7 Bab II Tinjauan Pustaka II.1. Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.) Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupakan komoditas perkebunan yang memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia karena merupakan penghasil devisa perkebunan nomor tiga setelah kelapa sawit dan karet. Indonesia merupakan negara penghasil biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Côte d'Ivoire atau Ivory Coast (Pantai Gading) dan Ghana (http://www.icco.org ). Sebanyak 40% produksi kakao dunia berasal dari Pantai Gading, Ghana dan Indonesia masing-masing menghasilkan 15% buah kakao, Brazil , Nigeria , Kamerun , Guatemala , Honduras , Ekuador , Kolombia , Venezuela memproduksi dalam jumlah yang lebih kecil (http://en.wikipedia.org.htm). Menurut Dewanto (1989), kakao dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku makanan karena memiliki citarasa yang khas, bahan baku kosmetik, dan bahan baku pembuatan obat. Dalam buku yang berjudul Medicinal Herb Index in Indonesia disebutkan bahwa, beberapa negara penghasil kakao seperti Ghana, Meksiko, Panama, dan Venezuela telah mengembangkan kakao sebagai bahan baku pembuatan obat antidiuretik, antiseptik, reumatik, antibisa ular, penambah nafsu makan, dan obat batuk (PT. Esai Indonesia, 1995; Prameswari, 2004). Sebagai bahan makanan, kakao kerap disebut dengan istilah cokelat yang berasal dari bahasa Aztec yaitu chocolatl yang berarti air yang pahit (http://en.wikipedia.org.htm). Suku Aztec percaya bahwa dewa Quetzalcoatl yaitu naga besar penjaga kebun di surga membawa biji kakao dari surga ke bumi dan mengajarkan mereka cara menanamnya (http://heartsmuseum.berkeley.edu). Cokelat merupakan salah satu produk makanan olahan tertua di dunia yang ditemukan pertama kali oleh bangsa Amerika Tengah dan memiliki nilai gizi tinggi. Suku Aztec dan beberapa suku asli bangsa Meksiko, Guatemala, dan Honduras memproses biji kakao menjadi minuman cokelat yang telah berlangsung di Amerika Tengah sejak 4.600 tahun yang lalu (Smith, 2005). Minuman cokelat
37
Embed
Bab II Tinjauan Pustaka - Perpustakaan Digital ITB ... buah tipis dan mudah diiris, warna buah merah ketika muda dan kuning setelah masak dengan aroma khas, tidak tahan terhadap hama
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
7
Bab II Tinjauan Pustaka
II.1. Tanaman Kakao (Theobroma cacao L.)
Tanaman kakao (Theobroma cacao L.) merupakan komoditas perkebunan yang
memegang peranan penting dalam perekonomian Indonesia karena merupakan
penghasil devisa perkebunan nomor tiga setelah kelapa sawit dan karet. Indonesia
merupakan negara penghasil biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Côte
d'Ivoire atau Ivory Coast (Pantai Gading) dan Ghana (http://www.icco.org).
Sebanyak 40% produksi kakao dunia berasal dari Pantai Gading, Ghana dan
Indonesia masing-masing menghasilkan 15% buah kakao, Brazil, Nigeria,
Sedangkan bakteri yang ditemukan diantaranya Acetobacter xylinum, A.
ascendens, Propionibacterium xylinoides, P. orleanence (Eckman, 1928 dalam
Chatt 1953). Di Jawa Tengah ditemukan sejumlah besar bakteri asam laktat
(Roelofsen & Gisberger, 1974; Chatt, 1953). Jacobs (1951) telah menemukan
adanya Acetobacter aceti yang turut berperan dalam fermentasi biji kakao.
Ragi yang berperan pada awal fermentasi berfungsi mengubah gula menjadi
alkohol dan CO2 (Soetiardjo & Mangoenksoekarjo, 1980). Di samping
berkemampuan mengubah gula menjadi alkohol dan CO2, ragi juga mampu untuk
menghancurkan pulp (Rohan, 1963; Nurhidayat, 1984; Rahayu, 1986). Kegiatan
ragi dominan pada proses fermentasi selama 24 jam pertama, kadar alkohol
maksimal yang dapat dihasilkan mencapai sekitar 3,7%. Dengan meningkatnya
kadar alkohol yang dihasilkan maka jumlah ragi akan menurun karena
pertumbuhannya dihambat oleh alkohol yang bersifat sebagai desinfektan. Setelah
48 jam fermentasi, dapat dikatakan tidak terdapat ragi lagi (Nurhidayat, 1984;
Rahayu, 1986).
Bakteri fermentasi muncul pada 24 jam terakhir dari fermentasi, jumlah yang
dapat tumbuh dan jenisnya bervariasi tergantung iklim sepanjang tahun dan baik
tidaknya pengudaraan selama fermentasi (Siregar, 1964; Nurhidayat, 1984).
Dengan adanya bakteri asam asetat, maka alkohol diubah menjadi asam asetat, air,
dan panas. Konsentrasi asam asetat yang dapat dicapai setelah fermentasi
berlangsung sekitar 37 jam kurang lebih sekitar 1% dan ini sudah dapat
mematikan embrio (Nurhidayat, 1984). Sebenarnya sebelum asam asetat terbentuk
dapat dikatakan bahwa biji telah mati oleh adanya kerja ragi dan bakteri asam
laktat (Siregar, 1964).
17
Selama fermentasi berlangsung, terjadi perubahan-perubahan secara enzimatis
dalam keping biji segera setelah biji mati. Enzim-enzim dalam keping biji tersebut
sebenarnya dipersiapkan untuk perkecambahan, antara lain invertase, rattinase,
amilase, gliserofosfatase, phytase, oksidase, dan peroksidase (Rohan, 1963). Salah
satu reaksi enzimatis yang terjadi adalah pemecahan senyawa polifenol sehingga
rasa sepat menjadi berkurang. Menurut Forsyth (1955) dalam Effendi (1982)
terdapat enzim polifenoloksidase di seluruh jaringan keping biji kecuali pada sel
yang mengandung tannin. Enzim ini akan bereaksi dengan senyawa polifenol
sehingga mengurangi rasa sepat tersebut. Hal ini terjadi pada saat embrio mati dan
bila biji kakao disangrai akan terbentuk warna cokelat (browning). Apabila
embrio masih hidup maka senyawa polifenol tetap tinggal dalam sel yang
mengandung tannin sehingga reaksi di atas tidak berlangsung (Knapp 1937;
Effendi, 1983). Menurut Rohan dan Stewart (1967), prekursor aroma cokelat
adalah asam amino dan gula pereduksi. Asam amino dihasilkan dari hidrolisis
protein, yang juga menghasilkan peptida.
Menurut Forsyth (1955) biji kakao variasi curah mengandung senyawa polifenol
yang terdiri dari empat senyawa katekin, tiga leukosianidin, dua senyawa
antosianin. Sebanyak 92% dari senyawa katekin adalah epikatekin jumlah ini
sama dengan 35% dari total polifenol. Bila epikatekin tidak terurai sempurna oleh
enzim polifenolase selama pengeringan maka akan terdapat rasa sepat pada biji
kakao (Griffiths, 1960). Citarasa cokelat juga dipengaruhi oleh senyawa purin
yang sangat pahit. Theobromin sebagai senyawa purin yang utama terdapat sekitar
1,55 % dari berat kering biji, sedangkan kafein hanya sekitar 0,15 % (Minifie,
1980). Protein dapat mengakibatkan aroma yang tak enak bila biji disangrai (De
Witt, 1957). Melalui hidrolisis enzimatis selama fermentasi, konsentrasi protein
akan berkurang menghasilkan peptida dan asam amino (Rohan & Stewart, 1967).
Dari hidrolisis enzimatis sukrosa selama fermentasi akan membentuk gula
pereduksi. Menurut Rohan (1963) gula pereduksi merupakan faktor penting dalam
pembentukan aroma cokelat. Pemeriksaan dengan kromatografi kertas
menunjukkan bahwa gula yang terdapat pada ekstrak biji yang difermentasi
18
adalah glukosa dan fruktosa sedangkan yang tidak difermentasi hanya
mengandung sukrosa. Schonberg dan Moubasher (1952) menyatakan bahwa
glukosa dapat bereaksi dengan asam amino menghasilkan aldehida. Reaksi ini
dikenal sebagai degradasi stacker. Pada saat ini sudah dikenal adanya 200 macam
senyawa komponen aroma cokelat dari hasil fermentasi (Minifie, 1980). Di antara
jumlah ini terdapat 30 macam senyawa pirazin, 10 macam pirol, dan 15 macam
fural (Reineccius et al., 1972). Terdapat pula isovarelaldehida yaitu senyawa yang
mudah menguap dari aroma cokelat yang terbentuk dari asam amino melalui
reaksi degradasi stecker.
Tahap pengolahan biji kakao setelah fermentasi adalah perendaman, pencucian,
dan pengeringan. Maksud perendaman biji hasil fermentasi adalah untuk
mendapatkan persentase biji bulat. Perendaman selama 1-2 jam akan
menghasilkan persentase biji bulat yang besar (Soenaryo et al., 1978; Nurhidayat,
1984). Perendaman selama 4 jam akan menyebabkan kehilangan asam amino
bebas dan gula pereduksi melalui proses difusi (Effendi, 1982). Pencucian biji
kakao setelah dilakukan perendaman hanya untuk mengurangi sisa pulp. Bila
pencucian terlalu bersih akan mengurangi berat dan merapuhkan kulit biji
(Hardjosuwito, 1983). Tetapi dengan pencucian, biji akan lebih tahan terhadap
serangan jamur dan serangga serta memperbaiki penampakannya (Siregar, 1964).
sumber: dokumentasi pribadi
Gambar II.4 Pengeringan Biji Kakao dengan Penjemuran
Pengeringan dilakukan untuk mendapatkan biji kakao dengan kadar air 6 - 7%.
Proses pengeringan dapat dilakukan dengan pengeringan sinar matahari seperti
19
pada Gambar II.4. dan / atau pengeringan buatan dengan menggunakan oven dan
tungku (Gambar II.5.). Bila dalam pengeringan mencapai suhu 45-50° C, maka
biji akan mengkerut dan permukaannya keras (Siregar, 1964). Biji buah kakao
kering dapat dilihat pada Gambar II.6. Guritno dan Hardjosuwito (1983)
membuktikan bahwa suhu pengeringan berpengaruh terhadap kadar lemak,
keasaman, dan kadar asam amino bebas. Makin tinggi suhu pengeringan, kadar
lemak makin rendah dan keasaman serta kadar asam amino meningkat. Bila biji
dikeringkan dengan cepat akan berpengaruh terhadap bau asam yang sangat tajam
sebaliknya bila terlalu lambat, jamur akan mudah tumbuh.
sumber: dokumentasi pribadi Gambar II.5. Tungku untuk Mengeringkan Biji Kakao
Proses pengolahan biji kakao yang baik akan mempengaruhi kualitas atau mutu
biji yang dihasilkan. Standar mutu diperlukan sebagai sarana pengawasan untuk
menentukan kualitas biji kakao. Food and Drugs Adiministration (FDA) dari
USA memprakarsai penyusunan standard kakao internasional dengan mengadakan
pertemuan antara produsen dan konsumen pada tahun 1969 di Paris. Pertemuan
tersebut menyepakati ditetapkannya Standar Kakao Internasional. Standar ini telah
diadopsi oleh hampir semua negara penghasil kakao di dunia tertuma yang
mengekspor biji kakao ke Amerika.
Secara umum persyaratan yang tercantum standar kakao Indonesia sejalan dengan
dengan yang ditentukan dalam Standar Kakao International. Standar mutu biji
kakao Indonesia diatur dalam Standar Nasional Indonesia Biji Kakao (SNI 01 -
20
2323-1991). Standar ini meliputi definisi, klasifikasi, syarat mutu, cara
pengambilan contoh, cara uji, syarat penandaan (labelling), cara pengemasan dan
rekomendasi. Beberapa batasan umum yang menggolongkan biji kakao yang
layak untuk diperdagangkan di pasaran internasional (cocoa merchantable quality)
adalah sebagai berikut (http://www.agribisnis.net):
- Biji kakao harus difermentasi, kering (kadar air 6-7 %) , bebas dari biji smoky,
bebas dari bau yang tidak normal dan bau asing serta bebas dari bukti-bukti
pemalsuan
- Biji kakao harus bebas dari serangga hidup
- Biji kakao dalam satu kemasan harus mempunyai ukuran seragam, bebas dari
biji pecah, pecahan biji dan pecahan kulit, dan bebas dari benda-benda asing.
Fermentasi biji kakao yang sempurna biasanya dilakukan dalam waktu 5 hari,
dengan pengadukan dan pembalikan yang dilakukan pada hari kedua. Selama
proses fermentasi, lendir/ pulp biji kakao akan mengalir keluar dari kotak atau
wadah fermentasi.
sumber: http://borumat.de.
Gambar II.6. Biji Buah Kakao Kering
II.1.4. Limbah Cair Pulp Kakao
Pengolahan buah kakao sampai menjadi biji kakao akan menghasilkan limbah
baik berupa limbah padat maupun limbah cair (Lampiran H). Kedua jenis limbah
dari pengolahan biji kakao ini belum termanfaatkan dengan baik. Sampai saat ini
pemanfaatan limbah kakao terbatas hanya pada limbah padat yaitu kulit buah
kakao yang digunakan sebagai pupuk dan bahan tambahan pakan ternak. Menurut
Ginting dalam tulisannya yang berjudul Tantangan dan Peluang Pemanfaatan
21
Pakan Lokal untuk Pengembangan Peternakan Kambing di Indonesia
(disampaikan pada salah satu Lokakarya Nasional) produksi buah kakao segar
mencapai 1.750 kg/Ha dan menghasilkan limbah berupa kulit buah dengan
kandungan serat tinggi dan protein yang rendah mencapai 74% dari total berat
tersebut. Kulit buah kakao ditambahkan pada pakan ternak maksimal sebesar
15%, jika lebih akan menurunkan performa hewan ternak dalam mencerna pakan
karena kandungan seratnya yang sangat tinggi. Penggunaan kulit buah kakao
sebagai tambahan pakan ternak ini telah berlangsung di desa Bongancina
Kabupaten Buleleng, Bali sejak tahun 2000. Kulit buah kakao dihancurkan
dengan alat penggilingan dan difermentasi menggunakan Aspergillus niger
sehingga dapat meningkatkan kandungan proteinnya sebesar 18 % (Widiata,
2006).
Limbah cair selain dihasilkan dari proses pemecahan buah kakao juga dihasilkan
dari proses pencucian dan perendaman serta dari proses fermentasi biji kakao.
Fermentasi biji kakao tentunya akan menghasilkan cokelat dengan mutu yang baik
namun dalam proses fermentasi tersebut akan dihasilkan lendir kakao atau pulp
yang merupakan limbah dari industri pengolahan biji kakao dan mencapai sekitar
10 % dari berat basah biji (Quesnel, 1967). Sampai saat ini limbah pulp kakao
belum dimanfaatkan secara optimum karena dipandang kurang bernilai ekonomis
sehingga masih terdapat permasalahan dalam pengolahan limbahnya. Selain itu,
yang menjadi kendala utama dalam pemanfaatan limbah cair pulp kakao ini
adalah mekanisme pengumpulan dan pengawetan limbah tersebut sebelum
diproses lebih lanjut (Taufik, 1996).
Jika dilihat komposisi kimia lendir biji kakao (Tabel II.1) berdasarkan penelitian
yang dilakukan oleh Rohan (1963), lendir biji kakao masih dapat dimanfaatkan
mengingat kandungan gula pada limbah ini masih cukup tinggi. Limbah pulp
kakao masih mengandung 11,60 – 15,32% glukosa. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Sulam Taufik (1996), limbah cair pulp ini ternyata dapat
digunakan untuk menghasilkan senyawa aroma diantaranya etanol, 2-metil-1-
propanol, 3-metil-1-butanol, benzaldehida, asam asetat, asam propanoat, 2,3-
22
butandiol. Senyawa aroma merupakan suatu senyawa atau bahan yang dapat
mengeluarkan bau atau aroma yang khas. Senyawa aroma umumnya digunakan
dalam industri makanan, pakan, kosmetika, farmasi, dan minuman (Jansens et al.,
1992; Taufik, 1996).
Tabel II.1. Komposisi Kimia Lendir Biji Kakao
Komponen Komposisi ( % berat kering biji kakao) Air Bahan kering Asam-asam tidak menguap Asam-asam menguap Glukosa Sukrosa Pektin Protein Abu Pati Oksida Fe Garam K, Na, Ca, Mg
79,20-84,20 15,80-21,80
0,77-1,52 0,02-0,04
11,6-15,32 0,11-0,9
5,00-6,90 0,42-0,50 0,40-0,50
sedikit 0,03
0,40-0,45 sumber: Rohan, 1963
Limbah pulp kakao mengandung beberapa senyawa, seperti gula yang dapat
dijadikan substrat untuk metabolisme beberapa mikroorganisme menghasilkan
senyawa-senyawa alkohol, asam organik, senyawa ester, dan senyawa kimia
lainnya. Pulp yang mengandung glukosa, sukrosa, pektin, pati dan beberapa
senyawa lain ini dapat disterilisasi dan dijadikan minuman, atau difermentasi
menjadi etanol atau minuman fermentasi lainnya. Pernyataan tersebut diperkuat
pula oleh Kamaruddin & Sudirman (2006) yang menyatakan bahwa limbah pulp
ini dapat dimanfaatkan menjadi suatu produk yang berguna dan mempunyai nilai
jual yang tinggi yaitu cuka/asam asetat. Prameswari (2004) juga melakukan
penelitian menggunakan limbah pulp kakao untuk memproduksi vinegar dengan
cara fermentasi bertingkat menggunakan kultur murni Saccharomycess cerevisiae
dan Acetobacter aceti. Vinegar yang dihasilkan dari proses ini mengandung asam
asetat sebesar 4,8 % b/v. Beberapa penelitian tersebut menunjukkan bahwa limbah
pulp kakao dapat diolah secara biologi menghasilkan produk yang bernilai
ekonomis.
23
II.2. Pengolahan Limbah Secara Biologi
Pengolahan limbah secara biologi berdasarkan konsumsi oksigen oleh
mikroorganisme pengolahnya dapat berlangsung dalam dua kondisi yaitu aerob
dan anaerob. Kondisi aerob yaitu kondisi ketika oksigen terlarut / dissolve oxygen
(DO) dalam air buangan terdapat dalam jumlah yang cukup banyak sehingga
oksigen bukan merupakan faktor pembatas dan oksigen bertindak sebagai
akseptor elektron terakhir. Sedangkan kondisi anaerob berlangsung ketika jumlah
oksigen terlarut jumlahnya sangat sedikit atau bahkan tidak terdapat dalam air
buangan sehingga oksigen menjadi faktor pembatas dalam proses metabolisme,
dan senyawa lain selain oksigen bertindak sebagai akseptor elektron terakhir
(Wisjnuprapto dan Djajadiningrat, 1990; Chaerul, 2001).
Pengolahan secara biologi melibatkan organisme hidup sebagai pengolah limbah,
dalam hal ini mikroorganisme. Mikroorganisme yang digunakan dapat berupa
kultur murni maupun kultur campur. Kultur murni atau pure culture merupakan
mikroorganisme yang terdiri dari satu strain mikroorganisme saja sedangkan mix
culture atau kultur campur terdiri dari dua atau lebih mikroorganisme (Johnson