1 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Konsep Pembuktian Yang dimaksudkan dengan “membuktikan” ialah meyakinkan Hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan atau “perkara” di muka Hakim atau Pengadilan. Pembuktianhanya diperlukan, apabila timbul suatu perselisihan. Jika tidak ada orang yang menyangkal hak milik saya atas rumah yang saya diami, maka saya tidak perlu membuktikan bahwa rumah itu milik saya. Jika si penjual barang tidak menyangkal bahwa si pembeli sudah membayar harga barang yang dibeli dan telah diterimanya, maka pembeli itu tidak perlu membuktikan bahwa ia sudah membayar harga barang tadi. Jika hak waris seorang anak angkat atas barang peninggalan bapak angkatnya, tidak di bantah oleh sesuatu pihak, maka ia tidak perlu membuktikan hak warisnya tersebut. Semua perselisihan mengenai hak milik, utang-piutang atau warisan seperti disebutkan di atas, atau juga dinamakan perselisihan mengenai “hak-hak perdata” (artinya: hak-hak yang berdasarkan “hukum perdata” atau “hukum sipil”) adalah semata-mata termasuk kekuasaan atau wewenang Hakim atau Pengadilan untuk memutuskannya, dalam hal ini Hakim atau Pengadilan Perdata. Hakim atau Pengadilan ini merupakan alat perlengkapan dalam suatu Negara Hukum yang
80
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/14624/2/T1_312010040_BAB II... · Pendirian para sarjana sekarang ialah, bahwa surat 4 gugat itu
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Pembuktian
Yang dimaksudkan dengan “membuktikan” ialah meyakinkan Hakim
tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu
persengketaan. Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah
diperlukan dalam persengketaan atau “perkara” di muka Hakim atau Pengadilan.
Pembuktianhanya diperlukan, apabila timbul suatu perselisihan. Jika tidak
ada orang yang menyangkal hak milik saya atas rumah yang saya diami, maka
saya tidak perlu membuktikan bahwa rumah itu milik saya. Jika si penjual barang
tidak menyangkal bahwa si pembeli sudah membayar harga barang yang dibeli
dan telah diterimanya, maka pembeli itu tidak perlu membuktikan bahwa ia sudah
membayar harga barang tadi. Jika hak waris seorang anak angkat atas barang
peninggalan bapak angkatnya, tidak di bantah oleh sesuatu pihak, maka ia tidak
perlu membuktikan hak warisnya tersebut.
Semua perselisihan mengenai hak milik, utang-piutang atau warisan seperti
disebutkan di atas, atau juga dinamakan perselisihan mengenai “hak-hak perdata”
(artinya: hak-hak yang berdasarkan “hukum perdata” atau “hukum sipil”) adalah
semata-mata termasuk kekuasaan atau wewenang Hakim atau Pengadilan untuk
memutuskannya, dalam hal ini Hakim atau Pengadilan Perdata. Hakim atau
Pengadilan ini merupakan alat perlengkapan dalam suatu Negara Hukum yang
2
ditugaskan menetapkan perhubungan hukum yang sebenarnya antara dua pihak
yang terlibat dalam perselisihan atau persengketaan.
Tugas Hakim atau Pengadilan sebagaimana dilukiskan di atas, adalah
menetapkan hukum atau undang-undang secara khas ataupun1 mengetrapkan
hukum atau udang-undang, menetapkan apakah yang “hukum” antara dua pihak
yang bersangkutan itu. Dalam sengketa yang berlangsung di muka Hakim itu,
masing-masing pihak memajukan dalil-dali1 (bahasa Latin “posita”) yang saling
bertentangan. Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang
benar dau dalil-dalil manakah yang tidak benar. Berdasarkan duduknya perkara
yang ditetapkan sebagai yang sebenarnya itu, Hakim dalam amar atau “dictum”
putusannya, memutuskan siapakah yang dimenangkan dan siapakah yang
dikalahkan. Dalam melaksanakan pemeriksaan tadi, Hakim harus mengindahkan
aturan-aturan tentang pembuktian yang merupakan “Hukum Pembuktian” yang
akan menjadi bahan pembicaraan dalam buku ini. Ketidakpastian hukum
(“rechtsonzekerheid”) dan kesewenang-wenangan (”willekeur”) akan timbul
apabila Hakim, dalam melaksanakan tugasnya itu, diperbolehkan menyandarkan
putusannya hanya atas keyakinannya, biarpun itu sangat kuat dan sangat murni.
Keyakinan Hakim itu harus didasarkan pada sesuatu, yang oleh undang-undang
dinamakan “alat bukti”. Dengan alat bukti ini masing-musing pihak berusaha
membuktikan dalilnya atau pendiriannya yang dikemukakan kepada Hakim yang
diwajibkan memutusi perkara mereka itu.
1 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Pradnya Paramita, Jakarta, 1978, h. 5
3
Dalam pada itu harus juga diindahkan aturan-aturan yang menjamin
keseimbangan dalam pembebanan kewajiban untuk membuktikan hal-hal yang
menjadi perselisihan itu. Pembebanan yang berat sebelah dapat a-priori
menjerumuskan suatu pihak dalam kekalahan dan akan menimbulkan perasaan
“teraniaya” pada yang dikalahkan itu.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum pembuktian dimaksud
sebagai suatu rangkaian peraturan tata tertib yang harus diindahkan dalam
melangsungkan pertarungan di muka Hakim, antara kedua belah pihak yang
sedang mencari keadilan.
Dari apa yang secara singkat diterangkan di atas, dapat dilihat bahwa hukum
pembuktian itu sebenarnya merupakan suatu bagian dari pada Hukum Acara,
karena ia memberikan aturan-aturan ten tang bagaimana berlangsungnya suatu
perkara di muka Hakim (”Law of Procedure”). Dan memang kita melihat bahwa
Hukum Pembuktian yang dimaksud untuk dipakai oleh Hakim Pengadilan Negeri
dalam memeriksa perkara-perkara itu, baik perkara pidana2 maupun perkara
perdata terdapat dalam Reglemen Indonesia yang dibaharui (RIB ), suatu undang-
undang yang memuat hukum acara yang berlaku di muka Pengadilan Negeri itu.
RIB tadi hanya berlaku untuk Jawa dan Madura (mengenai hukum acara
perdatanya); untuk daerah luar Jawa sekedar mengenai hukum acara perdata di
muka Pengadilan Negeri berlaku Reglemen Daerah Seberang (”Rechtsreglement
Buitengewesten”).
2 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 6
4
Tentang Hukum Acara yang berlaku tadi dapat kita lihat dari Undang-
undang No. 1 tahun 1951 tentang “Tindakan-tindakan sementara untuk
menyelenggarakan kesatuan susunan, kekuasaan dan acara Pengadilan-pengadilan
Sipil.” Suatu pertanyaan timbul, mengapa hukum Pembuktian itu juga diatur
dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata, suatu Kitab Undang-undang yang
dimaksud memuat hukum materiil. Jawabannya atas pertanyaan ini ialah bahwa
pernah ada aliran yang ingin membedakan Hukum Acara itu dalam suatu bagian
materiil dan suatu bagian formil. Yang terakhir ini memuat aturan-aturan yang
benar-benar semata-mata mengenai formalitas-formalitas saja yang harus
diindahkan di muka Pengadilan, misalnya: cara memajukan jawaban, cara
menguasakan orang lain, cara minta banding, jangka waktu atau tenggang-
tenggang yang harus diindahkan dan lain sebagainya. Hukum Pembuktian
menurut pendapat mereka termasuk bagian yang materiil, dan karenanya juga
dapat diatur dalam suatu Kitab Undang-undang yang memuat Hukum Perdata. itu.
Dalam Kitab Undang-undang Perdata ini Hukum Pembuktian diatur dalam Buku
IV bersama-sama dengan Daluwarsa (Lewat waktu).
Dalam Code Civil, Hukum Pembuktian diatur dalam Buku Ketiga yang
memuat Hukum Perikatan, yaitu dalam suatu bab yang berjudul “Tentang
pembuktian perikatan dan pembayarannya” .Dengan demikian maka Hukum
Pembuktian terdapat dalam:
a. Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
b. Reglemen Indonesia yang dibaharui (disingkat RIB).
5
c. Reglemen Daerah Seberang.3
Di samping itu juga di sana-sini Kitab Undang-undang Hukum Dagang
memuat pasal-pasal pembuktian, yang dimaksud sebagai ketentuan-ketentuan
pembuktian khusus.
Dalam soal pembuktian pernah dipersoalkan, apakah sebenarnya yang dapat
dibuktikan itu. Dulu para sarjana mengatakan bahwa yang dapat dibuktikan itu
hanyalah kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa saja. Dari terbuktinya
kejadian-kejadian dan peristiwa-peristiwa tadi disimpulkan adanya hak milik,
adanya piutang, hak waris dan sebagainya. Jadi di muka Hakim itu kita harus
membuktikan fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa untuk membenarkan adanya
suatu hak.
Ajaran yang demikian tadi sudah ditinggalkan karena pendapat, bahwa
hanya sesuatu yang dapat dilihat saja dapat dibuktikan adalah terlalu picik. Justru
dalam Hukum itu kita menghadapi banyak hal-hal yang tidak dapat dilihat, tetapi
sudah begitu hidup dan nyata dalam pikiran kita, seperti hak milik, piutang,
perikatan, dan sebagainya, hingga kita harus memperkenankan pembuktian
barang-barang ini secara langsung. Di muka sidang Pengadilan itu tidak saja
peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang dapat dibuktikan (perzinahan,
penganiayaan, pembayaran, penyerahan barang), tetapi kita juga dapat secara
langsung membuktikan hak milik, suatu piutang, hak waris dan lain-lain hak.
Pasal pertama dari Buku IV Kitab Undang-undang Hukum Perdata, yang
mengatur perihal pembuktian, yaitu pasal 1865 berbunyi: “Setiap orang yang
3 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 7
6
mendalilkan bahwa ia mempunyai suatu hak, atau guna meneguhkan haknya
sendiri maupun membantah hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa,
diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut”. Demikian juga
bunyi pasal 163 RIB dan pasal 283 Reglemen Daerah Seberang. Jelaslah nampak
dari pasal-pasal tersebut, bahwa tidak hanya peristiwa saja yang dapat dibuktikan,
tetapi juga suatu hak. Kalau dulu seorang penggugat yang menuntut kembali
barang miliknya, diwajibkan mendalilkan peristiwa-peristiwa bagaimana in
memperoleh hak miliknya. (jual beli dan penyerahan, tukar-menukar dan
penyerahan dan sebagainya), sekarang ia sudah dapat diterima apabila ia secara
singkat mendalilkan bahwa ia adalah pemilik, atau bahwa ia mempunyai hak
milik atas barang sengketa. Pendirian para sarjana sekarang ialah, bahwa surat4
gugat itu sudah mencukupi asal tergugat sudah dapat mengerti berdasarkan apa
penggugat itu mengadakan tuntutannya.
Dari apa yang dibicarakan di atas, dapat juga kita simpulkan bahwa para
fihak yang bersengketa itu diwajibkan membuktikan tentang “duduknya perkara”.
Tentang bagaimana hukumnya, bukanlah kewajiban mereka untuk
membuktikannya karena adalah kewajiban Hakim untuk mengetahui hukum itu
dan mengetrapkan hukum ini sesudah ia mengetahui tentang duduknya perkara
tadi. Berat juga beban Hakim, yang dianggap mengetahui segala-galanya tentang
Hukum yang harus diterapkan itu, biar itu adalah hukum dari suatu Negara asing
sekalipun. Hukum dan Negaranya sendiri kadang-kadang sudah tidak mudah
diketahuinya, misalnya hukum adat yang hidup diplosok-plosok. Tidak jarang
4 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 8
7
Hakim itu harus mendengar saksi-saksi ahli tentang hukum adat yang berlaku di
daerah-daerah, misalnya dalam soal-soal warisan.5
B. Alat-Alat Bukti
Alat bukti adalah untuk membuktikan kebenaran hubungan hukum, yang
dinyatakan baik oleh penggugat maupun oleh tergugat dalam perkara
perdata.6Menurut BW,HIR, dan R.bg.) alat-alat bukti dalam perkara perdata
terdiri atas:
a. Alat bukti tertulis atau surat ;
b. Kesaksian;
c. Persangkaan-persangkaan;
d. Pengakuan;
e. Sumpah;
f. Keterangan Ahli;
g. Pemeriksaan Setempat.
Selain tujuh alat bukti menurut undan-undang sebagaimana dikemukakan di
atas Achmad Ali dalam bukunya “Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata”
menerangkan bahwa menjadi tugas ilmuwan untuk mengemukakan alat-alat bukti
baru yang muncul seiring dengan berkembangnya teknologi, alat-alat bukti
tersebut adalah:
5 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 9
6 Achmad Ali, Wiwie Heryani, Asas-Asas Hukum Pembuktian Perdata, Kencana,
Jakarta, 2013, h. 73
8
a. Pembicaraan telepon;
b. Testing darah
c. Hasil komputer
d. Fotocopy;
e. Rekaman kaset;
f. Hasil fotografi;
g. Dan sebagainya.7
Dalam lalu lintas keperdataan, yaitu dalam jual beli, utang-piutang, sewa-
menyewa dan lain sebagainya, orang-orang itu memang dengan sengaja membuat
alat-alat bukti berhubung dengan kemungkinan diperlukannya bukti-bukti itu di
kemudian hari. Orang yang membayar utangnya minta diberikan tanda
pembayaran, orang yang membuat suatu perjanjian piutang dengan seorang lain
minta dibuatnya perjanjian itu hitam di atas putih, dan lain sebagainya. Dan
dengan sendirinya, dalam suatu masyarakat yang sudah maju, tanda-tanda atau
bukti-bukti yang paling tepat memanglah tulisan.8
Di sampingnya tulisan-tulisan yang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan
bukti, ada juga tulisan-tulisan yang dibuatnya tanpa maksud yang demikian, tetapi
pada sewaktu-waktu dapat dipakai juga atau berguna dalam suatu pembuktian,
misalnya: Surat-menyurat biasa, catatan-catatan, pembukuan dan lain-lain.
Beraneka warna sekali tulisan itu: Kwitansi, surat perjanjian, surat-menyurat,
surat hak milik, surat tanda kelahiran, dan lain sebagainya. Biasanya, apabila
7Achmad Ali, Wiwie Heryani, Op.Cit., h. 78
8 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 20
9
seorang dimintai surat tanda bukti, maka surat tanda bukti ini dimaksudkan untuk
di kemudian hari dipakai terhadap orang yang memberikan tanda bukti tersebut.
Jadi, lazimnya tulisan itu akan menjadi bukti terhadap si penulis. Kwitansi, surat-
menyurat dll. merupakan suatu bukti terhadap penanda tangannya.
Apabila tidak terdapat bukti-bukti yang berupa tulisan, maka pihak yang
diwajibkan membuktikan sesuatu berusaha mendapatkan orang-orang yang telah
melihat atau mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan. Orang atau
orang-orang itu di muka Hakim diajukan sebagai saksi. Adalah mungkin bahwa
orang-orang tadi pada waktu terjadinya peristiwa itu dengan sengaja telah diminta
untuk menyaksikan kejadian yang berlangsung itu (jual beli, sewa-menyewa dll).
Ada pula orang-orang secara kebetulan melihat atau mengalami peristiwa yang
dipersengketakan itu.
Apabila tidak mungkin mengajukan saksi-saksi yang telah melihat atau
mengalami sendiri peristiwa yang harus dibuktikan, muka diusahakan untuk
membuktikan peristiwa-peristiwa lain yang ada hubungan erat dengan peristiwa
yang harus dibuktikan tadi, Misalnya, jika tidak mungkin membuktikan secara
langsung bahwa suatu party barang sudah diterima oleh si pembeli, maka
diusahakan membuktikan pengiriman barang-barang tadi dari gudangnya si
penjual dan diusahakan pula membuktikan bahwa si pembeli tidak lama kemudian
telah menawarkan atau menjual barang-barang seperti itu kepada orang lain. Jika
peristiwa pengiriman barang dari gudang dan peristiwa penawaran yang dilakukan
oleh pembeli kepada orang lain tadi dianggap terbukti oleh Hakim, maka Hakim
dapat pula menyimpulkan terbuktinya penerimaan barang oleh si pembeli.
10
Menyimpulkan terbuktinya sesuatu peristiwa dari terbuktinya peristiwa-peristiwa
lain inilah yang dinamakan persangkaan. Jelaslah bahwa sebenarnya yang
dinamakan persangkaan itu bukan9 suatu alat bukti. Dalam contoh yang kita ambil
tadi, pihak penjual sebenarnya tidak berhasil atau tidak mampu membuktikan
peristiwa penerimaan barang. Ia hanya dapat membuktikan pengiriman barang
dan penawaran yang dilakukan oleh pembeli. Ada peristiwa yang lazimnya hanya
dapat dibuktikan dengan persangkaan-persangkaan, yaitu peristiwa perzinahan,
yang perlu dibuktikan dalam suatu perkara perceraian. Dalam perkara-perkara
perceraian semacam itu malahan sudah terdapat suatu yurisprudensi, bahwa dari
terbuktinya bahwa dua orang, laki-laki dan perempuan, menginap dalam suatu
kamar di mana hanya ada satu tempat tidur, dapat dianggap terbukti bahwa
mereka melakukan perzinahan.
Kalau pembuktian dengan tulisan dan kesaksian itu merupakan pembuktian
secara langsung, maka pembuktian dengan persangkaan dinamakan pembuktian
secara “tak langsung”. Dalam contoh-contoh yang diberikan di atas, kesimpulan
tentang terbuktinya peristiwa yang dipersengketakan itu ditarik oleh Hakim yang
sedang memeriksa perkara. Di samping itu ada pula ketentuan-ketentuan undang-
undang yang mengambil kesimpulan-kesimpulan seperti yang dilakukan oleh
Hakim tadi. Misalnya dalam hal tiga kwitansi yang pernah disebutkan. Dari
terbayarnya cicilan yang terakhir, oleh Pasal 1394 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata disimpulkan terbuktinya pembayaran semua cicilan. Ini dinamakan
persangkaan Undang-undang sedangkan kesimpulan yang ditarik oleh Hakim tadi
dinamakan persangkaan Hakim.
9 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 21
11
Apa yang dinamakan persangkaan-persangkaan Hakim dalam perkara
perdata itu adalah sama dengan apa yang dinamakan pembuktian dengan
petunjuk-petunjuk dalam perkara pidana.
Dinamakannya pengakuan suatu “alat bukti” sebenarnya tidak tepat.
Sebagaimana sudah kita lihat justru karena suatu dalil diakui oleh pihak lawan,
maka pihak yang mengajukan dalil tersebut dibebaskan dari pembuktian. Juga tak
dapatlah pihak yang mengajukan dalil tadi mengatakan bahwa ia berhasil
“membuktikan” dalilnya tadi.
Seorang saksi, jikaia diminta memberikan kesaksian tentang sesuatu, harus
disumpah untuk menguatkan kesaksian itu. Dalam10 perkara perdata, sumpah itu
juga dapat dibebankan kepada salah satu pihak yang bersengketa. Satu pihak
dapat memerintahkan pihak lawannya untuk bersumpah tentang sesuatu hal yang
menjadi perselisihan, misalnya hal sudah atau belum dibayarnya suatu utang. Juga
Hakim diberikan wewenang untuk membebani sumpah kepada Salah satu pihak.
Dengan sendirinya pembebanan sumpah tadi baru dilakukan apabila didapatkan
bukti-bukti lain.
Di sampingnya lima macam “alat bukti” yang disebutkan dalam pasal 1866
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (pasal 164 RIB atau pasal 283 Reglemen
Daerah Seberang) tidak terdapat lagi alat-alat bukti lainnya. Persoalan tersebut
lazimnya dijawab, bahwa penyebutan alat-alat bukti dalam pasal-pasal tersebut,
tidak berarti melarang alat-alat bukti lainnya. Tidak dilarang misalnya
mengajukan bukti-bukti yang berupa tanda-tanda yang bukan tulisan. Pasal 1887
10 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 22
12
Kitab Undang-undang Hukum Perdata misalnya menyebutkan “tongkat berkelar”
yang dapat dipakai untuk membuktikan penyerahan-penyerahan barang. Ada juga
yang mengatakan bahwa bukti lain itu yang tidak berupa. tulisan, kesaksian,
pengakuan atau sumpah, seyogyanya dianggap saja sebagai “persangkaan”, tetapi
pendapat yang demikian itu tidak tepat. Kita juga tidak boleh melupakan bahwa
undang-undang yang kita pakai sekarang ini dibuat seratus tahun yang lalu.
Dengan majunya tekhnik yang pesat dalam setengah abad yang lalu ini muncullah
beberapa Ulat-alat baru, seperti foto Copy, tape rekorder dan lain-lain yang dapat
dipakai sebagai alat bukti.
Ada juga yang mempersoalkan tentang pemeriksaan setempat yang
dilakukan oleh Hakim. Bukti apakah pemeriksaan setempat itu? Pemeriksaan
setempat itu tidaklah lain dari pada memindahkan tempat sidang Hakim ke tempat
yang dituju itu, sehingga apa yang dilihat oleh Hakim sendiri di tempat tersebut,
dapat dianggap sebagai dilihat oleh Hakim di muka sidang Pengadilan. Tentang
apa yang dilihat sendiri oleh Hakim di muka sidang itu sudah kita bicarakan di
atas.
Apa yang dibicarakan di sini hanyalah merupakan suatu pembicaraan secara
selayang pandang tentang macam-macamnya alat bukti yang dapat dipakai dalam
suatu sengketa perdata. Pembicaraan11 yang lebih mendalam akan dilakukan jika,
kita membicarakan alat-alat bukti tadi satu-persatu dalam halaman-halaman yang
akan datang.
11 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 23
13
Perlu kiranya diperhatikan bahwa Undang-undang Mahkamah Agung, yang
sudah modern (tahun 1950), dalam hukum acaranya dalam tingkat pertama untuk
pemeriksaan perkara-perkara pidana, dalam Pasal 73, menyatakan sebagai alat-
alat bukti yang sah:
1. Pengetahuan Hakim;
2. keterangan terdakwa;
3. keterangan saksi;
4. keterangan orang ahli;
5. surat-surat.
Sudah berlainan jika dibandingkan dengan pasal 295 RIB yang dibicarakan
di atas (RIB adalah dari tahun 1848). Rupanya. Pasal 78 Undang-undang
Mahkamah Agung tersebut mengutip 47 Landgerechtreglement (dari tahun 1912),
yaitu peraturan hukum acara yang dipakai dalam zaman penjajahan oleh
Pengadilan Landgerecht yaitu suatu Pengadilan untuk perkara pelanggaran pidana
ringan untuk semua golongan penduduk (Bandingkan dua pasal tersebut, yang
bunyinya seluruhnya sama).
1. Bukti Tulisan
Sebagaimana sudah dikatakan, bukti tulisan ini dalam perkara perdata
merupakan bukti yang utama, karena dalam lalu lintas keperdataan seringkali
orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai kalau timbul
suatu perselisihan; dan bukti, yang disediakan tadi lazimnya berupa tulisan.
Seorang yang menerimakan sejumlah uang atau suatu barang, baru merasa
dirinya aman kalau ia diberikan suatu “tanda” penerimaan. Orang yang
14
memberikan tanda penerimaan tadi harus mengerti, bahwa tulisan itu di kemudian
hari dapat dipergunakan terhadap dirinya sebagai bukti bahwa ia benar sudah
menerima uang atau barang itu, Memang pada azasnya semua bukti tulisan itu
merugikan atau “memberatkan” orang yang telah menulisnya, merugikan atau
memberatkan si pembuatnya. Suatu kekecualian terhadap azas ini terdapat dalam
Pasal 7 Kitab Undang-undang Hukum Dagang, yang mengatakan:
Hakim adalah bebas untuk kepentingan musing-masing akan
memberi kekuatan bukti sedemikian rupa kepada pemegang buku
setiap pengusaha, sebagaimana menurut pendapatnya, dalam tiap-
tiap kejadian khusus harus diberikannya”.
Ketentuan ini juga dituliskan dalam pasal 167 RIB. Dengan perkataan lain, ada
kemungkinan bahwa pemegangan buku itu menguntungkan pembuatnya.
Dari bukti-bukti tulisan itu adalah segolongan yang sangat berharga untuk
pembuktian, yaitu yang dinamakan “akte”. Apakah yang dinamakan akte itu?
Suatu akte ialah Suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk
dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Dengan demikian
maka unsur-unsur yang penting untuk suatu akte ialah kesengajaan untuk
menciptakan suatu bukti tertulis dan penandatanganan tulisan itu. Dari mana dapat
kita lihat bahwa apa yang dinamakan akte itu harus ditandatangani? Syarat
penandatanganan itu dapat kita lihat dari Pasal 1874 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata; atau Pasal 1 dari Ordonansi tahun 1867 No. 29 yang memuat
“ketentuan-ketentuan tentang kekuatan pembuktian daripada tulisan-tulisan di
15
bawah12 tangan dari orang-orang Indonesia atau yang dipersamakan dengan
mereka.”
Dalam pasal-pasal yang dimaksudkan itu perkataan “yang ditandatangani”
hanya dituliskan di belakangnya perkataan “akte”, dan tidak di belakangnya
”surat-sunat, regester-regester, surat-surat rumah tangga dan lain-lain tulisan”.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka surat perjanjian jual beli adalah
suatu akte. Demikian pula surat perjanjian sewa-menyewa. Bahkan sepucuk
kwitansi adalah suatu akte, karena ia dibuat sebagai bukti dari pelunasan suatu
hutang dan ia ditandatangani oleh si berpiutang.
Dengan demikian maka tulisan-tulisan itu dapat dibagi dalam dua golongan
akte dan tulisan-tulisan lain. Yang penting dari suatu akte memang
penandatanganannya itu. Dengan menaruh tanda tangannya, seorang dianggap
menanggung tentang kebenaran apa yang, ditulis dalam akte tersebut atau
bertanggung jawab tentang apa yang ditulis dalam akte itu.
Di antara surat-surat atau tulisan-tulisan yang dinamakan akte tadi, ada
suatu golongan lagi yang mempunyai suatu kekuatan pembuktian istimewa, yaitu
yang dinamakan akte otentik.Apakah yang dinamakan akte otentik itu? Suatu akte
otentik ialah suatu akte yang di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-
undang, dibuat oleh atau di hadapan seorang pegawai umum yang berwenang
untuk itu di tempat di mana akte itu dibuatnya (Pasal 1868 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata, Pasal 165 RIB atau pasal 285 Reglemen Daerah Seberang.) Akte-
akte lainnya, jadi yang bukan otentik, dinamakan akte di bawah tangan.
12 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 25
16
Sebagai pegawai umum yang dimaksudkan di atas berlaku seorang notaris,
seorang Hakim, seorangjuru sita pada suatu Pengadilan, seorang pegawai Catatan
Sipil, dan sebagainya. Dengan demikian maka suatu akte notaris, suatu surat
putusan Hakim, suatu surat proses perbal yang dibuat oleh seorang jurusita
Pengadilan dan suatu sunat perkawinan yang dibuat oleh Pegawai Catatan Sipil
adalah akte-akte otentik.
Menurut pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata tersebut di atas
ada dua macam akte otentik, yaitu suatu yang dibuat oleh dan suatu yang dibuat di
hadapan pegawai umum yang ditunjuk13 oleh undang-undang itu. Apabila seorang
notaris membuat suatu perslag atau laporan tentang suatu rapat yang dihadirinya
dari para pemegang sero dari suatu perseroan terbatas maka proses perbal itu
merupakan suatu akte otentik yang telah dibuat oleh notaris tersebut. Begitu pula
proses perbal yang dibuat oleh seorang jurusita Pengadilan tentang pemanggilan
seorang tergugat atau seorang saksi merupakan suatu akte otentik yang dibuat
oleh jurusita tadi. Akte-akte seperti itu sebenarnya merupakan suatu laporan
(“relas”) tentang suatu perbuatan resmi yang telah dilakukan oleh pegawai umum
tersebut.
Apabila dua orang datang kepada seorang notaris, menerangkan bahwa
mereka telah mengadakan suatu perjanjian (misalnya jual beli, sewa-menyewa
dan lain-lain sebagainya) dan meminta kepada notaris tadi supaya tentang
perjanjian tersebut dibuatkan suatu akte, maka akte ini adalah suatu akte yang
dibuat di hadapan notaris itu. Notaris ini hanya mendengarkan apa yang
13 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 26
17
dikehendaki kedua pihak yang menghadap itu dan meletakkan perjanjian dibuat
oleh dua orang tadi dalam suatu akte.
Di mana letaknya ketentuan pembuktian yang istimewa dari pada akte
otentik? Menurut Pasal 1870 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Pasal
165 RIB (pasal 285 Reglemen Daerah Seberang) suatu akte otentik memberikan
di antara para pihak beserta ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak
dari mereka suatu bukti yang sempurna tentang apa yang dimuat di dalamnya.
Sebagaimana yang pernah diterangkan, akte otentik itu merupakan suatu bukti
yang “mengikat”, dalam arti bahwa apa yang ditulis dalam akte tersebut harus
dipercaya oleh Hakim, yaitu harus dianggap sebagai benar, selama
ketidakbenarannya tidak dibuktikan. Dan ia memberikan suatu bukti yang
sempurna, dalam arti bahwa ia sudah tidak memerlukan suatu penambahan
pembuktian. Ia merupakan suatu alat bukti yang “mengikat” dan “sempurna”.
Apakah yang dalam suatu akte otentik itu mengikat dun harus dianggap
sebagai benar? Dulu ada yang mengajarkan bahwa dalam suatu akte otentik itu
yang harus dianggap sebagai benar hanyalah bahwa para pihak itu betul sudah
menghadap kepada pegawai umum (notaris) yang termaksud, pada hari dan
tanggal yang disebutkan14 dalam akte itu, dan bahwa mereka sudah menerangkan
apa yang dituliskan dalam akte tersebut. Jadi, akte itu hanya merupakan bukti
tentang apakah benar bahwa mereka telah menerangkan apa yang dituliskan di
situ, tetapi tidak memberikan bukti tentang apakah benar yang mereka terangkan
di situ. Ajaran yang demikian itu sudah lama ditinggalkan. Sekarang, dengan
tepat, diajarkan bahwa akte otentik itu tidak hanya membuktikan bahwa para
14 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 27
18
pihak sudah menerangkan apa yang dituliskan di situ, tetapi juga bahwa apa yang
diterangkan tadi adalah benar.
Penafsiran yang demikian itu diambil dari Pasal 1871 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata atau pasal 165 RIB (pasal 285 Reglemen Daerah Seberang), di
mana disebutkan bahwa suatu akte otentik tidak memberikan bukti yang sempurna
tentang apa yang termuat di dalamnya sebagai “suatu penuturan belaka” selainnya
sekadar apa yang dituturkan itu ada hubungannya langsung dengan pokok isi akte.
Dari pasal tersebut diambil kesimpulan, bahwa akte otentik itu memberikan bukti
yang sempurna mengenai segala apa yang men- jadi pokok isi akte itu, yaitu
segala apa yang dengan tegas, bail: secara sepihak maupun secara bertimbal balik,
dikemukakan atau dinyatakan oleh para penanda tangan akte tadi.
Dengan demikian, apabila dalam suatu akte notaris dituliskan bahwa pada
suatu hari si A dan si B menghadap di muka notaris dan menerangkan bahwa
mereka telah mengadakan jual beli mengenai sebuah rumah dengan suatu harga
tertentu, maka harus dianggap sebagai benar, tidak saja bahwa mereka itu telah
menerangkan tentang terjadinya jual beli rumah itu, tetapi juga bahwa jual beli
rumah tersebut benar-benar telah terjadi. Jadi rumah si A itu benar sudah dijual
kepada si B. Memang inilah yang dimaksudkan oleh undang-undang dengan
kekuatan pembuktian akte otentik itu.
Jadi akte otentik tadi, tidak hanya mempunyai kekuatan pembuktian formil,
yaitu bahwa benar para pihak sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akte
tersebut, tetapi juga mempunyai kekuatan pembuktian materiil, yaitu bahwa apa
yang diterangkan tadi adalah benar. Inilah yang dinamakan kekuatan pembuktian
19
“mengikat”. Kedua pihak yang menandatangani akte tadi seolah-olah terikat pada
kedudukan yang dilukiskan dalam akte tersebut.15
Menurut Pasal 1876 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Pasal 2 dari
Ordonansi tahun 1867 No. 29 yang memuat “ketentuan-ketentuan tentang
kekuatan pembuktian daripada tulisan-tu1isan di bawah tangan dari orang-orang
Indonesia atau yang dipersamakan dengan mereka” maka barangsiapa yang
terhadapnya diajukan suatu tulisan di bawah tangan (yang dimaksudkan ialah akte
di bawah tangan), diwajibkan secara tegas mengakui atau memungkiri tanda
tangannya.
Kalau dalam suatu akte otentik tanda tangan itu tidak merupakan suatu
persoalan, dalam suatu akte di bawah tangan pemeriksaan akan kebenaran tanda
tangan itu justru merupakan acara pertama. Jika tandatangan ini dipungkiri oleh
pihak yang dikatakan telah menaruh tanda tangannya, itu, maka pihak yang
mengajukan akte di bawah tangan itu harus berusaha membuktikan dengan alat-
alat bukti lain bahwa benarlah tanda tangan tadi dibubuhkan oleh orang yang
memungkirinya itu. Dengan demikian, maka selama tanda tangan tadi masih
dipertengkarkan, tiada banyak manfaat diperolehnya bagi pihak yang mengajukan
akte tadi di muka sidang Hakim. Jika seorang memungkiri tulisan atau tanda
tangannya, maka Hakim harus memerintahkan supaya kebenaran dari pada tulisan
atau tanda tangan tersebut diperiksa di muka Pengadilan. Demikianlah Pasal 1877
Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Pasal 3 dari Ordonansi tahun 1867
No. 29 tersebut di atas.
15 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 28
20
Namun, kalau tanda tangan sudah diakui, maka akte di bawah tangan itu
memberikan terhadap orang-orang yang menandatanganinya, suatu bukti yang
sempurna seperti suatu akte otentik. Demikianlah diterangkan oleh Pasal 1875
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Pasal 1b Ordonansi tahun 1867 No. 29,
pasal 288 Reglemen Daerah Seberang).
Apakah artinya ketentuan tersebut di atas? Apakah akte di bawah tangan
tadi lalu menjadi sama sekali sama dengan suatu akte otentik?.Sebelum menjawab
pertanyaan di atas, kita harus lebih dahulu mengetahui bahwa pada suatu akte
otentik itu sebenarnya terdapat tiga macam kekuatan yaitu:Pertama membuktikan
antara para pihak, bahwa mereka sudah menerangkan apa yang ditulis dalam akte
tadi (kekuatan pembuktian formil);16Kedua, membuktikan antara para pihak yang
bersangkutan, bahwa sungguh-sungguh peristiwa yang disebutkan di situ telah
terjadi (kekuatan pembuktian materiil atau yang kita namakan kekuatan
pembuktian “mengikat”);Ketiga, membuktikan tidak saja antara para pihak yang
bersangkutan tetapi juga, terhadap pihak ketiga, bahwa pada tanggal tersebut
dalam akte kedua belah pihak tersebut sudah menghadap di muka pegawai umum
(notaris) dan menerangkan apa yang ditulis dalam akte tersebut.
Kekuatan yang kedua tersebut itu sebagaimana sudah diuraikan di atas,
dinamakan kekuatan “mengikat” yang pada hakekatnya bertujuan menetapkan
kedudukan antara para pihak satu sama lain pada kedudukan yang teruraikan di
dalam akte.Kekuatan yang ketiga dinamakan kekuatan “pembuktian keluar”
(artinya “keluar ialah terhadap pihak ketiga” atau “dunia luar).
16 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 29
21
Apa yang dimaksudkan oleh Pasal 1875 Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (Pasal 1b Ordonansi tahun 1867 No. 29, Pasal 288 Reglemen Daerah
Seberang) tersebut di atas tadi, yaitu bahwa sejak diakuinya tanda tangan, akte di
bawah tangan itu memberikan pembuktian yang sama seperti suatu akte otentik,
itu hanya ditujukan kepada kekuatan pertama dan kedua atau “mengikatnya” akte
itu bagi para pihak yang bersangkutan dan para ahli waris mereka. Kekuatan yang
ketiga tak sekali-kali dapat dicapai atau dimiliki oleh suatu akte di bawah tangan:
Sebagai contoh: Dua orang A dan B mengadakan suatu perjanjian dengan
suatu akte di bawah tangan tertanggal 1 Mei 1960, untuk bersama-sama
berdagang palawija. Dengan mengadakan perjanjian tadi, si A telah melanggar
janjinya terhadap si C, sebab ia sudah berjanji kepada si C untuk tidak akan
melakukan sesuatu perjanjian perdagangan dengan orang lain. Perjanjian tadi
diketahui oleh si C dan si C ini mengajukan gugatan terhadap si A untuk
mendapat ganti kerugian. Si A memungkiri dan mengatakan bahwa perjanjian tadi
sebenarnya diadakan pada tanggal 1 Mei 1961. Si C harus membuktikan tentang
benarnya tanggal 1 Mei 1960 itu biarpun kebenaran tanggal itu sudah pernah
diakui oleh si A sendiri dalam perkara yang telah berlangsung antara dia dan si B.
Dalam akte tadi, si C merupakan pihak ketiga. Seandainya akte tadi suatu akte
otentik,17 maka 1 Mei 1960 itu dianggap sebagai benar dan tidak usah dibuktikan
oleh si C. Kebenaran tentang tanggal tadi berlaku juga terhadap pihak ketiga.
Tentang tanggal itu memang sangat penting dalam suatu akte. Ada juga
ditetapkan dalam undang-undang bahwa tanggal dalam suatu akte di bawah
17 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 30
22
tangan itu berlaku terhadap pihak ketiga, tetapi hanya dalam hal-hal sebagai
berikut:
a. akte di bawah tangan itu dibubuhi pernyataan oleh seorang notaris atau
pegawai lain yang ditunjuk oleh undang-undang dan dibukukan menurut
aturan-aturan yang diadakan oleh undang-undang;
b. si penanda tangan meninggal, hari meninggalnya penanda tangan ini
dianggap sebagai tanggal dibuatnya akte yang berlaku terhadap pihak
ketiga;
c. tentang adanya akte di bawah tangan tadi ternyata dari suatu akte otentik
yang dibuat kemudian, tanggal dari pada akte otentik ini berlaku sebagai
tanggal dari pada akte di bawah tangan terse- but yang berlaku terhadap
pihak ketiga;
d. tanggal dari akte di bawah tangan itu diakui secara tertulis olah pihak
ketiga terhadap siapa akte itu dipergunakan.
Aturan mengenai tanggal dari suatu akte di bawah tangan itu terdapat dalam
Pasal 1880 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau Pasal 6 dari Ordonansi
tahun 1867 No. 29 yang sudah kita kenal itu. Pembubuhan pernyataan oleh notaris
atau pegawai lain yang ditunjuk oleh undang-undang sebagaimana disebutkan sub
a. di atas itulah yang dinamakan “legalisasi” yang berarti pengesahan.Selainnya
notaris, pejabat-pejabat yang berwenang memberikan legalisasi tadi adalah Ketua
(Hakim) Pengadilan Negeri, Bupati kepala daerah, walikota (lihat Ordonansi
tahun 1916 No. 46),
23
Dengan penandatanganan suatu akte dipersamakan suatu cap jempol, yang
dibubuhi dengan suatu pernyataan yang bertanggal dari seorang notaris atau
pegawai lain yang ditunjuk oleh undang-undang seperti yang disebutkan di atas,
dari mana ternyata bahwa notaris atau pegawai itu mengenal si pembubuh cap
jempol atau bahwa orang ini telah diperkenalkan kepadanya, bahwa isinya akte
telah dijelaskan kepada orang itu dan bahwa setelah itu cap jempol tersebut18
dibubuhkan di hadapan pegawai tadi. Pegawai ini harus membukukan akte
tersebut (lihat Pasal 1874 ayat 3 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau
Ordonansi tahun 1916 No. 46 tersebut di atas). Jadi, sebagaimana kita lihat di atas
seorang yang terhadapnya diajukan sepucuk akte di bawah tangan, diwajibkan
mengakui atau memungkiri tanda tangannya. Peraturan ini mengecewakan orang
yang mengajukan akte tadi di muka Hakim karena tanda tangan masih perlu
diakui dahulu, tetapi peraturan ini telah diadakan oleh undang-undang, untuk
melindungi setiap orang terhadap suatu pemalsuan tanda tangannya. Tentu bagi
orang yang tanda tangannya dipalsu ini sangat sukar untuk membuktikan bahwa
tanda tangan itu bukan tanda tangannya. Meskipun peraturan yang dipilih tadi
sebaliknya memberikan kesempatan bagi orang yang tidak jujur untuk
memungkiri tunda tangannya, tetapi dalam praktek orang tidak akan begitu saja
memungkiri tunda tangannya sendiri, karena sikap yang demikian akan sangat
merugikan baginya, Dan lagi kalau orang itu tidak menyangkal tanda tangannya,
ia juga dianggap sebagai mengakui tanda tangan itu,
Apabila si penanda tangan sudah meninggal, maka para ahli warisnya
diperbolehkan, apabila mereka tidak mengakui tanda tangan itu, menerangkan
18 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 31
24
bahwa mereka tidak mengenal tanda tangan tersebut sebagai tanda tangannya si
meninggal. Jadi para ahli waris itu, demi kesopanan terhadap si meninggal, tidak
usah dengan tegas memungkiri tanda tangan (Pasal 1876 Kitab Undang-undang
Hukum Perdata).
Dalam pasal 1873 Kitab Undang-undang Hukum Perdata dituliskan, bahwa
persetujuan-persetujuan lebih lanjut yang dibuat dalam suatu akte tersendiri, yang
bertentangan dengan akte asli, hanya memberikan bukti dimana pihak yang turut
serta dan para ahli warisnya atau orang-orang yang mendapat hak dari mereka,
tetapi tidak dapat berlaku terhadap orang-orang pihak ketiga. Apakah artinya
ketentuan ini? Maksudnya undang-undang ialah melindungi orang-orang pihak
ketiga terhadap janji-janji lebih lanjut yang diusulkan dalam suatu akte kemudian,
yang bertentangan dengan isinya akte pertama. Misalnya A dam B mengadakan
suatu jual beli mengenai sebuah rumah, di mana A menjual rumah tersebut kepada
B dengan harga sepuluh juta rupiah. Beberapa hari kemudian mereka mengadakan
lagi suatu perjanjian bahwa akte pertama tadi19 sebenarnya bukan suatu jual beli
mutlak tetapi suatu jual beli dengan hak membeli kembali. Janji seperti ini tidak
berlaku terhadap si C yang membeli rumah tersebut dari si. B, karena si C adalah
pihak ketiga. Janji yang demikian tadi yang diletakkan dalam suatu akte tersendiri
yang dibuat kemudian hanya berlaku antara A dan B sendiri atau para ahli
warisnya. Penyebutan “orang-orang yang mendapat hak dari mereka” dalam Pasal
1873 tersebut di atas, harus dianggap tidak pada tempatnya, karena dalam contoh
kita tadi C adalah orang yang mendapat hak dari B, padahal justru maksudnya
19 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 32
25
ketentuan Pasal 1873 adalah melindungi orang-orang yang berada dalam
kedudukan seperti si C itu.
Jika seseorang membubuhkan tanda tangannya di atas secarik kertas, maka
perbuatan itu diartikan sebagai menanggung kebenaran atau paling sedikit
pengetahuannya tentang apa yang dituliskan di atas tanda tangannya itu. Kalau
tidak diambil pengertian yang demikian, maka tak begitu banyak artinya
pembubuhan tanda tangan itu. Membubuhi tanda tangan harus mempunyai arti
sebagai melihat (membaca) dan menyetujui apa yang ditulis di atas secarik kertas
tadi. Maka dari itu, jika seorang sudah mengakui tanda tangannya dalam suatu
akte (di bawah tangan) atau jika sudah dibuktikan bahwa tanda tangan itu adalah
tanda tangannya, orang itu dipertanggungjawabkan tentang isi akte tersebut. Jadi
pengakuan tanda tangan itu tidak dilepaskan dari pengakuan tentang benarnya apa
yang ditulis dalam akte yang diajukan itu. Jika orang tadi mengakui tanda
tangannya, tetapi mengatakan bahwa yang ditulis tidak benar, maka ia harus
membuktikan ketidakbenaran itu. Misalnya dapat terjadi bahwa seorang mengakui
tanda tangannya dalam suatu akte (di bawah tangan), tetapi mengatakan apa yang
ditulis dalam akte itu, ditulis sendiri oleh pihak lawan di luar pengetahuan si
penanda tangan di atas sepucuk kertas yang memuat tanda tangannya. Mengenai
yang dinamakan “surat pengakuan berhutang yang sepihak” diadakan suatu
peraturan istimewa dalam Pasa1 1878 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau
pasal 4 dari Ordonansi tahun 1867 No. 29 yang sudah kita kenal itu, yang
menetapkan bahwa, “perikatan utang sepihak di bawah tangan untuk membayar
sejumlah uang tunai” harus seluruhnya ditulis dengan tinggalnya si penanda
26
tangan sendiri atau paling sedikit, selanjutnya tanda tangan,20 harus ditulis dengan
tangannya si penanda tangan sendiri suatu persetujuan yang memuat jumlah yang
terutang.
Kita dapat mengerti maksudnya undang-undang mengadakan ketentuan
tersebut di atas. Yaitu undang-undang hendak melindungi orang yang
membubuhkan tanda tangannya atas secarik kertas blangko (kosong), jangan
sampai kertas itu dengan sewenang-wenang diisi oleh orang lain dengan suatu
pengakuan berhutang uang. Pernyataan berhutang sejumlah uang ini diharuskan
ditulis dengan. tangannya si penanda tangan sendiri. Tetapi, memang dapat
dipersoalkan mengapa ketentuan itu hanya diadakan untuk suatu pengakuan
berhutang sejumlah uang saja, sebab bahaya pengisian sewenang-wenang oleh
orang lain itu, tentu saja juga terdapat mengenai hal-hal lain, misalnya kertas
blangko tadi dapat diisi dengan “mengakui telah menjual rumahnya dengan sudah
menerima harganya sejumlah sepuluh juta rupiah”.
Jika ketentuan tersebut di alas tidak diindahkan, maka, apabila pengakuan
berhutang tadi dipungkiri (meskipun tanda tangan diakui), akte itu hanya dapat
diterima sebagai suatu permulaan pembuktian dengan tulisan.
Artinya, tidak merupakan bukti yang “mengikat” seperti lazimnya berlaku
terhadap suatu akte yang tanda tangannya diakui.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak berlaku terhadap surat-surat andil
dalam suatu utang obligasi, begitu pula tidak berlaku terhadap perikatan-perikatan
utang yang dibuat oleh si berutang dalam menjalankan perusahaannya dan
20 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 33
27
demikianpun tidak berlaku terhadap akte-akte di bawah tangan yang dilegalisasi
(Pasal tersebut di atas, ayat terakhir).
Berhubung dengan ketentuan-ketentuan di atas, oleh Pasal 1879 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata dan pasal 5 dari Ordonansi tahun 12267 No. Z9
yang sudah berkali-kali tersebut di atas, ditetapkan bahwa, jika jumlah yang
disebutkan dalam akte sendiri berselisih dengan jumlah yang dinyatakan dalam
persetujuannya, maka dianggaplah bahwa perikatannya telah dibuat untuk jumlah
yang paling sedikit biarpun akte beserta persetujuannya seluruhnya ditulis sendiri
dengan uangnya orang yang mengikatkan diri, kecuali apabila dapat dibuktikan
dalam bagian yang mana dari keduanya itu telah terjadinya kekeliruan.21
Tulisan-tulisan yang tidak merupakan suatu akte, oleh Pasal 1874 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata disebutkan secara terperinci sebagai “Surat-surat,
register-register, surat-surat uraian rumah tangga. dau lain-lain tulisan.”
Sebagaimana yang sudah pernah diterangkan, tulisan-tulisan itu pada azasnya
merupakan suatu bukti terhadap siapa yang membutuhkannya, memberatkan siapa
yang membuatnya. Kekecualian, yaitu di mana tulisan itu dapat menguntungkan si
pembuatnya terdapat dalam ketentuan-ketentuan Pasal 7 Kitab Undang-undang
Hukum Dagang, terhadap pemegangan buku dari seorang pengusaha.
Kekuatan pembuktian dari pada tulisan-tulisan tersebut di atas, adalah
sebagai alat bukti bebas, artinya Hakim tidak diharuskan menerima dan
mempercayainya, ia adalah bebas untuk mempercayai atau tidak
mempercayainya,
21 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 34
28
Namun demikian perlu kita catat di sini, bahwa ada beberapa tulisan yang
oleh undang-undang ditetapkan sebagai alat-adat bukti yang “mengikat” artinya
harus dipercayai oleh Hakim. Tulisan-tulisan seperti ini, yaitu yang harus
dipercayai oleh Hakim adalah:
a. surat-surat yang dengan tegas menyebutkan tentang suatu pembayaran
yang telah diterima;
b. surat-surat yang dengan tegas menyebutkan bahwa catatan yang telah
dibuat adalah untuk memperbaiki suatu kekurangan di dalam sesuatu
alas hak (“titel”) bagi seorang untuk keuntungan siapa Surat itu
menyebutkan suatu perikatan;
c. catatan-catatan yang oleh seorang berpiutang (kreditur) dibubuhkan
pada suatu alas hak yang selamanya dipegangnya, jika apa yang ditulis
itu merupakan suatu pembebasan terhadap si berutang (debitur);
d. catatan-catatan yang oleh si berpiutang dibubuhkan kepada salinan dari
suatu alas hak atau suatu tanda pembayaran, asal saja salinan atau tanda
pembayarannya ini berada dalam tangannya siberutang.
Ketentuan-ketentuan tersebut di atas dapat kita baca dalam Pasal 1881 (1)
sub 1 dan 2 dan Pasal 1883 Kitab Undang-undang Hu- kum Perdata.
Jadi dalam hal-hal yang disebutkan di atas tadi, tulisan-tulisan atau catatan-
catatan itu merupakan suatu alat bukti yang harus dipercayai22 oleh Hakim, yang
memberatkan si pembuatnya, selama pembuatnya, yaitu pembuat tulisan-tulisan
atau catatan-catatan ini tidak dapat membuktikan secara yang memuaskan Hakim,
22 R. Subekti, Hukum Pembuktian, Op.Cit, h. 35
29
bahwa tulisan atau catatan-catatan tadi dibuat secara keliru atau dibuat oleh orang
lain dengan maksud untuk merugikan dia.
Kekuatan pembuktian suatu bukti tulisan pada azasnya terdapat pada akte
asli. Apabila akte asli ini ada, maka salinan-salinan atau ikhtisar-ikhtisar hanyalah
dapat dipercaya sekedar salinan-salinan atau ikhtisar-ikhtisar itu sesuai dengan
aslinya yang mana selalu dapat diperintahkan mempertunjukkannya.
Apabila akte atau alas hak (”tite1’) yang asli tidak ada lagi (hilang), maka
salinan-salinan yang disebutkan di bawah ini dapat memberikan bukti yang sama
dengan aslinya:
1. salinan-salinan pertama;
2. salinan-salinan dibuat atas perintah Hakim dengan dihadiri kedua belah
pihak, atau setelah para pihak ini dipanggil dengan sah;
3. salinan-salinan yang tanpa perantaraan Hakim atau di luar persetujuan
para pihak, dan sesudahnya pengeluaran salinan-salinan pertama, dibuat
oleh notaris yang di hadapannya akte itu telah dibuatnya, oleh pegawai-
pegawai yang dalam jabatannya menyimpan aktenya asli dan berwenang
memberikan salinan-salinan.
Salinan-salinan lain dari pada yang disebutkan di atas, dapat berlaku sebagai
suatu “permulaan pembuktian” (lihat Pasal 1889 Kitab Undang,-undang Hukum
Perdata).
Karana bukti tulisan itu merupakan bukti yang paling pasti dan paling
mudah dipakainya, maka dapatlah dimengerti mengapa undang-undang untuk
30
berbagai perbuatan hukum yang panting, mengharuskan bentuk tertulis. Ada
kalanya bahwa tulisan diwajibkan sebagai syarat fisik (pendirian perseroan
terbatas, penghibahan barang tetap, perdamaian), ada juga bahwa tulisan itu
diwajibkan sebagai alat bukti untuk membuktikan perbuatan hukum tersebut
(mendirikan perseroan firma, mengadakan asuransi dll.). Beberapa bukti-bukti
tulisan itu malahan dalam perdagangan telah menjelma menjadi yang dinamakan