19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Proses Kerja Pembuatan Trompong Proses pembuatan instrumen gamelan tergantung pada jenis instrumen yang akan dibuat. Instrumen gamelan gong pada umumnya terbagi dalam dua jenis yaitu instrumen gamelan berbentuk bilah dan instrumen gamelan berbentuk pencon (moncol). Proses pembuatan instrumen gamelan yang berbentuk pencon seperti reong, trompong, kempul dan lainnya sedikit berbeda dengan proses pembuatan instrumen gamelan yang berbentuk bilah. Pada proses pembuatan instrumen gamelan yang berbentuk pencon sedikit lebih rumit dimana pada proses nguwad biasanya dikerjakan oleh lima orang perajin. Sedangkan untuk proses nguwad instrumen gamelan yang berbentuk bilah dapat dikerjakan oleh satu orang perajin. Proses pembuatan trompong terdiri dari beberapa tahap yaitu: (1) Proses peleburan bahan baku berupa campuran timah dan tembaga dengan perbandingan satu bagian timah dicampur dengan tiga bagian tembaga. Proses ini biasanya disebut dengan nglebur (bahasa Bali). Campuran timah dan tembaga dimasukkan ke dalam priuk peleburan yang disebut musa (bahasa Bali) atau kowi (bahasa Jawa), kemudian dipanaskan dengan cara dibakar dalam tungku selama sekitar dua jam sampai bahan tersebut mencair. Selanjutnya bahan yang sudah cair tersebut dicetak ke dalam cetakan yang terbuat dari batu padas dan didinginkan pada ruang terbuka selama kurang lebih dua jam. Hasil cetakan bahan baku pada proses peleburan disebut dengan laklakan (bahasa Bali) atau lakaran (bahasa Jawa) seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1; (2) Proses penempaan yaitu proses pembentukan
64
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA...Pengendalian kualitas terhadap produk jadi yaitu pengendalian yang dilakukan terhadap barang hasil produksi untuk menjamin supaya produk jadi tidak mengalami
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Proses Kerja Pembuatan Trompong
Proses pembuatan instrumen gamelan tergantung pada jenis instrumen yang
akan dibuat. Instrumen gamelan gong pada umumnya terbagi dalam dua jenis yaitu
instrumen gamelan berbentuk bilah dan instrumen gamelan berbentuk pencon
(moncol). Proses pembuatan instrumen gamelan yang berbentuk pencon seperti
reong, trompong, kempul dan lainnya sedikit berbeda dengan proses pembuatan
instrumen gamelan yang berbentuk bilah. Pada proses pembuatan instrumen
gamelan yang berbentuk pencon sedikit lebih rumit dimana pada proses nguwad
biasanya dikerjakan oleh lima orang perajin. Sedangkan untuk proses nguwad
instrumen gamelan yang berbentuk bilah dapat dikerjakan oleh satu orang perajin.
Proses pembuatan trompong terdiri dari beberapa tahap yaitu: (1) Proses
peleburan bahan baku berupa campuran timah dan tembaga dengan perbandingan
satu bagian timah dicampur dengan tiga bagian tembaga. Proses ini biasanya
disebut dengan nglebur (bahasa Bali). Campuran timah dan tembaga dimasukkan
ke dalam priuk peleburan yang disebut musa (bahasa Bali) atau kowi (bahasa Jawa),
kemudian dipanaskan dengan cara dibakar dalam tungku selama sekitar dua jam
sampai bahan tersebut mencair. Selanjutnya bahan yang sudah cair tersebut dicetak
ke dalam cetakan yang terbuat dari batu padas dan didinginkan pada ruang terbuka
selama kurang lebih dua jam. Hasil cetakan bahan baku pada proses peleburan
disebut dengan laklakan (bahasa Bali) atau lakaran (bahasa Jawa) seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.1; (2) Proses penempaan yaitu proses pembentukan
20
laklakan untuk dapat menjadi trompong setengah jadi yang disebut cobekan
(bahasa Bali) atau ricikan gamelan (bahasa Jawa) seperti Gambar 2.2; (3) Proses
pembentukan sudut tepi antara muka dengan pencon. Proses ini dilakukan dengan
cara memanaskan dan memukul bagian kaki trompong atau lambe (bahasa Bali)
hingga terbentuk sudut antara tepi dengan muka trompong atau pejungut (bahasa
Bali); (4) Proses akhir yaitu proses penghalusan bagian permukaan trompong
hingga mengkilap dan penyelarasan suara atau metuding (bahasa Bali) hingga
terbentuk trompong secara sempurna seperti ditunjukkan pada Gambar 2.3; (5)
Proses terakhir yaitu membuat lubang pada bagian kaki agar trompong bisa disusun
sesuai dengan urutan trompong dalam satu set instrumen trompong mulai dari nada
terendah (ukuran trompong paling besar) hingga nada tertinggi (ukuran trompong
paling kecil).
Gambar 2.1 Salah Satu Bahan Baku ( Laklakan) Beserta Ukuran
Gambar 2.2 Salah Satu Bentuk Hasil Nguwad (Cobekan) Beserta Ukuran
120 mm
25 mm
O 200 mm
O 180 mm
80 mm
21
Keterangan:
a: Pencon
b: Muka Trompong
c: Pejungut
d: Lambe
Gambar 2.3 Bentuk Trompong dan Bagian Utama
Proses nguwad dimulai dari memanaskan laklakan oleh tukang perapen
selama 20 hingga 35 detik dengan cara membakar laklakan dan membolak-balikan
agar panas secara merata dengan bantuan alat kerja yang disebut culik (bahasa Bali),
seperti Gambar 2.4.
Gambar 2.4 Proses Memanaskan Laklakan
d
c
a
b
22
Selanjutnya laklakan yang telah panas dipindahkan ke tukang jepit untuk
dipegang seperti Gambar 2.5. Tukang jepit bertugas memegang, memutar dan
mengarahkan secara berlahan bidang yang akan ditempa oleh tukang nguwad.
Selanjutnya tukang nguwad menempa laklakan dengan cara memukul
menggunakan palu besi secara bergantian dan berurutan hingga dianggap cukup
oleh tukang jepit. Sikap kerja tukang jepit dan tukang nguwad ditunjukkan pada
Gambar 2.5.
Gambar 2.5 Proses Penempaan (Nguwad)
Lama waktu tempa untuk sekali proses penempaan berlangsung sekitar 25
hingga 30 detik. Proses penempaan dan pemanasan dilakukan berulang-ulang
antara 41 hingga 46 kali (tergantung ukuran laklakan). Pada akhir proses nguwad,
cobekan yang telah terbentuk dicelup ke dalam air agar tidak retak pada proses
pengerjaan berikutnya.
23
Alat kerja yang digunakan pada proses ini merupakan perkakas tangan
(hand tool) yang terdiri dari: (1) culik (sejenis pengait panjang) digunakan oleh
tukang perapen untuk memegang, memutar dan membolak-balik bahan baku saat
dipanaskan; (2) alat jepit (sejenis tang panjang) digunakan oleh tukang jepit untuk
memegang dan memutar bahan baku saat ditempa oleh tukang nguwad ; dan (3)
palu besi bulat dan palu besi segi empat digunakan oleh tukang nguwad untuk
menempa/memukul bahan baku.
Gambar 2.6 Alat Kerja Perkakas Tangan (Hand Tool) Pada Proses Nguwad
Setelah terbentuk cobekan, proses berikutnya adalah proses ngicep (bahasa
Bali) yaitu pembentukan sudut atau pejungut (bahasa Bali) antara bagian kaki
dengan bagian muka trompong. Bentuk pejungut trompong sangat penting
diperhatikan agar proporsional antara lebar permukaan trompong bagian atas dan
tinggi kaki sehingga bentuk fisik trompong terlihat baik. Proses berikutnya adalah
membuat pencon atau moncol (bahasa Bali) yaitu proses membentuk bagian pencon
dengan cara menempa bagian tengah permukaan pada suatu lubang cetak yang
Palu besi
Culik
Jepit
24
sesuai dengan diameter dan tinggi pencon. Proses penempaan ini dilakukan
berulang-ulang hingga terbentuk pencon secara sempurna. Proses berikutnya
adalah menyempurnakan bagian sudut muka trompong agar terbentuk muka
trompong yang sempurna. Proses ini dilakukan dengan menempa bagian tertentu
yang dianggap belum terbentuk dengan sempurna.
Proses berikutnya adalah proses di luar perapen yaitu proses penghalusan
dengan cara menggerinda atau mengikir bagian yang dianggap belum rata. Proses
ini disebut manggur (bahasa Bali) yaitu proses penghalusan bagian permukaan
trompong hingga permukaan menjadi rata dan halus. Selanjutnya bagian kaki
trompong dilubangi sebanyak empat lubang yaitu pada kiri, kanan, depan dan
belakang agar trompong bisa disuluh (dimasukkan tali pengikat untuk bisa
ditempatkan pada dudukan trompong). Proses terakhir adalah metuding yaitu
menyelaraskan suara trompong menurut ukuran dan letak trompong dalam satu set
gamelan. Pada proses ini suara trompong disesuaikan dengan patokan suara yang
menggunakan tiga bilah bambu dengan nada suara yang berbeda dan trompong
disusun sesuai dengan ukuran mulai trompong paling besar dengan nada paling
rendah hingga trompong paling kecil dengan nada paling tinggi.
2.2 Kualitas Produk
Pengertian kualitas sangat beraneka ragam. Menurut Boetsh dan Denis
dalam Tjiptono (2000), kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang
berhubungan dengan produk barang maupun jasa serta proses dan lingkungan yang
memenuhi atau melebihi harapan. Pendapat di atas dapat dimaksudkan bahwa
seberapa besar kualitas yang diberikan yang berhubungan dengan produk barang
beserta faktor pendukungnya memenuhi harapan penggunanya. Dapat diartikan
25
bahwa semakin memenuhi harapan konsumen, produk tersebut semakin
berkualitas. Clark (2000), juga mendefinisikan kualitas sebagai seberapa konsisten
produk atau jasa yang dihasilkan dapat memenuhi pengharapan dan kebutuhan
internal dan eksternal pelanggan. Sedangkan Stevenson (2005), mendefinisikan
kualitas sebagai kemampuan dari suatu produk atau jasa untuk memenuhi atau
melebihi harapan pelanggan. Dengan demikian, meskipun menurut produsennya,
barang yang dihasilkannya sudah melalui prosedur kerja yang cukup baik, namun
jika tetap belum mampu memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh konsumen,
maka kualitas barang atau jasa yang dihasilkan oleh produsen tersebut tetap dinilai
sebagai suatu yang memiliki kualitas yang rendah. Disamping harus mampu
memenuhi standar yang dipersyaratkan oleh konsumen, baik buruknya kualitas
barang yang dihasilkan juga dapat dilihat dari konsistensi keterpenuhan harapan
dan kebutuhan masyarakat. Menurut Stevenson (2005), dimensi kualitas produk
meliputi :
1. Performance, hal ini berkaitan dengan aspek fungsional suatu barang dan
merupakan karakteristik utama yang dipertimbangkan pelanggan dalam
membeli barang tersebut.
2. Aesthetics, merupakan karakteristik yang bersifat subjektif mengenai nilai-nilai
estetika yang berkaitan dengan pertimbangan pribadi dan refleksi dari preferensi
individual.
3. Special features, yaitu aspek performansi yang berguna untuk menambah fungsi
dasar, berkaitan dengan pilihan-pilihan produk dan pengembangannya.
4. Conformance, hal ini berkaitan dengan tingkat kesesuaian terhadap spesifikasi
yang ditetapkan sebelumnya berdasarkan keinginan pelanggan.
26
5. Reliability, hal ini yang berkaitan dengan probabilitas atau kemungkinan suatu
barang berhasil menjalankan fungsinya setiap kali digunakan dalam periode
waktu tertentu dan dalam kondisi tertentu pula.
6. Durability, yaitu suatu refleksi umur ekonomis berupa ukuran daya tahan atau
masa pakai barang.
7. Perceived Quality, berkaitan dengan perasaan pelanggan mengenai keberadaan
produk tersebut sebagai produk yang berkualitas.
8. Service ability, berkaitan dengan penanganan pelayanan purna jual, seperti
penanganan keluhan yang ditujukan oleh pelanggan.
Menurut Tjiptono (2000), kualitas suatu produk baik berupa barang atau
jasa ditentukan melalui dimensi-dimensinya antara lain: (1). Performance
(kinerja), berhubungan dengan karakteristik operasi dasar dari sebuah produk; (2).
Durability (daya tahan), yang berarti berapa lama atau umur produk yang
bersangkutan bertahan sebelum produk tersebut harus diganti. Semakin besar
frekuensi pemakaian konsumen terhadap produk maka semakin besar pula daya
produk; (3). Conformance to specifications (kesesuaian dengan spesifikasi), yaitu
sejauh mana karakteristik operasi dasar dari sebuah produk memenuhi spesifikasi
tertentu dari konsumen atau tidak ditemukannya cacat pada produk; (4). Features
(fitur), adalah karakteristik produk yang dirancang untuk menyempurnakan fungsi
produk atau menambah ketertarikan konsumen terhadap produk; (5). Reliability
(reliabilitas), adalah probabilitas bahwa produk akan bekerja dengan memuaskan
atau tidak dalam periode waktu tertentu. Semakin kecil kemungkinan terjadinya
kerusakan maka produk tersebut dapat diandalkan; (6). Aesthetics (estetika),
berhubungan dengan bagaimana penampilan produk; (7). Perceived quality (kesan
kualitas), sering dibilang merupakan hasil dari penggunaan pengukuran yang
27
dilakukan secara tidak langsung karena terdapat kemungkinan bahwa konsumen
tidak mengerti atau kekurangan informasi atas produk yang bersangkutan; dan (8).
Serviceability, meliputi kecepatan dan kemudahan untuk direparasi, serta
kompetensi dan keramahtamahan staf layanan.
Gamelan merupakan salah satu produk kerajinan yang digunakan sebagai
sarana alat musik tradisional, kualitas produksinya sangat tergantung kepada
campuran bahan baku, proses pembuatan dan proses finishingnya, sehingga mampu
menghasilkan bunyi-bunyian seperti yang diinginkan. Menurut hasil wawancara
dengan perajin gamelan di Desa Tihingan (Bapak Dendi), dalam pembuatan
gamelan khusunya trompong, kualitas ini sangat berkaitan dengan keutuhan
produk, kesesuaian ukuran, ketebalan, campuran bahan baku, dan proses
pembuatannya.
Bahan baku yang baik adalah campuran tiga bagian tembaga dan satu bagian
timah yang berasal dari logam bermutu baik yang dilebur secara sempurna dan tidak
tercampur kotoran saat proses peleburan. Proses penempaan yang tepat sehingga
ketebalan produk merata, dimensi fisik sesuai dengan ukuran yang diminta, tidak
ada cacat apalagi retak. Dengan demikian kualitas hasil nguwad trompong adalah
kesesuaian dimensi fisik trompong meliputi diameter permukaan, diameter bagian
kaki, ketebalan, dan lebar/tinggi lambe sesuai dengan yang disyaratkan dan tidak
ada keretakan baik skala kecil maupun besar. Jika terjadi keretakan maka produk
dinyatakan gagal dan harus dilebur kembali.
2.3 Pengendalian Kualitas Produk
Kualitas produk gamelan yang dihasilkan oleh perajin di Desa Tihingan
sangat berpengaruh terhadap pemasaran produknya mengingat saat ini industri
28
kerajinan gamelan Bali sudah tersebar hampir di setiap kabupaten/kota di Bali.
Persaingan yang semakin ketat menyebabkan perajin harus benar-benar mampu
mempertahankan kualitas produknya agar tetap dapat bersaing dengan produk luar
Desa Tihingan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah memperhatikan
pengendalian kualitas.
Usaha pengendalian kualitas merupakan usaha preverentive (pencegahan)
dan dilaksanakan sebelum kesalahan kualitas produk atau jasa tersebut terjadi,
melainkan mengarahkan agar kesalahan kualitas tersebut tidak terjadi di dalam
industri yang bersangkutan. Persoalan pengendalian kualitas pada kerajinan
gamelan di Desa Tihingan adalah bagaimana menjaga dan mengarahkan agar
produk gamelan dari perajin yang bersangkutan tersebut dapat memenuhi kualitas
sebagaimana yang telah disyaratkan oleh pemesan atau sesuai dengan standar
umum gamelan Desa Tihingan. Pengendalian kualitas produk sangat penting dan
berguna bagi industri agar produknya tetap terjamin dan memenuhi keinginan
pasar. Pengendalian kualitas kerajinan gamelan biasanya dilakukan oleh pimpinan
kelompok perajin. Pimpinan kelompok dapat mengambil tindakan dan kebijakan,
menyusun rencana yang baik untuk masa yang akan datang, serta memperbaiki
sistem pengendalian atau pengawasan terhadap produk yang sudah dilakukan
dengan baik.
Pengendalian kualitas adalah suatu aktivitas (manajemen perusahaaan)
untuk menjaga dan mengarahkan agar kualitas produk dan jasa perusahaan dapat
dipertahankan sebagaimana yang telah direncanakan. Menurut Ahyari (1985),
pengendalian kualitas merupakan usaha preventive dan dilaksanakan sebelum
kualitas produk mengalami kerusakan. Pengendalian berhubungan dengan
29
beberapa unsur yang mempengaruhi kualitas itu sendiri. Secara garis besar
pengendalian kualitas produk gamelan di Desa Tihingan dikelompokkan menjadi:
a. Pengendalian kualitas sebelum pengolahan atau proses yaitu pengendalian
kualitas yang berkenaan dengan proses yang berurutan dan teratur termasuk
bahan-bahan yang akan diproses. Dalam hal ini bahan baku yang dapat
digunakan untuk trompong dipilih yang tidak adanya cacat retak pada laklakan.
b. Pengendalian kualitas terhadap produk jadi yaitu pengendalian yang dilakukan
terhadap barang hasil produksi untuk menjamin supaya produk jadi tidak
mengalami kerusakan atau tingkat kerusakan produk sedikit (Assauri, 2004).
Pengendalian kualitas terhadap produk jadi ini meliputi pengendalian kualitas
pada proses produksi dan pengendalian kualitas pada pasca produksi. Pada
proses nguwad, pengendalian kualitas dilakukan pada ketelitian pada proses
penempaan agar tidak retak dan pengendalian kualitas produk hasil nguwad.
Produk cobekan yang dapat diterima adalah cobekan yang sesuai dengan
ukuran meliputi diameter muka dan kaki, ketebalan, tinggi lambe dan tidak
adanya cacat.
2.4 Cara Pengendalian Kualitas Produk
Salah satu teknik yang digunakan dalam pengendalian kualitas diantaranya
dengan metode control chart. Metode ini digunakan untuk mengetahui rata rata
kerusakan produk dan besarnya penyimpangan-penyimpangan yang terjadi. Tujuan
pengendalian kualitas menurut Ahyari (1985), adalah:
a. Untuk meningkatkan kepuasan konsumen.
b. Mengusahakan agar penggunaan biaya serendah mungkin.
c. Agar dapat memproduksi selesai tepat pada waktunya.
30
Metode control chart menurut Reksohadiprojo (1984), meliputi: rata-rata
kerusakan, standar deviasi/penyimpangan, dan batas atas dan batas bawah
pengawasan kualitas produk.
1) Mencari rata-rata kerusakan
Dimana:
P= rata-rata kerusakan produk
X = jumlah rusak
n = jumlah diobservasi
2) Menentukan standar deviasi/penyimpangan:
Dimana:
P = rata-rata kerusakan
Sp = standar deviasi/penyimpangan
n = jumlah diobservasi
3) Menentukan batasan pengawasan.
- Batasan pengawasan atas (Upper Control Limit = UCL)
UCL= P+ 3 Sp
- Batasan pengawasan bawah (Lower Control Limit = LCL)
LCL = P – 3 Sp
................................... (2)
................................... (1)
................................... (3)
................................... (4)
31
Hubungan pengendalian kualits dengan nilai UCL dan LCL
1. Pengendalian kualitas akan berjalan baik jika kerusakan produk
masih dalam batas normal yaitu terletak antara batasan pengawasan
atas (UCL) dan batasan pengawasan bawah (LCL).
2. Apabila kerusakan produk di atas garis UCL maka perusahaan akan
mengalami kerugian yang dikarenakan jumlah kerusakan produk
tinggi dan jika jumlah kerusakan produk di bawah LCL maka
perusahaan akan memperoleh keuntungan/laba besar yang
dikarenakan jumlah kerusakan produknya sedikit.
2.5 Perpindahan Panas Pada Manusia
Menurut Silverthorn (2010), perpindahan panas pada manusia dari kulit ke
lingkungan atau sebaliknya dapat terjadi melalui mekanisme sebagai berikut:
a. Radiasi
Radiasi menyebabkan perpindahan panas dalam bentuk berkas inframerah.
Perpindahan panas ini disebabkan karena semua benda bersuhu diatas nol
mutlak akan mengeluarkan gelombang inframerah ke segala arah. Sekitar
60% panas tubuh keluar melalui radiasi.
b. Konduksi
Pengeluaran panas secara konduksi terjadi melalui kontak langsung antara
kulit dengan suatu benda. Besarnya perpindahan panas mencapai 3% akibat
kontak dengan benda lain dan 15% akibat kontak dengan udara.
32
c. Konveksi
d. Pengeluaran panas secara konveksi terjadi karena gerakan udara. Udara
yang telah dipanaskan secara konduksi oleh kulit akan naik ke atas dan
digantikan oleh lapisan udara baru yang belum dihangatkan.
e. Penguapan atau evaporasi
Perpindahan panas secara penguapan terjadi dengan menguapnya air akibat
panas yang berasal dari suhu tubuh. Sekitar 0,58 kalori panas tubuh hilang
untuk setiap gram air yang menguap (Guyton dan Hall, 2007). Pengeluaran
panas secara evaporasi dapat terjadi secara pasif (insensible perspiration)
dan aktif yaitu dalam bentuk berkeringat yang dirangsang oleh sistem saraf
simpatis. Pengeluaran panas melalui penguapan sangat penting bila suhu
lingkungan mendekati atau sama dengan suhu tubuh karena saat itu
pengeluaran melalui radiasi jauh berkurang.
Perpindahan panas yang terjadi pada perapen perajin gamelan pada proses
kerja nguwad adalah adanya perpindahan panas radiasi dari tungku pembakaran
yang memapar perajin. Selain itu juga terjadi perpindahan panas secara konduksi
dengan adanya kontak langsung antara perkakas tangan dengan logam panas
(laklakan) dan secara konveksi karena adanya gerakan udara.
2.6 Beban Kerja
Beban kerja pada menurut Adiputra (1998), secara umum dibedakan
menjadi dua kelompok yaitu:
1) Beban kerja eksternal (stressor) adalah beban kerja yang berasal dari
pekerjaan yang sedang dilakukan. Beban eksternal meliputi task,
organisasi dan lingkungan.
33
2) Beban kerja internal adalah beban kerja yang ditimbulkan oleh faktor
individual pekerja yang bersifat somatis (jenis kelamin, umur, ukuran
tubuh, kondisi kesehatan dan status gizi) dan yang bersifat psikis
(motivasi, persepsi, keinginan dan lainnya).
Semakin tinggi aktivitas tubuh menyebabkan metabolisme tubuh semakin
meningkat berdampak pada kebutuhan O2 yang semakin besar pula dan frekuensi
denyut nadi akan meningkat (Adiputra, 2002). Keluhan fisiologis merupakan
mekanisme adaptasi tubuh untuk tetap berada pada kondisi homeostasis (Pinel,
2009 dalam Handari, 2013). Otot yang berkontraksi tanpa mengangkat beban akan
berkontraksi sangat cepat, dalam waktu 1/20 detik telah tercapai keadaan kontraksi
yang maksimal pada kebanyakan otot, tetapi jika diberikan beban terhadap otot ini,
kecepatan kontraksinya bertambah lama dan sebanding dengan penambahan beban
yang diterima.
3)
Gambar 2.7 Hubungan Antara Beban Dengan Kecepatan Kontraksi Otot
(Sumber: Guyton dan Hall, 2007)
Beban kerja dapat berasal dari faktor eksternal dan dapat juga berasal dari
faktor internal. Untuk itu dalam penilaiannya ada dua kriteria yang dapat dipakai
yaitu:
34
a. Kriteria objektif, yang dapat diukur dan dilakukan oleh pihak lain yang
meliputi: reaksi fisiologis, reaksi psikologis/ perubahan prilaku.
b. Kriteria subjektif yang dilakukan oleh orang yang bersangkutan sebagai
pengalaman pribadi, misalnya beban kerja yang dirasakan sebagai
kelelahan yang menggangu, rasa sakit atau pengalaman lain yang
dirasakan.
Beban kerja utama pada proses nguwad trompong berasal dari aktivitas
kerja memanaskan bahan baku oleh tukang perapen, aktivitas memegang dan
memutar benda kerja oleh tukang jepit dan aktivitas menempa oleh tukang nguwad.
Beban kerja tambahan yang dialami oleh perajin pada proses kerja nguwad dapat
berasal dari: (1) kondisi lingkungan kerja paparan suhu panas hasil pembakaran
bahan bakar dalam tungku dan paparan debu sisa pembakaran; (2) kondisi tuntutan
tugas (task) yaitu adanya sikap kerja belum alamiah akibat stasiun kerja yang
belum ergonomis; (3) kondisi organisasi kerja yaitu tidak adanya rotasi kerja, tidak
tersedia air minum di tempat kerja dan tidak adanya istirahat pendek.
Penilaian beban kerja pada proses kerja nguwad trompong dapat dilakukan
secara objektif dan subjektif. Metode penilaian beban kerja yang paling mudah dan
murah, secara kuantitatif dapat dipercaya akurasinya adalah pengukuran frekuensi
denyut nadi. Frekuensi nadi kerja dari seluruh jam kerja, selanjutnya dipakai dasar
penilaian beban kerja fisik, karena perubahan rerata denyut nadi berhubungan linier
dengan pengambilan oksigen (Rodahl, 2005). Hal ini merupakan refleksi dari
proses reaksi (strain) terhadap stressor yang diberikan oleh tubuh, dimana biasanya
besar strain berbanding lurus dengan stress.
Penilaian beban kerja dengan mengukur peningkatan denyut nadi
dilaksanakan saat bekerja atau segera setelah selesai bekerja. Oleh karena itu, yang
35
paling baik diukur dengan menggunakan alat pencatat yang ditempelkan di dada
atau di lengan saat bekerja, kemudian hasilnya dicatat setelah selesai bekerja. Akan
tetapi, juga bisa dengan mengukur denyut nadi selama bekerja, untuk menilai
cardiovasculair strain dengan metode 10 denyut (Kilbon, 1992), dimana dengan
metode ini dapat dihitung denyut nadi kerja sebagai berikut:
Denyut Nadi (Denyut
Menit) =
10 Denyut
Waktu Perhitungan (Detik) x 60…….……(5)
Mengukur peningkatan denyut nadi dengan metode sepuluh denyut adalah
mengukur denyut nadi secara palpasi dengan menghitung waktu dalam detik untuk
sepuluh denyut nadi (stopwatch ditekan start saat denyutan satu dan ditekan stop
pada denyutan kesebelas).
Penilaian beban kerja secara subjektif dapat dilakukan dengan
menggunakan kuesioner, dengan kuesioner tersebut akan terlihat tanda-tanda yang
menyatakan adanya suatu kelelahan yang dialami orang akibat beban kerja yang
membebaninya, oleh karena interaksi pekerja dengan jenis pekerjaan, tempat kerja,
organisasi/cara kerja, peralatan kerja dan lingkungannya (Bridger, 2005). Penilaian
beban kerja pada proses kerja penggunaan stasiun kerja perapen yang ergonomis
dengan sistem nyala api tertutup dapat juga dilihat dari beberapa variabel seperti
pemakaian O2 dan denyut nadi. Salah satu cara untuk mengetahui derajat beban
kerja adalah dengan penghitungan denyut nadi kerja, yaitu rerata denyut nadi
selama bekerja. Berdasarkan pemakaian O2, konsumsi kalori, dan denyut nadi,
tingkat beban kerja dibedakan dalam beberapa kategori sebagaimana disajikan pada
Tabel 2.1 (Kroemer dan Grandjean, 2000).
36
Tabel 2.1
Tingkat Beban Kerja Menurut Keluaran Energi
Tingkat beban kerja Keluaran
energi
(kcal/min)
Keluaran
energi/ 8 jam
(kcal)
Denyut
nadi (dpm)
Konsumsi
oxygen
(l/menit)
Istirahat 1.5 < 720 60 – 70 0.3
Beban kerja sangat ringan 1.6 – 2.5 768 – 1200 65 – 75 0.32 – 0.5