13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Pembuktian A. Kerangka Teori a. Pengertian Pembuktian Membuktikan, menurut para ahli, ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa dan mengandung maksud untuk menyatakan kebenaran atas suatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran tersebut (Subekti, 2001: 1). Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan Undang-Undang dan boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap, 2006:273). Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan tatacara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian (Hary Sasangka dan Lily Rosita, 2003:10). Tujuan dari pembuktian adalah untuk meyakinkan tentang kebenaran peristiwa yang mungkin masih diduga dan menjadi perkara di Pegadilan. Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya, sehingga harus mempertanggungjawabkannya (Darwan Prinst, 1998:133).
33
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Membuktikan, menurut para ahli ... · a. Pengertian Pembuktian Membuktikan, menurut para ahli, ialah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Pembuktian
A. Kerangka Teori
a. Pengertian Pembuktian
Membuktikan, menurut para ahli, ialah meyakinkan hakim
tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu
sengketa dan mengandung maksud untuk menyatakan kebenaran atas
suatu peristiwa, sehingga dapat diterima akal terhadap kebenaran
tersebut (Subekti, 2001: 1).
Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan
dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan Undang-Undang
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa.
Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti
yang dibenarkan Undang-Undang dan boleh dipergunakan hakim
membuktikan kesalahan yang didakwakan (M. Yahya Harahap,
2006:273).
Hukum pembuktian merupakan sebagian dari hukum acara
pidana yang mengatur macam-macam alat bukti yang sah menurut
hukum, sistem yang dianut dalam pembuktian, syarat-syarat dan
tatacara mengajukan bukti tersebut serta kewenangan hakim untuk
menerima, menolak, dan menilai suatu pembuktian (Hary Sasangka dan
Lily Rosita, 2003:10).
Tujuan dari pembuktian adalah untuk meyakinkan tentang
kebenaran peristiwa yang mungkin masih diduga dan menjadi perkara
di Pegadilan. Pembuktian mengandung arti bahwa benar suatu peristiwa
pidana telah terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya,
sehingga harus mempertanggungjawabkannya (Darwan Prinst,
1998:133).
14
b. Prinsip Pembuktian
Prinsip-prinsip pembuktian dalam penjabarannya adalah:
1) Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Prinsip ini terdapat pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang
berbunyi: “Hal-hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu
dibuktikan” atau disebut dengan istilah notoire feiten. Secara garis
besar fakta notoir dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
1) Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu
atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau
semestinya demikian.
2) Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan
selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan
kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk
minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan
seseorang mabuk (Hari Sasangka dan Lily Rosita, 2003:20).
2) Menjadi saksi adalah kewajiban
Kewajiban seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan
Pasal 159 ayat (2) KUHAP, “Orang yang menjadi saksi setelah
dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan
tetapi dengan menolak kewajiban itu ia dapat dikenakan pidana
berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku, demikian pula
dengan ahli”
3) Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis)
Prinsip ini terdapat dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP. Menurut
KUHAP, keterangan satu saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan
cepat. Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP
yang berbunyi: “Dalam pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup
didukung satu alat bukti yang sah”. Sehingga dapat diartikan berarti
satu saksi, satu keterangan ahli, satu surat, satu petunjuk, atau
keterangan terdakwa disertai keyakinan hakim cukup sebagai alat
15
bukti untuk memidana terdakwa dalam perkara cepat (M. Yahya
Harahap, 2003:267).
4) Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum
membuktikan kesalahan terdakwa
Prinsip ini merupakan penegasan dari lawan prinsip
“pembuktian terbalik” yang tidak dikenal oleh hukum acara pidana
yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4) KUHAP yang
berbunyi: “Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk
membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti
lain”.
5) Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri
Prinsip ini diatur dalam Pasal 189 ayat (3) KUHAP yang berarti apa
yang diterangkan terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh
diterima dan diakui sebagai alat bukti yang berlaku dan mengikat
bagi diri terdakwa sendiri (Adnan Paslyadja, 1997:8-15). Menurut
paham ini, apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang
berkedudukan sebagai terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai
alat bukti terhadap dirinya sendiri. Jika dalam suatu perkara
terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing keterangan
setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada
dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan
terhadap terdakwa B, demikian sebaliknya (M. Yahya Harahap,
2003:321).
c. Teori Sistem Pembuktian
1) Conviction in Time
Sistem pembuktian conviction in time menentukan salah
tidaknya seorang terdakwa, semata-mata ditentukan oleh Sistem
pembuktian ini hakim mengetahui terdakwa memiliki Sabu-Sabu yang
sangat besar, jika hakim telah merasa yakin bahwa terdakwa benar
16
melakukan apa yang didakwakan kepadanya maka hakim bisa
menjatuhkan pidana terhadapnya.
Kelemahan dari sistem pembuktian conviction-in time yaitu
jika alat-alat bukti yang diajukan di persidangan mendukung
kebenaran dakwaan terhadap terdakwa namun hakim tidak yakin akan
itu semua maka tetap saja terdakwa bisa bebas. Sebaliknya, jika alat-
alat bukti yang dihadirkan di persidangan tidak mendukung adanya
kebenaran dakwaan terhadap terdakwa namun hakim meyakini
terdakwa benar- benar melakukan apa yang didakwakan oleh Penuntut
Umum maka pidana dapat dijatuhkan oleh Hakim(Sri Ingeten Br
Perangin-Angin, 2008:28).
2) Conviction in Raisone
Sistem Conviction in Raisone, keyakinan hakim tetap
memegang peranan penting dalam menentukan salah tidaknya
terdakwa, tetapi dalam sistem pembuktian, faktor keyakinan hakim
akan dibatasi. Memang pada akhirnya keputusan terbukti atau tidak
terbuktinya dakwaan yang didakwakan terhadap terdakwa ditentukan
oleh hakim, tetapi dalam memberikan putusannya hakim dituntut
untuk menguraikan alasan-alasan apa yang mendasari keyakinannya
atas kesalahan terdakwa. Penalaran tersebut (keyakinan hakim)
haruslah yang reasonable (Yahya Harahap, 1993:256).
Arti diterima disini hakim dituntut untuk menguraikan alasan-
alasan yang logis dan masuk akal.
3) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Positif (Positief
Wettelijk Bewijstheorie)
Maksud dari pembuktian menurut Undang-Undang secara
positif adalah bahwa untuk membuktikan terdakwa bersalah atau tidak
bersalah haruslahsesuai dan tunduk terhadap Undang-Undang.Sistem
ini sangat berbeda dengan sistem pembuktian convictionin time dan
conviction in raisonee. Pada sistem ini tidak ada tempat bagi
keyakinan hakim. Seseorang dinyatakan bersalah jika proses
17
pembuktian dan alat-alat bukti yang diajukan di persidangan telah
menunjukkan bahwa terdakwa bersalah. Proses pembuktian serta alat
bukti yang diajukan diatur secara tegas dalam Undang-Undang.
Pembuktian dalam sistem ini didasarkan pada alat-alat bukti yang
sudah ditentukan secara limitatif dalam Undang-Undang, sistem ini
merupakan kebalikan dari sistem conviction in time karena dalam
sistem ini apabila perbuatan sudah terbukti dengan adanya alat-alat
bukti maka keyakinan hakim sudah tidak diperlukan lagi (Andy
Hamzah, 2001: 248).
4) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (negatief
wettelijk bewcijstheorie)
Sistem pembuktian menurut Undang-Undang secara negatif ini
mengisyaratkan adanya keyakinan hakim untuk menentukan apakah
terdakwa bersalah atau tidak.Alat-alat bukti dalam sistem pembuktian
menurut Undang-Undang secara negatif, diatur secara tegas oleh
Undang-Undang, demikian juga dengan mekanisme pembuktian yang
ditempuh. Ketika alat-alat bukti telah mendukung benarnya dakwaan
yang didakwakan kepada terdakwa, maka haruslah timbul keyakinan
pada diri hakim akan kebenaran dari alat-alat bukti tersebut. Jika alat-
alat bukti telah mendukung kebenaran bahwa terdakwa bersalah
namun belum timbul keyakinan pada diri hakim, maka pidana tidak
dapat dijatuhkan. Untuk membuktikan salah atau tidaknya Terdakwa
menurut sistem pembuktian Undang-Undang secara negatif, terdapat
dua komponen (M.Yahya Harahap, 2007:279) :
a) Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat
bukti yang sah menurut Undang-Undang.
b) Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut Undang-Undang.
d. Jenis Alat Bukti yang Sah Menurut KUHAP
Kekuatan alat bukti dalam suatu perkara sangat tergantung dari
adanya faktor kualitas penegak hukum, kode etik, dan hubungan sosial
18
dengan masyarakat. Pembuktian suatu tindak pidana, hakim akan dibantu
dengan alat bukti yang ada. Efektifitas alat bukti telah ditentukan oleh
peraturan perundang-undangan. Hakim dengan sungguh-sungguh harus
memeriksa alat-alat bukti yang telah diajukan oleh penuntut umum guna
mendapatkan kebenaran sesuai dengan keyakinannya. Alat-alat bukti yang
sah merupakan alat-alat bukti yang ada hubungannya dengan suatu tindak
pidana, guna menambah keyakinan bagi hakim atas kebenaran adanya
suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa. Adapun alat-alat
bukti yang sah menurut Pasal 184 Ayat (1) KUHAP adalah berikut :
1) Keterangan Saksi
Pengertian mengenai siapa yang disebut saksi yang diatur
dalam Pasal 1 butir (26) KUHAP, adalah seorang yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan
dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri,
ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri. Sedangkan keterangan saksi
menurut Pasal 1 butir (27) KUHAP adalah salah satu alat bukti
dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai
sesuatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan
ia alami sendiri dengan menyebutkan alasan dari pengetahuannya
itu.
Perkembangan pengertian keterangan saksi mengalami
perluasan setelah adanya keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor
65/PUU-VIII/2010, definisi keterangan saksi sebagai alat bukti
adalah keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang
ia dengar sendiri, ia melihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan pengetahuannya itu, termasuk pula keterangan
dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak
pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia
alami sendiri. Dalam hal ini berkaitan dengan hak terdakwa untuk
menghadirkan dan mendengarkan keterangan saksi yang
meringankan bagi dirinya.
19
Syarat sahnya keterangan saksi sebagai alat bukti dapat bernilai
sebagai kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan apa saja yang
harus dipenuhi sebagai seorang saksi.
Seorang saksi dalam memberikan kesaksiannya, dapat
dikatakan sah apabila :
a) Harus mengucap janji atau sumpah
Umumnya alat bukti keterangan saksi merupakan alat
bukti yang paling utama dalam perkara pidana.Dalam pasal
tersebut tersangka berhak mengusulkan saksi.Hal ini dilakukan
dengan alasan karena tersangka berhak melakukan pembelaan
pada dakwaan yang dituduhkan kepadanya dengan mengajukan
seorang saksi, dan karena pada umumnya para saksi itu
memberatkan tersangka. Bilamana ada saksi A De Charge ini,
maka penyidik harus memeriksanya dicatat dalam berita acara
dengan memanggil dan memeriksa saksi tersebut. Saksi yang
dalam keterangannya dapat meringankan terdakwa.Serta saksi
yang dapat memberatkan terdakwa A Charge diatur dalam
Pasal 160 ayat (1). Mengucap sumpah atau janji, hal ini diatur
dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP dan sudah panjang lebar
diuraikan dalam ruang lingkup pemeriksaan saksi. Menurut
ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum saksi memberi
keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji. Adapun
sumpah atau janjinya adalah dilakukan menurut cara agamanya
masing-masing dan lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi
akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tiada
lain daripada yang sebenarnya.
Menurut ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, pada
prinsipnya wajib diucapkan dalam saksi memberi keterangan,
akan tetapi Pasal 160 ayat (4) KUHAP memberi kemungkinan
untuk mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi
memberikan keterangan. Menurut ketentuan tersebut saat
20
pengucapan sumpah atau janji, pada prinsipnya wajib
diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan dan tapi
dalam hal yang dianggap perlu oleh pengadilan, sumpah atau
janji dapat diucapkan sesudah saksi memberikan keterangan.
Mengenai saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji,
sudah diterangkan, yakni terhadap saksi yang menolak untuk
mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah : dapat
dikenakan sandera, penyanderaan dilakukan berdasar
penetapan hakm ketua sidang, dan penyanderaan dalam hal
seperti ini paling lama empat belas hari (M.Yahya Harahap,
2012:286).
b) Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti
Tidak semua keterangan saksi yang mempunyai nilai
sebagai alat bukti. Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah
keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 butir 27
KUHAP, yaitu: yang saksi lihat sendiri, saksi dengar sendiri, saksi
alami sendiri, serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu
(M.Yahya Harahap, 2012:287).
Berkaitan dengan Testimonium de auditu atau keterangan
saksi yang diperoleh sebagai hasil dari pendengaran dari orang lain,
tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti. Keterangan saksi di
sidang pengadilan berupa keterangan ulangan dari apa yang
didengarnya dari orang lain, tidak dapat dianggap sebagai alat bukti
(Pasal 185 KUHAP). Berkaitan dengan kesaksian de auditu, tidak
diperkenankan sebagai alat bukti dan selaras pula dengan tujuan
hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dan pula
untuk perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia, keterangan
seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain, tidak
menjamin kebenarannya. Maka kesaksian de auditu atau hearsay
evidence patuh tidak dipakai di Indonesia pula. Namun demikian,
kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh hakim, walaupun tidak
21
mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat
keyakinan hakim yang bersumber kepada dua alat bukti yang lain
(Andy Hamzah, 2009:262).
c) Keterangan Saksi Harus Diberikan di Sidang Pengadilan
Keterangan saksi jika dikemukakan diluar sidang pengadilan
(outside the court), bukanlah menjadi alat bukti dan tidak bisa
dijadikan sebagai keterangan untuk membuktikan kesalahan
terdakwa. Sekalipun misalnya hakim, penuntut umum, terdakwa
atau penasihat hukum ada yang mendengar keterangan seorang yang
berhubungan dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa, dan
keterangan itu mereka dengar di halaman kantor pengadilan atau
disampaikan seseorang kepada hakim di rumah tempat tinggalnya.
Keterangan yang demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti
karena itu tidak dinyatakan di sidang pengadilan. (M.Yahya
Harahap,2012: 287).
Keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan
itu harus yang dinyatakan di sidang pengadilan.Hal ini sesuai
dengan penegasan Pasal 185 Ayat (1) KUHAP. Kalau begitu,
keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang
didengarnya sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri
mengenai suatu peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat
bukti apabila keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan.
d) Keterangan Seorang Saksi Saja Dianggap Tidak Cukup
Supaya keterangan saksi dianggap cukup membuktikan
kesalahan seorang terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau
sekurang-kurangnya dengan dua alat bukti. Kalau begitu
keterangan seorang saksi saja, baru bernilai sebagai satu alat bukti
yang harus ditambah dan dicukupi dengan alat bukti lain. Jadi,
bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP,
keterangan seorang saksi saja belum dapat dianggap sebagai alat
22
bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, atau
unus testis nullus testis. Ini berarti jika alat bukti yang
dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi saja
tanpa ditambah dengan dengan keterangan saksi yang lain atau alat
bukti yang lain, kesaksian tunggal yang seperti ini tidak dapat
dinilai sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan
kesalahan terdakwa sehubungan dengan tindak pidana yang
didakwakan kepadanya. Walaupun seandainya keterangan saksi
tunggal itu sedemikian rupa jelasnya, tetapi terdakwa tetap
mungkir serta kesaksian tunggal itu tidak dicukupi dengan alat
bukti lain, kesakasian ini harus dinyatakan tidak mempunyai nilai
kekuatan pembuktian atas alasan unus testis nullus testis.
Lain hal nya jika terdakwa memberikan keterangan yang
mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya.Hal seperti ini
seorang saksi sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa,
karena disamping keterangan saksi tunggal itu, telah dicukupi
dengan alat bukti keterangan/pengakuan terdakwa.Apabila sudah
tercukupi pembuktian berarti telah terpenuhi ketentuan minimum
pembuktian dan the degree of evidence, yakni keterangan saksi
ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Memperhatikan
uraian diatas dapat ditarik kesimpulan, bahwa persyaratan yang
dikehendaki oleh Pasal 185 ayat (2) KUHAP adalah : untuk dapat
membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung
oleh dua orang saksi, dan atau kalau saksi yang ada hanya terdiri
dari seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau
ditambah dengan salah satu atau alat bukti yang lain (M.Yahya
Harahap, 2012: 288).
e) Keterangan Beberapa Saksi yang Berdiri Sendiri
Sering terdapat kekeliruan pendapat sementara orang yang
beranggapan, dengan adanya beberapa saksi dianggap keterangan
saksi yang banyak itu telah cukup membuktikan kesalahan
23
terdakwa. Pendapat yang demikian keliru, karena sekalipun saksi
yang dihadirkan dan didengar keterangannya di sidang pengadilan
secara “kuantitatif” telah melampaui batas minimum pembuktian
belum tentu keterangan mereka secara “kualitatif” memadai
sebagai alat bukti yang sah membuktikan kesalahan terdakwa.
Tidak ada gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika secara
kualitatif keterangan mereka saling “berdiri sendiri” tanpa adanya
saling hubungan antara saksi satu dengan saksi lain, yang dapat
mewujudkan suatu kebenaran akan adanya kejadian atau keadaan
tertentu. Berapa pun banyaknya saksi yang diperiksa dan didengar
keterangannya di sidang pegadilan, hanya pemborosan waktu jika
masing-masing keterangan mereka itu berdiri sendiri tanpa
hubungan antara yang satu dengan yang lain.
Hal seperti ini menegaskan “keterangan saksi satu saja,
sedang terdakwa memungkiri kejahatan yang dituduhkan
kepadanya dan keterangan saksi-saksi lainnya tidak memberi
petunjuk tehadap kejahatan yang dituduhkan, belum dapat
dianggap cukup membuktikan kesalahan “terdakwa”.Dalam
perkara ini ternyata ada beberapa orang saksi yang didengar
keterangannya di sidang pengadilan.Sekian banyak saksi tersebut,
hanya satu saksi yang dapat dinilai sebagai alat bukti, sedang saksi-
saksi selebihnya hanya bersifat keterangan yang berdiri sendiri
tanpa saling berhubungan.Sebagai alat bukti petunjuk saja pun
tidak mencukupi. Mahkamah Agung menilai keterangan saksi yang
banyak itu, sama sekali tidak dapat dinilai sebagai alat bukti.
Kemapuan dan keterampilan penyidik dibutuhkan untuk
mempersiapkan dan menyediakan saksi-saksi yang secara kualitatif
dapat memberikan keterangan yang saling berhubungan, bukan
hanya mengumpulkan saksi yang banyak, tapi hanya menyajikan
keterangan yang berdiri sendiri. Hal yang seperti inilah yang
diperingatkan oleh Pasal 185 ayat (4) yang menegaskan:
24
keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah
dengan syarat, apabila keterangan saksi itu “ada hubungannya”
satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat
membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu
(M.Yahya Harahap, 2012:289).
2) Keterangan Ahli
Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada
urutan kedua oleh Pasal 183 KUHAP ini berbeda dengan HIR
(Herzience Indonesich Reglement) dahulu yang tidak
mencantumkan keterangan ahli sebagai alat bukti. Ada beberapa
hal yang harus diperhatikan oleh keterangan ahli sebagai alat bukti
dalam persidangan adalah sebagai berikut:
a) Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli Mulai ketentuan Pasal
133 KUHAP dihubungkan dengan penjelasan Pasal 186 jenis
dan tata cara pemberian keterangan ahli sebagai alat bukti yang
sah dapat melalui prosedur sebagai berikut :
(1) Diminta dan diberikan ahli pada saat pemeriksaan
penyidikan, jadi, pada saat penyidikan demi untuk
kepentingan peradilan, penyidik meminta keterangan ahli,
permintaan itu dilakukan penyidik secara tertulis dengan
menyebut secara tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli itu
dilakukan. Misalnya, apakah untuk pemeriksaan luka atau
pemeriksaan mayat ataupun untuk pemeriksaan bedah
mayat dan sebagainya.
(2) Atas permintaan penyidik, ahli yang bersangkutan
membuat laporan, laporan itu bisa berupa surat keterangan
yang lazim disbut visum et repertum.
25
(3) Laporan atau visum et repertum itu dibuat oleh ahli yang
bersangkutan mengingat sumpah di waktu ahli menerima
jabatan atau pekerjaan (Andy Hamzah, 2012:272).
b) Keterangan Ahli Yang Diminta dan Diberikan di Sidang
(1) Apabila dianggap perlu dan dikehendaki baik oleh ketua
sidang karena jabatan, maupun atas permintaan penuntut
umum, terdakwa atau penasihat hukum, dapat menerima
pemeriksaan keterangan ahli dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan.
(2) Keterangan ahli menurut tata cara ini berbentuk
keterangan lisan dan secara langsung diberikan dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan.
(3) Bentuk keterangan lisan secara langsung dicatat dalam
berita acara pemeriksaan sidang pengadilan oleh panitera.
(4) Ahli yang memberi keterangan lebih dulu mengucapkan
sumpah atau janji sebelum memberi keterangan. Jadi
dalam tata cara dan bentuk keterangan ahli di sidang
pengadilan, tidak dapat diberikan hanya berdasar sumpah
atau janji pada waktu ia menerima jabatan atau pekerjaan,
tapi harus mengucapkan sumpah atau janji di sidang
pengadilan sebelum ia memberi keterangan. Dipenuhinya
tata cara dan bentuk keterangan yang demikian dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan, bentuk keterangan ahli
tersebut menjadi alat bukti yang sah menurut Undang-
Undang, dan sekaligus keterangan ahli yang seperti ini
mempunyai nilai kekuatan pembuktian (Andy Hamzah,
2012:273).
3) Alat Bukti Surat
Selain Pasal 184 yang menyebut alat-alat bukti maka
hanya ada satu Pasal saja dalam KUHAP yang mengatur tentang
alat bukti surat yaitu Pasal 187 yang terdiri atas 4 ayat :
26
(1) Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat
oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di
hadapannya, yang memuat tentang keterangan tentang
kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat, atau yang
dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan
tegas tentang keterangan itu.
(2) Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-
undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal
yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung
jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu
hal atau sesuatu keadaan.
(3) Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat
berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan
yang diminta secara resmi daripadanya.
(4) Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya
dengan isi dari alat pembuktian yang lain (Andy Hamzah,
2012:275).
4) Alat Bukti Petunjuk
Menurut Pasal 188 Ayat (1) KUHAP, petunjuk adalah
perbuatan, kejadian, atau keadaan yang karena persesuaiannya,
baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak
pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak
pidana dan siapa pelakunya.Pasal selanjutnya yaitu Pasal 188
ayat (2) KUHAP. Disebutkan bahwa petunjuk sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 188 Ayat (1) KUHAP hanya dapat
diperoleh dari keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa.
Hanya dari ketiga alat bukti itu bukti petunjuk dapat
diolah.Melalui ketiga sumber inilah persesuaian perbuatan,
kejadian, atau keadaan dapat dicari dan diwujudkan (Andy
Hamzah, 2012:277).
27
5) Keterangan Terdakwa
Menurut Pasal 189 KUHAP, keterangan terdakwa adalah
apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang ia
lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.Ada
beberapa asas penilaian terhadap keterangan Terdakwa yang
menentukan sah atau tidaknya keterangan terdakwa dijadikan
sebagai alat bukti,yaitu:
a) Tentang Perbuatan yang Dilakukan Terdakwa
Arti dari ketentuan ini adalah hakim jangan sampai keliru
memasukkan keterangan terdakwa yang berupa pernyataan
mengenai perbuatan yang dilakukan oleh orang lain.
Pernyataan perbuatan yang dapat dinilai sebagai alat bukti
ialah penjelasan tentang perbuatan yang dilakukan terdakwa
sendiri. Setiap pertanyaan yang bermaksud hendak
mengetahui apa saja yang diakukan terdakwa sehubungan
dengan tindak pidana yang sedang diperiksa, akan terarah di
sekitar perbuatan yang dilakukannya. Pertanyaan tidak akan
melenceng diluar tindakan atau perbuatan yang dilakukannya.
Tentu boleh saja menanyakan perbuatan yang dilakukan oleh
orang lain, asal ada kaitan langsung dengan perbuatan yang
dilakukan terdakwa sendiri (Andy Hamzah, 2012:278).
b) Tentang Apa yang Diketahui Sendiri Oleh Terdakwa
Undang-Undang membuat garis pembatasan antara yang
diketahui terdakwa sehubungan dengan peristiwa pidana
dengan pengetahuan yang bersifat pendapat sendiri.Ketentuan
ini mengenai yang diketahui sendiri oleh terdakwa, bukan
pengetahuan yang bersifat “pendapat maupun rekaan” yang
terdakwa peroleh dari hasil pemikiran. Arti yang terdakwa
ketahui sendiri tiada lain daripada pengetahuan sehubungan
dengan peristiwa pidana yang didakwakan kepadanya. Bukan
28
pendapat atau rekaan terhadap peristiwa pidana tersebut, tetapi
semata- mata pengetahuan langsung yang timbul dari peristiwa
tindak pidana itu.Corak dan arah pertanyaan yang diajukan
kepada terdakwa harus berkisar dan bertitik tolak tentang
hubungan pengetahuannya dengan tindak pidana yang
diperiksa.Keterangan atau pernyataan yang berupa pendapat
atau rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran terakwa adalah
keterangan yang tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti
keterangan terdakwa (M. Yahya Harahap, 2012:320).
c) Tentang Apa Yang Dialami Sendiri Oleh Terdakwa
Mengenai hal ini pun pernyataan terdakwa tentang apa yang
dialami baru dianggap mempunyai nilai sebagai alat bukti jika
pernyataan pengalaman itu mengenai pengalamannya sendiri.
Apa yang terdakwa alami sendiri harus berupa pengalaman
yang langsung berhubungan dengan peristiwa pidana yang
bersangkutan, mengenai hal-hal yang dialami sendiri oleh
terdakwa pada saat terjadi peristiwa pidana. Hal lain diluar
pengalaman yang seperti ini, tidak dapat dinilai sebagai alat
bukti keterangan terdakwa.
d) Keterangan Terdakwa Hanya Merupakan Alat Bukti Terhadap
Dirinya Sendiri.
Menurut asas ini, apa yang diterangkan seseorang dalam
persidangan dalam kedudukannya sebagai terdakwa, hanya
dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri.
Jika dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang,
masing-masing keterangan setiap terdakwa hanya merupakan
alat bukti yang mengikat kepada dirinya sendiri. Keterangan
terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap terdakwa B,
demikian sebaliknya (M. Yahya Harahap, 2012:321).
29
e) Keterangan Terdakwa Saja Tidak Cukup Membuktikan
Kesalahannya.
Asas ini ditegaskan dalam Pasal 189 ayat (4)KUHAP yaitu
keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan
kepadanya melainkan harus disertai dengan alat bukti yang
lain. Pada hakikatnya asas ini hanya merupakan penegasan
kembali prinsip batas minimum pembuktian yang diatur dalam
Pasal 183 KUHAP.Sedikitpun tidak ada perbedaan penegasan
Pasal 189 ayat (4)KUHAP dengan prinsip batas minimum
pembuktian yang diatur Pasal 183 KUHAP.Pasal 183 KUHAP
telah menentukan asas pembuktian bahwa untuk menjatuhkan
hukuman pidana terhadap seorang terdakwa, kesalahannya
harus dapat dibuktikan dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah. Asas batas minimum pembuktian ini tidak
berbeda dengan apa yang ditentukan pada Pasal 189 ayat (4)
KUHAP, yang menegaskan bahwa keterangan terdakwa saja
tidak cukup membuktikan kesalahannya tapi harus disertai atau
didukung dengan alat bukti yang lain (M. Yahya Harahap,
2012:321).
f) Keterangan Terdakwa Diluar Sidang (The Confession Outside
The Court)
Salah satu asas penilaian yang menentukan sah atau
tidaknya keterangan terdakwa sebagai alat bukti, keterangan itu
harus terdakwa buktikan di sidang pengadilan. Asas ini
menjelaskan bahwa keterangan terdakwa yang dinyatakan
diluar sidang pengadilan sama sekali tidak mempunyai nilai
sebagai alat bukti yang sah.
Keterangan terdakwa yang diberikan diluar sidang dapat
dipergunakan untuk membantu menemukan alat bukti di sidang
pengadilan.Syarat keterangan diluar sidang harus didukung
30
oleh suatu alat bukti yang sah, dan keterangan yang dinyatakan
di luar sidang sepanjang hal yang didakwakan
kepadanya.Berdasarkan ketentuan ini, keterangan terdakwa
yang dinyatakan diluar sidang tidak dapat dinilai sebagai alat
bukti, oleh karena itu, tidak dapat dipergunakan sebagai alat
bukti.Keterangan terdakwa tidak dapat dipergunakan sebagai
alat bukti, tetapi dapat dipergunakan membantu menemukan
bukti di sidang pengadilan.Keterangan terdakwa dapat
digunakan menemukan bukti harus didukung oleh suatu alat
bukti yang ada hubungannya mengenai hal yang didakwakan
kepadanya.Keterangan diluar sidang tidak didukung oleh salah
satu alat bukti yang sah, keterangan itu tidak dapat
dipergunakan berfungsi sebagai alat pembantu menemukan
bukti di sidang (M. Yahya Harahap, 2012:323).
g) Kekuatan Pembuktian Keterangan Terdakwa
Sifat nilai kekuatan pembuktian adalah bebas dan hakim
tidak terikat pada nilai kekuatan yang terdapat pada alat bukti
keterangan terdakwa.Hakim bebas untuk menilai kebenaran
yang terkandung di dalamnya.Hakim dapat menerima atau
menyingkirkannya sebagai alat bukti dengan jalan
mengemukakan alasan-alasannya.Apabila terdapat penolakan,
hendaknya mengajukan alasan yang berargumentasi
proporsional dan akomodatif. Demikian juga sebaliknya,
seandainya hakim hendak menjadikan alat bukti keterangan
terdakwa sebagai salah satu landasan pembuktian kesalahan
terdakwa, harus dilengkapi dengan alasan yang argumentatif
dengan menghubungkannya dengan alat bukti yang lain (M.
Yahya Harahap, 2012:331).
31
2. Asas Persidangan dan Pertimbangan Hakim
a. Asas Persidangan
Ada beberapa asas hukum yang berlaku dalam praktek atau
proses persidangan, antara lain:
1. Peradilan sederhana,cepat, dan biaya ringan.
2. Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum Pasal 153 ayat (3)
dan(4)KUHAP: untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua
sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum
kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya
anak-anak.
3. Praduga tak bersalah (presemuption of innocence): setiap orang
yangdisangka, ditangkap, ditahan, dituntut, atau dihadapkan di
muka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai
adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.
4. Asas Opurtunitas: asas hukum yang memberikan wewenang
kepada Penuntut Umum untuk menuntut atau tidak menuntut
dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah
mewujudkan delik demi kepentingan umum.
5. Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannya dan tetap.
6. Asas akusator dan inkisitor.
7. Tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan hukum.
8. Pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan.
9. Semua orang diperlakukan sama di depan hakim.
b. Pengertian Pertimbangan Hakim
Seorang hakim dalam menjatuhkan putusan akan
mempertimbangkan hal-hal yang bersifat yuridis dan non yuridis, yaitu:
1) Pertimbangan Yuridis
Pertimbangan hakim atau Ratio Decidendi adalah argument
atau alasan yang dipakai oleh hakim sebagai pertimbangan hukum
32
yang menjadi dasar sebelum memutus perkara. Dalam praktik
sebelum pertimbangan yuridis ini dibuktikan, maka hakim terlebih
dahulu akan menarik fakta-fakta dalam persidangan yang timbul
dan merupakan konklusi komulatif dari keterangan para saksi,
keterangan terdakwa, dan barang bukti. Lilik Mulyadi (2007:193)
mengemukakan bahwa: ”Hakikat pada pertimbangan yuridis hakim
merupakan pembuktian unsur-unsur dari suatu delik, apakah
perbuatan terdakwa tersebut memenuhi dan sesuai dengan delik
yang didakwakan oleh Penuntut Umum/dictum putusan hakim”.
2) Pertimbangan yang Bersifat Non Yuridis
Selain mempertimbangkan yang bersifat yuridis, hakim
dalam menjatuhkan putusan membuat pertimbangan yang bersifat
non yuridis.Pertimbangan non yuridis yang bertitik tolak pada
dampak yang merugikan dan merusak tatanan dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Pertimbangan yang bersifat non
yuridis yaitu:
a) Kondisi diri terdakwa, Terdakwa dapat mempertanggung
jawabkan perbuatannya dalam arti sudah dewasa dan sadar
(tidak gila).
b) Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana, Setiap
perbuatan tindak pidana mengandung bahwa perbuatan tersebut
mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan
hukum.
3. Kasasi
a. Pengertian Kasasi
Kasasi merupakan salah satu upaya yanakan ketentua hukum
biasa dan merupakan hak asasi yang diberikan peraturan perundang-
undangan dalam mencari keadilan. Kasasi berasal dari kata “cassation”
dengan kata kerja “casser” yang artinya membatalkan atau
memecahkan. Pemeriksaan perkara pidana oleh Mahkamah Agung
33
pada peradilan kasasi, mempergunakan ketentuan yang diatur dalam
KUHAP. Kasasi merupakan upaya hukum yang diberikan kepada
terdakwa dan jaksa penuntut umum bila berkeberatan terhadap putusan
pengadilan yang diberikan kepadanya (Rusli Muhammad, 2007:26).
Upaya hukum kasasi merupakan upaya hukum biasa yang
dapat diajukan oleh salah satu pihak atau kedua belah pihak yang
berpekara, karena belum puas terhadap putusan Pengadilan Tinggi.
Berdasarkan Undang_undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang
Mahkamah Agung yang menggantikan Undang-undang nomor 14
Tahun 1985, mengartikan kasasi sebagai pembatalan putusan atau
penetapan pengadilan tingkat banding atau tingkat terakhir karena
tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam Pasal 244 KUHAP dijelaskan bahwa “terhadap putusan perkara
pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain
daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat
mengajukan permohonan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah
Agung kecuali terhadap putusan bebas”.
Menurut Pasal 20 ayat (2)huruf aUndang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakimantelah menegaskan
Mahkamah Agung merupakan peradilan tingkat terakhir (kasasi) bagi
semua lingkungan peradilan, atau dengan kata lain, Mahkamah Agung
adalah peradilan kasasi bagi semua lingkungan peradilan yang berada
di bawah Mahkamah Agung (M. Yahya Harahap, 2012:535).
b. Tujuan Upaya Hukum Kasasi
Tujuan adanya upaya hukum kasasi ini adalah mengoreksi
adanya kesalahan terhadap putusan pengadilan tingkat banding yang
bertentangan dengan Undang-undang dan mengadili perkara dalam hal
penerapan hukumnya. Kewenangan mili perkara yang tidak meliputi
seluruh perkara disesuaikan dengan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang
34
Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yaitu :
1) Memeriksa dan memutus tentang tidak berwenang atau
melampaui batas wewenang pengadilan tingkat banding dalam
memeriksa dan memutus suatu perkara.
2) Memeriksa dan mengadili kesalahan penerapan atas pelanggaran
hukum yang dilakukan pengadilan yang ada dibawah dengan
memeriksa dan memutus perkara.
3) Memeriksa dan mengadili kelalaian tentang syarat-syarat yang
wajib dipenuhi menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan
yang bersangkutan.
c. Alasan Pengajuan Kasasi
Alasan pengajuan kasasi ditentukan secara “limitatif” dalam
Pasal 253 ayat (1).Pemeriksaan kasasi dilakukan oleh Mahkamah
Agung berpedoman kepada alasan-alasan tersebut. Permohonan
kasasi harus mendasar pada keberatan-keberatan kasasi bertitik tolak
dari alasan yang disebutkan Pasal 253 ayat (1), yang harus diutarakan
dalam memori kasasi ialah keberatan atas putusan yang dijatuhkan
pengadilan kepadanya, karena isi putusan itu mengandung kekeliruan
atau kesalahan yang tidak dibenarkan oleh Pasal 253 ayat (1). Alasan
kasasi yang dapat dibenarkan Pasal 253 ayat (1) yaitu adalah :
a) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau
diterapkan tidak sebagaimana mestinya
b) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut
ketentuan undang-undangnar pengadilan telah melampaui batas
wewenangnya.
c) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya.
Selain ketiga alasan ini, keberatan kasasi ditolak karena tidak
dibenarkan undang-undang. Penentuan alasan kasasi yang limitatif
35
dengan sendirinya serta sekaligus “membatasi” wewenang Mahkamah
Agung memasuki pemeriksaan perkara dalam tingkat kasasi, terbatas
hanya meliputi kekeliruan pengadilan atas ketiga hal tersebut (M.
Yahya Harahap, 2012 :565).
Pemohon Kasasi tidak dapat menggunakan alasan-alasan lain
selain dari yang telah ditetapkan oleh undang-undang, atau dengan
kata lain, bahwa bila hendak mengajukan kasasi, pemohon kasasi
harus menggunakan alasan-alasan kasasi yang telah ditentukan
undang-undang ( Harun M. Husein, 1992 :74).
d. Tata Cara Pengajuan Kasasi
Seringkali dijumpai pengajuan kasasi ditolak atau putusan
kasasi terlambat diajukan dan melampui tenggang waktu yang
ditentukan Pasal 245 ayat (1), atau juga permohonan kasasi diajukan
tidak dibarengi dengan memori kasasi atau memori kasasi terlambat
diajukan ke panitera. Semua hal itu merugikan bagi pemohon kasasi
(Andi Hamzah dan Irdan Dahlan, 1987:207). Oleh karena itu perlu
diketahui dan difahami tata cara pengajuan kasasi, sesuai dengan
Pasal 248 ayat (1), sebagai berikut :
1) Permohonan diajukan kepada Panitera
Pasal 248 ayat (1) menegaskan, bahwa permohonan kasasi
disampaikan oleh pemohon kepada panitera pengadilan yang
memutus perkaranya dalam tingkat pertama, dalam waktu 14 hari
sesudah putusan pengadilan yang dimintakan kasasi itu
diberitahukan kepada Terdakwa.Jika pemohon kasasi berada di
luar tahanan, maka sebaiknya datang sendiri (dengan pengacara)
untuk langsung mengajukan permohonan kasasi dan
menandatangani akta permohonan kasasi.Jika pemohon berada
dalam tahanan, pemohon dapat datang sendiri dengan diantar atau