-
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Tinjauan Pustaka
Penelitian ini adalah penelitian yang berangkat dari
keingintahuan mengenai
nilai signifikansi cagar budaya Hotel Inna Bali dalam memenuhi
kriteria cagar
budaya yang disebutkan dalam Undang - Undang RI No. 11 Tahun
2010 Tentang
Cagar Budaya yakni : berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih,
mewakili masa
gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh) tahun, memiliki arti
khusus bagi
sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau
kebudayaan, dan
memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa. Melalui
kajian nilai
signifikansi ini diharapkan dapat dipetik nilai-nilai luhur yang
terkandung di
dalamnya guna dijadikan pedoman bagi masyarakat masa kini.
Dijelaskan pula dalam Bab I mengenai sejarah awal mula
kedatangan
Belanda di Bali hingga bagaimana Belanda mengusai Bali sejak
memenangkan
perang Puputan Badung pada 1906 dan perang Puputan Klungkung
pada 1908.
Dimana setelahnya pemerintah kolonial Belanda mengintervensi
sistem
pemerintahan raja-raja di Bali dengan modernisasi lewat
pembangunan
perekonomian dan infrastruktur yang semata-mata dibuat untuk
kepentingan
Belanda. Hotel Inna Bali adalah salah satu peninggalan jejak
penjajahan di Bali
yang kini masih tersisa, namun sayangnya belum ada kajian yang
mendukung
-
9
posisi Hotel Inna Bali sebagai bangunan cagar budaya yang patut
dijaga dan
dilestarikan keberadaannya.
Beberapa penelitian yang memiliki keterkaitan terhadap kajian
nilai
signifikansi dalam rangka konservasi pernah dilakukan
diantaranya oleh
Mahastuti (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Konservasi
Pura Maospahit
Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka Budaya Identifikasi
Signifikansi dan
Aplikasinya”. Dalam penelitian tersebut berangkat dari latar
belakang bahwa
kurangnya perhatian pemerintah pada Pura Maospahit yang telah
ditetapkan
sebagai cagar budaya. Secara umum bentuk
areal Pura Maospahit adalah
persegi panjang yang memanjang dari
Timur-‐Barat. Berdasarkan kegiatan
menginventarisir nilai signifikansi Pura Maospahit dalam usaha
pelestarian serta
pengelolaan yang pernah dan telah dilakukan sebelumnya oleh
pemerintah dan
masyarakat telah diketahui bahwa pendirian Pura Maospahit
diawali dengan
pembuatan arca batu sebanyak 33 buah oleh Kebo Iwa pada tahun
caka 1185
(Tahun 1263) yang selanjutnya dikembangkan pada tahun caka 1197
(Tahun
1275) dengan memberi nama Dalem Maya pada pura tersebut dan
akhirnya
selesai dibangun pada tahun caka 1198 (Tahun 1276). Hal unik di
Bale Kembar
pada saat piodalan ada ritual pemisahan bagi kaum wanita dan
pria pada saat
melakukan persembahyangan. Periode perbaikan terhadap pura ini
dimulai dari
rentang waktu 195 - 2010, namun periode tersebut bukanlah
periode yang konstan
dalam pelaksanaannya, karena pada kenyataannya pekerjaan
penataan pura ini
dikerjaan secara bertahap dan tidak semua mendapat perbaikan
yang sama. Untuk
pemeliharaan sehari-hari pada pura secara tradisional ini
dilakukan langsung oleh
-
10
pengempon pura. Berdasarkan pengamatan terhadap kondisi pura,
metode dan
teknik konservasi pada pura ini adalah metode dan teknik
konservasi untuk yang
bersifat ragawi (fisik) dan tak ragawi (non fisik).
Selain itu masih mengenai konservasi yang berangkat dari kajian
signifikansi,
Subagio (2007) melalui penelitiannya yang berjudul “Penilaian
Monumen Hidup
Pabrik Gula Gedong Baru Sebagai Cagar Budaya.” Penelitian ini
dilatar belakangi
oleh keberadaan Pabrik Gula Gondang Baru di Surakarta, Jawa
Tengah yang
berdiri pada tahun 1860. Dimana di dalam kompleks Pabrik Gula
Gondang Baru
ini masih terdapat bangunan pabrik, kantor pabrik, perumahan
administrasi, dan
perumahan kongsi. Selain bangunan-bangunan tersebut, pabrik gula
ini masih
memiliki mesin-mesin yag kuat pada abad ke-19 dan awal abad
ke-20. Dengan
nilai sejarah, usia, dan keunikan yang dimiliki Pabrik Gula
Gondang Baru maka
dilakukan kajian nilai signifikansi sebagai langkah penilaiannya
sebagai cagar
budaya. Berdasarkan kajian yang telah dilakukan dapat
disimpulkan Pabrik Gula
Gondang Baru memiliki nilai signifikan sebagai benda cagar
budaya dan layak
untuk dilestarikan dan dimanfaatkan. Oleh karena itu, dalam
upaya
pengembangan Pabrik Gula Gondang Baru sebagai situs yang kaya
tinggalan
arkeologinya, sudah sepatutnya untuk dibuat peraturan daerah
yang mendukung
kekuatan hukum sebagai benda cagar budaya.
Penelitian lainnya yang masih berhubungan dengan identifikasi
fisik
bangunan dalam rangka pengkajian nilai signifikansi budaya pada
suatu bangunan
bersejarah antara lain dilakukan oleh Almadani dan Gunawan
(2013) dalam
penelitiannya yang berjudul “Identifikasi Bangunan Cagar Budaya
Bangunan
-
11
Kuning Agung, Senghie, Pontianak.” Penilitian ini
dilatarbelakangi oleh
keberadaan bangunan tempat berkumpulnya marga Than Seng Hie atau
dalam
bahasa mandarin disebut dengan Huang, yakni pengusaha besar
ternama yang
berasal dari Cina pada masa pertumbuhan perdagangan di Kota
Pontianak.
Bangunan ini dipandang perlu dipertahankan sebagai bangunan
dengan nilai
historis dalam kawasan Seng Hie yang berkembang pesat sebagai
kawasan
perdagangan di Pontianak. Perlu adanya upaya atau tindakan pada
Bangunan
Kuning Agung Berupa suatu upaya bentuk pelestarian bangunan yang
memiliki
nilai historis di Kota Pontianak. Berdasarkan analisis Bangunan
Kuning Agung
secara fisik dapat dibagi 2 zona, yaitu zona depan dan zona
belakang. Bagian zona
depan dapat direkomendasikan sebagai cagar budaya berdasarkan
penilaian umum
karena sudah berdiri sejak tahun 1928. Zona ini meliputi area
dari depan teras
hingga altar. Sedangkan bagian belakang baru didirikan pada
tahun 1980-an,
sehingga tidak termasuk dalam kategori cagar budaya.
Dari ketiga penelitian di atas, pada umumnya memiliki persamaan
dalam latar
belakang penelitian, yakni berangkat dari kondisi bangunan
bersejarah yang
belum mendapat perhatian dan perlindungan dari negara sesuai
dengan undang-
undang. Sehubungan dengan hal tersebut, ketiganya pula
menggunakan metode
penelitian kualitatif dalam rangka melakukan kajian untuk
mengungkapkan nilai-
nilai yang dimiliki bangunan bersejarah sebagai upaya
memperjuangkan hak-hak
bangunan tersebut sebagai bangunan cagar budaya. Hubungan ketiga
penelitian di
atas dengan penelitian ini diringkas dalam Tabel 2.1.
-
12
Tabel 2.1.
Ringkasan tinjauan pustaka
No
Nama Peneliti
Judul Penelitian
Metode
Hasil
Kontribusi Terhadap Penelitian
Yang Diambil
1 Ni Made Mitha Mahastuti
Konservasi Pura Maospahit Denpasar Menuju Pelestarian Pusaka
Budaya Identifikasi dan Aplikasinya
Kualitatif Penjelasan mengenai kondisi umum, nilai signifikan,
dan usaha konservasi yang dapat diterapkan pada Pura Maospahit.
Kemiripan dalam kerangka berpikir dan konsep.
2 Didit Dwi Subagio
Penilaian Monumen Hidup Pabrik Gula Gendong Baru Sebagai Cagar
Budaya
Kualitatif Penjelasan mengenai nilai signifikansi Pabrik Gula
Gendong Baru dan pentingnya dukungan pemerintah terhadap keberadaan
Pabrik Gula Gendong Baru dengan cara menetapkannya sebagai cagar
budaya.
Kemiripan dalam kerangka berpikir dan konsep.
3 M. Ridha Almadani dan Ivan Gunawan
Identifikasi Bangunan Cagar Budaya Bangunan Kuning Agung,
Senghie, Pontianak
Kualitatif Penjelasan mengenai identifikasi elemen bangunan
secara detail yakni kolom, atap, dinding, lantai, plafond, pintu,
jendela, ventilasi serta furnitur.
Kemiripan dalam metode.
-
13
2.2 Kerangka Berpikir dan Konsep
2.2.1 Kerangka berpikir
Diagram 2.1
Kerangka berpikir
ANALISIS
RESEARCH PROBLEM
LATAR BELAKANG
RUMUSAN MASALAH
TUJUAN
STUDI AWAL dan SURVEY LAPANGAN
ASPEK ESTETIKA
ASPEK SEJARAH
ASPEK SOSIAL
ASPEK ILMU
PENGETAHUAN
STUDI PUSTAKA
STUDI LAPANGAN
SUBSTANSI ASPEK ESTETIKA, SEJARAH, SOSIAL, DAN ILMU PENGETAHUAN
HOTEL INNA BALI JALAN VETERAN
NILAI SIGNIFIKANSI CAGAR BUDAYA HOTEL INNA BALI JALAN VETERAN
DENPASAR
ANALISIS
-
14
2.2.2 Konsep
Konsep secara garis besar menjadi wadah untuk menyatukan
persepsi
mengenai istilah atau pun hal-hal terkait lainnya yang digunakan
dalam penelitian.
Konsep pada penelitian ini akan memaparkan : (1) Nilai
signifikansi dan (2) cagar
budaya.
2.2.2.1 Nilai signifikansi
Signifikansi budaya artinya nilai-nilai estetika, historis,
ilmiah, sosial atau
spiritual untuk generasi dahulu, kini atau masa datang.
Signifikansi budaya
tersirat dalam tempat itu sendiri, bahan-bahannya, tata
letaknya, fungsinya,
asosiasinya, maknanya, rekamannya, tempat-tempat terkait dan
objek-objek
terkait. Signifikansi budaya dapat berubah sebagai akibat dari
kontiunitas sejarah
sebuah tempat. Pengertian signifikansi budaya dapat berubah
sesuai dengan
informasi baru Tempat-tempat bersignifikansi budaya harus
dilindungi dan tidak
dibiarkan terlantar atau ditinggalkan dalam kondisi yang
mengkhawatirkan
(Piagarm Burra, 1999:1). Definisi dari nilai-nilai signifikansi
budaya dijelaskan
dalam Guidelines to the Burra Charter (Australia ICOMOS Inc,
1988:12) sebagai
berikut :
a. Nilai estetika
Mencangkup aspek-aspek persepsi sensorik dari bentuk, skala,
tekstur,
warna, kualitas material dan gaya seni yang berasosiasi dengan
lokasi dan
penggunaannya.
-
15
b. Nilai sejarah
Meliputi sejarah, dan kemasyarakatan yang mendasari sebagian
besar
konsepsi signifikansi cagar budaya. Misalnya suatu tempat
memiliki nilai
historis karena telah dipengaruhi oleh tokoh bersejarah,
peristiwa, atau fase.
c. Nilai ilmu pengetahuan
Nilai ilmiah akan tergantung pada pentingnya data yang
terlibat,
kelangkaannya, kualitas, dan sejauh mana tempat dapat
berkontribusi dalam
memberikan informasi substansial lebih lanjut.
d. Nilai sosial atau spiritual
Nilai sosial mencakup kualitas suatu tempat atau lokasi yang
menjadi
fokus/pusat kegiatan spiritual, politik, nasional atau kegiatan
budaya
sentimental lainnya untuk kelompok mayoritas atau minoritas.
Dalam Guidelines for Completing National Register of Historical
Places
Forms (U.S. Department of the Interior National Park Service
Cultural Resources,
1977:3) menyebutkan 4 (empat) aspek signifikansi yang wajib
ditemukan dalam
pemenuhan kriteria bangunan bersejarah, antara lain :
a. Berasosiasi dengan peristiwa sejarah/aktifitas sejarah
b. Berasosiasi dengan pelaku sejarah
c. Mempunyai keunikan dalam desain fisik
d. Berpotensi untuk membuktikan informasi penting baik tentang
prasejarah
maupun sejarah
Suatu lokasi/tempat/benda harus memenuhi setidaknya salah satu
dari empat
kriteria yang disebutkan di atas. Integritas juga harus
dibuktikan melalui
-
16
pemaparan kualitas sejarah termasuk di dalamnya lokasi, desain,
pengaturan,
bahan, pengerjaan, perasaan, dan asosiasi yang terjadi. Umumnya
kriteria usia
lima puluh tahun atau lebih pada tempat bersejarah juga harus
signifikan ketika
dievaluasi dalam hubungannya terhadap trend sejarah utama di
masyarakat,
negara, atau bangsa. Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan
nilai
signifikansi adalah :
a. Nilai estetika adalah nilai yang mencangkup aspek-aspek
sensorik dan visual
yang terasosiasi dalam bentuk, tekstur, warna, material, dan
gaya seni.
b. Nilai sejarah adalah nilai yang melekat pada suatu
lokasi/benda karena
keterkaitannya terhadap peristiwa/aktifitas sejarah dan/atau
pelaku sejarah.
c. Nilai sosial adalah nilai yang melekat pada lokasi/benda
berdasarkan
manfaatnya bagi kegiatan masyarakat di sekitarnya, seperti
kegiatan spiritual
dan/atau dan budaya.
d. Nilai ilmu pengetahuan adalah nilai yang keberadaannya
tergantung pada
kualitas data yang terlibat sehingga tempat/benda dapat
berkontribusi dalam
memberikan informasi dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
2.2.2.2 Cagar budaya
Cagar budaya dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan
bahwa
cagar budaya adalah daerah yang kelestarian hidup masyarakat
dan
perikehidupannya dilindungi oleh undang-undang dari bahaya
kepunahan.
Cagar budaya di Indonesia diatur dalam Undang-Undang
Republik
Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Dalam
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 menyebutkan definisi
cagar budaya
-
17
adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa benda cagar
budaya, bangunan
cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya, dan
kawasan cagar
budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan
keberadaannya karena
memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Disebutkan pula
dalam Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar
Budaya
kriteria dari cagar budaya adalah :
1. Berusia 50 (lima puluh) tahun atau lebih.
2. Mewakili masa gaya paling singkat berusia 50 (lima puluh)
tahun.
3. Memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan,
pendidikan, agama,
dan/atau kebudayaan.
4. Memiliki nilai budaya bagi penguatan kepribadian bangsa.
Dapat disimpulkan bahwa cagar budaya adalah suatu daerah yang
dapat
berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan yang
kelestariannya
dilindungi oleh undang-undang karena memiliki nilai penting bagi
sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan yang ada di
Indonesia
yang ditetapkan dengan suatu penetapan. Dalam penelitian ini
cagar budaya
adalah suatu lokasi yang memenuhi kriteria cagar budaya menurut
Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 yang keberadaannya
perlu
dilestarikan karena kriteria-kriteria tersebut memiliki nilai
penting bagi sejarah,
ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan yang
ada di
Indonesia.
-
18
2.3 Landasan Teori
Landasan teori memuat teori-teori yang dipandang relevan
untuk
menganalisis persoalan yang ada dengan pustaka teoritik yang
ada. Landasan teori
merupakan point penting untuk mendalami dan memahami topik
penelitian lebih
dalam.
2.3.1 Konservasi
Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
menyebutkan pelestarian adalah upaya dinamis untuk
mempertahankan
keberadaan Cagar Budaya dan nilainya dengan cara melindungi,
mengembangkan, dan memanfaatkannya. Dalam Piagam ICOMOS New
Zealand
(2010) menyebutkan bahwa konservasi adalah semua proses
pemahaman dan
merawat tempat untuk menjaga nilai warisan budayanya. Konservasi
didasarkan
pada penghormatan terhadap bahan, asosiasi, makna, dan
penggunaan tempat.
Dimana membutuhkan pendekatan dengan hati-hati dan melakukan
pekerjaan
yang diperlukan serta mempertahankan keaslian dan integritasnya
untuk
memastikan bahwa tempat dan nilai-nilainya dapat diwariskan
kepada generasi
mendatang.
Piagam Burra (1999) menyebutkan bahwa konservasi adalah seluruh
proses
pemeliharaan sebuah tempat untuk mempertahankan signifikansi
budayanya.
Signifikansi budaya tersirat dalam tempat itu sendiri,
bahan-bahannya, tata
letaknya, fungsinya, asosiasinya, maknanya, rekamannya,
tempat-tempat terkait,
dan objek-objek terkait. Di dalamnya termasuk pemeliharaan dan
perbaikan.
-
19
Widyati (1998) dalam Salain (2003) menyebutkan bahwa konservasi
adalah
pemugaran yang ditujukan pada suatu tindak lanjut atau langkah
konkrit dari
usaha pelestarian, yaitu berupa revitalisasi kawasan, perbaikan,
restorasi atau
revitalisasi bangunan. Prinsip-prinsip konservasi dan
pengelolaanya disebutkan
sebagai berikut :
a. Tempat-tempat bersignifikansi budaya harus dilestarikan.
b. Tujuan dari konservasi adalah untuk mempertahankan
signifikansi budaya di
sebuah tempat.
c. Konservasi adalah bagian dari integral pengelolaan yang baik
bagi tempat-
tempat bersignifikansi budaya.
d. Tempat-tempat bersignifikansi budaya harus dilindungi dan
tidak dibiarkan
terlantar atau ditinggalkan dalam kondisi yang
mengkhawatirkan.
Feilden (1994) menyebutkan bahwa konservasi adalah aksi yang
diambil atau
dilakukan untuk mencegah kerusakan. Usaha konservasi ditujukan
untuk
memelihara dan jika memungkinkan meningkatkan pesan dan nilai
dari warisan
kebudayaan. Semua nilai secara sistematis membantu menempatkan
keseluruhan
prioritas di dalam menentukan tujuan intervensi seperti
menetapkan kelanjutan
dan perawatan. Jadi selain berupaya perlindungan, pencegahan
atau mengurangi
supaya tidak rusak atau lapuk. Kegiatan konservasi juga termasuk
berbagai upaya
lain untuk menjaga keberadaannya guna mempertahankan makna
sejarah dan
budaya yang dikandungnya agar dapat terpelihara dengan baik.
Nilai-nilai yang terkandung dalam properti kebudayaan secara
garis besar
dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu:
-
20
1. Nilai – nilai emosional (emotional values), terdiri dari :
(a) kekaguman, (b)
identitas, (c) kelangkaan, serta (e) spiritual dan simbolis.
2. Nilai – nilai budaya (cultural values), terdiri dari : (a)
dokumenter, (b)
sejarah, (c) arkeologi, umur, dan kelangkaan, (d) estetis dan
simbolis, (e)
arsitektural, (f) wajah perkotaan, lansekap, dan ekologi, (g)
teknologi dan
keilmuan.
3. Nilai – nilai kegunaan (use values), terdiri dari : (a)
fungsional, (b) ekonomis,
(c) sosial, (d) politik dan etnis.
Menganalisa keseluruhan nilai seharusnya disingkat kedalam
sebuah
statement tentang signifikansi dari properti kebudayaan
tersebut. Dalam
pelestarian arsitektur, permasalahan sering muncul karena
penggunaan dari
bangunan bersejarah yang mana secara ekonomis dan fungsional
dibutuhkan,
harus juga sesuai dengan nilai budaya yang ada.
Sedangkan dalam ICOMOS New Zealand Charter (2010) tujuan
dari
konservasi adalah untuk merawat tempat nilai warisan budaya.
Secara umum,
tempat-tempat yang dimaksud seperti:
1. Memiliki nilai abadi dan dapat dihargai.
2. Dapat memberi informasi tentang masa lalu dan budaya
orang-orang yang
hidup di dalamnya.
3. Memberikan bukti nyata dari kontinuitas antara masa lalu,
sekarang, dan
masa depan.
4. Mendukung dan memperkuat identitas masyarakat dan hubungan
tanah
leluhur.
-
21
5. Memberikan ukuran dikompensasi dengan indikator yang dapat
dibandingkan
saat ini.
Tujuan konservasi untuk mempertahankan dan mengungkapkan
nilai-nilai
tersebut dan untuk mendukung makna yang sedang berlangsung dari
fungsi
tempat nilai warisan budaya demi kepentingan generasi sekarang
dan mendatang.
Konservasi sebuah tempat harus didasarkan pada pemahaman dan
apresiasi
terhadap semua aspek nilai warisan budaya, baik yang berwujud
maupun tidak
berwujud. Semua bentuk pengetahuan dan sarana yang tersedia
digunakan untuk
memahami tempat dan nilai warisan budaya. Nilai warisan budaya
harus dipahami
melalui konsultasi pada orang-orang yang berkompeten, dokumenter
yang
sistematis, penelitian lisan, investigasi fisik dan pencatatan
tempat, serta metode
lain yang relevan. Semua nilai-nilai warisan budaya yang relevan
harus diakui,
dihormati, termasuk nilai-nilai yang berbeda. Kebijakan untuk
mengelola semua
aspek tempat, termasuk konservasi dan penggunaannya, dan
implementasi
kebijakan, harus didasarkan pada pemahaman tentang nilai warisan
budaya.
Konservasi harus tunduk pada penilaian sebelum didokumentasikan
dan
perencanaan. Semua pekerjaan konservasi harus didasarkan pada
rencana
konservasi yang mengidentifikasi warisan budaya nilai dan
signifikansi warisan
budaya, lokasi, kebijakan konservasi, dan sejauh mana karya
direkomendasikan.
Rencana konservasi harus memberikan prioritas tertinggi pada
keaslian dan
integritas tempat.
-
22
2.3.2 Dasar-dasar pertimbangan konservasi
Dasar-dasar pertimbangan dalam konservasi digunakan sebagai
dasar dalam
penyusunan kriteria dalam penilaian kelayakan dan/atau kelayakan
suatu objek
sebagai peninggalan yang harus dilestarikan. Sisi keaslian yang
merupakan
merupakan prinsip utama dalam upaya perlindungan dan
pelestarian, dimengerti
sebagai ukuran kebenaran dari kesatuan internal dari proses
kreatif dengan
realistik fisik dan karya, dan pengaruh dari keberadaan
sepanjang masa sejarah.
Proses kreatif sendiri dalam arsitektur terkait dengan gaya yang
secara umum
menyatakan perbedaan cara atau sikap yang terdapat dalam
bangunan atau
rancangan. Gaya dapat terlihat dari detail, bahan, atau bentuk
tertentu. Dan
keterkaitannya dengan sejarah adalah gaya menyimpulkan suatu
konsep dari
semua elemen perancangan konstruksi dan estetika dan mewakili
satu kurun
waktu tertentu. Sementara perubahan yang dilakukan dianggap
sebagai
konsekuensi dari upaya memberi interpretasi baru pada bangunan
dan akan
menjadi bagian dari lapisan sejarah pada bangunan tersebut
(Sholeha, 2004 : 10).
Perubahan yang dilakukan dharapkan tidak mengubah ataupun
merusak
karakter asli bangunan. Pengertian karakter secara umum yaitu
bagian dari suatu
objek atau ciri-ciri suatu objek yang menjadi pembeda dari objek
lainnya.
Karakter dapat memberikan deskripsi fisik maupun non fisik
dengan
mengkhususkan pada sifat, ciri khusus yang spesifik dari suatu
objek sehingga
objek tersebut mudah dikenali. Karakter dari sebuah objek
arsitektural merupakan
susunan dari keberagaman maupun intensitas ciri-ciri objek
arsitektural,
serangkaian susunan elemen dasar pembentuk objek (misalnya
terdiri dari bentuk,
-
23
garis, warna, dan tekstur) yang membuat objek tersebut memiliki
kualitas yang
dapat dibedakan dari objek lain (Suryasari, 2003 :11).
Menurut Sholeha (2004) karakter bangunan tidak dapat hanya
dilihat dari
bentuk tanpa mengetahui penggunaannya. Karakter yang kuat
terjadi jika bentuk
dan kegunaan didapat satu kelayakan. Memasukkan unsur guna yang
sesuai akan
jadi salah satu upaya mempertahankan karakter pada bangunan itu
sendiri. Maka
dalam kegiatannya, integritas arsitektural adalah hal penting
yang mesti
dipertahankan kualitas bangunan beserta tapaknya yang memberi
makna dan nilai.
Enam unsur pembentuk integritas arsitektural menurut Budihardjo
(1997) adalah
langgam, kekriyaan, material, tipe bangunan, lokasi, dan
kesinambungan.
1. Langgam, terkait dengan aturan-aturan yang terdapat dalam
langgam pada
bangunan.
2. Kekriyaan, terkait dengan kualitas penyelesaian detail
bangunan.
3. Bahan/material, sedapat mungkin bisa mempertahankan material
semula.
4. Tipe/bangunan, sangat penting melihat tipe bangunan yang akan
diubah ke
fungsi baru.
5. Lokasi bangunan. melihat konteks tapak atau lingkungan
sebagai faktor
pendorong yang membantu menentukan guna pada bangunan, dan
sebaliknya
bagaimana guna bangunan dapat menunjanng keberadaan tapak.
6. Kesinambungan, keberlanjutan kepemilikan bangunan, terutama
apakah
pemilik sekarang merupakan keturunan pemilik sebelumnya.
Nurmala (2003) menjabarkan dasar-dasar pertimbangan pelestarian
suatu
objek dalam dua bagian, yakni fisik-visual dan non fisik.
-
24
1. Fisik-visual
a. Estetika, berkaitan dengan nilai estetis dan arsitektural,
meiputi bentuk,
gaya, struktur, tata ruang, dan ornamen.
b. Keselamatan, berkaitan dengan pemeliharaan struktur bangunan
tua agar
tidak terjadi suatu yang membahayakan keselamatan penghuni
maupun
masyarakat sekitar bangunan tua berada.
c. Kejamakan/tipikal, berkaitan dengan objek yang mewakili kelas
dan jenis
khusus.
d. Kelangkaan, berkaitan dengan objek yang mewakili kelas dan
jenis
khusus.
e. Keluarbiasaan/keistimewaan, suatu objek konservasi yang
memiliki
bentuk paling menonjol, tinggi, besar. Keistimewaan memberi
tanda atau
ciri suatu kawasan tertentu.
f. Peranan sejarah, merupakan lingkungan kota atau bangunan
yang
memilki nilai historis suatu peristiwa yang mencatat peran
ikatan simbolis
suatu rangkaian sejarah masa lalu dan perkembangan suatu kota
untuk
dilestarikan dan dikembangkan.
g. Penguat karakter kawasan, berkaitan dengan objek yang
mempengaruhi
kawasan-kawasan sekitar dan bermakna untuk meningkatkan kualitas
dan
citra lingkungan.
-
25
2. Non fisik
a. Ekonomi, dimana kondisi bangunan tua yang baik akan menjadi
daya
tarik bagi para wisatawan dan investor untuk mengembangkan
sehingga
dapat digali potensi ekonominya.
b. Sosial dan budaya, dimana bangunan tua tersebut memiliki
nilai agama
dan spiritual, memilki nilai budaya dan tradisi yang penting
bagi
masyarakat.
Dasar pertimbangan pelestarian oleh Rahardjo (2011) dituangkan
dalam
idenya mengenai penilaian, tipologi nilai, dan pemeringkatan
untuk pengelolaan
cagar budaya, adapun penjelasannya sebagai berikut.
1. Nilai sejarah terdiri dari tokoh dan peristiwa.
2. Nilai ilmu pengetahuan terdiri dari penemuan baru, munculnya
ragam baru,
penerapan teknologi baru, dan munculnya spesies baru.
3. Nilai kebudayaan terdiri dari identitas dan seni.
4. Nilai pendidikan dijelaskan sebagai benda memiliki potensi
untuk dapat
memberikan pengetahuan dan penanaman nilai moral bagi anak-anak
dan
dewasa.
5. Nilai politik, peristiwa-peristiwa penting sejarah yang
terjadi di objek
tinggalan sejarah dan purbakala dapat dianggap penting bila
memiliki
kecocokan dengan prioritas politik masa kini. Makna penting
tersebut dapat
digunakan dalam upaya meningkatkan perhatian publik dalam
upaya
perlindungan dan pelestarian
6. Nilai ekonomi terdiri dari nilai fungsional dan
revitalisasi.
-
26
7. Nilai keutuhan atau nilai integritas terdiri dari desain,
tata lingkungan fisik,
bahan, material, dan pengerjaan.
2.3.3 Derajat intervensi konservasi
Disebutkan dalam Piagam Burra (1999) sebuah tempat dan hal-hal
lain yang
berpengaruh pada masa depannya paling baik dipahami melalui
serangkaian tahap
pengumpulan dan analisis informasi sebelum membuat keputusan.
Hal pertama
adalah memahami signifikansi budayanya, kemudian membuat
kebijakan dan
akhirnya mengelola tempat tersebut sesuai dengan kebijakan yang
ditetapkan.
Kebijakan dalam mengelola sebuah tempat harus berdasarkan pada
pemahaman
terhadap signifikansi budaya. Pembuat kebijakan harus juga
mempertimbangkan
faktor-faktor lain yang berpengaruh pada masa depan sebuah
tempat seperti
kebutuhan pemilik, sumber daya, keterbatasan eksternal, dan
kondisi fisik tempat
tersebut. Proses Piagam Burra dintunjukkan pada Diagram 2.2.
-
27
Diagram 2.2
Proses Piagam Burra
Sumber : URL:
http://www.icomos.org/charters/burra1999_indonesian.pdf
-
28
Signifikansi budaya tersirat dalam tempat itu sendiri,
bahan-bahannya, tata
letaknya, fungsinya, asosiasinya, maknanya, rekamannya,
tempat-tempat terkait,
dan objek-objek terkait. Di dalamnya termasuk pemeliharaan dan
perbaikan.
Ruang lingkup pemeliharaan yaitu :
a. Preservasi : upaya mempertahankan bahan sebuah tempat dalam
kondisi
eksisting dan memperlambat pelapukan.
b. Adaptasi : upaya memodifikasi sebuah tempat untuk disesuaikan
dengan
pemanfaatan eksisting atau pemanfaatan yang diusulkan.
Sedangkan perbaikan memiliki ruang lingkup :
a. Restorasi : upaya mengembalikan bahan eksisting sebuah tempat
pada
keadaan semula sebagaimana yang diketahui dengan
menghilangkan
tambahan atau dengan meniru kembali komponen eksisting tanpa
menggunakan material baru.
b. Rekonstruksi : upaya mengembalikan sebuah tempat pada keadaan
semula
sebagaimana yang diketahui dan dibedakan dari restorasi
dengan
menggunakan material baru sebagai bahan. Material baru boleh
termasuk
material daur ulang yang diselamatkan dari tempat-tempat
lain.
ICOMOS New Zealand Charter (2010) derajat intervensi dalam
kegiatan
pelestarian adalah sebagai berikut :
a. Preservasi : melalui stabilisasi, perawatan, atau
perbaikan
Pelestarian tempat dengan intervensi sesedikit mungkin,
untuk
memastikan kelangsungan hidup jangka panjang dan kelanjutan dari
nilai
-
29
warisan budaya yang terkandung di dalamnya. Proses pelestarian
dipandang
seharusnya tidak mengaburkan atau menghapus patina usia,
terutama di mana
kontribusi keaslian dan integritas tempat, atau di mana ia
memberikan
kontribusi untuk stabilitas struktural bahan.
b. Restorasi : melalui pemulihan dan pemindahan
Proses pemulihan dan mungkin melibatkan penghapusan pada
penambahan-penambahan yang berpotensi mengurangi nilai warisan
budaya
dari suatu tempat. Restorasi didasarkan pada penghormatan
terhadap
material/bahan yang ada, dan pada semua bukti hasil identifikasi
dan
analisis, sehingga nilai warisan budaya dari tempat pulih atau
terungkap.
c. Rekonstruksi
Rekonstruksi dibedakan dari restorasi oleh pengenalan materi
baru untuk
menggantikan bahan yang telah hilang. Rekonstruksi adalah
tindakan yang
tepat jika yang menjadi sasaran adalah menjaga nilai penting
untuk fungsi,
integritas, nilai tidak berwujud, atau pemahaman tempat, jika
bukti fisik dan
dokumen yang ada cukup untuk meminimalkan dugaan, dan jika nilai
warisan
budaya yang dilestarikan terselamatkan.
d. Adaptasi
Proposal untuk adaptasi dari suatu tempat bisa timbul dari
keinginan
mempertahankan penggunaannya atau dari mengusulkan perubahan
penggunaan. Perubahan dan penambahan mungkin dapat diterima di
dalam
adaptasi dimana mereka diperlukan untuk penggunaan yang
kompatibel dari
-
30
tempat. Setiap perubahan harus seminimal mungkin dan memiliki
sedikit atau
tidak ada efek buruk pada nilai warisan budaya dari tempat.
Konservasi dianggap sebagai istilah yang menjadi payung dari
semua
kegiatan pelestarian. Konservasi dimengerti sebagai aktifitas
multidisipliner yang
didasarkan pada bukti ilmiah dan pengalaman empiris (Marks, 1996
: 67).
Sedangkan preservasi kegiatannya terbatas pada perlindungan,
pemeliharaan, dan
jika diperlukan dengan stabilisasi tapi tanpa mengubah kandungan
budayanya.
Restorasi merupakan upaya menyingkap aspek signifikan budaya
baru yang bisa
jadi terkandung dalam bangunan, namun terbatas pada pengembalian
komponen-
komponen yang lepas dengan mempertahankan pentahapan pembangunan
masa
lalu. Untuk rekonstruksi, ada anggapan bahwa rekonstruksi
seharusnya tidak
digunakan pada material fisik, tetapi lebih pada konsep abstrak
dari
perancangannya. Memang harus merupakan hasil penelitian, akan
tetapi bukan
mengarah pada proses fisik bangunan melainkan konsep
pemikirannya, sehingga
bentuk rebuilding dan replikasi menjadi sesuatu yang lebih alami
(Marks, 1996 :
202). Di dalam adaptasi, beberapa pertimbangan yang harus
diperhatikan antara
lain kepentingan visualnya, kepentingan sosial dari fungsi baru
yang mungkin
diberikan, dan kualitas perancangan dari perubahan (Cantacuzino,
1989 :11).
Melalui revitalisasi dilakukan pelestarian dengan memberdayakan
bangunan atau
kawasan bersejarah dengan dilakukannya perbaikan lingkungan
tempatnya berada
yang menggabungkan bangunan lama dan baru.
Berdasarkan beberapa sumber di atas, maka dapat disimpulkan
tingkat
perubahan dalam konservasi adalah sebagai berikut.
-
31
Tabel 2.2.
Tingkat perubahan dalam konservasi
No Kegiatan Sedikit perubahan Perubahan
Sedang Banyak
perubahan Perubahan
total 1 Preservasi 2 Restorasi 3 Rekonstruksi 4 Adaptasi/
Revitalisasi
5 Demolisi
2.3.4 Ketentuan teknis arahan strategi konservasi
Dwiyanto (2012), seorang arkeolog dari Fakultas Ilmu Budaya
Universitas
Gajah Mada dalam forum Iktan Ahli Arkeolog Indonesia (IAAI)
mengungkapkan
di dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya
banyak
hal baru dan berbeda dengan undang-undang sebelumnya
(Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya) baik secara
filosofis,
sosiologis, maupun yuridis. Secara filosofis, tidak hanya
terbatas pada benda
tetapi juga meliputi bangunan, struktur, situs, dan kawasan
cagar budaya yang di
darat dan/atau air. Secara sosiologis, undang-undang ini
mencangkup
kepemilikan, penguasaan, pengalihan, kompensasi, dan insentif.
Secara yuridis,
undang-undang ini mengatur hal-hal yang terkait dengan
pelestarian yang
meliputi perlindungan, pengembangan, dan pemanfaatan. Di
dalamnya juga
tercantum tugas dan wewenang para pemangku kepentingan serta
kepentingan
pidana. Namun, dalam praktek hukumnya undang-undang ini belum
cukup
operasional di lapangan karena masih diperlukan petunjuk
pelaksanaan dan/atau
petunjuk teknis untuk pelaksanaannya. Indikator penyusunan
arahan strategi
konservasi dibuat berdasarkan kondisi eksisting objek
konservasi. Dua penelitian
-
32
berikut yang dilakukan Antariksa (2011) dan Azuwar (2012)
merumuskan strategi
konservasi pada objek penelitiannya. Dalam penelitian yang
mereka lakukan
arahan strategi konservasi dibuat dengan melakukan penggolongan
bangunan
cagar budaya ke dalam 3 bagian kelas. Setiap kelas kemudian
berisi arahan
strategi konservasi yang isinya antara lain sebagai berikut.
Tabel 2.3.
Ketentuan teknis arahan strategi konservasi
No
Klasifikasi
dan arahan
teknis
konservasi
Antariksa (2011) Azuwar (2012)
1 Bangunan
potensial
tinggi
• Bangunan dilarang
dibongkar atau
diubah
• Setiap adanya
penambahan
bangunan baru harus
disesuaikan dengan
bentuk bangunan
lama
• Boleh terjadi
perubahan fisik
tampilan, namun
sangat kecil
sehingga keaslian
bangunan dapat
terjaga
• Arahan pelestarian
fisik dilakukan
• Bangunan dilarang dibongkar atau
diubah
• Apabila kondisi fisik buruk, roboh,
terbakar atau tidak layak tegak
harus dibangun kembali sama
seperti semula sesuai dengan
aslinya
• Boleh terjadi perubahan fisik
tampilan, namun sangat kecil
ataupun kecil sehingga keaslian
bangunan dapat terjaga
• Pemeliharaan dan perawatan
bangunan harus menggunakan
bahan yang sama/sejenis atau
memiliki karakter yang sama,
dengan mempertahankan detail
ornamen bangunan yang telah ada
• Boleh terjadi perubahan fisik
-
33
dengan preservasi
dan konservasi
tampilan, namun dalam tingkatan
kecil ataupun sedang namun
tampilan bangunan tidak
terganggu
• Di dalam persil atau lahan
bangunan cagar budaya
dimungkinkan adanya bangunan
tambahan yang menjadi kesatuan
utuh dengan bangunan utama,
dengan ketentuan penambahan
bangunan hanya dapat dilakukan
di belakang atau di samping
bangunan cagar budaya dalam
keserasian lingkungan
• Arahan pelestarian fisik adalah
konservasi, preservasi, dan
revitalisasi
2 Bangunan
potensial
sedang
• Setiap adanya
penambahan
bangunan baru harus
disesuaikan dengan
bentuk bangunan
lama
• Boleh terjadi
perubahan fisik
tampilan, kecil
ataupun sedang
namun tampilan
bangunan tidak
terganggu
• Arahan pelestarian
fisik dilakukan
dengan rehabilitasi
• Bangunan dilarang dibongkar
secara sengaja dan apabila kondisi
fisik buruk, roboh, terbakar atau
tidak layak tegak harus dibangun
kembali sama seperti semula
seperti aslinya
• Perubahan bangunan harus
dilakukan tanpa mengubah
karakter bangunan serta dengan
mempertahankan detail dan
ornamen bangunan penting
• Boleh terjadi perubahan fisik
tampilan, namun sangat kecil
ataupun kecil sehingga keaslian
bangunan dapat terjaga
• Di dalam persil atau lahan
-
34
dan rekonstruksi bangunan cagar budaya
dimungkinkan adanya bangunan
tambahan yang menjadi kesatuan
yang utuh dengan bangunan utama
• Arahan pelestarian fisik dilakukan
konservasi, revitalisasi, dan
rehabilitasi
• Di dalam upaya rehabilitasi dan
revitalisasi dimungkinkan
perubahan fungsi dan tata ruang
dalam asalkan tidak mengubah
karakter struktur utama bangunan
3 Bangunan
potensial
rendah
• Bangunan dilarang
dibongkar atau
diubah
• Boleh terjadi
perubahan fisik
tampilan dalam skala
sedang atau besar
namun masih
tampak bangunan
lama
• Arahan pelestarian
fisik dilakukan
dengan rehabilitasi
dan rekonstruksi
• Bangunan dilarang dibongkar atau
diubah
• Boleh terjadi perubahan fisik
tampilan dalam skala sedang atau
besar namun masih tampak bagian
bangunan lama
• Detail ornamen dan bahan
bangunan dapat disesuaikan
dengan arsitektur bangunan di
sekitarnya dalam keserasian
lingkungan
• Penambahan bangunan dalam
perpetakan atau persil dapat
dilakukan di belakang atau di
samping bangunan cagar budaya
dalam keserasian bangunan
• Fungsi bangunan dapat diubah
sesuai dengan rencana kota
• Arahan pelestarian fisik dilakukan
dengan rehabilitasi dan
-
35
rekonstruksi
2.3.5 Etika konservasi
Beberapa standar etika harus diobservasi didalam usaha
konservasi, antara
lain (Feilden, 1994) :
1. Kondisi bangunan harus direkam (recording) sebelum apapun
bentuk
intervensi atau campur tangan.
2. Bukti-bukti sejarah tidak harus dirusak, dipalsukan atau
dipindahkan.
3. Segala bentuk intervensi harus seminimum mungkin sesuai
dengan
kebutuhan.
4. Segala bentuk intervensi harus dilakukan dengan tidak
menyimpang dari
penghormatan terhadap nilai estetika, sejarah dan kesatuan
fisikal dari
properti kebudayaan.
5. Semua metode dan material yang digunakan selama perbaikan
harus semua
didokumentasikan.
2.3.6 Prosedur persiapan untuk usaha konservasi
Prosedur persiapan konservasi dalam “Conservation of Historic
Building”
oleh Feilden (1994) antara lain :
1. Inventarisasi
Inventarisasi adalah prosedur permulaan dari konservasi.
Kegiatannya
berupa pembuatan sebuah inventory (inventarisasi) seluruh
properti budaya
-
36
dalam wilayah suatu negara. Ini merupakan tugas pemerintah
secara
administratif dan meliputi penetapan katagori yang tepat untuk
properti
budaya dan rekaman secara graphis dan deskriptif. Dalam hal ini
dapat
digunakan komputer dan mikrofilm yang bertujuan untuk membuat
inventaris
lebih bernilai atau berguna. Inventarisasi juga bertujuan
sebagai dasar untuk
alokasi bantuan atau penyediaan pajak khusus untuk menjaga
bangunan
bersejarah tersebut.
2. Inspeksi awal
Inspeksi awal merupakan langkah persiapan inspeksi visual dan
studi dari
setiap bangunan untuk mengetahui dan menentukan nilai bangunan
secara
keseluruhan. Kondisi sekarang dari bangunan yang harus direkam
secara
metodik dan segala studi lanjutan yang diperlukan dalam
pelaporan.
Dokumentasi dan studi harus menyeluruh dan teliti, yang berarti
penyelidikan
dilakukan secara cermat dari perekaman serta pengarsipan yang
baik. Di
beberapa negara rekaman wawancara diperbolehkan dimasukan
dalam
dokumen/catatan pembangunan dari setiap bangunan. Suatu negara
sebaiknya
memiliki statistik signifikansi tentang jumlah dan laporan
bangunan
bersejarahnya, hal ini bisa digunakan untuk menilai kemungkinan
biaya dari
kebijaksanaan konservasi untuk menentukan prioritas. Semua
bangunan
bersejarah seharusnya diinspeksi setiap lima tahun guna membuat
rencana
pemeliharaannya seperti pencegahan kerusakan dan
pemeliharaannya.
-
37
3. Dokumentasi
Dokumentasi yang berkelanjutan yang memuat rekaman secara
lengkap
pada masa sebelum, selama dan setelah segala bentuk intervensi.
Didalam
semua pekerjaan preservasi, perbaikan atau ekskavasi dari
properti
kebudayaan harus selalu didokumentasi secara tepat dalam bentuk
analisis
dan laporan kritikal, ilustrasi dengan foto dan gambar-gambar.
Setiap tahap
dari pekerjaan pembersihan, konsolidasi dan integrasi disusun
kembali,
termasuk seluruh material serta teknis yang digunakan harus
direkam.
Laporan teknis ditempatkan sebagai arsip umum serta disediakan
untuk
pekerjaan penelitian. Terakhir, kadangkala dalam proyek yang
besar langkah
dokumentasi ini diambil dalam beberapa tahun untuk menulis
laporan
akademis sehingga tersedianya laporan persiapan atau tahunan
dalam rangka
menjaga ketepatan informasi kepada publik.
2.3.7 Zonasi pada pelestraian cagar budaya
Undang-Undang No. 11 Tahun 2010 pasal 72 mengatur mengenai
penetapan
batas-batas keluasan dan pemanfaatan ruang dalam situs dan
kawasan berdasarkan
kajian. Sistem zonasi dapat terdiri dari:
a. Zona inti : area pelindungan utama untuk menjaga bagian
terpenting cagar
budaya
b. Zona penyangga : area yang melindungi zona inti.
c. Zona pengembangan : area yang diperuntukan bagi pengembangan
potensi
cagar budaya bagi kepentingan rekreasi, daerah konservasi
lingkungan alam,
-
38
lansekap budaya, kehidupan budaya tradisional, keagamaan,
dan
kepariwisataan.
d. Zona penunjang : area yang diperuntukkan bagi sarana dan
prasarana
penunjang serta untuk kegiatan komersial dan rekreasi umum.
Selain itu dalam pasal 73 (4) dijelaskan bahwa penetapan luas,
tata letak, dan
fungsi zona ditentukan berdasarkan hasil kajian dengan
mengutamakan peluang
peningkatan kesejahteraan rakyat. Kajian dalam zonasi cagar
budaya dilakukan
agar zonasi yang dihasilkan tetap berwawasan pada pelestarian.
Pemahaman
tentang konsep pelestarian menjadi hal yang sangat penting dalam
kajian zonasi.
Sebagaimana yang telah dikemukakan pelestarian tidak hanya
dilakukan terhadap
bukti bendawi (fisik) yang ada, tetapi juga nilai-nilai penting
yang terkandung
didalamnya. Agar kedua hal tersebut dapat tercapai maka
pelestarian bukti
bendawi harus dapat dipertahankan, karena tanpa bukti bendawi
nilai-nilai penting
yang ada hanya akan menjadi wacana saja atau bahkan dapat
dianggap sebagai
‘dongeng’ atau ‘legenda’ belaka. Untuk menjamin agar bukti-bukti
bendawi dapat
merepresentasikan nilai-nilai, bukti-bukti itu harus terjaga
kondisinya. Dua aspek
fisik yang harus dapat dipertahankan kondisinya adalah keaslian
(authenticity)
dan keutuhan (integrity).
Untuk mempertahankan keaslian, dapat dilakukan upaya-upaya
mempertahankan kondisi unsur-unsur berikut ini :
a. Bentuk dan rancangan (desain)
b. Bahan
c. Kegunaan dan fungsi
-
39
d. Tradisi
e. Teknik dan sistem manajemen
f. Lokasi dan latar lingkungan
g. Bahasa dan warisan budaya tak-bendawi lainnya
h. Semangat dan perasaan yang melingkupinya.
Sementara itu, untuk memenuhi kondisi keutuhan atau keterpaduan
unsur,
maka pelestarian harus mampu mempertahankan unsur-unsur karya
budaya yang
ada dalam keadaan cukup lengkap sedemikian rupa sehingga masih
mampu
memberikan gambaran yang utuh tentang cagar budaya yang ada
dan
mencerminkan nilai-nilai penting yang dikandungnya.
Pada prinsipnya, penetapan wilayah-wilayah zonasi ditetapkan
dengan
mengacu pada nilai arkeologis dan keaslian lingkungan masa lalu
yang
merupakan satu kesatuan pada masanya. Hal ini dibutuhkkan
untuk
mempertahankan keaslian situs, baik yang berhubungan dengan
keaslian bahan,
bentuk, tata letak dan teknik pengerjaannya (Mulyadi,
2012:1-10). Bentuk dan
jenis zoning serta luas areal yang dibutuhkan, didasarkan pada
berbagai
pertimbangan meliputi:
1. Aspek sebaran temuan dan konteksnya.
2. Aspek lingkungan sebagai pendukung keberadaan situs, baik
lingkungan
yang memiliki konteks masa lalu, maupun dukungan keserasian
dan
keselarasan antara situs dan lingkungannya pada saat ini.
3. Aspek keamanan dan perlindungan situs.
-
40
Pada penentuan batas zona penyangga ditetapkan berdasakan
sumber
ancaman, luas dihitung berdasakan jenis dan besar ancaman yang
dihadapi dan
disesuaikan dengan kondisi keruangan yang memungkinkan.
Sedangkan zona
pengembangan ditetapkan berdasarkan pertimbangan kemungkinan
bentuk
pengelolaan yang akan dikembangkan atau berdasarkan pada
perencanaan
pengelolaan yang telah ada sekaligus mengatur standar
pengelolaan ruang yang
tidak mengganggu situs.
2.3.8 Arsitektur kolonial
Berbicara tentang arsitektur kolonial Belanda di Indonesia
ibarat
membicarakan anak yang hilang. Di Belanda sendiri arsitektur
kolonial di
Indonesia kurang mendapat perhatian. Hal ini mungkin disebabkan
karena mereka
sibuk akan masalahnya sendiri, serta iklim dan cara hidup yang
memang berbeda.
Di Indonesia, setelah kemerdekaan dan awal orde baru arsitektur
kolonial juga
kurang mendapat perhatian. Terbukti dengan miskinnya publikasi
tentang
arsitektur kolonial diterbitkan. Padahal arsitektur kolonial di
Indonesia diakui oleh
banyak arsitek Internasional seperti H.P. Berlage, Granpre
Moliere dan
sebagainya, mempunyai mutu yang sangat tinggi. Arsitektur
kolonial Belanda di
Indonesia sampai sekarang masih banyak mendominasi pemandangan
kota-kota
besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, dan Surabaya
(Handinoto, 2010 : 24).
Kolonial berasal dari kata coloni atau koloni yang berarti
adalah tanah
permukiman atau tanah jajahan. Dalam pengertian yang lebih luas,
koloni adalah
daerah permukiman warga suatu negara di luar negara mereka,
biasanya di
-
41
seberang lautan, kemudian dinyatakan sebagai negara merdeka.
Kolonial dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia didefinisikan sebagai sesuatu yang
berhubungan
dengan sifat jajahan dan secara pemerintahan dengan mendirikan
benteng dan
menguasai jalur pelayaran di pulau itu. Arsitektur kolonial
adalah lingkungan
geografis yang diciptakan sehingga mirip dengan tanah air negara
penjajah
(Knight, 1975 : 423).
Dalam bukunya yang berjudul “Arsitektur dan Kota-kota di Jawa
pada Masa
Kolonial” Handinoto membicarakan bahwa sebelum tahun 1900,
arsitektur
kolonial Belanda punya mutu yang sangat rendah sekali. Hal ini
disebabkan
karena tidak adanya arsitek profesional yang berpendidikan
akademis berpraktek
di Indonesia sebelum tahun 1900. Gaya arsitektur kolonial
sebelum tahun 1900 ini
disebut sebagai “Empire Style” (gaya imperial), yang
dipopulerkan oleh Daendels
pada akhir abad ke-19. Gaya “Empire Style” yang berasal dari
Perancis tersebut
diterjemahkan secara bebas, dan terbentuklah gaya Hindia Belanda
yang bercitra
kolonial yang disesuaikan dengan lingkungan lokal dan iklim
serta tersedianya
material setempat. Prototype dari gaya bangunan tersebut bisa
dilukiskan sebagai
berikut :
1. Denahnya simetri penuh.
2. Temboknya tebal.
3. Langit-langitnya tinggi.
4. Lantainya dari marmer.
5. Di tengah ruangan terdapat center room yang berhubungan
langsung dengan
beranda depan dan belakang.
-
42
6. Beranda depan dan belakang terbuka tanpa tembok, yang
biasanya sangat
luas. Diujung beranda itu terdapat barisan kolom Yunani (doric,
ionic, dsb),
berfungsi sebagai pendukung atap yang menjulang ke atas.
7. Di samping kiri – kanan central room tersebut terdapat
kamar-kamar tidur.
Kadang – kadang central room berhubungan dengan galeri samping,
dapur,
kamar mandi/wc.
8. Fasilitas service lainnya seperti gudang dan sebagainya
merupakan bagian
tersendiri di belakang.
9. Di samping bangunan utama bisanya juga terdapat paviliun yang
digunakan
sebagai kamar tidur tamu.
10. Keseluruhan bangunan biasanya terletak pada sebidang tanah
yang cukup
luas dengan kebun di depan, samping, dan belakang rumah.
11. Di bagian depan biasanya terdapat jalan yang melingkar untuk
kendaraan
yang disampingnya ditamani dengan pohon – pohon palem.
Setelah tahun 1900 banyak arsitek Belanda yang berpendidikan
akademis
mulai berdatangan ke Hindia Belanda. Mereka ini mereka menyebut
gaya
arsitektur “Empire Style” tersebut seolah-olah seperti pohon
tanpa akar. Tahun
1920-an merupakan tahun pemantapan bagi kekuasaaan Belanda di
Indonesia.
Baik secara politis maupun ekonomi. Justru pada awal abad ke-20
ini di Eropa
dan Amerika muncul beberapa teori desain, gaya arsitektur maupun
apa yang
diistilahkan sebagai “school”. Konsep kreasi dan organisasi yang
muncul tersebut
antara lain seperti: “Art Noveau” dari Belgia, “Art and Craft of
the Machine”
dari Frank Lyod Wright, juga “Organic Architecture” dari Frank.
Walter
-
43
Grophius dengan “Bauhaus”. “De Style” dengan “neo plastiscicm”
“Amsterdam
School” dengan ekspresionismenya dan sebagainya. Teori-teori
tersebut sangat
dikenal di Belanda, baik melalui wujud bangunannya sendiri
maupun melalui
publikasi. Kemajuan pelayaran dengan kapal api pada abad ke-20,
membuat jarak
antara Eropa dan Batavia menjadi lebih singkat.
2.3.8.1 Ciri – ciri aristektur kolonial Belanda di Indonesia
Secara umum ciri – ciri spesifik dari bangunan kolonial Belanda
di Indonesia
adalah dipengaruhi gaya arsitektur modern, klasik, tradisional
dan beradaptasi
dengan iklim tropis (Sumalyo, 1993 : 222).
1. Arsitektur tradisional
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mendefiniskan
arsitektur
tradisional sebagai salah satu unsur kebudayaan yang tumbuh
dan
berkembang sejalan dengan perkembangan suatu bangsa, oleh karena
itu
arsitektur tradisional merupakan salah satu identitas dari
pendukung
kebudayaan. Dalam arsitektur tradisional terkandung secara
terpadu wujud
ideal, wujud sosial, dan wujud material suatu kebudayaan
(Anonim, 1985 :
1).
2. Arsitektur klasik
Bangunan beraksitektur klasik adalah bangunan yang elemen
dekorasinya secara langsung maupun tidak langsung berasal dari
kejayaan
arsitektural zaman kuno (Summerson, 1980:8). Arsitektur klasik
mempunyai
akar pada kebudayaan Yunani dan Romawi. Ciri khususnya adalah
bangunan
-
44
terdiri dari kepala, badan, dan kaki, serta menampakkan bentuk
yang simetris.
Arsitektur klasik pada umumnya menciptakan kesan megah yang
didapatkan
dari kolom-kolom penyangga yang besar, detil ornamen pada
fasad
bangunan, dan skala massa bangunan yang berukuran besar.
Era arsitektur klasik Indonesia yang dipandang ialah pada masa
ekspansi
besar kultur Hindu-Buddha hingga Asia Tenggara yang terjadi
antara abad
ke-2 sebelum masehi. Warisan yang kaya ini dicontohkan oleh
bangunan
monumental yang terbuat dari batu alam atau batu bata dalam
berbagai
ukuran yang dapat ditemukan di bagian barat Indonesia, Jawa, dan
beberapa
bagian Indonesia Timur. Sebagian besar bangunan ini digunakan
sebagai
tempat ritual, upacara, pemerintahan, atau hunian. Karena
peradaban tinggi
yang diekspresikan oleh warisan arsitektural ini, kadang-kadang
peradaban
itu disebut pula sebagai era arsitektur klasik Indonesia (Nas
dan de Vietter,
2009 : 30).
3. Arsitektur tropis
Arsitektur tropis adalah arsitektur yang berada di daerah tropis
atau
arsitektur yang beradaptasi terhadap iklim tropis. Secara umum,
ciri – ciri
dari arsitektur tropis adalah sebagai berikut (Trihayati, 2005:
27).
1. Atap dibuat miring agar air hujan langsung turun ke
bawah.
2. Bahan atap yang sangat baik digunakan adalah genteng tembikar
atau
keramik, karena bahan tersebut rapat air dan cukup
memperlambat
penerusan panas ke bawah.
-
45
3. Langit-langit atap ditinggikan agar dapat mendinginkan suhu
ruangan di
dalam bangunan.
4. Penggunaan jalusi pada jendela.
5. Memburamkan permukaan kaca jendela (misalnya dengan kaca
berwarna
pada sistem kaca patri).
6. Penggunaan kanopi di atas jendela untuk melindungi bangunan
dari
tampias air hujan.
7. Penggunaan elemen batu alam pada dinding akan menambah
kesejukan
di dalam ruangan.
8. Warna terang pada dinding akan memantulkan cahaya siang
dan
menambah tingkat penerangan pada ruang.
9. Beranda atau teras di sekeliling bangunan perlu diadakan
sebagai transisi
udara dari luar ke dalam bangunan
4. Arsitektur modern
Sekitar tahun 1920 saat terjadi Perang Dunia II di negara Eropa
banyak
bangunan hancur, sehingga dibutuhkan pembangunan yang cepat,
sesuai
fungsi, dan tidak memakan biaya. Pada akhirnya rumah yang
dihasilkan
memiliki gaya arsitektur yang dikenal sebagai arsitektur modern.
Arsitektur
modern adalah suatu gaya dalam arsitektur yang mengembangkan
bentuk –
bentuk arsitektur yang lebih ringan dan sederhana dibandingkan
dengan
karya-karya arsitektur zaman sebelumnya. Cikal bakal arsitektur
modern
mengusung sebuah paham yang terkenal yakni “form follow
function” atau
-
46
bentuk mengikuti fungsi. Prinsip arsitektur modern ini
menimbulkan ciri –
ciri umum pada bangunan modern (Alison dan Smithson, 1981:9),
yakni :
1. Bangunan berbentuk kubus.
2. Denahnya tersusun secara geometrik.
3. Menggunakan warna yang cerah dan terbuat dari material yang
berkilau.
4. Banyak menggunakan jenis material alam.
Masuknya gaya arsitektur modern berangsur menggeser gaya
neoklasik
yang telah berkembang subur di Indonesia. Pada awalnya bentuk
bangunan
masih merupakan kombinasi arsitektur neoklasik dengan arsitektur
modern
namun telah banyak mengalami penyerderhanaan-penyederhanaan
elemen
dekoratif dan ornamen serta menampilkan corak abstrak geometrik
belaka.
Perkembangan arsiterktur modern mencapai puncaknya sekitar tahun
1930,
dimana banyak dibangun bangunan dengan gaya ini. Gaya arsitektur
modern
terus berkembang sampai akhir masa penjajahan Belanda yaitu
sekitar tahun
1940.
2.3.8.2 Perkembangan arsitektur kolonial di Bali
Bali bukanlah daerah yang luas dan juga bukanlah pusat
perdagangan
maupun pusat pemerintahan penjajahan Belanda, sehingga tidak
banyak fasilitas
kantor perdagangan atau fasilitas kantor pemerintahan yang
dibangun. Pasca
jatuhnya Bali yang ditandai dengan kemenangan pihak Belanda pada
perang
Puputan Klungkung dan Badung. Arsitektur digunakan untuk
mempertahankan
kekuasaan kolonial, pembangunan ekonomi kolonial, dan
kolonisasi. Sehingga
-
47
bangunan kolonial Belanda di Bali sebagian besar adalah milik
para bangsawan,
punggawa, dan pejabat pemerintah Belanda pada waktu itu. Hal ini
menunjukkan
bahwa seseorang mampu membangun rumah tinggal yang sesuai dengan
mode
arsitektur saat itu adalah para bangsawan, pejabat pemerintah,
dan yang memiliki
kemampuan ekonomi yang cukup baik (Siwalatri, 1993:14).
Berdasarkan laporan
penelitian Ni Ketut Ayu Siwalatri yang berjudul “Identifikasi
Arsitektur Kolonial
di Bali” pada tahun 1993 menyebutkan bahwa berdasarkan perioda
tahun
pembangunannya, bangunan kolonial Belanda di Bali dapat dibagi
menjadi 5
(lima) periode, yaitu :
1. Periode sebelum tahun 1900
Pada periode ini bangunan yang milik orang Belanda nampak
menggunakan corak Art Noveou, sedangkan bangunan milik pribumi
masih
menggunakan kombinasi konsep arsitektur tradisional Bali dengan
konsep
arsitektur barat. Sedangkan sistem struktur menggunakan sistem
yang
sederhana yaitu sistem dinding pemikul yang pelaksanaannya
sangat
sederhana sehingga dapat dikerjakan oleh tenaga terampil
setempat. Dengan
ketebalan dinding satu batu juga dapat berfungsi sebagai unsur
isolator panas,
sehingga penghawaaan di dalam ruangan lebih nyaman. Penggunaan
plafon
yang tinggi bertujuan untuk memperbesar volume ruangan sehingga
udara
terasa nyaman.
Bahan bangunan yang digunakan semuanya menggunakan bahan
bangunan kelas utama sehingga dapat bertahan sampai sekarang.
Pemakaian
-
48
ornamen, elemen dekoratif lainnya masih dijumpai pada perioda
ini walaupun
sudah banyak disederhanakan.
2. Periode tahun 1900 – 1910
Pada periode ini corak neoklasik masih nampak, walaupun tidak
lengkap
dan tidak terlalu dominan. Bentuk denah masih ditata dengan
bentuk
setangkup. Bahan bangunan menggunakan kualitas utama dan bahan
import.
Ornamen yang digunakan sudah lebih sederhana dan sedikit,
penyelesaian
tampak bangunan dengan corak art deco.
3. Periode tahun 1911 – 1920
Bentuk denah masih setangkup dan di beberapa tempat masih
nampak
sisa corak neoklasik. Pemakaian ornamen sudah mulai menghilang
dan lebih
banyak menggunakan permainan abstrak dan geometri saja.
Penggunaan
bahan bangunan dengan kualitas utama dan beberapa menggunakan
bahan
import dari Belanda.
4. Periode tahun 1920 – 1930
Pada periode ini konsep arsitektur modern telah diterapkan
dengan tegas.
Bentuk-bentuk diciptakan dengan bebas sesuai dengan keinginan
pemilik dan
fungsi yang akan diwadahinya. Ornamen dan elemen dekoratif
lainnya sudah
ditinggalkan diganti dengan permainan bidang, garis, dan warna.
Penampilan
bangunan masih diselesaikan dengan corak art deco
.
-
49
5. Periode tahun 1930 – 1940
Pada periode ini konsep arsitektur modern masih diterapkan
dengan
sangat jelas dan bentuk yang berkembangdengan bebas.
Pemakaian
kombinasi warna semakin bervariasi sesuai dengan kebutuhan.
Penelitian lainnya mengenai arsitektur kolonial Belanda di Bali
juga pernah
dilakukan Agus Kurniawan (2015), dalam tesisnya yang berjudul
“Konservasi
Fasade Bangunan Kolonial di Jalur Belanda Kota Singaraja Bali”
menyebutkan
ciri-ciri bangunan arsitektur peninggalan kolonial Belanda pada
umumnya di jalur
Belanda di Kota Singaraja adalah sebagai berikut :
1. Luas kavling rumah relatif besar, sehingga KLB (koefisien
luas
bangunan)/KDB (koefisien dasar bangunan) sangat memenuhi standar
layak
untuk sebuah bangunan, dengan halaman rumah yang luas.
2. Bentuk atap dari genteng (bentuk ujung atap segitiga) dengan
motif gable
(gaya atap klasik eropa), dengan cat rumah rata-rata berwarna
putih dan
minim akan ornamen/hiasan bangunan.
3. Struktur bangunan sangat kokoh dengan ketebalan dinding satu
batu (sekitar
± 30 cm) dengan bahan batu bata merah. Kedudukan plafon, kusen
pintu,
serta jendela yang sangat tinggi.
4. Penggunaan daun jendela krepyak kayu (membentuk sirkulasi
udara), sistem
ventilasi atau oculus & lorong yang berfungsi sebagai
isolasi panas.
5. Bentuk masa bangunan induk simetris dan disertai dengan
koridor (beratap)
penghubung dengan bantuan servis.
-
50
2.4 Model Penelitian
Model penelitian adalah abstraksi dan sintesis dari landasan
berpikir yang
bersumber dari teori dengan permasalahan penelitian. Rumusan
masalah
merupakan indikator untuk menentukan teori yang akan digunakan
untuk
menganalisisnya. Konsep yang ada yakni mengenai nilai
signifikansi dan cagar
budaya akan menjadi sebuah penjelasan tentang hal yang dicari
dalam penelitian
ini yakni kondisi fisik, arti khusus bagi sejarah, ilmu
pengetahuan, pendidikan,
agama, dan kebudayaan, serta strategi konservasi yang dapat
diterapkan di Hotel
Inna Bali. Model penelitian ditunjukkan pada Diagram 2.3.
-
51
Diagram 2.3
Model penelitian