripsikan objeknya bukanlah pernyataan tentang
kenyataan melainkan tentang keharusan.61
Dasar validitas
suatu norma selalu berupa norma, bukan fakta (the reason
for the validity of a norm is always a norm, not a fact).
Pencarian landasan validitas suatu norma menuntun kita
bukan kepada realitas melainkan kepada norma lain yang
menjadi sumber lahirnya norma tersebut. Norma yang
validitasnya tidak dapat diperoleh dari norma lain yang lebih
tinggi, kita sebut sebagai “norma dasar” (penulis: basic
norm atau grundnorm). Semua norma yang validitasnya
dapat ditelusuri ke satu norma dasar yang sama membentuk
suatu sistem norma, atau sebuah tatanan norma.62
Sehingga
dapat disimpulkan bahwa tatanan hukum adalah tidak lain
merupakan suatu sistem norma.
2. Teori Hukum Murni.
Teori hukum murni adalah teori tentang hukum
positif. Ia berusaha untuk mempersoalkan dan menjawab
pertanyaan, “apakah hukumnya?” dan bukan “bagaimanakah
61
Hans Kelsen, Op.cit.,hal.162 62
Ibid.,hal. 111
Page 34
hukum yang seharusnya?” 63
Tatanan hukum positif
merupakan hukum sebagaimana adanya, tanpa
mempertahankannya dengan menyebutnya adil, atau
menghujatnya dengan menyebutnya tidak adil. Tatanan
hukum positif berusaha menghadirkan hukum yang nyata
dan mungkin, bukan hukum yang benar.64
Oleh karena itu,
menurut Kelsen pembicaraan mengenai keadilan harus
dikeluarkan dari ilmu hukum, sebab hukum dan keadilan
adalah dua konsep yang berbeda.
Kecendrungan untuk menyamakan hukum dan
keadilan merupakan kecendrungan untuk membenarkan
tatanan sosial tertentu. Ini suatu kecendrungan politik, bukan
kecendrungan ilmiah. Teori hukum murni sama sekali tidak
dapat menjawab pertanyaan adil atau tidaknya hukum
tertentu, karena pertanyaan tersebut sama sekali tidak dapat
dijawab secara ilmiah.65
Bagi Kelsen yang terpenting adalah
apakah perbuatan seseorang berdasarkan atau tidak
berdasarkan hukum positif. Sehingga adil atau tidak adilnya
suatu perbuatan tertentu semata-mata dilihat dari sudut
hukum itu sendiri, bukan berdasarkan pada pertimbangan
etis, sosiologis maupun politis, tetapi menurut pertimbangan
hukum. Hal ini sesuai dengan pendapat Kelsen yang
menyatakan: “the statement that the behavior of an
individual is “just” or “unjust” in the sense of “legal” or
“illegal” means that the behavior corresponds or does not
63
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : Citra Aditya Bakti, , 2000, hal.
Op.cit.,hlm.272 64
Hans Kelsen, Op.cit.,hal13 65
Ibid.,hal.5-6
Page 35
correspond to a legal norm which is presupposed as valid by
the judging subject because this norm belongs to a positive
legal order.”66
Dengan alasan tersebut diatas Kelsen berpendapat
hukum harus dibebaskan dari pertimbangan/penilaian non-
yuridis seperti etis, sosiologis, politis, sejarah dan
sebagainya. Dari unsur etis berarti, konsepsi hukum Hans
Kelsen tidak memberi tempat bagi berlakunya suatu hukum
alam, dan menghindarkan diri dari penilaian baik dan buruk
suatu norma hukum tertentu. Dari unsur sosiologis berarti
bahwa ajaran hukum Hans Kelsen tidak memberi tempat
bagi hukum kebiasaan yang hidup dan berkembang di dalam
masyarakat.
Ajarah hukum Hans Kelsen hanya memandang
hukum sebagai sollen yuridis semata-mata yang sama sekali
terlepas dari das sein/kenyataan sosial. Hukum
merupakan sollenskatagori danbukanseinskatagori: orang
menaati hukum karena ia merasa wajib untuk menaatinya
sebagai suatu kehendak negara. Hukum itu tidak lain
merupakan suatu kaedah ketertiban yang menghendaki orang
menaatinya sebagaimana seharusnya. Yang membeli barang
seharusnya membayar. Apakah dalam kenyataanya
sipembeli itu membayar atau tidak, itu soal yang
menyangkut kenyataan dalam masyarakat dan hal itu bukan
66
Ibid.,hal.14
Page 36
menjadi wewenang ilmu hukum,67
tetapi hal tersebut sudah
memasuki wilayah sosiologi hukum.
3. Norma Dasar (grundnorm/ basic norm).
Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan
sebelumya mengenai ilmu hukum sebagai ilmu normatif,
norma dasar (grundnorm) merupakan pemberi keabsahan
(dasar validitas) bagi setiap norma hukum yang berada
dalam suatu tatanan hukum tertentu. Menurut hakikat norma
dasar, dapat dibedakan dua jenis tatanan hukum (norma)
atau sistem norma yang berbeda yaitu sistem norma yang
statis dan sistem norma yang dinamis. Dalam sistem norma
statis, norma-norma itu “valid” (sah dan berlaku) jika para
individu yang perbuatannya diatur oleh norma-norma itu
“harus” berbuat sesuai dengan yang ditetapkan oleh norma-
norma tersebut, berdasarkan isinya, dimana isinya memiliki
kualitas yang terbukti secara langsung menjamin
validitasnya.68
Sedangkan suatu norma merupakan bagian
dari suatu sistem yang dinamis jika norma tersebut telah
dibuat menurut suatu cara yang ditentukan oleh norma
dasar.69
Hans Kelsen menegaskan bahwa norma dasar dari
suatu tatanan hukum positif tidak lain adalah peraturan
fundamental tentang pembuatan berbagai norma dari tatanan
hukum positif itu. Norma dasar ini menetapkan suatu
67
Rasjidi, Lili,dan Ira Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat…, Op.cit.,hal.61 68
Hans Kelsen, Op.cit.,hal.112 69
Ibid.,hal.113
Page 37
peristiwa tertentu sebagai peristiwa awal di dalam
pembentukan berbagai norma hukum. Norma dasar ini
merupakan titik awal dari proses pembentukan norma dan
dengan demikian memiliki karakter yang sepenuhnya
dinamis.70
Menurut Satjipto Rahardjo,71
grundnorm sebagai
suatu dalil akbar tidak hanya berfungsi sebagai dasar, tetapi
juga sebagai tujuan yang harus diperhatikan oleh setiap
hukum atau peraturan yang ada. Semua hukum yang berada
dalam kawasan rejim grundnorm tersebut harus bisa mengait
kepadanya, oleh karena itu ia bisa juga dilihat sebagai induk
yang melahirkan peraturan-peraturan hukum dalam suatu
tatanan sistem tertentu. Grundnorm ini tidak perlu sama
untuk setiap tata hukum, tetapi ia selalu akan ada di situ,
apakah dalam bentuk tertulis, ataukah sebagai suatu
pernyataan yang tidak dituliskan.
Grundnorm ini merupakan semacam bensin yang
menggerakkan seluruh sistem hukum. Dialah yang menjadi
dasar mengapa hukum itu harus dipatuhi dan dia pula yang
memberikan pertanggungjawaban, mengapa hukum disitu
harus dilaksanakan. Oleh karena itu ia lebih merupakan dalil
daripada peraturan biasa. Dalil itu akan tetap menjadi dasar
dari tata hukum manakala orang mempercayai, mengakui
dan mematuhinya. Tetapi apabila orang sudah mulai
70
Ibid.,hal.114 71
Satjipto Rahardjo, Op.cit.,hal.274
Page 38
menggugat kebenaran dari dalil akbar tersebut, maka
keseluruhan bangunan hukumnya pun akan runtuh.72
4. Teori Konkretisasi Hukum (stufentheory).
Teori konkretisasi hukum memandang sistem hukum
sebagai bentuk piramid. Hukum membentang dalam proses
yang bertahap, dari norma yang paling tinggi, yang paling
abstrak, sampai kepada norma yang paling rendah, yang
secara lengkap diindividualisasikan, konkret dan
eksekutif.73
Dengan kata lain teori ini melihat tata hukum
sebagai suatu proses menciptakan sendiri norma-norma, dari
norma-norma yang umum sampai kepada yang lebih
konkret, sampai kepada yang paling konkret. Pada ujung
terakhir proses ini, sanksi hukum, lalu berupa izin yang
diberikan kepada seseorang untuk melakukan suatu tindakan
atau memaksakan suatu tindakan. Dalam hal ini apa yang
semula berupa sesuatu yang “seharusnya”, kini telah menjadi
sesuatu yang “boleh” dan dapat dilakukan.74
Teori konkretisasi hukum (stufentheory) melahirkan
tata urutan norma-norma (hierarchy of norm), atau susunan
norma-norma dari norma yang paling tinggi sampai norma
yang paling rendah, membentuk suatu tatanan hukum
tertentu. Menurut Hans Kelsen,75
tatanan hukum, terutama
tatanan hukum yang dipersonifikasikan dalam bentuk
negara, bukanlah sistem norma yang satu sama lain hanya
72
Ibid.,hal.274-275 73
W. Friedmann, Op.cit.,hal.176 74
Satjipto Rahardjo, Loc.cit. 75
Hans Kelsen, Op.cit.,hal.124
Page 39
dikoordinasikan, yang berdiri sejajar atau sederajat,
melainkan suatu tatanan urutan norma-norma dari tingkatan-
tingkatan yang berbeda. Kesatuan norma-norma ini
ditunjukkan oleh fakta bahwa pembentukkan norma yang
satu (norma yang lebih rendah), ditentukan oleh norma lain
yang lebih tinggi lagi. Mengenai tata urutan norma-norma
ini menurut Kelsen berbeda-beda dari setiap negara. Namun
menurutnya dengan mempostulasikan norma dasar,
konstitusi menempati urutan tertinggi didalam hukum
nasional.76
Indonesia adalah salah negara yang menganut teori
konkretisasi hukum ini. Penegasan sumber hukum dan tata
urutan peraturan perundang-undangan di dalam negara
hukum Republik Indonesia pertama kali tertuang dalam TAP
MPRS No. XX/MPRS/1966,77
kemudian diganti dengan
TAP MPR No. III/MPR/2000,78
selanjutnya diatur dalam
UU No. 10/200479
tentang Tata Cara Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan. Sementara posisi Pancasila
diakui dan dijadikan sebagai hukum dasar nasional, yang
menjadi sumber dari segala sumber hukum positif Indonesia.
76
Ibid. 77
Urutan peraturan perundan-undangan menurut TAP MPRS XX/1966 dari yang paling
tinggi sampai yang terendah yaitu: 1) UUD 1945; 2) TAP MPR; 3) UU/Perpu; 4) PP; 5)
Keppres; dan 6) Peraturan-peraturan pelaksanaan lainnya yang lebih rendah yaitu Peraturan
Menteri, Instruksi Menteri. 78
Urutan peraturan perundan-undangan menurut TAP MPR III/2000 dari yang paling tinggi
sampai yang terendah yaitu: 1) UUD 1945; 2) TAP MPR; 3) UU; 4) Perpu; 5) PP; 6)
Keppres; dan 7) Peraturan Daerah. 79
Urutan peraturan perundan-undangan menurut UU No. 10/2004 dari yang paling tinggi
sampai yang terendah yaitu: 1) UUD 1945; 2) UU/Perpu; 4) PP; 5) Peraturan Presiden; 6)
Peraturan Daerah, yang digolongkan atas Perda Propinsi, Perda Kabupaten/Kota dan
Peraturan Desa.
Page 40
Sehingga Pancasila merupakan grundnorm yang
mengilhami, dan memberi dasar validitas pembentukan dan
pemberlakuan semua hukum positif di seluruh wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sebagai norma
penutup dari urutan peraturan perundang-undangan di
Indonesia dikenal adanya Keputusan Tata Usaha Negara
(beschikking) baik yang memberi manfaat (izin) maupun
yang memberikan beban kepada masyarakat (misal
pembebanan pajak, sanksi dsb) baik sebagai individu
maupun sebagai badan (hukum). Konsep tata urutan
(hierarkhie) peraturan perundang-undangan mengandung
asas lex superior derogat legi inferioriyang berarti bahwa
undang-undang yang mempunyai derajat lebih rendah dalam
hierarkhie perundang-undangan, tidak boleh bertentangan
dengan undang-undang yang lebih tinggi.
3. Teori Keadilan Yang Bermartabat.
a. Skopa Teori Keadilan Bermartabat.
Pada hakikatnya pegertian teori keadilan yang bermartabat itu
dapat diketahui dengan jalan memahami bahwa teori keadilan
bermartabat itu adalah suatu nama dari teori hukum. Teori keadilan
bermartabat adalah suatu ilmu, dalam hal ini ilmu hukum. Sebagai
suatu ilmu hukum,cakupan atau scope dari teori keadilan yang
Page 41
bermartabat dapat dilihat dari susunan atau lapisan dalam ilmu
hukum.80
Teori keadilan bermartabat sebagai ilmu hukum memiliki suatu
skopa atau cakupan yang antara lain : dapat dilihat dari susunan atau
lapisan ilmu hukum yang meliputi filsafat hukum atau Philosophy of
law ditempat pertama.Pada lapisan kedua, terdapat teori hukum (legal
theory). Semantara itu dogmatik hukum dan praktik hukum berada
pada susunan atau lapisan ilmu hukum yang keempat.81
Sekalipun terlihat bahwa lapisan ilmu dalam teori keadilan
bermartabat itu adalah lapisan yang saling terpisah antara satu dengan
lapisan yang lainnya, namun pada prinsipnya lapisan- lapisan ilmu
hukum itu merupakan satu kesatuan sistematik, mengendap, hidup
dalam satu sistem. Saling berkaitan antarasatu dengan yang lain, bahu
membahu, gotong royong sebagai suatu sistem. Teori keadilan
bermartabat berangkat dari postulat sistem, bekerja mencapai tujuan,
yaitu keadilan yang bermartabat. Keadilan yang memanusiakan
manusia, atau keadilan yang nge wong ke wong.82
Teori keadilan bermartabat menganut suatu prinsip bahwa
sekalipun ilmu hukum itu tersusun sebagaimana dapat dilihat dalam
ilustrasi bentuk susunan atau lapisan yang dikemukakan diatas,
namun keempat komponen atau lapisan-lapisan dalam teori keadilan
bermartabat sebagai suatu ilmu hukum tersebut merupakan suatu
80
Prasetyo, Teguh, Keadilan Bermartabat Perspektif Teori Hukum, Bandung : Nusa Media,
, Cetakan I Juni 2015 Hal. 1 81
Ibid hal. 2 82
Ibid hal 2
Page 42
sistem atau satu kesatuan yang terdiri dari bebrapa bagian namun
saling kait-mengkait.83
Memahami ilmu hukum secara utuh berarti memahami keempat
lapisan hukum tersebut secara kait-mengkait. Lapisan yang diatas
mendikte (the law dictate), atau menerangi atau memberi pengayaan
terhadap lapisan ilmu hukum dibawahnya. Begitu pula seterusnya.
Lapisan yang dibawahnya lagi menerangi lapisan-lapisan selanjutnya,
kearah bawah (top-down), secara sistematik.84
b. Prinsip-Prinsip Keadilan Bermartabat.
Sebagai suatu sistem berfikir atau berfilsafat (jurisprudence)
yang identik dengan apa yang dikenal delam banyak literatur dunia
sebagai legal theory atau teori hukum, maka postulat dasar lainnya
dalam teori keadilan bermartabat itu tidak sekedar mendasar dan
radikal. Lebih daripada mendasar dan radikal, karakter teori keadilan
bermartabat itu, antara lain juga adalah suatu sistem filsafat hukum
yang mengarahakan atau memberi tuntunan secara tidak memisahkan
seluruh kaidah dan asas atau subtantive legal disciplines.85
Termasuk dalam subtantive legal disciplines, yaitu jejaring nilai
(values) yang saling terkait, dan mengikat satu sama lain. Jejaring
nilai yang saling kait-mengkait itu dapat ditemukan dalam berbagai
kaidah, asas-asas atau jejaring kaidah dan asas yang inheren
didalamnya nilai-nilai serta virtues yang kait-mengkait dan mengikat
satu samalain itu berada. Jejaring nilai dalam kaidah dan asas-asas
hukum itu ibarat suatu struktur dasar atau fobric menjadi utuh dan
83
Ibid hal.2 84
Ibid hal. 3 85
Ibid hal 34
Page 43
spesifik, hidup, karena ada jiwanya atau living law dan yang berlaku
juga benar dalam satu unit politik atau negara tertentu. Bangunan
sistem hukum yang dipahami melalui teori keadilan bermartabat
tersebut yaitu NKRI.86
Sebagai suatu teori yang antara lain menagnut pula akan
kontinuitas arau sustanability dari pemikiran mengenai hukum dari
dalam jiwa bangsa yang pernah ada sebelumnya dan hingga kini
masih ada dan masih eksis di kemudian hari (volksgeist) yang
menyejarah, maka teori keadilan bermartabat disusun dalam rangka
menyempurnakan pemikiran mengenai hukum itu.87
Matrix perbandingan antara teori keadilan bermartabat dengan
dua teori yang pernah dikemukakan sebelumnya, telah dikemukakan
diatas. Kedua teori hukum hasil konstruksi orang indonesia yang
pernah ada sebelumnya yaitu teori hukum sebagai sarana
pembaharuan masyarakat atau lebih sesuai dengan kaidah bahas
indonesia dapat disebut dengan hukum sebagai sarana pembangun
masyarakat dan teori hukum responsif. Teori pertama dikemukakan
oleh Profesor Mochtar Kusumastmadja, sedangkan teori yang kedua
dikemukakan oleh profesor Satjipto Rahardjo.88
c. Nilai Teori Keadilan Yang Bermartabat
Teori keadilan bermartabat bernilai, seperti nilai yang dimaksud
Notonagoro, sebab sekurang-kurangnya teori itu memiliki kualitas,
86
Ibid hal 34 87
Ibid hal. 35 88
Ibid hal.35
Page 44
dapat dimanfaatkan oleh suatu bangsa yang besar wilayah dan
penduduknya, ternetang dari sabang sampai merauke dan dari talus
sampai rote. Dimaksudkan dengan berkualitas, juga antara lain bahwa
sesuatu itu dapat dirasakan bermanfaat atau dapat digunakan untuk
tujuan baik, menjadi alat pemersatu, memahami, menjelaskan dan
memelihara bentuk sistem hukum dari suatu bangsa yang besar.89
Notonagoro membagi nilai menjadi tiga kelompok, yaitu nilai
material (segala sesuatu yang berguna bagi jasmani manusia), vital
(berguna bagi manusia untuk melaksanakan aktivitas), dan
kerohanian (berguna bagi rohani manusia). Nilai kerohanian dapat
dibagi menjadi nilai kebenaran kenyataan yang berusmber dari unsur
rasio (akal) manusia, nilai kebenaran moral yang bersumber pada
kehendak (karsa) manusia dan nilai religius yang bersumber pada
kepercayaan manusia dengan disertai penghayatan melaui akal dan
budi nuraninya.90
Keinginan si pencipta datau, begitu seterusnya dengan orang
lain (pihak ketiga) yang sudah merasakan manfaat dari “alat” hasil
karya si pencipta pertama itu agar supaya nantinya orang-orang yang
lain juga turu menggunakan “alat” itu terlihat dengan jelas di balik
pernyataan dibawah ini :
“filsafat pancasila adalah hasil berfikir/pemikiran yang sedalam-
dalamnya dari bangsa indonesia yang dianggap, dipercaya dan
diyakini sebagai sesuatu (kenyataan, norma-norma, nilai-nilai)
yang paling benar, paling adil, paling bijaksana, paling baik dan
paling sesuai bagi bangsa indonesai.”
89
Ibid . hal 92 90
Darmodiharjo, Darji, Penjabaran Nilai-niali Pancasia dalam Sistem Hukum Indonesia,
Jakarta : Rajawali pers, , !996 hal. 34
Page 45
Sekalipun nampak dari kutipan diatas ada semacam usaha
untuk mempromosikan teori keadilan bermartabat itu sebagai sesuatu
yang paling benar namun hal itu dilakuakan tanpa disertai dengan
maksud untuk menjadikan teori keadilan bermartabat menjadi satu-
satunya teori yang memonopoli kebenaran atau bersifat indoktrinasi
dan arogan. Seperti yang telah dikemukakan di muka, teori keadialan
yang memiliki ciri kefilsafatan, mencintai kebijaksanaan dan
bertanggung jawab. Dalam konteks itu, teori kedilan bermartabat
menolak arogansi, namun mendorong rasa percaya diri, dan
meyakinkan diri suatu sistem hukum, dalam hal ini sistem hukum
berdasarkan pancasila.91
4. Tiga Nilai Dasar Hukum.
Gustav Radbruch adalah seorang filsuf hukum dan seorang legal
scholar dari Jerman yang mengemukakan bahwa idelanya hukum
memiliki tiga nilai dasar. Ketiga nilai dasar hukum tersebut adalah :92
a) Keadilan.
Keadilan harus mempunyai posisi yang pertama dan yang paing
utama dibandingkan dengan kegunaan dan kepastian hukum. Secara
historis, pada awalnya menurut Gustav Radbruch nilai kepastian
hukum menempati peringkat paling atas diantara nilai dasar hukum
yang lain. Namun setelah melihat kenyataan bahwa dengan teorinya
tersebut di Jerman dibawah kekuasaan Nazi melegalisasi praktek-
peraktek yang tidak berperikemanusiaan selama masa Perang Dunia
II dengan jalan membuat hukum yang mensahkan praktek-praktek
91
Ibid hal. 94 92
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006, Cetakan Ke-
enam, Hal. 19
Page 46
kekejaman perang pada masa itu. Gustav Radbruch pun meralat
teorinya tersebut dengan menempatkan nilai keadilan sebagai posisi
pertama diatas nilai dasar hukum yang lain.93
Menurut plato keadilan adalah kemampuan memperlakukan
setiap orang sesuai dengan haknya masing-masing. Dapat dikatakan
keadilan merupakan nilai kebajikan yang tinggi (Justice is the
suprime virtue which harmonization all other virtues). Selain itu
Plato menyatakan keadilan merupakan nilai kebajikan untuk semua
yang diukur dari apa yang seharusnya dilakukan secara moral, bukan
hanya diukur dari tindakan dan motif manusia.
Sementara Aristoteles menyatakan bahwa keadilan menuntut
supata tiap-tiap perkara harus ditimbang tersendiri (ius suum cuique
tribuere).94
Akan tetapi kenyataannya kepentingan perseorangan dan
kepentingan golongan selalu bertentangan. Selanjutnya Aristoteles
mengajarkan adanya dua macam keadilan yaitu keadilan distributif
dan keadilan commutatief.95
Keadilan distributif adalah keadilan
yang memberikan kepada tiap-tiap orang jatah menuntut jasanya.
Keadilan distributif tidak menuntut supaya tiap-tipa orang mendapat
bagian yang sama banyaknya, bukan persamaan, melainkan
kesebandingan. Sedangkan keadilan commutatief adalah keadilan
yang memberikan pada setiap orang sama banyaknya dengan tidak
mengingat jasa-jasa perseorangan.
93
Carl Joachim, Friedrich, Filsafat Hukum Perspektif Historis, Bandung: Nuansa dan
Nusamedia, 2004, hal 23.
94 Apeldoorn ,Van, Pengantar Ilmu Hukum, Cetakan ke-dua puluh empat, Jakarta: Pradnya
Paramita,1990 hal 13 95
Ibid, hal 14
Page 47
Kemudian Aquinas membangaun teori keadilan dengan
bertoklak pada asumsi bahwa tiap orang memiliki integritas.
Integritas diwujudkan melalui aktualitsasi kesetaran (equality) hak
yang dimiliki. Menurut Aquinas keadilan adalah kebajikan utama
(first virtue), seperti yang diungkapkan sebagai berikut justice is
properly included among the other virtues is that others man in his
relationship with other. It is concerned with a certain equality, as it
name indicates. Equality moreover is concerned with other, whereas
the other virtues perfec a man solely in those things to himself.96
Dilanjutkan oleh Rawls, memberikan pandangannya yaikni
untuk menvcapai suatau keadilan, disayaratkan sekaligus adanya
unsur keadilan yang substantif (justice) yang mengacu pada hasil dan
unsur keadilan procedural (fairness). Atas dasar demikian munculah
istilah istilah yang digunakan oleh Rawls yakni Justice as Fairness,
meskipun dalam istilah justice of fairness tersebut unsur fairness
mendapat prioritas tertentu dari segi metodologinya. Apabila unsur
fairness sudah tercapai, maka keadilan sudah terjadi. Dengan
demikian unsur fairness atau keadilan procedural sangat erat
hubungannya dengan keadilan substantif (justice).
b) Kemanfaatan Hukum.
Menurut Radbruch bahwa hukum adalah segala yang berguna
bagirakyat. Sebagai bagian dari cinta hukum (idee des recht),
96
Aquinas, Thomas, Justice Eyre and Spottiswoode, London England: Sunma Theologia,,
1975, hal 37.
Page 48
keadilan dan kepastian hukum membutuhkan pelengkap yakni
kemanfaatan.97
Kemanfaatn berkembang pada penganut aliran Utillistis seperti
Jeremy Bentham, John Stuart Mill, dan Rudolf von Jhering. Mereka
berpandapat bahwa pada intinya hukum harus bermanfaat untuk
membahagiakan kehidupan manusia. Hukum yang baik menurut
aliran ini adalah hukum yang dapat mendatangkan kebahagiaan yang
sebesar-besarnya bagi masyarakat.
Bentham menyatakan bahwa pada hakikatnya manusia akan
bertindak untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya
dan mengurangi penderitaannya. Kebahagiaan tersebut diartikan
sebagai kebebasan untuk mengemukakan diri dalam membela hak-
hak asasi manusia itu sendiri.98
Sementara John Stuart Mill mengartikan lebih jauh hubungan
antara unsur kemanfaatan dan unsur keadilan. Mill berpendapat
bahwa standar keadilan harus didasarkan pada unsur kemanfaatan,
tetapi sumber kesadaran keadilan itu bukan terletak pada keadilan,
melainkan pada 2 hal yaitu rangsangan untuk mempertahankan diri
dan perasaan simnpati. Sumber keadilan terletak pada naluri manusia
untuk menolak atau membalas kerusakan yang dideritanya, baik oleh
diri sendiri maupun oleh siapa saja yang mendapat simpati dari orang
lain.99
Secara garis besar pendapat Mill lebuh bersifat
menyempurnakan gagasan darai Bantham. Mill mengaitkan
97
Gustav Radbruch, Einfuehrung In Die rechtswissenschaft, Stuttgart: Koehler Verlag,
1961, Hal 36. 98
Pound, Roscoe, An Introduce to The Philosophy Of Law, Yale University Press, 1978, hal
5. 99
Sajipto rahardjo, Op.cit, 2006, hal. 16.
Page 49
kebahagiaan perorangan dengan keharusan untuk menciptakan
kebahagiaan manusia seharusnya.
Menurut Sudikno Mertokusumo masyarakat mengaharapkan
manfaat dalam pelaksanaan atau penegakan hukum. Hukum adalah
untuk manusia, maka pelaksanaan hukum atau penegakan hukum
harus memberi manfaat atau kegunaan bagi masyarakat. Jangan
sampai justru karena hukumnya dilaksanakan atau ditegakkan timbul
keresahan didalam masyarakat.100
Pendapat Mertokusumo tersebut dapat dimaknai bahwa dalam
menegakkan hukum ketiga unsur tersebut harus mendapat perhatian
sevara proporsional seimbang. Tetapi dalam praktek tidak selalu
mudah mengusahakan kompromi secara proporsional seimbang
antara ketiganya.
Menurut Nurhasan Ismail kemanfaatan itu diartikan sebagai
optimalisasi tujuan sosial dari hukum. Bahwa setiap ketentuan hukum
disamping dimaksudkan untuk mewujudkan ketertiban dan
keteraturan sebagai tujuan akhir, tetapi juga memepunnyai tujuan
sosial tertentu yaitu kepentingan-kepentingan yang diinginkan untuk
diwujudkan melalui hukum baik yang berasal dari orang
perseorangan maupun masyarakat dari negara.101
100
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2007,
hal. 47 101
Ismail, Nurhasan, Perkembangan Hukum Indonesia: Suatau Pendekatan Ekonomi-
Politik, Yogyakarta: Disertasi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 2006. Hal. 74.
Page 50
c) Kepastian Hukum
Van Apeldoorn berpendapat kepastian hukum yaitu adanya
kejelasan skenario perilaku yang bersifat umum dan mengikat semua
warga masyarakat termasuk konsekwensi-konsekwensi hukumnya.
Kepastian hukum dapat juga berarti hal yang dapt ditentukan dari
hukum, dalam hal-hal yang kongkret.102
Pada dasarnya kepastian hukum merupakan pelaksanaan hukum
sesuai dengan bunyinya sehingga masyarakat dapat memastikan
bahwa hukum dilaksanakan. Kepastian hukum intinya adalah hukum
itu ditaati dan dilaksanakan.
Kepastian hukum adalah jaminan bahwa hukum dijalankan,
bahwa yang berhak menuntut hukum dapat diperoleh haknya dan
bahwa putusan dapat dilaksanakan. Kepastian hukum merupakan
perlindungan yustisiabel terhadap tindakan sewenang-wenang, yang
berarti bahwa seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang
diharapkan dalam keadaan tertentu.103
Dari pernyataan tersebut kepastian hukum dapat dimaknai
yakni pertama adanya kejelasan hukum itu sendiri. Kedua, hukum itu
tidak menimbulkan keraguan atau multi tafsir. Ketiga, hukum itu
tidak menimbulkan atau mengakibatkan kontardiktif, Yang keempat,
hukum itu dapat dilaksanakan.
Sekalipun ketiga-tiganya ini merupakan nilai dasar dari hukum,
namun antara mereka terdapat suatu Spannungsverhaltnis atau suatu
102
Apeldoorn ,Van, Op.cit,1990 Hal 24-25 103
Mertokusumo, Sudikno, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 2007,
Hal 160.
Page 51
ketegangan satu sama lain. Hubungan atau keadaan yang demikia ini
bisa dimengerti, oleh karena ketiga-tiganya berisi tuntutan yang
berlain-lainan dan yang yang satu sama lain mengandung potensi
untuk bertentangan. Apabial kita ambil contoh kepastian hukum,
maka sebagai nilai ia akan menggeser nilai-nilai keadilan dan
kegunaan kesamping. Karena yang utama bagi kepastian hukum
adalah adanya peraturan itu sendiri. Tentang apakah peraturan itu
harus adil dan mempunyai kegunaan bagi masyarakatnya, adalah
diluar pengutamaan nilai kepastian hukum.104
Dengan adanya nilai-nilai yang berbeda-beda tersebut, maka
penilaian kita mengenai keabsahan hukum pun bisa bermacam-
macam. Masalah ini biasanya dibicarakan dalam hubungan dengan
berlakunya hukum, suatu singkatan dari “dasar-dasar berlakunya
hukum”. Perbedaan dalam penilaian kita mengenai keabsahan dari
hukum itu menagndung arti, bahwa dalam menilainya kita perlu
membuat suatu perbandingan. Hal ini misalnya berarti, bahwa
penilaian keabsahan berlakunya hukum dari segi peraturannya
barulah merupakan suatu segi, bukan satu-satunya penilaian. Lebih
dari itu, sesuai dengan potensi ketiga nilai dasar yang saling
bertentangan, apa yang sudah dinilai sah atas dasar persyaratan yang
harus dipenuhi oleh suatu peraturan, bisa dinilai tidak sah dari segi
kegunanannya bagi masyarakat. 105
Bagi Radbruch ketiga aspek ini
sifatnya relatif, bisa berubah-ubah. Satu waktu bisa menonjolkan
keadilan dan mendesak kegunaan dan kepastian hukum ke wilayah
tepi. Diwaktu lain bisa ditonjolkan kepastian atau kemanfaatan.
104
Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2006, Cetakan Ke-
enam, Hal. 19
105
Ibid, Hal. 19
Page 52
Hubungan yang sifatnya relatif dan berubah-ubah ini tidak
memuaskan. Meuwissen memilih kebebasan sebagai landasan dan
cita hukum. Kebebasan yang dimaksud bukan kesewenangan, karena
kebebasan tidak berkaitan dengan apa yang kita inginkan. Tetapi
berkenaan dengan hal menginginkan apa yang kita ingini. Dengan
kebebasan kita dapat menghubungkan kepastian, keadilan, persamaan
dan sebagainya ketimbang mengikuti Radbruch.106
106
Sidharta Arief, Meuwissen Tentang Pengembanan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum
dan Filsafat Hukum, Bandung : PT Refika Aditama, , 2007, hal. 20-21