-
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Sapi Friesian Holstein
Sapi Friesian Holstein (FH) berasal dari Belanda yaitu dari
Provinsi North
Holand dan West Friesland. Keunggulan sapi FH yaitu jinak, mudah
menyesuaikan
diri dengan keadaan lingkungan meskipun tidak tahan panas.
Menurut Blakely dan
Bade (1998), ciri-ciri sapi FH antara lain; warna bulu hitam
dengan bercak-bercak
putih, bulu ujung ekor berwarna putih, tanduknya pendek dan
menjurus ke depan,
ambing besar, kepala panjang sempit, sifat sapi betina cenderung
lebih tenang dan
jinak dibanding jantan, tidak tahan panas tetapi mudah
beradaptasi dengan keadaan
lingkungan. Sapi FH merupakan sapi perah terbesar di dunia
dengan bobot standar
betina 625-650 kg, dan jantan 900-1.000 kg.
Sapi FH yang dikembangkan di Indonesia dapat memproduksi susu
20
liter/hari, tetapi rata-rata produksinya hanya 10 liter/hari
atau 3.050 kg susu untuk
satu kali masa laktasi. Kadar lemak susu sapi FH berkisar antara
2,5-4,3%. Sapi
jantan FH bisa mencapai bobot tubuh 1.000 kg, sedangkan bobot
ideal sapi FH betina
adalah 635 kg. Produksi susu sapi FH di Amerika lebih tinggi
yakni mencapai lebih
dari 7.000 kg dalam satu kali masa laktasi (Sudono et al.,
2003).
Toelihere (1993) menyebutkan bahwa nilai S/C yang normal pada
sapi
berkisar antara 1,6-2,0. Sementara itu, Bath et al. (1978)
menyebutkan angka yang
lebih rendah yakni 1,3, tetapi bila disertai pertimbangan
kematian fetus maka dapat
mencapai 1,6. Masa kosong (days open) yang ideal bagi sapi perah
adalah antara 90-
-
5
105 hari dengan rata-rata 100 hari (Warwick dan Legates, 1979).
Jarak beranak
(calving interval) yang ideal pada sapi perah menurut Bath et
al. (1978) adalah 12-13
bulan (12 bulan±15 hari). Dengan demikian sapi perah sebaiknya
dikawinkan saat 60-
90 hari setelah partus. Sapi FH memiliki sifat masak lambat
(late maturity) yang
mana sapi betina baru bisa dikawinkan pada umur antara 18-21
bulan.
Fisiologi Semen Sapi
Menurut Ismaya (2014), sperma (semen) terdiri dari sel sperma
(spermatozoa)
dan plasma sperma (seminal plasma). Sel sperma dihasilkan oleh
tubulus seminiferus
di testes sedangkan plasma sperma dihasilkan oleh kelenjar
tambahan (accessory
glands). Kelenjar tambahan terdiri dari kelenjar
bulbourethralis, prostata dan
vesikularis.
Toelihere (1979) menyebutkan bahwa komposisi plasma sperma pada
semen
sapi mencapai 90%, sedangkan bagian sel sperma hanya sekitar
10%. Komponen
semen berdasarkan sumbernya yaitu 5% dari epididimis dan vas
deferens, 60% dari
kelenjar vesikularis, 20% dari kelenjar prostat dan 5% dari
kelenjar bulbourethralis
(Hawker, 1984).
Fungsi plasma sperma yaitu sebagai penyanggah (buffer) dan
sumber
makanan sel sperma. Tekanan osmotik pada plasma sperma setara
dengan 0,9%
NaCl. Bahan sumber energi yang terdapat dalam plasma sperma
yaitu fruktosa,
sorbitol dan Glycerine phosphoril choline (GPC). Selain itu,
terdapat juga ion
-
6
inorganik penting seperti sodium, chlorine, sedikit kalsium (Ca)
dan magnesium
(Mg) (Ismaya, 2014).
Menurut Toelihere (1979), produksi sperma dan plasma semen oleh
kelenjar-
kelenjar kelamin dikontrol sepenuhnya oleh hormon. Pertumbuhan
dan
perkembangan testes dipengaruhi oleh Folicel Stimulating Hormone
(FSH) dan
Luteinizing Hormone (LH) yang dikendalikan dari hypofisa
anterior. Testes
memproduksi hormon testosteron yang kemudian mengontrol
perkembangan dan
sekresi kelenjar pelengkap.
Kapsul Gelatin Lunak
Menurut Ansel (1989), kapsul merupakan suatu bentuk sediaan
padat, yang
mana satu jenis bahan obat atau lebih dan atau bahan inert
lainnya dikemas ke dalam
cangkang yang umumnya dibuat dari gelatin yang sesuai. Kapsul
banyak digunakan
sebagai cangkang antibiotik untuk pengobatan manusia dan
hewan.
Gelatin merupakan campuran heterogen polipeptida yang diperoleh
melalui
hidrolisis parsial kolagen dari jaringan ikat hewan dengan
perlakuan asam dan basa
(GMIA, 2012). Gelatin digunakan sebagai istilah umum untuk
campuran fraksi
protein murni yang dihasilkan dengan hidrolisis parsial asam
(tipe A) dan hidrolisis
parsial basa (tipe B) dari bahan kolagen. Bahan kolagen bisa
diperoleh dari tulang
babi, kulit sapi, kulit babi, dan kulit ikan (Rowe et al.,
2009).
Gelatin kaya akan kandungan asam amino glisin (Gly), prolin
(Pro) dan 4-
hydroksiprolin (4Hyd). Kandungan 4Hyd berpengaruh positif pada
kekuatan gelatin.
Demikian juga semakin tinggi kandungan asam amino, kekuatan
gelatin semakin
-
7
baik. Menurut Agoes (2008), gelatin termasuk bahan yang sesuai
untuk pembentukan
cangkang kapsul karena edible dan larut, membentuk cangkang yang
kuat, lapis tipis
dan berubah dari bentuk larutan menjadi bentuk gel dan sedikit
lebih tinggi dari suhu
lingkungan. Gelatin segera larut dalam air pada suhu tubuh, dan
tidak larut jika suhu
turun di bawah 30oC.
Kapsul gelatin lunak mempunyai cangkang yang terbuat dari
gelatin ditambah
bahan-bahan seperti gliserin atau alkohol polivalen dan
sorbitol. Penambahan bahan-
bahan ini bertujuan agar gelatin bersifat elastis seperti
plastik. Kapsul gelatin lunak
berbentuk elips dan bola.
Ansel (2005) mengemukakan kekurangan kapsul gelatin lunak yaitu
mudah
mengalami penguraian oleh mikroba bila kondisinya lembab atau
ketika disimpan
dalam larutan berair. Kode cangkang kapsul yang tersedia dibagi
menjadi dua jenis
berdasarkan objek penggunaannya yaitu untuk manusia; 000, 00, 0,
1, 2, 3, 4, 5 dan
untuk hewan; 10, 11, 12 (Ditjen POM, 1995).
Faktor-Faktor Penentu Kualitas Semen
Menurut Ismaya (2014), kualitas sperma pada ternak dipengaruhi
oleh faktor-
faktor seperti genetik, umur pejantan, pakan, suhu lingkungan,
frekuensi
penampungan, libido, kondisi fisik, pengangkutan, besar skrotum
dan kesehatan.
Genetik. Semen ternak sapi yang berbeda antar bangsa disebabkan
oleh faktor
genetika atau kebakaan. Karakteristik semen Sapi FH yaitu volume
berkisar antara 5-
8 ml, konsentrasi 500-2.000 juta/ml, pH sekitar 6,4-6,8,
motilitas 40-47% dengan
-
8
normalitas 65-95% (Garner dan Hafez, 2008). Tingkat keasaman
(pH) semen berkisar
antara 6,2-7,8 (Ismaya, 2014).
Umur Pejantan. Umur pejantan berpengaruh terhadap kualitas
semen. Hal ini
karena faktor umur pejantan menentukan perkembangan testes sapi
pejantan.
Semakin tinggi umur pejantan, produksi hormon testosteron akan
makin meningkat.
Sapi jantan yang digunakan sebagai pejantan sebaiknya berumur
1,5-2,0 tahun
(Ismaya, 2014).
Pakan. Pakan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan
perkembangan
sapi pejantan. Pertumbuhan dan perkembangan berkorelasi positif
terhadap
perkembangan organ reproduksi. Pakan dengan kualitas rendah
menyebabkan
pertumbuhan menjadi lambat dan sehingga bisa menyebabkan atropi
testes. Atropi
testes bisa menyebabkan penurunan produksi sperma. Pakan
berkualitas rendah dapat
juga menurunkan libido akibat produksi hormon testosteron yang
rendah.
Suhu Lingkungan. Suhu lingkungan sangat berpengaruh terhadap
reproduksi
pejantan. Suhu lingkungan yang sangat tinggi atau rendah
menyebabkan
terganggunya fungsi skrotum sebagai termoregulator. Akibatnya
suhu testes menjadi
tidak ideal. Dengan demikian, terjadi gangguan pada proses
spermatogenesis
sehingga produksi dan produktivitas sperma menurun. Waktu siang
yang panjang
dapat menghambat produksi ICSH (Intertisial Cell Stimulating
Hormone) sehingga
menurunkan produksi sperma.
Frekuensi Penampungan. Penampungan semen sapi pejantan harus
dibatasi.
Pengaturan frekuensi penampungan dimaksudkan agar pejantan tidak
mengalami
kelelahan dan akibat lain seperti penurunan libido, volume
sperma, dan konsentrasi
-
9
sperma. Almquist dan Hale (1956) dalam Ismaya (2014) melaporkan
bahwa frekuensi
ejakulasi berturut-turut sebanyak 20 kali dalam waktu 1,5-7,0
jam menurunkan
volume semen dari 4,2 ml-2,1 ml antara ejakulasi pertama dan
ejakulasi ke-20.
Terjadi pula penurunan konsentrasi sperma dari 1.350 juta/ml-300
jut/ml. Menurut
Foute (1969) dalam Toelihere (1993), frekuensi ejakulasi dalam
seminggu yang tepat
untuk mempertahankan libido dan kualitas semen adalah 4
ejakulasi dengan
konsentrasi 30 milyar sel.
Libido. Libido pejantan dipengaruhi oleh genetik atau
kebakaannya. Hal lain
yang turut berpengaruh terhadap libido pejantan antara lain;
kesehatan, kondisi
lingkungan saat penampungan dan pergantian kolektor semen.
Faktor eksternal yang
turut mempengaruhi tingkat libido yaitu manajemen pemeliharaan
pejantan dan
kualitas pakan.
Ukuran Skrotum. Besar dan kecilnya ukuran skrotum berkorelasi
positif
terhadap libido dan produksi sperma. Besar skrotum menggambarkan
ukuran dan
berat testes. Karena itu, besar skrotum yang tampak dapat pula
dijadikan dasar
pendugaan produksi semen. Salah satu indikator dalam memilih
sapi jantan yang
akan digunakan sebagai pejantan dapat dilakukan dengan
mempertimbangkan ukuran
dan berat skrotum.
Kesehatan Pejantan. Sapi pejantan harus bebas dari gangguan
penyakit baik
itu akibat gangguan mekanis, maupun genetis. Sapi jantan yang
menderita kelainan
genetis seperti mengalami cryptorchidysmus (tertinggalnya testes
di dalam rongga
perut) dan hernia scrotalis tidak bisa digunakan sebagai
pejantan.
-
10
Evaluasi Semen
1. Pemeriksaan Semen Segar
Pemeriksaan semen dilakukan untuk mengetahui kualitas semen
secara
objektif. Hasil pemeriksaan semen dipengaruhi oleh kualitas
pejantan, kolektor
semen, dan peralatan yang digunakan dalam penampungan dan
pemeriksaan
laboratorium. Parameter pengujian kualitas semen segar meliputi
volume semen,
warna, pH, konsistensi, motilitas, gerakan massa, konsentrasi
sperma dan
abnormalitas.
Volume Semen
Semen sapi dan domba memiliki volume yang rendah tetapi
konsentrasinya
tinggi sehingga tampak berwarna krem. Volume semen per ejakulat
tergantung pada
bangsa, umur, ukuran tubuh, pakan, frekuensi penampungan, dan
faktor lain. Volume
semen sapi berkisar antara 1,0-15,0 ml (Toelihere, 1993), dan
5,0-8,0 ml (Garner dan
Hafez, 2008).
Ejakulasi yang sering pada pejantan mengakibatkan penurunan
volume.
Secara umum, volume semen pada ejakulat kedua lebih rendah bila
dilakukan dua
kali penampungan berturut-turut. Rata-rata volume ejakulat akan
tinggi bila
dilakukan prestimulasi secara cukup sebelum penampungan.
-
11
Warna Semen
Warna semen normal pada sapi adalah krem keputih-putihan dan
keruh.
Tingkat kekeruhan semen bergantung pada konsentrasi sperma.
Sekitar 10% sapi
pejantan menghasilkan semen yang normal berwarna
kekuning-kuningan. Warna
kuning disebabkan oleh pigmen riboflavin yang bersumber dari
satu gen autosomal
resesif. Warna yang timbul karena pigmen ini tidak memiliki
pengaruh terhadap
tingkat fertilitas sperma (Waluyo, 2014).
Semen yang berwarna hijau kekuning-kuningan saat dibiarkan pada
suhu
ruang mengindikasikan adanya infeksi kuman pseudomonas
aeruginosa. Kondisi
semen yang berbentuk gumpalan, bekuan dan kepingan,
mengindikasikan adanya
nanah pada kelenjar-kelenjar pelengkap. Semen yang berwarna
merah gelap hingga
merah terang mengindikasikan adanya darah segar yang berasal
dari saluran kelamin
urethra atau penis. Sedangkan semen yang berwarna kecoklatan
kemungkinan telah
mengalami dekomposisi atau tercampur dengan feses.
Derajat Keasaman (pH)
Viabilitas sperma sangat dipengaruhi oleh derajat atau tingkat
keasaman (pH).
Perubahan pH disebabkan oleh metabolisme sperma dalam kondisi
anaerob yang
menghasilkan asam laktat. Semakin tinggi kandungan asam laktat
dalam sperma, pH
akan semakin turun.
Kadar pH semen sapi pada kondisi netral berkisar antara 6,0-7,0
(Waluyo,
2014), 6,4-7,8 (Hafez, 1993), 6,8 (Rizal dan Herdis, 2008),
6,2-7,5 (Toelihere, 1993),
6,4-6,8 (Garner dan Hafez, 2008) dan 6,2-7,8 (Ismaya, 2014).
Kadar pH sangat
-
12
mempengaruhi daya hidup sperma. Tingkat pH 7,0 banyak ditemukan
pada pejantan
yang terlalu sering ditampung, ejakulasi tidak sempurna, dan
kondisi patologik pada
kelenjar-kelenjar pelengkap dan pendarahan.
Konsistensi Semen
Secara umum semen sapi berwarna krem keputih-putihan. Derajat
kekeruhan
atau kekentalan tergantung pada tingkat konsentrasi sperma dalam
semen.
Konsistensi semen menurut Waluyo (2014) dibagi menjadi tiga
yaitu kental, sedang
dan encer. Perkiraan konsentrasi semen pada konsistensi kental;
sekitar >1.000
juta/ml, konsistensi sedang; sekitar 600-800 juta/ml dan
konsistensi encer; sekitar
200-500 juta/ml.
Motilitas Spermatozoa
Motilitas individu adalah gerakan sel sperma progresif dan aktif
maju ke
depan. Motilitas dilihat sebagai ukuran kesanggupan sperma dalam
membuahi ovum.
Gerakan sperma yang berputar-putar di tempat mengindikasikan
umur semen yang
tua. Sedangkan gerakan melingkar dan maju mundur mengindikasikan
sperma
terkena cold shock atau media pengencer yang tidak isotonik.
Menurut Garner dan Hafez (2008), motilitas sperma sapi perah
berkisar pada
40-47%, 40-75% (Hafez, 1993), dan 65% (Hafs et al., 1959) dalam
Toelihere (1993).
Menurut Toelihere (1993), persentase motilitas sperma
-
13
dengan persentase motilitas >70% lebih tahan hidup
dibandingkan bila
-
14
Penilaian gerakan massa dapat dilakukan pada pemeriksaan di
bawah
mikroskop dengan pembesaran 10 x 10. Menurut Ismaya (2014),
penilaian gerakan
massa dibedakan menjadi empat yaitu; sangat baik (+++) ditandai
dengan adanya
gelombang besar, banyak, gelap, tebal dan aktif menyerupai awan
hitam dan
pergerakannya cepat. Keadaan tersebut diperkirakan mengandung
80-100% sel
sperma motil progresif. Baik (++); tampak seperti
gelombang-gelombang kecil, tipis,
jarang, kurang jelas dan pergerakannya lamban. Diperkirakan
mengandung 60-79%
sel sperma motil. Cukup (+); tidak tampak gelombang, hanya
tampak gerakan
individual yang aktif. Diperkirakan mengandung 30-59% sel sperma
motil. Buruk
(0); tidak tampak gelombang. Diperkirakan mengandung
-
15
paling sering digunakan karena kemudahan dan kepraktisannya
adalah metode
penghitungan jarak antar kepala sperma.
Viabilitas Spermatozoa
Menurut Ihsan (2008), viabilitas sperma dipengaruhi oleh
keutuhan membran
sperma. Rusaknya membran sperma dapat menyebabkan terganggunya
proses
metabolisme intraseluler sehingga sperma melemah dan terjadi
kematian. Lopes
(2012) menyebut batas kisaran nilai viabilitas sperma yang masih
bisa diproses
berkisar pada 50-69%.
Pengamatan dan pengujian viabilitas sperma penting dilakukan
untuk
mengetahui jumlah sel hidup. Perbedaan afinitas zat warna antara
sel-sel sperma yang
mati dan yang hidup digunakan untuk menghitung jumlah sperma
yang hidup secara
objektif. Sperma hidup ditandai dengan kepala berwarna putih
atau bening sedangkan
sperma mati, kepala berwarna merah karena menyerap zat
pewarna.
Abnormalitas Spermatozoa
Abnormalitas sperma merupakan penyimpangan bentuk atau morfologi
dari
sperma normal. Persentase abnormalitas sperma sapi yang baik
tidak lebih dari 20%.
Abnormalitas sperma dibagi menjadi dua bagian penting yaitu
abnormal primer dan
abnormal sekunder. Tingkat abnormalitas sperma sekitar 30-35%
mengindikasikan
bahwa sapi pejantan tersebut tidak subur atau infertil
(Toelihere, 1993).
Ismaya (2014) menyebutkan bahwa abnormalitas primer merupakan
bentuk
tidak normal pada sperma akibat gangguan pada testikuler
(tubulus seminiferus).
-
16
Sedangkan abnormalitas sekunder adalah bentuk tidak normal pada
sperma akibat
kurang matangnya sperma di dalam epydidimis. Abnormalitas
sekunder dapat juga
disebabkan oleh efek pendinginan dan pemanasan.
Bentuk-bentuk sperma yang termasuk abnormal primer yaitu kepala
kecil,
kepala besar, kepala dua, ekor dua, kepala pyriformis, adanya
pertautan abaxial, dan
bagian tengah dan ekor sperma dalam posisi melingkar.
Bentuk-bentuk sperma yang
mengalami abnormal sekunder yaitu kepala dan ekor terputus,
bagian tengah saling
membelit dan immature.
2. Pengenceran Semen
Pengenceran semen dilakukan untuk tujuan preservasi atau
pengawetan.
Preservasi yang baik dan tepat bisa memperpanjang umur simpan
semen,
mempertahankan kualitas semen dan memudahkan dalam distribusi
semen. Untuk
menjamin komponen fisik dan kimia semen, pemilihan dan
penggunaan bahan
pengencer perlu dilakukan dengan teliti.
Fungsi dan Syarat Pengencer
Menurut Toelihere (1979), pengencer semen berfungsi menyediakan
zat
makanan sebagai sumber energi bagi sperma, melindungi sperma
dari cold shock,
menyediakan bahan penyanggah (buffer), mempertahankan tekanan
osmotik dan
keseimbangan elektrolit, mencegah pertumbuhan kuman dan
memperbanyak volume
semen.
Syarat-syarat pengencer menurut Toelihere (1979) yakni; murah,
sederhana
dan praktis dalam pembuatan, mengandung unsur fisik dan kimiawi
yang menyerupai
-
17
semen, tidak bersifat toksik terhadap semen dan organ reproduksi
betina, dapat
mempertahankan dan tidak membatasi fertilitas sperma dan
memungkinkan penilaian
sperma setelah pengenceran.
Jenis-Jenis Pengencer
Menurut Ismaya (2014), jenis-jenis pengencer yang sering
digunakan dalam
pengenceran semen yaitu; sitrat-kuning telur, fosfat-kuning
telur, susu skim atau susu
segar, Tris (hydroxymethyl) aminomethane, air kelapa-madu dan
NaCl fisiologis.
Bahan pengencer lain yang dilaporkan Toelihere (1993) yaitu
Illini Variable
Temperatur (IVT), Cornell University Extender (CUE), air
kelapa-kuning telur.
Modifikasi bahan pengencer semen yang dilaporkan antara lain;
sitrat-kuning
telur dan sari buah tomat (Rosmaidar et al., 2013),
Tris-aminomethane dan β-karoten
(Rizal, 2005), senyawa antioksidan Vitamin C pada semen beku
sapi (Beconi et al.,
1993), Vitamin C pada semen beku kelinci (Yousef et al., 2003),
Vitamin E dan
Butylated hydroxytoluene (BHT) pada semen beku domba St. Croix
(Feradis, 1999).
Kadar Pengenceran
Penentuan kadar pengenceran bertujuan memperbanyak volume semen
dan
menjamin tiap volume semen yang akan digunakan dalam inseminasi
ternak betina
mengandung cukup sperma. Dengan demikian diharapkan terjadi
fertilisasi pada
induk sapi yang diinseminasi. Kadar pengenceran semen tergantung
pada volume
ejakulat, konsentrasi sperma, persentase viabilitas dan
persentase motil progresif
(Toelihere, 1993).
-
18
Penentuan kadar pengencer dilakukan setelah pemeriksaan semen
segar secara
makroskopis dan mikroskopis untuk mengetahui kualitas semen.
Rizal dan Herdis
(2008) merekomendasikan rumus yang dapat digunakan untuk
menghitung kadar
pengenceran semen yaitu;
JP (ml) = (VS x PSM x KS x VK) - VS
DI
Keterangan
JP : Jumlah Pengencer (ml)
VS : Volume Semen (ml)
PSM : Persentase Sperma Motil (%)
KS : Konsentrasi Sperma (juta/ml)
VK : Volume Kemasan (ml)
DI : Dosis Inseminasi (Jumlah konsentrasi yang diinginkan dalam
tiap IB)
Pengemasan Semen
Pengemasan semen ke dalam kapsul dapat dilakukan menggunakan
mesin dan
secara manual. Ukuran kapsul untuk manusia dan hewan
berbeda-beda. Kode kapsul
yang tersedia dibagi menjadi dua jenis berdasarkan objek
penggunaannya yaitu untuk
manusia dengan kode 000, 00, 0, 1, 2, 3, 4, 5 dan untuk hewan
10, 11, 12 (Ditjen
POM, 1995). Kode kapsul dan volume sesuai masing-masing kode
dapat dilihat pada
tabel 1.
Penyimpanan kapsul di tempat yang lembab akan menyebabkan
kapsul
menjadi lunak dan lengket serta sukar dibuka. Hal ini disebabkan
karena kapsul
menyerap air dari udara yang lembab. Sedangkan jika kapsul
disimpan pada wadah
yang terlalu kering, maka kapsul akan kehilangan air dan
cangkangnya menjadi rapuh
-
19
dan mudah pecah. Karena itu kapsul disimpan pada ruangan dan
wadah yang
kelembabannya sedang, tidak terlalu kering, dan disimpan dalam
botol kaca atau
botol plastik yang tertutup rapat dan diberi pengering atau
silika (Ditjen POM, 1995).
Tabel 1. Kode dan Volume Kapsul.
Kapsul Untuk Manusia Kapsul Untuk Hewan
Kode Volume (ml) Kode Volume (ml)
000 1,36 10 30
00 0,95 11 15
0 0,67 12 7,5
1 0,50
2 0,37
3 0,30
4 0,21
5 0,12
Sumber: Ansel, 1989 dan Ditjen POM, 1995.
Penyimpanan Semen
Ditjen POM (1995) melaporkan bahwa kandungan air pada cangkang
kapsul
gelatin lunak sekitar 10-15% dan 12-16% (Syamsuni, 2006). Jika
disimpan di tempat
yang lembab, kapsul akan menjadi lunak dan melengket satu sama
lain serta sulit
dibuka sebab kapsul menyerap air dari udara yang lembab.
Sebaliknya, jika disimpan
di tempat yang terlalu kering, kapsul akan kehilangan air
sehingga menjadi rapuh dan
mudah pecah.
Syamsuni (2006) menyebutkan bahwa penyimpanan kapsul sebaiknya
pada
ruang atau wadah yang tidak terlalu lembab atau dingin dan
kering, wadah
penyimpanan terbuat dari botol gelas, tertutup rapat, dan diberi
bahan pengering
-
20
(silika gel) atau wadah penyimpanan terbuat dari aluminium-foil
dalam blister atau
strip.
Semen cair pada umumnya disimpan dalam lemari es dengan suhu
3-5oC.
Iswari (2002) melaporkan bahwa semen cair domba garut dengan
pengencer Tris
yang disimpan pada suhu 22oC hanya bertahan selama 24 jam.
Sementara itu,
penyimpanan semen cair domba garut dalam lemari es pada suhu
3-5oC dengan
pengencer Tris dan susu skim (Kusno, 2000; Arisandy, 2003;
Sugianto, 2003;
Kristanto, 2004; Ikhsanudin, 2002) dan pengencer Andromed (Rizal
dan Herdis,
2008), dapat bertahan selama 3-5 hari dengan persentase
motilitas >40%. Affhandy et
al. (2007) melaporkan bahwa semen cair sapi dengan pengencer
tris-kuning telur
yang dikemas dalam straw dan disimpan dalam cooler bersuhu 5oC
mampu bertahan
selama 7-10 hari dengan tingkat PTM >40%.