BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS 2.1. International Finacial Reporting System. IFRS merupakan standar akuntansi internasional yang diterbitkan oleh International Accounting Standard Board (IASB). Standar Akuntansi Internasional (International Accounting Standards/IAS) disusun oleh empat organisasi utama dunia yaitu 1. International Accounting Standard Board (IASB). 2. European Commision (EC) 3. International Organization of Securities Commissions (IOSOC) 4. International Federation of Accountant (IFAC). Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB) yang dahulu bernama Komisi Standar Akuntansi Internasional (AISC), merupakan lembaga independen untuk menyusun standar akuntansi. Organisasi ini memiliki tujuan mengembangkan dan mendorong penggunaan standar akuntansi global yang berkualitas tinggi, dapat dipahami dan dapat diperbandingkan. Sedangkan manfaat IFRS dalah sebagai berikut : 1. Meningkatkan daya banding laporan keuangan.
45
Embed
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN …digilib.unila.ac.id/5148/11/BAB II.pdfbukan lagi aturan, ... atas penjualan aset atau pembayaran untuk mentransfer liabilitas dalam transaksi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. International Finacial Reporting System.
IFRS merupakan standar akuntansi internasional yang diterbitkan oleh
International Accounting Standard Board (IASB). Standar Akuntansi
Internasional (International Accounting Standards/IAS) disusun oleh empat
organisasi utama dunia yaitu
1. International Accounting Standard Board (IASB).
2. European Commision (EC)
3. International Organization of Securities Commissions (IOSOC)
4. International Federation of Accountant (IFAC).
Badan Standar Akuntansi Internasional (IASB) yang dahulu bernama Komisi
Standar Akuntansi Internasional (AISC), merupakan lembaga independen untuk
menyusun standar akuntansi. Organisasi ini memiliki tujuan mengembangkan dan
mendorong penggunaan standar akuntansi global yang berkualitas tinggi, dapat
dipahami dan dapat diperbandingkan. Sedangkan manfaat IFRS dalah sebagai
berikut :
1. Meningkatkan daya banding laporan keuangan.
14
2. Memberikan informasi yang berkualitas di pasar modal internasional
3. Menghilangkan hambatan arus modal internasional dengan mengurangi
perbedaan dalam ketentuan pelaporan keuangan.
4. Mengurangi biaya pelaporan keuangan bagi perusahaan multinasional dan
biaya untuk analisis keuangan bagi para analis.
5. Meningkatkan kualitas pelaporan keuangan menuju “best practise”.
Sedangkan karakteristik IFRS adalah sebagai berikut:
1. IFRS menggunakan “Principles Base “ yaitu:
a. Lebih menekankan pada intepreatasi dan aplikasi atas standar sehingga
harus berfokus pada spirit penerapan prinsip tersebut.
b. Standar membutuhkan penilaian atas substansi transaksi dan evaluasi
apakah presentasi akuntansi mencerminkan realitas ekonomi.
c. Membutuhkan profesional judgment pada penerapan standar akuntansi.
2. Menggunakan fair value dalam penilaian, jika tidak ada nilai pasar aktif harus
melakukan penilaian sendiri (perlu kompetensi) atau menggunakan jasa
penilai.
3. Mengharuskan pengungkapan (disclosure) yang lebih banyak baik kuantitatif
maupun kualitatif
Dalam IFRS dikembangkan pendekatan pendekatan baru dalam pelaporan
keuangan untuk meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan keterbandingan
15
laporan keuangan. Misalnya, ditingkatkannya pengungkapan informasi kualitatif
transaksi, pengaturan untuk pelaporan keuangan menggunakan pendekatan prinsip
bukan lagi aturan, dihapusnya pos-pos luar biasa, penyajian laporan keuangan
diubah untuk mencerminkan sifat laporan keuangan, dan penggunaan pendekatan
pengukuran nilai wajar (fair value), (Martani dkk, 2012).
Nilai wajar (fair value) didefinisikan dalam IFRS sebagai, “harga yang diterima
atas penjualan aset atau pembayaran untuk mentransfer liabilitas dalam transaksi
antar pihak yang berkepentingan pada tanggal pengukuran.” Nilai wajar ini
digunakan untuk mengukur: 1) satu aset, 2) sekelompok aset, 3) satu liabilitas, 4)
sekelompok liabilitas, 5) konsiderasi bersih dari satu atau lebih aset dikurangi satu
atau lebih liabilitas terkait, 6) satu segmen atau divisi dari sebuah entitas, 7) satu
lokasi atau wilayah dari suatu entitas, 8) satu keseluruhan entitas, 9) yang
dimaksud dengan pengukuran di atas bukan merupakan pengukuran awal (Martani
dkk, 2012).
Untuk pengukuran awal (saat aset diakuisisi atau liabilitas muncul), entitas tetap
menggunakan dasar kos pada saat terjadinya transaksi. Setelah pengukuran awal
(biasa disebut sebagai pengukuran setelah pengukuran awal), yaitu saat pelaporan
keuangan (dan untuk pelaporan seterusnya, selama aset masih dikuasai), entitas
boleh memilih model kos (berdasar kos historis) atau model revaluasi (berdasar
nilai wajar) untuk mengukur pos-pos laporan keuangannya, (Martani dkk, 2012).
Berbagai kemungkinan lain dapat terjadi dalam pengukuran nilai wajar. Hal ini
dikarenakan nilai wajar tidak berdasarkan pada bukti historis, namun didasarkan
16
pada seberapa bernilainya aset atau liabilitas pada saat pelaporan. Tidak adanya
bukti historis ini (kecuali untuk pendekatan pasar yang observable), merupakan
suatu celah untuk dilakukannya fraud. Entitas biasanya cenderung untuk
meningkatkan nilai aset dan pendapatannya atau menurunkan nilai liabilitas dan
biayanya. Oleh karena itu, penggunaan nilai wajar merupakan suatu tantangan
baru bagi profesi jasa penilai dan auditor.
2.2. Teori Agensi
Teori ini memegang peran penting dalam praktik bisnis perusahaan. Teori agensi
merupakan teori yang muncul karena adanya konflik kepentingan antara prinsipal
dan agen. Prinsipal sebagai pemegang saham sedangkan agen sebagai manajer.
Prinsipal mengontrak agen untuk melakukan pengelolaan sumber daya dalam
perusahaan. Tujuan utama dari teori keagenan adalah untuk menjelaskan
bagaimana pihak - pihak yang melakukan hubungan kontrak dapat mendesain
kontrak yang tujuannya untuk meminimalisir cost sebagai dampak adanya
informasi yang tidak simetris.
Teori agensi merupakan teori yang digunakan perusahaan dalam mendasari
praktik bisnisnya. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa teori keagenan
disebut juga sebagai teori kontraktual yang memandang suatu perusahaan sebagai
suatu perikatan kontrak antara anggota-anggota perusahaan. Mereka juga
menyatakan bahwa hubungan keagenan adalah sebagai suatu kontrak antara satu
atau lebih pihak yang mempekerjakan pihak lain untuk melakukan suatu jasa
untuk kepentingan mereka yang meliputi pendelegasian beberapa kekuasaan
17
pengambilan keputusan kepada pihak lain tersebut. Dengan demikian, teori ini
mengindikasikan adanya kepentingan pada setiap pihak yang ada di perusahaan
untuk mencapai tujuan.
Pihak yang berkepentingan tersebut adalah pemegang saham sebagai prinsipal dan
manajer perusahaan sebagai agen. Agen harus melakukan tugas yang diberikan
oleh prinsipalnya sebagai tanggung jawab jasanya. Prinsipal diasumsikan hanya
tertarik pada pengembalian uang yang diperoleh dari investasi mereka pada
perusahaan. Sedangkan agen diasumsikan akan menerima kepuasan tidak hanya
dari kompensasi keuangan tetapi juga dari tambahan lain yang terlibat dalam
hubungan keagenan (Anthony dan Govindarajan, 2005).
Kedua pihak dalam teori agensi tersebut menginginkan keuntungan yang sebesar -
besarnya. Mereka juga berusaha menghindari risiko yang mungkin terjadi.
Adanya perbedaaan kepentingan antara kedua belah pihak dapat menyebabkan
terjadinya konflik keagenan. Manajer akan mengambil keputusan dan kebijakan
yang dapat menguntungkan dirinya sendiri sebelum memberikan manfaat kepada
pemegang saham. Padahal hal itu tidak sesuai dengan tujuan utama manajer yaitu
memaksimumkan kekayaan pemegang saham yang akan diwujudkan melalui
pemaksimuman harga saham biasa (Weston dan Brigham, 1990).
Konflik keagenan lainnya yang mungkin terjadi yaitu mengenai informasi asimetri
(assymetries information). Informasi asimetri timbul karena kurang lengkapnya
informasi yang diperoleh atau salah satu pihak tidak memiliki informasi yang
diketahui oleh pihak lainnya. Misalnya, manajer mungkin memiliki informasi
18
yang lebih banyak dibandingkan pemegang saham karena manajer adalah pihak
yang lebih sering berhadapan dengan kegiatan operasional di perusahaannya.
Dengan demikian, pemegang saham yang hanya memiliki sedikit informasi akan
kesulitan dalam mengontrol perusahaan yang dijalankan oleh manajer.
Adanya pemisahan kepemilikan dan pengendalian perusahaan ini akan
menyebabkan timbulnya asymmetry information. Menurut Scott (2003), terdapat
dua jenis asymmetric information, yaitu: adverse selection dan moral hazard.
Adverse selection adalah suatu tipe informasi asimetri dimana satu orang atau
lebih pelaku-pelaku transaksi bisnis atau transaksi-transaksi yang potensial
mempunyai informasi lebih atas yang lain (Scott, 2003). Ketimpangan
pengetahuan informasi perusahaan ini dapat menimbulkan masalah dalam
transaksi pasar modal karena investor tidak mempunyai informasi yang cukup
dalam pengambilan keputusan investasinya.
Sedangkan moral hazard adalah suatu tipe informasi asimetri dimana satu orang
atau lebih pelaku-pelaku bisnis atau transaksi-transaksi potensial yang dapat
mengamati kegiatan-kegiatan mereka secara penuh dibandingkan dengan pihak
lain (Scott, 2003). Masalah moral hazard ini terjadi karena pihak-pihak di luar
perusahaan (investor) mendelegasikan tugas dan kewenangannya kepada manajer
tetapi investor tidak dapat sepenuhnya memantau manajer dalam melaksanakan
pendelegasian tersebut.
Laporan keuangan yang digunakan oleh principal untuk memberikan kompensasi
kepada agen dengan harapan dapat mengurangi konflik keagenan dapat dimanfaatkan
19
oleh agen untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Akuntansi akrual yang
dicatat dengan basis akrual (accrual basis) merupakan subjek managerial discretion,
karena fleksibilitas yang diberikan oleh GAAP memberikan dorongan kepada
manajer untuk memodifikasi laporan keuangan agar dapat menghasilkan laporan laba
seperti yang diinginkan, meskipun menciptakan distorsi dalam pelaporan laba (Watts
dan Zimmerman, 1986).
Salah satu mekanisme yang diharapkan dapat mengontrol biaya keagenan yaitu
dengan menerapkan tata kolola perusahaan yang baik (good corporate governance).
Kaen (2003) menyatakan corporate governance pada dasarnya menyangkut masalah
siapa (who) yang seharusnya mengendalikan jalannya kegiatan korporasi dan
mengapa (why) harus dilakukan pengendalian terhadap jalannya kegiatan korporasi.
Yang dimaksud dengan siapa adalah para pemegang saham, sedangkan “mengapa”
adalah karena adanya hubungan antara pemegang saham dengan berbagai pihak yang
berkepentingan terhadap perusahaan.
Jansen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa untuk meminimalkan konflik
keagenan adalah dengan meningkatkan kepemilikan manajerial di dalam perusahaan.
Ross et al (1999) menyatakan bahwa semakin besar kepemilikan manjemen dalam
perusahaan maka manajemen akan cenderung untuk berusaha untuk meningkatkan
kinerjanya untuk kepentingan pemegang saham dan untuk kepentingannya sendiri.
Vafeas (2000) mengatakan bahwa selain kepemilikan manajerial, peranan dewan
komisaris juga diharapkan dapat meningkatkan kualitas laba dengan membatasi
tingkat manajemen laba melalui fungsi monitoring atas pelaporan keuangan. Komite
audit yang dibentuk dalam perusahaan sebagai sebuah komite khusus diharapkan
20
dapat mengoptimalkan fungsi pengawasan yang sebelumnya dilakukan oleh dewan
komisaris, Komite audit meliputi: melakukan pengawasan terhadap laporan
keuangan, mengawasi audit eksternal, dan mengamati sistem pengendalian internal.
Berdasarkan argument tersebut, diharapkan bahwa good corporate governance dapat
meningkatkan kualitas pelaporan keuangan yang salah satunya adalah meningkatkan
kualitas laba yang dilaporkan. Kualitas laba yang baik diharapkan juga dapat
meningkatkan konservatisme akuntansi yang di terapkan perusahaan.
2.3. Konservatisme Akuntansi
Dalam penyajian laporan keuangan, akuntan dapat memilih metode akuntansi apa
yang akan diterapkan. Dalam konservatisme, akuntan dihadapkan dalam pilihan
dua atau lebih teknik akuntansi. Watts (2003) mendefinisikan konservatisme
sebagai prinsip kehati-hatian dalam pelaporan keuangan dimana perusahaan tidak
terburu-buru dalam mengakui dan mengukur aset dan laba serta segera mengakui
kerugian dan hutang yang mempunyai kemungkinan akan terjadi. Penerapan
prinsip ini mengakibatkan pilihan metode akuntansi ditujukan pada metode yang
melaporkan laba atau aset lebih rendah serta melaporkan hutang lebih tinggi
Sedangkan menurut Belkaoui, (2011:288) mendefinisikan “konservatisme sebagai
suatu prinsip pengecualian atau modifikasi dalam hal bahwa prinsip tersebut
bertindak sebagai batasan terhadap penyajian data akuntansi yang relevan dan
andal”. Prinsip ini menganggap ketika memilih antara dua atau lebih teknik
akuntansi yang berlaku umum, suatu preferensi ditujukan untuk opsi yang
memiliki dampak paling tidak menguntungkan terhadap ekuitas pemegang saham.
21
Prinsip ini mengimplikasikan bahwa nilai terendah dari aset dan pendapatan serta
nilai tertinggi dari kewajiban dan beban sebaiknya dipilih untuk dilaporkan.
Basu (1997) menyatakan bahwa “konservatisme merupakan praktik akuntansi
dengan mengurangi laba dan menurunkan nilai aset bersih ketika menghadapi bad
news akan tetapi tidak meningkatkan laba dan menaikkan nilai aset bersih ketika
menghadapi good news.”
Konservatisme dalam pelaporan keuangan dibedakan menjadi dua bagian yaitu
konservatisme dari prinsip akuntansi berterima umum (conservatism of GAAP)
dan konservatisme diskresioner. Konservatisme dari PABU adalah konservatisme
yang ditentukan oleh standar para manajer, contohnya manajer diwajibkan
menggunakan nilai terendah dari cost atau pasar (lower of cost or market) untuk
penilaian persediaan, mencatat kerugian dan biaya dengan segera tetapi tidak
untuk laba. Sedangkan konservatisme diskresioner adalah konservatisme yang
dihasilkan dari keleluasaan manajer dalam pelaporan, contohnya dalam
mengestimasi tingkat keusangan persediaan.
Jadi konservatisme akuntansi adalah mengukur aktiva dan laba dengan kehati
hatian oleh karena aktivitas ekonomi dan bisnis yang dilingkupi suatu ketidak
pastian yang tercermin dalam laporan keuangan perusahaan untuk memberikan
manfaat bagi pengguna laporan keuangan.
Di dalam Standar Akuntansi Keuangan disebutkan bahwa terdapat berbagai
metode yang dapat dipilih perusahaan untuk menerapkan prinsip konservatisme:
22
1. PSAK No. 14 (Revisi 2008) yang mengatur perlakuan akuntansi untuk
persediaan.
2. PSAK No.17 (1994) tentang akuntansi penyusutan yang diganti oleh PSAK
No. 16 (Revisi 2007) mengenai aset tetap dan pilihan dalam menghitung biaya
penyusutannya.
3. PSAK No.19 (Revisi 2010) untuk menentukan perlakuan akuntansi bagi aset
tidak berwujud yang tidak diatur secara khusus pada standar lainnya.
4. PSAK No.20 tentang Biaya Riset dan Pengembangan.
Helaman (2007), kebutuhan "konservatisme" sering terkait dengan pelaporan yang
dapat diandalkan atas peristiwa masa lalu, yang menyiratkan penekanan pada
backward looking, pengelolaan dan perilaku auditor. Seorang auditor tidaklah
dituntut agar laporan keuangan menjadi terlalu konservatif. Tujuan standar
akuntansi modern yang utama adalah berorientasi masa depan, yang bertujuan
untuk membantu kepentingan investor dan pihak pengguna laporan keuangan
lainnya dalam pengambilan keputusan mereka. Dengan demikian, konservatisme
tidak lagi diatur dalam prinsip akuntansi di bawah Standar Pelaporan Keuangan
Internasional (IFRS). Laporan keuangan berdasarkan IFRS harus bersifat dapat
dimengerti, relevan, dapat diandalkan dan sebanding, tetapi tanpa bias konservatif.
Hal ini juga tercermin dalam metode akuntansi yang ditetapkan oleh Standar
Akuntansi Internasional (IASB).
23
2.4. Pengkuran Konservatisme Akuntansi.
Menurut Watts (2003b) terdapat tiga ukuran yang digunakan dalam mengukur
konservatisme antara lain:
a. Earning atau Stock Return Relation Measures.
Pengukuran ini didasari adanya stock market price yang berusaha untuk
merefleksikan perubahan nilai aset pada saat terjadinya perubahan baik rugi
ataupun laba dalam nilai aset, stock return tetap berusaha untuk
melaporkannya sesuai dengan waktunya. Basu (1997) menyatakan bahwa
konservatisme menyebabkan kejadian-kejadian yang merupakan kabar buruk
dan kabar baik terefleksi dalam waktu yang tidak sama (asimetri waktu
pengakuan). Hal ini sesuai dengan salah satu definisi konservatisme yang
menyebutkan bahwa kejadian yang diperkirakan akan menyebabkan kerugian
bagi perusahaan harus segera diakui, hal itu membuat kabar buruk lebih cepat
terefleksi dalam laba dibandingkan kabar baik.
b. Earning atau Accrual Measures
Yaitu menggunakan selisih antara net income dan cash flow Watss (2003b).
Net income yang digunakan adalah net income sebelum depresiasi dan
amortisasi, sedangkan cash flow yang digunakan adalah cash flow dari
aktivitas operasi. Givoly dan Hayn (2000) melihat kecenderungan dari akun
akrual selama beberapa tahun, apabila terjadi akrual negatif (net income
lebih kecil daripada cash flow dari aktivitas operasi) yang konsisten selama
24
beberapa tahun, maka hal tersebut merupakan indikasi adanya penerapan
konservatisme. Selain itu, Givoly dan Hayn (2000) membagi akrual menjadi
dua yaitu :
1. Operating accrual
Berdasarkan literatur Criterion Research Group, dinyatakan bahwa
Operating accrual menangkap perubahan dalam aset lancar, kas bersih
dan investasi jangka pendek, dikurang dengan perubahan dalam aset
lancar, utang jangka pendek bersih. Operating accrual yang utama
meliputi piutang dagang dan persediaan dan kewajiban. Akun ini
merupakan akun klasik yang digunakan untuk memanipulasi earnings
untuk mencapai tujuan pelaporan.
2. Non-operating accrual.
Berdasarkan literatur Criterion Research Group, menyatakan bahwa
Non current (operating) accrual menangkap perbedaan dalam non-
current assets, investasi non ekuitas jangka panjang bersih, dikurang
perubahan dalam non-current liabilities, hutang jangka panjang bersih.
Komponen non operating accrual (pada sisi aset) yang utama adalah
aset tetap dan aset tidak berwujud.
Non-current assets ini tergantung pada write down ketika aset tersebut
diputuskan telah di turunkan nilainya (impaired), dan penentuan dari
beberapa permanent impaeirement yang banyak melibatkan abnormal
25
manajerial. Pada sisi kewajiban terdapat sebuah varietas dari akun-akun
seperti utang jangka panjang, penangguhan pajak dan post retirement
benefits yang juga merupakan manifestasi atas estimasi dan asumsi
subjektif (seperti estimasi akuntansi konpensional, pengembalian yang
diharapkan atas aset, pertumbuhan yang diharapkan atas pertumbuhan
upah pegawai, dan lain lain)
Givoly dan Hayn (2002) menyatakan bahwa apabila akrual bernilai
negatif, maka laba digolongkan konservative, hal ini disebabkan oleh
laba lebih rendah dari cash flow yang bersumber dari aktivitas operasi
yang diperoleh oleh perusahaan pada perioda tertentu. Persamaannya
dapat dilihat sebagai berikut:
Non-operating
accruals =
Total accruals (before depreciation) −
Operating accruals
Dimana:
1. Total Accrual (before depreciation) = (net income + depreciation) –