Top Banner
21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan Pengangkutan sebagai proses kegiatan pemindahan penumpang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat lain dengan menggunakan berbagai jenis alat pengangkut mekanik yang diakui dan diatur dalam undang-undang sesuai dengan bidang angkutan dan kemajuan teknologi 1 . Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut dengan penumpang/pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri untuk membayar angkutan 2 . Istilah “dengan selamat” mengandung arti penumpang dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya yang menyebabkan luka, sakit, atau meninggal dunia, dalam hal barang dimana nilai sumber daya barang ditempat tujuan menjadi lebih tinggi bagi kepentingan mansusia dan pelaksanaan pembangunan. Bila pengangkutan berjalan dengan “tidak selamat”, maka hal itu akan menjadi tanggung jawab pengangkut. 1 Abdul Kadir Muhammad, Op.cit, hlm. 1 2 Suwardjoko Warpani, Loc.cit.
34

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

Jun 17, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

21

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

A. Tinjauan Pustaka

1. Pengangkutan Udara

Abdul kadir Muhammad mendefenisikan Pengangkutan sebagai proses

kegiatan pemindahan penumpang dan/atau barang dari suatu tempat ke tempat

lain dengan menggunakan berbagai jenis alat pengangkut mekanik yang diakui

dan diatur dalam undang-undang sesuai dengan bidang angkutan dan kemajuan

teknologi1. Pengangkutan adalah perjanjian timbal balik antara pengangkut

dengan penumpang/pengirim, dimana pengangkut mengikatkan diri untuk

menyelenggarakan pengangkutan barang dan/atau orang dari suatu tempat

ketempat tujuan tertentu dengan selamat, sedangkan pengirim mengikatkan diri

untuk membayar angkutan2. Istilah “dengan selamat” mengandung arti

penumpang dalam keadaan sehat, tidak mengalami bahaya yang menyebabkan

luka, sakit, atau meninggal dunia, dalam hal barang dimana nilai sumber daya

barang ditempat tujuan menjadi lebih tinggi bagi kepentingan mansusia dan

pelaksanaan pembangunan. Bila pengangkutan berjalan dengan “tidak selamat”,

maka hal itu akan menjadi tanggung jawab pengangkut.

1 Abdul Kadir Muhammad, Op.cit, hlm. 1

2 Suwardjoko Warpani, Loc.cit.

Page 2: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

22

Pada prinsipnya, fungsi pengangkutan adalah memindahkan barang atau

orang dari suatu tempat ke tempat yang lain dengan maksud untuk meningkatkan

daya guna dan nilai. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik pengertian bahwa

hukum pengangkutan mengatur hubungan hukum yang timbul karena keperluan

pengangkutan yaitu pemindahan barang atau orang dari satu tempat ke tempat lain

dengan menggunakan jasa orang lain, titik tekan dari penjelasan ini ialah

timbulnya hubungan keperdataan. Selain itu pengangkutan juga merupakan

hubungan keperdataan karena dilakukan berdasarkan perjanjian, pada umumnya

bersifat lisan (tidak tertulis) tetapi selalu didukung oleh dokumen angkutan. Selain

defenisi di atas ada yang menyatakan bahwa Pengangkutan adalah perpindahan

tempat, baik mengenai benda-benda maupun orang-orang, dengan adanya

perpindahan tersebut maka mutlak diperlukannya untuk mencapai dan

meninggikan manfaat serta efisiensi3. Menurut Ridwan Khairindy, pengangkutan

merupakan pemindahan barang dan manusia dari tempat asal ke tempat tujuan.

Ada beberapa unsur pengangkutan, yaitu sebagai berikut:

a) Adanya sesuatu yang diangkut

b) Tersedianya kendaraan sebagai alat angkut

c) Ada tempat yang dapat dilalui alat angkut.

Menurut Soegijatna Tjakranegara, pengangkutan adalah memindahkan

barang atau commodity of goods dan penumpang dari suatu tempat ketempat lain,

sehingga pengangkut menghasilkan jasa angkutan atau produksi jasa bagi

masyarakat yang membutuhkan untuk pemindahan atau pengiriman barang-

3 Sution Usman Adji, Dkk, Hukum Pengangkutan di Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991),

hlm. 1

Page 3: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

23

barangnya4. Pengangkutan dapat dikelompokan menjadi angkutan penumpang dan

angkutan barang. Di dalam hukum pengangkutan juga terdapat asas-asas hukum,

yang terbagi ke dalam dua jenis, yaitu bersifat publik dan bersifat perdata, asas

yang bersifat publik merupakan landasan hukum pengangkutan yang belaku dan

berguna bagi semua pihak, yaitu pihak-pihak dalam pengangkutan, pihak ketiga

yang berkepentingan dengan pengangkutan, dan pihak pemerintah, sedangkan

asas-asas yang bersifat perdata merupakan landasan hukum pengangkutan yang

hanya berlaku dan berguna bagi kedua pihak dalam pengangkutan niaga, yaitu

pengangkut dan penumpang atau pengirim barang5.

Peranan pengangkutan mencakup bidang yang luas di dalam kehidupan

manusia yang meliputi atas berbagai aspek, seperti yang akan diuraikan berikut

ini6:

a) Aspek sosial dan budaya

Dampak sosial dari transportasi dirasakan pada peningkatan standar

hidup. Transportasi menekan biaya dan memperbesar kuantitas

keanekaragaman barang sehingga terbuka kemungkinan adanya

perbaikan dalam perumahan, sandang, dan pangan, serta rekreasi.

Dampak lain adalah terbukanya kemungkinan keseragaman dalam

gaya hidup, kebiasaan, dan bahasa. Dalam bidang budaya dengan

adanya pengangkutan di antara bangsa atau suku bangsa yang

berbeda kebudayaan akan membuat mereka saling mengenal dan

menghormati di antara masing-masing budaya yang berbeda

tersebut.

b) Aspek politis dan pertahanan

Di negara maju maupun berkembang transportasi memiliki dua

keuntungan politis, yaitu seperti transportasi dapat memperkokoh

persatuan dan kesatuan nasional dan transportasi merupakan alat

mobilitas unsur pertahanan dan keamanan yang harus selalu tersedia.

4 Soegijatna Tjakranegara, Hukum Pengangkutan Barang dan Penumpang, (Jakarta: Rineka Cipta,

1995), hlm. 1

5 Abdul Kadir Muhammad, Op. Cit., hlm. 17

6 M.N. Nasution, Manajemen Transportasi, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hlm. 3

Page 4: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

24

c) Aspek hukum

Di dalam pengoperasian dan pemilikan alat angkutan diperlukan

ketentuan hukum mengenai hak, kewajiban, dan tanggung jawab

serta perasuransian apabila terjadi kecelakaan lalu lintas, juga

terhadap penerbangan luar negeri yang melewati batas wilayah suatu

negara, diatur di dalam suatu perjanjian antar negara.

d) Aspek Teknik

Hal-hal yang berkaitan dengan pembangunan dan pengoperasian alat

transportasi adalah menyangkut aspek teknis yang harus menjamin

keselamatan dan keamanan dalam penyelenggaraan angkutan.

e) Aspek ekonomi

Peran pengangkutan tidak hanya untuk melancarkan arus barang dan

mobilitas manusia, pengangkutan juga membantu tercapainya

pengalokasian sumber-sumber ekonomi secara optimal. Untuk itu,

jasa angkutan harus cukup tersedia secara merata dan terjangkau

oleh daya beli masyarakat.

Pengangkutan secara umum, sesuai dengan media pengangkutannya dapat

dibagi menjadi tiga jenis pengangkutan, antara lain:

a) Pengangkutan udara

b) Pengangkutan laut

c) Pengangkutan darat

Dalam pembahasan ini penulis hanya memfokuskan pada jenis

pengangkutan udara saja. Menurut Konversi Warsawa 1929 pengangkutan udara

meliputi jangka waktu selama bagasi atau kargo tersebut berada di dalam

pengawasan pengangkut, baik di pelabuhan udara atau di dalam pesawat udara,

atau di tempat lain dalam hal terjadinya pendaratan di luar pelabuhan udara7.

Terdapat beberapa tujuan dalam penyelenggaraan pengangkutan udara, yaitu:

7 Pasal 18 ayat (3) Konversi Warsawa Tahun 1929.

Page 5: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

25

a) mewujudkan penyelenggaraan penerbangan yang tertib, teratur, selamat,

aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktek

persaingan usaha yang tidak sehat;

b) memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui udara

dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam rangka

memperlancar kegiatan perekonomian nasional;

c) membina jiwa kedirgantaraan;

d) menjunjung kedaulatan negara;

e) menciptakan daya saing dengan mengembangkan teknologi dan industri

angkutan udara nasional;

f) menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan

pembangunan nasional;

g) memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan

Wawasan Nusantara;

h) meningkatkan ketahanan nasional; dan

i) mempererat hubungan antarbangsa.

Peristiwa pengangkutan udara pun tidak terlepas dari seperangkat peraturan

yang mengaturnya yang dapat dikatakan sebagai hukum pengangkutan udara.

Hukum pengangkutan udara adalah sekumpulan aturan (kaidah, norma) yang

mengatur masalah lalu lintas yang berkaitan dengan pengangkutan penumpang

dan barang dengan pesawat udara. Hukum pengangkutan udara (Air

Transportation) merupakan bagian daripada hukum penerbangan (Aviation Law)

dan hukum penerbangan merupakan bagian dari hukum udara (air Law). Sumber

hukum dalam pengangkutan udara antara lain:

Page 6: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

26

a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan;

b) Ordonasi Pengangkutan Udara Tahun 1939;

c) Peraturan Pemerintah No. 40 tahun 1995 Tentang Angkutan Udara;

d) Peraturan Pemerintah No. 3 Tahun 2001 Tentang Keamanan dan

Keselamatan Penerbangan;

e) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 tentang Tanggung

Jawab Pengangkut Angkutan Udara;

f) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 185 Tahun 2015 Tentang Standar

Pelayanan Penumpang Kelas Ekonomi Angkutan Udara Niaga Berjadwal

Dalam Negeri.

Pengangkutan Udara menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009

tentang Penerbangan adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat udara

untuk mengangkut penumpang, kargo, dan/atau pos untuk satu perjalanan atau

lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa bandar

udara. Dalam pengangkutan udara terdapat suatu perjanjian yang kemudian

disebut sebagai perjanjian pengankutan udara yang berisikan perjanjian antara

pengangkut dan pihak penumpang dan/atau pengirim kargo/barang untuk

mengirim penumpang dan/atau kargo/barang dengan pesawat udara dengan

imbalan bayaran atau dalam bentuk imbalan jasa lainnya. Dalam Pasal 1 Undang-

Undang Tentang Penerbangan juga menentukan beberapa ketentuan umum, yaitu

antara lain:

a) Penerbangan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan

wilayah udara, pesawat udara, bandar udara, angkutan udara, keamanan

Page 7: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

27

dan keselamatan penerbangan, serta kegiatan dan fasilitas penunjang lain

yang terkait;

b) Angkutan udara adalah setiap kegiatan dengan menggunakan pesawat

udara untuk mengangkut penumpang, kargo, dan pos untuk satu perjalanan

atau lebih dari satu bandar udara ke bandar udara yang lain atau beberapa

bandar udara;

Pasal 2 Undang-Undang Tentang Penerbangan juga menyatakan bahwa

pengangkutan udara berdasarkan oleh beberapa asas, antara lain:

a) Asas manfaat

Bahwa penerbangan harus dapat memberikan manfaat sebesarbesarnya

bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan

perikehidupan yang berkesinambungan bagi warga negara, serta upaya

peningkatan pertahanan dan keamanan negara;

b) Asas usaha bersama dan kekeluargaan

Bahwa penyelenggaraan usaha di bidang penerbangan dilaksanakan untuk

mencapai cita-cita dan aspirasi bangsa yang dalam kegiatannya dapat

dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat

kekeluargaan;

c) Asas adil dan merata

Bahwa penyelenggaraan penerbangan harus dapat memberikan pelayanan

yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya

yang terjangkau oleh masyarakat;

d) Asas keseimbangan

Page 8: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

28

Bahwa penerbangan harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga

terdapat keseimbangan yang serasi antara sarana dan prasarana, antara

kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan

masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan internasional;

e) Asas kepentingan umum

Bahwa penyelenggaraan penerbangan harus mengutamakan kepentingan

pelayanan umum bagi masyarakat luas;

f) Asas keterpaduan

Bahwa penerbangan harus merupakan kesatuan yang bulat dan utuh,

terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi baik intra maupun antar

moda transportasi;

g) Asas kesadaran hukum

Bahwa mewajibkan kepada pemerintah untuk menegakkan dan menjamin

kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia

untuk selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan

penerbangan;

h) Asas percaya pada diri sendiri

Bahwa penerbangan harus berlandaskan pada kepercayaan akan

kemampuan dan kekuatan sendiri, serta bersendikan kepada kepribadian

bangsa.

i) Asas keselamatan Penumpang

Bahwa setiap penyelenggaraan pengangkutan penumpang harus disertai

dengan asuransi kecelakaan.

Page 9: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

29

Asas hukum pengangkutan udara diklasifikasikan menjadi dua, yaitu asas

hukum publik dan asas hukum perdata, dimana asas hukum perdata merupakan

landasan hukum pengangkutan yang hanya berlaku dan berguna bagi kedua pihak

dalam pengangkutan, yaitu pengangkut dan penumpang atau pemilik barang.

Pesawat udara seperti saat ini sangat berkembang pesat, itu dilihat dari

banyaknya maskapai penerbangan baik maskapai yang dikelola oleh pihak swasta

maupun pihak pemerintah yang biasa disebut dengan Badan Usaha Milik Negara.

Dengan kata lain, pesawat udara telah menjadi alat pengangkutan yang penting

dalam kehidupan manusia, seperti yang diungkapkan oleh K. Martono:

“Pengangkutan merupakan sarana yang sangat penting dan strategis

dalam memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan

kesatuan, mempengaruhi semua aspek kehidupan berbangsa dan

bernegara. Selain pengangkutan darat dan pengankutan laut,

pengangkutan udara merupakan sarana penting dan merupakan urat

nadi dalam kehidupan bangsa dan negara dalam menunjang

pembangunan nasional8”.

Pada bagian kedelapan dalam Undang-Undang Tentang Penerbangan

dijelaskan mengenai tanggung jawab pengangkut udara dimana wajib mengangkut

orang dan/atau barang, memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap

pengguna jasa angkutan udara. Pengangkut juga bertaggung jawab atas kerugian

penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang diakibatkan

kejadian angkutan udara9. Kegiatan penerbangan penuh dengan resiko yang

sangat tinggi, sekecil apapun kesalahan yang dilakukan oleh pengangkut dapat

berakibat fatal, yaitu terjadinya kecelakaan pesawat yang dapat mengakibatkan

8 K. Martono, Hukum Udara, Pengangkutan Udara dan Angkasa, (Bandung: Alumni, 1997), hlm.

59 9 Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

Page 10: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

30

kerugian bagi penumpang. Kejadian angkutan udara adalah kejadian yang semata-

mata ada hubungannya dengan pengangkutan udara, salah satu yang berdampak

negatif terhadap konsumen adalah kecelakaan, definisi kecelakaan menurut

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab

Pengangkut Angkutan Udara Pasal 1 adalah peristiwa pengoperasian pesawat

udara yang mengakibatkan kerusakan berat pada peralatan atau fasilitas yang

digunakan dan/atau korban jiwa atau luka serius, diluar kecelakaan terdapat

permasalahan lain yang juga merugikan penumpang antara lain delay, dan

permasalahan mengenai kondisi bagasi dan kargo. Hal ini diperjelas dalam

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab

Pengangkut Angkutan Udara Pasal 2 yang berbunyi:

a) Penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap atau luka-luka

b) Hilang atau rusaknya bagasi kabin

c) Hilang, musnah atau rusaknya kargo

d) Keterlambatan angkutan udara

e) Kerugian yang diderita oleh pihak ketiga

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 Tahun 2011 Pasal 1

mendefinisikan secara lebih rinci sebagai berikut:

a) cacat tetap adalah kehilangan atau menyebabkan tidak berfungsinya

salah satu anggota badan atau yang mempengaruhi aktivitas secara

normal seperti hilangnya tangan, kaki, atau mata, termasuk dalam

pengertian cacat tetap adalah cacat mental.

b) Cacat Tetap Total adalah kehilangan fungsi salah satu anggota

badan, termasuk cacat mental sebagai akibat dari Kecelakaan

(accident) yang diderita sehingga penumpang tidak mampu lagi

melakukan pekerjaan yang memberikan penghasilan yang layak

diperoleh sesuai dengan pendidikan, keahlian, ketrampilan dan

pengalamannya sebelum mengalami cacat.

Page 11: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

31

c) Catat Tetap Sebagian adalah kehilangan sebagian dari salah satu

anggota badan namun tidak mengurangi fungsi dari anggota badan

tersebut untuk beraktifitas seperti hilangnya salah satu mata, salah

satu lengan mulai dari bahu, salah satu kaki.

d) Keterlambatan adalah terjadinya perbedaan waktu antara waktu

keberangkatan atau kedatangan yang dijadwalkan dengan realisasi

waktu keberangkatan atau kedatangan.

Definisi keterlabatan secara lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 9 sebagai

berikut:

a) Keterlambatan penerbangan (flight delayed)

b) Tidak terangkutnya penumpang dengan alasan kapasitas pesawat udara

(denied boarding passanger)

c) Pembatalan penerbangan (cancelation of flight).

2. Perlindungan Hukum Konsumen

Keinginan pelaku usaha untuk meraup keuntungan yang sebanyak-

banyaknya dapat mendorong pelaku usaha untuk berbuat curang, kecenderungan

pelaku usaha ini menjadikan kedudukan pelaku usaha dan konsumen menjadi

tidak seimbang dan menempatkan konsumen dalam posisi yang lemah. Selain itu,

Salah satu faktor utama yang menyebabkan lemahnya kedudukan konsumen

adalah karena rendahnya tingkat kesadaran konsumen mengenai hak-haknya, oleh

sebab itu dalam berbagai bentuk yang menjadikan konsumen dalam posisi

terlemah dibutuhkannya perlindungan hukum konsumen. Hukum yang berlaku

selain mampu melindungi konsumen dari perbuatan curang pelaku usaha, juga

harus mampu memberikan pendidikan kepada konsumen mengenai pentingnya

Page 12: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

32

keamanan dan keselamatan dalam menggunakan suatu produk10

. Hukum

perlindungan konsumen merupakan bagian dari hukum konsumen yang memuat

asas-asas atau kaidah-kaidah yang bersifat mengatur dan juga mengandung sifat

yang melindungi konsumen11

. Hukum perlindungan konsumen inilah yang

menjembatani permasalahan yang timbul dan dituangkan dalam bentuk Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Namun sekarang

mulai banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hukum

konsumen, maka dalam menerapkannya dikehidupan sehari-hari harus sejalan

dengan hukum perlindungan konsumen yang telah ada. Dalam Pasal 64 Undang-

Undang Perlindungan Konsumen disebutkan bahwa: ”Segala ketentuan peraturan

perundang-undangan yang bertujuan melindungi konsumen yang telah ada pada

saat undang-undang ini diundangkan, dinyatakan tetap berlaku”.

Konsumen Merupakan salah satu pelaku kegiatan usaha dalam bentuk

individu atau sekelompok orang yang mengkonsumsi barang atau jasa yang

disediakan oleh produsen. Philip Kotler menyatakan bahwa konsumen adalah

semua individu dan rumah tangga yang membeli maupun memperoleh barang

atau jasa untuk dikonsumsi pribadi, selain itu Hornby berpendapat bahwa

konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun

makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Dalam bidang ekonomi

dikenal dua jenis konsumen, yaitu konsumen akhir yaitu pengguna atau pemanfaat

10

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti,

2006), hlm. 3

11 Az Nasution (a), Konsumen dan Konsumen: Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum Pada

Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar, 1995), hlm. 65

Page 13: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

33

akhir dari suatu produk, dan konsumen antara yaitu pengguna suatu produk

sebagai bagian dari proses produksi suatu produk lainnya. Menurut Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan

bahwa konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan12

. Sehingga

berdasarkan pengertian konsumen menurut Undang-Undang Perlindungan

Konsumen tersebut dapat disimpulkan bahwa syarat-syarat konsumen adalah:

a) Pemakai barang dan/atau jasa, baik memperolehnya melalui pembelian

maupun secara cuma-Cuma.

b) Pemakaian barang dan/atau jasa untuk kepentingan diri sendiri, keluarga,

orang lain dan makhluk hidup lain.

c) Tidak untuk diperdagangkan.

Menurut ketentuan Pasal 1 (satu) angka 1 (satu) Undang-Undang

Perlindungan Konsumen, perlindungan konsumen adalah segala upaya yang

menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada

konsumen, dengan cakupan yang luas meliputi dari tahapan untuk mendapat

barang dan/atau jasa hingga sampai akibat-akibat pemakaian barang dan/atau jasa

tersebut. Menurut Janus Sidabalok, Perlindungan hukum konsumen adalah hukum

yang mengatur tentang pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka

pemenuhan kebutuhannya sebagai konsumen13

. Di dalam perlindungan

12

Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, (Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana

Indonesia, 2006), hlm. 1

13 Ibid., hlm. 45

Page 14: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

34

konsumen, terdapat dua istilah hukum yakni hukum konsumen dan hukum

perlindungan konsumen, namun menurut Shidarta hukum konsumen dan hukum

perlindungan konsumen merupakan dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan

ditarik batasnya, hal ini mengingat bahwa salah satu tujuan hukum adalah

memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat. Az. Nasution

membedakan definisi antara hukum konsumen dan hukum perlindungan

konsumen, hukum Konsumen adalah keseluruhan asas-asas dan kaidah-kaidah

yang mengatur hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk

(barang dan/atau jasa) antara penyedia dan penggunanya, dalam kehidupan

masyarakat. Sedangkan hukum perlindungan konsumen adalah keseluruhan asas-

asas dan kaidah-kaidah yang mengatur dan melindungi konsumen dalam

hubungan dan masalah penyediaan dan penggunaan produk (barang dan/atau jasa)

konsumen antara penyedia dan penggunanya dalam kehidupan bermasyarakat.

Berdasarkan penjelasan tersebut maka hukum perlindungan konsumen pada

dasarnya merupakan bagian khusus dari hukum konsumen, di mana tujuan hukum

perlindungan konsumen secara khusus mengatur dan melindungi kepentingan

konsumen atas barang dan/atau jasa yang ada di masyarakat. Terdapat asas atau

prinsip dalam perlindungan hukum konsumen, yaitu:

a) Let the buyer beware/ Caveat emptor

Asas ini beramsumsi bahwa pelaku usaha dan konsumen adalah dua pihak

yang sangat seimbang sehingga tidak perlu ada proteksi apapun bagi

konsumen. Tentu saja dalam perkembangannya, konsumen tidak dapat

akses informasi yang sama terhadap barang atau jasa yang

dikonsumsikannya. Ketidakmampuan itu banyak disebabkan oleh

Page 15: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

35

ketidakterbukaan pelaku usaha terhadap produk yang ditawarkannya.

Prinsip ini dalam suatu hubungan jual-beli keperdataan, yang wajib

berhati-hati adalah pembeli.

b) The Due Care Theory

Asas ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk berhati-

hati dalam memasyarakatkan produk, baik barang maupun jasa. Selama

berhati-hati ia tidak dapat dipersalahkan.

c) The privity of contract

Asas ini menyatakan pelaku usaha mempunyai kewajiban untuk

melindungi konsumen, tetapi hal itu baru dapat dilakukan jika di antara

mereka telah terjalin hubungan kontraktual. Pelaku usaha tidak dapat

disalahkan atas halhal di luar yang diperjanjikan.

d) Let the producer aware/ Caveat Venditor

Asas ini ini mengandung maksud bahwa „penjual‟ harus beritikad baik

dan bertanggungjawab dalam menjual produknya kepada pembeli atau

konsumen. Berbeda dengan asas caveat emptor yang „meminta‟ pembeli

teliti (berhati-hati) sebelum membeli (karena penjual mungkin curang),

prinsip caveat venditor ini membebankan tanggungjawab kehati-hatian

pada penjual (produsen). Maka pelaku usaha wajib beritikad baik

memberikan perlindungan dan pendidikan pada konsumen, salah satunya

melalui informasi produk yang jujur. Pergeseran penggunaan asas

perlindungan konsumen dari caveat emptor menjadi caveat venditor

berlangsung seiring dengan perkembangan masyarakat, maka terjadi pula

perubahan dalam sikap produsen (pelaku usaha). dimana produsen

Page 16: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

36

mengubah strategi bisnisnya bukan lagi pada product-oriented policy,

tetapi menjadi consumen-oriented policy, yaitu kebijakan pemasaran yang

didasarkan pada pertimbangan bahwa apa yang dihasilkan oleh pelaku

usaha harus sesuai dengan tuntutan, kriteria dan kepentingan konsumen.

Sejalan dengan penerapan asas ini maka Pemerintah dan DPR menerbitkan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

guna meningkatnya kesadaran hukum untuk melindungi konsumen.

Perlindungan konsumen merupakan faktor penting yang hendak dicapai,

maka Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 20 April 1999 telah

mensahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tetang Perlindungan

konsumen, meskipun ditunjukan untuk melindungi kepentingan konsumen,

Undang-Undang Perlindungan Konsumen tidak bertujuan untuk mematikan

pelaku usaha, sebaliknya diharapkan dapat lebih termotivasi untuk meningkatkan

daya saingnya dengan memperhatikan kepentingan konsumen. Berdasarkan Pasal

2 undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

perlindungan konsumen berasaskan atas:

a) Asas manfaat

Asas ini mengandung makna bahwa penerapan Undang-undang

Perlindungan Konsumen harus memberikan manfaat yang sebesar-

besarnya kepada kedua pihak, konsumen dan pelaku usaha. Sehingga

tidak ada satu pihak yang kedudukannya lebih tinggi dibanding

pihak lainnya, kedua belah pihak harus memperoleh hak-haknya.

b) Asas keadilan

Berdasarkan Pasal 4 – 7 Undang-Undang Perlindungan Konsumen

yang mengatur mengenai hak dan kewajiban konsumen serta pelaku

usaha, diharapkan kedua belah pihak memperoleh haknya dan

menunaikan kewajibannya secara seimbang.

c) Asas keseimbangan

Melalui penerapan asas ini, diharapkan kepentingan konsumen,

pelaku usaha serta pemerintah dapat terwujud secara seimbang, tidak

ada pihak yang lebih dilindungi.

Page 17: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

37

d) Asas keamanan dan keselamatan konsumen

Diharapkan penerapan Undang-Undang Perlindungan Konsumen

akan memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan

konsumen dalam penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang

dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

e) Asas kepastian hukum

Dimaksudkan agar baik konsumen dan pelaku usaha mentaati hukum

dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan

konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

Selanjutnya berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang Perlindungan Konsumen,

dijelaskan tujuan perlindungan konsumen yaitu:

a) Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen

untuk melindungi diri.

b) Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara

menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau

jasa.

c) Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih,

menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen.

d) Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung

unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk

mendapatkan informasi.

e) Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya

perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan

bertanggung jawab dalam berusaha.

f) Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin

kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan,

kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.

B. Hasil Penelitian Dan Analisis

1. Prinsip Pertanggungjawaban Pengangkut Terhadap Penumpang

Pengangkutan Udara

Seperti yang telah dikemukakan dalam bagian Pengangkutan Udara, dimana

pengangkut mengikatkan diri untuk menyelenggarakan pengangkutan barang

dan/atau orang, pengangkutan juga dapat dikelompokan menjadi angkutan

Page 18: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

38

penumpang dan angkutan barang, sehingga dapat dimaknai bahwa konsumen

dalam pengangkutan udara ialah penumpang yang merupakan orang, dan barang.

Selain itu menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 Tentang Penerbangan

yang merupakan konsumen adalah pengguna jasa penerbangan, dengan

mengangkut dirinya sendiri atau barang miliknya yang bisa disebut sebagai

penumpang dan kargo, jika sebagai penumpang maka ia memiliki hak atas bagasi,

baik bagasi tercatat maupun bagasi kabin. Bila dilihat dalam Undang-undang

Perlindungan Konsumen mengatur tentang pihak-pihak-pihak yang terkait, antara

lain:

a) Konsumen

Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan

konsumen sebagai setiap orang pemakai barang dan atau jasa yang tersedia

dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,

maupun makhluk hidup lain, dan tidak untuk diperdagangkan. Dari

definisi ini terdapat suatu paham bahwa konsumen haruslah seorang

pemakai akhir dari suatu barang maupun jasa yang tersedia dalam

masyarakat, baik untuk kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,

maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan

b) Pelaku Usaha

Pasal 1 ayat (3) Undang-undang Perlindungan Konsumen mendefinisikan

pelaku usaha sebagai setiap orang atau badan usaha, baik yang berbentuk

badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan dan

berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah Republik

Page 19: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

39

Indonesia, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian

menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.

Undang-Undang Perlindungan Konsumen Pasal 4 dan 5 menjelaskan secara

rinci mengenai hak dan kewajiban konsumen. Pasal 4 mengenai hak konsumen

antara lain:

a) hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam

mengkonsumsi barang dan/atau jasa;

b) hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang

dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta

jaminan yang dijanjikan;

c) hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai konsidi dan

jaminan barang dan/atau jasa;

d) hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau

jasa yang digunakan;

e) hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya

penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;

f) hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;

g) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta

tidak diskriminatif;

h) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau

penggantian, apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai

dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;

i) hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan

lainnya.

Sedangkan Pasal 5 mengenai kewajiban konsumen antara lain:

a) membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur

pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa, demi keamanan

dan keselamatan;

b) beritikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau

jasa;

c) membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;

d) mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

Dengan adanya ketentuan mengenai perlindungan hukum terhadap

konsumen berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen, maka

Page 20: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

40

diperlukannya Undang-Undang tentang Penerbangan yang kemudian akan

mengatur mengenai tanggung jawab atas ganti kerugian yang dialami oleh

konsumen. Sebelum menetapkan tanggung jawab, hal penting yang harus

diperhatikan adalah prinsip-prinsip mengenai tanggung jawab itu sendiri seperti

yang sudah disebutkan sebelumnya, namun dalam pengangkutan udara prinsip-

prinsip yang digunakan antara lain Liabilty Based on Fault Principle atau

Presumption of Non Liabilty Principle, Presumption of Liability Principle, dan

Strict Liability Principle atau Absolute Liability Principle.

Dalam prinsip Liabilty Based on Fault atau Presumption of Non Liabilty

kelalaian atau kesalahan pengangkut yang berakibat pada timbulnya kerugian

konsumen merupakan faktor penentu hak konsumen untuk mengajukan tuntutan

ganti rugi kepada pihak pengangkut. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata atau KUH Perdata hal ini dikenal dengan perbuatan melawan hukum,

dijelaskan dalam Pasal 1365 dimana setiap perbuatan melawan hukum yang

menimbulkan kerugian terhadap orang lain mewajibkan orang yang karena

perbuatannya itu menimbulkan kerugian untuk mengganti kerugian tersebut.

Dalam Undang-Undang Penerbangan prinsip ini dikaitkan dengan ketentuan

dalam Pasal 143 yang menyebutkan bahwa Pengangkut tidak bertanggung jawab

atas kerugian karena hilang atau rusaknya bagasi kabin, kecuali apabila

penumpang dapat membuktikan bahwa kerugian tersebut disebabkan oleh

tindakan pengangkut atau orang yang dipekerjakannya. Sebagai pedoman

konsumen dalam hal ini, harus diingat bahwa tanggung jawab hukum kepada

orang yang menderita kerugian tidak terbatas pada perbuatan sendiri melainkan

juga perbuatan karyawan, pegawai, agen, atau perwakilannya yang menimbulkan

Page 21: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

41

kerugian, dengan demikian terhadap bagasi kabin penumpang harus membuktikan

bahwa kerugian disebabkan oleh perbuatan awak pesawat (pramugari/pramugara)

dalam menutup pintu kabin.

Prinsip tanggungjawab selanjutnya ialah Presumption of liability dimana

penumpang tidak perlu membuktikan kesalahan pengangkut untuk mendapatkan

ganti kerugian sebab pengangkut telah dianggap bersalah, melainkan

pengangkutlah yang harus membuktikan kalau dia tidak bersalah apabila ingin

menolak tuntutan atas ganti kerugian. Dalam Undang-Undang Penerbangan hal ini

disebutkan dalam pasal 146 dimana pengangkut bertanggung jawab atas kerugian

yang diderita karena keterlambatan pada angkutan penumpang, bagasi atu kargo,

kecuali apabila pengangkut dapat membuktikan bahwa keterlambatan tersebut

disebabkan oleh faktor cuaca dan teknis operasional. Selanjutnya prinsip ini juga

didukung dengan pernyataan yang ada dalam Peraturan Menteri Perhubungan

Nomor 89 tahun 2015 Pasal 6 yang menyebutkan bahwa badan usaha angkutan

udara bertanggungjawab atas keterlambatan yang disebabkan faktor manajemen

airlines sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dan dibebaskan dari

tanggung jawab atas ganti kerugian akibat keterlambatan penerbangan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3), (4), dan (5) yang menjelaskan

tentang faktor kondisi bandar udara, cuaca dan faktor lain diluar manajemen

airlines. Bila diperhatikan kembali ketentuan pasal 146 Undang-Undang

Penerbangan, penulis mengemukakan kembali bahwa baik dengan adanya

pengaturan yang bertujuan untuk melindungi konsumen akan tetapi tidak semata-

mata mematikan pihak pengangkut, karena pihak pengangkut masih diberikan

kesempatan untuk membuktikan bila dia bersalah atau tidak.

Page 22: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

42

Dalam prinsip Strict Liability atau Absolute Liability pengangkut

bertanggung jawab secara mutlak tanpa mensyaratkan unsur kesalahan, tetapi

langsung pada kerugian yang ditimbulkan. Dengan seiringnya terbukti ada unsur

kesalahan, pelaku usaha langsung mengganti kerugian tersebut. Prinsip ini yang

dominan digunakan baik dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen

maupun Undang-Undang Penerbangan. Hal ini disebutkan dalam Pasal 141

Undang-Undang Penerbangan dimana pengangkutan udara bertanggung jawab

atas kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-luka yang

diakibatkan kejadian angkutan udara didalam pesawat dan/atau naik turun

pesawat. Selain itu konsep tanggung jawab mutlak didapati pula dalam ketentuan

Pasal 144 Undang-Undang Penerbangan yang menyebutkan bahwa pengangkut

bertanggung jawab atas kerugian yang diderita penumpang karena bagasi tercatata

hilang, musnah atau rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama

bagasi tercatat berada dalam pengawasan pengangkut. Selanjutnya prinsip ini juga

terdapat dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 89 tahun 2015 Pasal 10

yang menjelaskan ganti kerugian atas keterlambatan penerbangan dan pasal 11

atas tidak terangkutnya penumpang.

Dengan adanya prinsip-prinsip tanggung jawab bagi pengangkut, akan hal

ini Undang-Undang No. 1 tahun 2009 tentang Penerbangan disimpulkan tentang

kewajiban dari pihak pengangkut antara lain:

a) Pasal 140 ayat (2) yaitu badan usaha angkutan udara niaga wajib

memberikan pelayanan yang layak terhadap setiap pengguna jasa

angkutan.

b) Pasal 141 ayat (1) yaitu pengangkut bertanggung jawab atas

kerugian penumpang yang meninggal dunia, cacat tetap, atau luka-

Page 23: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

43

luka yang diakibatkan kejadian angkutan udara di dalam pesawat

dan/atau naik turun pesawat.

c) Pasal 144 yaitu pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang

diderita oleh penumpang karena bagasi tercatat hilang, musnah, atau

rusak yang diakibatkan oleh kegiatan angkutan udara selama bagasi

tercatat berada dalam pengawasan pengangkut.

d) Pasal 145 yaitu pengangkut bertanggung jawab atas kerugian yang

diderita oleh pengirim kargo karena kargo yang dikirim hilang,

musnah atau rusak yang diakibatkan oloeh kegiatan angkutan udara

selama kargo berada dalam pengawasan pengangkut.

e) Pasal 147 ayat (1) dan (2) yaitu, pengangkut bertanggung jawab atas

tidak terangkutnya penumpang, sesuai dengan jadwal yang telah

ditentukan dengan alasan kapasitas pesawat udara. Tanggung jawab

sebagaimana dimaksud dengan memberikan kompensasi kepada

penumpang berupa mengalihkan ke penerbangan lain tanpa

membayar biaya tambahan atau memberikan konsumsi, akomodasi,

dan biaya transportasi apabila tidak ada penerbangan lain ke tempat

tujuan.

Adapun beberapa aspek perlindungan kosnumen dalam pengangkutan

udara, antara lain:

a) Aspek keselamatan penerbangan

Tujuan utama kegiatan pengangkutan udara adalah keselamatan, aspek ini

berkaitan erat dengan perlindungan konsumen. Dalam konteks ini maka

semua perusahaan pengangkutan udara wajib untuk mengantisipasi segala

kemungkinan yang dapat mencelakakan penumpangnya, oleh karena itu

setiap perusahaan pengangkutan udara dituntut untuk menyediakan

armada pesawatnya yang handal dan dalam keadaan layak terbang.

b) Aspek keamanan penerbangan

Keamanan penerbangan maksudnya adalah aman dari berbagai gangguan,

baik secara teknis maupun gangguan dari perampokan, perampasan, dan

serangan teroris. Dalam aspek keamanan ini perusahaan pengangkutan

udara wajib menjamin keamanan selama melakukan penerbangan.

Page 24: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

44

c) Aspek kenyamanan selama penerbangan

Dalam aspek kenyamanan dalam penerbangan, terkandung makna bahwa

keseimbangan hak dan kewajiban diantara para pihak, baik pengangkut

maupun penumpang.

d) Aspek pengajuan klaim

Dalam kegiatan penerbangan sering kali terjadi resiko kecelakaan yang

menimbulkan kerugian bagi penumpang, sehubungan dengan hal tersebut

diperlukan perlindungan konsumen bagi penumpang, yaitu adanya

prosedur penyelesaian atau pengajuan klaim yang mudah, cepat dan

memuaskan.

e) Aspek Perlindungan melalui asuransi

Pada umunya perusahaan penerbangan mengasuransikan dirinya terhadap

resiko-resiko yang kemungkinan akan timbul dalam penyelenggaraan

kegiatan penerbangannya, antara lain mengasuransikan resiko tangung

jawab terhadap penumpang

Baik dalam pembahasan mengenai perlindungan hukum konsumen maupun

dalam pengangkutan udara, keselamatan dan keamanan penumpang jasa angkutan

udara selaku konsumen merupakan unsur terpenting yang harus diperhatikan. Hal

ini sesuai dengan Pasal 3 huruf (f) Undang-Undang Perlindungan Konsumen

bahwa salah satu tujuan perlindungan konsumen adalah menjamin keamanan dan

keselamatan konsumen, dan sama halnya dalam Pasal 3 huruf (a) Undang-Undang

Penerbangan bahwa salah satu tujuan penyelenggaraan penerbangan ialah

mewujudkan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman dan nyaman. Upaya

hukum yang diatur di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang

Page 25: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

45

Perlindungan Konsumen di atas juga dapat diterapkan atau digunakan oleh

konsumen yang dirugikan oleh pelaku usaha penerbangan, karena baik dalam

Undang-Undang Perlindungan Konsumen maupun Undang-Undang Penerbangan,

keduanya menjelaskan mengenai hak dan kewajiban para pihak yang menjadi

batasan-batasan dalam perlindungan penumpang yang merupakan konsumen. Hal

ini kemudian diperkuat dengan adanya ketentuan dalam Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata pasal 1365 yang menyebutkan setiap perbuatan yang melanggar

hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang

karena kesalahannya menimbulkan kerugian mengganti kerugian tersebut.

Dalam besaran ganti kerugian berdasarkan prinsip-prinsip tanggung jawab

yang sudah dijelaskan, ketentuan jumlah ganti rugi yang harus dibayar oleh pihak

pengangkut sesuai dengan yang diatur dalam pasal 165 Undang-Undang Nomor 1

tahun 2009, akan tetapi penumpang dapat menuntut ganti kerugian yang lebih

besar hal ini diatur dalam pasal 180 Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009.

Besaran ganti kerugian ditetapkan berdasarkan beberapa kriteria antara lain

tingkat hidup yang layak rakyat Indonesia, kelangsungan hidup Badan Usaha

Angkatan Udara, tingkat inflasi kumulatif, pendapatan perkapita, perkiraan usia

harapan hidup dan perkembangan nilai mata uang, berdasar ideologi negara

Indonesia yaitu Pancasila, hal ini jelas mempertimbangkan 2 (dua) sila, yaitu sila

ke dua yang berbunyi kemanusian yang adil dan beradab dan sila ke lima yang

berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam permasalahan

tanggung jawab didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 menyebutkan

juga sanski pidana dalam pasal 411 yang menyebutkan setiap orang yang

membahayakan keselamatan konsumen baik orang maupun barang dipidana

Page 26: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

46

dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), hal ini juga terdapa didalam Pasal 62 ayat

(2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 yang mengatur sanksi pidana dalam

pengupayaan perlindungan konsumen.

Dengan demikiran berdasar analisis penulis upaya hukum yang dilakukan

guna melindungi konsumen yang dirugikan dapat dilalui dengan pengajuan

gugatan atau klaim kepada perusahaan penerbangan, penyelesaian sengketa dapat

ditempuh melalui dua jalur yaitu jalur pengadilan dan jalur diluar pengadilan,

kedua model ini diakui baik dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009

maupun Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, konsumen bebas memilih model

penyelesaiannya. Dalam hal gugatan atau klaim ganti kerugian diluar pengadilan

hal ini dilakukan tentang harus berdasarkan oleh prinsip-prinsip ganti kerugian

yang telah dijelaskan dalam bab ini. Selanjutnya perusahaan pengangkutan udara

harus meningkatkan kinerja pelayanannya yang baik terhadap konsumen sehingga

mengurangi terjadinya ganti kerugian yang dialami konsumen serta mengurangi

kerugian yang akan diterima oleh perusahaan pengangkutan udara juga, sehingga

penulis menyebutkan kembali yang sudah penulis jelaskan dalam bab latar

belakang masalah, bahwa piranti hukum yang melindungi konsumen tidak

dimaksudkan untuk mematikan usaha pihak pengangkut, tetapi justru sebaliknya

perlindungan konsumen dapat mendorong iklim usaha yang sehat dan

meningkatkan kualitas pihak pengangkut udara. Namun demikian terkait dengan

perlindungan hukum konsumen, kerugian yang diderita seseorang sebagai pihak

ketiga seperti yang tercantum dalam Undang-Undang Penerbangan tidak masuk

kedalam ruang lingkup perlindungan hukum konsumen dalam Undang-Undang

Page 27: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

47

Perlindungan konsumen. Hal ini dikarenakan pihak ketiga tidak termasuk sebagai

konsumen dalam ketentuan yang ada di Undang-Undang Perlindungan Konsumen

karena dalam Pasal 1 angka (2) pengertian konsumen dibatasi aspek

perlindungannya hanya sampai konsumen akhir.

2. Perlindungan Hukum Bagi Orang dan Barang dalam Pengangkutan

Udara

Dalam pembahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa yang dimaksud

dengan konsumen dalam pengangkutan udara ialah penumpang yang merupakan

orang, dan barang. Dalam pembahasan ini penulis akan menjelaskan mengenai

perlindungan terhadap orang dan barang menurut peraturan yang mengatur dalam

pengangkutan udara. Barang dan orang akan diangkut oleh pihak pengangkut,

dimana dalam melaksanakan kewajibannya yaitu mengadakan perpindahan

tempat, harus memenuhi beberapa ketentuan yang tidak dapat ditinggalkan antara

lain, yaitu sebagai berikut:

a) menyelenggarakan pengangkutan dengan aman, selamat dan utuh;

b) pengangkutan diselenggarakan dengan cepat, tepat pada waktunya:

c) diselenggarakan dengan tidak ada perubahan bentuk.

Dalam pengangkutan udara, setiap penumpang dalam bentuk orang maupun

barang tentunya memiliki hak untuk diangkut ketempat tujuan dengan pesawat

udara. Di samping itu juga penumpang atau ahli warisnya berhak untuk menuntut

ganti rugi atas kerugian yang dideritanya sebagai akibat adanya kecelakaan

penerbangan atas pesawat udara yang bersangkutan. Selain itu hak-hak

penumpang lainnya adalah menerima dokumen yang menyatakannya sebagai

Page 28: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

48

penumpang, mendapatkan pelayanan yang baik, memperoleh keamanan dan

keselamatan selama dalam proses pengangkutan dan lain-lain.

Pengaturan mengenai perlindungan terhadap orang dan barang dalam

pengangkutan udara dijelaskan dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77

tahun 2011 tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan Udara. Pasal 3

menjelaskan ganti kerugian atas orang yaitu:

a) penumpang yang meninggal dunia di dalam pesawat udara karena

akibat kecelakaan pesawat udara atau kejadian yang semata-mata

ada hubungannya dengan pengangkutan udara diberikan ganti

kerugian sebesar Rp. 1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima

puluh juta rupiah) per penumpang;

b) penumpang yang meninggal dunia akibat suatu kejadian yang

sematamata ada hubungannya dengan pengangkutan udara pada saat

proses meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat

udara atau pada saat proses turun dari pesawat udara menuju ruang

kedatangan di bandar udara tujuan dan/atau bandar udara

persinggahan (transit) diberikan ganti kerugian sebesar Rp.

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) per penumpang;

c) penumpang yang dinyatakan cacat tetap total oleh dokter dalam

jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak

terjadinya kecelakaan diberikan ganti kerugian sebesar Rp.

1.250.000.000,00 (satu miliar dua ratus lima puluh juta rupiah) per

penumpang;

d) penumpang yang mengalami luka-luka dan harus menjalani

perawatan di rumah sakit, klinik atau balai pengobatan sebagai

pasien rawat inap dan/atau rawat jalan, akan diberikan ganti kerugian

sebesar biaya perawatan yang nyata paling banyak Rp.

200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) per penumpang.

Selanjutnya mengenai perlindungan orang dalam pengangkutan udara, Pasal

10 sampai dengan Pasal 11 menjelaskan mengenai keterlambatan pengangkutan

sebagai berikut:

a) keterlambatan lebih dari 4 (empat) jam diberikan ganti rugi sebesar

Rp. 300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) per penumpang.

b) diberikan ganti kerugian sebesar 50% (lima puluh persen) dari

ketentuan huruf a apabila pengangkut menawarkan tempat tujuan

lain yang terdekat dengan tujuan penerbangan akhir penumpang (re-

Page 29: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

49

routing), dan pengangkut wajib menyediakan tiket penerbangan

lanjutan atau menyediakan transportasi lain sampai ke tempat tujuan

apabila tidak ada moda transportasi selain angkutan udara.

c) dalam hal tidak terangkutnya penumpang, pengangkut wajib

mengalihkan ke penerbangan lain tanpa membayar biaya tambahan.

d) memberikan konsumsi, akomodasi, dan biaya transportasi apabila

tidak ada penerbangan lain ke tempat tujuan

Bila diperhatikan ketentuan ganti kerugian yang disebutkan tentu selaras

dengan prinsip-prinsip tanggung jawab yang sudah dijelaskan sebelumnya, dalam

ketentuan diatas bentuk ganti kerugian tersebut menganut asas tanggung jawab

mutlak atau prinsip Strict/Absolute Liability. Selanjutnya Mengenai bentuk ganti

kerugian terhadap barang antara lain bagasi tercatat yang merupakan barang

penumpang yang diserahkan oleh penumpang kepada pengangkut untuk diangkut

dengan pesawat yang sama, sedangkan bagasi kabin merupakan barang yang

dibawa oleh penumpang dan berada dibawah pengawasan penumpang sediri, dan

kargo berupa barang yang diangkut oleh pesawat udara termasuk hewan dan

tumbuhan selain pos, barang kebutuhan pesawat selama penerbangan, barang

bawaan atau barang yang tidak bertuan, hal ini dijelaskan dalam Peraturan

Menteri Perhubungan Nomor 77 tahun 2011 Pasal 5 yaitu:

a) kehilangan bagasi tercatat atau isi bagasi tercatat atau bagasi tercatat

musnah diberikan ganti kerugian sebesar Rp. 200.000,00 (dua ratus

ribu rupiah) per kg dan paling banyak Rp. 4.000.000,00 (empat juta

rupiah) per penumpang.

b) kerusakan bagasi tercatat, diberikan ganti kerugian sesuai jenisnya

bentuk, ukuran dan merk bagasi tercatat.

c) memberikan uang tunggu kepada penumpang atas bagasi tercatat

yang belum ditemukan dan, belum dapat dinyatakan hilang

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sebesar Rp. 200.000,00 (dua

ratus ribu rupiah) per hari paling lama untuk 3 (tiga) hari kalender.

d) terhadap hilang atau musnahnya kargo yang dikirim, pengangkut

wajib memberikan ganti kerugian kepada pengirim sebesar Rp.

100.000,00 (seratus ribu rupiah) per kg.

Page 30: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

50

e) terhadap rusak sebagian atau seluruh isi kargo atau kargo,

pengangkut wajib memberikan ganti kerugian kepada pengirim

sebesar Rp. 50.000,00 (lima puluh ribu rupiah) per kg.

Dalam ketentuan yang dicantumkan diatas kita juga dapat memahami bahwa

besaran ganti kerugia tersebut berdasarkan prinsip Presumption of liability, namun

lain hal terhadap bagasi kabin karena perlindungan terhadap bagasi kabin bersifat

bersyarat, karena tanggung jawab atas ganti kerugian dapat dilakukan apabila

pihak penumpang dapat membuktikan kerugian tersebut disebabkan oleh pihak

pengangkut baik maskapai penerbangan atau pun orang yang dipekerjakan

(pramugari/pramugara), karena hal ini sudah diatur dalam Pasal 4 ayat (1)

Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 yang merupakan implementasi dari

prinsip Presumption of Non Liabilty.

Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011 Pasal 18 menyebutkan

perlindungan terhadap orang dalam pengangkutan udara dimulai sejak penumpang

meninggalkan ruang tunggu bandar udara menuju pesawat udara sampai dengan

memasuki terminal kedatangan di bandar udara tujuan. Untuk perlindungan

terhadap barang dalam hal bagasi tercatat dimulai sejak pengangkut menerima

bagasi tercatat pada saat pelaporan (check-in) sampai dengan diterimanya bagasi

tercatat kembali oleh penumpang, sedangkan perlindungan barang dalam hal

kargo dimulai sejak pengirim barang menerima salinan surat muatan udara dari

pengangkutan sampai dengan waktu yang ditetapkan sebagai batas pengambilan

Dalam praktik ganti rugi terhadap orang dan barang seperti PT. Garuda

Indonesia sebelumnya menganut ketentuan yang diatur dalam Peraturan

Page 31: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

51

Pemerintah Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara yang menyebutkan

bahwa:

a) Ganti rugi bagi penumpang meninggal ditetapkan sebesar

Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah);

b) Ganti rugi bagi penumpang yang luka-luka dibatasi setinggi-tingginya

Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah);

c) Ganti rugi penumpang yang mengalami cacat tetap dibatasi setinggi-

tingginya Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah);

Dan dalam perihal ganti kerugian yang wajib dibayarkan pihak pengakut

atas barang diatur dalam Pasal 44 yaitu:

a) Jumlah ganti rugi untuk kerugian bagasi tercatat, termasuk kerugian

karena kelambatan dibatasi setinggitingginya Rp 100.000,00 (seratus ribu

rupiah) untuk setiap kilogram.

b) Jumlah ganti rugi untuk kerugian bagasi kabin karena kesalahan

pengangkut dibatasi setinggi-tingginya Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)

untuk setiap penumpang.

c) Jumlah ganti rugi untuk kerugian kargo termasuk kerugian karena

kelambatan karena kesalahan pengangkut dibatasi setinggi-tingginya Rp

100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk setiap kilogram.

Pemberian pembatasan ganti rugi ini dilakukan dengan melihat dari prinsip

tanggungjawab yang ada yaitu prinsip limitation of liability. Namun beberapa

tahun terakhir ini kompensasi yang diberikan oleh maskapai penerbangan

terhadap kecelakaan melebihi dari apa yang diatur dalam Peraturan Pemerintah

Nomor 40 Tahun 1995 tentang Angkutan Udara. Seperti pada kasus Lion Air JT

610 yang hilang dan dinyatakan jatuh ke laut pada 29 Oktober 2018 lalu,

menetapkan jumlah ganti rugi atas tanggungjawab mereka berdasarkan ketentuan

yang ada pada Peraturan Menteri Nomor 77 Tahun 2011. Melihat dari perbedaan

atas besaran ganti kerugian yang ada dari kedua peraturan tersebut menandakan

bahwa perusahaan nasional di bidaang pengangkutan udara secara ekonomis

Page 32: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

52

sudah lebih kuat daripada keadaan sebelumnya, dan sudah lebih menghargai

pentingnya hak asasi manusia. Mengenai perubahan besaran ganti rugi ini justru

sesuai dan memang sudah seharusnya dilakukan melihat dari ketentuan yang

disebutkan dalam Pasal 172 Undang-Undang Penerbangan yang menyebutkan

bahwa besaran ganti kerugian harus selalu dievaluasi sedikitnya satu kali dalam

satu tahun oleh Menteri, dengan didasarkana oleh tingkat hidup layak rakyat

Indonesia, kelangsungan hidup badan usaha angkutan udara niaga, tingkat inflasi

kumulatif, pendapatan per kapita, dan perkiraan usia harapan hidup.

Diperusahaan pengangkutan udara di Indonesia, jumlah ganti kerugian

diberikan dengan cara sebagai berikut:

a) Pembayaran ganti kerugian secara tunai sesuai dengan jumlah yang telah

disepakati bersama;

b) Pembayaran ganti kerugian secara berkala dengan kesepakatan bersama,

dengan jangka waktu yang telah ditetapkan;

c) Pembayaran ganti kerugian berdasarkan perhitungan biaya-biaya yang

diperkukan dalam masa pengobatan (khusus bagi penumpang yang masih

hidup namun menderita luka-luka atau cacat tubuh dan sedang dalam

perwatan).

Berdasarkan bunyi dalam Pasal 141 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

tahun 2009 dan Pasal 2 Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 77 tahun 2011

kembali lagi ditegaskan bahwa perusahaan pengangkutan udara wajib

bertanggung jawab atas kerugian yang diderita pernumpang. Kewajiban ini

sangatlah sesuai jika dikaitkan dengan isi dan tujuan dari perjanjian

Page 33: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

53

pengangkutan, karena pengangkut wajib menjaga keselamatan sejak penumpang

naik angkutan udara, selama penumpang berada didalam angkutan udara, hingga

angkutan udara sampai tujuan. Sehingga ketentuan dalam pasal-pasal yang telah

disebutkan diatas mempunyai tujuan agar pengangkut menyadari resiko tanggung

jawab atau kewajiban yang harus dilakukan olehnya.

Dalam upaya perlindungan hukum terhadap orang dan barang, bila mana

tuntutan ganti kerugian diluar pengadilan ditolak oleh pihak pengangkut, dalam

Undang-Undang Perlindungan Konsumen menegaskan mengenai bentuk

perlindungan hukum kosnumen dengan adanya pemberian sanski administratif

ataupun sanksi pidana, hal ini diatur dalam Pasal 60 dan Pasal 62.

a) Terhadap pelaku usaha yang tidak memenuhi tanggung jawab

sebagaimana ditentukan dalam UUPK, yakni pelaku usaha yang

melanggar Pasal 19 ayat 2 dan 3, Pasal 20, Pasal 25 dan Pasal 26

akan dijatuhkan sanksi administratif oleh BPSK berupa penetapan

ganti rugi paling banyak Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

b) Bagi pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

Pasal 8, pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat 2, Pasal 15, Pasal 17 ayat 1

huruf (a), huruf (b), huruf (c), huruf (e), ayat 2 dan Pasal 18 dipidana

dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda

paling banyak Rp. 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

c) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13 ayat 1, Pasal 14, Pasal 16 dan

Pasal 17 ayat 1 huruf (d) dan huruf (f) dipidana dengan penjara

paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak

Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Terhadap pelanggaran yang mengakibatkan luka berat, sakit berat, cacat

hingga menyebabkan kematian diberlakukan ketentuan pidana yang berlaku.

Selain itu, Pasal 45 ayat 1 juga menyatakan konsumen yang dirugikan dapat

menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa

antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di

lingkungan peradilan umum. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh

Page 34: BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN …...21 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS A. Tinjauan Pustaka 1. Pengangkutan Udara Abdul kadir Muhammad mendefenisikan

54

melalui pengadilan (dengan menggunakan ketentuan Hukum Acara Perdata) atau

diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa.

Dalam pemenuhan perlindungan hukum terhadap orang dan barang selaku

konsumen dalam pengangkutan udara, pemerintah mempunyai peran yang penting

dalam mewujudkan perlindungan konsumen dengan mewajibkan seluruh pihak

pengangkutan udara untuk memberikan informasi yang benar kepada penumpang

selaku konsumen. Peran pemerintah dalam menyikapi perlindungan konsumen

dengan melakukan pembinaan sesuai dengan pasal 10 Undang-Undang Nomor 1

tahun 2009, pembinaan penerbangan sebagaimana dimaksud meliputi aspek

pengaturan, pengendalian, dan pengawasan, pengaturan sebagaimana dimaksud

meliputi penetapan kebijakan umum dan teknis yang terdiri atas penentuan norma,

standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur termasuk persyaratan

keselamatan dan keamanan penerbangan serta perizinan. Sehingga untuk

menghindari terjadinya kerugian, tugas penting bagi pihak pengangkut udara ialah

menjamin mutu jasa yang diberikannya bagi konsumen sesuai dengan Pasal 7

huruf D Undang-Undang Pengangkutan Udara yang pada dasarnya bertujuan

untuk meningkatkan keselamatan penerbangan. Penerapan dari pasal tersebut

adalah dengan melakukan perawatan pesawat secara berkala oleh maskapai

penerbangan. Dengan demikian hal ini otomatis berkesinambungan dengan

Undang-Undang Penerbangan Pasal 37 ayat (3) dimana setiap maskapai harus

memiliki sertifikat kelaiakudaraan dan cara memperolehnya dengan melakukan

perawatan sesuai dengan standar perawatan. Karena perawatan tersebut tidak

hanya melindungi konsumen semata, tetapi juga untuk menjaga nama baik pihak

pengangkut udara.