19 BAB II TINJAUAN PUSTAKA Sejumlah ahli telah membuat definisi motivasi kerja, salah satunya ada yang mengemukakan bahwa motivasi kerja didefinisikan sebagai kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Motivasi kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor, dua diantaranya adalah reward dan iklim organisasi. Reward merupakan semua bentuk return baik finansial maupun nonfinansial yang diterima karyawan karena jasa yang disumbangkan ke perusahaan. Iklim organisasi merupakan lingkungan manusia yang di dalamnya para pegawai suatu organisasi melakukan pekerjaaan mereka
38
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/9016/3/T2_832010012_BAB II.pdf · Teori Kebutuhan Berprestasi McClelland McClelland mengemukakan
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
19
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Sejumlah ahli telah membuat definisi motivasi kerja,
salah satunya ada yang mengemukakan bahwa motivasi
kerja didefinisikan sebagai kondisi yang berpengaruh
membangkitkan, mengarahkan dan memelihara perilaku
yang berhubungan dengan lingkungan kerja. Motivasi
kerja dipengaruhi oleh berbagai faktor, dua diantaranya
adalah reward dan iklim organisasi. Reward merupakan
semua bentuk return baik finansial maupun nonfinansial
yang diterima karyawan karena jasa yang disumbangkan
ke perusahaan. Iklim organisasi merupakan lingkungan
manusia yang di dalamnya para pegawai suatu organisasi
melakukan pekerjaaan mereka
20
2.1. Motivasi Kerja
2.1.1. Definisi Motivasi Kerja
Sebelum membicarakan motivasi kerja, perlu kiranya
dikemukakan pengertian tentang motivasi pada umumnya.
Motivasi dalam bahasa Inggris disebut motivation yang
berasal dari bahasa Latin movere yang dimaksud
“menggerakkan” (Steers and Porter, 1975 dalam Wijono,
2010). Ada ungkapan yang menyatakan bahwa motivasi
adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah dan
ketekunan usaha dari seorang individu untuk mencapai
suatu tujuan. Pernyataan tersebut dijelaskan oleh Robbins
dan Judge (2007, h.186) yang mendefinisikan motivasi
sebagi berikut: motivation is the process that accounts for an
individual’s intensity, direction, and persistence of effort
toward attaining a goal. Ada juga ungkapan yang
menyatakan bahwa motivasi adalah keinginan untuk
mencapai melampaui harapan, yang lebih didorong oleh
faktor internal disbanding eksternal, dan untuk terus
terlibat dalam perjuangan demi perbaikan. Pernyataan
tersebut dijelaskan oleh Torrington et al (2009) dalam
Mikander (2010, h.11) yang mendefinisikan motivasi sebagi
21
berikut: “motivation is the desire to achieve beyond
expectations, being driven by internal rather than external
factors, and to be involved in a continuous striving for
improvement”.
Dalam hubungannya dengan lingkungan kerja,
McCormick (1985) (dalam Mangkunegara, 2002)
mengemukakan bahwa motivasi kerja didefinisikan sebagai
kondisi yang berpengaruh membangkitkan, mengarahkan
dan memelihara perilaku yang berhubungan dengan
lingkungan kerja. Di lain kesempatan, ada pernyataan yang
menyatakan bahwa motivasi kerja yaitu seperangkat
kekuatan yang menggerakkan baik di dalam maupun di
luar individu untuk memulai pekerjaan yang berkenaan
dengan perilaku, dan untuk menentukan bentuknya,
arahannya, intensitasnya dan durasi. Pernyataan tersebut
dijelaskan oleh Pinder (1998) dalam Meyer et al (2004, hal
11) yang mendefinisikan motivasi kerja sebagai berikut:
work motivation is a set of energetic forces that originates
both within as well as beyond an individual's being, to
initiate work related behavior, and to determine its form,
directions, intensity, and duration.
22
Berdasarkan beberapa definisi di atas maka dapat
disimpulkan bahwa motivasi kerja adalah seperangkat
kekuatan yang membangkitkan, mengarahkan dan
memelihara perilaku individu untuk memulai pekerjaan,
menentukan bentuknya, arahannya, intensitasnya dan
durasi atau lama menyelesaikan pekerjaan tersebut.
2.1.2. Teori Motivasi
Sejumlah teori telah dikembangkan untuk menjelaskan
motivasi kerja. Secara umum ada tiga kelompok teori motivasi
yang selalu dihubungkan dengan tindakan kerja yaitu teori-teori:
kebutuhan, harapan dan keadilan (Wijono, 2010). Dari ketiga
kelompok teori motivasi tersebut, selanjutnya yang dijabarkan
lebih lanjut dalam penelitian ini adalah teori kebutuhan. Alasan
dipilih teori ini sebab pada dasarnya individu bertingkah laku
tertentu karena adanya suatu kebutuhan. Di samping itu, teori
kebutuhan juga menjelaskan faktor-faktor spesifik yang
mendorong seseorang dalam melakukan kegiatan. Teori
kebutuhan ini termasuk dalam kelompok teori motivasi isi
(content theories of motivation).
23
Lebih lanjut menurut Wijono (2010) bahwa ada empat
teori yang tergolong dalam kelompok teori motivasi isi (content
theories of motivation) yaitu:
1. Teori Hierarki Kebutuhan Maslow
Maslow telah menyusun kebutuhan-kebutuhan
manusia dalam lima tingkat yang akan dicapai
menurut tingkat kepentingannya sebagai berikut:
kebutuhan fisiologis, kebutuhan keamanan,
kebutuhan sosial dan kasih sayang, kebutuhan
harga diri, dan kebutuhan aktualisasi diri.
2. Teori Kebutuhan ERG Alderfer
Alderfer menyesuaikan dan melakukan modifikasi
dari lima tingkat teori hierarki kebutuhan Maslow
hanya pada tiga kebutuhan saja yaitu: kebutuhan
keberadaan (existence), kebutuhan hubungan
relasi (relatedness) dan kebutuhan pertumbuhan
(growth).
3. Teori Kebutuhan Dua Faktor Herzberg
Herzberg menggolongkan kebutuhan-kebutuhan
dalam dua faktor saja, yaitu faktor motivator dan
kesehatan. Termasuk dalam faktor motivator
24
adalah: pekerjaan itu sendiri, prestasi,
kemungkinan pertumbuhan, tanggung jawab,
kemajuan, pengakuan dan status. Termasuk
dalam faktor kesehatan adalah: hubungan dengan
penyelia, hubungan antarkolega, hubungan
dengan bawahan, kualitas penyeliaan, kebijakan
perusahaan dan administrasi, keamanan kerja,
kondisi kerja dan gaji.
4. Teori Kebutuhan Berprestasi McClelland
McClelland mengemukakan adanya tiga motif yaitu
kekuasaan, afiliasi dan berprestasi yang dapat
memberi pengaruh pada prestasi kerja. Untuk
menjelaskan ketiga motif tersebut, Wijono (2010)
memberi beberapa contoh yang berhubungan
dengan ketiga motif tersebut. Pertama, bagi motif
kekuasaan misalnya, supervisor secara umum
terpaksa menggunakan paling tidak kekuasaannya
terhadap para karyawan yang mempunyai prestasi
kerja kurang baik. Kedua, motif afiliasi misalnya,
sebagian supervisor berusaha untuk dapat
meningkatkan kerja sama dengan bawahannya
25
dalam mencapai kerja yang diinginkan bersama.
Ketiga, motif berprestasi misalnya, supervisor
mempunyai keinginan memperoleh kesempatan
meningkatkan karir untuk mencapai prestasi
kerja.
Masing-masing teori motivasi di atas memiliki
keterbatasannya. Baik teori motivasi kerja Maslow
maupun teori ERG melihat motivasi seseorang hanya
berdasarkan hirarki kebutuhan, di mana tingkat
kebutuhan yang lebih tinggi berikutnya tidak akan tergerak
jika kebutuhan dibawahnya belum dipenuhi secara wajar.
Pada kenyataannya kebutuhan seseorang dapat saja tidak
tersusun secara hierarki, (2) Teori Herzberg hanya melihat
kebutuhan manusia yang terdiri dari dua hal yaitu puas
dan tidak puas. Padahal pada kenyataannya setiap orang
tidak mungkin akan menyadari semua hal yang memotivasi
mereka atau yang menyebabkan mereka tidak puas, (3)
Teori motivasi dari McClelland menegaskan bahwa
kebutuhan berprestasi itu dapat dipelajari. Hal ini
bertentangan dengan literatur pada umumnya yang
membuktikan bahwa motif seseorang diperoleh sejak
26
kanak-kanak (kecil), sehingga biasanya sangat sukar
diubah pada masa dewasa.
Meskipun masing-masing teori motivasi memilik
keterbatasn, namun dalam penelitian ini penulis lebih
menggunakan teori motivasi dari McClelland karena lebih
baik dalam menggambarkan motivasi kerja karyawan di
lingkungan organisasi. McClelland tidak melihat motivasi
kerja karyawan berdasarkan hirarki kebutuhan atau atas
dasar kepuasan dan ketidakpuasan kerja. Menurut Wijono
(2010) bahwa teori motivasi dari McClelland mempunyai
peran penting dalam kaitannya dengan usaha individu
untuk mencapai tingkah laku tertentu dalam
merealisasikan prestasi kerja.
2.1.3 Dimensi Motivasi Kerja
Berdasarkan beberapa teori motivasi yang telah
dijabarkan di atas yang mana selanjutnya dipilih teori
motivasi dari McClelland, maka dimensi motivasi kerja
yang dijabarkan berikut ini merupakan dimensi motivasi
kerja menurut teori McClelland (Gibson et al, 2000).
27
Adapun penjabaran dimensi motivasi kerja menurut teori
McClelland (Gibson et al, 2000) adalah sebagai berikut:
1. Kebutuhan berprestasi (need for achievement, n
Ach)
Merupakan daya, penggerak yang memotivasi
semangat bekerja seseorang. Karena itu, n Ach
akan mendorong seseorang untuk
mengembangkan kreatifitas dan mengarahkan
semua kemampuan serta energi yang dimilikinya
demi mencapai prestasi kerja yang maksimal.
Karyawan akan antusias untuk berprestasi tinggi,
asalkan kemungkinan untuk itu diberi
kesempatan. Seseorang menyadari bahwa hanya
dengan mencapai prestasi kerja yang tinggi akan
dapat memperoleh pendapatan yang besar. Dengan
pendapatan yang besar akhirnya memiliki serta
memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Sebagai
contoh misalnya, seorang karyawan membutuhkan
adanya tugas atau pekerjaan yang menantang
untuk lebih mengarahkan semua kemampuannya
untuk menyelesaikan pekerjaan tersebut.
28
2. Kebutuhan berafiliasi (need for affiliation, n Af)
Menjadi daya penggerak yang akan memotivasi
semangat bekerja seseorang. Oleh karena itu, n Af
ini merangsang gairah bekerja karyawan karena
setiap orang menginginkan hal-hal: kebutuhan
akan perasaan diterima oleh orang lain
dilingkungan ia tinggal dan bekerja (sense of
belonging), kebutuhan akan perasaan dihormati,
karena setiap manusia merasa dirinya penting
(sense of importance), kebutuhan akan perasaan
maju dan tidak gagal (sense of achievement), dan
kebutuhan akan perasaan ikut serta (sense of
participation). Seseorang karena kebutuhan n Af
akan memotivasi dan mengembangkan dirinya
serta memanfaatkan semua energinya untuk
menyelesaikan tugas-tugasnya. Sebagai contoh
misalnya, seorang karyawan akan merasa senang
jika dapat membantu rekan kerja yang kesulitan
menyelesaikan tugasnya.
29
3. Kebutuhan berkuasa (need for power, n Pow).
Merupakan daya penggerak yang memotivasi
semangat kerja karyawan. N Pow akan merangsang
dan memotivasi gairah kerja karyawan serta
mengarahkan semua kemampuannya demi
mencapai kekuasaan atau kedudukan yang
terbaik. Ego manusia ingin lebih berkuasa dari
manusia lainnya akan menimbulkan persaingan.
Persaingan ditumbuhkan secara sehat oleh
manajer dalam memotivasi bawahannya, supaya
mereka termotivasi untuk bekerja giat. Sebagai
contoh misalnya, seorang karyawan akan merasa
senang dan bangga jika diberikan kesempatan
menjadi pemimpin dalam teamwork.
2.1.4.Faktor-faktor Yang Memengaruhi Motivasi Kerja
Motivasi kerja dapat dipengaruhi oleh sejumlah
faktor. Seperti misalnya yang dikemukakan oleh Berkson
et al (2011) bahwa motivasi kerja karyawan dipengaruhi
oleh empat faktor yaitu: komunikasi di tempat kerja
30
(communication in the workplace), besarnya penerimaan
karyawan (income of employees), insentif jangka panjang
(long-term incentives), dan insentif non finansial (non-
financial incentives). Komunikasi yang terjalin baik di
tempat kerja, besarnya penerimaan yang sebanding dengan
kontribusi dan beban kerja, insentif jangka panjang serta
insentif non finansial yang layak dari perusahaan akan
membuat karyawan menjadi lebih termotivasi dalam
bekerja. Mikander (2010) menyebutkan bahwa sistem
reward mampu meningkatkan motivasi kerja karyawan.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Pratheepkanth
(2011) bahwa sistem reward mempunyai pengaruh
terhadap motivasi kerja karyawan. Ini berarti bahwa
perusahaan harus dapat memberikan reward yang layak
bagi karyawan karena hal tersebut dapat memotivasi
karyawan untuk bekerja lebih baik. Stringer (2002)
menyebutkan bahwa iklim organisasi sebagai koleksi dan
pola lingkungan menentukan munculnya motivasi kerja.
Iklim organisasi yang kondusif tentu saja akan membuat
karyawan menjadi lebih terasa nyaman dalam bekerja dan
ini tentunya akan memotivasi karyawan bekerja lebih baik.
31
Sementara itu menurut Utami dan Surowati (2009)
menyebutkan bahwa motivasi kerja dipengaruhi oleh tiga
faktor yaitu pelaksanaan supervisi, iklim organisasi dan
insentif. Dengan adanya supervisi yang tidak terlalu ketat
dan kaku terhadap karyawan akan mendorong mereka
untuk lebih berprestasi, demikian halnya jika iklim
organisasi yang kondusif mampu diciptakan oleh
perusahaan maka akan memotivasi karyawan dalam
bekerja. Sementara itu faktor insentif yang tepat dan
sesuai untuk masing-masing karyawan akan mendorong
mereka untuk bekerja dengan lebih baik lagi dibandingkan
sebelumnya.
2.2. Reward
2.2.1. Definisi Reward
Reward dapat didefinisikan sebagai sesuatu yang
diberikan atau diterima sebagai imbalan atas jasa yang
diberikan. Pernyataan tersebut dijelaskan oleh Bowen
(2000, h.121) dalam bukunya Recognizing and Rewarding
Employees, yang memberikan pengertian reward berikut
ini: “reward is something given or received in return for
32
service”. Reward adalah semua bentuk return baik
finansial maupun nonfinansial yang diterima karyawan
karena jasa yang disumbangkan ke perusahaan. Reward
dapat berupa finansial yaitu berbentuk gaji, upah, bonus,
komisi, asuransi karyawan, bantuan sosial karyawan,
tunjangan libur atau cuti tetap dibayar dan sebagainya,
maupun bentuk non finansial seperti tugas yang menarik,
tantangan tugas, tanggung jawab tugas, peluang,
pengakuan, pencapaian tujuan, serta lingkungan pekerjaan
yang menarik (Schuler and Huber, 1993).
Reward dalam konteks kegiatan manajemen sering
diistilahkan dengan kompensasi. Selanjutnya Mondy and
Noe (2005) menjelaskan arti kompensasi sebagai
keseluruhan reward yang diberikan untuk karyawan
sebagai imbalan atas pekerjaan mereka yang terdiri dari
finansial dan non finansial. Lebih lanjut menurut Rivai
(2004), bahwa kompensasi merupakan sesuatu yang
diterima karyawan sebagai pengganti kontribusi jasa
mereka pada perusahaan. Pemberian kompensasi
merupakan salah satu pelaksanaan fungsi Manajemen
Sumber Daya Manusia yang berhubungan dengan semua
33
jenis penghargaan individual sebagai pertukaran dalam
melakukan tugas keorganisasian. Hasibuan (2010)
mengartikan kompensasi sebagai semua pendapatan yang
berbentuk uang, barang baik langsung atau tidak langsung
yang diterima karyawan sebagai imbalan atas jasa yang
diberikan.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa reward adalah keseluruhan balas jasa
baik finansial maupun non finansial, secara langsung
ataupun tidak langsung yang diterima karyawan atas
pekerjaan yang mereka lakukan bagi perusahaan.
2.2.2. Bentuk-bentuk Reward
Ada beragam macam bentuk reward yang dapat
diterima oleh seorang karyawan. Menurut Robbins (2003),
jenis reward atau kompensasi yang didistribusikan pada
karyawan terdiri dari: (1) Imbalan intrinsik, yaitu imbalan
yang diterima individu untuk diri mereka sendiri. Imbalan
ini sebagian besar merupakan kepuasan pekerja itu atas
pekerjaanya, (2) Imbalan ekstrinsik, mencakup:
kompensasi langsung (gaji/bonus), kompensasi tidak
34
langsung (asuransi, upah, liburan) dan imbalan bukan
uang (ruang kerja yang luas, tempat parkir khusus, pujian
dari atasan).
Pendapat yang sama juga didapat dari Simamora
(2002) yang lebih jauh menjelaskan dua tipe besar dari
imbalan tersebut:
1. Imbalan intrinsik
Merupakan imbalan yang dinilai di dalam dan dari
karyawan sendiri, karena imbalan itu melekat
pada aktivitas karyawan dan pemberiannya tidak
tergantung dengan tindakan orang lain, terdiri
dari:
a. Perasaan orang akan kemampuan pribadi atau
pelaksanaan pekerjaan dengan baik.
b. Perasaan penyelesaian atau pencapaian pribadi
dengan memperoleh tujuan atau sasaran.
c. Perasaan kebebasan dari pengarahan dan
tanggung jawab pribadi yang meningkat karena
diberikan otonomi berkenaan dengan
pelaksanaan suatu pekerjaan.
35
d. Perasaan pertumbuhan pribadi akibat
kesuksesan dalam bidang upaya pribadi yang
baru dan menantang.
2. Imbalan ekstrinsik
Merupakan imbalan yang dihasilkan oleh sumber-
sumber eksternal untuk seseorang, dalam hal ini
perusahaan sebagai sumber eksternal dan
memberikan imbalan kepada karyawan-
karyawannya tergantung pada kinerja karyawan.
2.2.3. Dimensi Reward
Reward merupakan salah satu strategi manajemen
sumber daya manusia untuk menciptakan keselarasan
kerja antar staf dengan pimpinan perusahaan dalam
mencapai tujuan dan sasaran yang sudah ditetapkan
(Walker, 1992). Reward atau kompensasi dapat dibagi
dalam dua dimensi yaitu berupa reward finansial seperti
gaji, upah, bonus, komisi, asuransi karyawan, bantuan
sosial karyawan, tunjangan libur atau cuti tetap dibayar
dan sebagainya; maupun reward non finansial seperti
36
tugas yang menarik, tantangan tugas, tanggung jawab
tugas, peluang, pengakuan, pencapaian tujuan, serta
lingkungan pekerjaan yang menarik (Schuler and Huber,
1993).
Mondy and Noe (2005) menyebutkan bahwa
kompensasi dapat dibedakan atas kompensasi finansial
dan kompensasi non finansial. Kompensasi finansial terdiri
dari kompensasi finansial langsung dan yang tidak
langsung. Sementara itu, kompensasi non finansial terdiri
dari pekerjaan dan lingkungan pekerjaan. Berikut
penjelasan dari masing-masing dimensi kompensasi
tersebut:
1. Kompensasi finansial
a. Kompensasi finansial langsung (direct financial
compentation) terdiri dari pembayaran yang
diterima oleh seseorang pegawai dalam bentuk
gaji, upah, bonus, dan komisi.
b. Kompensasi tidak langsung (Indirect financial
compentation), yang disebut juga dengan
tunjangan meliputi semua imbalan finansial
yang tidak termasuk dalam kompensasi
37
langsung antara lain berupa program asuransi
jiwa dan kesehatan, bantuan sosial, benefit
antara lain: jaminan pensiun, jaminan sosial
tenaga kerja, bantuan pendidikan, dan bantuan
natura, ketidakhadiran yang dibayar seperti
cuti. Hari libur atau vacation, cuti sakit dan
lain-lain.
2. Kompensasi non finansial (non financial
compentation)
a. Kepuasan yang diperoleh pegawai dari pekerjaan
itu sendiri antara lain berupa: tugas yang
menarik minat, tantangan pekerjaan, tanggung
jawab, pengakuan yang memadai atas prestasi
yang dicapai, seperti peluang promosi bagi
pegawai yang berpotensi, atau peluang
mengungtungkan lainnya.
b. Kepuasan yang diperoleh pegawai dari pekerjaan
yang dapat diciptakan oleh perusahaan dan
pegawai yaitu efek psikologis dan fisik di mana
orang tersebut bekerja. Yang termasuk
didalamnya, antara lain berupa: kebijakan
38
perusahaan yang sehat dan wajar, supervisi
dilakukan oleh pegawai yang kompenten,
adanya rekan kerja yang menyenangkan,
pemberian symbol status yang tepat, terciptanya
lingkungan kerja yang nyaman, adanya
pembagian pekerjaan adil, waktu kerja yang
fleksibel, dan lain-lain.
Dimensi reward sebagaimana dikemukakan oleh
Schuler and Huber (1993) sesungguhnya mempunyai
kesamaan dengan dimensi reward yang dikemukakan oleh
Mondy and Noe (2005) yaitu sama-sama
mengklasifikasikan reward kedalam dua dimensi yaitu
reward/ kompensasi finansial dan reward/ kompensasi
non finansial. Namun dalam penelitian ini, dimensi reward
yang dipilih lebih lanjut adalah dimensi reward yang
dikemukakan oleh Mondy and Noe (2005) dengan alasan
penjabaran dari kedua dimensi reward lebih terperinci
sehingga akan memudahkan dalam penyusunan daftar
item pernyataan untuk mengukur reward.
39
2.2.4.Faktor-faktor Yang Memengaruhi Reward
Faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya reward/
kompensasi menurut Hasibuan ( 2007), antara lain sebagai
berikut:
1. Penawaran dan permintaan tenaga kerja. Jika
pencari kerja (penawaran) lebih banyak daripada
lowongan pekerjaan (permintaan) maka
kompensasi relatif kecil. Sebaliknya jika pencari
kerja lebih sedikit daripada lowongan pekerjaan,
maka kompensasi relatif semakin besar.
2. Kemampuan dan kesediaan perusahaan. Apabila
kemampuan dan kesediaan perusahaan untuk
membayar semakin baik maka tingkat kompensasi
akan semakin besar. Tetapi sebaliknya, jika
kemampuan dan kesediaan perusahaan untuk
membayar kurang maka tingkat kompensasi relatif
kecil.
3. Serikat buruh/ organisasi karyawan. Apabila
serikat buruhnya kuat dan berpengaruh maka
tingkat kompensasi semakin besar. Sebaliknya jika
40
serikat buruh tidak kuat dan kurang berpengaruh
maka tingkat kompensasi relatif kecil.
4. Produktivitas kerja karyawan. Jika produktivitas
kerja karyawan baik dan banyak maka
kompensasi akan semakin besar. Sebaliknya kalau
produktifitas kerjanya buruk serta sedikit maka
kompensasinya kecil.
5. Pemerintah dengan Undang-undang dan Keppres.
Pemerintah dengan undang-undang dan keppres
menetapkan besarnya batas upah/balas jasa
minimum. Peraturan pemerintah ini sangat
penting supaya pengusaha tidak sewenang-wenang
menetapkan besarnya balas jasa bagi karyawan.
Pemerintah berkewajiban melindungi masyarakat
dari tindakan sewenang-wenang
6. Biaya hidup (cost of living). Apabila biaya hidup di
daerah itu tinggi maka tingkat kompensasi atau
upah semakin besar. Sebaliknya, jika tingkat biaya
hidup di daerah itu rendah maka tingkat
kompensasi atau upah relatif kecil. Seperti tingkat
upah di Jakarta lebih besar dari Bandung, karena
41
tingkat biaya hidup di Jakarta lebih besar
daripada di Bandung.
7. Posisi jabatan karyawan. Karyawan yang
menduduki jabatan lebih tinggi akan menerima
gaji/kompensasi lebih besar. Sebaliknya karyawan
yang menduduki jabatan yang lebih renda akan
memperoleh gaji/kompensasi yang kecil. Hal ini
wajar karena seseorang yang mendapat
kewenangan dan tanggung jawab yang besar harus
mendapatka gaji/kompensasi yang lebih besar
pula.
8. Pendidikan dan pengalaman kerja. Jika
pendidikan lebih tinggi dan pengalaman kerja lebih
lama maka gaji atau balas jasanya akan semakin
besar, karena kecakapan serta keterampilannya
lebih baik. Sebaliknya, karyawan yang
berpendidikan rendah dan pengalaman kerja yang
kurang maka tingkat gaji atau kompensasinya
kecil.
9. Kondisi perekonomian nasional. Apabila kondisi
perekonomian nasional sedang maju (boom) maka
42
tingkat upah/kompensasi akan semakin besar,
karena akan mendekati kondisi full employment.
Sebaliknya, jika kondisi perekonomian kurang
maju (depresi) maka tingkat upah rendah, karena
terdapat banyak penganggur (disqueshed
unemployment).
10. Jenis dan sifat pekerjaan. Kalau jenis dan sifat
pekerjaan yang sulit dan mempunyai risiko
(finansial, keselamatan) yang besar maka tingkat
upah/balas jasanya semakin besar karena
membutuhkan kecakapan serta ketelitian untuk
mengerjakannya. Tetapi jika jenis dan sifat
pekerjaannya mudah dan risiko (finansial,
kecelakaannya) kecil, tingkat upah/balas jasanya
relatif rendah. Misalnya, pekerjaan merakit
komputer balas jasanya lebih besar daripada
mengerjakan mencetak batu bata.
43
2.3. Iklim Organisasi
2.3.1. Definisi Iklim Organisasi
Ada berbagai definisi tentang iklim organisasi yang
diungkapkan oleh para ahli di antaranya suatu pernyataan
yang menyatakan bahwa iklim organisasi merupakan suatu
set sifat yang dapat diukur pada lingkungan kerja baik
secara langsung maupun tidak langsung dipersepsikan
oleh karyawan yang bekerja didalam lingkungan organisasi
yang mempengaruhi dan memotivasi perilaku mereka.
Pernyataan tersebut dijelaskan oleh Litwin and Stringer
(1968) dalam Holloway (2012) yang memberikan definisi
iklim organisasi sebagai berikut: "organizational climate as
the set of measurable properties of the work environment
that is either directly or indirectly perceived by the employees
who work within the organizational environment that
influences and motivates their behavior".
Davis and Newstrom (2001) memandang iklim
organisasi sebagai lingkungan manusia yang di dalamnya
para pegawai suatu organisasi melakukan pekerjaaan
mereka. Dari pengertian ini tampak bahwa iklim organisasi
menyangkut semua lingkungan yang ada atau yang
44
dihadapi oleh pegawai yang berada dalam suatu organisasi
yang mempengaruhi pegawai dalam melaksanakan tugas-
tugas keorganisasiannya. Kemudian dikemukakan oleh
Gibson et al (1996) bahwa iklim organisasi merupakan
serangkaian keadaan lingkungan dalam organisasi yang
dirasakan langsung maupun tidak langsung oleh para
karyawan, dan diasumsikan merupakan kekuatan yang
besar dalam mempengaruhi perilaku karyawan.
Berdasarkan beberapa definisi di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa iklim organisasi adalah suatu
kumpulan keadaan lingkungan kerja baik secara langsung
maupun tidak langsung dirasakan atau dihadapi karyawan
yang mempengaruhi perilakunya dalam melaksanakan
tugas-tugas.
2.3.2. Dimensi Iklim Organisasi
Stringer (1968) dalam Wirawan (2007) menyebutkan
bahwa karakteristik atau dimensi iklim organisasi dapat
mempengaruhi motivasi anggota organisasi untuk
berperilaku tertentu. Ia juga mengatakan enam dimensi
yang diperlukan, yaitu:
45
1. Struktur. Struktur merefleksikan perasaan bahwa
karyawan diorganisasi dengan baik dan
mempunyai definisi yang jelas mengenai peran dan
tanggung jawab mereka. Meliputi posisi karyawan
dalam perusahaan.
2. Standar-standar. Mengukur perasaan tekanan
untuk memperbaiki kinerja dan derajat
kebanggaan yang dimiliki karyawan dalam
melakukan pekerjaannya dengan baik. Meliputi
kondisi kerja yang dialami karyawan dalam
perusahaan.
3. Tanggung jawab. Merefleksikan perasaan
karyawan bahwa mereka menjadi “pimpinan diri
sendiri” dan tidak pernah meminta pendapat
mengenai keputusannya dari orang lain. Meliputi
kemandirian dalam menyelesaikan pekerjaan.
4. Pengakuan. Perasaan karyawan diberi imbalan
yang layak setelah menyelesaikan pekerjaannya
dengan baik. Meliputi imbalan atau upah yang
terima karyawan setelah menyelesaikan pekerjaan.
46
5. Dukungan. Merefleksikan perasaan karyawan
mengenai kepercayaan dan saling mendukung
yang berlaku dikelompok kerja. Meliputi hubungan
dengan rekan kerja yang lain.
6. Komitmen. Merefleksikan perasaan kebanggaan
dan komitmen sebagai anggota organisasi. Meliputi
pemahaman karyawan mengenai tujuan yang ingin
dicapai oleh perusahaan.
Sementara itu, menurut Pines (1982) dalam Elfrida
(2009) bahwa iklim organisasi dapat diukur melalui empat
dimensi yaitu:
1. Psikologikal, yaitu meliputi variabel seperti beban
kerja, kurang otonomi, kurang pemenuhan sendiri
dan kurang inovasi.
2. Struktural, yaitu meliputi variabel seperti fisik,
bunyi dan tingkat keserasian antara keperluan
kerja dan struktur fisik.
3. Sosial, yaitu meliputi interaksi dengan klien (dari
segi kuantitas dan ciri-ciri permasalahannya),
rekan sejawat (tingkat dukungan dan kerja sama)
47
4. Birokratik, yaitu meliputi undang-undang dan
peraturan-peraturan, konflik peranan dan
kekaburan peranan.
Dalam penelitian ini, pengukuran iklim organisasi
mengacu pada dimensi-dimensi iklim organisasi seperti
yang dikemukakan oleh Stringer (1968) dalam Wirawan
(2007) karena memiliki cakupan dimensi iklim organisasi
yang lebih luas dibandingkan apa yang dikemukakan oleh
Pines (1982) dalam Elfrida (2009), selain itu dimensi-
dimensi iklim organisasi sebagaimana dikemukakan oleh
Pines tersebut juga telah terkandung dalam dimensi-
dimensi iklim organisasi sebagaimana dikemukakan oleh
Stinger.
2.3.3. Faktor-faktor Yang Memengaruhi Iklim
Organisasi
Disadari bahwa satu iklim organisasi tidak dapat
begitu saja terjadi dengan sendirinya. Dalam hal ini ada
beberapa faktor penentu terjadinya iklim organisasi. Steers
(1980) dalam Idrus (2006) mengemukakan setidaknya ada
4 (empat) komponen yang menentukan satu iklim
organisasi, yaitu:
48
1. Struktur kebijakan organisasi, yang dimaksud
adalah semakin tinggi tingkat sentralisasi,
formalisasi dan ketatnya orientasi pada peraturan
akan semakin kaku lingkungan organisasi,
sehingga akan menimbulkan ketertutupan dan
bahkan kadang disertai kondisi ancaman.
Sebaliknya semakin besar otonomi dan kebebasan
menentukan tindakan sendiri yang diberikan pada
individu dan semakin banyak perhatian pihak
menejer yang ditujukan pada para pegawainya,
akan semakin baik iklim kerjanya. Baiknya iklim
organisasi tersebut ditunjukkan dengan adanya
sikap keterbukaan, penuh kepercayaan dan
tanggungjawab.
2. Teknologi yang digunakan dalam organisasi.
Teknologi yang rutin cenderung menciptakan iklim
yang beroreintasi pada peraturan dengan tingkat
kepercayaan serta kreativitas yang rendah.
Sebaliknya, teknologi yang lebih dinamis dan
berubah-ubah akan menjurus kepada komunikasi
yang terbuka, kepercayaan, kreativitas dan
49
penerimaan tanggungjawab pribadi untuk
penyelesaian tugas yang tinggi.
3. Lingkungan luar organisasi. Pendapat ini
berasumsi bahwa peristiwa atau faktor dari luar
yang secara khusus berkaitan dengan pegawai
diduga mempunyai pengaruh terhadap iklim
organsiasi. Contoh untuk komponen ini salah
satunya adalah kondisi krisis moneter seperti yang
pernah terjadi di Indonesia, karena kondisi ini
banyak organisasi yang harus mem-PHK para
karyawannya. Pada sisi lain, dengan adanya PHK
terhadap teman sekerjanya, mereka yang masih
tinggal cenderung merasakan iklim yang ada di
organisasinya cenderung “mengancam”, sehingga
memunculkan situasi yang tidak ada kehangatan,
lemahnya dukungan, rendahnya motivasi kerja
karyawan.
4. Kebijakan dan praktek menejemen yang dilakukan
organisasi. Seorang menejer yang lebih banyak
memberikan umpan balik, otonomi dan identitas
pekerjaan para pegawainya tampaknya lebih
50
berhasil menciptakan iklim organisasi yang
berorientasi pada prestasi. Di pihak lain menejer
yang menekankan pada peraturan justru
menjadikan pegawai memiliki sikap tidak
bertanggungjawab.
Mondy (1980) dalam Idrus (2006) mengungkap empat
faktor utama yang mempengaruhi iklim organisasi yaitu:
(1) kelompok kerja, yang terdiri dari kesepakatan, moral
kerja, kesejawatan; (2) pengawasan menejer, antara lain
berupa penekanan pada hasil dan tingkat kepercayaan; (3)
karakteristik organisasi yang terdiri dari ukuran (besar